Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PENDEKATAN ANTROPOLOGI

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Antropologi


1. Pengertian Antropologi
Istilah “antropologi” berasal dari bahasa Yunani dari asal kata “anthropos”
berarti manusia, dan “logos” berarti ilmu, dengan demikian secara harfiah
antropologi berarti ilmu tentang manusia. Para ahli antropologi (antropolog)
sering mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang umat
manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang
manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian ataupun pemahaman
yang lengkap tentang keanekaragaman manusia1. Jadi antropologi merupakan
ilmu yang berusaha mencapai pengertian atau pemahaman tentang mahluk
manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya, masyarakat, dan
kebudayaannya.
2. Ruang Lingkup Antropologi
Secara khusus ilmu antropologi tersebut terbagi ke dalam lima sub-ilmu
yang mempelajari: (a) masalah asal dan perkembangan manusia atau
evolusinya secara biologis; (b) masalah terjadinya aneka ragam cirri fisik
manusia; (c) masalah terjadinya perkembangan dan persebaran aneka ragam
kebudayaan manusia; (d) masalah asal perkembangan dan persebaran aneka
ragam bahasa yang diucapkan di seluruh dunia; (e) masalah mengenai asas- asas
dari masyarakat dan kebudayaan manusia dari aneka ragam sukubangsa yang
tersebar di seluruh dunia masa kini. Berkaitan pengkhususan dengan pembagian
kelima sub-disiplin antropologi tersebut, Koentjaraningrat membuat bagan
pembagian dalam ilmu antropologi tersusun pada bagan di bawah ini:
Paleontropologi
Antropologi fisik
Antropologi Biologis
Antropologi
Antropologi Prehistory
Antropologi Budaya Etnolingistik Etnologi dlm arti khusus
Etnologi Antropologi sosial
1
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, (Jakarta: Univesitas Indonesia Press. 1987),
hal. 1-2. Lihat pula: Haviland, William A. Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, (Jakarta: Erlangga.
1999), hal. 7

Page | 3
Dari bagan di atas, secara makro ilmu antropologi dapat dibagi ke dalam
dua bagian, yakni antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik mempelajari
manusia sebagai organisme biologis yang melacak perkembangan manusia
menurut evolusinya, dan menyelidiki variasi biologisnya dalam berbagai jenis
(specis). Keistimewaan apapun yang dianggap melekat ada pada dirinya yang
dimiliki manusia, mereka digolongkan dalam “binatang menyusui” khususnya
primat2. Dengan demikian para antropolog umumnya mempunyai anggapan
bahwa nenek moyang manusia itu pada dasarnya adalah sama dengan primat
lainnya, khususnya kera dan monyet. Melalui aktivitas analisisnya yang
mendalam terhadap fosil-fosil dan pengamatannya pada primat-primat yang
hidup, para ahli antrolpologi fisik berusaha melacak nenek moyang jenis
manusia untuk mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa kita menjadi
mahkluk seperti sekarang ini.
Sedangkan antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada
kebudayaan manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Menurut
Haviland3 cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga bagian,
yakni; arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi. Untuk memahami
pekerjaan para ahli antropologi budaya, kita harus tahu tentang; (1) hakikat
kebudayaan yang menyangkut tentang konsep kebudayaan dan karakteristik-
karakteristiknya, (2) bahasa dan komunikasi, menyangkut; hakikat bahasa, bahasa
dalam kerangka kebudayaan, serta (3) kebudayaan dan kepribadian. Dalam
antropologi budaya mengkaji tentang praktik-praktik sosial, bentuk-bentuk
ekspresif, dan penggunaan bahasa, di mana makna diciptakan dan diuji sebelum
digunakan masyarakat.

B. Tujuan dan Kegunaan Antropologi


Antropologi memang merupakan studi tentang umat manusia. Ia tidak hanya
sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat akademis, tetapi juga merupakan suatu cara
hidup. Dalam arti yang lain banyak sesuatu yang mungkin “mustahil”, sebab apa
yang diketahui dengan cara hidup bersama dengan mempelajari orang lain di dunia
yang asing, bukan hanya orang-orang asing itu, tetapi akhirnya juga tentang diri

2
Haviland, William A. Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, (Jakarta: Erlangga. 1999),
hal.13
3
Haviland, William A. Antopologi, hal. 12

Page | 4
sendiri. Oleh karena itu kerja lapangan dalam antropologi sungguh merupakan suatu
inisiasi, karena menimbulkan suatu transformasi. Begitu juga dengan pangalaman,
karena memberi kemungkinan-kemungkinan untuk pengungkapan diri (self-
expression) dan cara hidup baru, yang menuntut suatu penyesuaian baru kepada
segala sesuatu yang aneh, tidak menyenangkan dan asing, serta memaksa orang untuk
mengembangkan potensi-potensi yang mungkin tidak akan pernah menjadi kenyataan
dalam kehidupan biasa.
Sebagai ilmu tentang umat manusia, antropologi melalui pendekatan dan
metode ilmiah, ia berusaha menyusun sejumlah generalisasi yang bermakna tentang
makhluk manusia dan perilakunya, dan untuk mendapat pengertian yang tidak apriori
serta prejudice tentang keanekaragaman manusia. Kedua bidang besar dari
antropologi adalah antropologi fisik dan budaya. Antropologi fisik memusatkan
perhatiannya pada manusia sebagai organisme biologis, yang tekanannya pada upaya
melacak evolusi perkembangan mahluk manusia dan mempelajari variasi-variasi
biologis dalam species manusia. Sedangkan antropologi budaya berusaha
mempelajari manusia berdasarkan kebudayaannya. Di mana kebudayaan bisa
merupakan peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat4.
Di antara ilmu-ilmu sosial dan alamiah, antropologi memiliki kedudukan,
tujuan, dan manfaat yang unik, karena bertujuan serta bermanfaat dalam merumuskan
penjelasan- penjelasan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada studi atas
semua aspek biologis manusia dan perilakunya di semua masyarakat.
Selain itu juga antropologi bermaksud mempelajari umat manusia secara
obyektif, paling tidak mendekati obyektif dan sistematis5. Seorang ahli antropologi
dituntut harus mampu menggunakan metode-metode yang mungkin juga digunakan
oleh para ilmuwan lain dengan mengembangkan hipotesis, atau penjelasan yang
dianggap benar, menggunakan data lain untuk mengujinya, dan akhirnya menemukan
suatu teori, suatu sistem hipotesis yang telah teruji. Sedangkan data yang
digunakan ahli antropologi dapat berupa data dari suatu masyarakat atau studi
komparatif di antara sejumlah besar masyarakat.

4
Haviland, William A. Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, (Jakarta: Erlangga. 1999),
hal. 21
5
Kaplan dan Manners. Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
1999), hal.33

Page | 5
C. Konsep-konsep Antropologi
Sebagaimana ilmu-ilmu sosial lainnya, penggunaan konsep dalam antropologi
adalah penting karena pengembangan konsep yang terdefinisikan dengan baik
merupakan tujuan dari setiap disiplin ilmu. Antropologi sebagai disiplin ilmu yang
relatif baru itu terus berusaha mengidentifikasi dan mengembangkan konsep
walaupun tidak seperti ilmu-ilmu lainnya yang lebih dahulu setle to stand up. Namun
tetap memang tidak mudah untuk menyamakan suatu persepsi. Benar kata Banks
dan Keesing yang mengemukakan “No two anthropologists think exactly alike, or
use precisely the same operating concepts or symbols” (Tidak ada dua ahli
antropologi yang berpikirnya persis mirip, atau menggunakan dengan tepat sama
pengoperasian konsep-konsep atau simbol-simbol).
Contoh ekstremnya bisa diambil tentang konsep “kebudayaan” yang paling
umum, paling tidak terdapat tujuh kelompok pengertian kebudayaan; (1) kelompok
kebudayaaan sebagai keseluruhan kompleks kehidupan manusia; (2) kelompok
kebudayaan sebagai warisan sosial atau tradisi; (3) kelompok kebudayaan
sebagai cara atauran termasuk cita-cita, nilai-nilai, dan kelakuan; (4) kelompok
kebudayaan sebagai keterkaitannya dalam proses-proses psikologis; (5) kebudayaan
sebagai struktur atau pola- pola organisasi kebudayaan; (6) kelompok
kebudayaan sebagai hasil perbuatan atau kecerdasan manusia; (7) kelompok
kebudayaan sebagai sistem simbol.
Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi, di antaranya; (1)
kebudayaan; (2) evolusi; (3) culture area; (4) enkulturasi; (5) difusi; (6) akulturasi;
(7) etnosentrisme; (8) tradisi; (9) ras dan etnik; (10) stereotip, dan (11) kekerabatan,
(12) magis, (13) tabu, (14) perkawinan.

D. Urgensi Pendekatan Antropologi dalam Pengkajian Islam


Agama sebagai sasaran studi Antropologi dapat disimpulkan dalam dua hal.
Pertama, Antropologi yang merupakan bagian dari kebudayaan dan menjadi salah satu
sasaran kajian yang penting sehingga menghasilkan kajian cabang tersendiri yang
disebut dengan Antropologi agama. Kedua, semua cabang-cabang Antropologi
sebenarnya masih ada pada satu rumpun kajian yang bisa saling berhubungan yaitu

Page | 6
Antropologis. Karena itu pendekatan Antropologi identik dengan pendekatan
kebudayaan6.
Mengaitkan definisi Antropologi secara umum dengan kajian keislaman suatu
tatanan masyarakat, maka pendekatan Antropologis di sini dapat dipahami lebih jelas
seperti apa yang diungkapkan Abudin Nata, bahwa, pendekatan Antropologi dalam
memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan
cara melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-
masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan
jawabannya. Dengan kata lain cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu
antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama7.
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat
penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’
(wakil Tuhan) di bumi8, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia
dalam Islam. Posisi penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan bahwa
sesungguhnya persoalan utama dalam memahami agama Islam adalah bagaimana
memahami manusia. Persoalan-persoalan yang dialami manusia adalah sesungguhnya
persoalan agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan kemanusiaan pada
dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.

1. Objek kajian Studi Islam dengan Pendekatan Antropologi


Menurut Atho Mudzhar9, fenomena agama yang dapat dikaji ada lima
kategori meliputi:
a. Scripture atau naskah atau sumber ajaran dan simbol agama.
b. Para penganut atau pemimpin atau pemuka agama. Yakni sikap, perilaku
dan penghayatan para penganutnya.
c. Ritus, lembaga dan ibadat. Misalnya shalat, haji, puasa, perkawinan dan
waris.
d. Alat-alat (dan sarana). Misalnya masjid, gereja, lonceng, peci dan
semacamnya.

6
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: ACAdeMia + Tazzafa, 2009), hal. 218.
7
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), Cet. IV, hal.36.
8
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet. IV. hal. 22.
9
Mudzhar, Atho. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1998), hal. 13-14

Page | 7
e. Organisasi keagamaan tempat para penganut agama berkumpul dan berperan.
Misalnya seperti Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Gereja Protestan,
Syi’ah dan lain-lain.
Kelima fenomena (obyek) di atas dapat dikaji dengan pendekatan
antropologis, karena kelima fenomena (obyek) tersebut memiliki unsur budaya
dari hasil pikiran dan kreasi manusia.

2. Paradigma Pendekatan Antropologis


Beberapa paradigma pendekatan antropologis dijelaskan secara singkat oleh
Achmad Fedyani Saifuddin dalam bukunya yang berjudul Antropologi
Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma10. Meliputi:
a. Evolusionisme Klasik: paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan
kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul primitif, hingga yang paling
mutakhir, bentuk yang paling kompleks.
b. Difusionisme: paradigma ini berupaya menjelaskan kesaman-kesaman di
antara bebagai kebudayaan. Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-
kontak kebudayaan.
c. Partikularisme: paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data
etnografi dan deskripsi mengenai kebudayaan tertentu.
d. Struktural-Fungsionalisme: paradigma ini berasumsi bahwa komponen-
komponen sistem sosial, seperti halnya bagian-bagian tubuh suatu organisme,
berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem.
e. Antropologi Psikologi: paradigma ini mengekspresikan dirinya ke dalam tiga
hal besar: hubungan antara kebudayaan manusia dan hakikat manusia,
hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan
dan kepribadian khas masyarakat.
f. Strukturalisme: paradigma ini merupakan suatu strategi penelitian untuk
mengungkapkan struktur pikiran manusia –yakni, struktur dari poses pikiran
manusia- yang oleh kaum strukturalis dipandang sama dalam lintas budaya.
g. Materalisme Dialektik: paradigma ini berupaya menjelaskan alasan-alasan
terjadinya perubahan dan perkembangan sistem sosial budaya.

10
Saifuddin, Achmad Fedyani, Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis Mengenai
Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal: 63-66.

Page | 8
h. Kultural Materialisme: paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab
kesamaan dan pebedaan sosial budaya.
i. Etno-sains: paradigma ini juga disebut “etnografi baru” atau “etnografi
kognitif”. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut terkandung
dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen
kategori-kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk
melihat bagaimana kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisis.
j. Antropologi Simbolik: paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia
adalah hewan pencari makna, dan berupaya mengungkapkan cara-cara
simbolik dimana manusia –secara individual dan kelompok-kelompok
kebudayan dari manusia- memberikan makna kepada kehidupannya.
k. Sosiobiologi: paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi
biologi terhadap fenomena sosial dan menggunakan pendekatan dan program
genetika untuk meneliti banyak perilaku kebudayaan.

3. Cara Kerja Pendekatan Antropologis Dalam Studi Islam


Menurut Amin Abdullah, cara kerja yang dalam hal ini bisa kita artikan
sebagai langkah dan tahapan pendekatan antropologi dalam studi Islam
memiliki empat ciri fundamental. Meliputi:
a. Deskriptif: Pendekatan antropologis bermula dan diawali dari kerja lapangan
(field work), berhubungan dengan orang dan atau masyarakat (kelompok)
setempat yang diamati dalam jangka waktu yang lama. Inilah yang biasa
disebut dengan thick description ( pengamatan dan obserasi di lapangan
yang dilakukan secara serius, terstruktur, mendalam dan
berkesinambungan), bisa dilakukan dengan cara living in.
b. Lokal Praktis: Pendekatan antropologis disertai praktik konkrit dan nyata di
lapangan. Praktik hidup yang dilakukan sehari-hari, agenda mingguan,
bulanan atau tahunan, lebih-lebih ketika melewati peristiwa-peristiwa penting
dalam menjalani kehidupan.
c. Keterkaitan antar domain kehidupan secara lebih utuh (connections across
social domains): Pendekatan antropologis mencari keterkaitan antara
domain-domain kehidupan sosial secara lebih utuh. Yakni, hubungan
antara wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya dan politik. Hal ini

Page | 9
dikarenakan hampir tidak ada satu pun domain wilayah kehidupan yang dapat
berdiri sendiri dan terlepas tanpa terkait dengan wilayah domain kehidupan
yang lainnya.
d. Komparatif (Perbandingan): Pendekatan antropologis perlu melakukan
perbandingan dengan berbagai tradisi, sosial, budaya dan agama-agama.
Seperti yang dilakukan Cliffort Geertz pernah membandingkan kehidupan
Islam di Indonesia dengan di Maroko.
Keempat ciri di atas adalah sesuai dengan apa yang pernah dijelaskan,
bahwa dalam kaitan ini pendekatan antropologi lebih mengutamakan pengamatan
langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dimana darinya timbul kesimpulan-
kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif
sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Pendekatan antropologis
yang induktif dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa berpijak pada, atau
setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori
formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang
sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model
matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis11.

11
Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1990), hal. 19.

Page | 10
BAB III
SELAMATAN DALAM KAJIAN ISLAM

A. Pengertian Selamatan12 dan Perkembangannya


Ada berbagai macam selamatan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa
khususnya. Seperti selamatan bangun rumah, aqiqah, pernikahan, nujuh bulan dll. Tiap
dari upacara yang dilaksanakan sebenarnya memiliki makna dan nilai budaya yang
khusus. Akan tetapi masyarakat sendiri kurang mengetahui maksud, tujuan serta makna
mengadakan upacara selamatan. Kebanyakan dari mereka hanya mengikuti tradisi
secara turun temurun, tanpa mengkaji maksud dan tujuannya lebih lanjut.
Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, yang sudah
mendarah daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan
akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri.
Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi pelakunya
itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme, sebuah fenomena
kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang menganggap bahwa
setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu.
Dari sinilah manusia pada awalnya, setelah merasa tak berdaya, lalu meminta
perlindungan kepada yang maha kuat, yang disebut dengan roh-roh dan kekuatan-
kekuatan yang ada pada benda-benda tertentu. Aktifitas yang berupa permohonan untuk
suatu keselamatan itulah kemudian disebut dengan “selamatan”. Seiring dengan
masuknya kepercayaan Hindu dan Budha pada orang Jawa, maka kepercayaannya pun
bertambah lagi, menjadi percaya kepada adanya dewa-dewi. Hal ini akan nampak jelas
pada bacaan doa dalam upacara selamatan yang diselenggarakan.
Setelah kedatangan Islam di tanah Jawa, Islam juga ikut mempengaruhi upacara
selamatan. Jika pada masa sebelumnya disebut nama-nama roh dan kekuatan tertentu
kemudian nama-nama dewa-dewi, maka setelah kedatrangan Isalam nama-nama Allah,
Muhammad, dan para keluarga Nabi serta para sahabatnya cukup mewarnainya, dalam
doa-doa selamatan.

12
Selamatan adalah upacara pokok bagi orang Jawa dan merupakan unsur terpenting dalam hampir
semua ritus dan upacara dalam sistem religi orang Jawa, yang melambangkan kesatuan.

Page | 11
B. Selamatan Dalam Islam; Sebuah Kajian Antropologis
1. Gambaran Singkat Suku Jawa
Suku Jawa adalah suku bangsa yang terbesar di Indonesia. Mereka berasal
dari pulau Jawa dan menghuni khususnya di provinsi Jawa Tengah serta Jawa
Timur tetapi di provinsi Jawa Barat, Banten dan tentu sahaja di Jakarta, mereka
juga banyak ditemukan.
Suku jawa merupakan suatu kelompok sosial yang paling besar
kuantitasnya di Indonesia. Dan pada dasarnya, dimana ada kelompok sosial di
situlah ada hukum. Menurut Volkgeist, “hukum tumbuh dan berkembang di
masyarakat”. Sehingga bisa diambil pemahaman, bahwa tanpa adanya suatu badan
hukum pun, suku jawa zaman dulu sudah menerapkan suatu model hukum berupa
hukum kebiasaan (adat istiadat).
Hukum kebiasaan atau adat istiadat adalah himpunan kaidah sosial berupa
tradisi yang umumnya bersifat sakral yang mengatur tata kehidupan sosial
masyarakat tertentu. Adat istiadat ini sejak lama dianut, hidup, dan berkembang
dalam masyarakat tertentu, misalnya upacara pelaksaan perkawinan suku jawa.13
Contoh hukum di atas menggambarkan bahwa suku Jawa kental akan adat
istiadat yang mereka sendiri menganggapnya sebagai sebuah hukum. Hukum adat
suku Jawa tercermin dari banyaknya upacara adat yang dalam kepercayaan mereka
upacara itu merupakan sebuah keharusan yang apabila tidak dilakukan akan datang
sanksi penguasa alam semesta (bencana).

2. Kajian Antropologi Pada Suku Jawa


Pada dasarnya antropologi dibagi ke dalam dua garis besar, yakni
antropologi fisik dan antropologi budaya:
a) Antropologi fisik suku Jawa
Orang Jawa adalah sebutan bagi orang yang tinggal di Jawadwipa14 atau
di pulau Jawa pada dulu kala. Pada saat ini yang dinamakan orang Jawa adalah
penduduk yang menghuni di pulau Jawa bagian tengah dan timur yang disebut
suku bangsa Jawa dan anak keturunannya. Dalam khasanah Arkeologi,
nama Java Man sudah tidak asing lagi, ini menunjuk kepada nenek moyang

13
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung; Ghalia Indonesia, 2004) hlm. 64-65
14
Komunitas wong kebumen, Asal-usul Jawa Dwipa, melalui:
(http://www.facebook.com/note.php?note_id=125992110785449), diakses tanggal 13 juni pada pukul 15.30 wib

Page | 12
orang Jawa dikala purba. Situs manusia purba di Indonesia, pulau Jawa adalah
di Sangiran yang terbelah sisi utara dan selatan karena dilewati aliran Kali
Cemoro yang mengalir dari Gunung Merapi menuju ke Bengawan Solo.
Bagian utara termasuk wilayah Desa Krikilan, Sragen, sedangkan yang belahan
selatan masuk Desa Krendowahono, Karanganyar.
Penelitian dalam rangka mencari fosil nenek moyang manusia di
Sangiran sudah dimulai sejak 1893 oleh peneliti Eugene Dubois. Dia
menemukan fosil manusia purba di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, yang
dinamakan Pithecanthropus Erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak.

b) Antropologi budaya suku Jawa


Masyarakat Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat
kental. Adat istiadat suku Jawa masih sering digunakan dalam berbagai
kegiatan masyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga kematian. Ini
merupakan sebuah bahan kajian yang sangat menarik untuk dituangkan ke
dalam sebuah makalah. Maka, penulis coba kupas satu per-satu dari mulai
masa kehamilan sampai kematian pada adat suku jawa.
1) Adat Istiadat Suku Jawa saat Kehamilan
Saat seorang wanita suku Jawa mengandung dan usia
kandungannya sudah mencapai tujuh bulan, mereka akan melakukan
semacam ritual selamatan atau biasa disebut mitoni. Salah satu ritual
mitoni yang harus dijalankan oleh ibu hamil tersebut adalah tingkeban.
Pada ritual ini, wanita yang tengah mengandung dimandikan
menggunakan campuran air dan bunga. Kain yang digunakan sebagai
kemben pun jumlahnya harus tujuh dan dipakai secara bergantian saat
acara tingkeban berlangsung.

2) Adat Istiadat Suku Jawa saat Upacara Pernikahan


Adat istiadat suku Jawa juga sering dilaksanakan saat upacara
pernikahan. Masyarakat suku Jawa percaya akan adanya hari yang baik
untuk melaksanakan pernikahan. Hari baik tersebut, biasanya,
berpatokan pada buku primbon Jawa. Sebulan sebelum acara
pernikahan berlangsung, calon pengantin suku Jawa tidak

Page | 13
diperbolehkan untuk saling bertemu. Khusus calon mempelai wanita,
biasanya, akan dipingit.
Ritual pingitan ini ditujukan untuk mempersiapkan fisik dan
mental si gadis yang akan memasuki jenjang pernikahan. Sehari
sebelum acara pernikahan, calon mempelai wanita kembali melakukan
ritual. Kali ini, ritualnya berupa siraman.
Pada acara siraman, air yang digunakan oleh calon pengantin
biasanya sudah dicampur dengan bermacam-macam bunga. Kemudian,
malam harinya, diadakan ritual midodareni. Ritual ini biasanya juga
menjadi acara pertemuan sebelum pernikahan antara kedua keluarga
calon mempelai. Saat acara pernikahan berlangsung, ritual adat istiadat
suku Jawa yang dilakukan lebih banyak. Mulai saling melempar sirih
hingga ritual membasuh kaki mempelai pria oleh mempelai wanitanya.

3) Adat Istiadat Suku Jawa saat Upacara Kematian


Ketika salah satu masyarakat suku Jawa meninggal, ritual adat
istiadat pun tidak lepas mengiringi. Ritual yang biasa dilakukan adalah
brobosan, yaitu melintas di bawah mayat yang sudah ditandu dengan
cara berjongkok. Ritual adat istiadat pun belum selesai hingga di situ.
Setahun pertama setelah meninggal, biasanya, pihak keluarga yang
ditinggalkan akan mengadakan selamatan pendak siji, pendak loro,
hingga pendak telu atau selamatan yang dilakukan di tahun ketiga15.

C. Kajian Antropologi Islam


Tradisi selamatan suatu upacara makan yang terdiri atas sesajian, makanan
simbolik, sambutan resmi, dan do’a. Peserta selamatan (orang jawa) memandangnya
sebagai ringkasan tradisi lokal, namun secara totalitas selamatan adalah peristiwa
komunal, namun tiak mendefinikan komunitas secara tegas; selamatan berlangsung
melalui ungkapan verbal yang panjang dimana semua orang setuju dengannya,
walaupun hadirin secara peorangan belum sepakat akan maknanya. Tetapi manakala
upacara ini menyatukan semua orang dalam perspektif yang bersama mengenai
manusia, Tuhan, dan dunia, maka upacara yang dilakukan tersebut tidak mewakili

15
Anne Ahira, Adat istiadat Suku Jawa, melalui: (http://www.anneahira.com/adat-istiadat-suku-
jawa.htm), diakses tanggal 13 Juni pukul 15.10 wib

Page | 14
pendangan siapapun secara khusus. Apabila dilakukan pengamatan tentang berbagai
unsur dalam selamatan ini, maka selamatan merupakan pola kompromi kebudayaan,
sikap dan gaya retorik yang diwujudkannya dalam berbagai variasi yang dibawa
kedalam nuansa kehidupan keagamaan yang berbeda-beda.
Signifikansi selamatan tergantung pada apa dan bagaimana peserta selamatan
menggunakan konse-konsep kunci yang sebagian berasal dari Islam. Sebagian menarik
sebagai ajaran ortodok, ada pula yang menempatkan konsep-konsep Islam dalam
ajaran Jawa atau memahaminya sebagai simbolisme universal manusia. Namun
selamatan juga mencerminkan suatu fungsi kritis dari simbolisme dalam tatanan yang
secara ideologis beranekaragam kepentingan yang dapat mendorong kesadaran
kolektif untuk menjadikan suatu kesatuan, sehingga dapat dikatakan bahwa selamatan
sebagai “ambiguitas yang teratur”.
Jika kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian Islam, maka dapat
dilihat relevansinya dengan melihat dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi
sangat berguna untuk membantu mempelajari agama secara empirik, artinya kajian
agama harus diarahkan pada pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi
agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan ke dalam dua aspek yaitu
manusia dan budaya. Pada dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia untuk
dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya, dan sekaligus mengarahkan
kepada kehidupan yang lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan agama
yang harus diamati secara empiris adalah tentang manusia. Tanpa memahami manusia
maka pemahaman tentang agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka mengkaji
budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat
penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi
kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat
dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah
makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring kepentingan yang mereka buat sendiri,
maka budaya adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi pengertian
kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis
dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian
berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan. Oleh karena itu analisis
tentang kebudayaan dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya

Page | 15
menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian interpretatif
untuk mencari makna (meaning).
Kesulitan mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan mempelajari
wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan ajaran
agama, dirasakan juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi karena
ketakutan untuk membicarakan masalah agama yang sakral dan bahkan mungkin tabu
untuk dipelajari. Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa agama adalah
bukan hasil rekayasa intelektual manusia, tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan.
Sehingga realitas keagamaan diyakini sebagai sebuah “takdir sosial” yang tak perlu
lagi dipahami.

Page | 16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Secara khusus ilmu antropologi tersebut terbagi ke dalam lima sub-ilmu yang
mempelajari: (a) masalah asal dan perkembangan manusia atau evolusinya
secara biologis; (b) masalah terjadinya aneka ragam cirri fisik manusia; (c) masalah
terjadinya perkembangan dan persebaran aneka ragam kebudayaan manusia; (d)
masalah asal perkembangan dan persebaran aneka ragam bahasa yang diucapkan di
seluruh dunia; (e) masalah mengenai asas- asas dari masyarakat dan kebudayaan
manusia dari aneka ragam sukubangsa yang tersebar di seluruh dunia masa kini.
2. Dalam memahami agama, pendekatan antropologi dapat dilakukan dengan melihat
wujud dari praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini agama nampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah
yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
3. Upacara selamatan yang biasa dilakukan oleh orang Jawa, yang sudah mendarah
daging hingga kini, merupakan fenomena yang tak bisa dilepaskan dengan akar
sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri.
Aktifitas selamatan yang dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan bagi
pelakunya itu pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme,
sebuah fenomena kepercayaan yang dianut oleh nenek moyang orang Jawa yang
menganggap bahwa setiap benda itu punya roh dan kekuatan tertentu.

Page | 17
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi, Jilid 1, Jakarta: Univesitas Indonesia


Press

Haviland, William A. 1999, Antopologi, Jilid 1, Alih Bahasa: R.G. Soekadijo, Jakarta:
Erlangga

Kaplan dan Manners. 1 9 9 9 . Teori Budaya, Terj. Landung Simatupang, Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Nasution, Khoiruddin. 2009. Pengantar Studi Islam Yogyakarta: ACAdeMia

Abudin Nata, 2000. Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Nurcholish Madjid, 2000. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina

Mudzhar, Atho. 1998. Pendekatan Studi Islam, Dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar

Saifuddin, Achmad Fedyani, 2006. Antropologi Kontemporer : Suatu Pengantar Kritis


Mengenai Paradigma, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Taufik Abdullah & M. Rusli Karim, 1990. Metodologi Penelitian Agama Yogyakarta:
Tiara Wacana

Internet:

Komunitas wong kebumen, Asal-usul Jawa Dwipa, melalui:


(http://www.facebook.com/note.php?note_id=125992110785449)

Anne Ahira, Adat istiadat Suku Jawa, melalui:


(http://www.anneahira.com/adat-istiadat-suku-jawa.htm)

Page | 18

Anda mungkin juga menyukai