Anda di halaman 1dari 5

Nama : M Ziad Giovani

NIM : 220603058

Kelas : PPI 2B

No tugas : 91( Kajian studi perdamaian dan Pemahaman Antarbudaya dan Agama)

Studi Perdamaian pada umumnya diasosiasikan dengan konsep resolusi konflik. Salah satu metode
resolusi konflik dalam Studi Perdamaian adalah konsep transformasi konflik. Transformasi konflik
tidak hanya bertujuan untuk menghentikan konflik dan mengubah pola-pola hubungan negatif antar
pihak-pihak yang berkonflik, tapi juga untuk mengubah struktur politik, sosial, dan ekonomi yang
menyebabkan adanya pola-pola hubungan negatif tersebut.

Di dunia ini memang manusia masih bisa melakukan pilihan-pilihan tindakan, mau bertindak ini
atau itu. Dalam kehidupan keberagamaanpun pilihan itu tersaji sedemikian rupa. Ada sekian banyak
tafsiran atas teks yang berbeda-beda. Terkadang tafsir itu begitu kontradiktif seakan-akan bukan
diturunkan dari teks yang sama akan tetapi itulah kenyataannya, sehingga di tengah “pasar raya” tafsir
atas teks itu hendaknya disikapi dengan kewajaran, bahwa di dunia ini memang tempatnya berbeda,
baik lokus geografis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun kenyataanya, meskipun
kebanyakan tindakan itu berdasar atas tafsir dan bukan teksnya sendiri, akan tetapi di sana sini selalu
terdapat serangkaian konflik, baik yang laten maupun yang manifest, yang simbolik maupun yang
formal, dan seringkali juga tidak ditemukan “kata kunci” untuk menyamakan persepsi mengenainya.
Meskipun demikian, di tengah dunia konfliktual itu ternyata social order juga masih menyisakan
ruangnya di dalam kehidupan, sehingga rajutan kehidupan yang damai dan aman pun masih niscaya
keberadaannya. Melalui pemahaman tentang kebudayaan dan agama dalam kerangka antropologi
simbolik seperti ini, maka dimungkinkan untuk memahami kaitan antara agama dan lintas budaya,
sebab di tengah dunia agama yang berbeda, terkait dengan system of belief dan system of ritual, dan
representasi-representasinya (simbol-simbol), memang masih menyisakan ruang kosong yang bisa
saja disebut sebagai ruang kosong humanita

A. Studi Perdamaian

Dalam memperkuat proses pembangunan perdamaian, agama merupakan faktor yang perlu
diperhatikan, seiring dengan pertimbangan ekonomi dan politik sebagai akar konflik. Dalam hal ini,
Appleby menekankan bahwa semua agama besar memiliki tradisi yang tidak hanya dapat diaktifkan
untuk melegitimasi konflik dan perang tetapi juga dapat berfungsi sebagai sumber daya untuk
mempromosikan resolusi konflik dan perdamaian tanpa kekerasan. Dalam beberapa hal, kelompok
militan Islam tampaknya telah dan sedang menggunakan agama untuk melegitimasi dan membenarkan
konflik. Misalnya, kemunculan Boko Haram telah menjadi hambatan yang signifikan bagi
pembangunan dan pembangunan perdamaian di Nigeria. Demikian pula, Negara Islam Irak dan al-
Sham (ISIS) juga telah menggunakan perintah agama untuk menargetkan komunitas non-Muslim dan
Syiah di daerah-daerah di bawah pengaruh mereka.
Kalau berpijak pada kondisi dinamika sosialmasyarakat, masih menurut Qasim, di mana agama
dijadikan alasan pembenaran, maka agama yang senantiasa mengajarkan kedamaian dan
ketenteraman, sudah tidak relevan lagi. Akan tetapi, jika ajaran agama itu dilaksanakan sebagaimana
mestinya dan dipahami secara tepat dan tidak dipinggirkan, maka agama untuk saat ini masih relevan.
Mempertanyakan relevansi agama dengan kondisi objektif kehidupan sosial masyarakat yang tidak
stabil akibat terjadinya konflik horisontal antar umat beragama sesungguhnya menarik untuk disimak.
Mengapa? Ajaran agama, sebagaimana yang termaktub dalam berbagai kitab suci, semuanya
mengajarkan agar manusia menciptakan suasana harmoni, suasana damai dalam kehidupan mereka.
Agama sangat tidak menyukai perilaku anarkhis. Pemuka agama senantiasa mengingatkan para
pemeluk agama agar menyebarkan kedamaian dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, jika terjadi
keadaan umat beragama berbeda dengan ajaran agama yang dianutnya, tentu ada yang tidak beres.
Pertanyaan lanjutan dari kondisi tersebut, ialah mengapa terjadi ketidakberesan dalam beragama?
Siapa yang menjadi pemicunya?

Bertolak dari pendapat Winter, dapat dipahami bahwa terjadinya ketidakharmoni

san dalam masyarakat yang memeluk agama, disebabkan ajaran agama tidak diamalkan sebagaimana
mestinya. Agama di pinggirkan, demikian. Di samping itu, tidak dapat diingkari bahwa ada di antara
umat beragama, pemahamannya terhadap agama yang dipeluknya masih sebatas pemahaman parsial
dan pengakuan yang sangat emosional.

Masyarakat dunia dewasa ini, sedang bergelut dengan sejumlah problematika yang ditimbulkan
dari pemikiran modernisasi, yaitu semakin menipisnya dan dangkalnya penghayatan dan pengamalan
ajaran agama. Hal ini, memunculkan problema baru, yakni lahirnya berbagai krisis, di antaranya
kemerosotan nilia-nilai moral, berkembangnya gaya hidup korup, menipisnya kekuatan hukum, tidak
tegaknya kejujuran dan keadilan serta terkoyaknya perdamaian, kesatuan, dan integrasi sosial. Selain
itu, timbul pula sebuah fenomena sosial kehidupan masyarakat yang cenderung memberi perhatian
khusus hanya kepada hal-hal yang berorientasi untuk kepentingan material ketimbang pemekaran
nyali sprititual. Hal ini berdampak pada rusaknya tatanan dan etos kerja.

Mencari solusi yang komprehensif terhadap berbagai problema kehidupan masyarakat yang
disebutkan di atas, menurut saya, tidak lain kecuali mengaktualisasikan kembali nilai-nilai moral
keagamaan yang terdapat dalam kitab suci, dalam kehidupan masyarakat, kapan dan dimana pun juga
di muka bumi ini. Sebab hal ini berlaku secara universal untuk semua bangsa tanpa membedakan
bangsa, warna kulit, dan budaya yang mereka miliki.Tempat yang paling tepat untuk merujuk dalam
mengaktualisasilkan nilai-niali moral agama tersebut adalah ajaran-ajaran agama itu sendiri yang
dibawa oleh para nabi dan rasul, baik menyangkut soal ketuhanan maupun soal-soal moral dan akhlak
al-Karimah.

Ja’far Syah Idris, 1998:94). Salah satu wujud kemerosotan itu tercermin dalam fenomena
konglomerasi sebagai eskpresi kecemburuan sosial. (Mochtar Pabottingi, 1994:619). Dengan
demikian, jelas agama melarang terjadinya konsentrasi dan monopoli terhadap kekayaan yang juga
termasuk kekuasaan, karena hal itu akan menyebabkan terjadinya ketidakadilan. Kekuasaan dapat
berubah menjadi alat penindasan, menjadi taghout yang ujung-ujungnya melahirkan konflik sosial
mengatasnamakan agama. Islam misalnya, merupakan agama yang sangat jelas menentang terjadinya
konflik baik sesamanya maupun dengan orang yang berbeda agama. Kata Islam atau ucapan
assalamu’alaiukum merupakan sebuah doa agar orang lain merasakan kedamaian. Agama menutun
manusia ke jalan kedamaian. Allah, Tuhan Yang Maha Esa menciptakan sesuatu berdasarkan
kehendakNya. Semua ciptaanNya baik dan serasi, sehingga tidak mungkin kebaikan dan keserasian itu
mengantar kepada kekacauan dan pertentangan. Makhluk Tuhan yang diciptakan ini sebenarnya
bersumber dari satu sumber, Firman Allah (Q.S.al-Anbiya : 92). Yang artinya: Sesungguhnya (agama
Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah
aku.

Demikian pula halnya manusia, dia tercipta dari tanah melalui seorang ayah dan ibu. Oleh
karenanya manusia hidup bukan saja harus berdampingan harmonis dengan sesama manusia tetapi
juga dengan lingkungan. Bukankah ketika manusia mati, dia kembali lagi ke tanah? Persoalannya
sekarang, apakah memang setiap agama itu harus memandang satu sama lain sebagai musuh yang
harus dibenci dan dihancurkan. Tampaknya hal itu sangat tidak sejalan dengan substansi agama.
Bukankah agama Islam dan Nashrani (misalnya) memiliki ajaran keselamatan dan cinta kasih. Islam
pada dasarnya di samping pengertian lain memuat pesan dan substansi keselamatan. Ketika seorang
muslim melakukan shalat, dia mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri yang berarti dia menebarkan
dan memiliki komitmen terhadap keselamatan dan kedamaian. Demikian pula dengan agama nasrani,
agama ini memiliki ajaran cinta kasih yang menekankan pentingnya kasih dan damai.

B. Pemahaman Antarbudaya dan Agama

Melalui pemahaman tentang kebudayaan dan agama dalam kerangka antropologi simbolik seperti
ini, maka dimungkinkan untuk memahami kaitan antara agama dan lintas budaya, sebab di tengah
dunia agama yang berbeda, terkait dengan system of belief dan system of ritual, dan representasi-
representasinya (simbol-simbol), memang masih menyisakan ruang kosong yang bisa saja disebut
sebagai ruang kosong humanitas. Setiap agama memiliki sistem keyakinan yang dijadikan sebagai
pedoman untuk melakukan serangkaian tindakan dan demikian pula memiliki seperangkat ritual yang
sangat berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini memang sesuatu yang sesungguhnya harus terjadi,
dikonstruksi atau memang demikian adanya. Tetapi yang jelas melalui perbedaan sistem keyakinan
dan sistem ritual sering kali menjadi faktor utama di dalam berbagai persoalan yang menyertainya.
Konflik adalah suatu keniscayaan di tengah perbedaan yang berdasar atas pola bagi tindakan tersebut.
Akan tetapi di tengah perbedaan yang mengedepan itu, sesungguhnya masih menyisakan ruang
“integrasi” yang didasarkan atas ruang kosong humanism. Jadi proyek ke depan tentunya adalah
menemukan titik temu di antara perbedaan dengan mengedepankan dialog berdasar atas kemanusiaan
tersebut.

1. Perbedaan budaya dan agama

Kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau
penginterpretasi keseluruhan tindakan manusia. Kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan
masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat tersebut. Sebagai pola bagi tindakan (pattern
for behavior), kebudayaan berisi seperangkat pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai
makhluk sosial, yang isinya adalah perangkat-perangkat, model-model pengetahuan yang secara
selektif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan untuk
mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan. Sedangkan sebagai pola dari
tindakan (patter of behaviour), kebudayaan adalah apa yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat yang tentu saja berdasar atas pedoman yang diyakini kebenarannya tersebut. Di dalam hal
ini bisa berupa sistem kelakuaan dan produk kelakuan yang dapat dilihat dan mewujud di dalam
kehidupan sehari-hari dan dapat dimaknai berdasar atas sistem simbol yang dimiliki bersama. Makna
dalam pandangan Geertz adalah sesuatu yang bersifat shared atau bersifat publik.

Agama dalam konsepsi Geertz adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan
perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada
diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang
berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia) dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan
suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi
tersebut nampaknya secara sendiri (unik) adalah nyata ada”, Jadi, agama adalah sistem simbol yang
berfungsi menguatkan dan memberi motivasi pada diri seseorang melalui pola bagi tindakan yang
berupa konsepsi-konsepsi mengenai aturan (hukum) dan kemudian mencerminkan pula dari tindakan
yang mencerminkan kenyataan bagaimana pola bagi tindakan tersebut menjadi pola dari tindakan.
Itulah sebabnya, Geertz memandang kebudayaan sebagai pola bagi tindakan dan pola dari tindakan.

Melalui pandangan seperti ini, maka agama adalah bagian dari sistem kebudayaan, yang berisi
seperangkat sistem pengetahuan simbolik yang dijadikan sebagai pedoman untuk melakukan
seperangkat tindakan. hanya saja simbol-simbol di dalam agama adalah simbol suci yang berbeda
dengan simbol-simbol profan lainnya. Simbol suci itu ditandai dengan adanya belief, ritual dan
representasi-representasi dari keduanya

Untuk mengatasi konflik yang disebabkan oleh kekurang pahaman mengenai ajaran-ajaran agama
yang dianut oleh umat manusia, atau karena faktor suku dan ras, atau konflik sosial lainnya adalah
bahwa setiap pemeluk agama harus membangun kesadaran ”Peacemindset” dalam setiap dinamika
kehidupan. Membangun peacemindset dimaksudkan untuk merubah sistem kepercayaan (agama) dan
sistem sosial yang cenderung bermasalah yang bertujuan semata-semata sebagai alat untuk memahami
fungsi dan ciri naluri (fitrah) manusia.

Oleh karena itu, dalam rangka menerjunkan diri ke dalam sebuah kesadaran teologis misalnya,
tidak perlu menyisihkan diri kendati dalam waktu sementara dari kepercayaan yang dianut, agar bisa
bertindak objektif terhadap orang lain. Agama dan kepercayaannya tetap dipegang teguh sedangkan
perbedaan dan persamaan antara agama yang dipeluknya dengan agama orang lain harus ditunjukkan.
Berdasarkan pengertian seperti inilah maka rasa simpatik dan saling menghargai akan dapat
ditegakkan, kesepahaman dalam perbedaan yang oleh H.Mukti Ali disebut sebagai agree in
disagreement dapat dibiasakan (H.A.Mukti Ali, 1975:6-7)

Melalui kajian agama dan lintas budaya, sesungguhnya dipedomani oleh kenyataan bahwa di dunia
ini masih menyisakan ruang untuk merajut dialog tersebut. Ruang dialog itu dipandu oleh makna-
makna yang bersifat shared, yang menjadi milik bersama, yaitu dialog di dalam kerangka simbol-
simbol kemanusiaan. Ada banyak teks yang kiranya dapat disimbolkan bersama, seperti kasih sayang,
cinta kasih, rahmat untuk seluruh alam, dan sebagainya. Semua ajaran agama menghargai manusia
demikian tinggi, dan tidak ada ajaran agama di dunia ini yang bertujuan destruktif. Oleh karena itu,
ruang dialog itu akan dikembangkan di atas konsepsi ajaran yang mengandaikan “kesamaan-
kesamaan”.
DAFTAR PUSTAKA

1. M. Prakoso Aji. Jeri indrawan, “jurnal pertahanan dan bela Negara”, Home > Vol 9, No 3
(2019) > Aji
2. Prof. Dr. Nur Syam, Msi, “STUDI AGAMA DAN LINTAS BUDAYA”,
3. Muryenthi Ambarsari, analisis kontribusi agama dan budaya damai pada masyarakat
ambarawa,
4. Barsihannor, “pengantar pembelajaran perdamaian dan resolusi konflik”, NUR
KHAIRUNNISA
Jalan Perintis Kemerdekaan KM.9 No. 35 – Makassar

Anda mungkin juga menyukai