Anda di halaman 1dari 11

Pendekatan Antropologi dalam Kajian Islam

(Jilbab)
Annisa Fhaudhila Khairi
Manajemen Pendidikan Islam - Institut PTIQ Jakarta

Abstrak
Pokok permasalahan penelitian ini adalah mengungkap tentang jilbab dengan
menggunakan pendekatan antropologi dengan teori fungsionalisme, dengan tujuan yaitu
memberikan gambaran jelas dan lebih terperinci tentang jilbab dilihat dari pendekatan
antropologi. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian studi pustaka dari berbagai sumber.
Kata kunci: jilbab, antropologi, fungsi
1. Pendahuluan
Jilbab, sebagai simbol agama dan identitas keagamaan bagi perempuan Muslim,
telah menjadi subjek penting dalam diskusi akademik, sosial, dan politik di berbagai
negara di seluruh dunia. Kajian antropologi memberikan kerangka pemahaman yang kaya
tentang peran jilbab dalam masyarakat dan bagaimana penggunaannya dapat dipahami
dalam konteks sosial dan budaya yang berbeda.
Dalam konteks antropologi, jilbab dipelajari melalui lensa fungsionalisme, yang
menekankan pemahaman fungsi-fungsi sosial dan budaya dari fenomena budaya.
Pendekatan ini memungkinkan kita untuk melihat bagaimana jilbab berkontribusi pada
pemeliharaan nilai-nilai budaya, identitas agama, norma sosial, dan tatanan sosial di
masyarakat yang berbeda.
2. Metode
Metode yang digunakan dalam Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka yaitu
pencarian data dan informasi memanfaatkan berbagai macam materi yang bersumber
dari kepustakaan sebagai sumber data penelitian. Dalam pencarian data yang digunakan
melalui buku, jurnal, dan artikel yang memiliki korelasi atau hubungan terhadap
pembahasan penelitian mengenai titik tolak peradaban manusia pertama dan permulaan
sejarah peradaban Islam. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah dengan
deskriptif analisis dimana tahapan tersebut dilakukan dengan mendeskripsikan poin-poin
penting yang mendukung penelitian ini.
3. Pembahasan
3.1. Antropologi
Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani: anthropos, artinya “orang” atau
“manusia”; dan logos, artinya “ilmu/nalar”. Menurut kamus athropology dapat diartikan
sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk manusia
dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat, serta
kebudayaannya.1 Dari analisis usul asal kata, disimpulkan bahwa antropologi merupakan
ilmu pengetahuan tentang manusia. Dalam refleksi yang lebih bebas, antropologi adalah
ilmu pengetahuan yang mencoba menelaah sifat-sifat manusia secara umum dan
menempatkan manusia yang unik dalam sebuah lingkungan hidup yang lebih
bermartabat.
3.1.1. Antropologi menurut ahli
a. Keesing, Antropologi adalah kajian tentang manusia
b. Haviland, Antropologi adalah suatu studi tentang manusia dan perilakunya dan
melaluinya diperoleh pengertian lengkap tentang keanekaragaman manusia.
c. Prof Harsojo2, Antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
umat manusia sebagai mahkluk masyarakat, terutama pada sifat-sifat khusus
badani dan cara-cara produksi, tradisi-tradisi dan nilai-nilai yang membuat
pergaulan hidup menjadi berbeda dari yang satu dengan lainnya.
d. Koentjaraningrat3, Ilmu antropologi memperhatikan 5 (lima) buah masalah
mengenai makhluk hidup yaitu:
 Masalah pada perkembangan manusia sebagai makhluk biologis
 Masalah pada sejarah terjadinya aneka bentuk makhluk manusia, dipandang dari
sudut ciri-ciri tubuhnya.
 Masalah pada sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam
bahasa di seluruh dunia.
 Masalah persebaran dan terjadinya keanekaragaman kebudayaan manusia di
seluruh dunia.
 Masalah pada dasar-dasar dan keanekaragaman kebudayaan manusia dalam
kehidupan masyarakat-masyarakat dan suku bangsa yang tersebar di seluruh
penjuru bumi pada zaman sekarang ini.
Ahli antropologi, dengan menyelidiki keseluruhan cakupan pengembangan
manusia dan perilaku, ingin mencapai suatu total uraian tentang gejala sosial dan budaya.
Ilmu antropologi, merupakan suatu disiplin yang berhadapan dengan perkembangan dan
asal-usul manusia, masyarakat dan perbedaan antar mereka.
3.1.2. Ruang lingkup antropologi
Secara harfiah antropologi adalah ilmu (logos) tentang manusia (antropos).
Definisi demikian tentu kurang jelas, karena dengan definisi seperti itu antropologi

1
Ariyono Suyono, 1985, Kamus Antropologi, Jakarta: Akademi Persindo, hlm. 28
2
Harsono, 1976, Pengantar Antropologi, Bandung: Angkasa Offset, hlm. 13.
3
Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru; hlm. 10.
mencakup banyak disiplin ilmu seperti sosiologi, psikologi, ilmu politik, ilmu ekonomi,
ilmu sejarah, biologi manusia dan bahkan humaniora, filsafat dan sastra yang semuanya
mempelajari atau berkenaan dengan manusia. Sudah tentu hal ini tidak benar, apalagi
disiplin-disiplin ilmu lain tersebut justru sudah berkembang jauh lebih tua dari pada
antropologi. Oleh karena itu pasti ada sesuatu yang khusus tentang manusia yang
menjadi pusat perhatian antropologi. Sayang bidang permasalahan yang khusus
dipelajari oleh antropologi tidak jelas batasnya, karena terlalu cepatnya pemisahan ilmu-
ilmu cabang antropologi yang sangat berlainan bidang permasalahan yang dipelajari.
Akibatnya tidak ada satupun definisi umum yang dapat disepakati oleh semua ilmuwan
antropologi.
Salah satu karakteristik yang paling banyak mendapat perhatian dalam
antropologi adalah hubungan antara kebudayaan dan ciri-ciri biologis manusia. Masa
ketergantungan manusia pada pengangkutan jalan kaki, ukuran otak yang besar, dan
kemampuan menggunakan simbol-simbol adalah contoh beberapa ciri biologis yang
memungkinkan mereka menciptakan dan mendapatkan kebudayaan. Untuk membantu
mahasiswa dalam pelajaran awal, dapat dipergunakan rangkuman sebagai berikut:
antropologi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik hidup manusia dengan
berorientasi pada kebudayaan yang dihubungkan dengan ciri-ciri sosio-psikologi atau ciri-
ciri biologis, melalui pendekatan yang holistik yaitu pendekatan dengan cara melihat atau
memandang sesuatu sebagai suatu kebulatan yang utuh atau holistik.
Bahwa secara akademik ilmu ini ingin mencapai pengertian tentang makhluk
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, masyarakat,
serta kebudayaannya, dan secara praktis ingin mempelajari manusia dalam aneka warna
masyarakat suku-bangsa bersangkutan guna membangun masyarakat suku bangsa itu
sendiri. Adapun yang menjadi ruang lingkup Antropologi adalah sebagai berikut: 4
1. Antropologi fisik: Mempelajari aspek fisik manusia, seperti evolusi manusia,
keragaman fisik, dan penyesuaian manusia dengan lingkungannya.
2. Antropologi sosial: Meneliti aspek sosial manusia, seperti struktur sosial, institusi,
interaksi sosial, dan perubahan sosial.
3. Antropologi budaya: Memfokuskan pada aspek budaya manusia, seperti sistem
nilai, kepercayaan, simbol, ritual, dan bahasa.
4. Arkeologi: Mempelajari sejarah manusia melalui peninggalan material yang
ditinggalkan, seperti artefak, struktur bangunan, dan sisa-sisa manusia prasejarah.
5. Antropologi terapan: Mengaplikasikan pengetahuan antropologi dalam konteks
praktis, seperti pengembangan kebijakan publik, pelestarian budaya, dan
penyelesaian konflik sosial.

4
Gunsu Nurmansyah dkk, Pengantar Antropologi Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi, (Lampung: Aura,
2019) hal. 5
3.1.3. Teori di dalam Antropologi
Di dalam antropologi, terdapat beberapa teori yang digunakan untuk
menganalisis dan menjelaskan fenomena manusia. Berikut adalah beberapa teori
terkenal di dalam antropologi:
1. Fungsionalisme: Teori fungsionalisme berpendapat bahwa setiap aspek budaya
memiliki fungsi tertentu dalam memelihara kelangsungan sistem sosial.
Fungsionalisme menekankan pentingnya keseimbangan dan integrasi sosial dalam
menjaga keharmonisan masyarakat.
2. Strukturalisme: Pendekatan strukturalisme menekankan pada pola-pola dan
struktur dasar di balik variasi budaya. Teori ini dipopulerkan oleh Claude Lévi-
Strauss yang menyatakan bahwa ada struktur mental yang universal di balik
kebudayaan manusia.
3. Konflik: Teori konflik menyoroti konflik sosial dan pertentangan kepentingan di
dalam masyarakat. Teori ini berfokus pada aspek kekuasaan, ekonomi, dan
ketimpangan sosial dalam membentuk dinamika sosial
4. Interpretatif: Pendekatan interpretatif, juga dikenal sebagai antropologi
hermeneutik, menekankan pada pemahaman makna yang diberikan oleh individu
atau kelompok terhadap tindakan dan pengalaman mereka. Teori ini berupaya
memahami perspektif subjektif dalam konteks budaya.
5. Evolusi: Teori evolusi dalam antropologi berfokus pada perubahan dan
perkembangan manusia sepanjang waktu. Teori ini mencakup evolusi fisik
manusia, evolusi budaya, dan bagaimana manusia beradaptasi dengan lingkungan
mereka.
6. Konstruksionisme sosial: Pendekatan konstruksionisme sosial menekankan bahwa
realitas sosial dan budaya dibentuk oleh konstruksi sosial, yaitu pemahaman dan
interpretasi bersama. Teori ini menekankan peran bahasa, simbol, dan kekuatan
sosial dalam membentuk budaya dan identitas.
7. Feminisme: Pendekatan feminis dalam antropologi menyoroti peran gender dan
ketidaksetaraan dalam masyarakat. Teori ini menekankan pentingnya analisis
gender dalam memahami budaya, kekuasaan, dan pengalaman perempuan.
8. Postkolonialisme: Pendekatan postkolonial dalam antropologi berupaya
mengkritisi dan memahami dampak kolonialisme terhadap budaya dan kehidupan
manusia. Teori ini menekankan pentingnya perspektif dan pengalaman yang
terpinggirkan dalam konteks kolonial.
9. Ekologi budaya: Pendekatan ekologi budaya meneliti interaksi antara manusia dan
lingkungan alam. Teori ini menyoroti bagaimana faktor lingkungan memengaruhi
pola budaya dan adaptasi manusia terhadap lingkungan mereka.
10. Postmodernisme: Pendekatan postmodern dalam antropologi menantang ide-ide
yang objektif dan kebenaran absolut. Teori ini menekankan keragaman,
kompleksitas, dan ketidakpastian dalam pemahaman budaya dan identitas. 5

5
Ihroni,I.T.O. Pokok Pokok Antropologi, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2006. hal 56
Teori-teori ini tidak bersifat eksklusif, dan sering kali digunakan secara bersama-
sama dalam penelitian dan analisis antropologi. Selain itu, perkembangan baru dalam
antropologi juga melibatkan pendekatan interdisipliner dengan ilmu lain seperti
sosiologi, psikologi, linguistik, dan sejarah.
3.2. Pengertian jilbab
Pakaian penutup kepala perempuan di Indonesia semula lebih umum dikenal
dengan kerudung, tetapi permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Banyak
arti dari kata jilbab yang sebenarnya merupakan kosa kata bahasa Arab. Jilbab memiliki
bentuk jamak jalaabiib yang artinya pakaian yang luas. Artinya adalah pakaian yang
lapang dan dapat menutupi aurat wanita kecuali muka dan telapak tangan hingga
pergelangan tangan saja yang ditampakkan. 6 Ada pula Al-Biqa’i yang menyebutkan
beberapa arti dari kata jilbab yaitu baju yang longgar atau kerudung penutup kepala
wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau semua
pakaian yang menutupi badan wanita.7
Jilbab dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai kerudung lebar yang
dipakai muslimah untuk menutupi kepala dan leher hingga dada. Jilbab di Indonesia
sendiri awalnya lebih dikenal dengan sebutan kerudung yaitu kain untuk menutupi
kepala, namun masih memperlihatkan leher dan sebagian rambut. Baru pada awal tahun
1980- an istilah jilbab mulai dikenal, yaitu kerudung yang juga menutup leher dan semua
rambut.8
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara
Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran,
pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di
beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hanya saja pergeseran
makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat
perempuan semenjak abad ke-4 H.9
3.2.1. Jilbab pra-Islam
Jilbab atau hijab merupakan bentuk peradaban yang sudah dikenal beratus-ratus
tahun sebelum datangnya Islam. Hijab bagi masyarakat Yunani memiliki ciri khas yang
berbeda dengan masyarakat Romawi. Demikian pula halnya dengan hijab pada
masyarakat Arab pra-Islam. Ketiga masyarakat tersebut pernah mangalami masa
keemasan dalam peradaban jauh sebelum datangnya Islam. Hal ini bahkan mematahkan
anggapan yang menyatakan bahwa hijab hanya dikenal dalam tradisi Islam dan hanya
dikenakan oleh wanita-wanita muslimah saja. Namun didalam masyarakat Yunani, sudah
menjadi kebiasaan atau tradisi wanita-wanitanya untuk menutup wajahnya dengan ujung

6
Fedwa El Guindi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Jakarta: Serambi, 2006), hal. 29
7
Chamim Thohari, Konstruksi Pemikiran Quraish Shihab tentang Hukum Jilbab: Kajian Hermeneutika Kritis,
(Malang: Jurnal Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011, Universitas Negeri Malang), hal. 78
8
Muhammad Said Al-Asymawi, kritik atas jilbab, terj. Nong Darol Mahmada, (Jakarta: JIL, 2003), hal. vii
9
Nasarudin Umar, Mendekati Tuhan Dengan Kualitas Feminis, (Jakarta: Quanta, 2014) hal. 37
selendangnya atau dengan mengunakan hijab khusus yang terbuat dari bahan tertentu
yang bentuknya sangat baik.10
Peradaban Yunani tersebut kemudian ditiru oleh bangsa-bangsa di sekitarnya.
Namun, akhirnya peradaban tersebut mengalami kemerosotan dan kemunduran karena
kaum wanita dibiarkan bebas dan boleh melakukan apapun, termasuk pekerjaan yang
dilakukan oleh laki-laki. Peradaban-peradaban silam yang mewajibkan pengenaan hijab
bagi wanita tidak bermaksud menjatuhkan kemanusiaannya dan merendahkan
martabatnya. Akan tetapi, semata untuk menghormati dan memuliakannya, agar nilai-
nilai dan norma-norma sosial dan agama mereka tidak runtuh. Gereja-gereja terdahulu
dan biarawati-biarawatinya yang bercadar dan berkerudung memakai kebaya panjang,
menutupi seluruh tubuhnya sehingga jauh dari kejahatan. 11
Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua, seperti
Mesopotamia, Babylonia dan Asyiria. Wanita terhormat harus menggunakan jilbab di
ruang publik. Sebaliknya budak wanita dilarang mengenakannya. Dalam perkembangan
selanjutnya, jilbab menjadi simbol kelas menengah keatas masyarakat kawasan tersebut.
Ketika terjadi perang antara Romawi Bizantium dengan Persia, rute perdagangan antara
pulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota
di tepi pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit
perdagangan.12
3.2.2. Jilbab pasca Islam
Perintah kewajiban memakai jilbab dalam Islam mendapatkan legitimasi setelah
turunnya Al-Qur’an surah an-Nur ayat 31 dan surah alAhzab ayat 59. Sehingga
berdasarkan kedua ayat tersebut kemudian peristilahan mengenai penutup kepala
dikenal dengan nama khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan generik.
Kata khumur bentuk jamak dari kata khimar dan jalabib bentuk jamak dari kata jilbab.
Di jazirah Arab pada zaman dahulu bahkan sampai kedatangan Islam, para laki-laki
dan wanita berkumpul dan bercampur-baur tanpa halangan. Para wanita pada waktu itu
juga mengenakan kerudung, tapi yang dikerudungi hanya terbatas pada bagian belakang
saja, sedangkan leher, dada, dan kalungnya masih kelihatan. Oleh karena tingkahnya
tersebut dapat mendatangkan fitnah dan dapat menimbulkan kejahatan, dan dari hal
itulah Allah lalu menurunkan peraturan sebagaimana terdapat dalam al-Nur ayat 31 dan
surah al-Ahzab ayat 59.13
Hal yang semakna sebenarnya telah dikemukakan para ahli tafsir yang
menyatakan bahwa kaum wanita pada zaman pra-Islam dulu biasa berjalan di depan
kaum laki-laki dengan leher dan dada terbuka serta lengan telanjang. Kemudian Allah
memerintahkan kepada wanita untuk menutupkan kain kerudungnya pada bagian yang
10
Muhammad Farid Wajdi, Da’irat al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin, jilid 3 (Beirut: Dar al- Ma‘rifah, 1991), 335
11
Abd Rasul Abd Hasan al-Ghaffar, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, terj. Baurhanuddin Fanani (Bandung:
Pustaka Hidayat, 1984), 38.
12
Hayya binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir Hamzah Fahruddin (Jakarta: Darul
Falah, 1997), 149
13
Fazlurrahman, Nasib Wanita sebelum Islam (Cet. 1; Jatim: Putra Pelajar, 2000), 112- 113.
biasa mereka perlihatkan untuk menjaga diri mereka dari kejahatan laki-laki hidung
belang.14
M. Quraish Shihab kembali menegaskan, bahwa wanita-wanita muslim pada awal
Islam di Madinah memakai pakaian yang sama secara umum dipakai oleh semua wanita,
termasuk wanita tuna susila dan hamba sahaya. Mereka semua juga memakai kerudung,
bahkan jilbab, tapi leher dan dadanya mudah terlihat dan tak jarang juga mereka
memakai kerudung tapi ujungnya dibelakangkan hingga leher telinga dan dada mereka
terus terbuka. Keadaan inilah yang digunakan oleh orang-orang munafik untuk mengoda
kaum wanita muslimah. Dan ketika mereka diingatkan atas perlakuan yang mereka
perbuat mereka mengatakan “kami kira mereka hamba sahaya”. Hal ini disebabkan oleh
karena pada saat itu identitas wanita muslimah tidak terlihat dengan jelas, dan dalam
keadaan inilah Allah memerintahkan kepada wanita muslimah untuk menggunakan
jilbabnya sesuai dengan petunjuk Allah kepada Nabi dalam surat al-Ahzab ayat 59. 15
3.2.3. Jilbab era kontemporer
Seiring dengan perkembangan zaman yang berputar sesuai dengan hukum
sunnatullah, maka seluruh aspek kehidupan pun turut mengalami perubahan dan
perkembangan, termasuk pada aspek pakaian. Pakaian dengan segala aksesorisnya turut
mewarnai lini kehidupan umat manusia. Demikian halnya dengan jilbab yang kemudian
melahirkan berbagai bentuk dan gaya serta model jilbab. Bahkan jilbab sudah masuk
dalam trend fashion.
Fashion sudah menjadi bagian penting dari gaya, trend dan penampilan
keseharian umat manusia. Menurut Soekanto, fashion memiliki arti suatu mode yang
hidupnya tidak lama, yang mungkin menyangkut gaya bahasa, perilaku, hobby terhadap
model pakaian tertentu.16 Makna serupa juga diungkapkan oleh Lypovetsky. Fashion
merupakan bentuk perubahan yang dicirikan oleh rentang waktu yang singkat, sehingga
fashion (mode) merupakan kekuaatan dalam kebangkitan individualitas dengan
mengizinkan seseorang untuk mengekspresikan diri dalam berpenampilan. 17 Sedangkan,
menurut Polhemus dan Procter istilah fashion kerap digunakan sebagai sinonim dari
istilah berdandan, gaya dan busana dalam masyarakat kontemporer barat. 18
Belakangan ini, fenomena perkembangan fashion yang sedang menjadi tren di
kalangan wanita Muslimah di Indonesia adalah jilbab. Bahkan, jilbab telah berkembang
menjadi suatu tren fashion yang digandrungi kalangan wanita Muslimah.

14
Muhammad ‘Alial-Sabuni, Safwah al-Tafasir, juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), 336.
15
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu‘i Atas Berbagai Persoalan Umat (Cet. 8; Bandung:
Mizan, 1998), 171-172.
16
Soerjono Sukanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Raja Graffindo, 2004), 186.
17
Lipovetsky, The Empire of Fashion: Dressing Modern Democracy dalam George Ritzer & Douglas J. Goodman,
Teori Sosiologi Modern (Cet. 6; Jakarta: Kencana Media Group, 2010), 651.
18
Polhemus & Procter, “Fashion and Anti-Fashion”, dalam Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi Cara
Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 13.
Pada awal kemunculannya, jilbab merupakan penegasan dan pembentukan
identitas keberagamaan seseorang.19 Apabila melihat perkembangan jilbab dikalangan
wanita muslimah Indonesia saat ini, jilbab seolah-olah hanya menjadi milik Islam. Jilbab
juga dianggap sebagai sebuah identitas bagi wanita Muslimah meskipun menuai
kontroversi. Karena selalu saja ada perdebatan dalam memaknai jilbab.
Perkembangan fashion terjadi pada hampir semua jenis benda yang dipakai,
seperti baju, topi, tas, sepatu, dan juga jilbab. Saat ini banyak sekali model dan merk serta
tipe jilbab yang bisa kita temui di pusatpusat perbelanjaan. Padahal sebelumnya model-
model jilbab tidak menarik minat masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat juga
berpendapat bahwa jilbab adalah pakaian orang kampungan. Oleh karena itu, jilbab tidak
lagi cocok dipakai di masa modern seperti saat ini. 20
Pada awalnya model berjilbab wanita Muslim Indonesia hanya sebatas jilbab
persegi panjang yang menutupi sebagian kepala seperti diselampirkan saja dan dipadu
dengan kebaya. Modelnya cenderung monoton dengan warna-warna yang tidak menarik.
Dalam perkembangannya, model-model berjilbab wanita muslim Indonesia mengalami
perubahan seiring dengan munculnya komunitas jilbab yang membawa identitas Islam.
Jilbab menjadi pakaian yang dapat disesuaikan dengan perkembangan fashion yang
terkadang dalam penciptaannya luput dari aspek syariat. Barnard menyatakan bahwa
fashion merupakan fenomena kultural yang digunakan kelompok untuk mengkonstruksi
dan mengkomunikasikan identitasnya. Jilbab dapat digunakan menjadi simbol untuk
merepresentasikan gaya hidup kelompok sosial melalui fashion. 21
Di sini jilbab dipakai bukan sebagai tuntutan agama, melainkan sebagai salah satu
aksesoris dalam mode berpakaian wanita modern. Selain itu, ada yang menganggap
bahwa pemakaian jilbab adalah simbol untuk membedakan wanita dalam kelompok
sosial. Lalu kelompok tersebut berpegang teguh dengan simbol tersebut dan
memberinya corak keagamaan.22
Memang seharusnya yang benar dalam konteks pemahaman jilbab yang penting
diingat bahwa pilihan jilbab adalah pilihan wanita. Terlepas dari pemaknaan jilbab sebagai
identitas, keyakinan ataupun atas dasar perintah dalam Al-Qur’an.
4. Penutup
Melalui pendekatan antropologi fungsionalisme, kita dapat memahami bagaimana
jilbab berperan dalam memenuhi fungsi-fungsi sosial dan budaya yang beragam sesuai
dengan konteks lokal. Penelitian ini memberikan wawasan yang lebih baik tentang
kompleksitas peran jilbab dalam menjaga identitas agama, mempertahankan nilai-nilai
budaya, dan berkontribusi pada dinamika sosial di masyarakat yang berbeda.

19
Fadwa El-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan (Jakarta: Serambi, 2006), 167.
20
Idatul Fitri dan Nurul Khasanah, 60 Kesalahan Dalam Berjilbab (Jakarta: Basmalah, 2011), 16.
21
Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan
Gender (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 83.
22
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2004), x.
Namun, penting untuk diingat bahwa peran dan interpretasi jilbab terus berubah
seiring waktu dan dalam respons terhadap perubahan sosial dan politik. Oleh karena itu,
penelitian yang lebih lanjut diperlukan untuk memperdalam pemahaman kita tentang
peran jilbab dalam konteks budaya dan sosial yang beragam.
Daftar Pustaka
Ariyono Suyono, 1985, Kamus Antropologi, Jakarta: Akademi Persindo,
Harsono, 1976, Pengantar Antropologi, Bandung: Angkasa Offset,
Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
Gunsu Nurmansyah dkk, Pengantar Antropologi Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi, (Lampung:
Aura, 2019)
Ihroni,I.T.O. Pokok Pokok Antropologi, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Fedwa El Guindi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Jakarta: Serambi, 2006),
Chamim Thohari, Konstruksi Pemikiran Quraish Shihab tentang Hukum Jilbab: Kajian
Hermeneutika Kritis, (Malang: Jurnal Volume 14 Nomor 1 Januari - Juni 2011, Universitas
Negeri Malang),
Muhammad Said Al-Asymawi, kritik atas jilbab, terj. Nong Darol Mahmada, (Jakarta: JIL, 2003),
Nasarudin Umar, Mendekati Tuhan Dengan Kualitas Feminis, (Jakarta: Quanta, 2014)
Muhammad Farid Wajdi, Da’irat al-Ma‘arif al-Qarn al-‘Isyrin, jilid 3 (Beirut: Dar al- Ma‘rifah, 1991),
335
Abd Rasul Abd Hasan al-Ghaffar, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern, terj. Baurhanuddin Fanani
(Bandung: Pustaka Hidayat, 1984),
Hayya binti Mubarak al-Barik, Ensiklopedi Wanita Muslimah, terj. Amir Hamzah Fahruddin
(Jakarta: Darul Falah, 1997),
Fazlurrahman, Nasib Wanita sebelum Islam (Cet. 1; Jatim: Putra Pelajar, 2000.
Muhammad ‘Alial-Sabuni, Safwah al-Tafasir, juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.)
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu‘i Atas Berbagai Persoalan Umat (Cet. 8;
Bandung: Mizan, 1998)
Soerjono Sukanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Raja Graffindo, 2004)
Lipovetsky, The Empire of Fashion: Dressing Modern Democracy dalam George Ritzer & Douglas
J. Goodman, Teori Sosiologi Modern (Cet. 6; Jakarta: Kencana Media Group, 2010)
Polhemus & Procter, “Fashion and Anti-Fashion”, dalam Malcolm Barnard, Fashion Sebagai
Komunikasi Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial, Seksual, Kelas, dan Gender
(Yogyakarta: Jalasutra, 2011)
Fadwa El-Guindi, Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan (Jakarta: Serambi, 2006)
Idatul Fitri dan Nurul Khasanah, 60 Kesalahan Dalam Berjilbab (Jakarta: Basmalah, 2011)
Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi Cara Mengkomunikasikan Identitas Sosial,
Seksual, Kelas, dan Gender (Yogyakarta: Jalasutra, 2011)
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah (Jakarta: Lentera Hati, 2004)

Anda mungkin juga menyukai