Anda di halaman 1dari 2

Nama : Raden Ahmad Rosyiddin Brillyanto

NIM : 11171110000024

SETETES HARAPAN BARU :

Sebuah Refleksi Atas Pengalaman Pribadi Dalam

Menemukan Sebuah Jati Diri

Sekilas Tentang Hidupku

Sejenak aku ingin bercerita tentang siapa diriku terlebih dahulu, perkenalkan, nama lengkapku Raden
Ahmad Rosyiddin Brillyanto, terlahir dengan nama yang diawali ‘Raden’ mengakibatkan sejak masih dibangku
sekolah dasar guru-guru ku selalu menanyakan “emang kamu anaknya siapa?”, “kamu keturunan mana?” dan
hal senada lainnya, tapi YA, aku adalah seorang keturunan ke 17 dari Raden Brawijaya v (kalau tidak salah) yang
merupakan nenek leluhur para bangsawan kraton Yogyakarta, tapi aku biasa saja dengan nama ‘Raden’ itu dan
tidak pernah menyombongkannya, bahkan terkadang terkesan menyulitkan, terutama saat dulu melaksanakan
UN tingkat SD, SMP, dan SMA, karena ini membuat namaku terlalu panjang untuk ditulis dikertas LJK. Aku lahir
di Yogyakarta pada 5 November 1999, dari pasangan ayah (bapak) yang berdarah Surabaya, dan Ibu (Mama)
yang berdarah Jogja asli. Dari pernikahan keduanya menghasilkan tiga anak, aku sebagai yang pertama, dan dua
adikku perempuan dan laki-laki. Keluarga kami bisa dibilang merupakan salahsatu keluarga nomaden yang masih
ada hingga zaman modern ini, karena merupakan sebuah tuntutan dari pekerjaan mama saya yang seorang
pegawai pajak untuk mutasi setiap 4 tahun sekali, namun beruntungnya mama ku memiliki suami yang
pengertian, bapak ku yang seorang akuntan publik memiliki waktu kerja yang fleksibel sehinggan selalu bisa
menemani mama. Dan tentu ini memiliki akibat kepada anak-anaknya pula, terkusus saya, yang pada tingkat
sekolah dasar sudah pindah sekolah sebanyak tiga kali, ya tapi aku sukuri itu semua karena aku percaya selalu
ada dampak positif dari setiap keadaan, dari berpindah-pindah sekolah itu aku jadi memiliki banyak teman yang
alhamdulillah sebagian masih kontek-kontekan karena adanya media sosial (Instagram, Facebook, dll).

Semua terasa indah dalam dunia sekolahku, walau terkadang diisi dengan duka, aku tetap
menikmatinya. Perjalanan sekolahku dimulai di SDN 02 Cibubur Pagi, aku menghabiskan masa sekolah kelas
satu sampai kelas tiga SD di sekolah itu, disana aku belajar tentang budaya betawi yang menjadi sedikit
modalku kini di kelas antrop jika ada bembicaraan tentang betawi, jujur aku banyak lupa tentang nama-nama
teman yang aku bersamanya di sini, sehingga tidak satupun darinya aku dapat kontak sosial medianya.
Berikutnya aku mengikuti mama pindah ke bogor, aku bersekolah di SDN Semplak 2, walau hanya setahun
bersekolah disana, namun saya mendapatkan banyak pengalaman baru serta teman-teman yang kompak dan
gokil abis. Ada banyak teman-teman yang hingga saat ini aku masih kontak dengannya, namun juga ada
beberapa sahabat ku disana yang kini telah meninggal dunia, semoga Allah yang maha kuasa mengampuni
mereka dan menempatkannya disisi yang terbaik, Aamiin.. dan terakhir aku mengikuti mama pindah ke
Kabupaten Kuningan, sebuah kota kecil di selatan Cirebon, kota yang cukup bersejarah bagi Indonesia karena
disana pernah dilanngsungkan sebuah perjanjian yang cukup berpengaruh bagi Indonesia, Perundingan
Linggarjati. Aku bersekolah dan menamatkan bangku sekolah dasar di SDN 1 Kuningan, disana budaya sunda
sangatlah kental ketimbang dengan di bogor, mulai dari bahasa dan kebiasaan masyarakatnaya yang jauh lebih
“nyundaa”. Ini mengakibatkan aku yang semula nol dalam berbahasa sunda hanya memerlukan waktu 4 hari
untuk langsung bisa berbahsa sunda dalam keseharian di sekolah. Di kota kuningan pula, aku meneruskan
pendidikan hingga SMP, aku mendaftar ke SMP 1 Kuningan yang merupakan sekolah favorit dan RSBI (Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional) di kabupaten Kuningan. Banyak proses yang harus dilalui sebelum diterima
sebagai siswa disana, tes bahasa inggris lisan, psikotes, tes tulis mata pelajara, dll. Dan merupakan sebuah
penghargaan sekaligus cobaan bagi saya yang ternyata diterima di program akselerasi di sekolah tersebut, Ya,
ini berarti saya hanya akan menjalani studi di jenjang SMP hanya dalam waktu dua tahun. Awalnya saya berat
untuk menerimanya, namun pihak sekolah memberikan tawaran untuk mencobanya selama 4 bulan, dan jika
tidak kuat maka dapat mengundurkan diri dan masuk ke kelas reguler. Kami satu kelas hana diisi oleh 13
orang, dan jumlah kamipun terus berkurang seiring dengan beberapa kawan yang gugur dan ingin pindah ke
kelas reguler, akhirnya kami lulus dengan jumlah 11 orang, dan dari 11 orang itu 9 diantaranya melanjurkan ke
SMA yang sama, yaitu SMAN 2 Kuningan yang juga merupakan sekolah favorit di kabupaten kuningan, dan
tidak ada yang mengira 9 orang tersebut masuk ke kelas akselerasi kembali di SMA tersebut termasuk saya di
dalamnya. Kelas akselerasi di jenjang SMA mewajibkan seluruh siswanya masuk ke program IPA yang
sebenarnya tidak saya harapkan, karena saya dan salah seorang kawan saya ingin masuk ke program IPS yang
mungkin akan lebih santai dalam pembelajarannya. Segala usaha untuk keluar dari program akselerasi pun
telah kami tempuh, namun takdir berkata lain.. kami tetap diwajibkan untuk menyelesaikan prgram akselerasi
ini hingga tuntas, yang berarti kami haru bertahan di program IPA pula. Walhasil kami semua berhasil lulus
dalam dua tahun, dan ada seornag diantara kami ber sembilan yang menjadi juara paralel diangkatan
kelulusan kami, cukup membanggakan, namun kami sadar bahwa berjalanan ini belum berakhir. Masuk ke
perguruan tinggi negeri favorit pasti merupakan cita-cita banyak siswa SMA kelas 12, termasuk kami.
Pendaftaran SNMPTN / Jalur undanganpun sangat kami tunggu-tunggu dan rasanya ingin bergegegas untuk
mengisi form nya, namun apaboleh buat, ternyata ada regulasi baru yang melarang siswa akselerasi untuk ikut
dalam SNMPTN, diantara kami ada yang gundah dan sedih menanggapi berita itu, namun banyak dari kami
yang menanggapinya dengan biasa-biasa saja dan terkesan tidak peduli dengan SNMPTN. Untuk berjaga-jaga
apabila tidak diterima di perguruan tinggi negeri, saya mencoba untuk mendaftarkan diri ke Universitas
Tarumanagara, yang merupakan sebuah perguruan tinggi swasta di jakarta barat, sebenarnya saya mendaftar
kesana bukan karena didasari atas keinginan sendiri, namun atas keinginan bapak saya yang menginginkan dan
terkesan memaksa diri saya untuk kuliah disana dan mengambil program studi akuntansi, karena dia sangat
ingin sekali saya menjadi seorang akuntan sama sepertinya.

Anda mungkin juga menyukai