Anda di halaman 1dari 13

ETIKA GLOBAL BHAGAVAD-GĪTĀ

DALAM PERSPEKTIF ETIKA HANS KUNG

Oleh:
Puspo Renan Joyo
Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya
pusporenanjoyo@iahntp.ac.id

ABSTRAK
Indonesia adalah negara yang memiliki kompleksitas kebudayaan, dan keragaman
agama. Pada kenyataannya, keragaman agama tidak hanya menghadirkan
keunikan dan kerjasama, tetapi juga konflik keagamaan yang lahir dari sikap
eksklusifisme, radikalisme dan politik identitas. Tulisan ini bertujuan untuk
mengkaji dan mendeskripsikan gagasan non-kekerasan, solidaritas, toleransi dan
kesetaraan yang ada di dalam Bhagavad-gītā. Analisa terhadap kajian ini
menggunakan teori etika global dari pemikiran Hans Kung. Teori ini
berkontribusi dalam melihat pentingnya nilai non-kekerasan, solidaritas, toleransi,
dan kesetaraan dalam mewujudkan perdamaian agama-agama. Hasil dari kajian
ini menunjukkan bahwa Bhagavad-gītā memiliki gagasan penting tentang moral
non-kekerasan sebagai keutamaan dari pengetahuan, sifat mulia, wujud kesadaran
dan pengendalian diri (tapa). Pada aspek solidaritas dan aktualisasi kebenaran,
Bhagavad-gītā menawarkan nilai „Lokasamgraha‟ dan „dharma‟ sebagai basis
moral dalam tindakan sosial. Berkaitan dengan dialektika toleransi dan
kesetaraan, secara implisit, hal ini digambarkan dengan kemerdekaan dalam
pilihan iman bagi setiap individu, dimana pada wilayah isoterik keragaman itu
melebur dalam kualitas yang serupa, kemanunggalan. Pada akhirnya, hasil kajian
ini diharapkan menjadi referensi dalam wacana perdamaian agama di Indonesia.
Kata kunci: Bhagavad-gītā, etika global

I. PENDAHULUAN
Negara Indonesia di bangun dari lapisan keragaman yang kompleks.
Kompleksitas itu tampak dalam corak primordial atau unsur-unsur kebudayaan
yang membentuknya, antara lain bahasa, sistem pengetahuan, sistem
kemasyarakatan atau organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi,
sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian [1]. Mengacu pada
Furnivall, maka secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah plural, yakni,
“comprising two or more elements or social orders, which live side by side, yet
without mingling, in one political unit” [2]. Dalam perjalanannya, dinamika
puralitas tidak hanya menampilkan nilai-nilai kerjasama, harmoni dan unique,
tetapi juga konflik. Pluralitas agama dalam konstelasi wacana kerukunan
beragama di Indonesia menjadi salah satu isu yang paling menyita perhatiaan dan
energi, setidaknya dalam tiga dasawarsa terakhir.
Gagasan ideal agama sebagai sumber nilai moralitas, spiritualitas, dan
perdamaian belum terdefinisikan dengan semestinya pada ranah praksis [3], [4],
tetapi sebaliknya justru acap tertuduh sebagai pemantik pertikaian dan kekerasan.
Sejarah mencatat, Indonesia memiliki kenangan traumatik mengenai hal ini [5]–
[7], demikian pula dalam skala global, Mark Juergensmeyer dalam risetnya yang
mendalam dan kemudian dibukukan dalam sebuah judul “Terror in the Mind of
God: The Global Rise of Religious Violence” tidak hanya mengisahkan rentetan
peristiwa kekerasan dari agama-agama besar dunia atau catatan kekerasan yang
berlatar belakang agama, namun juga mengungkap bagaimana aksi-aksi publik
abad ini, dimana agama turut memberi motivasi, justifikasi, organisasi dan
pandangan dunianya [8].
Fakta dari konflik-konflik primordial yang ada, khususnya konflik agama,
telah menunjukkan bahwa kerukunan agama masih dalam tantangan besar.
Dengan demikian, wacana terhadap kerukunan beragama sangat relevan dan harus
didengungkan secara masif. Kajian akademik yang bersifat eksploratif terhadap
nilai-nilai etik dan universal agama-agama memiliki urgensi dalam memberikan
kontribusi terhadap literasi publik tentang perdamaian. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi berangsur telah mengubah peradaban manusia pada
satu tatanan hidup bersama yang menyaratkan adanya kolaborasi, kebersamaan
dan kerjasama. Sekat primordial, ruang dan waktu telah semakin memudar.
Manusia semakin tidak berjarak dan seolah berada dalam satu „kampung‟ yang
sama (global village) [9], [10]. Peradaban ini memerlukan kesadaran kolektif,
dimana perjumpaan manusia dengan segala kompleksitas kehidupannya, menuntut
cara berpikir yang lebih terbuka, inklusif, memiliki cita-cita perdamaian, toleransi,
etika universal, prinsip pluralisme social, dan persaudaraan umat manusia [11].
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan mengeksplorasi gagasan non-
kekerasan, solidaritas, toleransi dan kesetaraan yang ada di dalam Bhagavad-gītā
dalam telaah etika global Hans Kung. Hasil kajian ini diharapkan memiliki
kontribusi dalam mewujudkan kerukunan beragama di Indonesia, khususnya.
Berkaitan dengan tema yang diusung dalam tulisan ini, telah dijumpai beberapa
kajian yang memiliki kedekatan pembahasan, diantaranya adalah:
Pertama, penelitian dari Muhamad Harjuna (2019) yang kemudian dimuat
dalam jurnal “Living Islam: Journal of Islamic Discourses”, berjudul “Dialog
Lintas Agama dalam Perspektif Hans Kung”. Kajian Harjuna membahasa
mengenai urgensi agama dalam peran moralnya untuk berkontribusi terhadap
persoalan kemanusiaan dan perdamaian. Melalui telaah pemikiran Hans Kung,
Harjuna berpandangan bahwa dialog agama dengan realitas merupakan satu usaha
yang baik. Tidak ada perdamaian tanpa dialog, dan tidak ada dialog tanpa
penyelaman agama. Tujuan dialog dianggap sebagai upaya untuk menemukan
jiwa-jiwa religius yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap penyelesaian
persoalan kemanusiaan. Model dialog yang ditawarkan adalah dialog konstruktif
dengan semangat membangun konsensus bersama dan untuk menciptakan
perdamaian dunia. Harjuna juga menyinggung mengenai etika global yang
bertujuan mempromosikan perdamaian antaragama dan “menyembuhkan” dunia
yang mengalami krisis makna, nilai, dan norma. Menyitir pandangan Kung,
Harjuna menawarkan umat beragama untuk melakukan perubahan budaya
koeksistensi menjadi proeksistensi. Membangun budaya tanpa kekerasan
menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaa. Penelitian Harjuna menelaah pemikiran
Hans Kung mengenai signifikansi dialog dalam mewujudkan perdamaian dari
perspektif Hans Kung, sedangkan standpoint dari tulisan ini lebih pada upaya
eksplorasi etika global dalam Bhagavad-gītā berdasarkan gagasan etika Hans
Kung [12].
Kedua, Khairiah Husin (2009) hasil penelitian yang telah diterbitkan dalam
jurnal “TOLERANSI: Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama”, berjudul
“Etika Global: Sumbangan Hans Kung dalam Dialog Antar Agama”, Husin
menyatakan bahwa mencermati bagaimana peralihan dari era modern ke era pasca
modern, Kung melihat beberapa faktor penting yang menjadi paradigma dalam
teologi krisis. Faktor-faktor tersebut sangat kritis terhadap paradigma yang ada,
setiap upaya untuk melakukan pergeseran paradigma harus memperhatikan faktor-
faktor tersebut antara lain: ilmu pengetahuan, filosofi demokrasi critisme, teori
ilmu sosial agama, dan tafsir gerakan pembebasan. Jenis paradigma yang paling
cocok untuk era postmodern Kung menyebut empat dimensi yang harus
dipancarkan dari paradigma postmodern yaitu dimensi alkitabiyah ekumenis dan
politik. Dalam bidang teologi ia mengajukan model teologi postmodern, yang ia
sebut sebagai teologi ekumenis kritis. model ini dianggap teologi yang tepat untuk
kebutuhan dialog antaragama. Selain itu juga dijelaskan mengenai etika global,
dimana dunia dipandang masih haus akan perdamaian, karenanya setiap agama
berbagi pada satu tanggungjawab bersama yaitu menciptakan perdamaian melalui
instrument dialog. Perbedaan tulisan ini dengan kajian Husin terletak pada objek
materialnya yakni Bhagavad-gītā yang diteropong dari gagasan etika Hans Kung,
sedangkan Husni murni pada kajian pemikiran Hans Kung mengenai etika global
[13].
Ketiga, Reinardus L. Meo (2019) dalam sebuah penelitian dimuat dalam
jurnal “Ledalero”, berjudul “Sumbangan Etika Global Hans Küng Demi
Terwujudnya Perdamaian dan Relevansinya Bagi Indonesia”. Kajian Meo
dimaksudkan untuk memperkenalkan etika global Hans Küng dan kontribusinya
bagi perdamaian dunia. Etika global dimaknai sebagai konsensus dasar tentang
nilai-nilai yang mengikat, kriteria yang tidak dapat dibatalkan, dan sikap dasar
yang ditegaskan oleh semua agama, meskipun secara dogmatis mereka berbeda,
dan yang sebenarnya dapat diberikan oleh orang yang tidak beriman. Menyitir
pandangan Küng, Meo menekankan peran penting agama tanpa mengabaikan
komunitas non-agama yang pada prinsipnya hadir untuk mewujudkan kedamaian
sebagai ciri utama ajaran mereka. Meo menyimpulkan bahwa pandangan Küng
sangat relevan dalam upaya mewujudkan perdamaian di Indonesia yang sangat
majemuk, dengan instrument dialog. Demikian penelitian Meo, sedangkan
standpoint dari tulisan ini lebih pada usaha-usaha penggalian nilai-nilai etika
global di dalam Bhagavad-gītā yang didasarkan dari etika Hans Kung [14].
Ketiga penelitian di atas memiliki kontribusi penting, khususnya pada aspek
analisis, metodologis dan standpoint kajian, dengan demikian diharapkan dapat
dijumpai hal baru yang diperoleh.

Parlemen agama-agama dunia pada kongres yang dilaksanakan di Chicago


pada 28 Agustus hingga 4 September 1993 mengumumkan deklarasi menuju etika
global. Deklarasi ini lahir didasarkan pada satu pemikiran bahwa dunia dan agama
berubah. Dunia saat ini bersatu, polisentris, multi budaya, dan multi agama.
Dalam konteks ini, satu-satunya jalan untuk hubungan antaragama adalah dengan
“persaudaraan antaragama”. Agama-agama dengan nilai etika yang tinggi harus
secara umum terlibat dalam dialog tentang masalah kritis masa depan kehidupan
dan nasib manusia. Parlemen agama-agama dunia meyakini bahwa nilai-nilai
etika yang terkandung dalam agama mampu diaktualisasikan dalam memberikan
problem solving atas krisis global yang dihadapi dunia ini dan mengancam masa
depan umat manusia. Nilai-nilai etika itu sendiri memunginkan untuk dapat
menyelesaikan semua persoalan dunia yang begitu rumit, namun dapat menjadi
landasan moral bagi individu yang lebih baik dan tatanan global. Itulah sebabnya
parlemen secara eksplisit menyatakan bahwa “No better global order without a
global ethic” [15].
Kung, dalam “Global Ethic: The Declaration of the Parliament of the
World's Religions” [16] menyatakan prinsip-prinsip „etika global‟, sebagai
berikut, pertama, tiada tatanan global yang baru tanpa etika global. Kedua,
tuntutan fundamental yang harus diindahkan bersama adalah manusia harus
diperlakukan secara manusiawi. Pada tataran ini melahirkan satu prinsip “golden
rule”, yaitu “apa yang tidak kamu inginkan, jangan lakukan itu pada orang lain”.
Ketiga, empat petunjuk yang tidak terbatalkan, yaitu: 1) komitmen pada budaya
tanpa kekerasan dan hormat pada hidup, 2) komitmen pada budaya solidaritas dan
tata ekonomi yang adil, 3) komitmen pada budaya toleransi dan hidup dalam
kebenaran, dan 4) komitmen pada kebudayaan kesetaraan hak dan kerjasama
antara laki-laki dan perempuan. Keempat, penting dan mendesaknya perubahan
kesadaran [14]–[18].
Pemikiran Kung memiliki relevansi dengan situasi ke-Indonesia-an saat ini,
dimana pluralitas telah menjadi identitas Indonesia. Dalam dinamikanya,
kenyataan itu tidak hanya melahirkan keunikan, kerjasam dan harmoni, tetapi juga
konflik yang traumatic bagi bangsa Indonesia. Gagasan global ethic yang
ditawarkan Hans Kung memberikan opsi-opsi penting dalam mengelola dan
meredam potensi konflik yang ada.
Dalam tulisan ini, global ethic Hans Kung dijadikan sebagai guideline
untuk menganalisa dan menemukan prinsip-prinsip etika global dalam Bhagavad-
gītā. Pengungkapan nilai-nilai ini diharapkan menjadi referensi pemikiran dalam
wacana kerukunan beragama di Indonesia khususnya, dari perpsektif agama
Hindu. Kajian mengenai global ethic Hans Kung dalam Bhagavad-gītā di dalam
tulisan ini meliputi: 1) non kekerasan dan penghormatan pada kehidupan, 2)
solidaritas, 3) toleransi dan hidup yang benar, dan 4) persamaan hak dan
kesetaraan.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1.Non Kekerasan [Non Violence]


Global ethic pertama yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah prinsip non
kekerasan [non violence]. Kung memaknai istilah ini sebagai tindakan tidak
menyakiti atau melukai orang lain dalam konstelasi interaksi global. Pada tataran
praksisnya, ini dapat dioprasionalisasi pada sikap atau tindakan untuk tidak
bersikap kasar atau menyakiti orang lain atas perbedaan-perbedaan primordial
[16], [17], [19]. Di dalam Bhagavad-gītā, istilah ini sepadan dengan ahiṃsā.
Menurut Bahasa Sanskerta Monier Williams, ahiṃsā berarti “not injuring
anything, harmlessness”. Ia juga dimaknai sebagai „tidak menyebabkan makhluk
lain berdukacita [20]‟. Berdasarkan penelusuran dan kajian teks Bhagavad-gītā,
yang berjumlah 700 sloka, setidaknya dijumpai istilah Ahiṃsā dalam tiga sloka,
yakni: [1] Bhagavad-gītā, adhyaya XIII.7-11, [2] Bhagavad-gītā, adhyaya XVI.1-
3, dan [3] Bhagavad-gītā, adhyaya XVII.14.
Pada Bhagavad-gītā adhyaya, XIII.7-11 [20], dinyatakan mengenai Ahiṃsā
sebagai satu pengetahuan kesejatian:

Humility; pridelessness; nonviolence; tolerance; simplicity; approaching a


bona fide spiritual master; cleanliness; steadiness; self-control;
renunciation of the objects of sense gratification; absence of false ego; the
perception of the evil of birth, death, old age and disease; detachment;
freedom from entanglement with children, wife, home and the rest; even-
mindedness amid pleasant and unpleasant events; constant and unalloyed
devotion to Me; aspiring to live in a solitary place; detachment from the
general mass of people; accepting the importance of self-realization; and
philosophical search for the Absolute Truth – all these I declare to be
knowledge, and besides this whatever there may be is ignorance.

Ahiṃsā dalam sloka di atas dimaknai sebagai pengetahuan yang bersumber


dari Tuhan. Anand Krishna menyebutnya sebagai pengetahuan sejati [21]. Hal ini
bermakna bahwa Ahiṃsā tiada lain merupakan aktualisasi dari prinsip tertinggi
dharma [prinsip-prinsip kebenaran dan kebajikan]. Dalam kitab Mahabharata,
bagian Adiparva dinyatakan “ahimsā paramo dharmah” [dharma atau kebenaran
tertinggi adalah Ahiṃsā, tiada menyakiti makhluk lain]. Pelaku dari prinsip utama
ini merupakan pemilik dari pengetahuan sejati (vidya). Pengetahuan sejati adalah
jenis pengetahuan yang dipandang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan
sejati. Bhagavad-gītā adhyaya VII.2, telah mengklasifikasi pengetahuan menjadi
dua [2], yakni pengetahuan spiritual [jñāna], jenis pengetahuan yang mengungkap
mengenai hakikat eksistensial dan keilahian dan pengetahuan material [vijñāna]
adalah yang bersifat science [21]. Peran keduanya tidak lepas dari aspek
kosmologi [hakikat psikis dan fisik] dan epistemologi [empiris dan supra-empiris
atau transendent]. Jñāna, atau pengetahuan sejati, pada Bhagavad-gītā adhyaya
IV.36, sebagai pengetahuan yang akan mengantarkan manusia pada kebahagiaan
yang sejati, demikian dinyatakan “Even if you are considered to be the most sinful
of all sinners, when you are situated in the boat of transcendental knowledge
[Jñāna] you will be able to cross over the ocean of miseries” [20].
Selanjutnya, Ahiṃsā juga dinyatakan dalam Bhagavad-gītā adhyaya XVI.1-
3 [20], sebagai berikut:

Śrī-bhagavān said: Fearlessness; purification of one’s existence; cultivation


of spiritual knowledge; charity; self-control; performance of sacrifice; study
of the Vedas; austerity; simplicity; nonviolence; truthfulness; freedom from
anger; renunciation; tranquillity; aversion to faultfinding; compassion for
all living entities; freedom from covetousness; gentleness; modesty; steady
determination; vigor; forgiveness; fortitude; cleanliness; and freedom from
envy and from the passion for honor – these transcendental qualities, O son
of Bharata, belong to godly men endowed with divine nature.

Di dalam sloka ini, Ahiṃsā merupakan refleksi dari karakter seseorang.


Dinyatakan bahwa sifat ini dimiliki oleh orang-orang yang berkarakter dasar
daivī, Ilahi, mulia. Tindakan tidak menyakiti adalah cerminan individu yang telah
matang secara kepribadian dan pengetahuan. Pada sloka Bhagavad-gītā adhyaya
XVI.5, dinyatakan bahwa sifat Ahiṃsā menunjang pencapaian mokṣa [kebebasan
mutlak dari saṁsāra, siklus kelahiran kematian] [21].
Bhagavad-gītā adhyaya XVII.14, juga dijumpai istilah Ahiṃsā, yang
dimaknai sebagai bentuk per-tapa-an badan [austerity], demikian dinyatakan,
“Austerity of the body consists in worship of the Supreme Lord, the brāhmaṇas,
the spiritual master, and superiors like the father and mother, and in cleanliness,
simplicity, celibacy and nonviolence”. Dalam Cappeller Sanskrit-English
Dictionary, istilah „tapa‟ dimaknai sebagai „burning, penance‟, yakni sadhana
[laku spiritual] yang dilakukan untuk tujuan membakar kekotoran dalam diri
sebagai upaya pemurnian, juga dimaknai sebagai laku penyucian diri. Ahiṃsā
dalam konteks ini merupakan sadhana pada tingkatan tindakan yang dimaksudkan
untuk memperoleh kesucian diri. Dalam yoga, pada tingkatan yama, Ahiṃsā
merupakan disiplin tindakan paling awal yang harus dilakukan [22]–[26].
Berdasarkan uraian ketiga sloka Bhagavad-gītā di atas, dapat diterangkan
bahwa Ahiṃsā merupakan etika fundamental yang harus menjadi bagian dalam
tindakan manusia. Ahiṃsā menandakan sebuah kemuliaan pengetahuan dalam diri
manusia, kemuliaan karakter, kesadaran, wujud dari keinsyafan diri manusia, serta
ia adalah definisi praksis mengenai upaya penyucian diri pada tingkatan yang
paling dasar. Uraian Bhagavad-gītā menerangkan bahwa Ahiṃsā merupakan
parametrik dalam dialektika moral dan kesucian. Terminologi ini memiliki
korelasi erat dengan „Chandogya Upanishad‟, sastra suci bagian dari „Sama
Veda‟, salah satu kitab suci tertua dalam agama Hindu. Teks tersebut berfungsi
sebagai fondasi filsafat Hindu „Advaita Vedanta‟, yang memberikan detail tentang
konsep Atman [jiwa individual] dan Brahman [Tuhan]. Dinyatakan dalam
Chandogya Upanishad ‟tat tvam asi [That thou art]. Mewakili tema sentral filosofi
„Advaita‟, „Tat Tvam Asi‟ menyatukan gagasan makrokosmik Tuhan dan
kesadaran universal dengan ekspresi individu mikrokosmik dari diri. Mantra ini
menyoroti gagasan bahwa semua makhluk terkait erat dengan energi universal dan
tidak dapat dipisahkan darinya. Perwujudan tindakan-tindakan nir kekerasan
dalam berbagai aspek, kepada semua pemeluk agama merupakan salah satu
aktualisasi yang real dan relevan saat ini.

2.2.Solidaritas [Solidarity] dan Aktualisasi kebenaran [Dharma]


Salah satu nilai global ethic yang dinyatakan Hans Kung solidaritas [loka-
saṅgraham ]dan aktualisasi nilai-nilai kebenaran [dharma]. Oleh Kung, solidaritas
merupakan tindakan saling mendukung antar individu, kelompok, maupun negara
sebagai bentuk persaudaraan global. Dalam konteks yang nyata hal ini dilakukan
dengan membangun hubungan persaudaraan antara agama atau keyakinan,
demikian Kung pernah berujar “There will be no peace between the civilizations
without a peace between the religions! And there will be no peace between the
religions without a dialogue between the religions” [19]. Merriam-Webster
mendefinisikan solidaritas sebagai “unity (as of a group or class) that produces or
is based on community of interests, objectives, and standards”, sedangkan
menurut oxford dictionary mendefinisikannya dengan “Unity or agreement of
feeling or action, especially among individuals with a common interest; mutual
support within a group”.
Berdasarkan kajian dalam Bhagavad-gītā, nilai solidaritas sebagaimana di
sampaikan Kung, secara implisit memiliki padanan konseptual dengan spirit
„loka-saṅgraham‟. „Loka-saṅgraham‟ secara etimologi berasal dari kata „loka‟ dan
„samgraha‟. „Loka‟ menunjukkan manusia atau dunia dan „samgraha‟ menyiratkan
makna melindungi, menjaga, mengatur. Meskipun istilah ini ditafsirkan dalam
beberapa definisi, namun secara umum mengandung makna „kebaikan
masyarakat‟. Oleh Radhakrishnan „loka-saṅgraham‟ dimaknai sebagai „stands for
the unity of the world, the interconnectedness of society‟ [27]–[29]. Nilai ini
tertuang dalam Bhagavad-gītā III.20 dan Bhagavad-gītā III.25, berikut ini :
“Sebab itu [karena kau belum mencapai tingkat kesadaran tersebut],
jalankanlah tugasmu, kewajibanmu dengan baik dan tanpa keterikatan [pada
hasilnya]. Demikian, seseorang yang berkarya tanpa keterikatan mencapai
kesempurnaan, kesadaran tertinggi”.
“Wahai Arjuna, sebagaimana mereka yang tidak bija bertindak atas dasar
keterikatan, pun demikian, hendaknya para bijak bertindak tanpa
keterikatan, dan semata untuk menjaga keteraturan tatanan dunia” [21].

Sloka ini merupakan percakapan Sri Krishna dengan Arjuna sesaat sebelum
Bharata Yudha, perang legendaris Hastina Pura antara Pandawa dan Kurawa.
Kisah ini penuh dengan dilema moral yang menggugah. Konsepsi tentang „Loka-
saṅgraham‟ sendiri terlahir dari sebuah situasi dilema moral yang terjadi saat itu,
dimana Arjuna ketika berada di medan perang melihat begitu banyak orang-orang
yang dia kenal, bahkan memiliki kedekatan emosional dengan dirinya. Ia
menyaksikan sahabat, keluarga, kakek sekaligus guru. Tokoh besar seperti Rsi
Bhisma, Dronacharya, Karna, Duryodana, Dursasana, keluarga lain dari pihak
Kaurawa dan teman-teman dari kerajaan lain yang harus ia hadapi sebagai musuh.
Arjuna tidak kuasa memikul beban berat yang dirasakan ketika itu. Ia tertunduk
lemah, busur Gandiwa-nya terlepas dari tangannya. Di depan Sri Krishna, Arjuna
mengatakan bahwa dirinya tidak ingin berperang. Ia rela mengalah dari
peperangan itu dan menyerahkan tahta Hastinapura kepada pihak Duryodana
(Kaurawa). Dilema tersebut kemudian tanggapi oleh Sri Krishna, hingga sampai
pada penjelasan mengenai konsep „loka-saṅgraham‟, sebagaimana yang dijelaskan
dalam Bhagavad-gītā III.20 dan Bhagavad-gītā III.25. Lebih detail percakapan
dilematis dan sarat nilai antara Sri Krishna dan Arjuna itu tertuang dalam
Bhagavad-gita, bab I hingga bab III, “Observing the armies on the battlefield of
Kuruksetra (Arjuna Visada Yoga), contents of the Gita Summarized (Sankya
Yoga), dan Karma Yoga” [20], [30].
„Loka-saṅgraham‟ merupakan salah satu basis filosofi Hindu dalam
tindakan sosial. Secara epistemologi, pemikiran ini terlahir dari satu pergulatan
pemikiran filosofi Ajuna, dimana dirinya harus memilih untuk berperang dan
tidak berperang. Pilihan tersebut membawa implikasi yang tidak sederhana,
karena melibatkan pertimbangan-pertimbangan moral yang kompleks. Pada ujung
kesadarannya, Arjuna memilih untuk melawan Kaurawa dengan satu landasan
moralitas, yakni „dharma‟. Ia melepaskan segala pertimbangan yang didasarkan
atas pertimbangan-pertimbangan personal menuju pada orientasi pertimbangan
dan tindakan yang bersifat universal. Pada pemahaman ini, „loka-saṅgraham‟
merupakan satu prinsip etis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan
publik yang sarat dengan prinsip solidaritas global ethic Hans Kung.
Hal menarik yang patut dipotret dalam Bhagavad-gītā adalah tentang
prinsip „dharma‟ atau aktualisasi dari nilai-nilai kebenaran dalam kehidupan.
Berdasarkan kajian, setidaknya kata „dharma‟ telah disebutkan dalam 16 sloka di
dalam Bhagavad-gītā. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai ini memperoleh
perhatian yang begitu mendalam. „Dharma‟ menjadi satu landasan filosofi dalam
filsafat tindakan manusia. Dari sekian penyebutan „dharma‟, terdapat dua [2]
sloka yang patut untuk dijadikan pegangan, Bhagavad-gītā IV.7-8:
“Whenever and wherever there is a decline in religious practice, O
descendant of Bharata, and a predominant rise of irreligion - at that time I
descend Myself. To deliver the pious and to annihilate the miscreants, as
well as to reestablish the principles of religion, I Myself appear, millennium
after millennium [20]”.

Sesungguhnya „dharma‟ memiliki makna yang begitu luas, namun dalam


konteks ini dimaknai sebagai „nilai kebenaran‟. Prinsip ini begitu mendasar dalam
setiap pergerakan manusia. Dalam hierarki kebutuhan dan tujuan hidup manusia
Hindu [catur purusa artha], „dharma‟ ditempat sebagai titik tumpu, baru
kemudian di susul oleh artha, kama dan moksa. Pengalihan terhadap prinsip ini
bukan hanya pelanggaran etis, moral tetapi juga prinsip hidup dan tatanan kosmos
yang telah di tetap melalui hukum Tuhan [Rta]. Karenanya, pelanggaran terhadap
nilai ini [adharma] akan berhadapan langsung dengan kekuatan absolut Tuhan,
dan akibatnya sudah dapat diprediksi sebelumnya, yaitu kehancuran. Prinsip-
prinsip etis „loka-saṅgraham‟ dan „dharma‟ dapat diartikulasikan dalam bentuk
„support system‟ dan „tindakan mulia‟ kepada seluruh elemen masyarakat,
demikian juga bagi pemeluk agama yang lain. Artinya, tindakan-tindakan yang
dimaksud melampui sekat-sekat identitas yang selama ini menjadi penghalang.

2.3.Toleransi dan Kesetaraan [Tolerance And Equality]


Hans Kung menyaratkan nilai-nilai toleransi dan kesetaraan dalam global
ethic-nya. Secara spesifik mengalamatkan kepada komunitas keagamaan, yang
dipandang memiliki korelasi dan urgensi dalam wacana kerukunan agama secara
global. Pada ruang-ruang multikultural dan multi religius, Kung berpandangan
bahwa „persaudaraan antar‟ agama merupakan opsi tak terhindarkan, “There will
be no peace between the civilizations without a peace between the religions! And
there will be no peace between the religions without a dialogue between the
religions”. Kung juga menyampaikan preposisi penting terkait persoalan ini,
yaitu; [a] agama-agama tidak lagi saling mengalahkan dalam misi keagamaanya,
[b] agama-agam tidak berupaya mengkreasi satu keyakinan tunggal sebagai
bentuk penyatuan dari agama-agama yang di dunia, dan [c] agama-agama hidup
saling berdampingan dengan sikap saling menghormati, dalam kesadaran dialog
dan kerja sama[18], [19] .
Prinsip-prinsip etis ini secara implisit terjelaskan dalam Bhagavad-gītā
IV.11-12, demikian dijelaskan:
ye yathā māṁ prapadyante tāṁs tathaiva bhajāmy aham, mama
vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ.
[Arjuna, dengan cara apapun seseorang mendekati-Ku, Aku menerimanya;
karena sesungguhnya setiap cara, setiap jalan yang ditempuh manusia
adalah jalan-Ku, adalah jalan yang menuju-Ku] [21].

„Kisruh‟ keagamaan yang terjadi selama ini disebabkan kedua faktor ini,
toleransi dan kesetaraan. Walaupun yang dimaksud Kung bahwa kesetaraan juga
di dalamnya terkait gender, namun poros utamanya adalah persoalan kesetaraan
yang sama, secara filosofi bermula pada satu pengakuan terhadap yang lain. Jika
menyangkut gender, tentu pengakuan itu berkaitan dengan kesetaraan kualitas
gender. Agak sulit untuk berpandangan dan berperilaku toleransi, setara dan adil
jika tidak adanya pengakuan „kebenaran‟ yang secara kualitatif memiliki
kesetaraan. inilah yang dijadikan refleksi Kung mengapa agama menjadi
episentrum bagi terwujudnya perdamaian peradaban.
Bhagavad-gītā, secara implisit telah mendasari wawasan keagamaannya
mengenai kemungkinan kebenaran bagi keimanan atau agama yang lain. Sebuah
wawasan yang secara padat menyiratkan mengenai etika toleransi dan kesetaraan.
Melalui penjelasan sloka di atas, Bhagavad-gītā tidak secara dogmatis
berpandangan bahwa kebenaran hanya dimungkinkan melalui satu metode
eksklusuf dari caranya sendiri dan menegasikan yang lain. Di dalam karyanya
„Dancing with Shiva: Hinduism‟s Contemporary Catechism‟, Subramuniyaswami
menyampaikan, „no particular religion teaches the only way to salvation above all
others, but that all genuine religious paths are facets of God‟s Pure Love and
Light, deserving tolerance and understanding‟ [31]–[33]. Pandangan Bhagavad-
gītā menyiratkan perhatian pada semua agama dan tidak pernah merendahkan
keyakinan lain dimanapun. Ada rasa keberterimaan dan penghormatan kebenaran
dari manapun datangnya dan apapun atribut yang dikenakannya. Keragaman
corak dan manifestasi ekspresi penghayatan keagamaan dipandang sebagai
panorama eksoterik semata dan hal itu bersifat natural karena manusia memiliki
keragaman tingkat intelektualitas dan spiritualitas. Fenomena keragaman
merupakan langkah permulaan dari sebuah hakikat kesadaran keilahian, karena
pada akhirnya akan memuncak pada kemanungalan isoterik [31], [34].

III. KESIMPULAN
Pemikiran global ethic Hans Kung yang secara spesifik dalam kajian ini
berkaitan dengan prinsip etis non kekerasan, solidaritas, toleransi dan kesetaraan,
secara implisit dapat dijumpai dalam Bhagavad-gītā. Pertama, etika non
kekerasan dijumpai dalam Bhagavad-gītā dhyaya XIII.7-11; Bhagavad-gītā,
adhyaya XVI.1-3; dan Bhagavad-gītā, adhyaya XVII.14. Etika non kekerasan
berkelindan dengan prinsip ahiṃsā yang bermakna tidak menyakiti atau
melakukan kekerasan terhadap semua makhluk. Ahiṃsā merupakan salah sat
aktualisasi dari pemikiran Chandogya Upanishad ‟tat tvam asi [That thou art],
yang mewakili tema sentral filosofi „Advaita‟, „Tat Tvam Asi‟ menyatukan
gagasan makrokosmik Tuhan dan kesadaran universal dengan ekspresi individu
mikrokosmik dari diri. Kedua, etika solidaritas dan aktualisasi kebenaran Kung, di
dalam Bhagavad-gītā terindentifikasi dalam prinsip „Loka-saṅgraham‟ yang
terdapat dalam Bhagavad-gītā III.20 dan Bhagavad-gītā III.25, yang
menerangkan tentang prinsip tindakan yang berorientasi kepentingan dan
kesejahteraan public, dan prinsip „Dharma‟, yang terjabarkan setidaknya dalam
enam belas [16] sloka Bhagavad-gītā, yakni Bhagavad-gītā I.1; Bhagavad-gītā
II.7; Bhagavad-gītā II.31; Bhagavad-gītā II.33; Bhagavad-gītā II.40; Bhagavad-
gītā III.35; Bhagavad-gītā III.36; Bhagavad-gītā IV.7; Bhagavad-gītā IV.8;
Bhagavad-gītā IX.3; Bhagavad-gītā IX.21; Bhagavad-gītā XI.18; Bhagavad-gītā
XIV.27; Bhagavad-gītā XVIII.31-34. Prinsip etis „loka-saṅgraham‟ dan „dharma‟
merupakan filosofi tindakan dalam konteks individual dan sosial. Ketiga, toleransi
dan kesetarian yang merupakan bagian penting dalam pemikiran etika global Hans
Kung dapat dijumpai secara filosofis dan Bhagavad-gītā IV.11-12. Pada sloka
tersebut diuraikan mengenai kebebasan iman dan visi kesetaraan manusia.
Kajian ini secara spesifik memberikan gambaran terhadap Bhagavad-gītā
yang secara filsosofi dan substansi memiliki sinergitas dengan pemikiran Hans
Kung tentang Global Ethic. Hal ini diharapkan menjadi pengetahuan baru
(novelty) mengenai prinsip-prinsip etika global dalam Bhagavad-gītā yang pada
akhirnya mampu diterapkan dalam kehidupan nyata oleh para pembaca
Bhagavad-gītā untuk mewujudkan perdamaian global.
DAFTAR PUSTAKA

[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, mentalitas dan pembangunan. Jakarta:


Gramedia Pustaka Utama, 2004.
[2] J. S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge:
Cambridge University Press, 2010.
[3] J. D. Brewer, G. I. Higgins, and F. Teeney, “Religion and peacemaking: A
conceptualization,” Sociology, 2010, doi: 10.1177/0038038510381608.
[4] H. Coward and G. S. Smith, Religion and peacebuilding. 2004.
[5] M. Tajuddin, A. Mohd. Sani, and A. Yeyeng, “Berbagai Kasus Konflik di
Indonesia: Dari Isu Non Pribumi, Isu Agama, Hingga Isu Kesukuan,”
Sulesana, 2016.
[6] S. Harahap, “Konflik Etnis Dan Agama Di Indonesia,” J. Ilm. Sosiol.
AGAMA, 2018, doi: 10.30829/jisa.v1i2.5096.
[7] A. W. Muqoyyidin, “POTRET KONFLIK BERNUANSA AGAMA DI
INDONESIA (Signifikansi Model Resolusi Berbasis Teologi
Transformatif),” Anal. J. Stud. Keislam., 2012.
[8] M. Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of
Religious Violence, Fourth Edition. Oakland, California: University of
California Press, 2017.
[9] M. McLuhan, Understanding Media: Extension of A Man. London: The
MIT Press, 1994.
[10] N. Christie, “The Global Village,” Aust. N. Z. J. Criminol., vol. 29, no. 2,
pp. 195–199, 1996, doi: 10.1177/000486589602900209.
[11] T. Siburian, “Prinsip Etika Global untuk Kota Modern Multikultural,” Soc.
Dei J. Agama dan Masy., vol. 2, no. 1, p. 209, Oct. 2017, doi:
10.33550/sd.v2i1.60.
[12] M. Harjuna, “Dialog Lintas Agama dalam Perspektif Hans Kung,” Living
Islam J. Islam. Discourses, vol. 2, no. 1, p. 55, Jun. 2019, doi:
10.14421/lijid.v2i1.1694.
[13] K. Husin, “Etika Global; Sumbangan Hans Kung DALAM dialog ANTAR
agama,” Toler. Media Ilm. Komun. Umat Beragama, vol. 1, no. 2, pp. 248–
264, 2009, doi: 10.24014/trs.v1i2.455.
[14] R. L. Meo, “SUMBANGAN ETIKA GLOBAL HANS KÜNG DEMI
TERWUJUDNYA PERDAMAIAN DAN RELEVANSINYA BAGI
INDONESIA,” J. Ledalero, vol. 18, no. 1, p. 103, Jun. 2019, doi:
10.31385/jl.v18i1.157.103-122.
[15] H. Sholihan, “Declaration Toward A Global Ethic of the Parliament of the
World‟s Religions and Building World Peace,” TEOLOGIA, vol. 23, no. 1,
pp. 37–56, 2012.
[16] H. Küng and K.-J. Kuschel, Global Ethic: The Declaration of the
Parliament of the World’s Religions , Deluxe. New York: Continuum,
1993.
[17] H. Kung and K.-J. Kuschel, Etika Global. Yogyakarta: Pustaka Belajar.,
1999.
[18] A. C. Latuheru, I. Y. M. Lattu, and T. R. Tampake, “Pancasila Sebagai
Teks Dialog Lintas Agama dalam Perspektif Hans-Georg Gadamer dan
Hans Kung,” J. Filsafat, vol. 30, no. 2, p. 150, Aug. 2020, doi:
10.22146/jf.49193.
[19] H. Kung, A Global Ethic for Global Politics and Economics. New York:
Oxford University Press, 1998.
[20] A. C. B. S. Prabhupada, “Bhagavad-gita As It Is in,” The Bhaktivedanta
Book Trust International, Inc. All rights reserved., 2006.
https://vedabase.io/en/library/bg/3/25/.
[21] A. Krishna, Bhagavad-Gītā. Jakarta: Pusat Studi Veda & Dharma, 2018.
[22] A. Pandey and A. V. Navare, “Paths of Yoga: Perspective for Workplace
Spirituality,” in The Palgrave Handbook of Workplace Spirituality and
Fulfillment, Springer International Publishing, 2018, pp. 1–27.
[23] P. Valdina, “ The Yoga Sutra of Patanjali : A Biography. By David Gordon
White ,” J. Hindu Stud., p. hiw029, Jan. 2017, doi: 10.1093/jhs/hiw029.
[24] S. S. Linder, The Yoga: In The Philosophical and Theological Teachings of
the Padmasamhita. Verlag der österreichischen Akademie der
Wissenschaften, 2017.
[25] G. J. Larson, “Pātañjala yoga‟s theory of „many-lives‟ through karma and
rebirth and its eccentric „theism,‟” Religions, vol. 9, no. 1, Jan. 2018, doi:
10.3390/rel9010004.
[26] P. R. Joyo, “Mengenal Mahatma Gandhi Dan Ajarannya,” Dharma Duta,
vol. 17, no. 1, 2019.
[27] P. R. Joyo, “Loka Samgraha : Hindu Philosophical Foundation of Social
Behaviors in Indonesia New Normal Era,” in New Normal : Idealism and
Implementation in Indonesia and The Philippines, Kadek Aria Prima Dewi
PF, Ed. Denpasar: Jaya Pangus Press, 2020, pp. 421–445.
[28] S. P. Agarwal, The Social Role of Gita: How & Why. New Delhi,
India: Motilal Banrsidass Publishers Pvt. Ltd, 1997.
[29] S. K. Chakraborty, Ethics in Cooperatives: In Search of a Theory,
Rediscovering Cooperation. India: Institute of Rural Management, 1996.
[30] J. Dowd, “Maximizing Dharma: Krsna‟s Consequentialism in the
Mahabharata,” Praxis (Bern. 1994)., vol. 3 No.1, 2011, [Online].
Available: https://philpapers.org/rec/DOWMDK.
[31] P. R. Joyo, “Wacana Keragaman Eksoteris dan Kemanunggalan
Transenden dalam Hinduisme (Tinjauan Filsafat Perennial),” in Beragama
dalam Damai, Denpasar: Jayapangus Press, 2020, pp. 145–183.
[32] J. D. Long, “Universalism in Hinduism,” Relig. Compass, vol. 5, no. 6, pp.
214–223, Jun. 2011, doi: 10.1111/j.1749-8171.2011.00280.x.
[33] S. S. Subramuniyaswami, Dancing with Shiva: Hinduism’s Contemporary
Catechism. Hawaii: Himalayan Academy, 1997.
[34] S. S. Sivananda, All About Hinduism. Uttar Pradesh, India: The Divine Life
Society, 1997.

Anda mungkin juga menyukai