DI INDONESIA
Alfredo Siboro
Abstraksi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dialog adalah percakapan; karya tulis yang
disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih. Secara etimologis kata
‘dialog’ berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dia dan logos yang berarti berbiacara antara dua
pihak (dwicara). Tujuan dari berdialog adalah untuk mencapai tujuan yang yang dikehedaki
oleh pihak-pihak yang berbicara. Dialog berupaya untuk memberikan pemahaman dan
pengertian tentang ajaran dan kehidupan, sehingga dengan berdialog terciptalah kerukunan,
sikap toleransi, kebersamaan, keterbukaan, sikap saling menghormati dan menghargai, saling
memahami, membina integrase, dan berkonsistensi di antara pelbagai perbedaan.2
Martin Forward menyebut bahwa dialog secara substansial terjadi apabila beberapa
hal berikut ini dapat dilakukan: pertama, adanya perjumpaan atau pertemuan. Dalam hal ini
1
Herman P. Panda, Agama dan Dialog Antar-Agama dalam Pandangan Kristen (Maumere: Ledalero,
2013), hlm. ix.
2
Bab 2 Kajian Teori (tanpa tempat, penerbit, dan tahun terbit), hlm. 16. (Makalah).
3
Yance Zadrak Rumahuru, “Mengembangkan Dialog Untuk Penguatan Misi Agama Yang
Transformatif”, dalam Kenosis, vol. 2 no. 1 (Juni 2016), hlm. 27-28.
diperlukan kesediaan dan kerelaan untuk melakukan perjumpaan tersebut. Kedua, adanya
unsur kepercayaan atau saling percaya dan saling memahami. Aspek ini penting untuk
membentuk kepercayaan diri secara baik. Ketiga, bersedia untuk berbagi dan saling melayani.
Dalam hal ini dialog dapat menjadi berarti atau berjalan dengan baik apabila terjadi
komunikasi dan interaksi antar pihak-pihak yang berjumpa secara baik pula. Keempat, dialog
memerlukan media dan perantara.
Sikap dasar dialog adalah kesadaran diri. Dalam hal ini secara praksis, untuk
berdialog, orang perlu menyiapkan diri dan bukan pertama-tama menuntut pihak lain. Sejalan
dengan pemikiran tersebut Martin Forward sebagaimana dikutip oleh Mardiatmaja (2003)
melihat bahwa terdapat tujuh sikap dasar untuk berdialog sebagai berikut:
3. orang menciptakan gerak batin antara dirinya dengan apa yang ada di luar dirinya
7. mau belajar dan rela menerima, sehingga dialog mengembangkan diri sendiri juga.
Beberapa sosiolog berpendapat bahwa agama adalah suatu pandangan hidup yang
harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya saling berkaitan
dengan semua factor yang juga membentuk struktur sosial dalam masyarakat. Karl Marx
berpendapat bahwa agama merupakan salah satu factor bagungan atas, yang pembentukannya
dipengaruhi oleh bangunan pokok.4
Teori keagamaan menurut Emile Durkheim bahwa fungsi agama adalah sebagai
pemersatu masyarakat. Agama adalah sebuah kekuatan kolektif dari masyarakat yang
mengatasi individu-individu dalam masyarakat. Pendapat ini juga dapat dikatakan bahwa
agama dengan segala ritualnya yang hidup dan dijalankan para pemeluknya sesungguhnya
dapat berdampak pada perubahan sosial dan membentuk tatanan masyarakat yang
terintegrasi.5
Secara etimologis kata ‘dialog’ berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dia dan logos yang
berarti berbiacara antara dua pihak (dwicara). Tujuan dari berdialog adalah untuk mencapai
tujuan yang yang dikehedaki oleh pihak-pihak yang berbicara. Dialog berupaya untuk
memberikan pemahaman dan pengertian tentang ajaran dan kehidupan, sehingga dengan
berdialog terciptalah kerukunan, sikap toleransi, kebersamaan, keterbukaan, sikap saling
menghormati dan menghargai, saling memahami, membina integrasi, dan berkonsistensi di
antara pelbagai perbedaan.6
4
Hotman Siahaan, Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 189.
5
Wahyuni, Perilaku Bergama (Makasar: Universitas Islam Negeri Alauddin, 2013), hlm. 1-2.
6
Bab 2 Kajian Teori…, hlm. 16. (Makalah).
7
Faizal Ismail, Islam, Konsitusionalisme dan Pluralisme (Yogyakarta: IRCiSod, 2019), hlm. 28.
Dialog lintas agama sejatinya merupakan perbincangan antara individu ataupun
kelompok yang mempraktikkan dan menghayati agama atau aliran kepercayaan. Dialog
tersebut tetap berpusat pada apa yang mereka yakini, namun terbuka dan fleksibel bagi yang
lain yang didasarkan pada asal mula dan tujuan bersama sebagai manusia, yakni
mempertahankan eksistensi. Dialog lintas agama bukan sebuah usaha yang sistematis untuk
membuat orang yang berbeda agama berpindah kepercayaan (agama), namun untuk
memberikan pemahaman agama lainnya, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Ada dua respon terhadap agama. Pertama, bersikap positif terhadap agama, karena
menilai agama berfungsi positif. Dengan menghayati dan menghidupi ajaran agamanya
dengan baik dan tulus, maka penganut itu akan berakhlak baik dan berelasi baik di tengah
masyarkat. Kedua, ada penganut agama yang salah memahami dan menggunakan ajaran
agamanya. Pemahaman yang salah mengakibatkan perbuatan yang salah. Ada juga beberapa
pihak yang bahkan memakai ajaran agama sebagai pembenaran tindaknnya yang salah.
Ada dua sikap keagamaan. Pertama, sikap ekslusivisme, yakni paham yang memiliki
kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. Mereka berpandangan bahwa
kelompok merekalah yang benar dan yang lain tidak benar atau tidak sama dengan kelompok
mereka. Mereka cenderung menyisihkan penganut agama lain. Kedua, sikap inklusivisme,
yakni paham yang terbuka akan kelompok yang lain dan menghargai kelompok lain. Sikap
ini memberi ruang dan peluang untuk melakukan dialog lintas agama.
Mengapa dialog lintas agama ini diperlukan? Sebab, para penganut agama bisa saja
hidup rukun dalam hidup bergamanya, tetapi mengalami ketegangan dengan masyarkat
dalam berinteraksi dengan penganut agama lain. Dialog sangat diperlukan untuk menghindari
dan atau atau melawan monolog. Monolog akan membawa banyak kesulitan dalam hidup
bersama. Pihak yang berbicara merasa diri benar, sementara pihak yang diam merasa tidak
berdaya untuk mengungkapkan kebenaran.
2. dialog antarumat beragama merupakan suatu proyek dua pihak internal pemeluk
agama dan antarmasyakarat
3. peserta dialog harus datang dan mengikuti dialog dengan kejujuran dan ketulusan
yang sungguh-sungguh
5. setiap peserta dialog tidak diperbolehkan melakukan pertandingan antara yang ideal
dengan yang praktis. Namun, yang dibandingkan adalah antara yang ideal dengan
yang ideal dan antara yang praktis dengan yang praktis dari rekan dialog
9. peserta dialog harus mengikuti dialog tanpa asumsi-asumsi yang kukuh dan
tergesa-tergesa mengenai perkara yang tidak disetujui.
9
Samsi Pomalingo, Membumikan Dialog Liberatif (Yogyakarta: Deepublish, 2016), hlm. 4.
10
Bab 2 Kajian Teori…, hlm. 21-23. (Makalah).
Terdapat norma-norma yang dapat dijadikan pijakan dalam dialog agama yang
bersifat keagamaan, yaitu:
1. Harus bebas dari apologi khusus. Misalnya, apabila terdapat orang Islam dan
Katolik atau penganut agama lain yang mendekati penganut agama lainnya dengan
gagasan a priori yang membela agamanya sendiri, maka ia akan mendapatkan
pembelaan yang berharga dari agama tersebut. Hal seperti ini bukanlah dialog agama,
bukan perjumpaan, apalagi saling menyumbang dan menyuburkan. Sikap apologi
harus dihapuskan jika ingin bersungguh-sungguh bertemu dengan penganut tradisi
keagamaan yang lain. Bersikap apologi mempunyai tempat dan fungsinya sendiri,
namun tidak dalam perjumpaan agama.
2. Bukan sekedar ambisi pemuka agama. Setiap dialog agama dapat terjadi dalam
tingkat yang berbeda-beda dan tiap tingkat memiliki kekhasannya sendiri. Pertemuan
resmi diantara wakil-wakil kelompok agama bukanlah berusaha mencapai kedalaman
sejauh mungkin, tetapi hanya berkewajiban memelihara tradisi. Mereka harus
memikirkan penganut yang mengikuti tradisi atau agama itu. Mereka harus
menemukan cara-cara untuk bertoleransi, bekerjasama untuk memahami dan
memecahkan problem-problem praktis.
3. Bukan sekedar sinopsium teologis. Dialog agama bukanlah sekedar usaha untuk
membuat orang luar memahami maksud keyakinan agama orang lain. Akan tetapi,
yang lebih penting adalah meresapi terlebih dahulu apa yang akan diinformasikan
sebelum menjelaskan sesuatu yang tidak masuk akal.
4. Dimensi historis penting, tetapi tidak mencukupi. Agama bukan sekedar suatu hal
yang privat juga bukan sekedar hubungan vertikal dengan yang Mutlak, melainkan
pertalian dengan umat manusia. Agama mempunyai sejarah masing-masing, namun
hal tersebut saja tidak cukup dalam melaksanakan dialog antar umat beragama. Dalam
dialog antar umat beragama harus mampu akrab dengan tradisi lama dan mampu
melihat bagaimana keadaan sekarang dari agama tersebut. Oleh karena itu,
perjumpaan agama bukanlah perjumpaan para ahli sejarah, melainkan dialog yang
hidup pada suatu medan untuk pemikiran kreatif dan jalan-jalan baru yang imajinatif,
yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau, melainkan meneruskan dan
memperkembangkannya.
5. Perjumpaan agama dalam iman, harapan dan kasih. Iman dimaksudkan sebagai
suatu sikap yang melampaui data sederhana dan juga perumusan dogmatis dari
pengakuan yang berbeda-beda. Sikap ini menyetuh pemahaman, sekalipun dengan
kata-kata dan konsep-konsep yang berbeda. Harapan dipahami sebagai sikap
mengharapkan yang melampaui segala harapan, tidak hanya dapat melewati hambatan
awal kemanusiaan, tetapi juga melewati segala bentuk pandangan yang semata-mata
duniawi dan memasuki jantung dialog seolah-olah didesak dari atas untuk
menjalankan tugas yang suci. Cinta, dimaksudkan sebagai penggerak hati yang
mendorong untuk menghargai sesama dan membimbing menemukan sesuatu yang
kurang dalam diri kita.
Spirit dialog ada dalam ajaran masing-masing agama. Hidup antarumat beragama
harus saling melengkapi. Maka, setiap orang memiliki kebebasan unutk memeluk agama. Di
Indonesia menjamin bahwa setiap orang secara bebas untuk memeluk agama yang sesuai
dengannya. Oleh karena itu, tugas umat beragama adalah mengusahakan dan menjamin
kehidupan masyarakat yang rukun dan harmonis, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Membangun dialog lintas agama menuju harmoni bukan sesuatu yang mudah.
Tantangan harmoni meliputi berbagai aspek seperti aspek sosial, politik, ekonomi, kultural,
religious, dan prikologis dari kehidupan manusia dan masyarakat. 11 Setiap agama yang ada di
Indonesia bekerja sama dalam membangun dan mengemban tugas yang sama, yaitu memberi
sumbangan positif demi terciptanya harmoni. Sementara itu agama-agama tersebut masih
juga harus berusaha membebaskan diri dair kecenderungan fundamentalisme, fanatisme,
curiga, dan keengganan memasuki dialog lintas agama.12
Ada beberapa bentuk dialog yang dapat menjadi pedoman dalam mempraktikkan
dialog lintas agama, yakni:
11
Herman P. Panda, Agama dan Dialog…, hlm. 233.
12
Herman P. Panda, Agama dan Dialog…, hlm. 234.
1. Dialog Hidup13
2. Dialog Karya14
Dialog karya berkaitan dengan kerjas sama para penganut agama yang
berbeda-beda dengan tujuan membela dan memajukan nilai-nilai manusiawi dan
spiritual yang sama seperti keadilan, damai, kebebasan beragama, dan hak-hak asasi
manusia. Transformasi sosial dan pembangunan manusia yang utuh merupakan
bidang-bidang kerja sama lintas agama.
Suatu sikap doa yang otentik juga penting dalam dialog lintas agama. Dalam
suatu doa lintas agama atau pertemuan rohani lintas agama orang-orang dapat saling
berbagi pengalaman-pengalaman rohani dan berusaha saling memahami secara lebih
mendalam. Selanjutnya, mereka juga bersama-sama mencari kehendak Allah bagi
hidup mereka baik sebagai pribadi maupun komunitas. Tujuan dialog pengalaman
rohani adalah menemukan kembali suatu hidup bersama yang lebih harmonis dari
orang-orang yang berbeda agama, dengan menyadari bersama bahwa mereka
13
Herman P. Panda, Agama dan Dialog…, hlm. 234-235.
14
Herman P. Panda, Agama dan Dialog…, hlm. 237-238.
15
Herman P. Panda, Agama dan Dialog…, hlm. 239-240.
menghidupi kekayaan kebudayaan dan warisan spiritual yang sama. Bentuk dialog
seperti ini mengandaikan suatu relasi antarpribadi dan karena itu menuntut suatu sikap
slaing percaya dan saling mengasihi.
4. Dialog Teologis16
Dialog tipe ini biasanya dilaksanakan dalam tingakatan ilmiah oleh para ahli
atau para teolog. Tujuannya adalah untuk menjernihkan kesalahpahaman serta
menegaskan bidang-bidang konvergensi dan divergensi di antara pihak-pihak yang
terlibat. Dalam dialog perlu diketahui dan dikemukakan perbedaan nyata antara
kekristenan dan agama-agama non-kristen, tetapi perbedaan itu sekalipun tidak dapat
didamaikan, tidak pernah boleh menjadi halangan untuk berdialog. Dianjurkan pula
bahwa dimensi dialog lintas agama dimasukkan pula dalam bidang Pendidikan agama
bagi kaum muda, mahasiswa, dan pelajar.
Kesimpulan
Dialog lintas agama diharapkan menjadi sebuah solusi dalam hidup keagamaan dalam
masyarakat, khususnya di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap penganut agama
harus terlebih dahulu memiliki dan memahami agamanya masing-masing dan juga agama-
agama lainnya, yang tidak hanya pada taraf simbolik, melainkan juga harus mengarah pada
agama obyektif dan subyektif. Oleh karena itu, dialog lintas agama harus dimaknai secara
ideal, yakni antara pemahaman terhadap semua agama yang ada dan dialog yang ideal yang
menjadi wadah untuk membangun hubungan sosial antarumat beragama yang harmonis,
terkhusus di Indonesia yang terdapat berbagai aliran iman kepercayaan (agama).
BIBLIOGRAFI
Bab 2 Kajian Teori. (tanpa tempat, penerbit, dan tahun terbit). (Makalah).
Panda, Herman P. Agama dan Dialog Antar-Agama dalam Pandangan Kristen. Maumere:
Ledalero, 2013.
16
Herman P. Panda, Agama dan Dialog…, hlm. 240-241.
Pomalingo, Samsi. Membumikan Dialog Liberatif. Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Siahaan, Hotman. Pengantar ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta: Erlangga, 1996.
Qorib, Muhammad. “Dialog Lintas Agama Membangun Ruang Dialog, Kerjasama, dan
Kebebasan Beragama Sebagai Hak Konstitusional”, dalam Persaudaraan, 2/XIX
(April-Juni 2021), hlm. 10.