Anda di halaman 1dari 4

AGAMA SEBAGAI DASAR KERUKUNAN UMAT MANUSIA

Agama sebagai realitas sosial manusia berpotensi untuk menimbulkan permasalahan,


sebagaimana diuraikan di depan. Permasalahan bisa muncul di dalam atau internal satu
agama, terkait perbedaan pandangan teologis (unsur doktrin, etikal-legal, naratif, ritual)),
kekuasaan pejabat agama (unsur sosial dan kelembagaan), kemudahan fasilitas (unsur sosial
dan kelembagaan), korupsi pihak internal agama (unsur materi) dll. Bisa juga muncul
masalah dari luar eksternal satu agama. Persaingan pengaruh sosial politik, persaingan jumlah
pengikut, perebutan fasilitas dan dana bantuan dll. Permasalahan dapat muncul berkaitan
dengan hubungan satu agama dengan agama lain.
Permasalahan-permasalahan tersebut sering diandaikan tidak dapat terjadi pada
agama-agama yang mengajarkan tentang moralitas, kebaikan dan penyembahan kepada
Tuhan. Namun demikian, sekali lagi harus dimengerti bahwa Agama adalah lembaga
manusiawi yang tidak bisa lepas dari kelemahan-kelemahan manusiawi.

1. Dasar Kerukunan yang Kuat


Meskipun demikian, sebenarnya, agama-agama memiliki fondasi yang amat kuat
untuk bersama-sama membangun kerukunan antarumat manusia di dunia ini. Agama-agama
berlandaskan keyakinan yang sama tentang adanya Tuhan Yang Mahakuasa, Dia Yang
Mengatasi segala sesuatu, meskipun Agama-Agama memiliki praktik-praktik ritual yang
beragam. Di dalam Kitab Suci juga ditemukan rumusan yang sama tentang dua kewajiban
pokok (Two Commandments) yaitu cintailah Tuhan dan cintailah sesama. Dua kewajiban
pokok yang sama itu lah yang menjadi dasar disusunnya A Common Word between Us oleh
para pemimpin Islam dan Kristiani di dunia pada tahun 2007 dan menjadi alasan untuk
mengajak umat Muslim dan Kristiani membangun kerukunan antar-umat manusia.
Selanjutnya, PBB memperluas ajakan tersebut bagi seluruh umat beriman dengan
memperluas dua kewajiban pokok di atas menjadi: Love of the Good and Love of the
Neighbour, ‘cintailah semua yang baik dan cintailah sesamamu’. Dalam setiap perayaan
Pekan Kerukunan antarumat Beragama Sedunia (Pekan Pertama Bulan Februari), dua
kewajiban pokok tersebut diharapkan dapat secara khusus dipraktikkan secara luas. Dengan
demikian kerukunan antarumat manusia semakin terwujud.
Semua agama memiliki misi yang sama yaitu membimbing dan menjadi jalan bagi
semua pengikutnya untuk mendapatkan keselamatan dalam arti yang amat luas, baik
keselamatan di dunia maupun akhirat (baca lagi “pandangan tentang keselamatan”). Dengan
tujuan yang sama untuk menggapai keselamatan itu, agama-agama memiliki pijakan yang
kuat untuk saling bekerja sama.
Kalau hingga saat ini, agama-agama belum berhasil mewujudkan kerukunan tersebut,
itu berarti masih dibutuhkan upaya yang lebih keras lagi. Kerja sama lintas Agama untuk
menyelesaikan pelbagai masalah sosial harus ditingkatkan, karena segala permasalahan yang
ada di dunia ini adalah permasalahan bersama seluruh umat manusia tanpa membedakan
agama. Begitu pula upaya-upaya untuk saling memahami ajaran-ajaran agama yang satu
dengan lainnya harus terus ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat
menimbulkan konflik. Dengan demikian kerja sama lintas agama tidak akan dihambat oleh
isu-isu keagamaan yang sensitif. Begitu pula, agama-agama harus terus meningkatkan
pemahaman yang benar tentang hidup beragama bagi para pengikutnya agar para pemeluk
agama-agama memiliki “religious literacy” (kemampuan memahami agama) agar para
pemeluk agama tidak jatuh ke paham fundamentalisme, radikalisme, dan terorisme.

2. Dialog antarumat Beragama


Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan agama-agama di atas dapat
diselesaikan dengan pertemuan dan perbincangan baik internal pengikut satu agama, maupun
antar pengikut agama yang satu dengan pengikut agama lainnya. Pertemuan atau
perbincangan antar dua pihak tersebut dialog (baca buku Penghayatan Agama Otentik dan
Tidak Otentik, Yogyakarta: Kanisius). Dialog antar umat beragama mutlak perlu karena
semua agama berusaha menangkap, memahami, dan berelasi dengan Tuhan yang
mahasempurna, sementara manusia serba terbatas. Pengenalan dan pemahaman manusia
tentang Tuhan selalu terbatas, dan harus disempurnakan dengan berdialog dengan pengikut
agama lainnya.
Sejak awal menganjurkan dialog antarumat beragama, Paus Yohanes Paulus II (1979) sudah
mengajarkan empat tingkatan dialog antarumat beragama, yaitu being (hidup bersama), doing
(berkarya sosial bersama), studying (tukar pandangan teologis), dan reflection atau sharing
religious experience (refleksi pengalaman iman). Dialog antarumat beragama yang dianjurkan
oleh Paus Yohanes Paulus II bukanlah hanya pertemuan dan diskusi antara para teolog dan tokoh-
tokoh agama, tetapi pertemuan dan kerja sama antarumat lintas agama dalam kehidupan sehari-hari.
Sharing pengalaman rohani dan kehidupan antartetangga yang berbeda-beda agama dapat terjadi di
dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya, gagasan Paus Yohanes Paulus II dieksplorasi lagi di dalam tujuh tataran dialog
antarumat beragama, yaitu dialog kehidupan, analisis sosial dan refleksi etis kontekstual, studi tradisi-
tradisi agama, berbagi iman dalam level pengalaman, berteologi lintas agama, dialog aksi, dialog
intraagama (JB. Banawiratma dkk, 2010).
(1) Dialog kehidupan: pertemuan dan perbincangan yang terjadi dalam kehidupan sehari-
hari bersama-sama dengan umat lain. Ini terjadi dalam kehidupan bertetangga di
tengah masyarakat yang terdiri dari masyarakat bermacam agama.
(2) Analisis sosial dan refleksi etis kontekstual: bersama-sama mempertimbangkan dan
menilai situasi kehidupan bersama-sama. Agama-agama yang diwakili oleh tokoh-
tokohnya menganalisis permasalahan sosial yang terjadi. Kemudian mereka bekerja
sama mengadakan penelitian untuk mendiskusikan permasalahan sosial tersebut.
(3) Studi tradisi agama-agama: setiap pemeluk agama mempelajari tradisi dan ajaran
agama masing-masing. Dialog internal masing-masing agama dapat dilakukan untuk
memperdalam pemahaman tentang ajaran/pandangan masing-masing agama.
(4) Berbagi pengalaman iman: dalam hidup bersama saling menceritakan pengalaman
iman masing-masing. Di dalam masyarakat, dapat pula diadakan sarasehan atau
pertemuan-pertemuan lintas agama/iman untuk mengadakan sharing pengalaman
iman. Kegiatan ini akan memperkokoh iman masing-masing pemeluk agama dan
menguatkan iman pemeluk agama lainnya, tanpa kecurigaan apapun.
(5) Berteologi lintas agama: diskusi, sharing teologi antar (tokoh) agama yang satu
dengan agama lain. Pada tingkatan para ahli agama (teolog, mahasiswa, cendekiawan)
dapat diadakan diskusi teologi lintas-agama untuk membahas masalah sosial tertentu.
Misalnya: kemiskinan, korupsi, aborsi dll.
(6) Dialog aksi: bersama-sama dengan umat beragama lain melakukan aksi sosial demi
mengatasi masalah sosial bersama. Umat lintas agama harus mengadakan aksi-aksi
bersama untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang ada. Tidaklah cukup apabila
tiap-tiap agama mengadakan kegiatan-kegiatan sendiri-sendiri. Misalnya: gereja
mengadakan pembagian sembako (Sembilan bahan pokok) bagi korban Covid 19;
masjid juga mengadakan pembagian sembakombagi korban Covid 19. Kerja sendiri-
sendiri semacam ini justru akan menimbulkan kecurigaan-kecurigaan Islamisasi atau
Kristenisasi, dan tidak akan menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Tetapi,
apabila umat lintas agama bekerja bersama-sama, permasalahan korban Covid 19
lebih dapat diselesaikan secara mendasar, tanpa ada saling curiga antaragama.
(7) Dialog intraagama: kembali merefleksikan pengalaman iman dan agama di dalam
kelompok umat seagama. Pengalaman aksi bersama di tataran (6) di atas lalu
direfleksikan di dalam persekutuan-persekutuan umat yang seagama, untuk
memperdalam iman dan memperkokoh persaudaraan.

Dialog antar umat beragama yang dilakukan di dalam praksis kehidupan bermasyarakat
sebagaimana diuraikan di atas menyebabkan “dialog menjadi kebiasaan sehari-hari bahkan
membudaya dalam kehidupan bermasyarakat” (Michel, 2010:21-22). Dengan demikian, terjadi saling
memahami antara umat beragama yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada kecurigaan dan
persaingan sama sekali, karena semua permasalahan sosial adalah masalah bersama, dan diselesaikan
secara bersama. Demikianlah, Agama dapat menjadi dasar kerukunan bagi umat manusia.
Praktik dialog antarumat beragama yang demikian ini sudah kita praktikkan di dalam
perkuliahan Pendidikan Agama di universitas ini. Para mahasiswa dari pelbagai agama berdialog
bersama di dalam menyelesaikan pelbagai masalah hidup sehari-hari mereka, entah uang kuliah,
makanan, biaya sewa kamar, kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan matakuliah dll. Mereka juga
dilatih untuk melakukan analisis sosial, tukar pengalaman iman, bahkan berdiskusi tentang ajaran-
ajaran teologi masing-masing agama. Sangat ideal, apabila kuliah Pendidikan Agama yang inklusif ini
dapat memuncak pada aksi sosial bersama dan diakhiri dengan refleksi bersama atas apa yang
dipelajari selama mengikuti kuliah Pendidikan Agama yang inklusif ini.
Di dalam kuliah Pendidikan Agama ini para mahasiswa diberi kesempatan untuk
mendengarkan pengalaman-pengalaman dari mahasiswa-mahasiswa dari pelbagai agama. Para
mahasiswa mengetahui pengalaman rohani, unsur narasi, ibadat, etika, kelembagaan, unsur materi,
dan doktrin dari pelbagai agama. Dengan belajar tentang agama bersama dalam satu kelas, mahasiswa
menjadi terbiasa untuk bertemu, berkomunikasi, dan melakukan aksi bersama-sama bersama dengan
mahasiswa yang beragama lain. Teman-teman mahasiswa dari agama-agama lain sudah tidak
dianggap lagi sebagai liyan atau others tetapi sudah menjadi “kita,” sahabat, bahkan saudara. Dengan
demikian, kuliah Pendidikan Agama yang inklusif membudayakan dialog antaragama di kalangan
mahasiswa, karena di situ terjadi komitmen dan keterlibatan personal dari sekelompok orang untuk
membuka diri dalam dialog.
Itulah yang terjadi di universitas ini. Pendidikan Agama bukan dimaksudkan untuk
mempelajari satu agama saja, tetapi mempelajari dan mendengarkan pelbagai agama. Dari budaya
dialog ini, para mahasiswa mendapatkan kompetensi dan skills berkomunikasi

3. Usaha dan Tantangan ke depan


Terlepas dari kenyataan bahwa kehidupan beragama di dunia saat ini belum sepenuh
berhasil menciptakan kerukanan antar manusia, usaha-usaha nyata telah dilakukan. Tanggal 4
Februari 2019 Paus Fransiskus dan Imam Besar Al Azhar, Syaikh Ahmed Al Thayyeb di
Abu Dhabi menandatangani “Deklarasi Persaudaraan Umat Manusia,” maka disebut
Deklarasi Abu Dhabi (silahkan baca Deklarasi ini di Google). Deklarasi ini ditindaklanjuti
dengan membentuk Komite Tinggi untuk Persaudaraan Manusia (The Higher Committee of
Human Fraternity) yang kemudian menyelenggarakan Hari Doa Sedunia atau World Day of
Prayer pada tanggal 14 Mei 2020. Hal yang menarik adalah bahwa anggota Komite Tinggi
itu berasal dari pelbagai agama, yaitu lima orang Muslim, seorang Rabbi Yahudi, dua orang
Katolik dari Kuria Roma, dan seorang dari PBB. Meskipun beragam agama, mereka dapat
bekerja secara harmonis dan menelorkan ide yang hebat. Komite ini mengusulkan agar
tanggal 4 Februari dijadikan “Hari Persaudaraan Umat Manusia Sedunia” atau World Day of
Human Fraternity.
Di samping itu PBB menetapkan pekan pertama di bulan Februari sebagai Pekan
Kerukunan antarumat Beragama Sedunia yang berlaku sejak 1 Februari 2011. Harapannya
adalah agar, selama pekan pertama di bulan Februari itu, Agama-Agama menyelenggarakan
pelbagai kegiatan yang memberikan ruang dan sarana untuk membangun kerukunan
antarumat manusia dari pelbagai Agama. Agama diharapkan menjadi sarana perekat
kerukunan, bukannya penyebab perpecahan.
Saat ini, kehidupan manusia semakin sekuler, duniawi, dan serba rasional. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan manusia semakin kritis terhadap ajaran-ajaran
agama dan praktik hidup beragama. Pengembangan kehidupan spiritual semakin banyak
mendapat tantangan dan tentu saja semakin sulit dilakukan. Keyakinan akan Mahakuasa
Tuhan semakin kabur dan tidak mudah ditanamkan. Praktik-praktik ritual juga semakin
menjadi formalisme dan kurang penghayatan mendalam. Maka wajar juga apabila kehidupan
sehari-hari untuk mewujudkan dua kewajiban pokok mencintai Tuhan dan sesama juga sulit
dilaksanakan.
Sebenarnya, kekuatan media sosial sangatlah besar untuk menyatukan umat manusia
guna bekerja sama melakukan kebaikan. Penggalangan dana dan bantuan kemanusiaan dapat
dengan mudah dilakukan melalui media sosial. Kampanye-kampanye kebaikan juga dengan
cepat dan masif dapat dilakukan. Sayang sekali, kampanye untuk melakukan hal-hal negatif
juga dapat dilakukan dengan mudah. Maka yang berkembang saat ini justru penyebaran
kebencian dan kabar bohong untuk menjelek-jelekkan pihak lain. Komunalisme atau cinta
pada kelompok sendiri secara berlebihan terus berkembang bersamaan dengan menyebarnya
kebencian pada kelompok lain. Daya kritis kepada kebenaran juga semakin lemah.
Inilah tantangan agama-agama saat ini. Karena Agama-Agama memiliki fondasi yang
kuat untuk membangun kerukunan antarumat manusia, maka Agama-Agama semestinya juga
mempunyai kekuatan yang besar untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Pengembangan literasi teknologi informasi mau tidak mau harus juga menjadi perhatian
serius dari Agama-Agama. Dengan upaya-upaya yang serius, pasti cita-cta membangun
kerukunan antarumat manusia di dunia ini juga akan terwujud.

Anda mungkin juga menyukai