Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

“STUDI ISLAM KOMPREHENSIF


(Al-Qur’an, Hadits, Filsafat, Kalam, Tasawuf)”
Tentang
Pendekatan Antropologi terhadap Studi Islam dan Komunitas Muslim
Oleh: Muhammad Syukur Hasan Sahria

A. Pendahuluan
Studi Islam dalam artian kegiatan keilmuan sangatlah kaya nuansa
sehingga dimungkinkan untuk dapat diubah, dikembangkan, diperbaiki,
dirumuskan kembali, disempurnakan sesuai dengan semangat zaman yang
mengitarinya, perubahan ini tidak perlu dikhawatirkan karena inti pemikiran
keislaman yang berporos terhadap ajaran tauhid dan bermoralitas Al Qur’an tetap
seperti adanya.
Studi Agama tidak cukup dipahami menggunakan pendekatan teologis
normatif, tapi perlu menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang sesuai
dengan perkembangan pemikiran, dinamika sosial bahkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pemahaman terhadap agama saat ini mengalami
pergeseran dari Idealitas ke historisitas, dari doktrin ke sosiologis dan dari esensi
ke eksistensi.
Memahami Islam dengan menggunakan berbagai pendekatan atau cara
pandang disiplin suatu keilmuan adalah amat mungkin dilakukan, bahkan harus
dilakukan karena Islam dengan sumber ajaran utamanya yang terdapat dalam Al
Qur’an dan as Sunnah memang bukan hanya berbicara masalah akidah, ibadah,
akhlak dan kehidupan akhirat saja, melainkan berbicara tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, sejarah, sosial, pendidikan, politik, ekonomi,
kebudayaan, seni dan lain sebagainya.
Namun demikian, perlu dicatat dan digaris bawahi bahwa penggunaan teori
dan pendekatan tersebut bukan untuk menguji benar atau tidaknya aspek esensi
ajaran Islam yang bersifat normatif, tetapi yang dijadikan obyek penelitian adalah
berkenaan aspek lahiriah atau aspek pengamalan dari ajaran wahyu tersebut.
Oleh karena itu, antropologi sebuah ilmu yang mempelajari manusia,
menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari
tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan
kebudayaan manusia. Dengan dibekali oleh pendekatan yang holisik dan
komitmennya tentang manusia, sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang
penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai
budaya.
Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk mengelaborasi pendekatan
antropologis dalam studi Islam dengan menitik beratkan kajian berkisar:
pengertian pendekatan antropologi dan sejarahnya, pentingnya penerapan
pendekatan antropologi dalam studi Islam, obyek serta cara pendekatan
antropologi dalam studi Islam.

[1]
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendekatan Antropologi

Pendekatan Antropologi tidak dapat dipisahkan dari disiplin Ilmu


Antropologi karena pendekatan banyak mengadopsi dari disiplin ilmu
tersebut. Antropologi sendiri secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani,
yaitu kata anthropos yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang
berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi
mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi).
Sedangkan definisi antropologi adalah ilmu yang mengkaji manusia
dan budayanya. Tujuannya adalah memperoleh suatu pemahaman totalitas
manusia sebagai makhluk, baik di masa lampau maupun sekarang, baik
sebagai organisme biologis maupun sebagai makhluk berbudaya. Dari hasil
kajian ini, maka sifat-sifat fisik manusia serta sifat khas budaya yang
dimilikinya bisa diketahui. ( Ghazali,2011: 1-2 )
Koentjoroningrat mendefinisikan, antropologi adalah ilmu tentang
manusia, khususnya tentang asal usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat
dan kebudayaan yang dihasilkan.(http://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi)
Menurut Akbar S. Ahmad, antropologi adalah ilmu yang didasarkan
atas observasi yang luas tentang kebudayaan, menggunakan data yang
terkumpul, dengan menetralkan nilai, analisis yang tenang (tidak memihak).
(Baharun, 2011:232)
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana
anthropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari
manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk
rambut, bentuk mata, kebudayaan, dan berbagai pengetahuan tentang corak
kehidupan lainnya yang bermanfaat. Sedangkan pengertian pendekatan
antropologi dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama
dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat.(Nata, 2011: 35)
2. Sejarah dan Perkembangan Antropologi Agama

Menurut David N. Gellner, antropologi bermula pada abad 19 M. Pada


abad ini antropologi dimaknai sebagai penelitian yang difokuskan pada kajian
asal-usul manusia. Penelitian antropologi tersebut mencakup pencarian fosil
yang masih ada dan mengkaji keluarga binatang yang terdekat dengan
manusia (primate) serta meneliti masyarakat manusia, manakah yang paling
tua dan tetap bertahan (survive). Pada masa ini antropologi dikembangkan
dalam paradigma evolusi sebagai ide kunci.
Antropologi masih menurut David N Gellner juga tertarik untuk
mengkaji agama. Adapun tema yang menjadi fokus perdebatan dikalangan
mereka, misalnya pertanyaan: Apakah bentuk agama yang paling kuno itu
magic? Apakah penyembahan terhadap kekuatan alam? Apakah agama ini
meyakini jiwa seperti tertangkap dalam mimpi atau bayangan suatu bentuk
agama yang disebut animisme? Pertanyaan dan pembahasan seputar agama
primitif itu sangat digemari pembacanya pada abad ke 19 M.
Antropologi abad 19 M menghasilkan setidaknya dua karya besar
tentang kajian agama: The Golden Bough (1890) karya Sir James Frazer dan

[2]
The Element Forms of Religious Life (1912) karya Emil Durkheim. (Connoly,
2011: 15-18 )

3. Pendekatan Antropologi terhadap Studi Islam dan Komunitasi Muslim


Pembelajaran kebudayaan merupakan hal yang utama dalam
Antropologi. Bidang kajian utama Antropologi adalah kebudayaan dan
dipelajari melalui pendekatan. Berikut tiga jenis pendekatan utama yang biasa
dipergunakan oleh para ilmuwan Antropologi:
a. Pendekatan holistik
Jika kita amati, sifat kebudayaan dipandang secara utuh (holistic).
Pendekatan ini digunakan oleh para pakar Antropologi apabila mereka
sedang mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan
dipandang sebagai suatu keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin
dipahami dalam keadaan terpisah dari keutuhan tersebut. Para pakar
Antropologi mengumpulkan semua aspek, termasuk sejarah, geografi,
ekonomi, teknologi, dan bahasa. Untuk memperoleh generalisasi (simpulan)
tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan dalam suatu
masyarakat, para pakar Antropologi merasa bahwa mereka harus
memahami dengan baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat
yang bersangkutan.
b. Pendekatan komparatif
Kegiatan pada kebudayaan masyarakat pra-aksara. Pendekatan
komparatif juga merupakan pendekatan yang unik dalam Antropologi untuk
mempelajari kebudayaan masyarakat yang belum mengenal baca-tulis (pra-
aksara). Para ilmuwan Antropologi paling sering mempelajari masyarakat
pra-aksara karena dua alasan utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap
generalisasi dan teori harus diuji pada populasi-populasi di sebanyak
mungkin daerah kebudayaan sebelum dapat diverifikasi. Kedua, mereka
lebih mudah mempelajari keseluruhan kebudayaan masyarakat-masyarakat
kecil yang relatif homogen dari pada masyarakat-masyarakat modern yang
kompleks. Masyarakat-masyarakat pra-aksara yang hidup di daerah-daerah
terpencil merupakan laboratorium bagi para ilmuwan Antropologi.
c. Pendekatan Historis
Hal yang paling penting yaitu asal-usul unsur kebudayaan.
Pendekatan dan unsur-unsur historis mempunyai arti yang sangat penting
dalam Antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam kelompok ilmu
tingkah laku manusia. Para ilmuwan Antropologi tertarik pertama-tama pada
asal-usul historis dari unsur-unsur kebudayaan, dan setelah itu tertarik pada
unsur-unsur kebudayaan yang unik dan khusus.
4. Aplikasi pendekatan Antropologis dalam mengkaji islam dan
Komunitas Muslim
Berkaitan dengan paparan di atas, penting kiranya untuk memahami
arti dari istilah “pendekatan” atau “metodologi” yaitu “sudut pandang atau
cara melihat dan memperlakukan sesuatu yang menjadi perhatian atau
masalah yang dikaji. Adapun yang dimaksud pendekatan disini adalah cara
pandang atau paradigma yang terdapat di dalam suatu bidang ilmu yang
selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini,
Jalaluddin Rahmat sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, mengatakan
bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma.

[3]
Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai
dengan kerangka paradigmanya.
Dengan demikian pendekatan Antropologis yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah sudut pandang atau cara melihat (paradigma)
memperlakukan sesuatu gejala yang menjadi perhatian dengan
menggunakan kebudayaan dari gejala yang dikaji tersebut sebagai acuan
dalam melihat, memperlakukan dan menelitinya. Pendekatan Antropologis
dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktek keagamaan yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama
nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia
dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain
bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu Antropologi saat
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama.
Asal muasal agama secara universal dapat dilihat dari karakteristik
ajaran dan umat beragama yang sangat banyak dan sangat berbeda satu
sama lain. Berdasarkan pendapat tentang asal-usul agama kepada data
keagamaan masyarakat primitif sungguh tidak representatif, bahkan salah
kaprah karena agama-agama besar dunia sangat berbeda dengan agama
masyarakat primitif. Kemudian penelusuran secara ilmiah terhadap
kepercayaan beragama, menuntut bukti yang rasional empiris, dan
berikutnya menuntut kesimpulan yang bernalar. Mengatakan agama dari
Tuhan tentu tidak empiris. Karena itu, Emile Durkheim mengatakan bahwa
asal-usul agama adalah masyarakat itu sendiri.
M.T Preusz, seorang etnografer Jerman yang ahli tentang suku Indian
di Meksiko, berpendapat bahwa wujud religi tertua merupakan tindakan-
tindakan manusia untuk mewujudkan keperluan hidupnya yang tidak dapat
dicapai dengan akal dan kemampuan biasa. Dia menegaskan bahwa pusat
dari tiap sistem religi adalah ritual dan upacara. Melalui tindakan terhadap
kekuatan gaib yang berperan dalam kehidupan, manusia mengira dapat
memenuhi kebutuhan dan tujuan hidupnya. R.R. Marett berpendapat bahwa
kepercayaan beragama berasal dari kepercayaan akan adanya kekuatan
gaib luar biasa yang menjadi penyebab dari gejala-gejala yang tidak dapat
dilakukan manusia biasa.
Dari sisi lain, asal usul agama tidak lah sesuai dengan apa yang ada
dalam keyakinan dan pikiran umat beragama, karena menurut mereka
agama adalah ajaran Tuhan. Walaupun kemudian disampaikan dan diolah
atau diijtihadkan oleh pemuka agama, asal bahan yang diolah dan
diijtihadkan itu tetap dari wahyu Tuhan. Agama pada umumnya mempunyai
ajaran-ajaran yang diyakini turun kepada manusia melalui wahyu, dalam arti
bahwa ajaran-ajaran itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu
bersifat mutlak, benar dan tidak berubah-ubah oleh perkembangan zaman.
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia,
menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi
mengidentifikasi manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat
memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan
yang holistik dan komitmen akan pemahaman tentang manusia, maka
sesungguhnya Antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari
agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya.

[4]
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan Antropologis
sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia
sebagai “khalifah” (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan
pentingnya posisi manusia dalam Islam. Agama diperuntukkan untuk
kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia
adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia
digambarkan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Secara Antropologis
ungkapan ini berarti bahwa, sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian
realitas ketuhanan. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu
menjadi pusat perhatian Antropologi, menjadi sangat penting.
Dalam pandangan Dawam Raharjo, Antropologi dalam hal ini
penelitiannya lebih menggunakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya
partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif
yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam
pengamatan sosiologis. Dawam menambahkan penelitian Antropologis
yang induktif dan gronded (membumi), yakni turun ke lapangan tanpa
berpijak pada atau setidak-tidaknya berupaya membebaskan diri dari
kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak
sebagaimana yang dilakukan dibidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi
yang mempergunakan model matematis, banyak juga memberikan
sumbangan kepada penelitian historis.
Dalam aplikasinya, berbagai penelitian Antropologi agama dapat
dikemukakan hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan
kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan
golongan miskin yang lain, pada umumnya lebih tertarik kepada gerakan
keagamaan yang bersifat menjanjikan perubahan tatanan sosial
kemasyarakatan. Sedangkan orang kaya lebih cenderung untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi
lantaran itu menguntungkan pihaknya.
Penelitian bidang Antropologi agama juga dilakukan oleh Clifford
Geertz yang hasil penelitiannya telah dituliskan dalam sebuah buku yang
berjudul The Religion of Java. Arti penting dari karya Geertz ini adalah
sumbangan pemikirannya dengan simbol-simbol yaitu bagaimana hubungan
antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan
pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol, dan bagaimana para
anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan
cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu.
Menurut Geertz dalam penelitiannya di Mojokerto kebudayaan Jawa
memiliki struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial itu
adalah Abangan (berpusat di pedesaan), Santri (berpusat di perdagangan
atau pasar), dan Priyai (berpusat di kantor Pemerintahan, di kota).
Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi
abangan, santri dan priyayi didalam masyarakat Jawa, ternyata telah
mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis, baik tentang
hubungan antara agama dan budaya, atau pun hubungan antara agama dan
politik.
Dalam diskursus interaksi antara agama khususnya Islam dan budaya
di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat
lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu
bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka

[5]
berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana
Geertz. Pandangan trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat
Jawa berdasarkan religion kulturalnya berpengaruh terhadap cara pandang
para ahli dalam melihat hubungan agama dan politik. Penjelasan Geertz
tentang adanya pengelompokkan masyarakat Jawa kedalam kelompok
sosial politik didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun
Geertz mengelompokkan masyarakat Jawa kedalam tiga kelompok, ketika
dihadapkan pada realitas politik, yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya
adalah kelompok abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan
adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian dan santri yang
berbasis pada perdagangan dan priyayi yang dominan di dalam birokrasi,
ternyata mempunyai afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih dekat
dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan, priyayi dengan partai
nasionalis, dan kaum santri memilih partai-partai yang memberikan
perhatian besar terhadap masalah keagamaan. Dalam melakukan
penelitiannya, Geertz menggunakan penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini didasarkan pada data-data yang dikumpulkan melalui
wawancara, pengamatan (survey) dan penelitian Grounded research, yakni
penelitian yang penelitinya terlibat dalam kehidupan masyarakat yang
ditelitinya. Dengan demikian si peneliti tidak berangkat dari suatu teori atau
hipotesa tertentu yang ingin diuji kebenarannya di lapangan. Seorang
peneliti datang ke lapangan tanpa ada prakonsepsi apapun terhadap
fenomena keagamaan yang akan diamatinya. Fenomena-fenomena
tersebut selanjutnya dianalisa atau diinterpretasi dengan menggunakan
kerangka teori tertentu.
5. Penulis-Penulis Terkenal dan Karya-Karyanya dalam Studi Antropologi
Islam
Perspektif Antropologi tentang Islam telah banyak ditulis dari Barat
maupun ditulis muslim itu sendiri. Diantaranya adalah Clifford Geertz dalam
bukunya The Religion of Java yang ditulis pada awal tahun 1960-an.
Tulisannya ini sangat memberikan kontribusi yang luar biasa. Dari segi
metodologi banyak manfaatnya yang bisa diambil. Sebenarnya masih banyak
lagi karya Geertz yang lain seperti Tafsir Kebudayaan, After of the Fact, Politik
Kebudayaan Islam serta karya-karya Geertz yang lainnya.
Menurut Akbar. S. Ahmad tokoh-tokoh dalam dunia Islam telah tumbuh
dengan pesat jauh sebelum Antropologi Barat muncul, seperti seorang tokoh
muslim Abu Rahyan Muhammad Ibnu Ahmad al-Biruni al-Khawarizmi lahir di
Khawarizmi Turkeminia, Dzulhijjah 362 H/September 973 M wafat pada tahun
1048 M. Ia menguasai Ilmu Sejarah, Matematika, Fisika, Ilmu Falak,
Kedokteran, Ilmu Bahasa, Geografi, dan Filsafat. Dia adalah seorang yang
terkenal banyak mengarang dan menerjemahkan karya-karya tentang
kebudayaan India kedalam bahasa Arab.
Al-Biruni mendapat julukan ahli Antropologi yang pertama dengan
bukunya yang terkenal Kitab al-Hind. Ia melakukan penelitian selama 13
tahun (1017 – 1031). Metode yang digunakan al-Biruni mengambil bahan dari
sumber Hindu, ia memahami bahasa Sansekerta disamping sumber-sumber
sekunder yakni karya-karya terjemahan cendekiawan Arab dan Persia. Ia
menyajikan gambaran-gambaran peradaban India sebagaimana yang
dilukiskan orang India sendiri, sehingga karyanya dapat memenuhi standar
dan untuk masa itu dinilai sebagai kajian yang terbaik mengenai agama

[6]
Hindu, sains, dan adat istiadat India pada abad pertengahan.[16] Kemudian
Ibn Batutah (1304-1337) dengan karyanya Tuhfah an-Nuzzarfi Qara’ib al-
Amsar wa ’Ajaib al-Asfar, al-Mas’udi dan Waliyuddin. ‘Abd al-Rahman Ibn
Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn al-Hasan Ibn Khaldun dengan karyanya yang
terkenal yaitu Muqaddimah.
Tokoh Antropologi seperti Akbar. S. Ahmed sendiri, ia seorang
antropolog dan pakar media massa muslim serta komentator tentang
masalah keislaman, ia mengarang buku antara lain Toward Islamic
Antropology Defenition, Dogma, Direction (1988), buku ini merupakan
inspirasi untuk serial televisi Living Islam dan buku yang berjudul The Future
of Antropology (1990) bersama Chris Sorne. Dia menjadi orang Pakistan
pertama terpilih sebagai anggota Council of Royal Antropological Institut dan
telah dianugerahi Star or Excelence sebagai kehormatan akademis oleh
pemerintah Pakistan.
6. Signifikansi dan Kontribusi Pendekatan Antropologi dalam Studi Islam
dan Komuntas Muslim
Jika kita dapat mengamati pendekatan Antropologis dalam studi Islam
terutama kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak
keagamaan suatu masyarakat dan para warganya, kegunaan yang
berkelanjutan ini adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah
keyakinan-keyakinan keagamaan yang dimiliki oleh warga masyarakat
tersebut sesuai dengan ajaran yang benar, tanpa menimbulkan gejolak dan
pertentangan antar sesama warga masyarakat. Selanjutnya melalui
pendekatan Antropologis ini dalam studi Islam, diharapkan pemeluk agama
Islam dapat lebih toleran terhadap berbagai aspek perbedaan budaya-
budaya lokal dengan ajaran agama itu sendiri.
Melalui pendekatan Antropologis sebagaimana tersebut di atas
terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan
manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan dapat difungsikan
dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. Pendekatan Antropologis
seperti itu sangat diperlukan, sebab banyak hal yang dibicarakan agama
hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan Antropologis.
Sumber utama ajaran Islam adalah alquran misalnya kita peroleh
informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat, kisah Ashabul Kahfi yang
dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus tahun lamanya. Dimana
kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu, dan dimana kira-kira gua itu dan
bagaimana pula bisa terjadi hal-hal yang menakjubkan itu, ataukah hal yang
demikian itu merupakan kisah “fiktif”, dan masih banyak lagi contoh lain yang
hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.
Dengan demikian pendekatan Antropologi sangat dibutuhkan dalam
memahami ajaran agama, karena dalam ajaran agama tersebut terdapat
uraian dan informasi yang dapat dijelaskan dengan bantuan ilmu Antropologi
dan cabang-cabangnya. Jika kembali pada persoalan kajian Antropologi
bagi kajian Islam, maka dapat dilihat kontribusinya dengan melihat dari dua
hal. Pertama, penjelasan Antropologi sangat berguna untuk membantu
mempelajari agama secara empiris, artinya kajian agama harus diarahkan
pada pemahaman aspek-aspek sosial konteks yang melingkupi agama.
Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu
manusia dan budaya.

[7]
Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia agar
dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus
mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan
bahwa persoalan agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang
manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang agama
tidak akan menjadi sempurna. Kemudian sebagai akibat dari pentingnya
kajian manusia, maka mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi
kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai
system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku
manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam
memahami manusia.
Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak
dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya
adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian
kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan
secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol dengan itu pula manusia
kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh
karena itu analisis tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi
Antropologi tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti pada ilmu-
ilmu alam, melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna (meaning).
Dipandang dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama sebagai
sebuah sistem makna yang tersimpan dalam simbol-simbol suci yang
sesungguhnya adalah pola makna yang diwarisi manusia sebagai sumber
kepercayaan dan juga realitas kehidupannya.
Clifford Geertz mengartikan ethos (sumber kepercayaan) sebagai
“karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang berarti juga aspek moral
maupun estetika mereka.” Bagi Geertz agama telah memberikan karakter
yang khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah laku
kesehariannya. Di samping itu agama memberikan gambaran tentang
realitas yang hendak dicapai oleh manusia. Berdasarkan pada pengertian ini
agama sebagai ethos (sumber kepercayaan) telah membentuk karakter
yang khusus bagi manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran
realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai oleh manusia.
Kedua, kajian Antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian Islam
untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya dalam praktik Islam.
Pemahaman realitas nyata dalam sebuah masyarakat akan menemukan
suatu kajian Islam yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture
(lintas budaya) akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan
agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan budaya-budaya
yang ada memungkinkan kita untuk melakukan dialog dan barangkali tidak
mustahil memunculkan satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut
Tibbi sebagai “international morality” berdasarkan pada kekayaan budaya
dunia.
Dengan demikian memahami Islam yang telah berproses dalam
sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami manusia, karena
realitas keagamaan sesungguhnya adalah realitas kemanusiaan yang
mengejawantah dalam dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari
keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan pengamalan agama.
Oleh karena itu, Antropologi sangat diperlukan untuk memahami Islam,
sebagai alat untuk memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam

[8]
yang telah dipraktikkan Islam guna menjadi gambaran sesungguhnya dari
keberagamaan manusia.
Antropologi yang melihat langsung secara rinci hubungan antara
agama dan masyarakat dalam tataran grassroot (rakyat) memberikan
informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama
di masyarakat, bagi Antropologi adalah melihat bagaimana agama
dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi
pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat
penting untuk melihat agama yang dipraktikkan. Kepentingan untuk melihat
agama dalam masyarakat juga sangat penting jika dikaitkan dengan wacana
pos-modernisme yang berkembang belakangan ini.
C. Penutup
Antropologi memberikan gambaran konkret tentang “struktur dan proses
perkembangan keagamaan” di masyarakat. Dengan begitu, dapat dipahami bahwa
seluruh aktivitas individu yang menyangkut perihal ibadah agama islam mampu
diidentifikasi dan dimaknai dalam perspektif Antropologi.Pertumbuhan islamisasi
menjadi tolak ukur bagi umat islam untuk mempelajari Antropologi lebih jauh, sebab
kandungan yang termasuk didalamnya adalah pendekatan studi islam dan
keummatan. Sehingga perlu disadari atau tidak, dewasa ini mengharuskan agar
senantiasa mempraktikkan ilmu keagamaan di masyarakat dalam percaturan budaya
global serta mewaspadai proses dan pengaruh penyebaran agama lain yang tidak
sejalan dengan nilai-nilai agama Islam.
D. Implikasi
Dalam pandangan wajah islam, penting kiranya untuk mendalami ilmu
Antropologi guna menambah wawasan dan keberagaman ilmu di tengah masyarakat,
apalagi terkait dengan pemahaman realitas kemanusiaan yang mengandung banyak
unsur dan komponen di masyarakat.
E. Daftar Pustaka
Abdullah dan Karim. 1989. Metodologi Penelitian Agama Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Abdullah dan M. Rusli Karim. 1990. Metodologi Penelitian Agama, cet. II; Yogyakarta:
TiaraWacana.
Abuddin Nata. 1998. Metodologi Studi Islam. Jakarta : Rajawali Press.
Achmad Fedyanisaifuddin, Ph.D. 2006. “Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana
Akbar. S. Ahmed. 1997. Living Islam, terj. Pangestu Ningsih. Bandung: Mizan.
___________. 1986. Toward Islamic Antropology Defenition, Dogma, Direction :
Islamization of Knowledge Series No. 2. USA: New Era Publications.
Amri Marzali. 2012. Antropologi dan Kebijakan Publik. Jakarta: Kencana.
___________. Antropologi dan Pembangunan Indonesia. Jakarta: Kencana.
Badri Yatim. Historiografi Islam, cet. I. Jakarta: Wacana Ilmu.
Bustanuddin Agus. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi
Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Jalaluddin. 2007. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Koentjaraningrat. 2013. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
M. Dawam Raharjo. 2002. Pendekatan Ilmiah terhadap Fenomena Keagamaan,
dalam M. Taufik M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historitas?
.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
M. Deden Ridwan. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam Tinjauan Antar Disiplin.
Bandung: Nuansa Ilmu.

[9]

Anda mungkin juga menyukai