Anda di halaman 1dari 24

PENDEKATAN ANTROPOLOGIS DALAM STUDI ISLAM

Asriana Harahap1

Hilda Wahyuni2
1
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, IAIN Padangsidimpuan
2
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

e-mail: 1asrianaharahap@iain-padangsidimpuan.ac.id,
2
hildawahyuni578@gmail.com

Abstract
Anthropology is the science of humans, especially about the origin, various colors of

physical form, customs, and beliefs in the past. Epithemologically, anthropology studies

various things about humans empirically in their relationship as biological beings and as

social beings (in the sense of living in society). The method that is more appropriate with

the anthropological approach is the holistic method. This means that seeing a social

phenomenon must be examined in the context of the totality of the studied community

culture. Meanwhile, the most appropriate data collection techniques are involved

observation (observation) and in-depth interviews, that is, directly mingling in the

community being studied. The anthropological approach to understanding religion can be

interpreted as an effort to understand religion by seeing the form of religious practice that

grows and develops in society.

Keywords: Approach, Anthropology, and Islamic Studies.

Abstrak
Antropologi adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-usul, aneka

warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa lampau. Secara

epitemologis antropologi mempelajari berbagai hal mengenai manusia secara

empirik dalam hubungannya sebagai makhluk biologis dan sebagai makhluk

sosial (dalam arti hidup di dalam masyarakat). Adapun metode yang lebih tepat

dengan pendekatan antropologi adalah metode holistik. Artinya, dalam melihat

satu fenomena sosial harus diteliti dalam konteks totalitas kebudayaan


masyarakat yang dikaji. Penelitian menggunakan Library Research (Penelitian

Perpustakaan), yaitu dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan)

dari penelitian sebelumnya, dan menggunakan teknik Analisis Isi (Content

Analysis) dan tekhnik Analisis Komparatif Konstan (Constan Comparative

Analysis). Pendekatan sosiologi dan antropologi dalam studi Islam adalah

mencoba mengkaji keunikan karakter manusia muslim di berbagai tempat dan

belahan bumi di mana mereka menjalani hidupnya dengan berislam. Pendekatan

antropologi dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya

dalam memahami agama dengan melihat wujud praktik keagamaan yang

tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Kata Kunci: Pendekatan, Antropologis, dan Studi Islam.

PENDAHULUAN

Agama dalam bentuk wahyu Tuhan pada awalanya turun untuk

memberi petunjuk kepada manusia dalam mengatasi problem-

problem dalam kehidupannya. Dengan agama manusia memiliki cara

pandang baru terhadap kehidupan dan jalan baru sebagai titian dalam

masa kehidupannya. Namun dalam perkembangan berikutnya agama

justru menjadi bagian dari problem masyarakat itu sendiri (Harahap,

2018). Dalam fase ini masyarakat justru disibukan dengan usaha

menjaga agama dari pengeroposan dan pencemaran dalam dataran

praxis karena tidak semua ajaran-ajaran agama dilaksanakan dengan

baik oleh pemeluknya atau dari pencemaran praktik-praktik dan

pemikiran dari luar agama yang bercampur baur dengan agama.

Fenomena yang terakhir inilah yang menyibukkan pemikiran agama

sampai masa pertengahan bahkan sampai hari ini disebagian

kelompok masyarakat (Leni, 2018).


Persoalan pertama dalam memahami Islam adalah bagaimana

memahami manusia. Pergumulan yang dialami manusia

sesungguhnya adalah keagaman. Makna hakiki keberagaman

manusia terletak pada interpretasi dan pengamalan agamanya. Oleh

karena itu, antropologi sangat diperlukan untuk mengkaji Islam

sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan keberagaman

agamanya.

Melalui pendekatan antropologis dalam studi Islam sosok agama

yang ada pada tataran empirik akan dapat dilihat seerat-eratnya dan

latar belakang mengapa agama tersebut muncul dan dirumuskan.

Antrpologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan

berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan mecoba

membahas secara rinci tentang pendekatan antropologi dalam studi

Islam.

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan Library Research (Penelitian

Perpustakaan), yaitu dilaksanakan dengan menggunakan literatur

(kepustakaan) dari penelitian sebelumnya, dan menggunakan teknik

Analisis Isi (Content Analysis) dan tekhnik Analisis Komparatif

Konstan (Constan Comparative Analysis). Analisis isi bersifat

pembahasan yang mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau

tercetak dalam media massa. Analisis isi juga dapat diartikan sebagai

tekhnik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat

ditiru dan shahih data dengan memperhatikan konteksnya.

Sedangkan tekhnik Analisis Komparatif adalah tekhnik yang

digunakan untuk membandingkan kejadian-kejadian yang terjadi


disaat peneliti menganalisa kejadian tersebut dan dilakukan secara

terus-menerus sepanjang penelitian itu dilakukan. Beberapa langkah

yang dilakukan dalam penerapan teknik ini untuk analisis data

kualitatif yaitu tahap membandingkan kejadian yang dapat

diterapkan pada tiap kategori, tahap memadukan kategori-kategori

serta ciri-cirinya, tahap membatasi lingkup teori dan tahap menulis

teori. Untuk mendapatkan data dilakukan menelaah dan menganalisa

beberapa konsep yang ada kaitannya dengan pembahasan yang

dikemukakan dalam penelitian ini serta informasi keilmuan yang

dijadikan sebagai sumber data pokok dan sumber data penunjang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Antropologi terdiri dari kata Antropos dan Logos. Antropos

berarti manusia sedangkan logos berarti ilmu. Dengan kata lain

Antropologi adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-

usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada

masa lampau. Secara epitemologis antropologi mempelajari berbagai

hal mengenai manusia secara empirik dalam hubungannya sebagai

makhluk biologis dan sebagai makhluk sosial (dalam arti hidup di

dalam masyarakat). Manusia secara biologis berbeda warna kulit,

bentuk tubuh, dan sifat fisik lainnya. Namun di dalam yang fisik,

manusia mulai lahir sudah dalam kelompok dan tumbuh besar dalam

kelompok masyarakat. Masing-masing kelompok memiliki cara hidup

yang berbeda-beda yang disebut kebudayaan. Dalam cara hidup yang

berbeda tersebut tersimpul sistem nilai, pengetahuan yang khas dari

kelompok tersebut (Abdullah, 2007).

Ilmu antropologi bertujuan untuk memperoleh suatu

pemahaman totalitas manusia sebagai makhluk hidup, baik di masa


lampau maupun di masa sekarang. Antropologi itu tidak lebih dari

suatu usaha untuk memahami keseluruhan pengalaman sosialnya.

Maka hasil maksimum yang diperoleh dari antropologi adalah

fenomena-fenomena yang menunjukan adanya Tuhan. Antropologi

dibagi dua yaitu, antropologi fisik dan antropologi budaya, termasuk

etimologi dan ilmu bahasa (Nata, 2002).

Antropologi secara sederhana adalah ilmu yang mempelajari

tentang masyarakat dan kebudayaan. Kebudayaan adalah semua

produk hasil penelitian, ciptaan, serta kreasi masyarakat baik material

maupun non material. Contoh kebudayaan material adalah rumah

sebagai tempat tingga, model pakaian, model sepatu dan berbagai

peralatan lainnya. Contoh yang non material adalah kesenian, agama,

kepercayaan, pandangan hidup, aturan, dogma, norma, nilai yang

diakui, dijunjung dan mengikat bersama secara kelompok.

Wujud dan isi kebudayaan yang dimiliki oleh manusia pada

gilirannya akan mewarnai konsep tentang manusia itu. Mengenai isi

atau ruang lingkup kebudayaan itu adalah luas sekali, mencakup

segala aspek kehidupan (hidup rohania) dan penghidupan (hidup

jasmaniah) manusia. Hanya saja ada sementara ahli yang

memasukkan agama sebagai salah satu isi kebudayaan. Antropologi

berdiri sendiri sebagai ilmu dimulai abad ke-9. Pada awalnya kajian

para antropolog cenderung menitikberatkan pada penerapan teori

evolusi Darwin. Kemudian di akhir abad ke-19 ada kritik terhadap

teori evolusi. Para pengkritik berargumen bahwa yang terjadi adalah

adanya perbedaan pada kelompok-kelompok masyarakat, bukan

proses perkembangan yang sifatnya evolusiotik. Menurut pemegang

teori pemegang teori perbedaan (yang tidak setuju dengan teori


evolusi), adanya perbedaan unsur-unsur budaya yang ada dalam

berbagai masyarakat merupakan suatu kenyataan yang harus diakui.

Masing-masing kebudayaan tersebut berfungsi sebagai usaha manusia

secara kelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup material

maupun spiritual. Maka kelompok-kelompok ini disebut sebagai

kelompok fungsionalis.(Tama et al., 2016)

Ada beberapa cabang antropologi: 1) antropologi linguistik. 2)

antropologi budaya. 3) antropologi arkeologi. 4) antropologi agama,

dan lain-lain. Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi

modern adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik

sosial harus diteliti dalam konteks dan secara esensial dilihat sebagai

praktik yang berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang

sedang diteliti. Para antropolog harus melihat agama dan prakitk-

praktik pertanian, kekeluargaan, dan politik, magic, dam pengobatan

“secara bersama-sama” (Muhaimin, 2012). Maka agama misalnya

tidak bisa dilihat sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh prkatik-

praktik sosial lainnya. Para antroplog pula melihat peran agama

dalam memproduksi problem-problem dan ketegangan-ketegangan,

misalnya menganalisis peran agama dalam memelihara struktur

kekuatan yang ada atau yang mendorong kohesi sosial (Khoiri, 2002).

Southwold menyatakan ada 12 karakteristik, di antaranya adalah

sebagai berikut: Concern pada sesuatu yang ilahiah dan hubungan

manusia dengan Nya. Dikotomi elemen dunia menjadi sacred dan

profan dan perhatian utama pada sacred. Orientasi pada keselamatan

dari keadaan biasa dalam kehidupan duniawi. Praktik-praktik

duniawi. Keyakinan yang tidak dapat ditujukan secara logis atau

empiris, atau sangat mungkin tetapi harus ada sebagai dasar


keimanan. Suatu kode etis yang didukung oleh keyakinan-keyakinan

itu. Sangsi supernatural karena terjadi pelanggaran terhadap kode

tersebut. Mitologi. Adanya suatu kitab suci atau tradisi oral yang

mulai. Adanya pendekatan (Nabi) atau spesialis elit keagamaan.

Berkaitan dengan suatu komunitas moral. Ada kaitannya dengan

kelompok etnis atau kelompok yang sama (Khoiri, 2002).

Adapun metode yang lebih tepat dengan pendekatan antropologi

adalah metode holistik. Artinya, dalam melihat satu fenomena sosial

harus diteliti dalam konteks totalitas kebudayaan masyarakat yang

dikaji. Sedang teknik pengumpulan data yang paling tepat adalah

dengan pengamatan terlibat (observasi) dan wawancara mendalam,

yaitu terjun langsung berbaur dalam masyarakat yang diteliti.

Pengumpulan data semacam ini dimaksudkan sebagai upaya untuk

memperoleh pemahaman maksimal dari persperktif masyarakat yang

diteliti bukan dari perspektif pengamat atau peneliti (Nasution, 2007).

Pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana seharusnya

beragama menurut kitab suci, tetapi bagaimana menurut

penganutnya. Yang dalam kitab suci adalah das sollen, bagaimana

seharusnya, sedangkan bagaimana menurut umatnya adalah empirik,

yang dialami oleh manusia, baik yang diyakininya, dikerjakannya,

maupun yang dirasakannya.

Dengan mengutip pendapat Brian Morris, Jamhari berpendapat

bahwa kajian agama secara antropologi dapat dikategorikan dalam

empat teori: intellectual, functionalist, structuralist, dan simbolist.

Keempat teori ini berupaya mengkaji agama dalam kerangka sosial

empiris bahwa agama dipandang sebagai bagian kehidupan manusia

secara realitas dapat dilihat dan diteliti. Karena realitas keberagaman


manusia beragam, sebagaimana tercermin dalam aneka macam

budaya, diperlukan kajian antropologi lintas budaya (cross culture)

untuk melihat realitas universal agama (Baharun, 2011).

Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan

mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba

melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian

melihat perkembangan (religious development) dalam satu

masyarakat (Rosyidi, 1974).

Ketiga teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis, sebenarnya

lahir dari Emile Durkheim buku Durkheim, The Elemntary Form of The

religious (Maliki, 2010) telah mengilhami banyak orang dalam melihat

agama, lewat buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya

yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin di Australia

sampai ke agama yang well structured and well organised seperti yang

dicerminkan dalam agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa

aspek terpenting dalam pengertian agama adalah adanya distingsi

antara yang scared dan yang profan, namun ia tidak setuju dengan

pendapat yang menyatakan bahwa yang scared itu selalu bersifat

spiritual. Dalam agama sederhana suku aborigin Australia ditemukan

bahwa penyembahan kepada yang scared ternyata diberikan kepada

hal-hal yang profan semisal kanguru.

Kehidupan umat manusia di dunia ini pasti ditemukan adanya

pluralitas atau keanekaragaman, kemajemukan. Adanya pluralitas

dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan

masyarakat itu, dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan

membuat antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi

dan membutuhkan. Dengan kata lain, pluralitas memerkaya


kehidupan dan menjadi esensi ataupun menghidupkan adanya

pluralitas, pada hakikatnya menolak esensi kehidupan.

Adapun upaya memahami kemajemukan tadi dapat dikaji

melalui pendekatan sosiologi dan antropologi dalam ilmu sosial

budaya. Di samping itu penting pula dipahami bahwa pendekatan

sosiologi dan antropologi dalam studi Islam adalah mencoba

mengkaji keunikan karakter manusia muslim diberbagai tempat dan

belahan bumi di mana mereka menjalani hidupnya dengan berislam.

Melalui cara pemahaman seperti itulah diharapkan muncul suatu

kesadaran bahwa ternyata tiap-tiap individu memiliki sudut pandang

sendiri-sendiri di dalam memahami ajaran agamanya. Perlu

dimengerti pula bahwa dalam setiap realitas yang plural itu, tidak ada

yang persis sama, baik ukuran warna, rupa maupun dimensi.

Sungguh pun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata

pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang

plural, tetapi di dalamnya berlangsung ketidakadilan, kemiskinan,

kebodohan, dan lemahnya hukum serta rendahnya disiplin

masyarakat. Kalau itu yang terjadi, pluralitas dapat berubah menjadi

ancaman yang seringkali memicu timbulnya ketegasan, pertentangan,

bahkan koflik yang seringkali mengambil bentuk kekerasan.

Dengan demikian, memasuki era reformasi yang akan

mengubah tata kehidupan masyarakat kita secara fundamental, maka

diperlukan sikap arif dan rendah hati dalam menghadapi dan

memberlakukan adanya pluralitas. Sehingga dapat dihindari adanya

konflik sosial yang destruktif dan tak terkendali, seperti yang terjadi

di masyarakat akhir-akhir ini.


Dalam kehidupan masyarakat yang plural, sikap dasar yang

seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai

adanya perbedaan masing-masing anggota masyarakat. Sehingga,

perbedaan akan dipandang sebagai hak fundamental dari setiap

anggota masyarakat. Selanjutnya, masyarakat itu sendiri yang

menuntut kepada anggotanya untuk menjaga, menghargai, dan

menumbuhkan adanya perbedaan itu. Karena tanpa perbedaan

masyarakat itu akan berhenti bergerak dan mati. Apalagi hal itu

berkaitan dengan pemahaman ajaran agama oleh masing-masing

individu.

Antropologi mempelajari manusia dan budayanya. Antropologi

bertujuan memahami objek yang dikaji secara totalitas, dari masa lalu

yang lebih awal dari kehidupan manusia sampai sekarang, memahami

manusia sebagai eksistensi biologis dan kultural. Antropologi

mencoba menyingkap asal-usul, perkembangan, perubahan, saling

hubungan, fungsi dan arti dari fenomena manusia. Dengan demikian

kajian antropologi bersifat holistik dan berwawasan budaya. Budaya

dipandang sebagai kata kunci untuk memahami perilaku manusia.

Oleh karena itu, kajian antropologi terhadap agama juga harus

bersifat universal, empirik, perbandingan dan objektif

(Koentjaraningrat, 2000).

Banyak ahli antropologi melakukan penelitian dikalangan

masyarakat primitif dengan tujuan untuk dapat memahami gejala

kehidupan beragama yang masih murni karena kehidupan beragama

masyarakat modern sudah campur aduk dengan aspek kehidupan

yang lain. Gejala kehidupan beragama ingin dipahami oleh

antropologi dalam kaitan dan kesatuannya dengan aspek budaya


yang lain. Antropologi ingin menyelami makna dari simbol, aturan,

norma, sistem yang berlaku dalam masyarakat.

Antropologis klasik memahami gejala kehidupan beragama

sebagai kebudayaan suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai

kebudayaan suatu masyarakat. Agama dipahami sebagai

humancreation, human made. Agama dilihat sebagai: Ekspresi

simbolis dari kehidupan manusia yang dengannya manusia

menafsirkan dirinya dan universe di sekelilingnya, Yang memberikan

motif bagi perbuatan manusia dan sekumpulan tindakan yang

berhubungan satu sama lain yang mempunyai nilai-nilai yang

melangsungkan kehidupan manusia.

Kajian sejarah terhadap agama hampir sama dengan antropologi,

tetapi kasus yang diteliti adalah kasus masa lampau, sedangkan

antropologi meneliti kasus yang sedang berlangsung tanpa

mengabaikan penelusurannya secara historis. Menurut Hilman

Hadikusuma mengungkap metode ilmiah untuk menjawab persoalan

dalam antropologi agama ada empat macam yaitu:(Harahap, 2019).

Metode historis adalah dengan menelusuri data sejarah dan asal-

usul suatu masalah, seperti asal-usul kepercayaan masyarakat kepada

Tuhan. Metode normatif adalah kajian terhadap norma-norma,

patokan-patokan, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Metode

deskriptif adalah dengan mencatat, merekam, dan memerhatikan

segala sesuatu yang ditemukan di masyarakat yang berkaitan dengan

objek yang diteliti, seperti yang dilakukan oleh para etnografer.

Metode empirik adalah memperhatikan segala sesuatu yang

dipikirkan, diyakini, dirasakan, dan dikerjakan oleh masyarakat yang


bersangkutan. Dengan demikian metode yang tepat untuk ini adalah

dengna participant observation.

Apa yang dikatakan metode normatif oleh Hadikusuma tidaklah

menunjukan metode dipakai dalam mendapatkan dan

menginterpretasikan data. Masalah norma yang berlaku di tengah

masyarakat bukanlah metode, tetapi objek yang diteliti. Norma yang

dipegang oleh masyarakat terebut dapat secara ilmiah, baik historis,

deskriptif maupun empirik, bisa diketahui dengan mewancarai dan

mengamati pemeluknya. Akan tetapi, norma yang datang dari Tuhan

yang diungkap dalam ayat kitab suci tidak dapat diteliti secara ilmiah.

Ketika norma dan kepercayaan tersebut telah dimiliki oleh manusia

(baik manusia itu para ulama atau para pemuka agama, maupun

orang awam pengikut biasa) ia dapat menjadi objek kajian antropologi

(Agus, 2006).

Fokus pendekatan sosiologi dalam studi Islam adalah

memahami Islam sebagai fenomena yang menyejarah dalam sosial

dan budaya. Sementara pendekatan antropologinya dilihat dari dari

dinamika perspektif individu-individu di dalam memahami ajaran

Islam. Perlu dipahami di sini, bahwa ragam dan corak keIslaman

sesungguhnya tidak terlepas dari dinamika pemahaman umat Islam

yang berbeda-beda tentang ajaran Islam berdasarkan seting sosial dan

budaya yang melatarbelakangi sekaligus yang dihadapi umat Islam

itu sendiri. Dari sinilah kemudian muncul berbagai sudut pandang

yang melahirkan berbagai model pemahaman terhadap ajaran Islam.

Penjelasan demikian, menegaskan bahwa fenomena

keberagaman dalam hal ini Islam, baik yang ada di kawasan Eropa,

Amerika, Timur Tengah, dan bahkan di Asia Tenggara, mempunyai


karakteristik sendiri-sendiri berdasarkan fenomena sosial dan budaya

di mana Islam berkembang bersama masyarakat. Studi kawasan

Eropa kentak dialektiknya dengan tradisi Marxian, coraknya seperti

model kajian Muhammad Arkoun, Hassan Hanafi, dan Nasr Hamid

Abu Zaid. Kemudian, studi Islam kawasan Amerika, coraknya seperti

model kajian Ismail Raji’ al-Faruqi da Louis Larnya’ al-Faruqi (proyek

Islamisasi Ilmu Pengetahuan), kemudian Seyyed Hossein Nasr

(masyarakat tradisi, dan scientia sacra), Malcolm X. Studi Islam

kawasan Timur Tengah, seperti model kajian Muhammad Ghazali,

Yusuf al-Qardhawi, Muhammad Ghallab (khas dengan kajian hukum

islam). Sementara studi Islam kawasan Asia Tenggara model

kajiannya bisa dilihat dari karya-karya Mahathir Muhammad, Anwar

Ibrahim (renaisans di Asia), A. Mukti Ali Abdurrahman Wahid, Amien

Rais, M. Abdullah, Musa Asy’arie, Azyumardi Azra, Nurcholish

Madjid, Komaruddin Hidayat, dan lain-lain (Tim Penyusun, 2005).

Agama yang dipelajari oleh antropologi sebagai fenomena

budaya, tidak ajaran agama yang datang dari Tuhan. Maka yang

menjadi perhatian adalah beragamanya manusia dan masyarakat.

Sebagai ilmu sosial, antropologi tidak membahas salah benarnya

suatu agama dan segenap perangkatnya, seperti kepercayaan, ritual,

dan kepercayaan kepada yang sakral.Setiap unsur budaya terdiri dari

tiga hal yakni:(Potabuga, 2020). Norma, nilai, keyakinan yang ada

dalam pikiran, hati, dan perasaan manusia pemilik kebudayaan

tersebut. Pola tingkah laku yang dapat diamati dalam kehidupan

nyata dan hasil material dari kreasi, pikiran, dan perasaan manusia

Ketiga aspek kebudayaan dari komunitas keagamaan menjadi

obyek ilmu antropologi. Karena fenomena keagamaan banyak yang


aneh dalam pandangan ahli Barat, kajian tidak hanya dicukupkan

pada tiga aspek dari fenomena tersebut tetapi banyak pula yang

diteruskan untuk menjawab asal usul dari berkembangnya kehidupan

beragama (Koentjaraningrat, 2000).

Dalam kaitannya dengan islam sebagai gejala antropologi,

sangat banyak objek kajian yang dapat dilakukan. Pembahasan ini

telah dibahas pada bab sebelumnya, dan diantaranya dalam bentuk

apa yang disebut gejala agama dan keagamaan. Terdapat lima gejala

yang dapat diteliti, yakni: Scripture atau naskah-naskah atau sumber

ajaran atau simbol-simbol, penganut atau pemimpin atau tokoh atau

pemuka agama, yakni pemahaman, sikap, perilaku, dan penghayatan,

Ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadah-ibadah seperti sholat,

puasa, haji, perkawinan, waris, sekatenan, peringatan kelahiran nabi,

peringatan isra’ mi’raj, lembaga waqaf, lembaga zakat, lazis, dll. Alat-

alat agama dan keagamaan seperti masjid, peci, tasbih, dll. Organisasi-

organisasi sosial keagaman, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dll.

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat

diartikan sebagai upaya memahami agama dengan cara melihat

wujud prktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat (Baharun, 2011).

Pemahaman Islam yang telah berproses dalam sejarah dan

budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia. Realitas

keagaman sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang

mengejawantahkan dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna

hakiki dari keberagaman terletak interpretasi dan pengamalan agama.

Oleh karana itu antropologi diperlukan dalam memahami Islam,

sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami


Islam yang telah dipraktikan Islam that is practised yang menjadi

gambaran sesungguhnya dari keberagaman manusia (Leni, 2018).

Salah satu konsep kunci terpenting dalam antropologi modern

adalah holisme, yakni pandangan bahwa praktik-praktik sosial harus

diteliti dalam konteks dan secara esensial sebagai praktik yang

berkaitan dengan yang lain dalam masyarakat yang sedamg diteliti.

Para antropolog harus melihat agama harus melihat agama dan

praktik-praktik pertanian, kekeluargaan, dan politik, magic serta

pengobatan secara bersama-sama. Maka agama misalnya tidak bisa

dilihat sebagai sistem otonom yang tidak terpengaruh oleh prakti-

praktik sosial lainnya (Huda, 2016).

Pendekatan antropologi dan studi agama membuahkan

antropologi agama yang dapat dikatakan sebagian dari antropologi

budaya, bukan antropologi sosial. Antropologi agama sebagai bagian

dari ilmu agama yang sistematis.

Pendekatan antropologi dalam memahami agama dapat

diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama dengan

melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat. Melalui pendekatan agama sangat akrab dan dekat

dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia, berupaya

menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dewan Raharjo, lebih

mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif

peneliti antropologis yang induktif, yaitu turun ke lapangan tanpa

berpijak dengan upaya membebaskan diri dari lingkungan teori-teori

formal yang pada dasarnya sangat abstrak (Leni, 2018).

Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam berbagai

penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan


pasif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik.

Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin

pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan-gerakan keagamaan

yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial

kemasyarakatan. Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung

untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan

secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.

Melalui pendekatan antropologi dapat dilihat bahwa agama ternyata

berkorelasi dengan kerja dan perkembangan ekonomi suatu

masyarakat. Dalam hubungan ini seseorang ingin mengubah

pandangan dan sikap etos kerja maka dapat dilakukan dengan cara

mengubah pandangan keagamaannya (Abdullah, 2006).

Selanjutnya melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat

melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme

pengorganisasian (Social Organization) juga tidak kalah menarik untuk

diketahui oleh para peneliti sosial keagaman. Kasus di Indonesia,

peneliti Clifford Greetz dalam karyanya The Religion of Java, dapat

dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Greetz melihat adanya

klasifikasi sosial dalam masyarakat muslim di Jawa, atara santri,

priyayi,dan abangan. Melalui pendekatan antropologis ini kita juga

dapat melihat hubungan antara agama dan negara (State and Religion).

Topik ini juga tidak pernah kering dikupas oleh para peneliti.

Melalui pendekatan antropologis terlihat dengan jelas hubungan

agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia. Pendekatan

antropologis seperti itu diperlukan adanya, sebab masalah agama

hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologi.

Artinya manusia dakam memahami ajaran agama, dapat dijelaskan


melalui bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya (Nata,

2002).

Agama sebagai sasaran studi antropologi dapat disimpulkan

dalam dua hal. Pertama antropologi yang merupakan bagian dari

kebudayaan dan menjadi salah satu sasaran kajian yang penting

sehingga menghasilkan kajian cabang tersendiri yang disebut dengan

antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang antropologi

sebenarnya masih ada pada satu rumpun kajian yang bisa saling

berhubungan yaitu antropologis. Karena itu pendekatan antropologi

identik dengan pendekatan kebudayaan (Huda, 2016).

Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan agama dan budaya.

Menurutnya, agama dan budaya adalah dua bidang yang dapat

dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Agama bernilai mutlak,

tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sedangkan

budaya, sekalipun berdasarkan agama, dapat berubah dari waktu ke

waktu dan dari tempat ke tempat. Sebagian budaya didasarkan pada

agama tidak pernah terjadi sebaliknya. Oleh karena itu, agama adalah

primer, dan budaya adalah sekunder. Budaya bisa merupakan

ekspresi hidup keagamaan, karena ia subordinat terhadap agama dan

tidak pernah sebaliknya (Hakim, 2009).

Di samping kritik terhadap pendekatan intelektualis itu,

Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat

dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh

hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat)

bagi Durkheim adalah “Struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan

dengan konsensus moral (Maliki, 2010). Pandangan ini yang

mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan


struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi

Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan

pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban

hubungan anatara individu dan masyarakat. Bagi Levi-Strauss agama

baik dalam bentuk mitos, magic adalah model bagi kerangka

bertindak bagi invidu dalam masyrakat. Jadi pandangan sosial

Durkheim dikembangkan oleh Levis Strauss tidak saja secara

hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi dan pikiran sebagai

struktur sosial.

Sementara itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam

masyarakat sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial.

Pandangan Durkheim yang mengasumsikan bahwa masyarakat selalu

dalam keadaan equilibrum dan saling terikat satu dengan yang lain,

telah mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama dalam

masyarakat yang seimbang tersebut.

Teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-

an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim walaupun

tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme.

Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam

masyarakat sebagai suatu aktivitas untuk mengembalikan kesatuan

masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan

pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori

tersebut adalah Victor Turner, ketika ia melakukan kajian ritual

(upacara keagaman) di masyarakat dembu di Afrika.Turner melihat

bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat dembu

untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyrakat

dembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada


nilai-nilai spiritual agama. Oleh karena itu ritual, utama cult ritual

yang berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan

(missfortune) mengandung 4 fungsi sosial yang penting. Ritual sebagai

media untuk mengurangi permusuhan (reduce hostiliteli) diantara

warga masyarakat yang disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan

niat jahat seseorang kepada yang lain. Ritual digunakan untuk

menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi di dalam

masyarakat. Ritual sebagai sarana untuk memantapkan kembali

hubungan yang akrab. Ritual sebagai medium untuk menegaskan

kembali nilai-nilai masyarakat.

Ada beberapa kekurangan dan kelebihan yang terdapat pada

pendekatan antropologi dalam studi Islam, sebagai berikut: Kelebihan

pendekatan antropologi bercorak deskriptif dan denganmelakukan

pengamatan langsung, sehingga peneliti mengetahui dengan

sebenarnya praktik keberagamaan (local practices) praktik yang nyata

di suatu tempat. Antropologi selalu mencari keterkaitan atau

hubungan antara berbagai domain kehidupan secara lebih utuh dan

melakukan perbandingan dari berbagai tradisi. Dengan antropologi

kita dapat meneliti asal-usul agama, dan dengan itu kita dapat

mengerti cara berpikir manusia yang menganut agama tersebut pada

zamannya,sehingga dengan melakukan kajian lewat agama kita dapat

mengetahui pola berpikir manusia pada zaman dahulu, karena pasti

ada keterkaitan antara agama dan manusia. Antropologi lebih

terfokus pada simbol-simbol dan unsur-unsur dalam agama seperti

sholat, puasa, haji, golongan agama, pemuka agama dan sebagainya,

karena hal itu dapat mempengaruhi manusia. Kekurangan,

antropologi tidak membahas fungsi agama bagi manusia, tetapi


membahas isi dan unsur-unsur pembentuk dalam agama itu berkaitan

dengan manusia dan kebudayaan sehingga akan sulit mengamati

terjadinya sekularisasi. Dalam kehidupan terjadinya pembauran

antara budaya dan agama, sehingga dalam praktiknya jika kita tidak

cermat mengamatinya, maka tidak dapat dibedakan antara agama dan

budaya.

Kebudayaan dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam

memahami Islam, terutama mengenai ajaran Islam dalam tataran

empiris, sebagai ajaran agama Islam yang tampil dalam bentuk formal

dan terjadi masyarakat. Agama dalam bentuk demikian berkaitan

dengan bentuk kebudayaan yang berkembang di masyarakat atau

tempat agama itu berkembang. Misalnya kita dapat menjumpai

kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya.

Dalam produk kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi.

Seperti bentuk model berbusana bagi wanita dan jilbab (Ghazali,

2015).

Contoh pendekatan antropologi dalam studi Islam yaitu tentang

jual beli. Dalam al-Qur’an, Allah menghalalkan jual beli dan

mengharamkan riba (Q.S. al-Baqarah: 275). Halalnya jual beli dan

haramnya riba merupakan ajaran dasar agama Islam. Ia berlaku bagi

semua umat Islam. Tetapi unsur-unsur (Arkan) jual beli sudah

merupakan budaya; dalam jual beli terdapat penjual, pembeli, akad,

dan benda yang diperjualbelikan. Salah satu jual beli yang dilakukan

di masyarakat adalah petani adalah jual beli pupuk untuk tanaman.

Oleh karena itu,jual beli pupuk dan tanaman dapat disebut sebagai

culture. Salah satu syarat yang ditentukan oleh Ulama dalam jual beli

adalah benda yang diperjualbelikannya bukan benda najis. Tetapi,


sebagian petani memperjualbelikan kotoran sapi, kerbau, dan

kambing untuk pupuk tanaman (pupuk kandang). Kotoran sapi,

kerbau dan kambing dalam pandangan ulama, kebiasaan

memperjualbelikan kotoran hewan untuk pupuk termasuk

penyimpangan (Hakim, 20015).

Contoh lain pendekatan antropologis dalam studi Islam adalah

pada upacara pangiwahan yaitu agar manusia menjadi mulia

(wiwoho), diadakanlah upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Selain itu, budaya Islami dapat dilihat dalam acara mauled, seni music

qasidah dan gambus (Hakim, 20015).

PENUTUP

Antropologi adalah ilmu tentang manusia khususnya tentang asal-

usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaan pada masa

lampau. Secara epitemologis antropologi mempelajari berbagai hal

mengenai manusia secara empirik dalam hubungannya sebagai makhluk

biologis dan sebagai makhluk sosial (dalam arti hidup di dalam

masyarakat). Beberapa karakteristik dasar pendekatan antropologi adalah

concern pada sesuatu yang ilahiah dan hubungan manusia dengan Nya,

dikotomi elemen dunia menjadi sacred dan profan dan perhatian utama

pada sacred, orientasi pada keselamatan dari keadaan biasa dalam

kehidupan duniawi, praktik-praktik duniawi.

Adapun objek kajian antropologi agama yaitu; Scripture atau

naskah-naskah atau sumber ajaran atau simbol-simbol; Penganut atau

pemimpin atau tokoh atau pemuka agama, yakni pemahaman, sikap,

perilaku, dan penghayatan; Ritus-ritus, lembaga-lembaga, dan ibadah-

ibadah seperti sholat, puasa, haji, perkawinan, waris, sekatenan,

peringatan kelahiran nabi, peringatan isra’ mi’raj, lembaga waqaf,


lembaga zakat, lazis, dll; Alat-alat agama dan keagamaan seperti masjid,

peci, tasbih, dll; Organisasi-organisasi sosial keagaman, seperti NU,

Muhammadiyah, Persis, dll. Pendekatan sosiologi dan antropologi dalam

studi Islam adalah mencoba mengkaji keunikan karakter manusia muslim

di berbagai tempat dan belahan bumi di mana mereka menjalani

hidupnya dengan berislam. Pendekatan antropologi dalam memahami

agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya dalam memahami agama

dengan melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang

dalam masyarakat.

Kelebihan pendekatan antropologi dalam studi Islam adalah dengan

antropologi kita dapat meneliti asal-usul agama, dan dengan itu kita

dapat mengerti cara berpikir manusia yang menganut agama tersebut

pada zamannya, Sehingga dengan melakukan kajian lewat agama kita

dapat mengetahui pola berpikir manusia pada zaman dahulu, karena

pasti ada keterkaitan antara agama dan manusia. Sedangkan kekurangan

pendekatan antropologi dalam studi Islam adalah dalam kehidupan

terjadinya pembauran antara budaya dan agama, sehingga dalam

praktiknya jika kita tidak cermat mengamatinya, maka tidak dapat

dibedakan antara agama dan budaya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Yatimin. 2006. Studi Islam Kontemporer. Jakarta: Amzah.

Agus Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar

Antropologi Agama. Jakarta: Rajawali.

Baharun Hasan. 2011. Metodologi Studi Islam: Percikan Pemikian Tokoh dalam
Membumikan Agama. Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Hakim Atang Abd, dkk. 2015. Metodologi Studi Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Harahap, A. (2018). Education Thought of Ibnu Miskawaih. Sunan Kalijaga

International Journal on Islamic Educational Research, 1(1), 1–14.

https://doi.org/10.14421/skijier.2017.2017.11-01

Harahap, A. (2019). Gender Typing (Pada Anak Usia Sekolah Dasar). Al-

Muaddib : Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial & Keislaman, 4(1), 1.

https://doi.org/10.31604/muaddib.v1i1.781

Huda, M. D. (2016). Pendekatan Antropologis dalam Studi Islam. Didaktika

Religia, 4(2), 139–162. https://doi.org/10.30762/didaktika.v4.i2.p139-

162.2016

Khoiri Imam. 2002. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LkiS.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Binacipta.

Leni, N. (2018). Peran Antroplogi Bagi Studi Islam. Analisis: Jurnal Studi

Keislaman, 18(2), 233–252. https://doi.org/10.24042/ajsk.v18i2.4138

Maliki Zainuddin. 2010. Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: UGM Press.

Muhaimin. 2012. Studi Islam: dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan. Jakarta:
Kencana.

Nasution Khoiruddin. 2007. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Academia


dan Tazzafa.

Nata Abudin. 2002. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Potabuga, Y. F. (2020). Pendekatan Antropologi Dalam Studi Islam.


Transformatif, 4(1), 19–30. https://doi.org/10.23971/tf.v4i1.1807

Rosyidi. 1974. Kuliah Agama di Perguruan Tinggi. Jakarta: Bulan Bintang.

Tama, T. D., Adisasmita, A. C., & Burhan, E. (2016). Indeks Massa Tubuh

dan Waktu Terjadinya Konversi Sputum pada Pasien Tuberkulosis

Paru BTA Positif di RSUP Persahabatan Tahun 2012. Jurnal

Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 1(1), 1–8.

https://doi.org/10.7454/epidkes.v1i1.1309

Tim Penyusun. 2005. Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik


UIN Sunan Kalijaga.

Anda mungkin juga menyukai