Oleh:
Puspo Renan Joyo
Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya
pusporenanjoyo@iahntp.ac.id
ABSTRAK
Indonesia adalah negara yang memiliki kompleksitas kebudayaan, dan keragaman
agama. Pada kenyataannya, keragaman agama tidak hanya menghadirkan
keunikan dan kerjasama, tetapi juga konflik keagamaan yang lahir dari sikap
eksklusifisme, radikalisme dan politik identitas. Tulisan ini bertujuan untuk
mengkaji dan mendeskripsikan gagasan non-kekerasan, solidaritas, toleransi dan
kesetaraan yang ada di dalam Bhagavad-gītā. Analisa terhadap kajian ini
menggunakan teori etika global dari pemikiran Hans Kung. Teori ini
berkontribusi dalam melihat pentingnya nilai non-kekerasan, solidaritas, toleransi,
dan kesetaraan dalam mewujudkan perdamaian agama-agama. Hasil dari kajian
ini menunjukkan bahwa Bhagavad-gītā memiliki gagasan penting tentang moral
non-kekerasan sebagai keutamaan dari pengetahuan, sifat mulia, wujud kesadaran
dan pengendalian diri (tapa). Pada aspek solidaritas dan aktualisasi kebenaran,
Bhagavad-gītā menawarkan nilai „Lokasamgraha‟ dan „dharma‟ sebagai basis
moral dalam tindakan sosial. Berkaitan dengan dialektika toleransi dan
kesetaraan, secara implisit, hal ini digambarkan dengan kemerdekaan dalam
pilihan iman bagi setiap individu, dimana pada wilayah isoterik keragaman itu
melebur dalam kualitas yang serupa, kemanunggalan. Pada akhirnya, hasil kajian
ini diharapkan menjadi referensi dalam wacana perdamaian agama di Indonesia.
Kata kunci: Bhagavad-gītā, etika global
I. PENDAHULUAN
Negara Indonesia di bangun dari lapisan keragaman yang kompleks.
Kompleksitas itu tampak dalam corak primordial atau unsur-unsur kebudayaan
yang membentuknya, antara lain bahasa, sistem pengetahuan, sistem
kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,
sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian [1]. Mengacu pada
Furnivall, maka secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah plural, yakni,
“comprising two or more elements or social orders, which live side by side, yet
without mingling, in one political unit” [2]. Dalam perjalanannya, dinamika
puralitas tidak hanya menampilkan nilai-nilai kerjasama, harmoni dan unique,
tetapi juga konflik. Pluralitas agama dalam konstelasi wacana kerukunan
beragama di Indonesia menjadi salah satu isu yang paling menyita perhatiaan dan
energi, setidaknya dalam tiga dasawarsa terakhir.
Gagasan ideal agama sebagai sumber nilai moralitas, spiritualitas, dan
perdamaian belum terdefinisikan dengan semestinya pada ranah praksis [3], [4],
tetapi sebaliknya justru acap tertuduh sebagai pemantik pertikaian dan kekerasan.
Sejarah mencatat, Indonesia memiliki kenangan traumatik mengenai hal ini [5]–
[7], demikian pula dalam skala global, Mark Juergensmeyer dalam risetnya yang
mendalam dan kemudian dibukukan dalam sebuah judul “Terror in the Mind of
God: The Global Rise of Religious Violence” tidak hanya mengisahkan rentetan
peristiwa kekerasan dari agama-agama besar dunia atau catatan kekerasan yang
berlatar belakang agama, namun juga mengungkap bagaimana aksi-aksi publik
abad ini, dimana agama turut memberi motivasi, justifikasi, organisasi dan
pandangan dunianya [8].
Fakta dari konflik-konflik primordial yang ada, khususnya konflik agama,
telah menunjukkan bahwa kerukunan agama masih dalam tantangan besar.
Dengan demikian, wacana terhadap kerukunan beragama sangat relevan dan harus
didengungkan secara masif. Kajian akademik yang bersifat eksploratif terhadap
nilai-nilai etik dan universal agama-agama memiliki urgensi dalam memberikan
kontribusi terhadap literasi publik tentang perdamaian. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi berangsur telah mengubah peradaban manusia pada
satu tatanan hidup bersama yang menyaratkan adanya kolaborasi, kebersamaan
dan kerjasama. Sekat primordial, ruang dan waktu telah semakin memudar.
Manusia semakin tidak berjarak dan seolah berada dalam satu „kampung‟ yang
sama (global village) [9], [10]. Peradaban ini memerlukan kesadaran kolektif,
dimana perjumpaan manusia dengan segala kompleksitas kehidupannya, menuntut
cara berpikir yang lebih terbuka, inklusif, memiliki cita-cita perdamaian, toleransi,
etika universal, prinsip pluralisme social, dan persaudaraan umat manusia [11].
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan mengeksplorasi gagasan non-
kekerasan, solidaritas, toleransi dan kesetaraan yang ada di dalam Bhagavad-gītā
dalam telaah etika global Hans Kung. Hasil kajian ini diharapkan memiliki
kontribusi dalam mewujudkan kerukunan beragama di Indonesia, khususnya.
Berkaitan dengan tema yang diusung dalam tulisan ini, telah dijumpai beberapa
kajian yang memiliki kedekatan pembahasan, diantaranya adalah:
Pertama, penelitian dari Muhamad Harjuna (2019) yang kemudian dimuat
dalam jurnal “Living Islam: Journal of Islamic Discourses”, berjudul “Dialog
Lintas Agama dalam Perspektif Hans Kung”. Kajian Harjuna membahasa
mengenai urgensi agama dalam peran moralnya untuk berkontribusi terhadap
persoalan kemanusiaan dan perdamaian. Melalui telaah pemikiran Hans Kung,
Harjuna berpandangan bahwa dialog agama dengan realitas merupakan satu usaha
yang baik. Tidak ada perdamaian tanpa dialog, dan tidak ada dialog tanpa
penyelaman agama. Tujuan dialog dianggap sebagai upaya untuk menemukan
jiwa-jiwa religius yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap penyelesaian
persoalan kemanusiaan. Model dialog yang ditawarkan adalah dialog konstruktif
dengan semangat membangun konsensus bersama dan untuk menciptakan
perdamaian dunia. Harjuna juga menyinggung mengenai etika global yang
bertujuan mempromosikan perdamaian antaragama dan “menyembuhkan” dunia
yang mengalami krisis makna, nilai, dan norma. Menyitir pandangan Kung,
Harjuna menawarkan umat beragama untuk melakukan perubahan budaya
koeksistensi menjadi proeksistensi. Membangun budaya tanpa kekerasan
menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaa. Penelitian Harjuna menelaah pemikiran
Hans Kung mengenai signifikansi dialog dalam mewujudkan perdamaian dari
perspektif Hans Kung, sedangkan standpoint dari tulisan ini lebih pada upaya
eksplorasi etika global dalam Bhagavad-gītā berdasarkan gagasan etika Hans
Kung [12].
Kedua, Khairiah Husin (2009) hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam
jurnal “TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama”, berjudul
“Etika Global: Sumbangan Hans Kung dalam Dialog Antar Agama”, Husin
menyatakan bahwa mencermati bagaimana peralihan dari era modern ke era pasca
modern, Kung melihat beberapa faktor penting yang menjadi paradigma dalam
teologi krisis. Faktor-faktor tersebut sangat kritis terhadap paradigma yang ada,
setiap upaya untuk melakukan pergeseran paradigma harus memperhatikan faktor-
faktor tersebut antara lain: ilmu pengetahuan, filosofi demokrasi critisme, teori
ilmu sosial agama, dan tafsir gerakan pembebasan. Jenis paradigma yang paling
cocok untuk era postmodern Kung menyebut empat dimensi yang harus
dipancarkan dari paradigma postmodern yaitu dimensi alkitabiyah ekumenis dan
politik. Dalam bidang teologi ia mengajukan model teologi postmodern, yang ia
sebut sebagai teologi ekumenis kritis. model ini dianggap teologi yang tepat untuk
kebutuhan dialog antaragama. Selain itu juga dijelaskan mengenai etika global,
dimana dunia dipandang masih haus akan perdamaian, karenanya setiap agama
berbagi pada satu tanggungjawab bersama yaitu menciptakan perdamaian melalui
instrument dialog. Perbedaan tulisan ini dengan kajian Husin terletak pada objek
materialnya yakni Bhagavad-gītā yang diteropong dari gagasan etika Hans Kung,
sedangkan Husni murni pada kajian pemikiran Hans Kung mengenai etika global
[13].
Ketiga, Reinardus L. Meo (2019) dalam sebuah penelitian dimuat dalam
jurnal “Ledalero”, berjudul “Sumbangan Etika Global Hans Küng Demi
Terwujudnya Perdamaian dan Relevansinya Bagi Indonesia”. Kajian Meo
dimaksudkan untuk memperkenalkan etika global Hans Küng dan kontribusinya
bagi perdamaian dunia. Etika global dimaknai sebagai konsensus dasar tentang
nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tidak dapat dibatalkan, dan sikap dasar
yang ditegaskan oleh semua agama, meskipun secara dogmatis mereka berbeda,
dan yang sebenarnya dapat diberikan oleh orang yang tidak beriman. Menyitir
pandangan Küng, Meo menekankan peran penting agama tanpa mengabaikan
komunitas non-agama yang pada prinsipnya hadir untuk mewujudkan kedamaian
sebagai ciri utama ajaran mereka. Meo menyimpulkan bahwa pandangan Küng
sangat relevan dalam upaya mewujudkan perdamaian di Indonesia yang sangat
majemuk, dengan instrument dialog. Demikian penelitian Meo, sedangkan
standpoint dari tulisan ini lebih pada usaha-usaha penggalian nilai-nilai etika
global di dalam Bhagavad-gītā yang didasarkan dari etika Hans Kung [14].
Ketiga penelitian di atas memiliki kontribusi penting, khususnya pada aspek
analisis, metodologis dan standpoint kajian, dengan demikian diharapkan dapat
dijumpai hal baru yang diperoleh.
Sloka ini merupakan percakapan Sri Krishna dengan Arjuna sesaat sebelum
Bharata Yudha, perang legendaris Hastina Pura antara Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini penuh dengan dilema moral yang menggugah. Konsepsi tentang „Loka-
saṅgraham‟ sendiri terlahir dari sebuah situasi dilema moral yang terjadi saat itu,
dimana Arjuna ketika berada di medan perang melihat begitu banyak orang-orang
yang dia kenal, bahkan memiliki kedekatan emosional dengan dirinya. Ia
menyaksikan sahabat, keluarga, kakek sekaligus guru. Tokoh besar seperti Rsi
Bhisma, Dronacharya, Karna, Duryodana, Dursasana, keluarga lain dari pihak
Kaurawa dan teman-teman dari kerajaan lain yang harus ia hadapi sebagai musuh.
Arjuna tidak kuasa memikul beban berat yang dirasakan ketika itu. Ia tertunduk
lemah, busur Gandiwa-nya terlepas dari tangannya. Di depan Sri Krishna, Arjuna
mengatakan bahwa dirinya tidak ingin berperang. Ia rela mengalah dari
peperangan itu dan menyerahkan tahta Hastinapura kepada pihak Duryodana
(Kaurawa). Dilema tersebut kemudian tanggapi oleh Sri Krishna, hingga sampai
pada penjelasan mengenai konsep „loka-saṅgraham‟, sebagaimana yang dijelaskan
dalam Bhagavad-gītā III.20 dan Bhagavad-gītā III.25. Lebih detail percakapan
dilematis dan sarat nilai antara Sri Krishna dan Arjuna itu tertuang dalam
Bhagavad-gita, bab I hingga bab III, “Observing the armies on the battlefield of
Kuruksetra (Arjuna Visada Yoga), contents of the Gita Summarized (Sankya
Yoga), dan Karma Yoga” [20], [30].
„Loka-saṅgraham‟ merupakan salah satu basis filosofi Hindu dalam
tindakan sosial. Secara epistemologi, pemikiran ini terlahir dari satu pergulatan
pemikiran filosofi Ajuna, dimana dirinya harus memilih untuk berperang dan
tidak berperang. Pilihan tersebut membawa implikasi yang tidak sederhana,
karena melibatkan pertimbangan-pertimbangan moral yang kompleks. Pada ujung
kesadarannya, Arjuna memilih untuk melawan Kaurawa dengan satu landasan
moralitas, yakni „dharma‟. Ia melepaskan segala pertimbangan yang didasarkan
atas pertimbangan-pertimbangan personal menuju pada orientasi pertimbangan
dan tindakan yang bersifat universal. Pada pemahaman ini, „loka-saṅgraham‟
merupakan satu prinsip etis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan
publik yang sarat dengan prinsip solidaritas global ethic Hans Kung.
Hal menarik yang patut dipotret dalam Bhagavad-gītā adalah tentang
prinsip „dharma‟ atau aktualisasi dari nilai-nilai kebenaran dalam kehidupan.
Berdasarkan kajian, setidaknya kata „dharma‟ telah disebutkan dalam 16 sloka di
dalam Bhagavad-gītā. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai ini memperoleh
perhatian yang begitu mendalam. „Dharma‟ menjadi satu landasan filosofi dalam
filsafat tindakan manusia. Dari sekian penyebutan „dharma‟, terdapat dua [2]
sloka yang patut untuk dijadikan pegangan, Bhagavad-gītā IV.7-8:
“Whenever and wherever there is a decline in religious practice, O
descendant of Bharata, and a predominant rise of irreligion - at that time I
descend Myself. To deliver the pious and to annihilate the miscreants, as
well as to reestablish the principles of religion, I Myself appear, millennium
after millennium [20]”.
„Kisruh‟ keagamaan yang terjadi selama ini disebabkan kedua faktor ini,
toleransi dan kesetaraan. Walaupun yang dimaksud Kung bahwa kesetaraan juga
di dalamnya terkait gender, namun poros utamanya adalah persoalan kesetaraan
yang sama, secara filosofi bermula pada satu pengakuan terhadap yang lain. Jika
menyangkut gender, tentu pengakuan itu berkaitan dengan kesetaraan kualitas
gender. Agak sulit untuk berpandangan dan berperilaku toleransi, setara dan adil
jika tidak adanya pengakuan „kebenaran‟ yang secara kualitatif memiliki
kesetaraan. inilah yang dijadikan refleksi Kung mengapa agama menjadi
episentrum bagi terwujudnya perdamaian peradaban.
Bhagavad-gītā, secara implisit telah mendasari wawasan keagamaannya
mengenai kemungkinan kebenaran bagi keimanan atau agama yang lain. Sebuah
wawasan yang secara padat menyiratkan mengenai etika toleransi dan kesetaraan.
Melalui penjelasan sloka di atas, Bhagavad-gītā tidak secara dogmatis
berpandangan bahwa kebenaran hanya dimungkinkan melalui satu metode
eksklusuf dari caranya sendiri dan menegasikan yang lain. Di dalam karyanya
„Dancing with Shiva: Hinduism‟s Contemporary Catechism‟, Subramuniyaswami
menyampaikan, „no particular religion teaches the only way to salvation above all
others, but that all genuine religious paths are facets of God‟s Pure Love and
Light, deserving tolerance and understanding‟ [31]–[33]. Pandangan Bhagavad-
gītā menyiratkan perhatian pada semua agama dan tidak pernah merendahkan
keyakinan lain dimanapun. Ada rasa keberterimaan dan penghormatan kebenaran
dari manapun datangnya dan apapun atribut yang dikenakannya. Keragaman
corak dan manifestasi ekspresi penghayatan keagamaan dipandang sebagai
panorama eksoterik semata dan hal itu bersifat natural karena manusia memiliki
keragaman tingkat intelektualitas dan spiritualitas. Fenomena keragaman
merupakan langkah permulaan dari sebuah hakikat kesadaran keilahian, karena
pada akhirnya akan memuncak pada kemanungalan isoterik [31], [34].
III. KESIMPULAN
Pemikiran global ethic Hans Kung yang secara spesifik dalam kajian ini
berkaitan dengan prinsip etis non kekerasan, solidaritas, toleransi dan kesetaraan,
secara implisit dapat dijumpai dalam Bhagavad-gītā. Pertama, etika non
kekerasan dijumpai dalam Bhagavad-gītā dhyaya XIII.7-11; Bhagavad-gītā,
adhyaya XVI.1-3; dan Bhagavad-gītā, adhyaya XVII.14. Etika non kekerasan
berkelindan dengan prinsip ahiṃsā yang bermakna tidak menyakiti atau
melakukan kekerasan terhadap semua makhluk. Ahiṃsā merupakan salah sat
aktualisasi dari pemikiran Chandogya Upanishad ‟tat tvam asi [That thou art],
yang mewakili tema sentral filosofi „Advaita‟, „Tat Tvam Asi‟ menyatukan
gagasan makrokosmik Tuhan dan kesadaran universal dengan ekspresi individu
mikrokosmik dari diri. Kedua, etika solidaritas dan aktualisasi kebenaran Kung, di
dalam Bhagavad-gītā terindentifikasi dalam prinsip „Loka-saṅgraham‟ yang
terdapat dalam Bhagavad-gītā III.20 dan Bhagavad-gītā III.25, yang
menerangkan tentang prinsip tindakan yang berorientasi kepentingan dan
kesejahteraan public, dan prinsip „Dharma‟, yang terjabarkan setidaknya dalam
enam belas [16] sloka Bhagavad-gītā, yakni Bhagavad-gītā I.1; Bhagavad-gītā
II.7; Bhagavad-gītā II.31; Bhagavad-gītā II.33; Bhagavad-gītā II.40; Bhagavad-
gītā III.35; Bhagavad-gītā III.36; Bhagavad-gītā IV.7; Bhagavad-gītā IV.8;
Bhagavad-gītā IX.3; Bhagavad-gītā IX.21; Bhagavad-gītā XI.18; Bhagavad-gītā
XIV.27; Bhagavad-gītā XVIII.31-34. Prinsip etis „loka-saṅgraham‟ dan „dharma‟
merupakan filosofi tindakan dalam konteks individual dan sosial. Ketiga, toleransi
dan kesetarian yang merupakan bagian penting dalam pemikiran etika global Hans
Kung dapat dijumpai secara filosofis dan Bhagavad-gītā IV.11-12. Pada sloka
tersebut diuraikan mengenai kebebasan iman dan visi kesetaraan manusia.
Kajian ini secara spesifik memberikan gambaran terhadap Bhagavad-gītā
yang secara filsosofi dan substansi memiliki sinergitas dengan pemikiran Hans
Kung tentang Global Ethic. Hal ini diharapkan menjadi pengetahuan baru
(novelty) mengenai prinsip-prinsip etika global dalam Bhagavad-gītā yang pada
akhirnya mampu diterapkan dalam kehidupan nyata oleh para pembaca
Bhagavad-gītā untuk mewujudkan perdamaian global.
DAFTAR PUSTAKA