Anda di halaman 1dari 35

BAB II

PERJUMPAAN LINTAS AGAMA

II. 1 Pengantar

Beragama dalam konteks masyarakat dengan tingkat pluralitas yang cukup

tinggi harus dimaknai bahwa kitapun sedang menjalankan praktek beragama bersama

dengan umat beragama lainnya. Aktivitas beragama dalam konteks pluralitas, dialog

tidak lagi hanya sekadar pilihan tetapi merupakan sebuah keharusan dalam rangka

membangun masa depan Indonesia yang lebih rukun dan damai. Salah satu cara yang

paling efektif dalam berdialog adalah dengan cara menghidupi nilai-nilai kearifan

lokal sebagai kekuatan budaya dan kekuatan agama itu sendiri.

Tema sentral yang masih sangat intens dibicarakan dan dikaji oleh para

tokoh pluralis adalah seputar dinamika perjumpaan agama-agama. Keterlibatan

agama-agama dalam upaya mencapai perdamaian adalah mendorong umatnya untuk

menabur kebaikan, merawat kerukunan dan mewujudkan keharmonisan sosial yang

berkelanjutan. Melalui kajian ini, penulis berusaha memaparkan bagaimana cara

menggunakan rujukan teori dan beberapa konsep pendukung sebagai alat yang kreatif

dalam merumuskan fakta pluralitas. Dengan maksud itu, penulis ingin menunjukkan

bagaimana dinamika perjumpaan agama-agama itu pada akhirnya mampu membuka

kebuntuan interaksi melalui ruang dialog dengan tetap menampilkan keunikan

relasional yang partisipatif.

Penelusuran dalam bab ini adalah sebuah serapan pemikiran yang melihat

semua tradisi agama-agama seturut dengan apa yang diyakini, sambil tetap fokus dan

19
mengimbanginya dengan perspektif sosiologis. Membangun kerangka berpikir

sosiologis, penulis akan menggunakan teori Jurgen Habermars,1 yakni teori tindakan

komunikatif (The Theory of Communicattive Action) yang difokuskan pada

komunikasi aksi tanpa mengabaikan komunikasi formal.

Tujuan dari pemaparan bab ini, diharapkan akan mampu menyerap sebuah

keindahan pluralitas agama dan menemukan kualitas perjumpaan dialogis antariman,

terutama yang memiliki hubungan langsung dengan pemilihan topik tesis ini, yakni:

“Satu Banjar Tiga Agama: Dinamika Perjumpaan Hindu, Islam dan Kristen di Banjar

Pegending, Bali.”

II. 2 Perjumpaan Agama di Ruang Publik

Perjumpaan agama-agama merupakan sebuah fakta pluralitas keagamaan

bagi masyarakat Indonesia, yang dengan kemampuannya memberikan respons

keterbukaan untuk saling berinteraksi di antara umat beragama itu sendiri.2 Intensitas

perjumpaan antaragama memiliki peran penting dalam menentukan kualitas

hubungan antaragama. Perjumpaan antaragama yang hendak difokuskan dalam

penulisan tesis ini adalah penelusuran secara objektif bagaimana dinamika

perjumpaan Hindu, Islam dan Kristen di Banjar Pegending, Dalung, Bali.

1
Jurgen Habermas, The Continuing Tradition I, dalam buku Jonathan H. Turner, The
Structure of Sociological Theory, Sixth Edition, (University of California, Riverside: Wadsworth
Publishing Company, 1998), 567. Dasar pemikiran Habermas: “Jika kita berasumsi bahwa spesies
manusia memelihara dirinya sendiri melalui kegiatan yang dikoordinasikan secara sosial dari para
anggotanya dan bahwa koordinasi ini dibangun melalui komunikasi - dan dalam bidang kehidupan
tertentu, melalui komunikasi ditujukan untuk mencapai kesepakatan - maka reproduksi spesies juga
membutuhkan pemenuhan kondisi rasionalitas yang melekat dalam tindakan komunikatif.”
2
Martin L. Sinaga, dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di
Indonesia, Theologia Religionum, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2000), 1.

20
Dinamika perjumpaan yang dimaksudkan di sini adalah pertama, adanya

kondisi sosial yang tenang, yang ada hanyalah interaksi sosial yang semakin solid.

Kedua, dari dinamika perjumpaan semacam itu, bukan berarti bahwa tidak pernah

mengandung potensi konflik. Potensi konflik tentu saja tetap ada, hanya saja

prosentasinya sangat kecil. Misalnya, dalam hal pembagian tanah warisan, sengketa

batas-batas tanah kepemilikan antarwarga dan lain sebagainya. Namun semua potensi

konflik tersebut dapat terselesaikan karena adanya peran tokoh-tokoh masyarakat adat

setempat yang mampu membuka ruang dialog dalam mengatasinya. Perjumpaan pada

hakekatnya selalu mengandung unsur, yakni dialog dan konflik. Hal itu juga berarti,

bahwa potensi konflik dalam dinamika perjumpaan antaragama pastilah tetap ada,

misalnya muncul bentuk klaim-klaim kesukuan dan ego kedaerahan sebagai wilayah

„istimewa‟ agama tertentu.3

Panikar, berpandangan bahwa perjumpaan agama-agama bukanlah semata-

mata pertemuan dua orang atau lebih dalam kapasitasnya sebagai pribadi saja.

Perjumpaan agama-agama bukan juga sebagai ajang perjumpaan para ahli sejarah.

Akan tetapi, perjumpaan yang dimaksudkan disini adalah suatu perjumpaan yang

mengandung dialog kehidupan, yang melahirkan pemikiran kreatif dan jalan-jalan

baru secara imajinatif yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau,

namun secara berkelanjutan terus dikembangkan.4

3
Martin L. Sinaga, dalam Tim Balitbang PGI, 8. “Fakta dari klaim semacam ini, dilihatnya
sebagai faktor pengganjal yang mewarnai hubungan antaragama; dan sewaktu-waktu ketegangan dan
konflik dalam masyarakat yang dikemas dalam format agama tersebut pada umumnya juga
menyimpan agenda-agenda dan kepentingan lain.”
4
Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Editor: Dr. A Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius,
2000), 66

21
Durkheim, berpandangan bahwa agama merupakan satu kesatuan sistem

kepercayaan dan praktik-praktik kehidupan yang berkaitan dengan yang sakral.5

Agama sangat berperan dalam mengikat dan atau menyatukan suatu komunitas

bersama.6 Sebagai suatu sistem yang terpadu mengenai keyakinan-keyakinan dan

praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral, agama pada akhirnya

dipahami sebagai suatu kekuatan komunal yang menyatu dalam satu komunitas

masyarakat yang disebut umat beragama.7 Itulah sebabnya, setiap umat beragama

yang sudah berjumpa dan berkomunikasi dengan Tuhannya, mereka bukan hanya

orang yang melihat kebenaran baru, namun dianggap sebagai pribadi yang lebih kuat

atau lebih banyak kekuatan, baik untuk bertahan dalam setiap cobaan maupun dalam

menaklukkannya.8

Agama pada akhirnya dianggap sebagai salah satu elemen kekuatan atau

ibarat semen sosial yang berguna untuk mempertahankan keutuhan kelompok

tertentu.9 Sebagai kekuatan yang membentuk kesadaran kolektif manusia, maka

agama dipertahankan, dihayati, dihidupi dan dikembangkan secara kreatif di tengah-

tengah masyarakat modern dan komunitas yang semakin ilmiah.10

5
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Bentuk-bentuk Dasar
Kehidupan Beragama, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), 76
6
Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, (Jogyakarta: IRCiSoD, 2012), 33.
“Agama hanya bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan
komunitas masyarakat di bawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum.”
7
Turner, Relasi Agama..., 471
8
Emile Durkheim, Religion and Society, dalam Theories of Society, Foundation of Modern
Sociological Theory, (New York: The Free Press, 1965), 677.
9
Bernard Raho SVD, Agama Dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta: Penerbit Obor, 2013), 47.
10
Elga Joan Sarapung, Pegantar Menegaskan Tentang Pluralisme Agama, dalam: Interfidei,
Seri Agama & Masyarakat, Prospek Pluralitas Agama di Indonesia, Harapan untuk keadilan,
perdamaian dan keutuhan ciptaan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2009), xxiii

22
Habermas memahami ruang publik sebagai area untuk mendialogkan setiap

tema relasi dan sikap hidup masyarakat. Ruang publik bisa dimana saja, dan

masyarakat secara interaktif bebas mencapai kesepakatan untuk meraih tujuan-

tujuannya sekaligus membentuk sebuah asosiasi otonom, lepas dari kepentingan

birokrasi. Partisipan dalam masyarakat secara bersama-sama membangun ruang

diskursif.11 Setiap agama pada hakikatnya adalah ”pandangan hidup” atau

”comprehensive doctrine” (doktrin yang lengkap).12 Itulah sebabnya, agama sudah

sepantasnya tetap diposisikan sebagai salah satu entitas yang penting di ruang publik,

terutama dalam alam demokrasi seperti Indonesia.13 Senada dengan itu John Titaley,

menegaskan bahwa perjumpaan diantara sesama manusia itu bukanlah terutama

perjumpaan antara dua orang pemeluk agama yang berbeda, melainkan perjumpaan

antara dua manusia Indonesia yang menghayati anugerah Tuhan yang sama terhadap

dirinya masing-masing melalui latar belakang sejarah kehidupan yang unik dalam

dirinya sendiri-sendiri menurut agamanya masing-masing.14

Pengalaman perjumpaan agama-agama pada hakekatnya memiliki kekuatan

yang istimewa karena adanya kesadaran moral dan tanggung jawab bersama,

khususnya mengenai bentuk kehidupan bersama yang manusiawi untuk saling

menghargai dan menolong di dalam segala dimensi keberagaman yang ada.15

11
Ibrahim, “Agama, Negara, dan Ruang Publik Menurut Habermas” (Catatan Penting untuk
Pluralisme Agama di Indonesia), FISIP-UKIM Maluku, Jurnal: Badati Volume II, No. 3, (Desember
2010), 1-10
12
Jurgen Habermas, Between Naturalism and Religion, (Polity: Cambridge, 2008), 111.
13
Ibrahim, Agama, Negara, Dan Ruang Publik Menurut Habermas, 1-10.
14
John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga; Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi
Agama-agama, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 168.
15
Sun Choirol Ummah, “Dialektika Agama Dan Negara Dalam Karya Jurgen Habermas”,
Humanika, Vol. 16 No. 1, (September 2016), 79-92.

23
Perjumpaan agama-agama, harus dipahami bahwa untuk alasan apapun, terutama

alasan-alasan religius dari masing-masing kelompok yang berbeda itu boleh

diungkapkan secara jujur dan terbuka, sebab yang berjumpa itu semuanya adalah

orang beriman menurut tradisi keagamaannya masing-masing.16

Ruang publik berarti ruang umum yang terbuka untuk semua masyarakat,

bukan tempat fisik tertentu tetapi semacam ide atau konsep tentang keseluruhan

interaksi sosial termasuk interaksi lintas agama dimana masyarakat yang beraneka

ragam berjumpa dan berkomunikasi satu sama lain.17 Semua pihak dari elemen

masyarakat melalui perjumpaan itu, harus mampu belajar dari kekayaan tradisi agama

yang berbeda, lalu menemukan nilai-nilai keberagaman yang ada untuk dipakai

sebagai modal sosial yang dianggap bermanfaat bagi kehidupan bersama. Ruang

publik harus menjadi locus perjumpaan dan ajang penyatuan komitmen dalam

mendamaikan konflik-konflik, menganulir klaim-klaim yang bersaing dan menyikapi

secara bijak perbedaan-perbedaan yang nyaris tak terselesaikan.18 Ruang publik

merupakan arena perjumpaan yang dapat diakses oleh setiap elemen masyarakat,

termasuk umat beragama. Ruang publik tidak boleh menjadi arena perjumpaan

eksklusif bagi kelompok tertentu.

Warga negara dan warga agama mempunyai hak dan kesempatan yang sama

dalam menyatakan argumentasi mereka dalam setiap perjumpaan yang terselenggara.

Ruang publik merupakan elemen fungsional sebagai arena dalam melindungi


16
Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, Suatu Study Tentang Pandangan Para
Teolog Muslim dan Kristen Mengenai Hubungan Antaragama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
544.
17
Nina Mariani Noor (editor), Manual Etika Lintas Agama Untuk Indonesia, Geneva:
Globethics, 2015, 18.
18
Nina Mariani Noor (ed.), Manual Etika Lintas Agama Untuk Indonesia, 20-21.

24
plularisme budaya, agama dan kelompok sosial lainnya.19 Artinya dapat berguna

dalam memobilisasi komunikasi diantara para warga yang berbeda keyakinan,

sehingga tercipta saling pengertian dan saling belajar diantara mereka.

Weber, menyatakan bahwa agama adalah sumber dinamika perubahan

sosial, dan bukan hanya sekadar sebagai penguat stabilitas masyarakat.20 Agama

merupakan bagian dari jaringan sosial yang lebih luas dari pranata-pranata sosial

yang membentuk masyarakat. Agama muncul sebagai bagian untuk memberikan

makna. Kebutuhan untuk memberikan makna dalam berhadapan dengan aneka

macam kesulitan hidup.21 Agama adalah cara yang juga digunakan manusia untuk

berhadapan dengan lingkungan sosial-ekonomi, politik, dan alam. Agama menjadi

sumber pilihan bagi setiap proyek dalam mengkonstruksi identitas pribadi.22 Bagi

masyarakat moderen agama menjadi salah satu sumber perasaan perseorangan akan

rasa memiliki dan identitas. Oleh sebab itu nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama sangat

mempengaruhi perubahan yang terjadi dalam masyarakat.23

Agar kebebasan beragama lebih dimaknai dan dihayati secara bebas, maka

dimensi pluralisme dalam ruang-ruang perjumpaan menjadi penting untuk

dikembangkan. Selain daripada itu, yang perlu dikembangkan oleh masing-masing

agama adalah sisi sosiologis, di mana adanya kesediaan saling menerima, terbuka

satu dengan yang lain, dengan tujuan untuk mengawasi kebebasan secara

19
Jurgen Habermas, Ruang Publik, Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis,
(Yogyakarta: 2010), 106.
20
Max Webber, Sosiologi Agama a Handbook, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 33.
21
Max Webber, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), 76.
22
Weber, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, 76.
23
Turner, Relasi Agama & Teori,...161

25
bertanggungjawab. Melalui perjumpaan tersebut, pluralisme agama semakin

menumbuhkan dirinya dan menyampaikan pesan terbaiknya, betapa hidup ini

sungguh berharga, khususnya kalau dijalani secara bebas di hadapan Tuhan.24

Perjumpaan yang dimaksudkan di sini juga adalah dipahami sebagai satu

ajang pertemuan antarindividu atau komunitas tertentu, di mana kedua belah pihak

dapat membuat kesepakatan untuk berjumpa kapan saja. Setiap pihak yang bertemu

akan saling berinteraksi, bertukar pikiran, saling mendengarkan, berdiskusi,

berdialog, berbagi, menerima dan saling mempengaruhi.25 Perjumpaan yang

dilakukan itu adalah dalam rangka membangun hubungan-hubungan sosial yang

dinamis, terutama juga yang menyangkut relasi antaragama. Perjumpaan semacam ini

merupakan sebuah proses sosial yang secara sengaja dibentuk untuk memenuhi

kebutuhan hidup bersama dalam konteks keberagaman yang ada.26

II. 2.1 Berjumpanya Agama-agama: Merawat Kerukunan

Perjumpaan agama-agama, pada prinsipnya adalah kesediaan membuka diri

untuk berdialog sebagai prinsip dasar dalam merawat kerukunan dan menghindari

potensi konflik di tengah-tengah masyakarat plural.27 Pengalaman perjumpaan lintas

agama, pasti selalu mengandung dua hal, yaitu dialog dan konflik. Namun, pada

24
Martin Lukito Sinaga, Beriman dalam Dialog, Esai-esai Tentang Tuhan dan Agama,
(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2018), 56.
25
Darius Dubut, Satu Bumi, Rumah Ibadah Bersama: Dialog dan Panggilan Bersama Antar-
Iman, dalam: Misi Baru Dalam Kemajemukan, Teologi Lintas-Iman dan Lintas-Budaya, Buku
Penghormatan 80 Tahun Prof. Dr. Olaf Schumann, (Tomohon: UKIT PRESS, 2018), 177.
26
Elly M. Setiadi, Pengantar Sosiologi : Pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial:
Teori, Apllikasi dan pemecahannya, (Jakarta: Kencana Preneda Media Group, 2011), 92.
27
Khotimah, “Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama”, USHULUDDIN, Vol. XVII
No. 2, (Juli 2011), 214-224.

26
bagian ini penulis tidak mengulas persoalan konflik dalam dinamika perjumpaan

agama-agama. Akan tetapi lebih banyak menelusuri dimensi relasi dialog dalam

perjumpaan antaragama sebagai cara merawat kerukunan.

Sutarno, mengatakan penganut agama yang baik adalah penganut yang

berusaha menerapkan dan memberlakukan iman serta ajaran-ajaran agamanya bagi

dan dalam seluruh aspek kehidupannya.28 Setiap umat beragama harus merasa

terpanggil dan memiliki rasa tanggungjawab moral berperan aktif dalam menjaga dan

merawat kerukunan hubungan antaragama. Agama dan masyarakat sebagai institusi

sosial harus berfungsi sebagai alat perekat dalam menjaga dan merawat kerukunan

hubungan lintas agama.29

Hakekat perjumpaan antaragama, pada prinsipnya adalah bertujuan untuk

meningkatkan kualitas interaksi dan kerukunan antarumat beragama. Dialog adalah

suatu jalan keluar untuk mencairkan kembali fungsi dialog yang mungkin saja sempat

mengalami kesenjangan komunikasi (communication gap).30

Kesenjangan komunikasi bisa saja terjadi sebelumnya, oleh karena adanya

kevakuman interaksi sosial lintas agama. Kevakuman itu terjadi biasanya dipicu oleh

suatu keadaan yang sering terjadi dalam masyarakat yang sedang berubah, dan itulah

yang disebut dengan potensi konflik mulai muncul. Potensi konflik yang muncul,

biasanya disebabkan oleh berbagai kepentingan yang menyertainya. Syaiful Hamali,

mengatakan kepentingan-kepentingan tersebut biasanya dilatarbelakangi oleh

28
Sutarno, Di dalam tetapi tidak dari Dunia, Pemikiran Teologis Tentang Pergumulan
Gereja dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), 258.
29
Sutarno, Di dalam tetapi tidak dari Dunia, 259.
30
Sutarno, Di dalam tetapi tidak dari Dunia, 268.

27
perbedaan nilai dalam proses perubahan. Selain itu, faktor pemicu terjadinya potensi

konflik adalah karena sistem nilai dalam masyarakat yang mempunyai korelasi

dengan perbedaan tabiat, karakter, dan tindakan sosial masyarakat itu sendiri.31

Retnowati, berpendapat bahwa berbagai konflik sosial bernuansa agama,

pada dasarnya disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya, antara lain:

faktor ekonomi, politik, budaya, bahkan faktor agama itu sendiri dapat menyebabkan

disintegrasi sosial.32 Namun, bukan berarti konflik itu tidak dapat diselesaikan, hanya

saja tergantung kepada setiap pihak yang mau berjumpa, apakah mempunyai niat baik

untuk menyudahi pertikaian atau tidak. Semua pihak seharusnya memiliki sikap

terbuka dan pengendalian diri untuk bersatu dan saling memaafkan, demi

terwujudnya masyarakat yang damai dan harmonis.

Perjumpaan antaragama yang dikemas dengan niat hati yang tulus dan mulia,

pasti akan menghadirkan kualitas relasi agama-agama yang bermartabat. Semua

pihak yang terlibat dalam perjumpaan itu, memiliki keterpanggilan moral dan rasa

tanggung jawab untuk menjawab setiap kebutuhan umat beragama yang

mendambakan suatu kohesi sosial yang rukun dan damai.33

Akhirnya, perjumpaan antarumat beragama yang berkelanjutan adalah salah

satu cara yang cukup efektif dalam merawat kerukunan antarumat beragama. Oleh

sebab itu, perjumpaan agama-agama sudah seharusnya menjadi suatu tradisi dalam

kehidupan masyarakat plural. Tradisi semacam ini, tentu akan dapat mendorong suatu
31
Syaiful Hamali, “Konflik dan Keraguan Individu dalam Perspektif Psikologi Agama”, Al-
AdYaN, Vol. VIII No. 1 (Januari-Juni, 2013), 27-44.
32
Retnowati, “Agama, Konflik dan Integrasi Sosial Refleksi Kehidupan Beragama di
Indonesia: Belajar dari Komunitas Situbondo Membangun Integrasi Pasca Konflik”, Universitas
Kristen Satya Wacana: Sangkep, Kajian Sosial Keagamaan, Vol. 1 No. 1, (Januari-Juni 2018), 1-28.
33
Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, 548.

28
rumusan pemikiran sosiologis yang mengedepankan toleransi, keterbukaan, saling

pengertian, hormat-menghormati dan kerja sama antarumat beragama sebagai gaya

hidup orang bersaudara sekalipun didalamnya sadar akan adanya perbedaan.34

II. 2.2 Inklusivitas Keberagamaan

Inklusivitas merupakan sikap umum terhadap penganut agama lain.35 Sikap

inklusif adalah cara pandang keberagamaan seseorang bahwa di luar agama yang

dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna

agamanya.36 Hal ini merupakan cara berfikir yang lebih terbuka dan menghargai

perbedaan, baik perbedaan dalam bentuk pendapat, pemikiran, etnis, tradisi

berbudaya hingga perbedaan agama.37 Sikap inklusif adalah cara bagaimana

memandang agama-agama lain sebagai bentuk implisit dari agama kita.38 Sikap

terbuka tersebut, kemudian dapat dipahami sebagai bentuk prasyarat utama dalam

membuka relasi dialog antaragama. Dialog antaragama itu diadakan tentu dengan

tujuan yang beradab, agar tidak lagi ada pembenaran absolut dan ekstrim dalam

berpendapat bahkan dalam beragama, melainkan semuanya mengarahkan cara

pandang pada sebuah tujuan untuk menemukan kebenaran universal dalam setiap

34
Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, 548.
35
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2003), 38.
36
Nurcholish Madjid, dalam Kata Pengantar Grose & Hubbard (ed), Op.Cit, hal. xix
37
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Corss-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 34.
38
Muhammad Rajabul Gufron (Penerima Beasiswa LPDP Republik Indonesia), 27 Agustus
2017, Membangun Sikap Toleransi Antarumat Beragama dalam Masyarakat Multikultural, diakses
pada 21 Oktober 2019, lombokita.com/membangun-sikap-toleransi-antarumat-beragama-dalam-
masyarakat-multikultural/4/.

29
perbedaan dan sekadar untuk tidak ada lagi rasa saling mencurigai.39 Pemahaman di

atas, sekaligus menegaskan bahwa inklusivitas beragama, secara sederhana identik

dengan sikap terbuka, toleransi dan mau menerima orang lain tanpa dibayang-bayangi

oleh rasa sikap curiga. Sikap ini hendak menyerukan sikap keterbukaan agama-agama

dan percaya bahwa ada banyak jalan menuju keselamatan. Karena itu tujuan dari

sikap semacam ini adalah menggiring pengikutnya ke arah yang realistis sebagai

pengalaman baru yang menempatkan agama sebagai kekuatan moral yang

membendung kekerasan dan sikap intoleransi.

Cara pandang dan sikap semacam ini bisa diimplementasikan dengan

memaknai keberagamaan yang memberikan ruang kebebasan bagi setiap orang dalam

menentukan, memilih dan menjalankan ajaran agamanya berdasarkan keyakinan

pribadinya. Semua pihak dalam konteks kemajemukan, harus bisa menerima bahwa

keragaman organisasi keagamaan itu berfungsi sebagai unit-unit sosial yang

kompetitif. Karena itu, perlu membangun kesadaran dan kepekaan terhadap

kemajemukan serta keragaman.40

Yewangoe, berpendapat bahwa pluralisme tidak dapat dipahami hanya

dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari

berbagai suku dan agama, namun pluralisme juga harus dipahami sebagai “pertalian

sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Pluralitas adalah sesuatu yang

diberikan (given). Fakta kemajemukan Indonesia telah menunjukkan bahwa

39
Zulkifli Nelson dan Dardiri, “Inklusivisme dan Humanisme Pesantren”, UIN Sultan Syarif
Kasim Riau, TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8 No. 2, (Juli-Desember 2016),
134-151.
40
Tipologi Sikap Beragama, diakses pada 21 Oktober 2019,
https://uinsgd.ac.id/berita/tipologi-sikap-beragama/

30
didalamnya terdiri dari ribuan pulau, suku, bahasa dan budaya bahkan sekian banyak

agama, fakta itu tidak bisa ditolak dan tidak boleh dinafikkan.41

Paradigma inklusivisme ini bertolak dari suatu pemikiran bahwa semua

agama dengan segala ajarannya, mampu menyediakan jalan keselamatan yang dapat

menyelamatkan umatnya sejauh mereka (umat) hidup dalam ketulusan hati terhadap

Tuhan. Di dalam perjumpaan antarumat beragama, hampir tidak pernah terjadi

konflik sosial, karena masing-masing bisa mengakui dan mampu menghargai

perbedaan. Sikap inklusif menganggap agama lain mengandung elemen kebenaran,

tapi kebenaran dalam agamanya masih superior.42 Sikap inklusif dapat dipahami

sebagai bentuk sikap yang sadar akan perbedaan ajaran agama masing-masing.

Masing-masing umat beragama seharusnya memiliki semangat inklusif, yang hadir

di tengah masyarakat plural dan mampu melihat, menimbang, memutuskan dan

bertindak secara wajar dan beradab.

Inklulsivisme yang dilandasi toleransi itu tidak berarti bahwa semua agama

dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu penghormatan akan kebebasan dan hak

setiap orang untuk beragama. Perbedaan agama tidak boleh menjadi penghalang

untuk saling menghargai, menghormati, dan kerjasama.43 Sebagai umat beragama

yang bersikap inklusif, umat tersebut selalu hadir di tengah-tengah masyarakat untuk

berjuang dan membawa perubahan bagi kehidupan sosial setempat.

41
A.A. Yewangoe, Allah Mengizinkan Manusia Mengalami Diri-Nya; Pengalaman dengan
Allah dalam Konteks Indonesia yang Berpancasila, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2018, 362-363.
42
Mun‟im Sirry, Mempertanyakan Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme Dalam Beragama,
20 Mei 2016, diakses pada 22 Oktober 2019, https://geotimes.co.id/kolom/mempertanyakan-
eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme-dalam-beragama/
43
Abu Bakar, “Argumen Al-Qur‟an Tetang Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme”,
Jurnal TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama, Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni 2016), 43-60.

31
Berdasarkan pandangan di atas, maka dapat dipahami bahwa ada semacam

kesadaran moral dimana sebagai sesama umat manusia, kita harus hidup dan saling

menghidupkan, sehingga tercipta suatu masyarakat yang rukun dan damai. Jadi sikap

inklusif ini pada hakekatnya lebih berorientasi pada pengembangan sikap untuk

saling menghargai, saling menghormati, dan saling memberdayakan

menuju masyarakat yang harmonis.

II. 2.3 Toleransi Antarumat Beragama

Toleransi dari kata bahasa Latin tolerare, yang berarti membiarkan,

mendiamkan yang lain sejauh tidak mengganggu. Toleransi berarti setiap orang harus

menghargai kemajemukan, kerena toleransi adalah persoalan penerapan prinsip ajaran

agama, yang didalamnya setiap penganut masing-masing agama wajib melaksanakan

ajarannya tanpa harus mengganggu dan mengusik ajaran agama orang lain.44

Menurut kamus bahasa Inggris-Indonesia, tolerance diterjemahkan sebagai

toleransi, kesabaran, lapang dada. Tho show great tolerance yang berarti

memperlihatkan sifat sabar yang ditunjukkan individu atau kelompok dalam kata-

kata dan tindakan dalam kehidupannya sehari-hari. Hal itu berarti, bahwa setiap

orang yang mempunyai sikap toleransi adalah orang yang memiliki sikap sabar,

lapang dada.45

44
Aris Angwarmase, Mencari Landasan Pluralisme: Belajar Pada Nurcholis Madjid, dalam:
Interfidei, Seri Agama & Masyarakat, Prospek Pluralitas Agama di Indonesia, Harapan untuk keadilan,
perdamaian dan keutuhan ciptaan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2009), 13.
45
Adi Ekopriyono, The Spirit of Pluralism: Menggali Nilai-Nilai Kehidupan, Mencapai
Kearifan, (Jakarta: Elex Media Komputindo Tahun : 2005), 163.

32
Syafi‟i Anwar, tokoh intelektual muslim, berpendapat bahwa toleransi itu

adalah mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Baginya, yang

terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama

orang lain. Artinya, sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang

sangat fundamental dan inheren dari hak asasi manusia.46

Toleransi dalam masyarakat harus muncul dari kedua belah pihak.

Masyarakat pada umumnya selalu berpandangan bahwa sikap toleransi itu hanya

dilakukan oleh kelompok masyarakat dominan (mayoritas) terhadap kelompok

masyarakat kecil (kaum minoritas). Cara pandang semacam itu tentunya sangat

keliru. Sikap toleransi itu sesungguhnya bisa dilakukan oleh semua pihak (mayoritas-

minoritas) tanpa terkecuali, karena tujuannya sama yakni tercapainya tujuan hidup

bersama yang rukun dan damai.

Masyarakat dengan tingkat kemajemukannya cukup tinggi, ada juga yang

mampu menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi bahkan mampu memperagakan

identitasnya sebagai masyarakat yang bermartabat. Mereka selalu berupaya untuk

memperlihatkan bahwa dalam komunitas yang plural Mereka mampu menerima

perbedaan yang ada sekali pun mereka berasal dari kelompok-kelompok yang

dominan.

Menjunjung tinggi rasa toleransi antarumat beragama, merupakan sikap yang

penting untuk dihidupi sebagai gaya hidup komunitas plural secara berkelanjutan.

Implementasi dari sikap toleransi itu, tidak boleh hanya berlaku secara simultan baik

46
Syafi‟i Anwar, , Pluralisme, Bukan Sekadar Toleran, 26 Juni 2006, diakses pada tanggal 22
Oktober 2019, https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/pluralisme-bukan-sekadar-toleran/

33
terhadap sesama pemeluk agama yang sama maupun terhadap mereka yang berbeda

agama. Pemahaman mendasar yang paling penting dalam „menularkan‟ sikap

toleransi adalah adanya niat hati yang kuat dalam memahami orang lain tanpa merasa

harus kehilangan jati diri sendiri. Mengenal dan memahami pribadi orang lain akan

memudahkan jalan untuk mengenali dan menjalin kerjasama.47

Sikap toleransi yang dimaksudkan itu, bisa dimulai dari hal-hal yang kecil

namun bermakna, praksis dan relevan bagi yang membutuhkan. Maksudnya hal itu

bisa diwujudkan dalam bentuk aksi nyata seperti, secara bersama-sama semua pihak

berkepentingan sebagai pemuka agama. Tokoh masyarakat dapat saling bersinergi

dalam hal dukungan urusan perijinan pembangunan rumah ibadah oleh pemerintah,

sepakat untuk menghindari sikap saling menghina, menista dan menghakimi umat

lain, bahkan mengijinkan umat lain untuk beribadah sesuai dengan jadwal

peribadahan menurut keyakinannya masing-masing.

Pluralisme tidak bisa lepas dari toleransi. Keduanya merupakan satu

kesatuan yang harus diterima sebagai sebuah relaitas sosial.48 Jikalau demikian

adanya, maka sikap toleransi antarumat beragama harus didemonstrasikan dalam

tampilan kehidupan sehari-hari secara natural dan objektif, baik itu melalui sikap

saling membantu, maupun komitmen untuk menjauhkan diri dari sikap saling

intimidasi dan diskriminasi terhadap agama tertentu, terutama saat mereka

membutuhkan pertolongan.
47
Iron Sarira, Maret 2019, Toleransi Dalam Perspektif Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme Terhadap Kajian Penyelesaian Konflik, April 2019, diakses pada tanggal 23
Oktober 2019, https://business-law.binus.ac.id/2019/04/04/toleransi-dalam-perspektif-inklusivisme-
pluralisme-dan-multikulturalisme-terhadap-kajian-penyelesaian-konflik/
48
Ryandi, “Antara Pluralisme Liberal dan Toleransi Islam”, Jurnal KALIMAH, Vol. 11, No.
2, (September 2013), 251-270.

34
Pemahaman yang matang disertai dengan sikap toleransi yang bermartabat,

tentunya sangat menguntungkan bagi semua pihak dan bisa menjadi „model‟ dalam

rangka membangun dan mengembangkan gaung perdamaian dan kerukunan

antarumat beragama. Setiap masalah yang bersinggungan terhadap masalah suku, ras

dan agama, maka sikap prioritas yang patut ditampilkan dalam penyelesaian masalah

tersebut adalah sikap pengendalian diri tanpa harus saling menyalahkan. Forum

dialog para pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemerintah tetap dibutuhkan

sebagai langkah-langkah strategis yang sangat membantu dalam merumuskan

pencapaian solusi yang terbaik agar tidak merugikan pihak manapun, dan sebisa

mungkin malah menguntungkan semua pihak.

II. 2.4 Kerukunan Antarumat Beragama

Kata rukun dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah sesuatu yang

harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, rukun juga berarti baik, damai, tidak

bertengkar, bersatu hati dan bersepakat. Kerukunan juga berarti perihal rukun, rasa

rukun atau kesepakatan.49 Kerukunan adalah gaya hidup, tindak gerak, sikap dan

perbuatan bagi setiap umat yang memeluk suatu agama dengan aman, damai,

tenteram, berlapang dada yang berdasarkan saling pengertian dan saling hormat-

menghormati.

Kerukunan merupakan panggilan moral bagi setiap umat beragama.

Kerukunan sejati hanya dapat terwujud ketika semua pihak secara bersama-sama dan

49
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet IV, Jakarta:
Balai Pustaka, 1995), 850

35
secara interaktif mencari kebenaran bersama yang lebih tinggi, yakni kebenaran

Allah. Oleh karenanya, kerukunan sejati merupakan proses yang dinamis. Ia tidak

sekali jadi.50 Kerukunan tidak mungkin pernah ada jika tanpa adanya masyarakat,

karena masyarakat adalah objek interaksi sosial dalam konteks wilayah tertentu

dimana masyarakat itu sendiri berada.

Menurut Sai Agil Husin Al-Munawwar dalam bukunya Fiqih Hubungan

Antar Agama mengatakan bahwa:

Kata rukun pada awalnya adalah menjadi terminologi agama yang


artinya “sendi” atau “tiang penyangga”. Kemudian kata rukun
menjadi khazanah kekayaan bahasa Indonesia dalam pengertian
sehari-hari. Kata rukun dimaksudkan untuk menerangkan bentuk
kehidupan masyarakat yang memilki keseimbangan khususnya
antara hak dan kewajiban. Dengan demikian kerukunan berarti
suatu kondisi sosial yang ditandai oleh adanya keselarasan,
kecocokan dan tidak ada perseteruan. Kerukunan merupakan proses
terwujudnya dan terpeliharanya pola interaksi yang beragam antar
unit, unsur, sub sistem yang otonom, misalnya keselarasan
berinteraksi antar kelompok keagamaan yang berbeda. Kerukunan
mencerminkan hubungan timbal-balik yang bercirikan saling
menerima, saling menghargai, kebersamaan dan toleransi.51

Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Pernyataan tersebut

mengandung arti bahwa keragaman pemeluk agama yang ada di Indonesia diberi

kebebasan untuk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya masing-

masing. Kebebasan tersebut harus dilakukan dengan tidak mengganggu dan

50
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016), 33
51
Sai Agil Husin Al-Munawwar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (cet III, Jakarta: Ciputat
Press, 2005), 60

36
merugikan umat beragama yang lain, karena terganggunya hubungan antar pemeluk

agama akan membawa akibat yang dapat menggoyahkan persatuan dan kesatuan

bangsa.52

Tarmisi Taher menjelaskan perlunya suatu kerangka teologi kerukunan,

untuk mencapai suatu hubungan yang rukun dan harmonis di antara kelompok-

kelompok agama yang ada di Indonesia. Ini merupakan pedoman dan acuan

membina, memelihara, dan meningkatkan kerukunan hidup di antara umat beragama

tanpa mengurangi iman dan akidah masing-masing.53 Kerukunan adalah rumusan

yang dianggap memenuhi kebutuhan dalam menciptakan sekelompok orang yang

berbeda beragama dengan mayoritas penduduk setempat yang selama ini bersifat

homogen.54

Beberapa pengertian di atas, maka dapat dipahami bahwa kerukunan

beragama merupakan sebuah bentuk relasi ideal bagi sesama umat beragama yang

dilandasi dengan prinsip toleransi, pengertian, hormat-menghormati dan saling

menghargai dalam kesetaraan berdasarkan pengamalan dan pengalaman ajaran

agamanya termasuk kerjasamanya dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan

bernegara. Rasimin berpendapat bahwa kerukunan merupakan bagian dari kebutuhan

individu atau kelompok untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam mewujudkan

52
Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, (cet I, Jakarta: Saadah Cipta
Mandiri, 2012), 109
53
Olaf Helbert Schuman, Agama dalam Dialog. Pencerahan,Perdamaian, dan Masa depan.
(Cet ke-3, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003), 59
54
Ahmad Syafi, I Mufid, Dialog agama dan kebangsaan, (cet I November, Jakarta: Zirkul
Hakim, 2001), 27

37
kehidupan bersama secara harmonis dan rukun.55 Kerukunan merupakan kebutuhan

esensial bagi keberlangsungan hidup beragama dan juga keberlangsungan hidup

berbangsa yang terbingkai dalam kebhinekaannya.

II. 2.5 Dialog Antaragama

Dialog antaragama pertama-tama harus menjadi suatu dialog yang autentik,

tanpa superioritas, dari kedua belah pihak peserta dialog. Dialog pada prinsipnya

mendengarkan, berbicara, saling mengoreksi dan dikoreksi dengan tujuan untuk

saling pengertian.56 Inti dan tujuan utama dialog ialah belajar, dalam arti kesediaan

berubah, bertumbuh dan bertindak seturut pemahaman yang muncul. Dialog harus

menjadi pintu utama dalam mengembangkan interaksi sosial yang seutuhnya, dan

merupakan aktivitas dari dua arah yang dilangsungkan dengan sikap jujur, tulus dan

rendah hati.57

Sumarthana, menyebutkan bahwa dalam masyarakat yang plural, sikap

utama yang diprioritaskan adalah sikap terbuka yang dialogis, memiliki sikap

toleransi sebagai tuntutan dan keharusan.58 Senada dengan itu Haryatmoko, juga

menegaskan bahwa agama yang konkrit adalah agama yang dihayati oleh

pemeluknya dan yang mau berdialog sebagai sarana untuk membawanya pada proses

55
Rasimin, “Toleransi Dan Kerukunan Umat Beragama Di Masyarakat Randuacir”, Program
Doktoral UPI Bandung, INJECT: Interdisciplinary Journal of Communication, Vol.1, No.1, (Juni
2016), 99-118.
56
Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, 92.
57
Martin Lukito Sinaga, Beriman dalam Dialog..., 73.
58
Th. Sumarthana, Mencari Model Hubungan Antaragama di Masa Mendatang, Beberapa
Catatan Pengantar dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Menyambut 70 Tahun Jakob
Oetama, (Jakarta: Buku Kompas, 2001), 243.

38
pemurnian agar membantu pemeluknya dalam mencari kedalaman hidup dan

menyumbangkan peradaban yang menghormati kemanusiaan.59

Izak Lattu, dalam buku Annual Review of the Sociology of Religion

berpandangan bahwa dialog antaragama adalah suatu cara untuk memahami agama-

agama lain dan kendaraan untuk membawa pengikut agama ke interaksi damai.

Keterbukaan untuk belajar dari ajaran agama lainnya membutuhkan jalan untuk

saling pengertian dan keterlibatan sosial tradisi yang berbeda.60

Dialog antarumat beragama sangatlah penting untuk dilakukan dan

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pluralitas masyarakat Indonesia yang berasal

dari berbagai latar belakang golongan, suku, ras, dan agama, dialog menjadi

keharusan yang patut dijadikan sebagai gaya hidup bagi setiap umat beragama.

Dialog lintas agama secara intens perlu dilakukan agar umat beragama mampu belajar

untuk saling menerima, menghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya.

Martin L. Sinaga, menegaskan bahwa dialog memang seperti proses hidup

bersama yang bersedia ”face to face” dengan seluruh kedirian rekan dialog kita (di

situ ada proses mengenal, mengerti, mendalami dan menelisik ke batin agama).

Dialog adalah kesediaan berjalan “side by side” bersama umat dengan keberagaman

yang berbeda (di situ ada proses menghadapi tantangan bersama, lalu berkolaborasi

mengatasi persoalan hidup agar kemaslahatan dapat diundang masuk membaharui

hidup).61

59
Haryatmoko, Etika, Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Buku Kompas, 2003), 64.
60
Izak Y.M.Lattu, Beyond Interreligious Dialogue: Oral-Based Interreligious Engagements
in Indonesia, dalam Annual Review of the Sociology of Religion, (Boston: BRILL, 2018), 71.
61
Martin Lukito Sinaga, Beriman dalam Dialog..., 75.

39
Paul F. Knitter, mengatakan bahwa relasi antaragama bisa dimulai melalui

dialog dengan tetangga, teman di tempat kerja, atau melalui berbagai organisasi

sosial.62 Beberapa pandangan di atas, akhirnya dapat dipahami bahwa dialog muncul

karena adanya relasi sosial yang terbangun dalam hubungan kerja, perjumpaan

dengan tetangga yang berbeda keyakinan, serta partisipasi warga masyarakat secara

kolektif dalam mengatur kohesi sosial setempat. Perjumpaan antarumat beragama

melalui ruang-ruang dialog, tentunya dapat membantu dan memberikan pemahaman

kepada masyarakat bahwa fakta keberagaman agama ini harus bersekutu, bukan

untuk membentuk suatu agama tunggal tapi suatu komunitas dialogis dari antara

berbagai komunitas.63

Titik tolak dialog antarumat beragama adalah terkoneksinya suatu sikap

keterbukaan untuk saling menghargai perbedaan pendapat. Sumartana, menggaris-

bawahi bahwa kemampuan untuk menghargai perbedaan pendapat akan memberikan

fondasi yang kuat untuk bersikap saling menghargai antara penganut agama yang satu

dengan yang lainnya.64 Rumusan pengertian dialog tersebut, dapat dimengerti bahwa

dialog pada hakekatnya merupakan sebuah dimensi kesadaran manusia dalam

pengertian etis. Artinya, melalui ruang dialog itu pada prinsipnya seluruh peserta

dialog sedang belajar dan melatih kesadarannya untuk mengakui kebenaran yang

62
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahuwa,
(Yogyakarta: Kanisius, 2014), 6
63
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, hal.9
64
Sumartana, Th., “Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong Dialog Kristen
Islam” dalam Penuntun, Vol. 4, No. 13, (April 2012), 79-89.

40
inheren dalam realitas.65

Dialog antaragama merupakan suatu keniscayaan dari fakta pluralitas agama,

sehingga tidak jarang dialog antaragama belakangan ini hanya menjadi agenda rutin

dan formalitas. Akibatnya, arah dan tujuan dialog jauh dari harapan yang hendak

dicapai dan hanya menghasilkan kerukunan semu.66

Masing-masing komunitas agama sebagai perserta dialog, seringkali masih

terperangkap pada prasangka dan klaim kebenarannya masing-masing. Oleh sebab

itu, teori tindakan komunikasi Habermas, dapat menjadi titik pijak dialog antaragama

yang diharapkan bisa mencairkan kebekuan yang terjadi dalam dialog antaragama.

Konteks hubungan lintas agama, Izak Lattu, menegaskan bahwa dalam dunia

teknologi saat ini, hubungan lintas agama tidak hanya bertumpu pada dialog

formalitas, tetapi meluas pada semua bentuk tindakan sosial yang mendorong

kerjasama lintas agama.67

II. 2.6 “Interreligious Engagement”

Hubungan lintas agama dapat dilihat dari demensi yang berbeda yakni

bagaimana keterlibatan antaragama atau “interreligious engagement” itu dalam

membangun relasi harmonis dalam konteks masyarakat plural kini dan di sini.

Interreligious engagement sesungguhnya kebutuhan bersama agama-agama yang

65
Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman: Suatu Study tentang Pandangan Para
Teolog Muslim dan Kristen mengenai Hubungan Antaragama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
72
66
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, 33.
67
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement: Memikirkan Sosiologi Hubungan
Lintas Agama, Dalam: Sosiologi Agama Pilihan Berteologi di Indonesia, 25 Tahun Pasca Sarjana
Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2016), 290

41
sangat penting dalam konteks dunia saat ini. Bahkan Lattu, melihatnya bahwa

“interreligious engagement” itu merupakan kebutuhan umat manusia saat ini,

terutama karena dunia makin terhubung dengan perkembangan tehnologi informasi

dan migrasi umat manusia yang mengubah demografi dunia.68 Salah satu faktor

penting dalam menghadirkan kerukunan antaragama, Lattu menawarkan sebuah

bentuk relasi antarumat beragama dari perspektif sosiologis, yakni terbukanya

hubungan keseharian bagi integrasi sosial atau dengan kata lain terkoneksinya

pendekatan kehidupan setiap hari (everyday modes of interreligious relationships).69

Hubungan keseharian itu dipahami dalam bentuk interaksi kehidupan sebagai satu

bentuk relasi percakapan sehari-hari yang natural namun bermakna demi tercapainya

kerukunan yang merupakan tujuan bersama bagi masyarakat lintas agama. 70 Interaksi

keseharian (face to face interaction) ini menurut Izak, adalah bagian yang sangat

penting dari performance atau pertunjukan sosial.71

Paul F. Knitter, juga menegaskan kembali bahwa hubungan antaragama,

membutuhkan satu bentuk/model interaksi, yakni dengan mengembangkan model

acceptance, penerimaan sebagai pola hubungan lintas agama. Ia merujuk pada

pandangan Habermas apa yang disebut sebagai tugas “praksis komunikasi”

(Communicative praxis), bahwa untuk mengetahui kebenaran, kita harus terlibat

68
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement, 275-276.
69
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagemant, 272
70
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement, 281.
71
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement, 273.

42
dalam praktik komunikasi dengan orang lain; dalam hal ini kita benar-benar berbicara

dan belajar mendengarkan orang lain sekalipun mereka itu sangat berbeda dari kita.72

Memahami pandangan di atas, maka itu berarti pengakuan bahwa dialog kita

kalau mau layak, efektif dan autentik, ya harus inklusif. Artinya, dialog dengan

tetangga yang berbeda belum bisa dianggap berhasil dan komplit kalau suara-suara

mereka yang berbeda dengan kita belum seutuhnya didengarkan.73 Aktivitas dialog

itu wajib memiliki kepekaan dan kemampuan untuk saling mendengarkan dan

memahami orang lain sebagai mitra dialog. Dalam realitas hubungan lintas agama,

maka di atas dasar ini, dialog harus lebih diperkaya dengan kepekaan mendengar dan

ketulusan menerima secara terbuka terhadap berbagai masukan yang lebih positif

sebagai aksi bersama yang autentik dan beretika.

Model Acceptance (penerimaan) adalah model yang tidak menjunjung tinggi

superioritas dalam semua agama atau mencari sesuatu yang sama yang membuat

semua agama valid tetapi dengan cara menerima relasionalitas nyata dari semua

agama.74 Model ini mengungkapkan makna perbedaan yang ada bahwa karena bahasa

dan budaya berbeda maka agama juga berbeda. Model ini memiliki dasar pemahaman

dengan keyakinan bahwa agama-agama dunia memang sangat berbeda dan bahwa

hubungan antaragama haruslah dibangun atas dasar saling menerima, mengakui,

menghargai, dan, mungkin belajar dari semua perbedaan.75

72
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement, 283.
73
Nina Mariani Noor (ed.), Manual Etika Lintas Agama Untuk Indonesia, 60.
74
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2003), 49.
75
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial: Kajian Sosiologi Agama tentang Kearifan
Lokal sebagai Modal Dasar Harmoni Sosial,” (JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor
2, (2017), 195-206

43
Sebagai fakta pluralitas agama haruslah direspon secara mengena dan

relevan serta dapat dimanfaatkan sebagai aset bersama untuk melaksanakan panggilan

bersama dalam mengupayakan kesejahteraan dari semua untuk semua. 76 Pluralitas

agama, mengandung semangat ganda bahwa satu sisi tak hendak mengingkari adanya

perbedaan, bukan hanya sebagai kenyataan yang harus diterima, tetapi juga sebagai

modal yang harus terus dipelihara, bahkan dikembangkan, dan di sisi lain, perbedaan

tidak boleh menghalangi dan mengalahkan semangat untuk bekerja sama,

membangun kebersamaan, serta tekad, semangat, dan upaya untuk mewujudkan cita-

cita bersama dalam mengembangkan kehidupan manusia yang ideal: religius,

berkeadilan, damai, dan sejahtera.77

Keseluruhan agama perlu berbicara dan bertindak bersama. Kehadiran

agama-agama memang sudah dibuat berbeda dan akan berbeda sampai selamanya,

karena bahasa yang disampaikan oleh agama akan membentuk pengalaman,

keyakinan dan pikiran setiap orang. Keterbukaan merupakan modal dasar dalam

setiap aktualisasi pergaulan, pekerjaan dan pembangunan, beserta nilai-nilai budaya

lain yang menyertainya.78

Pluralisme adalah sebuah keterlibatan aktif setiap individu di tengah

keragaman dan perbedaan. Pluralisme sesungguhnya berbicara dalam tataran fakta

dan realitas, tidak hanya berbicara pada tataran teologis, dimana setiap manusia harus

meyakini bahwa setiap agama mempunyai ritual dan tradisi masing-masing.

Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap

76
David Samiyono, Membangun Harmoni Sosial: 196-206
77
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial”, 195-206.
78
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial”, 195-206.

44
superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah

mengasihi semua manusia tanpa terkecuali.79

Pluralisme lebih dari sekadar berbicara toleransi. Namun, dalam toleransi

lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain, dan upaya

memahami komunitas lain melalui sebuah pemahaman yang konstruktif. Adanya

perbedaan dan keragaman adalah hal nyata, maka yang diperlukan adalah

pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain.80 Siapapun yang menolak

adanya perbedaan, sesungguhnya mereka sedang menolak dan meniadakan “Sang

Pencipta” (yang mengadakan) perbedaan itu sendiri.

II. 3 Tindakan Sosial Dalam Interaksi Lintas Agama

Berikut ini adalah skema tindakan sosial Jurgen Habermas:

Tindakan
Sosial

Tindakan Tindakan
Komunikatif Strategis

Tindakan Tindakan
Strategis yang Strategis terang-
disembunyikan terangan

Penipuan secara bawah Penipuan


sadar (Komunikasi secara sadar
yang terdistorsi secara (Manipulasi)
sistematis

79
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial”, 195-206.
80
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial”, 195-206.

45
Habermas menjelaskan bahwa dalam interaksi dialogis agama-agama ada

dua bentuk tindakan sosial yang perlu dipahami. Pertama: Strategic Action (SA), aksi

strategi. Aksi ini bermuara pada manipulasi dan distorsi secara sistematis.81

Orientasinya adalah kesuksesan dan mengutamakan kepentingan pribadi dan

kelompok. Kedua: Communikative Action (CA), aksi komunikatif. Aksi ini bermuara

pada aksi yang bertujuan mencapai pengertian bersama dan berdasarkan konsensus

masyarakat. Orientasi dari aksi komunikatif ini adalah mencapai kesepakatan dan

normatif untuk kepentingan bersama.82

II. 3.1 Tindakan Komunikatif

Habermas, dalam pandangannya menjelaskan bahwa tindakan komunikatif

menjadi penting terutama sebagai prinsip sosiasi: tindakan komunikatif menyediakan

media bagi dunia kehidupan.83 Dunia kehidupan itu merupakan konteks tindakan

komunikatif dan kesadaran kolektif dari aktivitas manusia.84 Bagi Habermas, praksis

kehidupan bukan hanya sebagai “kerja”, melainkan juga “komunikasi” sebagai media

interaksi efektif bagi kelangsungan dunia kerja manusia. Karena praksis dilandasi

kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukan alam

dengan kerja, melainkan juga dalam “interaksi intersubjektif” melalui bahasa sehari-

hari.85

81
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu, Rasio dan Rasionalisasi
Masyarakat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 409.
82
Izak Y.M.Lattut, Menolak Narasi Tunggal.., 36.
83
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu, 416.
84
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Dua, Kritik atas Rasio Fungsionalis,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 173.
85
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), xx

46
Berdasarkan paradigma itu, Habermas ingin mempertahankan isi normatif

yang terdapat dalam modernitas dan pencerahan kultural. Inti dari maksudnya itu,

adalah apa yang disebut dengan rasionalisasi dunia kehidupan yang dibangun atas

dasar rasio komunikatif. Dunia kehidupan umat manusia terdiri dari agama,

kebudayaan, masyarakat dan individu-individu. Semua tentunya saling terkait satu

dengan yang lainnya, berinteraksi satu dengan yang lain. Bagi Habermas,

rasionalisasi dunia kehidupan semacam ini hanya dimungkinkan terjadi adalah

dengan atau melalui tindakan komunikatif.86

Orientasi utama bagi para partisipan dari tindakan komunikatif ini adalah

bukan untuk mencapai kebehasilan pribadi, namun masing-masing partisipan dapat

mengejar tujuan-tujuan itu asalkan mereka dapat menghamonisasikan rencana

tindakan mereka berdasarkan defenisi situasi yang sama. Tujuan akhirnya berujung

pada aksi yang bermuara pada pengertian bersama dan aksi berdasarkan konsensus

masyarakat. Dengan kata lain apa yang dihasilkan itu diperoleh atau dicapai dengan

kesepakatan yang normatif untuk kepentingan bersama.87

Jika demikian, dapat dipahami bahwa tindakan komunikatif tersebut yang

menjadi penekanan orientasinya adalah tujuan bersama mencapai pengertian yang

inheren dalam percakapan manusia. Hardiman, mengatakan bahwa kunci utama

dalam tindakan komunikatif adalah penggunaan istilah pengertian understanding

yaitu pengertian maupun proses untuk mencapai suatu pengertian dianggap sebagai

86
Gerben Heitink, Practical Theology: History, Theory, Action Domains, Michigan, William
B. Eerdmans (Publishing Company, 1999), 136-137.
87
Lattu, Menolak Narasi Tunggal, 36

47
proses mufakat di antara subjek-subjek yang berbicara dan bertindak.88 Dengan

begitu, ketiga dimensi tersebut memastikan bahwa situasi-situasi baru dapat

dihubungkan dengan apa yang ada di dunia ini melalui tindakan komunikatif.

Mengacu pada tindakan komunikasi di atas, maka dapat dipahmi bahwa teori

ini dapat dikatakan sebagai titik pijak dialog antaragama, yang bertujuan menyajikan

kondisi, situasi dan prasyarat bagi dialog antaragama yang ideal. Pluralitas agama

yang menjadi identitas dan ciri bangsa Indonesia, tentunya menuntut berbagai

penganut agama-agama untuk semakin intensif berjumpa, membangun komunikasi

dan berdialog lebih terbuka apa adanya.

Keterlibatan agama-agama dalam ruang dialog dapat dipastikan untuk

menemukan titik temu suatu „kebenaran‟, di mana letak kebenaran masing-masing

agama tidak dapat dikalahkan, pernyataan dan pendapatnya tidak bertentangan

dengan norma-norma agama yang diyakini, diungkapkan secara jujur, autentik di

mana para umat beragama mendapat kesempatan yang sama untuk mengekspresikan

perasaan dan kebenarannya sehingga terjadi interaksi dan pemahaman timbal balik

dalam mencapai konsensus yang bebas dominasi.

Prasyarat subjek moral untuk tercapainya pengertian titik balik bagi

masyarakat komunikatif seperti dalam dialog antaragama adalah dimana para

partisipan lebih terbuka kepada prinsip etika universal, kemandirian dalam

pengambilan keputusan secara sadar, kritis, matang dan memiliki rasa hormat

88
F. Budi Hardiman, Menujuju Masyarakat Komunikatif, 230

48
terhadap orang lain.89 Aktivitas dialog khususnya untuk dibidang agama sangat

memerlukan partisipan yang mencapai tahap perkembangan moral seperti itu.

Mencermati teori tindakan komunikasi Habermas ini sebagai kerangka atau

titik pijak dialog antaragama, maka dapat dipahami hal itu sebagai suatu usaha

menghubungkan antara keputusan moral dengan interaksi sosial, yakni upaya

menyelidiki anggapan-anggapan normatif dari interaksi sosial yang menekankan pada

dimensi komunikatif dalam dialog atau perbincangan yang rasional. Dalam konteks

masyarakat plural, teori tindakan komunikatif ini merupakan upaya diskursus etika

yang bersifat praktis, bukan sekadar anjuran etis yang bersifat imperatif-individual

melainkan prosedur argumentasi moral melalui dialog atau perbincangan rasional

untuk mencapai persetujuan timbal balik yang bersifat publik.90

Tindakan komunikatif memiliki dua aspek penting yang perlu dipahami,

aspek teleologis yang terdapat pada perealisasian tujuan seseorang dan aspek

komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasi dan tercapainya

kesepakatan.91 Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya

secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama.

Teori tindakan komunikatif dianggap berhasil tergantung pada proses

bagaimana orang-orang yang bertindak secara komunikatif, mampu melakukan kritik

timbal balik secara konstruktif.92 Dunia kehidupan bisa berjalan harmoni, ketika tidak

ada pemaksaan sesuka hati dari beberapa atau kelompok orang. Oleh karena itu,

89
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Dua,13
90
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Dua, 125.
91
Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu, 153.
92
Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu, 154.

49
dibutuhkan komunikasi intersubjektif yang membawa setiap orang menjadi otonom

dengan ikatan fungsional kebaikan bersama.

II. 3.2 Tindakan Strategis

Kategori tindakan sosial lain selain „tindakan komunikatif‟ adalah „tindakan

strategis‟.93 Terhadap bentuk tindakan strategis ini, rupanya lebih berorientasi pada

upaya menggiring partisipannya untuk berusaha mencapai keberhasilan pribadi. Aksi

ini bermuara pada manipulasi dan distorsi secara sistematis.94 Partisipannya

diarahkan untuk mengejar tujuan-tujuannya dengan cara menghalalkan segala cara,

demi pemenuhan kepentingan pribadi.95 Bahkan dalam hal menggunakan segala cara

tersebut mereka sampai pada tindakan kekerasan sebagai bentuk dari anarkisme,

sehingga kesuksesan yang dicapai lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan

kelompoknya dan melihat kepentingan orang lain sebagai sesuatu hal yang tidak

penting.96

Berdasarkan pengertian di atas, maka jelaslah bahwa tujuan tindakan sosial

semacam ini sengaja disetting secara terselubung demi mencapai tujuan akhir

sebagaimana yang diharapkan. Artinya, bukan lagi untuk mencapai kesepakatan

tentang tujuan-tujuan tindakan, tetapi hanya melaksanakan secara efektif rencana

pembicara secara sepihak. Walaupun tindakan strategis mempergunakan bahasa dan

93
Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action I: Reason and The Rationalization
of Society, (Boston: Beacon Press, 1984), 18
94
Lattu, Menolak Narasi Tunggal, 36
95
Habermas, The Theory of Communicative Action I: 25.
96
Lattu, Menolak Narasi Tunggal, 36

50
mengikutsertakan orang lain, tujuannya tidak inheren dengan penggunaan bahasa dan

orang lain yang diperlakukan seakan-akan mereka objektif.97

Sesungguhnya dapat dipahami, bahwa sebagai bahan perbandingannya,

tindakan strategis ini dikoordinasikan dengan menambah saratnya kepentingan-

kepentingan individual. Sarana non bahasa dipakai untuk memanipulasi situasi

sedemikian rupa sehingga orang merasa berkepentingan untuk bekerja sama. Tujuan-

tujuan egosentris tindakan strategis dapat dicapai tanpa komunikasi. Jika

menggunakan bahasa, maka hal itu hanya meneruskan informasi atau

mengungkapkan kekuatan.

Habermas berpandangan bahwa tindakan manusia yang paling dasar adalah

tindakan komunikatif yang interaktif. Tujuan komunikasi adalah agar saling mengerti.

Karena itu, Habermas membedakan tindakan tersebut menjadi dua macam: tindakan

demi sasaran (dengan rasionalitas sasaran) dan tindakan demi pemahaman (dengan

rasionalitas komunikatif).98 Tindakan demi sasaran masih dibedakan menjadi dua lagi

yaitu: tindakan instrumental, yang diarahkan pada alam dan tindakan strategis, yang

diarahkan pada manusia.99 Begitu seseorang masuk ke dalam suatu pembicaraan,

dengan sendirinya, orang itu mengajukan empat klaim, yaitu: jelas

(comprehensibility), benar (truth), jujur (sincerity), dan betul (rightness). “Jelas”

artinya seseorang mengklaim bahwa apa yang ia ungkapkan tepat seperti apa yang ia

maksudkan. “Benar” berarti bahwa apa yang saya katakan adalah apa yang memang

97
Habermas, The Theory of Communicative Action I: 31
98
Mirna Safitri, Pemikiran Jurgen Habermas, Mei 2011, diakses pada 25 Oktober 2019,
http://mirnasafitri244.blogspot.com/2011/05/pemikiran-jurgen-habermas.html/.
99
Hardiman, F.B., Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 37

51
mau saya ungkapkan. “Jujur” artinya saya tidak berbohong. “Betul”, berarti apa yang

saya katakan itu wajar saya katakan.100 Supaya komunikasi dapat berhasil, orang

harus berbicara dengan jelas, benar, jujur, dan betul, sehingga hubungan antar

manusia yang betul-betul rasional dan bebas tetap dapat berlangsung.101

Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat

revolusi kekerasan, melainkan lewat argumentasi demi konsensus. Konsensus harus

mendapatkan konteksnya dalam suatu diskursus rasional. Konsensus harus tetap

terbuka terhadap kritik dan pembaruan.102 Dunia kehidupan adalah cakrawala

pengetahuan dan pelbagai norma yang tidak direfleksikan. Dunia kehidupan adalah

dasar dan latar belakang suatu tindakan komunikatif.

II. 4. Kesimpulan

Dialog antaragama, menuntut masing-masing pihak yang berdialog untuk

saling mendengarkan dengan kerendahan hati. Dialog antaragama senantiasa

dipahami sebagai dialog yang membebaskan. Dialog antaragama menjadi sangat

penting untuk dihidupkan, semata-mata untuk membangun relasi yang baik dikala

„kebenaran‟ yang satu bertemu dengan „kebenaran‟ yang lainnya. Artinya, bagian ini

yang hendak dilihat orang adalah bagaimana memandang dialog antaragama itu

sebagai sebuah jalan bersama menuju dunia baru yang rukun dan damai.

100
Santosa „Irfaan, Jurgen Habermas: Problem Dialektika Ilmu Sosial, (Stain Purwokerto,
Jurnal: Dakwah dan Komunikasi Issn: 1978-1261 Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009), 4
101
Nani Efendi, (Makalah Sospol), Filsafat Komunikasi Jurgen Habermas: Mempertahankan
Pencerahan Menuju Masyarakat Rasional, 2016, http://catatannaniefendi.blogspot.com/, diakses pada
tanggal 24 Oktober 2019, http://catatannaniefendi.blogspot.com/2016/09/filsafat-komunikasi-jurgen-
habermas.html/.
102
Sindung Tjahyadi, Teori Kritis Jurgen Habermas, Asumsi-asumsi Dasar Menuju
Metodologi Kristik Sosial, (Yogyakarta: UGM, 2003), 194.

52
Pluralisme religius adalah fakta bahwa semua manusia diciptakan berbeda

dan mempunyai cara yang berbeda untuk mengekspresikan ajaran agamanya

berdasarkan apa yang dipahami dan apa yang diyakini itulah yang diimani. Pluralitas

menjadi penting, karena melaluinya setiap orang mampu menerima sesamanya dan

menghargai apa yang dipercayai orang lain, sekaligus mengandung makna kesediaan

berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar saling menghormati, menghargai, dan

memiliki usaha bersama dalam menciptakan kerukunan dan perdamaian.

Komunikasi yang sehat adalah dimana setiap peserta dialog memiliki

kesempatan yang sama untuk berbicara, membuat keputusan, menampilkan diri,

mengajukan klaim normatif bahkan menentang pendapat partisipan lainnya. Hal itu

berarti, bahwa teori tindakan komunikatif sekali lagi hendak menunjukkan

kemampuan manusia untuk melakukan pencerahan diri lewat proses komunikasi.

Melalui kegiatan komunikasi, masing-masing individu atau manusia secara pribadi

dapat saling memahami dan membebaskan.

53

Anda mungkin juga menyukai