Anda di halaman 1dari 7

View metadata, citation and similar papers at core.ac.

uk brought to you by CORE


provided by Pusat Jurnal UIN Ar-Raniry (Universitas Islam Negeri)

MEMBANGUN HUBUNGAN ANTAR AGAMA


MEWUJUDKAN DIALOG DAN KERJASAMA

Taslim HM. Yasin


Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
Jl. T. Nyak Arief No. 128, Asrama Haji, Banda Aceh
Email: taslim@yahoo.com

ABSTRACT
Every religion has its own uniqueness, that distinguish between one religion to
another religion. However, the religions have many similarities as well as the
great potential that can be developed to build the state and nation. Religious
pluralism, in essence, contains the potential of the conflict, as well as containing
the potential to build cooperative relationships. It lies the importance of religious
life arrangement within a community or country. The dialogue is an important
part in problem solving, and is deemed able to solve various problems of religious
life, as long as the dialogue participants were able to show the attitude of tolerance
and mutual respect.

Kata Kunci: Hubungan Antar Agama, Dialog dan Kerjasama.

A.Pendahuluan
Dialog antar agama merupakan salah satu bentuk hubungan antar agama
yang mulai memperoleh perhatian serius menjelang akhir abad ke-20. Sekalipun
inisiatif kegiatan ini berasal dari Kristiani, namun semua agama dapat dikatakan
menyambutnya secara baik sebagai upaya menghilangkan, atau sekurang-
kurangnya mengurangi, beban trauma historis hubungan antar agama yang sarat
konflik di masa lampau dan untuk membangun saling pengertian serta kerjasama
antar agama dalam ikut memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat.1 Semangat dialog adalah semangat kebersamaan, dan semangat
sharing. Tulisan ini akan menguraikan secara singkat tentang penyebab konflik,
dan pentingnya membangun dialog dan kerjasama antar agama.
Kesadaran akan pluralisme akan membawa kita kepada kesiapan
menerima konlfik. Masyarakat yang beraneka ragam anggotanya, tentu juga
interesnya, tidak mungkin tanpa konlflik sama sekali. Konflik menunjukan bahwa
di sana terdapat ketegangan, yang mungkin di sebabkan karena pengalaman-
pengalaman diskriminasi, ketidak adilan atau kesalah pahaman yang berkaitan
denga distribusi yang tidak sama atau pembagian kekuatan atau status yang
tidaksyah dalam masyarak yang memaka. Franklin Dukes mengatakan, dalam
masyarakat yang demokratis, konflik merupakan basis untuk perubahan sosial
(social change). Kalau harus ada hubungan yang adil, kalau perubahan harus
terjadi, maka konflik yang laten harus tampak dalam semua golongan. Dalam

1
Djam’nnuri, Dialog Antar Agama, Esensia, 2001.

Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011 85


banyak situasi, konfrontasi inilah yang memaksa pengakuan akan saling
ketergantungan yang membuat negosiasi menjadi mungkin.2
Tidak adanya konflik dalam masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat
yang majemuk itu berada dalam kondisi atau hidup saling hormat, menerima dan
damai. Konflik dan integrasi dalam masyarakat berada dalam hubungan yang
bersifat diaklektis, bukan bertentangan. Keduanya merupakan aspek-aspek dari
realitas sosial yang sama. Adanya konflik dalam masyarakat adalah merupakan
hal yang penting dalam eksistensi sosial manusia. Hal ini berkaitan dengan
pencarian manusia akan pemenuhan hidupnya. Konflik bisa saja berfungsi negatif
maupun positif atau dapat berfungsi sebagai faktor integratif maupun disintegratif
di dalam masyarakat. Lewis Coser mengatkan bahwa konflik justru dapat
memberikan atau menunjukkan adanya a deinamic change yang ada dalam semua
lapisan masyarakat.3 Yang terpenting bukanlah menghilangkan konflik akan tetapi
menyelesaikannya dengan cara-cara kreatif, tanpa harus memunculkan kekerasan.
Tidak semua konflik harus mengarah kepada kekerasan. Memang
kekerasan merupakan hal yang potensial dalam situasi konflik. Akan tetapi hal ini
tergasntung kepada beberapa hal. Misalnya pada hakekat struktur dan level
konflik dalam masyarakat. Dalam struktur masyarakat yang rigid (kaku), biasanya
konflik sering terjadi. Jika struktur yang ada tidak bersentuhan dengan tuntunan
baru yang ada, tetapi bahkan menekan, maka konflik akan membawa kepada
kekerasan. Akan tetapi jika struktur memperlihatkan flexibilitas yang diperlukan
utnuk untuk memasukan tuntutanan baru, maka konflik sangat mungkin dapat
diselsaikan dengan tanpa harus melalui kekerasan.
Kekerasan merupakan produk konflik yang berkaitan dengan issu-issu
fundemntal apakah konflik itu berkaitan dengan means (cara) atau ends (tujuan)
dalam masyarakat. Jika ends dari suatu masyarakat tertentu secara umum
diterima, dan konflik secara mendasar adalah tentang means maka konflik akan
kurang violence (mengandung kekerasan). Tetapi jika ends dari masyarakat
adalah merupakan issu konflik, atau jika fondasi atau asumsi yang menjadi dasar
itu dipertanyakan, maka masyarakat akan terpecah menjadi fraksi-fraksi,
kekerasan menjadi komponen wajib dari situasi konflik semacam ini. Akan tetapi
John Galtung mengingatkan bahwa ketiadaan kekerasan (absence of violence)
tidak harus dikaburkan dengan tidak adanya konflik, kekerasan dapat terjadi tanpa
konflik.
Kekerasan juga terjadi ketika emosi agama digunakan untuk
mempromosiskan tujuan-tujuan ekonomi atau politik sehingga agama menjadi
bersifat komunalistik. Boleh jadi pemimpin gerakan ini adalah orang-orang yang
tidak beragama atau paling tidak, tidak melaksanakan perintah ajaran agama,
tetapi mereka menggunakan emosi agama dalam masyarakat. Memang agama
merupakan the deepest element dalam budaya dan sangat berpengaruh dalam
masyarakat dalam kaitan usahanya untuk mencari makna dalam hidup.4

2
Franklin Dukes, Resolving Public Conflict, Manchester University Press, 1996,
hal.164.
3
Lewis, A.Coser, The Function of Social Conflict, New York, 1959.
4
Syafa’atun Elmirzana, Pluralisme, Konflik dan Dialog, Esensia, Thn 2001.

86 Taslim HM. Yasin: Membangun Hubungan Antar Agama Mewujudkan Dialog...


B. Penyebab Konflik
Peranan agama dalam sejarah selalu merupakan hal yang ambigious. Di
satu pihak, agama telah memberikan nilai dan visi, sumber spiritualitas, prinsip-
prinsip etik dan dorongan revolusioner untuk memerangi ketidak adilan dan
penindasan dalam masyarakat. Di lain pihak, umat beragama dan institusi-institusi
agama seringkali menghalangi kemajuan ilmiah dan perkembangan sosial, dan
beberapa kondisi, juga berada dipihak kaya dan kuat yang melawan si miskin dan
lemah. Ditambah lagi mereka turut menyumbangkan ketegangan dan konflik
dalam masyarakat.
Demikianlah yang terjadi, sekalipun para penganut agama menyenggah
pandangan diatas. Sambil mengakui bahwa keonaran memang senantiasa muncul
di kalangan penganut agama, namun agama tetap tidak boleh disalahkan. Yang
salah adalah para penganutnya, karena kurang memahami sekaligus
memparaktekkan ajaran agama secara benar. Tetapi bagi yang kritis akan akan
membalik argumen di atas dengan dengan mengatakan: kalau agama itu memang
benar namun tidak mampu mempengaruhi para pemeluknya, lau bagaimana
membuktikan kebenaran agama itu? Dan apa gunanya agama yang benar namun
sama sekali tidak mapu mempengaruhi watak pemeluknya?.5
Peta dunia sekarang sedang ditandai oleh konflik dengan warna
keagamaan. Walaupun harus diakui bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor,
tetapi jelas sekali bahwa pertimbngan keagamaan dalam konflik itu dan dalam
eskalasinya banyak sekali memainkan peran. Konflik-konflik tersebut memang
mengandung hal di luar masalah keagamaan sebagi faktor penyebab, utama atau
tidak utama, seperti faktor kebangsaan, kesenjangan ekonomi, kesukuan,
kebahsaan dan lain sebaginya. Namun jelas sekali norma keagamaan tidak dapat
diabaikan, bahkan sedikit banyak mengandung semangat kebencian atas nama
sebuah agama menghadapai agama lain.6 5 Di samping itu, setiap warna
keagamaan dalam suatu konflik tentu melibatkan agama.
Menurut Knitter agama-agama sering kali mengabaikan atau tidak peduli
satu sama lain. Dia meminjam istilah dari ajaran Budhisme tentang dukkha atau
konflik dan penderitaan di atntara agama-agama, mengapa agama itu penuh
dengan tanha, yaitu memusatkan pada diri sendiri, memuji diri sebagai satu-
satunya kebenaran final, adalah karena avidya, yaitu tidak mengetahui atu sama
lain. Mengapa agama-agama tidak berusaha untuk menyeberangi batasan-batasan
budaya dan berupaya menghilangkan ketidak-tahuan satu sama lain, agama tidak
termotivasi secara tepat untuk mengatasinya. Kurang adanya inspirasi dan
landasan bersama dari agama-agama dapat membuat langkah-langkah konrit
untuk mengetahui dan menghargai agama lain.7
Memang, semua sarjana dan para mistikus tentang pengalaman yang sama
atau adanya titik temu dalam agama-agama, sekalipun mungkin benar klaim ini,
tetapi tidak cukup untuk meyakinkan mayoritas umat beriman bahwa ada
kebenaran dalam tradisi keagamaan lain dan bahwa adalah mungkin untuk belajar
atau bekerja sama dengan umat beragama lain. Kondisi sekarang telah
memberikan motivasi dan landasan bersama, di mana agama-agama dunia dapat
menghilangkan ketidakpedulian mereka dan mulai bekerjasama dalam membuat
atau menyumbangkan terbentuknya atau terwujudnya etika dan perdamaian
global.

5
Paul Knitter, Interrligious Dialogue and The Unity of Humanity, 284.

Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011 87


C. Pengertian Dialog Antar Agama
1. Perdamaian dan semangat kerjasama
Dialog adalah conversation between two or more persons or between
charaters in a novel, drama, etc..... an exchange of idea .... with a view to
reaching an amicable agreement (Jess Stein, 1984: 366). Dalam hubungan antar
agama dialog dalam pengertian seperti ini sudah dimulai pada tahun 631 M.
Dalam sebuah peristiwa yang disebut mubahalah yang diadakan di kota Madinah,
ketika orang-orang kristen dari Najran mengakui dan menerima kekuasaan Islam
yang baru tumbuh.
Studi tentang agama-agama pada hakikatnya adalah studi tentang manusia,
bukan studi tentang benda. Keyakinan agama atau iman, sebenarnya berada dalam
hati manusia. Proses perkembangan bidang studi ini dapat diformulasikan sebagai
perkembangan studi tentang it menuju studi tentang us, seperti yang diungkapkan
oleh Wilfred Cantwill Smith sebagai berikut:
The tradisional form of Western scholarship in the study of other mens
religion was that of an impersonal presentation of an “it”. The first great
innovation in recent times has been the personalization of the faiths observed, so
that one finds a discussion of a “they”. Presently the observer becomes
personally involved, so that the situation is one of a “we” talking about a “they”.
The next step is a dialogue, where “we” talk to “you”. If there is listening and
mutuality, this may become that “we” talk with “you”. The culmination of this
progress is when “we all” are talking with each other about “us”.
Pandangan di atas memperlihatkan bahwa dialog dalam arti “kami
berbicara kepada anda”, bila dalam dialog sudah tercipta saling mendengarkan
dan mutualitas (dalam tahapan proses yang belum selesai). Dialog harus berlanjut
ke tahapan berikutnya, yaitu “kita semua” berbicara sesama kita tentang masalah
kita. Di sini para peserta dialog menyatu dalam sprit kekitaan dan kebersamaan
tanpa adanya kekhawatiran dan kecurigaan satu sama lain. Menurut A.Mukti Ali
ada empat macam bentuk dialog: (1) daialog kehidupan; (2) dialog kegiatan
sosial; (3) dialog komunikasi pengalaman agama; (4) dialog untuk doa bersama;
dan (5) dialog untuk berdiskusi maslah-masalah teologis.86
Selama ini, kurangnya perhatian terhadapa perdamaian. Hal ini disebabkan
agama-gama belum maksimal untuk melakukan sharing satu sama lain, yang
memungkin mereka untuk berbicara satu sama lain, dan belajar dari orang lain.
Kurangnya perhatian terhadap perdamaian memunculkan dan meluasnya
penderitaan, dan ketakutan apa yang akan terjadi, hal ini dapat saja menjadi
faktor untuk memberikan semangat terjalinnya kerjasama antar agama.
Dunia sedang dihadapkan kepada krisis global yang mau tak mau
menuntut respons dari semua agama. Krisis ini, terutama disebabkan oleh
ketidakadilan dan eksploitasi kehidupan sosial ekonomi, ketidakadilan ras, dan
defastasi ekosistem yang mendukung kehidupan planit yang kita huni.
Isu di atas, memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mengatasi
perbedaan budaya dan agama, dan bila itu semua tidak memerlukan umat
beragama untuk saling kenal dan hormati, pasti memerlukan untuk melihat kearah
yang sama. Isu itu telah menyentuh semua agama karena berisi bentuk pertanyaan
yang tidak hanya menuntut perhatian langsusng akan tetapi tidak dapat dijawab,

6
A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta: INIS, 1992), 233.

88 Taslim HM. Yasin: Membangun Hubungan Antar Agama Mewujudkan Dialog...


tampaknya, semacam bentuk visis baru atau cara baru untuk memahami siapa kita
sebagai manusia dan bagaimana kita hidup bisa hidup dalam bumi yang penuh
penderitaan ini. Intinya penderitaan manusia telah membawa kepada perasaan
mendalam dan meluas akan perlunya “pembebasan”. Oleh karena itu, pembebasan
apapun dan bagaimanapun memperolehnya, merupakan wadah baru untuk saling
bertemunya agama-agama yang pada gilirannya diwujudkan dalam bentuk
kerjasama.

2. Menuju Kerangka Akademik


Ada beberapa konsep penting97 yang berkaitan dengan dialog akademik
dalam rangka membangun kerjasama antar agama:
a. Adanya kesadaran akan ketidak terbatasan Yang Ghaib.
Agama merupakan sosialisasi pengalaman iman, yaitu pengalaman yang
disentuh yang Ilahi. Allah yang diyakini oleh manusia, tidak mungkin
sepenuhnya ditangkap oleh kenyataan dunia ini, termasuk oleh agama
manapun.
Sesuai dengan pengalaman iman masing-masing, agama mempunyai keunikan
yang tampak dalam simbol yang digunakan untuk berhubungan dengan Yang
Maha Gaib tersebut. Adapun sombol sifatnya terbatas. Tidak ada simbol yang
sepenuhnya mengungkapkan kenyataan Ilahi yang mengatsi segalanya, maka
mengakui pluralitas agamaberarti mengakui kenyataan bahwa simbol-simbol
agama manapun mengungkapkan hubungan dengan Allah, dan sekaligus
mengakui keterbatasan simbol-simbol itu dan oleh karenanya terbuka untuk
diperkayadan memperkaya simbol agama lain.10 8
b. De-absolutisasi kebenaran
Tidak ada pengalaman keagamaan yang absolut. Masing-masing agama
berhubungan dengan Yang Maha Absolut dalam caranya sendiri yang khas
dan unik.Terdapat perbedaan antara kebenaran dengan ekpresi tentang
kebenaran. Klaim kebenaran yang absolut dalam dirinya sendiri tidak pernah
menjadi suatu kenyataan dalam ekpresi kontekstualnya.
Kebenaran selalu dinyatakan dengan keterbatasan manusia. Di sini bukan
berarti apa yang dinyatakan itu tidak benar, dan oleh karenanya tidak dapat
dipertahankan. Akan tetapi ini berarti bahwa kebenaran yang dialami dan
dinyatakan, misalnya dalam agama, harus de-absolutisasi, karena kebenaran
tersebut esensial dipengaruhi oleh faktor historis, keterbatasan linguistik dan
superstruktur sosial dan budaya. Oleh karenya pula, tiap teologi secara praktis
pun menjadi teologi kontekstual.
c. Kesadaran Saling Melengkapi
Belajar banyak dari agama-agama lain merupakan pengalaman yang tidak
dapat kita pungkiri. Hal ini tidak boleh diartikan bahwa kita sepenuhnya
mengkopi atau meminjam dari agama lain, melainkan harus dipahami bahwa
dengan bertemunya satu agama dengan agama lain, mutiara kebenaran yang

7
Banawiratma, Pluralisme, Konflik dan Dialog, Yogyakarta, Interfidei, 1999, hal. 3
8
Syafa’atun Elmirzana, Pluralisme, Konflik dan Dialog, Esensia, 2001.

Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011 89


terdapat dalam agama yang kita anut akan muncul dan potensi baru tentang
kebaikan akan semakin berkembang.
D. Kesadaran Pentingnya Dialog
Pluralisme merupakan fakta aktual yang harus kita hadapi. Penolakan
terhadap pluralisme merupakan penolakan terhadap perbedaan keyakinan yang
berkembang di tengah masyarakat. Perbedaan-perbedaan tentu saja akan
menimbulkan gejolak yang sedikit-banyaknya akan bersentuhan dengan
keharmonisan sosial. Pluralisme, sebagai problem, harus dicarikan jalan
keluarnya, bukan dengan menolak kehadirannya, seperti yang diungkjapkan oleh
Thomas Merton bahwa pluralisme merupakan kenyataan hidup yang harus
dihadapi, dan dialog merupakan salah satu cara untuk menyelesaikannya.
Hans Kung, seorang teolog Kristen liberal, mengatakan bahwa jika
bangsa-bangsa di dunia ini ingin mengahadapi persoalan yang mengancam umat
manusia, maka harus setuju penerapan konsep etika global. Inilah yang dia
maksukan dengan there can be not peace, unity, dialogue among the nations
unless there is peace, unity, dialogue among religions, (tidak akan terwujud
perdamaian, kesatuan dan dialog di antara bangsa-bangsa tanpa adanya
perdamaian, kesatuan dan dialog antar agama). Harus diakui, bahwa membangun
dialog tidak mudah, jika tidak dikatakan pekerjaan yang paling sulit. Tetapi sama
sekali tidak boleh dijadikan alasan untuk bersikap pasif sehingga tidak berbuat
apa-pun. Untuk itu harus adanya refleksi apa yang dapat diperbuat atau dilakukan
untuk keharmonisan umat beragama.
Dalam dialog, secara bersama-sama, harus selalu menciptakan atmosfir
aling memahami, saling menerima, dan saling berkolaborasi di antara umat
beragama yang berbeda. Apa yang diperlukan adalah creative praxis. Semua
agama percaya pada harmoni manusia kosmos sebagai tujuan sejarah. Kristen
menggambarkan kerajaan Allah sebagai rekonsiliasi segala sesuatu menurut
rencana Allah yang mewahyukan diri delam Kristus. Budhis percaya bahwa
seluruh alam semesta adalah saling berhubungan. Tujuan utama dari
Konfucianisme adalah harmoni. Islam menghajarkan bahwa umat manusia
sebagai komunitas universal.

E. Hambatan Dialog Antar Agama


Ada beberapa hal yang sering menghalangi terselenggaranya dialog.
Pertama, merasa diri sudah sangat sempurna, sehingga tidakn ada lagi
tempat/celah untuk masuk di dalamnya. Jika seseorang sudah merasa bahwa
dirinya telah memiliki kebenaran yang sempurna, maka dirinya tidak akan merasa
perlu untuk belajar dari orang lain yang berbeda pandangan. Sikap ini kadang
ditunjukkan dengan cara defensif. Kedua, sikap yang paling berbahaya dalam
dialog adalah kecurigaan atau prasangka negatif. Oleh karena itu, tahap awal yang
harus diperlihatkan adalah membangun saling mempercayai dan saling
menghormati. Ketiga, perbedaan budaya merupakan tantangan tersendiri untuk
menjalin dialog. Karena orang sering mengklaim bahwa budayanya paling baik
dibandingkan dengan budaya orang lain. Keempat, Ketiadaan toleransi sering kali
berkaitan dengan faktor-faktor politik, ekonomi, ras dan etnis serta perebutan
wilayah dan kekuasaan sering muncul kepermukaan menjadi penghambat
terwujudnya dialog.

90 Taslim HM. Yasin: Membangun Hubungan Antar Agama Mewujudkan Dialog...


F. Kesimpulan
Dialog antar agama telah menunjukkan perkembangan ke arah untuk
saling memahami, dan saling bekerjasama secara aktif di antara berbagai agama.
Dialog antar agama telah membuat gereja sharing nilai-nilai Injil dengan yang
lain, membuat umat Islam sharing al-Quran dengan yang lain, dan umat-umat lain
saling sharing pengalaman iman mereka dengan yang lain. Sejauh rekaman dialog
kita perhatikan, terdapat keuntungan yang dihasilkan dalam dialog tersebut, paling
tidak ada beberapa pelajaran yang dapat diambil manfaatnya.
Pertama, mempertahankan kekuatan agama dalam sejarah dan kehidupan
manusia. Di samping ada kritik negatif dan tumbuhnya pengaruh sekularisasi dan
ilmu pengetahuan serta teknologi ke dalam seluruh aspek kehidupan, tetapi agama
tetap bertahan dan diamalkan oleh setiap pemeluknya. Kedua, sepanjang abad ini,
tak satu pun agama yang mampu dan dapat menguasai agama lain dan
mengukuhkan dirinya sebagai satu-satunya agama yang benar bagi semua orang.
Ketiga, tanpa menerima pluralitas agama tampaknya dialog akan mengalami
hambatan. Sebab, setiap ancaman terhadap pluralitas, pada prinsipnya, merupakan
kendala untuk membangun dialog antar agama.

DAFTAR PUSTAKA

A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta, INIS, 1992.


Banawiratma, Pluralisme, Konflik dan Dialog, Yogyaskarta, Interfidei, 1999.
Djam’nnuri, Dialog Antar Agama, Esensia, Thn 2001.
Franklin Dukes, Resolving Public Conflict, Manchester University Press, 1996.
Lewis, A.Coser, The Function of Social Conflict, New York, 1959.
Nurcholish Majid, Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk
Generasi mendatang, Ulumul Quran.
Paul Knitter, Interrligious Dialogue and The Unity of Humanity.
Syafa’atun Elmirzana, Pluralisme, Konflik dan Dialog, Esensia, Thn 2001.

Jurnal Substantia, Vol 12, No. 1, April 2011 91

Anda mungkin juga menyukai