Anda di halaman 1dari 10

AGAMA SEBAGAI SALAH SATU FAKTOR KONFLIK SOSIAL DAN KRITIK AGAMA

YANG BERSIFAT RADIKAL POSITIF

OLEH

NAMA-NAMA KELOMPOK 7

1. POLCE YUNISNDER BETTY


2. SENTI TAROCI TAMONOB

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


AGAMA

INSTITUT AGAMA KRISTEN


KUPANG

(IAKN KUPANG)

TAHUN 2022
Agama sebagai faktor konflik sepintas kelihatan sangat paradoks. Di satu sisi, agama
dipandang sebagai sumber moral dan nilai, sedangkan di sisi lain dianggap sebagai salah satu
sumber konflik. Banyak indikasi, bahwa terjadinya konflik yang ada di masyarakat berawal dari
manusia. Secara lebih tegas, konflik muncul dari ulah tangan manusia. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai agama sebagai faktor konflik akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan
agamanya, untuk mengidentifikasi timbulnya konflik.
Pembahasan mengenai agama menjadi faktor terjadinya konflik memang bermula dari
penganutnya. Dalam pandangan ini, memunculkan sebuah kritik agama yaitu Kritik Agama yang
bersifat radikal positif. Kritik Agama yang bersifat radikal positif adalah kritik yang dilontarkan
kepada agama yang dalam praktek keagamaannya tidak bersifat manusiawi.

Kata Kunci : agama, konflik sosial, kritik agama bersifat radikal positif.
Pemikiran Dasar
Agama merupakan kebutuhan dasar manusia, karena agama merupakan sarana untuk
membela diri terhadap segala kekacauan hidup manusia, hampir semua masyarakat manusia
mempunyai agama. Akan tetapi, di sisi lain banyak ditemui dalam catatan sejaran, konflik yang
terjadi akibat keangkuhan manusia yang membawa agama sebagai kepentingan pribadi, kelompok
ataupun golongan.
Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala sosial yang umum dan memiliki oleh
seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa kecuali. Ini merupakan salah satu aspek dalam
kehidupan sosial dan bagian dari system sosial suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai
unsur dari kebudayaan satu masyarakat di samping unsur-unsur yang lain, seperti kesenian, bahasa,
sistem mata pencaharian, sistem peralatan, dan sistem organisasi sosial.
Agama sebagai salah satu faktor konflik sepintas kelihatan sangat paradoks. Di satu sisi lain,
agama dipandang sebagai sumber moral dan nilai, sedangkan di sisi lain dianggap sebagai sumber
konflik. Menurut Afif Muhammad, agama seringkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang
berwajah ganda. Hal tersebut seperti yang disinualir oleh Johan Efendi yang menyatakan bahwa
agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan
persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap
garang dan menyebarkan konflik. Bahkan tak jarang, seperti dicatat dalam sejarah, menimbulkan
adanya peperangan. Banyak diindikasikan bahwa terjadinya konflik yang ada di masyarakat berawal
dari manusia. Secar lebih tegas, konflik muncul dari ulah tangan manusia. Oleh karena itu, hal
mengenai agama sebagai salah satu faktor konflik akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan
agamanya, untuk mengindetifikasi timbunya konflik. Penganut suatu agama adalah manusia dan
manusia merupakan bagian dari masyarakat. Sehingga masyarakat akan menjadi lahan terjadinya
konflik. Pembahasan mengenai agama menjadi salah satau faktor terjadinya konflik memang
bermula pada ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik atau buruk
melalui rangkaian proses dalam memahami dan mempelajari ajaran agama yang mereka yakini itu.
Oleh karena itu, setiap penganut memiliki perbedaan dalam menginterpretasikan pemahaman
agamanya, sesuai dengan kemampuan masing – masing pribadi. Sehingga akibatnya dari perbedaan
pemahaman tersebut dapat menimbulkan akar konflik yang terjadi di masyarkat yang tidak
dihindarkan. Dari situlah mengapa agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai bentuk
konflik seperti intoleransi yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama.
Agama dan Indikasi Konflik
Terdapat dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama. Pertama, agama
dipahami sebagai suatu doktrin dan ajaran; dan kedua, agama dipahami sebagai aktualisasi dari
doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan
untuk menuju keselamatan yanag bersamaan dengan kewajiban mengajak orang lain menuju
keselamatan tersebut. Dalam pengalaman suatu ajaran agama (aktualisasi doktrin) oleh para
pemeluknya, tampak kesenjangan jika dibandingkan dengan doktrin agamanya (Kahmad, 2002).
Oleh karena itu setiap agama ada istilah dakwah meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda.
Dakwah tersebut merupakan cara untuk mensosialisasikan ajaran agama. Bahkan tidak jarang
masing-masing agama memandang bahwa agamanya merupakan agama yang paling benar. Dari
situlah kemudian muncul sentiment agama karena masing-masing agama saling menegakkan
kebenarannya sehingga benturan antaragama sulit dihindari.
Pada tataran ini agama tidak hanya menjadi faktor pemersatu (intergrative factor) tetapi juga
faktor disintegrative (disintegrative factor). Faktor disintegrative timbul karena agama itu sendiri
memiliki potensi yang melahirkan intoleransi agama itu memiliki potensi yang melahirkan
intoleransi (konflik), baik karena faktor internal ajaran agama itu sendiri maupun karena faktor
eksternalnya yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan agama.
Di Indonesia, kasus-kasus intoleransi lebih sering disebabkan oleh faktor eksternal yang
bersifat dan berada di ranah politik. Banyak kasus yang memicu adanya sejumlah kerusuhan di
berbagai daerah, sering kita dengan dengan dalih mengatasnamakan agama. Tampaknya, dalam
perpolitikan Indonesia, ada kecenderungan agama disejajarkan dengan persoalan kesukuan dan
rasisme (rasialisme). Dalam kaitan ini, kiranya perlu dipertimbangkan pandangan Nurcholish
Madjid dalam Kahmad, 2002, yang menyarankan agar agama tidak disejajarkan dengan suku dan
ras sebagaimana yang sering menjadi sebab konflik dalam dunia perpolitikan Indonesia. Namun
sebaliknya, dengan adanya agama dapat memberikan dampak positif berupa daya pemersatu
(sentripetal) yang dapat dibangun dan mencari terobosan baru dalam rangka menciptakan iklim
kehidupan beragama yang lebih harmonis dalam masyarakat.

Agama dan Konflik Sosial Pengertian Agama


Menurut KBBI, pengertian agama adalah suatu ajaran dan sistem yang mengatur tata
keimanan atau kepercayaan dan peribatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa, serta tata kaidah terkait
pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya. Pendapat lain mengatakan arti agama
adalah suatu kepercayaan dan penyembahan terhadap kuasa dan kekuatan sesuatu yang luar biasa di
luar diri manusia. Sesuatu yang luar biasa ini, disebut dengan beragam istilah sesuai dengan bahasa
manusia, misalnya : Aten, Tuha, Yahweh, Elohim, Allah, Dewa, God, Syang-ti, dan lainnya.
Kata “Agama” berasal dari bahasa Sansekerta yang secara umum berarti suatu tradisi,
dimana “A” artinya tidak dan “Gama” artinya kacau. Sehingga bila dilihat dari asal katanya, definisi
agama adalah suatu peraturan yang dapat menghindarkan manusia dari kekacauan, serta
mengarahkan manusia menjadi lebih teratur dan tertib.

Pengertian Agama menurut Para Ahli


1. Anthoni F. C. Wallace
Menurut Anthoni F. C. Wallace, pengertian agama adalah seperangkat upacara yang diberi
rasionalisasi melalui adanya mitos dan menggerakkan kekuatan supranatural agar terjadi
perubahaan keadaan pada manusia dan alam semesta.
2. Émile Durkheim
Menurut Émile Durkheim, arti agama adalah suatu sistem yang terdiri dari kepercayaan
serta praktik yang berhubungan dengan hal suci dan menyatukan para penganutnya dalam
suatu komunitas moral (umat).
3. Nicolaus Driyarkara SJ
Menurut Nicolaus Driyarkara SJ, pengertian agama adalah suatu kenyakinan karena adanya
kekuatan supranatural yang mengatur serta menciptakan alam dan seisinya.
4. Jappy Pellokila
Menurut Jappy Pellokila, pengertian agama adalah suatu keyakinan yang percaya dengan
adanya tuhan yang maha esa serta mempercayai hukum-hukumnya.
5. Damianus Hendropuspito
Menurut Damianus Hendropuspito, pengertian agama adalah suatu sistem nilai yang
mengatur hubungan antara manusia dengan alam semesta yang memiliki keterkaitan dengan
keyakinan.

Fungsi Agama Secara Umum


Kehadiran agama memiliki peran dan fungsi yang cukup banyak dalam kehidupan manusia.
Adapun beberapa fungsi agama adalah sebagai berikut :
1. Sebagai pedoman hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun
kelompok.
2. Sebagai sumber aturan tata cara hubungan manusia dengan Tuhannya, dan juga sesama
manusia.
3. Sebagai pedoman bagi manusia dalam mengungkapkan rasa kebersamaan dengan sesama
manusia.
4. Sebagai pedoman perasaan keyakinan manusia terhadap sesuatu yang luar biasa
(supranatural) di luar dirinya.
5. Sebagai cara manusia mengungkapkan estetika/ keindahan alam semesta dan segala isinya.
6. Sebagai cara untuk memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.

Tujuan Agama
Suatu agama tercipta karena manusia ingin mencapai tujuan tertentu di dalam hidupnya, dan
agama dianggap dapat membantu mencapai tujuan tersebut. Adaupun beberapa tujuan agama adalah
sebagai berikut :
1. Untuk membimbing manusia dalam menjalani kehidupannya dengan cara lebih baik melalui
pengajaran dan aturan, dimana ajaran dan aturan tersebut dipercaya berasal dari Tuhan.
2. Untuk menyampaikan firman Tuhan kepada umat beragama, berupa ajaran-ajaran kebaikan
dan aturan berperilaku bagi manusia.
3. Untuk membimbing manusia menjadi individu yang berakal baik dan dapat menemukan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
4. Untuk membuka jalan bagi manusia yang ingin bertemu dengan penciptanya, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, ketika mati kelak.
Unsur – unsur Agama
Menjelaskan definisi agama merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Penjelasan yang
dikemukakan oleh para ahli tidak dapat menjawab secara tuntas mengenai realitas agama dalam
kehidupan manusia. Namun ada tiga unsur pokok agama yaitu :
1. Manusia
Manusia merupakan mahluk yang memiliki akal budi, dapat berpikir dan berusaha dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal ini, manusia adalah umat atau penganut suatu
agama yang berpikir dan percaya bahwa ada sesuatu di luar dirinya yang memiliki kuasa dan
kekuatan yang tidak bisa dijelaskan dengan hukum alam.
2. Penghambaan
Dalam konteks agama, penghambaan bukan berarti perbudakan. Tapi lebih kepada adanya
kebutuhan manusia akan kedudukannya dihadapan sang penciptanya. Dalam hal ini,
penghambaan manusia kepada Tuhan akan melibatkan banyak hal, seperti; simbol-simbol
agama, praktik agama, serta pengalaman keagamaan manusia itu sendiri.
3. Tuhan
Pada dasarnya tidak ada kesepakatan bersama mengenai konsep ketuhanan, sehingga ada
banyak konsep ketuhanan, seperti teisme, deisme, panteisme, dan lain-lain. Namun, secara
umum Tuhan dipahami sebagai Roh Mahakuasa dan asas dari suatu kepercayaan. Dalam
ajaran teisme, Tuhan adalah pencipta sekaligus pengatur segala kejadian di alam semesta
(Wikipedia).

Konflik Sosial
Agama dalam fungsinya juga memiliki fungsi yang positif dan negatif. Dengan perubahan
jaman, tidak dapat dihindari juga bila terjadi perubahan sosial dalam masyarakat. Fungsi yang
negatif antara lain dengan adanya fakta perpecahan antara manysia yang semuanya bersumber dari
agama. Perpecahan tidak akan terjadi jika tidak ada konflik terlebih dahulu. Dalam hal ini karena
adanya krisis agama yang ada di masyarakat pada umumnya, dan kurangnya kesadaran bahwa
sebenarnya agama yang mengajarkan manusia solidarits terhadap manusia yang lainnya. Dalam hal
ini adapun beberapa bentuk konflik sosial yang bersumber dari agama, antara lain :
1. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Konflik merupakan kategori sosiologis yang bertolak belakang dengan pengertian
perdamaian ataupun kerukunan. Adanya konflik dapat disebabkan proses asosiatif (proses
yang mempersatukan), dan ada juga yang berasal dari proses dissosiatif (sifatnya
memecahkan atau menceraikan). Dalam konteks ini, konflik menjadi fakta sosial yang ada
di masyarakat yang dapat melibatkan minimal dua pihak yang berbeda agama. Adanya sikap
yang membenarkan agama masing – masing, maka menimbulkan polemik dan kontrofeksi
pada masyarakat beragama. Dengan adanya rasa ingin menang sendiri maka dengan
mengalahkan pihak lain dan pada akhirnya belum pernah menghasilkan dampak yang
positif, akan tetapi dampak negatiflah yang selalu muncul. Satu – satunya jalan yang dapat
ditempuh adalah kembali kepada prinsip kebebasan untuk memeluk agama di sukai dan asas
saling mnghormati kepercayaan orang lain, selaras dengan piagam PBB tentang Deklarasi
Hak – hak Asasi Manusia tahun 1938 (Hendropupito, 1983 : 153).
Sikap mental keagamaan, semua agama pada umumnya akan mengajarkan kebaikan
pada pemeluk agamanya masing – masing. Karena agama merupakan pedoman bagi
manusia untuk menuju keyakinan yang diyakini, dan pengharapan yang dinginkan manusia
dalam agamanya. Sikap yang diajarkan oleh agama sangat membantu manusia dalam
menjalankan hidup masing – masing. Akan tetapi, dalam persoalan beragama, manusia
mempunyai sifat yang negatif juga, seperti prasangka dan intoleransi. Sifat yang negatif
seperti itulah yang bisa terjadi karena adanya rasa kebanggaan terhadap agama masing –
masing.
Dari adanya sifat yang negatif dan positif maka akan memberikan pemahaman
terhadap manusia untuk memilih agama masing – masing. Akan tetapi permasalahan yang
ada pada agama membuat bentrok atau kehancuran yang sangat besar, seperti adanya ISIS
dan kaum – kaum lainnya, yang ingin menghancurkan agama lain.
2. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Perbedaan suku dan ras dengan adanya agama bukan menjadi penghalang untuk
terciptanya hidup yang rukun atar saudara. Akan tetapi dari perbedaan suku dan ras tersebut
menjadikan sebuah konflik yang dapat timbul dengan adanya perbedaan. Tidak hanya itum
dari semua perbedaan melalui suku dan etnis menjadikan suatu kebudayaan yang berbeda.
Pada umumnya etnis orang yang berkulit putih dan etnis orang yang berkulit hitam
mendaptkan perlukan yang berbeda, sebab adanya diskriminasi terhadap ras atau etnis
tertentu dianggap sebagai pembeda dalam kehidupan.
Dalam bukunya Hendropuspito, 1938 : 157 kenyataan bahwa ada ketegangan yang
berabad – abad sudah berjalan antara ras kulit putih yang beragama Kristen dan ras yang
berwarna lain beragama non – kristen berpendirian bahwa perbedaan agama bersama – sama
dengan perbedaan ras memperlebar permusuhan yang sudah ada antara bangsa – bangsa
yang bersangkutan.
Melalui konflik pendiskriminasian, maka akan mengawali sebuah kehancuran dalam
beragama. Sehingga perbedaan tersebut membuat masyarakat ada yang tidak nyaman.
3. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama merupakan suatu unsur kebudayaan, yang dapat kita lihat secara jelas dengan
adanya setiap daerah mempunyai kebudayaan yang berbeda. Dengan adanya budaya yang
berbeda-beda agama berperan penting dalam menjunjung tinggi kebudayaan yang ada di
daerah tersebut, terkadang adanya deskriminasi antar budaya satu dengan budaya lain maka
akan memberikan rasa bangga diri terhadap kebudayaan yang di miliki.
Kebudayaan pada suatu daerah tidaklah sama, akan tetapi budaya memiliki
tingkatan-tingkatan sendiri, dalam hal ini budaya di bedakan menjadi 2, yaitu kebudayaan
tinggi dan kebudayaan rendah. Jadi dalam pembedaan maka terlihat betul dalam tingkat
perbedaannya.
Agama mengamankan masyarakat manusia dan menampilkannya di depan manusia
dalam istilah nilai-nilai dan mengajak manusia salaing menghormati dan menghargai satu
sama lain. Fungsi agama dalam hal ini ialah bahwa agama menangkap dunia ini dalam
pengertian-pengertian ini dalam hal yang serba suci dan serba adikodrati dan demikian
memberikan arti yang lebih tinggi daripada arti sehari hari. Manusia mendapatkan inspirasi
untuk hidup dari agama.adanya asumsi bahwa agama memainkan peranan dominan dalam
menciptakan budaya masyarakat dan melestarikan alam semesa. Jika asumsi yang di
pandang tidak sesuai maka fungsi agama tidak berfungsi (disfungsional).
4. Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama
Masalah mayoritas dan minoritas golongan, menjadi sebuah permasalahan yang ada
di agama. hal ini dapat menimbulkan adanya konflik sosial, dari fenomena konflik sosial
tersebut mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat, agama pluralistis penyebab
kedekatan adalah masalah mayoritas dan minoritas dalam agama.
Secara umum sudah diketahui, bahwa agama – agama besar di dunia tidak
mempunyai penganut uang sama atau pemeluk agama yang sama, termasuk Indonesia yang
mayoritas agama penduduknya adalah agama Islam. Dampak mayoritas dan minoritas dapat
diperdebatkan, sehingga menimbulkan benturan antara golongan yang berkepentingan.
Dengan hal itu, akan mengakibatkan hal yang tidak diinginkan, seperti halnya konflik yang
terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Mayoritas keagamaan yang mengembangkan suatu ideologi bagi mayoritas tersebut,
maka akan menimbulkan ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi, dimana
kepentingan keagamaan dan kepentingan politik luluh dalam satu kesatuan. Hal itu akan
menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas yang menentukan jalannya
masyarakat dan berkuasanya mayoritas tersebut. Karena mayoritas yang menganggap hak
dan kewenangan yang di miliki menjadi suatu kekuasaan mereka.

Kritik Agama
Kritik Agama adalah kritik terhadap agama itu sendiri. Kritik ini ditujukan kepada segala
sesuatu yang berhubungan dengan agama, termasuk segala sesuatu yang merupakan hal esensial
dalam agama. kritik dilontarkan kepada tingkat laku beragama, kepada ajaran – ajaran pokok
agama, kepada hubungan antaraagama, kepada ritus – ritus dan upacara agama, kepada salah satu
agama, kepada agama pada umumnya, kepada pendiri agama dan organisasi agama, kepada relasi
agama dengan bidang – bidang lain dan sebagainya. Kritik yang dilancarkan terhadap agama
bertolak dari pendirian umum ilmu pengetahuan, bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini bersifat
tabu.
Dalam tiga abda terakhir, kritik agama mendapatkan perhatian yang mencolk. Kritik agama
dipusatkan pada usaha untuk memecahkan persoalan tentang apa yang menjadi hal esensial dalam
agama dan apa yang hanya merupakan hal sampingan atau pinggiran dalam agama. ilmu
pengetahuan dan filsafat, khususnya filsafat agama, memainkan peranan yang menentukan dalam
kritik agama.
Secara historis, kritik agama dibedakan antara kritik agama yang bersifat immanen dan kritik
agama yang bersifat ekstern. Baik kritik agama yang bersifat immanen maupun kritik agama yang
bersifat ekstern, keduanya menampakkan karakter – karakter tertentu yang dapat kita bedakan
menjadi : kritik agama yang bersifat radikal, bisa bersifat destruktif, tapi bisa juga bersifat positif.
Kritik Agama yang bersifat radikal positif adalah kritik yang dilontarkan kepada agama yang
dalam praktek keagamaannya tidak bersifat manusiawi. Misalnya, beberapa upacara keagamaan
atau juga ajaran – ajaran agama yang mencerminkan penindasan terhadap martabat manusia. Kritik
seperti ini, bukan terarah kepada usaha untuk menghilangkan eksistensi agama, tetapi kepada usaha
untuk menjernihkan agama agar supaya kehadiran agama selalu bersifat manusiawi dan terbuka
untuk untuk seluruh umat manusia.

Komentar
Agama menjadi salah satu faktor banyaknya konflik sosial yang ada di Negara Indonesia.
Agama yang seharusnya menjadi suatu kepercayaan masyarakat untuk lebih memperbaiki hidupnya
justru dibuat semacam senjata untuk mengalahkan saudara – saudara yang memiliki kepercayaan
yang berbeda. Bukan karena keberadaan ataupun ajaran agamanya yang salah, melainkan
manusialah yang menganut agama tersebut, yang membuat agamanya seakan – akan lebih benar
dari yang lain.
Kritik Agama yang telah dipaparkan sebelumnya mengingatkan kepada seluruh manusia
yang merasa memiliki agama ataupun telah secara mendalam mengimaninya. Bahwa agama hadir
bukan untuk memecahkan kesatuan masyarakat dengan segala konflik – konflik yang
diatasnamakan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, A. (2017). Diskursus Filsafat Pancasila Dewasa Ini.
DEWANTARA, A. W. (2016). GOTONG-ROYONG MENURUT SOEKARNO DALAM
PERSPEKTIF AKSIOLOGI MAX SCHELER, DAN SUMBANGANNYA BAGI
NASIONALISME INDONESIA (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
https://pandidikan.blogspot.com/2010/06/agama-sebagai-faktor-konflik-di.html
http://blog.unnes.ac.id/alifiamahfudhoh/2017/12/03/agama-sebagai-faktor-konflik/

Anda mungkin juga menyukai