II. 1 Pengantar
tinggi harus dimaknai bahwa kitapun sedang menjalankan praktek beragama bersama
dengan umat beragama lainnya. Aktivitas beragama dalam konteks pluralitas, dialog
tidak lagi hanya sekadar pilihan tetapi merupakan sebuah keharusan dalam rangka
membangun masa depan Indonesia yang lebih rukun dan damai. Salah satu cara yang
paling efektif dalam berdialog adalah dengan cara menghidupi nilai-nilai kearifan
Tema sentral yang masih sangat intens dibicarakan dan dikaji oleh para
menggunakan rujukan teori dan beberapa konsep pendukung sebagai alat yang kreatif
dalam merumuskan fakta pluralitas. Dengan maksud itu, penulis ingin menunjukkan
Penelusuran dalam bab ini adalah sebuah serapan pemikiran yang melihat
semua tradisi agama-agama seturut dengan apa yang diyakini, sambil tetap fokus dan
19
mengimbanginya dengan perspektif sosiologis. Membangun kerangka berpikir
sosiologis, penulis akan menggunakan teori Jurgen Habermars,1 yakni teori tindakan
Tujuan dari pemaparan bab ini, diharapkan akan mampu menyerap sebuah
terutama yang memiliki hubungan langsung dengan pemilihan topik tesis ini, yakni:
“Satu Banjar Tiga Agama: Dinamika Perjumpaan Hindu, Islam dan Kristen di Banjar
Pegending, Bali.”
keterbukaan untuk saling berinteraksi di antara umat beragama itu sendiri.2 Intensitas
1
Jurgen Habermas, The Continuing Tradition I, dalam buku Jonathan H. Turner, The
Structure of Sociological Theory, Sixth Edition, (University of California, Riverside: Wadsworth
Publishing Company, 1998), 567. Dasar pemikiran Habermas: “Jika kita berasumsi bahwa spesies
manusia memelihara dirinya sendiri melalui kegiatan yang dikoordinasikan secara sosial dari para
anggotanya dan bahwa koordinasi ini dibangun melalui komunikasi - dan dalam bidang kehidupan
tertentu, melalui komunikasi ditujukan untuk mencapai kesepakatan - maka reproduksi spesies juga
membutuhkan pemenuhan kondisi rasionalitas yang melekat dalam tindakan komunikatif.”
2
Martin L. Sinaga, dalam Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-agama di
Indonesia, Theologia Religionum, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2000), 1.
20
Dinamika perjumpaan yang dimaksudkan di sini adalah pertama, adanya
kondisi sosial yang tenang, yang ada hanyalah interaksi sosial yang semakin solid.
Kedua, dari dinamika perjumpaan semacam itu, bukan berarti bahwa tidak pernah
mengandung potensi konflik. Potensi konflik tentu saja tetap ada, hanya saja
prosentasinya sangat kecil. Misalnya, dalam hal pembagian tanah warisan, sengketa
batas-batas tanah kepemilikan antarwarga dan lain sebagainya. Namun semua potensi
konflik tersebut dapat terselesaikan karena adanya peran tokoh-tokoh masyarakat adat
setempat yang mampu membuka ruang dialog dalam mengatasinya. Perjumpaan pada
hakekatnya selalu mengandung unsur, yakni dialog dan konflik. Hal itu juga berarti,
bahwa potensi konflik dalam dinamika perjumpaan antaragama pastilah tetap ada,
misalnya muncul bentuk klaim-klaim kesukuan dan ego kedaerahan sebagai wilayah
mata pertemuan dua orang atau lebih dalam kapasitasnya sebagai pribadi saja.
Perjumpaan agama-agama bukan juga sebagai ajang perjumpaan para ahli sejarah.
Akan tetapi, perjumpaan yang dimaksudkan disini adalah suatu perjumpaan yang
baru secara imajinatif yang tidak memutuskan hubungan dengan masa lampau,
3
Martin L. Sinaga, dalam Tim Balitbang PGI, 8. “Fakta dari klaim semacam ini, dilihatnya
sebagai faktor pengganjal yang mewarnai hubungan antaragama; dan sewaktu-waktu ketegangan dan
konflik dalam masyarakat yang dikemas dalam format agama tersebut pada umumnya juga
menyimpan agenda-agenda dan kepentingan lain.”
4
Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, Editor: Dr. A Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius,
2000), 66
21
Durkheim, berpandangan bahwa agama merupakan satu kesatuan sistem
Agama sangat berperan dalam mengikat dan atau menyatukan suatu komunitas
praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang sakral, agama pada akhirnya
dipahami sebagai suatu kekuatan komunal yang menyatu dalam satu komunitas
masyarakat yang disebut umat beragama.7 Itulah sebabnya, setiap umat beragama
yang sudah berjumpa dan berkomunikasi dengan Tuhannya, mereka bukan hanya
orang yang melihat kebenaran baru, namun dianggap sebagai pribadi yang lebih kuat
atau lebih banyak kekuatan, baik untuk bertahan dalam setiap cobaan maupun dalam
menaklukkannya.8
Agama pada akhirnya dianggap sebagai salah satu elemen kekuatan atau
5
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, Bentuk-bentuk Dasar
Kehidupan Beragama, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2017), 76
6
Turner, Relasi Agama & Teori Sosial Kontemporer, (Jogyakarta: IRCiSoD, 2012), 33.
“Agama hanya bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan
komunitas masyarakat di bawah satu kesatuan ritual dan kepercayaan umum.”
7
Turner, Relasi Agama..., 471
8
Emile Durkheim, Religion and Society, dalam Theories of Society, Foundation of Modern
Sociological Theory, (New York: The Free Press, 1965), 677.
9
Bernard Raho SVD, Agama Dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta: Penerbit Obor, 2013), 47.
10
Elga Joan Sarapung, Pegantar Menegaskan Tentang Pluralisme Agama, dalam: Interfidei,
Seri Agama & Masyarakat, Prospek Pluralitas Agama di Indonesia, Harapan untuk keadilan,
perdamaian dan keutuhan ciptaan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2009), xxiii
22
Habermas memahami ruang publik sebagai area untuk mendialogkan setiap
tema relasi dan sikap hidup masyarakat. Ruang publik bisa dimana saja, dan
sepantasnya tetap diposisikan sebagai salah satu entitas yang penting di ruang publik,
terutama dalam alam demokrasi seperti Indonesia.13 Senada dengan itu John Titaley,
perjumpaan antara dua orang pemeluk agama yang berbeda, melainkan perjumpaan
antara dua manusia Indonesia yang menghayati anugerah Tuhan yang sama terhadap
dirinya masing-masing melalui latar belakang sejarah kehidupan yang unik dalam
yang istimewa karena adanya kesadaran moral dan tanggung jawab bersama,
11
Ibrahim, “Agama, Negara, dan Ruang Publik Menurut Habermas” (Catatan Penting untuk
Pluralisme Agama di Indonesia), FISIP-UKIM Maluku, Jurnal: Badati Volume II, No. 3, (Desember
2010), 1-10
12
Jurgen Habermas, Between Naturalism and Religion, (Polity: Cambridge, 2008), 111.
13
Ibrahim, Agama, Negara, Dan Ruang Publik Menurut Habermas, 1-10.
14
John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga; Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi
Agama-agama, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 168.
15
Sun Choirol Ummah, “Dialektika Agama Dan Negara Dalam Karya Jurgen Habermas”,
Humanika, Vol. 16 No. 1, (September 2016), 79-92.
23
Perjumpaan agama-agama, harus dipahami bahwa untuk alasan apapun, terutama
diungkapkan secara jujur dan terbuka, sebab yang berjumpa itu semuanya adalah
Ruang publik berarti ruang umum yang terbuka untuk semua masyarakat,
bukan tempat fisik tertentu tetapi semacam ide atau konsep tentang keseluruhan
interaksi sosial termasuk interaksi lintas agama dimana masyarakat yang beraneka
ragam berjumpa dan berkomunikasi satu sama lain.17 Semua pihak dari elemen
masyarakat melalui perjumpaan itu, harus mampu belajar dari kekayaan tradisi agama
yang berbeda, lalu menemukan nilai-nilai keberagaman yang ada untuk dipakai
sebagai modal sosial yang dianggap bermanfaat bagi kehidupan bersama. Ruang
publik harus menjadi locus perjumpaan dan ajang penyatuan komitmen dalam
merupakan arena perjumpaan yang dapat diakses oleh setiap elemen masyarakat,
termasuk umat beragama. Ruang publik tidak boleh menjadi arena perjumpaan
Warga negara dan warga agama mempunyai hak dan kesempatan yang sama
24
plularisme budaya, agama dan kelompok sosial lainnya.19 Artinya dapat berguna
sosial, dan bukan hanya sekadar sebagai penguat stabilitas masyarakat.20 Agama
merupakan bagian dari jaringan sosial yang lebih luas dari pranata-pranata sosial
macam kesulitan hidup.21 Agama adalah cara yang juga digunakan manusia untuk
sumber pilihan bagi setiap proyek dalam mengkonstruksi identitas pribadi.22 Bagi
masyarakat moderen agama menjadi salah satu sumber perasaan perseorangan akan
rasa memiliki dan identitas. Oleh sebab itu nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama sangat
Agar kebebasan beragama lebih dimaknai dan dihayati secara bebas, maka
agama adalah sisi sosiologis, di mana adanya kesediaan saling menerima, terbuka
satu dengan yang lain, dengan tujuan untuk mengawasi kebebasan secara
19
Jurgen Habermas, Ruang Publik, Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis,
(Yogyakarta: 2010), 106.
20
Max Webber, Sosiologi Agama a Handbook, Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), 33.
21
Max Webber, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2013), 76.
22
Weber, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Agama, 76.
23
Turner, Relasi Agama & Teori,...161
25
bertanggungjawab. Melalui perjumpaan tersebut, pluralisme agama semakin
ajang pertemuan antarindividu atau komunitas tertentu, di mana kedua belah pihak
dapat membuat kesepakatan untuk berjumpa kapan saja. Setiap pihak yang bertemu
dinamis, terutama juga yang menyangkut relasi antaragama. Perjumpaan semacam ini
merupakan sebuah proses sosial yang secara sengaja dibentuk untuk memenuhi
untuk berdialog sebagai prinsip dasar dalam merawat kerukunan dan menghindari
agama, pasti selalu mengandung dua hal, yaitu dialog dan konflik. Namun, pada
24
Martin Lukito Sinaga, Beriman dalam Dialog, Esai-esai Tentang Tuhan dan Agama,
(Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2018), 56.
25
Darius Dubut, Satu Bumi, Rumah Ibadah Bersama: Dialog dan Panggilan Bersama Antar-
Iman, dalam: Misi Baru Dalam Kemajemukan, Teologi Lintas-Iman dan Lintas-Budaya, Buku
Penghormatan 80 Tahun Prof. Dr. Olaf Schumann, (Tomohon: UKIT PRESS, 2018), 177.
26
Elly M. Setiadi, Pengantar Sosiologi : Pemahaman fakta dan gejala permasalahan sosial:
Teori, Apllikasi dan pemecahannya, (Jakarta: Kencana Preneda Media Group, 2011), 92.
27
Khotimah, “Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama”, USHULUDDIN, Vol. XVII
No. 2, (Juli 2011), 214-224.
26
bagian ini penulis tidak mengulas persoalan konflik dalam dinamika perjumpaan
agama-agama. Akan tetapi lebih banyak menelusuri dimensi relasi dialog dalam
dan dalam seluruh aspek kehidupannya.28 Setiap umat beragama harus merasa
terpanggil dan memiliki rasa tanggungjawab moral berperan aktif dalam menjaga dan
sosial harus berfungsi sebagai alat perekat dalam menjaga dan merawat kerukunan
suatu jalan keluar untuk mencairkan kembali fungsi dialog yang mungkin saja sempat
kevakuman interaksi sosial lintas agama. Kevakuman itu terjadi biasanya dipicu oleh
suatu keadaan yang sering terjadi dalam masyarakat yang sedang berubah, dan itulah
yang disebut dengan potensi konflik mulai muncul. Potensi konflik yang muncul,
28
Sutarno, Di dalam tetapi tidak dari Dunia, Pemikiran Teologis Tentang Pergumulan
Gereja dalam Masyarakat Indonesia yang Majemuk, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2004), 258.
29
Sutarno, Di dalam tetapi tidak dari Dunia, 259.
30
Sutarno, Di dalam tetapi tidak dari Dunia, 268.
27
perbedaan nilai dalam proses perubahan. Selain itu, faktor pemicu terjadinya potensi
konflik adalah karena sistem nilai dalam masyarakat yang mempunyai korelasi
dengan perbedaan tabiat, karakter, dan tindakan sosial masyarakat itu sendiri.31
pada dasarnya disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya, antara lain:
faktor ekonomi, politik, budaya, bahkan faktor agama itu sendiri dapat menyebabkan
disintegrasi sosial.32 Namun, bukan berarti konflik itu tidak dapat diselesaikan, hanya
saja tergantung kepada setiap pihak yang mau berjumpa, apakah mempunyai niat baik
untuk menyudahi pertikaian atau tidak. Semua pihak seharusnya memiliki sikap
terbuka dan pengendalian diri untuk bersatu dan saling memaafkan, demi
Perjumpaan antaragama yang dikemas dengan niat hati yang tulus dan mulia,
pihak yang terlibat dalam perjumpaan itu, memiliki keterpanggilan moral dan rasa
satu cara yang cukup efektif dalam merawat kerukunan antarumat beragama. Oleh
sebab itu, perjumpaan agama-agama sudah seharusnya menjadi suatu tradisi dalam
kehidupan masyarakat plural. Tradisi semacam ini, tentu akan dapat mendorong suatu
31
Syaiful Hamali, “Konflik dan Keraguan Individu dalam Perspektif Psikologi Agama”, Al-
AdYaN, Vol. VIII No. 1 (Januari-Juni, 2013), 27-44.
32
Retnowati, “Agama, Konflik dan Integrasi Sosial Refleksi Kehidupan Beragama di
Indonesia: Belajar dari Komunitas Situbondo Membangun Integrasi Pasca Konflik”, Universitas
Kristen Satya Wacana: Sangkep, Kajian Sosial Keagamaan, Vol. 1 No. 1, (Januari-Juni 2018), 1-28.
33
Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, 548.
28
rumusan pemikiran sosiologis yang mengedepankan toleransi, keterbukaan, saling
inklusif adalah cara pandang keberagamaan seseorang bahwa di luar agama yang
agamanya.36 Hal ini merupakan cara berfikir yang lebih terbuka dan menghargai
memandang agama-agama lain sebagai bentuk implisit dari agama kita.38 Sikap
terbuka tersebut, kemudian dapat dipahami sebagai bentuk prasyarat utama dalam
membuka relasi dialog antaragama. Dialog antaragama itu diadakan tentu dengan
tujuan yang beradab, agar tidak lagi ada pembenaran absolut dan ekstrim dalam
pandang pada sebuah tujuan untuk menemukan kebenaran universal dalam setiap
34
Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman, 548.
35
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2003), 38.
36
Nurcholish Madjid, dalam Kata Pengantar Grose & Hubbard (ed), Op.Cit, hal. xix
37
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Corss-Cultural Understanding untuk
Demokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 34.
38
Muhammad Rajabul Gufron (Penerima Beasiswa LPDP Republik Indonesia), 27 Agustus
2017, Membangun Sikap Toleransi Antarumat Beragama dalam Masyarakat Multikultural, diakses
pada 21 Oktober 2019, lombokita.com/membangun-sikap-toleransi-antarumat-beragama-dalam-
masyarakat-multikultural/4/.
29
perbedaan dan sekadar untuk tidak ada lagi rasa saling mencurigai.39 Pemahaman di
dengan sikap terbuka, toleransi dan mau menerima orang lain tanpa dibayang-bayangi
oleh rasa sikap curiga. Sikap ini hendak menyerukan sikap keterbukaan agama-agama
dan percaya bahwa ada banyak jalan menuju keselamatan. Karena itu tujuan dari
sikap semacam ini adalah menggiring pengikutnya ke arah yang realistis sebagai
memaknai keberagamaan yang memberikan ruang kebebasan bagi setiap orang dalam
pribadinya. Semua pihak dalam konteks kemajemukan, harus bisa menerima bahwa
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama, namun pluralisme juga harus dipahami sebagai “pertalian
39
Zulkifli Nelson dan Dardiri, “Inklusivisme dan Humanisme Pesantren”, UIN Sultan Syarif
Kasim Riau, TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama Vol. 8 No. 2, (Juli-Desember 2016),
134-151.
40
Tipologi Sikap Beragama, diakses pada 21 Oktober 2019,
https://uinsgd.ac.id/berita/tipologi-sikap-beragama/
30
didalamnya terdiri dari ribuan pulau, suku, bahasa dan budaya bahkan sekian banyak
agama, fakta itu tidak bisa ditolak dan tidak boleh dinafikkan.41
agama dengan segala ajarannya, mampu menyediakan jalan keselamatan yang dapat
menyelamatkan umatnya sejauh mereka (umat) hidup dalam ketulusan hati terhadap
tapi kebenaran dalam agamanya masih superior.42 Sikap inklusif dapat dipahami
sebagai bentuk sikap yang sadar akan perbedaan ajaran agama masing-masing.
Inklulsivisme yang dilandasi toleransi itu tidak berarti bahwa semua agama
dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu penghormatan akan kebebasan dan hak
setiap orang untuk beragama. Perbedaan agama tidak boleh menjadi penghalang
yang bersikap inklusif, umat tersebut selalu hadir di tengah-tengah masyarakat untuk
41
A.A. Yewangoe, Allah Mengizinkan Manusia Mengalami Diri-Nya; Pengalaman dengan
Allah dalam Konteks Indonesia yang Berpancasila, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2018, 362-363.
42
Mun‟im Sirry, Mempertanyakan Eksklusivisme-Inklusivisme-Pluralisme Dalam Beragama,
20 Mei 2016, diakses pada 22 Oktober 2019, https://geotimes.co.id/kolom/mempertanyakan-
eksklusivisme-inklusivisme-pluralisme-dalam-beragama/
43
Abu Bakar, “Argumen Al-Qur‟an Tetang Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme”,
Jurnal TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama, Vol. 8, No. 1, (Januari – Juni 2016), 43-60.
31
Berdasarkan pandangan di atas, maka dapat dipahami bahwa ada semacam
kesadaran moral dimana sebagai sesama umat manusia, kita harus hidup dan saling
menghidupkan, sehingga tercipta suatu masyarakat yang rukun dan damai. Jadi sikap
inklusif ini pada hakekatnya lebih berorientasi pada pengembangan sikap untuk
mendiamkan yang lain sejauh tidak mengganggu. Toleransi berarti setiap orang harus
ajarannya tanpa harus mengganggu dan mengusik ajaran agama orang lain.44
toleransi, kesabaran, lapang dada. Tho show great tolerance yang berarti
memperlihatkan sifat sabar yang ditunjukkan individu atau kelompok dalam kata-
kata dan tindakan dalam kehidupannya sehari-hari. Hal itu berarti, bahwa setiap
orang yang mempunyai sikap toleransi adalah orang yang memiliki sikap sabar,
lapang dada.45
44
Aris Angwarmase, Mencari Landasan Pluralisme: Belajar Pada Nurcholis Madjid, dalam:
Interfidei, Seri Agama & Masyarakat, Prospek Pluralitas Agama di Indonesia, Harapan untuk keadilan,
perdamaian dan keutuhan ciptaan di Indonesia, (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 2009), 13.
45
Adi Ekopriyono, The Spirit of Pluralism: Menggali Nilai-Nilai Kehidupan, Mencapai
Kearifan, (Jakarta: Elex Media Komputindo Tahun : 2005), 163.
32
Syafi‟i Anwar, tokoh intelektual muslim, berpendapat bahwa toleransi itu
adalah mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Baginya, yang
orang lain. Artinya, sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang
Masyarakat pada umumnya selalu berpandangan bahwa sikap toleransi itu hanya
masyarakat kecil (kaum minoritas). Cara pandang semacam itu tentunya sangat
keliru. Sikap toleransi itu sesungguhnya bisa dilakukan oleh semua pihak (mayoritas-
minoritas) tanpa terkecuali, karena tujuannya sama yakni tercapainya tujuan hidup
perbedaan yang ada sekali pun mereka berasal dari kelompok-kelompok yang
dominan.
penting untuk dihidupi sebagai gaya hidup komunitas plural secara berkelanjutan.
Implementasi dari sikap toleransi itu, tidak boleh hanya berlaku secara simultan baik
46
Syafi‟i Anwar, , Pluralisme, Bukan Sekadar Toleran, 26 Juni 2006, diakses pada tanggal 22
Oktober 2019, https://tokoh.id/biografi/1-ensiklopedi/pluralisme-bukan-sekadar-toleran/
33
terhadap sesama pemeluk agama yang sama maupun terhadap mereka yang berbeda
toleransi adalah adanya niat hati yang kuat dalam memahami orang lain tanpa merasa
harus kehilangan jati diri sendiri. Mengenal dan memahami pribadi orang lain akan
Sikap toleransi yang dimaksudkan itu, bisa dimulai dari hal-hal yang kecil
namun bermakna, praksis dan relevan bagi yang membutuhkan. Maksudnya hal itu
bisa diwujudkan dalam bentuk aksi nyata seperti, secara bersama-sama semua pihak
dalam hal dukungan urusan perijinan pembangunan rumah ibadah oleh pemerintah,
sepakat untuk menghindari sikap saling menghina, menista dan menghakimi umat
lain, bahkan mengijinkan umat lain untuk beribadah sesuai dengan jadwal
kesatuan yang harus diterima sebagai sebuah relaitas sosial.48 Jikalau demikian
tampilan kehidupan sehari-hari secara natural dan objektif, baik itu melalui sikap
saling membantu, maupun komitmen untuk menjauhkan diri dari sikap saling
membutuhkan pertolongan.
47
Iron Sarira, Maret 2019, Toleransi Dalam Perspektif Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme Terhadap Kajian Penyelesaian Konflik, April 2019, diakses pada tanggal 23
Oktober 2019, https://business-law.binus.ac.id/2019/04/04/toleransi-dalam-perspektif-inklusivisme-
pluralisme-dan-multikulturalisme-terhadap-kajian-penyelesaian-konflik/
48
Ryandi, “Antara Pluralisme Liberal dan Toleransi Islam”, Jurnal KALIMAH, Vol. 11, No.
2, (September 2013), 251-270.
34
Pemahaman yang matang disertai dengan sikap toleransi yang bermartabat,
tentunya sangat menguntungkan bagi semua pihak dan bisa menjadi „model‟ dalam
antarumat beragama. Setiap masalah yang bersinggungan terhadap masalah suku, ras
dan agama, maka sikap prioritas yang patut ditampilkan dalam penyelesaian masalah
tersebut adalah sikap pengendalian diri tanpa harus saling menyalahkan. Forum
dialog para pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemerintah tetap dibutuhkan
pencapaian solusi yang terbaik agar tidak merugikan pihak manapun, dan sebisa
Kata rukun dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” adalah sesuatu yang
harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, rukun juga berarti baik, damai, tidak
bertengkar, bersatu hati dan bersepakat. Kerukunan juga berarti perihal rukun, rasa
rukun atau kesepakatan.49 Kerukunan adalah gaya hidup, tindak gerak, sikap dan
perbuatan bagi setiap umat yang memeluk suatu agama dengan aman, damai,
tenteram, berlapang dada yang berdasarkan saling pengertian dan saling hormat-
menghormati.
Kerukunan sejati hanya dapat terwujud ketika semua pihak secara bersama-sama dan
49
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet IV, Jakarta:
Balai Pustaka, 1995), 850
35
secara interaktif mencari kebenaran bersama yang lebih tinggi, yakni kebenaran
Allah. Oleh karenanya, kerukunan sejati merupakan proses yang dinamis. Ia tidak
sekali jadi.50 Kerukunan tidak mungkin pernah ada jika tanpa adanya masyarakat,
karena masyarakat adalah objek interaksi sosial dalam konteks wilayah tertentu
mengandung arti bahwa keragaman pemeluk agama yang ada di Indonesia diberi
50
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2016), 33
51
Sai Agil Husin Al-Munawwar, Fiqih Hubungan Antar Agama, (cet III, Jakarta: Ciputat
Press, 2005), 60
36
merugikan umat beragama yang lain, karena terganggunya hubungan antar pemeluk
agama akan membawa akibat yang dapat menggoyahkan persatuan dan kesatuan
bangsa.52
untuk mencapai suatu hubungan yang rukun dan harmonis di antara kelompok-
kelompok agama yang ada di Indonesia. Ini merupakan pedoman dan acuan
berbeda beragama dengan mayoritas penduduk setempat yang selama ini bersifat
homogen.54
beragama merupakan sebuah bentuk relasi ideal bagi sesama umat beragama yang
52
Bahrul Hayat, Mengelola Kemajemukan Umat Beragama, (cet I, Jakarta: Saadah Cipta
Mandiri, 2012), 109
53
Olaf Helbert Schuman, Agama dalam Dialog. Pencerahan,Perdamaian, dan Masa depan.
(Cet ke-3, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2003), 59
54
Ahmad Syafi, I Mufid, Dialog agama dan kebangsaan, (cet I November, Jakarta: Zirkul
Hakim, 2001), 27
37
kehidupan bersama secara harmonis dan rukun.55 Kerukunan merupakan kebutuhan
tanpa superioritas, dari kedua belah pihak peserta dialog. Dialog pada prinsipnya
saling pengertian.56 Inti dan tujuan utama dialog ialah belajar, dalam arti kesediaan
berubah, bertumbuh dan bertindak seturut pemahaman yang muncul. Dialog harus
menjadi pintu utama dalam mengembangkan interaksi sosial yang seutuhnya, dan
merupakan aktivitas dari dua arah yang dilangsungkan dengan sikap jujur, tulus dan
rendah hati.57
utama yang diprioritaskan adalah sikap terbuka yang dialogis, memiliki sikap
toleransi sebagai tuntutan dan keharusan.58 Senada dengan itu Haryatmoko, juga
menegaskan bahwa agama yang konkrit adalah agama yang dihayati oleh
pemeluknya dan yang mau berdialog sebagai sarana untuk membawanya pada proses
55
Rasimin, “Toleransi Dan Kerukunan Umat Beragama Di Masyarakat Randuacir”, Program
Doktoral UPI Bandung, INJECT: Interdisciplinary Journal of Communication, Vol.1, No.1, (Juni
2016), 99-118.
56
Raimundo Panikkar, Dialog Intra Religius, 92.
57
Martin Lukito Sinaga, Beriman dalam Dialog..., 73.
58
Th. Sumarthana, Mencari Model Hubungan Antaragama di Masa Mendatang, Beberapa
Catatan Pengantar dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi, Menyambut 70 Tahun Jakob
Oetama, (Jakarta: Buku Kompas, 2001), 243.
38
pemurnian agar membantu pemeluknya dalam mencari kedalaman hidup dan
berpandangan bahwa dialog antaragama adalah suatu cara untuk memahami agama-
agama lain dan kendaraan untuk membawa pengikut agama ke interaksi damai.
Keterbukaan untuk belajar dari ajaran agama lainnya membutuhkan jalan untuk
dari berbagai latar belakang golongan, suku, ras, dan agama, dialog menjadi
keharusan yang patut dijadikan sebagai gaya hidup bagi setiap umat beragama.
Dialog lintas agama secara intens perlu dilakukan agar umat beragama mampu belajar
untuk saling menerima, menghargai dan menghormati satu dengan yang lainnya.
bersama yang bersedia ”face to face” dengan seluruh kedirian rekan dialog kita (di
situ ada proses mengenal, mengerti, mendalami dan menelisik ke batin agama).
Dialog adalah kesediaan berjalan “side by side” bersama umat dengan keberagaman
yang berbeda (di situ ada proses menghadapi tantangan bersama, lalu berkolaborasi
hidup).61
59
Haryatmoko, Etika, Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Buku Kompas, 2003), 64.
60
Izak Y.M.Lattu, Beyond Interreligious Dialogue: Oral-Based Interreligious Engagements
in Indonesia, dalam Annual Review of the Sociology of Religion, (Boston: BRILL, 2018), 71.
61
Martin Lukito Sinaga, Beriman dalam Dialog..., 75.
39
Paul F. Knitter, mengatakan bahwa relasi antaragama bisa dimulai melalui
dialog dengan tetangga, teman di tempat kerja, atau melalui berbagai organisasi
sosial.62 Beberapa pandangan di atas, akhirnya dapat dipahami bahwa dialog muncul
karena adanya relasi sosial yang terbangun dalam hubungan kerja, perjumpaan
dengan tetangga yang berbeda keyakinan, serta partisipasi warga masyarakat secara
kepada masyarakat bahwa fakta keberagaman agama ini harus bersekutu, bukan
untuk membentuk suatu agama tunggal tapi suatu komunitas dialogis dari antara
berbagai komunitas.63
fondasi yang kuat untuk bersikap saling menghargai antara penganut agama yang satu
dengan yang lainnya.64 Rumusan pengertian dialog tersebut, dapat dimengerti bahwa
pengertian etis. Artinya, melalui ruang dialog itu pada prinsipnya seluruh peserta
dialog sedang belajar dan melatih kesadarannya untuk mengakui kebenaran yang
62
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahuwa,
(Yogyakarta: Kanisius, 2014), 6
63
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, hal.9
64
Sumartana, Th., “Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong Dialog Kristen
Islam” dalam Penuntun, Vol. 4, No. 13, (April 2012), 79-89.
40
inheren dalam realitas.65
sehingga tidak jarang dialog antaragama belakangan ini hanya menjadi agenda rutin
dan formalitas. Akibatnya, arah dan tujuan dialog jauh dari harapan yang hendak
itu, teori tindakan komunikasi Habermas, dapat menjadi titik pijak dialog antaragama
yang diharapkan bisa mencairkan kebekuan yang terjadi dalam dialog antaragama.
Konteks hubungan lintas agama, Izak Lattu, menegaskan bahwa dalam dunia
teknologi saat ini, hubungan lintas agama tidak hanya bertumpu pada dialog
formalitas, tetapi meluas pada semua bentuk tindakan sosial yang mendorong
Hubungan lintas agama dapat dilihat dari demensi yang berbeda yakni
membangun relasi harmonis dalam konteks masyarakat plural kini dan di sini.
65
Nicolas J. Woly, Perjumpaan di Serambi Iman: Suatu Study tentang Pandangan Para
Teolog Muslim dan Kristen mengenai Hubungan Antaragama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010),
72
66
A.A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, 33.
67
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement: Memikirkan Sosiologi Hubungan
Lintas Agama, Dalam: Sosiologi Agama Pilihan Berteologi di Indonesia, 25 Tahun Pasca Sarjana
Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana, (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW, 2016), 290
41
sangat penting dalam konteks dunia saat ini. Bahkan Lattu, melihatnya bahwa
dan migrasi umat manusia yang mengubah demografi dunia.68 Salah satu faktor
hubungan keseharian bagi integrasi sosial atau dengan kata lain terkoneksinya
Hubungan keseharian itu dipahami dalam bentuk interaksi kehidupan sebagai satu
bentuk relasi percakapan sehari-hari yang natural namun bermakna demi tercapainya
kerukunan yang merupakan tujuan bersama bagi masyarakat lintas agama. 70 Interaksi
keseharian (face to face interaction) ini menurut Izak, adalah bagian yang sangat
68
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement, 275-276.
69
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagemant, 272
70
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement, 281.
71
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement, 273.
42
dalam praktik komunikasi dengan orang lain; dalam hal ini kita benar-benar berbicara
dan belajar mendengarkan orang lain sekalipun mereka itu sangat berbeda dari kita.72
Memahami pandangan di atas, maka itu berarti pengakuan bahwa dialog kita
kalau mau layak, efektif dan autentik, ya harus inklusif. Artinya, dialog dengan
tetangga yang berbeda belum bisa dianggap berhasil dan komplit kalau suara-suara
mereka yang berbeda dengan kita belum seutuhnya didengarkan.73 Aktivitas dialog
itu wajib memiliki kepekaan dan kemampuan untuk saling mendengarkan dan
memahami orang lain sebagai mitra dialog. Dalam realitas hubungan lintas agama,
maka di atas dasar ini, dialog harus lebih diperkaya dengan kepekaan mendengar dan
ketulusan menerima secara terbuka terhadap berbagai masukan yang lebih positif
superioritas dalam semua agama atau mencari sesuatu yang sama yang membuat
semua agama valid tetapi dengan cara menerima relasionalitas nyata dari semua
agama.74 Model ini mengungkapkan makna perbedaan yang ada bahwa karena bahasa
dan budaya berbeda maka agama juga berbeda. Model ini memiliki dasar pemahaman
dengan keyakinan bahwa agama-agama dunia memang sangat berbeda dan bahwa
72
Izak Lattu, Performative Interreligious Engagement, 283.
73
Nina Mariani Noor (ed.), Manual Etika Lintas Agama Untuk Indonesia, 60.
74
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2003), 49.
75
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial: Kajian Sosiologi Agama tentang Kearifan
Lokal sebagai Modal Dasar Harmoni Sosial,” (JSW: Jurnal Sosiologi Walisongo – Volume 1, Nomor
2, (2017), 195-206
43
Sebagai fakta pluralitas agama haruslah direspon secara mengena dan
relevan serta dapat dimanfaatkan sebagai aset bersama untuk melaksanakan panggilan
agama, mengandung semangat ganda bahwa satu sisi tak hendak mengingkari adanya
perbedaan, bukan hanya sebagai kenyataan yang harus diterima, tetapi juga sebagai
modal yang harus terus dipelihara, bahkan dikembangkan, dan di sisi lain, perbedaan
membangun kebersamaan, serta tekad, semangat, dan upaya untuk mewujudkan cita-
agama-agama memang sudah dibuat berbeda dan akan berbeda sampai selamanya,
keyakinan dan pikiran setiap orang. Keterbukaan merupakan modal dasar dalam
dan realitas, tidak hanya berbicara pada tataran teologis, dimana setiap manusia harus
Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati menyadari bahwa sikap
76
David Samiyono, Membangun Harmoni Sosial: 196-206
77
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial”, 195-206.
78
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial”, 195-206.
44
superioritas tidak bermanfaat untuk mengerti orang lain lebih baik sebab Allah
lahir sebuah kesadaran tentang pentingnya menghargai orang lain, dan upaya
perbedaan dan keragaman adalah hal nyata, maka yang diperlukan adalah
pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain.80 Siapapun yang menolak
Tindakan
Sosial
Tindakan Tindakan
Komunikatif Strategis
Tindakan Tindakan
Strategis yang Strategis terang-
disembunyikan terangan
79
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial”, 195-206.
80
David Samiyono, “Membangun Harmoni Sosial”, 195-206.
45
Habermas menjelaskan bahwa dalam interaksi dialogis agama-agama ada
dua bentuk tindakan sosial yang perlu dipahami. Pertama: Strategic Action (SA), aksi
strategi. Aksi ini bermuara pada manipulasi dan distorsi secara sistematis.81
kelompok. Kedua: Communikative Action (CA), aksi komunikatif. Aksi ini bermuara
pada aksi yang bertujuan mencapai pengertian bersama dan berdasarkan konsensus
masyarakat. Orientasi dari aksi komunikatif ini adalah mencapai kesepakatan dan
media bagi dunia kehidupan.83 Dunia kehidupan itu merupakan konteks tindakan
komunikatif dan kesadaran kolektif dari aktivitas manusia.84 Bagi Habermas, praksis
kehidupan bukan hanya sebagai “kerja”, melainkan juga “komunikasi” sebagai media
interaksi efektif bagi kelangsungan dunia kerja manusia. Karena praksis dilandasi
kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukan alam
dengan kerja, melainkan juga dalam “interaksi intersubjektif” melalui bahasa sehari-
hari.85
81
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu, Rasio dan Rasionalisasi
Masyarakat, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), 409.
82
Izak Y.M.Lattut, Menolak Narasi Tunggal.., 36.
83
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu, 416.
84
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Dua, Kritik atas Rasio Fungsionalis,
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007), 173.
85
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), xx
46
Berdasarkan paradigma itu, Habermas ingin mempertahankan isi normatif
yang terdapat dalam modernitas dan pencerahan kultural. Inti dari maksudnya itu,
adalah apa yang disebut dengan rasionalisasi dunia kehidupan yang dibangun atas
dasar rasio komunikatif. Dunia kehidupan umat manusia terdiri dari agama,
dengan yang lainnya, berinteraksi satu dengan yang lain. Bagi Habermas,
Orientasi utama bagi para partisipan dari tindakan komunikatif ini adalah
tindakan mereka berdasarkan defenisi situasi yang sama. Tujuan akhirnya berujung
pada aksi yang bermuara pada pengertian bersama dan aksi berdasarkan konsensus
masyarakat. Dengan kata lain apa yang dihasilkan itu diperoleh atau dicapai dengan
yaitu pengertian maupun proses untuk mencapai suatu pengertian dianggap sebagai
86
Gerben Heitink, Practical Theology: History, Theory, Action Domains, Michigan, William
B. Eerdmans (Publishing Company, 1999), 136-137.
87
Lattu, Menolak Narasi Tunggal, 36
47
proses mufakat di antara subjek-subjek yang berbicara dan bertindak.88 Dengan
dihubungkan dengan apa yang ada di dunia ini melalui tindakan komunikatif.
Mengacu pada tindakan komunikasi di atas, maka dapat dipahmi bahwa teori
ini dapat dikatakan sebagai titik pijak dialog antaragama, yang bertujuan menyajikan
kondisi, situasi dan prasyarat bagi dialog antaragama yang ideal. Pluralitas agama
yang menjadi identitas dan ciri bangsa Indonesia, tentunya menuntut berbagai
mana para umat beragama mendapat kesempatan yang sama untuk mengekspresikan
perasaan dan kebenarannya sehingga terjadi interaksi dan pemahaman timbal balik
pengambilan keputusan secara sadar, kritis, matang dan memiliki rasa hormat
88
F. Budi Hardiman, Menujuju Masyarakat Komunikatif, 230
48
terhadap orang lain.89 Aktivitas dialog khususnya untuk dibidang agama sangat
titik pijak dialog antaragama, maka dapat dipahami hal itu sebagai suatu usaha
dimensi komunikatif dalam dialog atau perbincangan yang rasional. Dalam konteks
masyarakat plural, teori tindakan komunikatif ini merupakan upaya diskursus etika
yang bersifat praktis, bukan sekadar anjuran etis yang bersifat imperatif-individual
aspek teleologis yang terdapat pada perealisasian tujuan seseorang dan aspek
timbal balik secara konstruktif.92 Dunia kehidupan bisa berjalan harmoni, ketika tidak
ada pemaksaan sesuka hati dari beberapa atau kelompok orang. Oleh karena itu,
89
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Dua,13
90
Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Dua, 125.
91
Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu, 153.
92
Habermas, Teori Tindakan Komunikatif Buku Satu, 154.
49
dibutuhkan komunikasi intersubjektif yang membawa setiap orang menjadi otonom
strategis‟.93 Terhadap bentuk tindakan strategis ini, rupanya lebih berorientasi pada
demi pemenuhan kepentingan pribadi.95 Bahkan dalam hal menggunakan segala cara
tersebut mereka sampai pada tindakan kekerasan sebagai bentuk dari anarkisme,
kelompoknya dan melihat kepentingan orang lain sebagai sesuatu hal yang tidak
penting.96
semacam ini sengaja disetting secara terselubung demi mencapai tujuan akhir
93
Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action I: Reason and The Rationalization
of Society, (Boston: Beacon Press, 1984), 18
94
Lattu, Menolak Narasi Tunggal, 36
95
Habermas, The Theory of Communicative Action I: 25.
96
Lattu, Menolak Narasi Tunggal, 36
50
mengikutsertakan orang lain, tujuannya tidak inheren dengan penggunaan bahasa dan
sedemikian rupa sehingga orang merasa berkepentingan untuk bekerja sama. Tujuan-
mengungkapkan kekuatan.
tindakan komunikatif yang interaktif. Tujuan komunikasi adalah agar saling mengerti.
Karena itu, Habermas membedakan tindakan tersebut menjadi dua macam: tindakan
demi sasaran (dengan rasionalitas sasaran) dan tindakan demi pemahaman (dengan
rasionalitas komunikatif).98 Tindakan demi sasaran masih dibedakan menjadi dua lagi
yaitu: tindakan instrumental, yang diarahkan pada alam dan tindakan strategis, yang
artinya seseorang mengklaim bahwa apa yang ia ungkapkan tepat seperti apa yang ia
maksudkan. “Benar” berarti bahwa apa yang saya katakan adalah apa yang memang
97
Habermas, The Theory of Communicative Action I: 31
98
Mirna Safitri, Pemikiran Jurgen Habermas, Mei 2011, diakses pada 25 Oktober 2019,
http://mirnasafitri244.blogspot.com/2011/05/pemikiran-jurgen-habermas.html/.
99
Hardiman, F.B., Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 37
51
mau saya ungkapkan. “Jujur” artinya saya tidak berbohong. “Betul”, berarti apa yang
saya katakan itu wajar saya katakan.100 Supaya komunikasi dapat berhasil, orang
harus berbicara dengan jelas, benar, jujur, dan betul, sehingga hubungan antar
pengetahuan dan pelbagai norma yang tidak direfleksikan. Dunia kehidupan adalah
II. 4. Kesimpulan
penting untuk dihidupkan, semata-mata untuk membangun relasi yang baik dikala
„kebenaran‟ yang satu bertemu dengan „kebenaran‟ yang lainnya. Artinya, bagian ini
yang hendak dilihat orang adalah bagaimana memandang dialog antaragama itu
sebagai sebuah jalan bersama menuju dunia baru yang rukun dan damai.
100
Santosa „Irfaan, Jurgen Habermas: Problem Dialektika Ilmu Sosial, (Stain Purwokerto,
Jurnal: Dakwah dan Komunikasi Issn: 1978-1261 Vol.3 No.1 Januari-Juni 2009), 4
101
Nani Efendi, (Makalah Sospol), Filsafat Komunikasi Jurgen Habermas: Mempertahankan
Pencerahan Menuju Masyarakat Rasional, 2016, http://catatannaniefendi.blogspot.com/, diakses pada
tanggal 24 Oktober 2019, http://catatannaniefendi.blogspot.com/2016/09/filsafat-komunikasi-jurgen-
habermas.html/.
102
Sindung Tjahyadi, Teori Kritis Jurgen Habermas, Asumsi-asumsi Dasar Menuju
Metodologi Kristik Sosial, (Yogyakarta: UGM, 2003), 194.
52
Pluralisme religius adalah fakta bahwa semua manusia diciptakan berbeda
berdasarkan apa yang dipahami dan apa yang diyakini itulah yang diimani. Pluralitas
menjadi penting, karena melaluinya setiap orang mampu menerima sesamanya dan
menghargai apa yang dipercayai orang lain, sekaligus mengandung makna kesediaan
berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar saling menghormati, menghargai, dan
mengajukan klaim normatif bahkan menentang pendapat partisipan lainnya. Hal itu
53