Anda di halaman 1dari 4

NAMA : M. NUR WAHYUDIN S.

NIM : E042181001

TUGAS MATKUL ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA

Aspek Sosial dan Aspek Budaya dari

Cab. Studi Antropologi Agama

1. Pengertian Antropologi Agama

Mengingat, antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia dan kebudayaannya


sendiri. Tujuannya adalah untuk memperoleh suatu pemahaman totalitas manusia
sebagai makhluk ciptaan tuhan, baik di masa lampau maupun sekarang, baik sebagai
orgnisme biologis maupun sebagai makhluk berbudaya (Ghazali, 2011: 1).

Sedangkan, agama adalah seperangkat pengetahuan, kepercayaan, dan norma-


norma yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh manusia. Keyakinan manusia tentang
agama, diikat oleh norma-norma dan ajaran-ajaran tentang cara hidup manusia yang
baik. Perilaku manusia dalam beragama ini dapat diliat dalam acara dan upacara-
upacara tertentu serta menurut tata cara tertentu pula sesuai dengan yang telah
ditentukan oleh agama masing-masing (Ghazali, 2011: 1)

Sekilas sejarah, antropologi agama terbentuk karena adanya penjelasan dalam


teori evolusi oleh E. B. Taylor (Koentjaraningrat, 1987: 32-34)yang mengemukakan
bahwa manusia memiliki kesadaran, memiliki jiwa yang dapat saja terlepas dari raga,
baik itu bermimpi, berkhayal, dan mati, namun lambat laun, manusia juga memiliki
kesadaran baru bahwa untuk dapat bertahan hidup dan memiliki tujuan hidup yang
sebenarnya, manusia harus memiliki kenyakinan/ kepercayaan-kepercayaan, seperti
menganut ajaran-ajaran agama yang ada saat ini.

Secara umum, Antropologi agama adalah sebuah studi yang mengkaji agama
berdasarkan pendekatan budaya atau mengakaji manusia yang beragama.
Koentjaraningrat (dalam Ghazali, 2011: 6) bahwa religi merupakan bagian dari
kebudayaan, yang kemudian menunjuk pada konsep E. Durkheim tentang dasar-dasar
religi. Koentjaraningrat mengemukakan tiga unsur atau komponen yang ada dalam religi,
yaitu:

1). Emosi keagamaan, yang menyebabkan manusia menjadi religius,


2). Sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan serta bayang-bayang
manusia tentang sifat-sifat tuhan, serta tentang wujud dari alam gaib
(supernatural),
3). Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan antara manusia
dengan tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk yang mendiami alam gaib.

Dapat dipahami, berdasarkan dari penjelasan Koentjaraningrat bahwa religi


merupakan semangat hidup atau hubungan antara manusia dengan tuhannya agar

1
menjadi makhluk yang religius. Merupakan juga dalam bagian dari tujuh unsur-unsur
kebudayaan sendiri, diantaranya: (1). Bahasa, merupakan verbal dan non verbal yang
menjadikan media interaksi komunikasi antar individu maupun kelompok, (2). Religi,
merupakan keyakinan-keyakinan, kepercayaan-kepercayaan yang tertanam dalam diri
manusia, (3). Sistem pengetahuan, merupakan sekumpulan pengetahuan, pengalaman
manusia, baik itu melalui proses belajar maupun penyampaian informasi. (4). Sistem
mata pencaharian, merupakan sekumpulan aktivitas-aktivitas manusia yang dapat
menghidupi dirinya, baik secara sosial maupun individu. (5). Organisasi sosial,
merupakan kesatuan hidup manusia, baik itu dari keluarga kecil, keluarga besar, sampai
pada organisasi yang dibentuk secara sengaja, (6). Teknologi, merupakan segala bentuk
yang dapat mempermudah aktivitas-aktivitas manusia, (7). Kesenian, merupakan simbol-
simbol, artefak-artefak yang memiliki makna dan arti oleh manusia.

Menambahkan, Sartono Kartodirdjo (dalam Ghazali, 2011: 7) juga menyebutkan


lima unsur ke dalam dimensi-dimensi religiositas (kesalehan: KBBI), sebagai berikut:

1). Dimensi pengalaman, mencakup semua perasaan persepsi dan sensasi yang
dialami waktu berkomunikasi dengan realitas supernatural,
2). Dimensi ideologis, mencakup serangkaian kepercayaan,
3). Dimensi ritual, mencakup semua aktivitas seperti upacara, berdoa, dan
partisipasi dalam berbagai kewajiban agama,
4). Dimensi intelektual ideal, berhubungan dengan pengetahuan tentang ajaran
agama,
5). Dimensi konsekuential, mencakup semua efek dari kepercayaan, praktik,
pengetahuan dari orang yang menjalankan agama, dengan perkataan lain,
semua perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.

Berdasarkan penjelasan beliau, dapat dipahami, bahwa agama merupakan


dimensi-dimensi religiositas yang mencakup semua perbuatan dan sikap sebagai
makhluk yang beragama dengan mana semua kewajiban-kewajibannya.

Menambahkan lagi, Barbara Hargrove (dalam Ghazali, 2011: 7) berpendapat


bahwa agama merupakan fenomena manusia yang berfungsi untuk menyatukan
kesatuan ritual, sosial dan sistem-sistem personality ke dalam suatu lingkungan yang
berarti. Secara umum, di sini termasuk komponen-komponen, diantaranya:

1). Komunitas para pengikut (jama’ah),


2). Mitos-mitos umum yang menafsirkan abstraksi dari nilai-nilai kultural ke dalam
realitas historis,
3). Tingkah laku ritual,
4). Suatu dimensi dari pengalaman yang diakui karena mencakup sesuatu yang
lebih daripada realitas sehari-hari, yakni ‘The Sacred’ – yang suci.

Berdasarkan penjelasan beliau, dapat dipahami bahwa agama memiliki fungsi


untuk meningkatkan hubungan-hubungan dengan tuhan maupun sesamanya (jama’ah)
serta lingkungan kehidupannya. Agama yang mengatur manusia menjadi manusia yang
‘The Sacred’ – yang suci.

2
2. Pendekatan dalam Antropologi Agama

Setelah sub bab pengertian antropologi agama sebelumnya. Antropologi agama


memiliki pendekatan yang biasa digunakan untuk memahami fenomena sosial budaya
yang terjadi di masyarakat. Antropologi agama tetap menggunakan pendekatan holistik,
yakni untuk memahami seluruh fenomena makhluk baik yang bersifat biologis, historis,
linguistik, ataupun budaya itu harus dibawa ke dalam kaitannya antara yang satu dengan
lainnya (Ghazali, 2011: 14).

Malinowski bersama dengan Redeliffe Browne (dalam Ghazali, 2011: 14)


mengemukakan bahwa, agama memiliki arti atau fungsi, yaitu, agama membantu untuk
mewujudkan persatuan sosial dan dengan begitu agama mempunyai peranan yang
positif.

Dapat dipahami, berdasarkan penjelasan beliau bahwa terbentuknya sebuah


agama adalah sebagai pedoman manusia untuk mewujudkan persatuan sosial dan
dengan begitu agama berfungsi.

Berbeda pendapat dengan ahli fenomenologi agama seperti, Rudolf, Joachim


Wach, G. Van derr Leeuw, dan lain-lainnya (dalam Ghazali, 2011: 16). Mereka mencari
jalan tengah dengan membedakan pendekatan atas dua, yaitu: (1). Teologi, yang
berangkat dari wahyu dan berpandapat bahwa ilmu agama, tidak dapat dicampur dengan
yang lain, juga tidak bisa diserang oleh ilmu agama lain, (2). Antropologi agama, yang
hendak menjelaskan agama sebagai gejala sosial dan psikologis belaka.

Dapat dipahami, berdasarkan penjelasan dari beberapa ahli fenomenologi di atas,


bahwa untuk memahami sebuah agama, terlebih dahulu melihat teologinya yaitu,
pengetahuan berdasarkan dalam kitab-kitab suci dan dilanjutkan, melihat fenomenanya
di beberapa tempat, waktu kejadian, dan artefak yang di pakai di dalamnya. Dengan
akhir, merumuskan jalan tengah di antara teologi dan antropologi agama.

3. Aspek Sosial dan Aspek Budaya dalam Antropologi Agama

Memahami uraian singkat dalam kedua sub bab sebelumnya, dapat dipahami
cabang studi antropologi agama, di satu sisi mencolok pada aspek budaya karena
menyangkut pada kepercayaan-kepercayaan, keyakinan-keyakinan, pada diri dalam
manusia, melainkan di pikiran manusia. Seperti dalam R. Keesing (dalam Amri Marzali:
1) mengemukakan bahwa budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind)
manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan
kemudian mencoba menafsirkan fenomena-fenomena.

Akan tetapi, aspek sosial juga ikut berperan dalam antropologi agama. Sebab,
manusia bukan makhluk yang tunggal tetapi makhluk sosial. Memiliki struktur dan fungsi,
yang berarti setiap aturan-aturan memiliki fungsi yang saling berkaitan satu dengan yang
lainnya. Seperti dalam penjelasan B. Malinowski (dalam Erickson dan Murphy, 2018: 89)
mengemukakan bahwa budaya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dengan
respons dasar. Dengan melakukan hal itu, ia menciptakan tingkat kedua kebutuhan
budaya, atau kebutuhan instrumental, yang dipuaskan dengan respon budaya
instrumental. Respon instrumental menciptakan kebutuhan budaya integratif, yang pada
gilirannya mengarah pada kebutuhan integrative.

3
Sehingga dengan kesimpulan, aspek sosial maupun aspek budaya dalam cabang
studi antropologi agama adalah sama pentingnya karena agama ada pada diri setiap
manusia dan manusia tersebut saling berinteraksi agama.

Referensi:
1. Ghazali, Andeng Muchtar. 2011. Antropologi Agama. Alfabeta: Bandung.
2. Erickson, Paul A & Erikson L. D. Murphy. 2018. Sejarah Teori Antropologi:
Penjelasan Komprehensif. Kencana: Jakarta
3. Marzali, Amri. Teori-Teori Budaya. Jurnal Online

Anda mungkin juga menyukai