Anda di halaman 1dari 12

Kajian Perbandingan Antara Fikih Tradisional dan Fikih Integratif

dalam Penyelesaian Konflik Sosial

Abstrak
Konflik sosial menjadi salah satu tantangan yang signifikan dalam masyarakat modern.
Artikel ini bertujuan untuk mendalami perbandingan antara dua pendekatan hukum Islam,
yaitu Fikih Tradisional dan Fikih Integratif, dalam penanganan konflik sosial. Fikih
Tradisional, yang berakar pada sumber-sumber hukum Islam klasik seperti Al-Quran dan
Hadis, telah lama menjadi pijakan hukum dalam komunitas Muslim. Di sisi lain, Fikih
Integratif berusaha untuk menggabungkan nilai-nilai universal dan prinsip-prinsip hak asasi
manusia dengan hukum Islam tradisional. Dalam analisis perbandingan ini, kami memeriksa
perbedaan dalam konsep, metode, dan efektivitas keduanya dalam menyelesaikan konflik
sosial. Diharapkan artikel ini akan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang dua
pendekatan ini dan membantu mengidentifikasi mana yang lebih relevan dan efisien dalam
mengatasi tantangan konflik sosial di masyarakat.
Kata Kunci: Fikih Tradisional, Fikih Integratif, Konflik Sosial, Penyelesaian Konflik

Pendahuluan
Penelitian ini menggambarkan tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara
kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, etnis, agama, dan latar belakang sosial.
Keragaman ini, sementara menjadi ciri khas yang unik, juga menjadi sumber potensial
konflik. Sentimen nasionalisme yang meredup dan kesenjangan sosial yang memburuk
semakin menambah kerumitan masalah ini. Kesenjangan sosial ini disebabkan oleh berbagai
faktor, termasuk akses terbatas terhadap lapangan pekerjaan, ketidakadilan dalam sistem
hukum, dan pelanggaran hak asasi manusia. Respons terhadap masalah ini sering kali
mencakup gerakan sosial yang mengandung unsur-unsur SARA dan aspirasi untuk merdeka
dari kesatuan Indonesia.
Gerakan-gerakan sosial ini membuka tantangan kompleks yang melibatkan aspek-
aspek ideologi, politik, ekonomi, budaya, dan keamanan. Mereka sering kali saling terkait
dan tumpang tindih dalam konteks keragaman sosial yang rumit. Konflik dapat muncul baik
di tingkat individu maupun di antara kelompok-kelompok dengan latar belakang beragam.
Konflik, dalam hakikatnya, bertentangan dengan integrasi sosial yang harusnya menciptakan
kehidupan harmonis dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk mengelola konflik
dengan bijak agar bisa memunculkan integrasi.
Masyarakat saat ini, mulai dari tingkat keluarga hingga komunitas yang lebih besar,
tampaknya kehilangan panduan yang jelas dalam menjalankan integrasi sosial mereka.
Kearifan lokal yang seharusnya mencerminkan etika hidup dan bersumber dari nilai-nilai
agama dan budaya telah kabur dan terlupakan. Aturan-aturan lokal yang biasanya didasarkan
pada realitas sosial-budaya untuk menjaga harmoni dalam kehidupan sehari-hari mulai luntur.
Pertanyaan kunci dalam penelitian ini adalah: "Bagaimana kita bisa memperkuat dan
memanfaatkan kearifan lokal dalam menyelesaikan konflik sosial?" Untuk menjawab
pertanyaan ini, sejumlah langkah dapat diambil:
 Pengembangan Pendidikan dan Kesadaran Budaya: Mendorong pendidikan yang
mempromosikan pemahaman dan penghargaan terhadap keragaman budaya serta
mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal dalam kurikulum pendidikan. Ini dapat
membantu membangun kesadaran budaya yang lebih baik di kalangan masyarakat.
 Pemberdayaan Komunitas Lokal: Mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam
mengelola konflik di tingkat komunitas. Komunitas lokal dapat memiliki kearifan khusus
yang dapat digunakan untuk memediasi dan menyelesaikan konflik di tingkat yang lebih
rendah.
 Kolaborasi Antaragama dan Etnis: Membangun dialog dan kolaborasi yang kuat antara
kelompok-kelompok agama dan etnis yang berbeda untuk mempromosikan pemahaman
dan kerja sama yang lebih baik di antara mereka. Ini dapat membantu meredakan
ketegangan dan konflik yang mungkin muncul.
 Penggunaan Media dan Komunikasi yang Bertanggung Jawab: Mendorong media dan
komunikasi yang bertanggung jawab dan inklusif untuk mempromosikan pesan yang
mendukung keragaman dan integrasi sosial.
 Penegakan Hukum yang Adil: Memastikan penegakan hukum yang adil dan
perlindungan hak asasi manusia untuk mengurangi ketidakadilan sistemik yang dapat
menyebabkan konflik sosial.
 Partisipasi Politik dan Keterlibatan Sipil: Mendorong partisipasi politik yang lebih luas
dan keterlibatan sipil untuk memastikan representasi yang lebih baik dari beragam lapisan
masyarakat dalam pengambilan keputusan politik.
Penelitian ini didasarkan pada studi kepustakaan dan interpretasi konsep-konsep yang
berkaitan dengan konflik dan kearifan lokal. Melalui implementasi langkah-langkah ini,
diharapkan bahwa kearifan lokal dapat menjadi alat yang kuat dalam menyelesaikan konflik
sosial yang semakin meluas di Indonesia, menjaga harmoni, dan mempromosikan integrasi
sosial yang lebih baik.

Telaah Pustaka
Pengertian Konflik Sosial
Dalam perspektif Islam, pemahaman mengenai konflik sosial dibagi menjadi dua
bentuk utama: konflik potensial dan konflik aktual, dengan masing-masing memiliki
subkategori yang relevan.
 Konflik potensial adalah aspek pertama yang digambarkan dalam Al-Quran. Ini merujuk
pada potensi konflik yang melekat dalam diri manusia. Terdapat dua jenis utama konflik
potensial:
 Konflik Intrapersonal: Konflik intrapersonal adalah pertentangan yang terjadi dalam diri
individu. Al-Quran menggambarkan hal ini sebagai perjuangan batin antara dorongan
kebaikan (amal baik) dan dorongan keburukan (amal buruk). Contohnya, individu
mungkin merasa terpecah antara keinginan untuk berbuat baik dan godaan untuk berbuat
jahat. Konflik intrapersonal ini merupakan refleksi dari pertempuran moral yang ada
dalam hati setiap individu.
Konflik Interpersonal: Konflik interpersonal melibatkan potensi konflik antara
individu dan orang lain atau kelompok. Ini bisa muncul di berbagai tingkatan, seperti
antarindividu, dalam lingkup keluarga, dalam komunitas sosial, atau di antara kelompok
etnis, agama, atau komunitas dengan komitmen tertentu. Konflik interpersonal sering
disebabkan oleh perbedaan keyakinan, budaya, atau komitmen yang berbeda. Al-Quran
menekankan pentingnya berdamai dan menyelesaikan konflik ini melalui cara yang adil dan
moral.
Konflik aktual adalah aspek kedua dalam pemahaman Al-Quran. Ini adalah realitas
konflik sosial yang muncul ketika potensi konflik potensial diorganisir dan dimobilisasi oleh
massa. Dalam konteks ini, Al-Quran menggunakan kata-kata seperti "permusuhan,"
"perselisihan," atau "pembunuhan" untuk menggambarkan tingkat konflik yang lebih tinggi.
Beberapa contoh konflik aktual yang dijelaskan dalam Al-Quran meliputi:
 Konflik Antar Agama: Ini adalah konflik yang terjadi antara kelompok agama yang
berbeda. Al-Quran menggambarkannya sebagai "perang suci" atau "perang antarumat
beragama." Konflik ini sering muncul karena perbedaan keyakinan dan nilai-nilai agama.
 Konflik Keluarga: Konflik dalam keluarga dapat muncul karena masalah perkawinan,
harta warisan, cemburu terhadap pasangan, atau masalah lain dalam lingkup keluarga. Ini
bisa menyebabkan konflik di tingkat interpersonal.
 Konflik Sosial: Konflik sosial lebih luas dan dapat melibatkan berbagai aspek kehidupan
masyarakat, seperti konflik antarindividu, konflik dalam organisasi, konflik antarnegara,
atau konflik akibat ketidakadilan dan penindasan oleh elit terhadap rakyat.
Al-Quran tidak hanya menggambarkan konflik ini, tetapi juga memberikan panduan
tentang cara mengatasi konflik, mencari perdamaian, dan menyelesaikan perbedaan. Resolusi
konflik dalam perspektif Islam sering melibatkan penyelesaian melalui dialog, mediasi,
keadilan, dan perdamaian yang berlandaskan nilai-nilai moral dan etika agama. Islam
menekankan pentingnya mencari solusi damai dalam menyelesaikan konflik, dan upaya
untuk memperbaiki hubungan antarindividu dan kelompok-kelompok yang berkonflik sangat
ditekankan demi mencapai keharmonian dalam masyarakat.

Pengertian Fikih Tradisional dan Fikih Integrasi


Fikih tradisional adalah tradisi hukum Islam yang telah hadir sejak lama dan
bergantung pada interpretasi tekstual Al-Qur'an dan Hadis Nabi. Fikih tradisional umumnya
terikat pada salah satu dari empat mazhab fiqih utama dalam Islam: Mazhab Hanafi, Mazhab
Maliki, Mazhab Syafi'i, atau Mazhab Hanbali. Setiap mazhab memiliki pemahaman dan
pandangan hukumnya sendiri, yang diikuti oleh pengikut mazhab tersebut berdasarkan
panduan hukum yang disusun oleh ulama terkemuka dari mazhab tersebut. Di Indonesia,
khususnya sejak masuknya Islam ke wilayah Nusantara, fikih tradisional telah memainkan
peran penting dalam kehidupan masyarakat Muslim. Tokoh ulama terkemuka seperti Syekh
Abdurrauf Singkel dan Syekh Arsyad al-Banjari telah berperan dalam menyebarkan
pemahaman fikih tradisional di wilayah ini.
Meskipun fikih tradisional memiliki sejarah yang kuat dan pengikut setia, pendekatan
ini tidak selalu mampu mengakomodasi perubahan sosial, budaya, dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Salah satu alasan utamanya adalah ketertutupan ijtihad (analogi
hukum) dalam beberapa mazhab, yang berarti keterbatasan dalam kemampuan untuk
menyesuaikan hukum Islam dengan perubahan zaman. Beberapa masalah, seperti
ketidaksetaraan gender dalam sistem waris yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan
budaya, menimbulkan konflik dalam masyarakat Muslim di Indonesia.
Fikih integrasi, di sisi lain, adalah pendekatan yang mencoba menggabungkan ajaran
Islam dengan konteks sosial, budaya, dan kemajuan ilmu pengetahuan yang lebih modern.
Tokoh seperti Hazairin telah mendorong konsep ini dengan usulan pembentukan "fiqih
mazhab Indonesia." Hazairin berpendapat bahwa hukum Islam harus mengikuti
perkembangan masyarakat dan budaya lokal. Dia melakukan reinterpretasi ayat-ayat hukum
Islam, terutama dalam kasus sistem waris, dengan menggunakan metode antropologi dan
sosial untuk menjawab perubahan sosial dan memastikan keadilan dalam masyarakat
Indonesia.
Pendekatan fikih integrasi bertujuan untuk mendekatkan hukum Islam dengan
masyarakat setempat dan mengatasi ketidakcocokan antara hukum Islam tradisional dan
kondisi sosial serta budaya lokal. Dalam pandangan fikih integrasi, ijtihad, atau penalaran
hukum, adalah alat yang sangat penting untuk memastikan bahwa hukum Islam tetap relevan
dan sesuai dengan konteks zaman. Dengan demikian, pendekatan ini mencoba meminimalkan
konflik dan ketidaksetaraan yang muncul akibat ketidaksesuaian antara hukum Islam
tradisional dan realitas sosial di Indonesia.

Perbandingan Fikih Tradisional dan Fikih Integrasi


Perbandingan antara fikih tradisional dan fikih integrasi mencerminkan perubahan paradigma
dalam pemahaman hukum Islam yang mengakui perlunya menghadapi perubahan sosial,
budaya, dan kemajuan ilmu pengetahuan dengan cara yang lebih inklusif dan adaptif. Fikih
tradisional, sebagai pendekatan lama, memiliki karakteristik khusus:
 Keterikatan dengan Mazhab-Mazhab Fiqih Klasik: Fikih tradisional sangat
bergantung pada salah satu dari empat mazhab fiqih klasik, dan pengikut mazhab
tersebut mematuhi ijtihad (penafsiran hukum) ulama terkemuka mazhab tersebut.
 Kurangnya Kemampuan untuk Melakukan Ijtihad Bebas: Umat Islam yang mengikuti
fikih tradisional tidak diberi kewenangan untuk melakukan ijtihad secara bebas,
sehingga penafsiran hukum terbatas pada ijtihad para ulama mazhab.
 Keterikatan pada Pandangan dan Fatwa yang Ada: Pengikut fikih tradisional
umumnya mengikuti pandangan dan fatwa yang sudah ada dalam mazhab mereka.
Mereka mencari panduan dari ulama yang telah meninggal dan teks-teks klasik untuk
menentukan hukum yang relevan.
 Berpegang pada Tradisi dan Tafsiran Klasik: Fikih tradisional sangat mengutamakan
tradisi dan tafsiran hukum yang telah ada dalam kitab-kitab klasik fiqih, dan mereka
melihat tafsiran ulama klasik sebagai pedoman utama dalam menjalankan hukum
Islam.
Sementara itu, fikih integrasi memiliki ciri-ciri berbeda:
 Ruang untuk Melakukan Ijtihad: Fikih integrasi memberikan lebih banyak ruang bagi
umat Islam untuk melakukan ijtihad yang lebih bebas, memungkinkan penafsiran
hukum yang lebih fleksibel dalam konteks sosial dan budaya mereka.
 Mengutamakan Maṣlaḥah (Kemaslahatan): Fikih integrasi mengutamakan konsep
maṣlaḥah atau kemaslahatan dalam menentukan hukum. Ini berarti bahwa hukum
harus diinterpretasikan dengan mempertimbangkan kemaslahatan atau kebaikan
umum.
 Integrasi Nilai-Nilai Hukum Islam dengan Konteks Sosial: Fikih integrasi berusaha
mengintegrasikan nilai-nilai hukum Islam dengan konteks sosial, budaya, dan ilmu
pengetahuan kontemporer. Mereka mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan baru
yang muncul dalam masyarakat modern.
 Terbuka terhadap Perubahan dan Adaptasi: Fikih integrasi lebih terbuka terhadap
perubahan dan adaptasi hukum Islam sesuai dengan perkembangan masyarakat. Ini
memungkinkan hukum Islam untuk tetap relevan dalam situasi yang berubah.
Penggunaan Ilmu Pengetahuan Modern: Dalam fikih integrasi, ulama akan
menggunakan ilmu-ilmu sosial, ekonomi, dan ilmu pengetahuan modern untuk membantu
penafsiran hukum Islam, sehingga mengintegrasikan pengetahuan kontemporer ke dalam
penafsiran hukum Islam.
Penanganan Masalah-Masalah Kontemporer: Fikih integrasi sering kali menghasilkan
inovasi dalam penanganan masalah-masalah kontemporer seperti teknologi, ekonomi,
pernikahan, dan lingkungan. Hal ini membantu umat Islam untuk menghadapi tantangan
zaman dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
Perbandingan antara kedua pendekatan ini tidak mengindikasikan bahwa salah satu
lebih baik daripada yang lain, melainkan mencerminkan beragam pendekatan untuk
memahami dan menjalankan hukum Islam. Pilihan antara fikih tradisional dan fikih integrasi
dapat bergantung pada kebutuhan dan keyakinan individu serta situasi sosial dan budaya yang
dihadapi.

Metode Penelitian
Penelitian perbandingan antara Fikih Tradisional dan Fikih Integratif dalam penyelesaian
konflik sosial memerlukan pendekatan metodologi yang terperinci dan sistematis. Berikut
adalah penjelasan lebih rinci tentang setiap tahap dan metode penelitian yang dapat
digunakan:
1. Analisis Literatur
Tahap awal penelitian melibatkan pencarian, pengumpulan, dan analisis literatur
terkait. Ini mencakup buku, artikel ilmiah, riset terkait, dan sumber-sumber primer
seperti kitab fikih dan teks-teks relevan yang membahas Fikih Tradisional dan Fikih
Integratif. Peneliti harus melakukan pencarian yang komprehensif untuk memahami
dasar-dasar teoritis dari kedua pendekatan dan teori-teori konflik sosial yang relevan.
2. Metode Komparatif
Penelitian ini akan menggunakan metode komparatif untuk membandingkan prinsip-
prinsip fikih yang mendasari Fikih Tradisional dan Fikih Integratif. Ini termasuk
analisis teks-teks fikih yang mendasari kedua pendekatan serta aplikasi praktisnya
dalam penyelesaian konflik sosial. Data yang ditemukan akan dianalisis secara
kualitatif, dengan mengidentifikasi persamaan dan perbedaan dalam pandangan dan
pendekatan yang diambil oleh masing-masing pendekatan.
3. Wawancara
Penelitian ini juga dapat melibatkan wawancara dengan pakar fikih dari kedua
pendekatan dan praktisi yang memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik
sosial dengan menggunakan prinsip-prinsip fikih. Wawancara ini dapat membantu
dalam memahami implementasi praktis dari teori-teori fikih, serta pandangan dan
pemahaman para ahli tentang konflik sosial. Proses wawancara harus dilakukan
dengan cermat dan direkam untuk analisis lebih lanjut.
4. Studi Kasus
Penelitian ini dapat mempertimbangkan studi kasus konkret di mana Fikih Tradisional
dan Fikih Integratif telah digunakan dalam penyelesaian konflik sosial. Data dari studi
kasus ini akan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang efektivitas dan
kendala yang mungkin dihadapi dalam menerapkan kedua pendekatan ini dalam
konteks dunia nyata.
5. Analisis dan Pelaporan
Hasil penelitian, baik dari analisis literatur, komparatif, wawancara, dan studi kasus,
akan dianalisis secara menyeluruh. Temuan-temuan, kesimpulan, dan rekomendasi
akan dirangkum dalam laporan penelitian yang komprehensif. Laporan ini harus
mencakup perbandingan antara Fikih Tradisional dan Fikih Integratif dalam
penyelesaian konflik sosial, serta potensi kontribusi keduanya dalam menangani
tantangan konflik sosial modern.
Metode ini akan menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang bagaimana Fikih
Tradisional dan Fikih Integratif berperan dalam menyelesaikan konflik sosial serta bagaimana
keduanya dapat digunakan secara efektif dalam konteks masyarakat yang dihadapi oleh
berbagai konflik sosial.

Hasil
Fikih dan Konflik Sosial
Dalam konteks konflik sosial, fikih, atau hukum Islam, memiliki peran yang penting
dalam menafsirkan, mengelola, dan menyelesaikan konflik antarindividu atau kelompok
dalam masyarakat Muslim. Konsep-konsep yang muncul dalam fikih mencerminkan
bagaimana hukum Islam dapat berinteraksi dengan konflik sosial. Fikih memandang konflik
sebagai pengalaman yang lebih dalam dan melihatnya sebagai kesempatan untuk refleksi
yang mendalam mengenai identitas dan makna hidup individu serta kelompok.
Resolusi konflik dalam perspektif fikih tidak hanya berkaitan dengan menyelesaikan
perselisihan atas dasar kepentingan materi semata, melainkan juga melibatkan elemen-elemen
seperti reintegrasi sosial, pemulihan hubungan yang rusak, dan penebusan dosa sosial. Hal ini
mencerminkan bahwa proses resolusi konflik dalam pandangan fikih mencerminkan prinsip-
prinsip yang diambil dari nilai-nilai keagamaan dan spiritual, yang didefinisikan sebagai
"suci." Proses ini secara eksplisit menghubungkan individu atau kelompok dengan konteks
yang lebih besar, menciptakan makna dalam pengalaman konflik.
Identitas individu dan kelompok dalam konteks konflik sosial dapat diperkuat melalui
transformasi esensial yang terjadi saat mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang
konflik dan pendekatan resolusinya. Pengampunan dan pemulihan, yang merupakan elemen
penting dalam proses resolusi, dilihat sebagai sarana untuk mengatasi dosa sosial yang
mungkin telah berkontribusi terhadap terjadinya konflik. Oleh karena itu, pemahaman konflik
dalam fikih tidak terbatas pada aspek material semata, tetapi juga mencakup aspek spiritual
dan moral.
Pentingnya kosmologi agama dalam menentukan cara restorasi, keutuhan, dan
pengampunan dapat dicapai dalam resolusi konflik. Nilai-nilai dan cita-cita agama berperan
dalam membimbing individu dan kelompok dalam mencapai keselarasan sosial melalui
pendekatan yang mengadopsi elemen budaya yang sesuai dan relevan. Ini menekankan
bahwa resolusi konflik yang efektif harus memperhitungkan konteks budaya dan nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat.
Perbandingan antara pendekatan fikih dengan beberapa pendekatan Kristen atau Barat
dalam hal resolusi konflik mencerminkan perbedaan dalam perspektif dan fokus. Tradisi
Kristen mungkin lebih menekankan pada aspek individu dan aspirasi spiritual dalam resolusi
konflik, sedangkan Islam dan Yahudi memiliki ciri khas pendekatan timbal balik atau
tindakan sosial dalam mencapai resolusi yang mencerminkan konteks historis yang lebih luas.
Dalam Islam, peran masyarakat dan tokoh masyarakat menjadi sangat penting dalam
mencapai solusi yang dapat diterima secara sejarah dan komunal.
Fikih, dalam konteks konflik sosial, merupakan aspek hukum Islam yang memiliki
relevansi dalam menafsirkan, mengelola, dan menyelesaikan konflik antarindividu atau
kelompok dalam masyarakat Muslim. Konsep-konsep yang muncul dalam teks tersebut
mengilustrasikan bagaimana fikih dan konflik sosial dapat saling berkaitan. Fikih, sebagai
kerangka hukum dalam Islam, memandang konflik sebagai suatu pengalaman yang dapat
memunculkan refleksi mendalam mengenai identitas dan pemaknaan hidup individu serta
kelompok. Resolusi konflik, menurut perspektif ini, tidak semata-mata tentang
menyelesaikan konflik atas dasar kepentingan materi, melainkan juga melibatkan elemen-
elemen seperti reintegrasi sosial, pemulihan hubungan yang rusak, dan penebusan dosa sosial.
Proses resolusi konflik dalam pandangan fikih mencerminkan prinsip-prinsip yang
diambil dari nilai-nilai keagamaan dan spiritual, yang didefinisikan sebagai "suci." Ini adalah
suatu proses yang secara eksplisit menghubungkan individu atau kelompok dengan konteks
yang lebih besar, menciptakan makna dalam pengalaman konflik. Identitas individu dan
kelompok dalam konteks konflik sosial dapat diperkuat melalui transformasi esensial yang
terjadi saat mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang konflik dan pendekatan
resolusinya. Pengampunan dan pemulihan, yang merupakan elemen penting dalam proses
resolusi, dilihat sebagai sarana untuk mengatasi dosa sosial yang mungkin telah berkontribusi
terhadap terjadinya konflik. Oleh karena itu, pemahaman konflik dalam fikih tidak terbatas
pada aspek material semata, tetapi juga mencakup aspek spiritual dan moral. Pentingnya
kosmologi agama dalam menentukan cara restorasi, keutuhan, dan pengampunan dapat
dicapai dalam resolusi konflik.
Nilai-nilai dan cita-cita agama berperan dalam membimbing individu dan kelompok
dalam mencapai keselarasan sosial melalui pendekatan yang mengadopsi elemen budaya
yang sesuai dan relevan. Ini menekankan bahwa resolusi konflik yang efektif harus
memperhitungkan konteks budaya dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Perbedaan
pendekatan antara tradisi Kristen dan beberapa pendekatan Barat dengan tradisi Islam dalam
hal resolusi konflik. Meskipun tradisi Kristen mungkin lebih menekankan pada aspek
individu dan aspirasi spiritual dalam resolusi konflik, Islam dan Yahudi memiliki ciri khas
pendekatan timbal balik atau tindakan sosial dalam mencapai resolusi yang mencerminkan
konteks historis yang lebih luas. Peran masyarakat dan tokoh masyarakat menjadi sangat
penting dalam mencapai solusi yang dapat diterima secara sejarah dan komunal, yang
merupakan karakteristik pendekatan Islam dalam menangani konflik sosial. Fikih dan
penyelesaian konflik sosial dalam konteks yang Anda sajikan mengacu pada pemahaman
nilai-nilai Islam yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mencegah dan menyelesaikan
konflik serta mempromosikan kedamaian dan keadilan sosial.
a. Nilai Kesatuan Umat (Ummatan Wahidah) Nilai ini menekankan pada pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam umat manusia. Dalam Islam, konsep ini didasarkan pada
keyakinan bahwa manusia, meskipun berasal dari berbagai suku dan bangsa, seharusnya
bersatu dalam akidah yang sama. Ini mencerminkan ide bahwa persaingan dan konflik yang
muncul akibat keberagaman harus diatasi dengan dasar persatuan akidah dan kesatuan dalam
Tanah Air. Konsep ini juga mencakup larangan bagi umat Islam untuk berpecah belah (baca:
QS. Ali 'Imran/3: 103).
b. Nilai Keseimbangan Umat (Ummatan Washatha) Nilai ini menyoroti pentingnya
keseimbangan dalam menciptakan masyarakat yang solid. Dalam Islam, konsep
keseimbangan mengacu pada keadilan sosial dan persaudaraan universal (ukhuwah) yang
melampaui batas-batas geografis. Umat Islam diharapkan menjadi penengah yang
memberikan rasa keamanan, ketenteraman, kesejukan, dan kesejahteraan kepada sesama
manusia.
c. Nilai Rahmatan lil A'lamin Konsep ini mencerminkan ajaran bahwa Nabi
Muhammad saw diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Ini menekankan tanggung
jawab umat manusia, termasuk umat Islam, untuk memberikan berita gembira dan peringatan,
serta untuk menyempurnakan akhlak dan perilaku mereka. d. Nilai Ketertiban Tertib dan
ketertiban memiliki peran penting dalam Islam, terutama dalam pelaksanaan ibadah.
Ketertiban dalam masyarakat menciptakan situasi yang memungkinkan perdamaian dan
harmoni. Konsep ini merujuk pada aturan dan norma yang mengatur perilaku individu dan
kelompok dalam masyarakat. Pentingnya sifat-sifat seperti kelembutan, anti kekerasan,
kemurahan hati, dan musyawarah dalam menyelesaikan konflik sosial. Kelembutan dan
penolakan terhadap kekerasan adalah nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam,
yang mendukung perdamaian dan toleransi. Kemurahan hati dan kebaikan terhadap sesama
manusia adalah bagian dari praktik pemaafan, yang sangat dianjurkan dalam agama Islam.
Musyawarah, yaitu proses konsultasi dan dialog, juga dipromosikan sebagai cara untuk
memutuskan urusan dalam masyarakat.
Dalam konteks fikih, nilai-nilai ini menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan
hukum dan etika yang berperan dalam mencegah dan menyelesaikan konflik sosial.
Pemahaman dan penerapan nilai-nilai ini diharapkan dapat memastikan bahwa penyelesaian
konflik didasarkan pada prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi kedamaian, keadilan, dan
toleransi dalam masyarakat.
Kesimpulan
Perbandingan antara Fikih Tradisional dan Fikih Integratif dalam penyelesaian konflik
sosial menggambarkan dua pendekatan yang berbeda dalam konteks Islam. Fikih Tradisional,
yang telah menjadi bagian integral dari tradisi hukum Islam selama berabad-abad, lebih
berfokus pada hukum-hukum formal, prosedur, dan hukuman yang diperlukan untuk
menyelesaikan konflik. Pendekatan ini mematuhi hukum-hukum syariat dan panduan yang
telah ditetapkan dalam kitab-kitab hukum Islam. Namun, Fikih Tradisional cenderung kurang
fleksibel dan kurang mempertimbangkan konteks sosial dan perubahan zaman.
Sebaliknya, Fikih Integratif adalah pendekatan yang lebih inklusif dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat modern. Ia mencoba untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam
dengan konteks sosial dan tuntutan masa kini. Dalam penyelesaian konflik sosial, Fikih
Integratif memberikan penekanan pada dialog, mediasi, dan perubahan sosial yang positif. Ia
mempromosikan perdamaian, pemahaman, dan toleransi sebagai sarana untuk mengatasi
konflik dan mendorong perubahan positif dalam masyarakat.
Dalam kesimpulan, perbandingan antara Fikih Tradisional dan Fikih Integratif dalam
penyelesaian konflik sosial mencerminkan dua pendekatan yang berbeda dalam Islam. Fikih
Tradisional mematuhi hukum-hukum formal dan tradisional tanpa mempertimbangkan
konteks sosial dan perubahan zaman. Sebaliknya, Fikih Integratif lebih inklusif dan responsif
terhadap kebutuhan masyarakat modern, dengan penekanan pada dialog, mediasi, dan
perdamaian. Dalam penyelesaian konflik sosial, pendekatan yang memadukan nilai-nilai
Islam dengan konteks sosial dan perubahan zaman dapat membantu mencapai solusi yang
lebih efektif dan positif.

Daftar Pustaka
Abu Abdullah. Muhammad ibn Ahmad al-Anshar; al-Qurthubi. (1987). Al-Jami liAhkam al-
Qur’an (Vol. 14). Kairo: Dar al-Katib al Arabi li al-Thibaah wa al-Maaya.
Abu-Nimer, Mohammad. (1996). Conflict Resolution in an Islamic Context: Some
Conceptual Questions. Peace & Change, 21(1), 22-40.
Ahmad Musthafa al-Maraghi. (1992). Terjemah Tafsir al-Qur’an. Semarang: Toha Putra.
Al-Zastrouw. (1998). Reformasi Pemikiran (Respon Kontemplatif Terhadap Persoalan
Kehidupan dan Budaya). Jakarta: LKPSM.
Asep Sabar Aputra. (2000). Dekonstruksi Paradigma Kritis Komunitas Tradisional. Jakarta:
Bumi Selamat.
Asghar Ali Engineer. (2004). Islam Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bateson, Gregory, & Bateson, M. C. (1987). Angels Fear: Towards an Epistemology of the
Sacred. New York: Bantam Books.
Dewi Fortuna Anwar (Ed.). (2005). Konflik Kekerasan Internal. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Diana Francis. (2006). Teori Dasar Transformasi Konflik Sosial. Yogyakarta: Penerbit Quills.
Hoda Lacey. (2003). How to Resolve Conflict in the Workplace (Terj. Bern. Hidayat). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
M.F. Zenrif. (2006). Realitas & Metode Penelitian Sosial dalam Perspektif Al-Quran.
Malang: UIN Malang Press.
Said, Abdul Aziz, Lerche, C. O., Jr., & Lerch, C. O., III. (1995). Concepts of International
Politics in Global Perspective (4th ed.). Englewood Cliffs: Prentice Hall, Inc.
Said, Abdul Aziz, Funk, N. C., & Kadayifci, A. S. (Eds.). (2001). Peace and Conflict
Resolution in Islam: Precept and Practice. Lanham: University Press of America.
Tarnas, Richard. (1991). The Passion of the Western Mind. New York: Ballantine Books.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al Qur’an. (1971). Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Madinah al-Munawwasrah: Mujamma al-Malik Fahdhli thiba at al
Mash-haf asy Syarif.

Anda mungkin juga menyukai