Anda di halaman 1dari 15

Artikel Antropologi

Dosen pengasuh
Dr. Taufik Ramdhani S.Th.I.,M.Sos
Disusun oleh :
Tedy Mulyadi Saputra

A. Kesimpulan
Bab I. Pengertian dan Ruang Lingkup Kajian Antropologi

 Ruang Lingkup Antropologi dan Pentingnya Antropologi


1. Pengertian Antropologi

  Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia


baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain
sebagainya. Antropologi adalah istilah kata bahasa Yunani yang berasal
dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos
memiliki arti cerita atau kata.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa,
kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan
untuk mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa,
berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.

  Secara harfiah antropologi adalah ilmu (logos) tentang manusia


(antropos). Definisi demikian tentu kurang jelas, karena dengan definisi
seperti itu antropologi mencakup banyak disiplin ilmu seperti sosiologi,
psikologi, ilmu polotik, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, biologi manusia dan
bahkan humaniora, filsafat dan sastra yang semuanya mempelajari atau
berkenaan dengan manusia. Sudah tentu hal ini tidak benar, palagi disiplin-
disiplin ilmu lain tersebut justru sudah berkembang jauh lebih tua dari pada
antropologi.
Oleh karena itu pasti ada sesuatu yang khusus tentang manusia yang
menjadi pusat perhatian antropologi.Sayang bidang permasalahan yang
khusus dipelajari oleh antropologi tidak jelas batasnya, karena terlalu
cepatnya pemisahan ilmu-ilmu cabang antropologi yang sangat berlainan
bidang permasalahan yang dipelajari. Akibatnya tidak ada satupun definisi
umum yang dapat disepakati oleh semua ilmuwan antropologi.
Salah satu karakteristik yang paling banyak mendapat perhatian dalam
antropologi adalah hubungan antara kebudayaan dan ciri-ciri biologis
manusia. Masa ketergantungan manusia pada pengangkutan jalan kaki,
ukuran otak yang besar, dan kemampuan menggunakan simbol-simbol
adalah contoh beberapa ciri biologis yang memungkinkan mereka
menciptakan dan mendapatkan kebudayaan.
Untuk membantu mahasiswa dalam pelajaran awal, dapat dipergunakan
rangkuman sebagai berikut: antropologi adalah ilmu yang mempelajari
karakteristik hidup manusia dengan naberorientasi pada kebudayaan yang
dihubungkan dengan ciri-ciri sosio-psikologi atau ciri-ciri biologis, melalui
pendekatan yang holistik yaitu pendekatan dengan cara melihat atau
memandang sesuatu sebagai suatu kebulatan yang utuh atau holistik.

2. Ruang Lingkup Antropologi

1. ANTRPOLOGI FISIK
Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis yang
melacak perkembanhan manusia menurut evolusinya dan menyelidiki
variasi biologisnya dalam berbagai jenis (spesies). Melalui aktivitas analisis
yang mendalam terhadap fosil-fosil dan pengamatan pada primate-primata
yang pernah hidup, para ahli antrpologi fisik berusaha melacak nenek
moyang jenis manusia untuk mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa
iakita menjadi makhluk seperti sekaran ini (Haviland, 1999: 13)

2. ANTROPOLOGI BUDAYA
Antropologi budaya memfokuskan perhatianya kepada kebudayaan
manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. menurut Haviland
(1999:12) cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga
bagian, yakni arkeologi, antroplogi linguistic, dan etnologi.

Antropologi budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik social,


bentuk-bentuk ekspresif, dan penggunaan bahasa, dimana makna
diciptakan dan diujui sebelum digunakan oleh masyarakat manusia ?
(Burke,2000:193).
Biasanya, istilah antropologi budaya dikaitkan dengan tradisi riset dan
penulisan antropologi di Amerika. pada awal abad ke-20, Franz Boas
(1940) mengajukan tinjauan kirtisnya terhadap asumsi-asumsi antropologi
evolusioner serta inflikasi yang cendrung bersifat rasial. Dalam hal itu, boas
menyoroti keberpihakan pada komparasi dan generalisasi antropologi
tradisional ytang dinilainnya kurang tepat, selanjutnya ia mengembangkan
alitan baru yang sering disebut antropologi boas. dalam hal ini, boas
merumuskan konsep kebudayaan yang bersifat relative. plural dan holistic
saat ini, kajian antropologi budaya lebih menekankan pada empat aspek
yang tersusun.
a.     Pertimbangan politik, di mana antropologi budaya sering terjebak oleh kepentingan-
kepentingan politik     dan membiarkan dalam penulisannya masih terpaku oleh metode-
metode lama yang sudah terbukti kurang layak untuk menyusun sebuah karya ilmiah, seperti
yang dikeluhkan said dalam orientalisme (1970).

b.     Menyangkut hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. jika pada awalnya bertumpuk


pada asumsasumsi kepatuhan dan penguasaan masing-masing terhadap kebudayaanya
sedangkan pada masa kini dengan munculnya karya Bourdieu (1977) dan Foucault
(1977,1978) kian menekankan pengunaan taktis diskursus budaya yang melayani kalangan
tertentu di masyarakat.

c.     Menyangkut bahasa dalam antropologi budaya,  dimana terjadi pergeseran makna


kebudayaan dari homogenitas ke heterogenitas yang menekankan peran bahasa sebagai
sistem formal abstraksi-abstraksi kategori  budaya.

d.     Preferensi dan pemikiran individual dimana terjadi antara hubungan antara jati diri dan
emosi, sebab antara kepribadiyaan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang erat.

cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi menjadi tiga bagian yakni arkeologi, antropologi
linguistic dan etnologi.

a. Arkeologi
Arkeologi adalah cabang antropologi kebudayaan yang mempelajari benda-benda
peninggalan lama dengan maksud untuk menggambarkan serta menerangkan perilaku
manusia karena dalam peninggalan-peninggalannya lam itulah terpantul eksfresi
kebudayaannya.

b. Antropologi linguistic
Ernest Cassirer (1951 : 32) mengatakan bahwa manusia mahluk yan g paling mahir dalam
menggunakan simbol-simbol sehingga manusia disebut homo symbolicum karena itulah
manusia dapat berbahasa berbicara dan melakukan gerakan-gerakan lainnya yang juga
banyak dilakukan oleh makhluk-makhluk lain yang serupa dengan manusia. tidak hanya
mengenai cara orang berkomunikasi, tetapi juga tentang bagaimana memahami dunia luar.

c. Etnologi
Pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan-
kebudayaan zaman sekaranng, etnologi ini mirip dengan arkeologi, bedanya dalam etnologi
tentang keyakinan yang dialami dalam kehidupan sekarangsedangkan arkeologi tentang
kalampauan yang sangat klasik. benar ungkapan Kluckhohn (1965) yang mengatakan bahwa
ahli atnografi adalah ahli arkeologi yang mengamati arkeologinya hidup-hidup. antopologi
pada hakikatnya mendokumentasikan kondisi manusia pada masa lampau dan masa kini.
perhatian utamanya adalah pada masyarakat-masyarakat eksotis, mas prasejarah, bahasa tak
tertulis, dan adat kebiasaan yang aneh. mereka yang masih berpradaban rendah (savage)
bukankah para bangsawan alam dan keberadaan hidup mereka tidak juga firdausi (kapplan
dan Manners, 1999:xiii).
selain antropologi fisik dan kebudayaan adalah antropologi ekonomi, antropologi medis,
antropologi medis,antropologi psikolog, dan antropologi social.
1. Antropologi Ekonomi
bidang ini merupakan cara manusia dalam memerintahkan dan mengekpresikan didri melalui
penggunaan barang dan jasa material (Gudeman, 2000: 295). khususnya aliran mikro dan
neoklasik . melalui pengkajian pendekatan neoklasik, walaupun cakupnya begitu besar
(makro) bahkan yang lebih unik lagi adalah aliran marxisme.

2. Antropologi Medis
Antropologi medis merupakan subdidiplin yang sekarang paling populis di Amerika serikat,
terutama yang berjasa dalam perkembangan disiplin ini adalah foster dan Anderson yang
menulis karyanya medical Anthropology  [1978 (1986)], disusun oleh McElroy dan Towsend
dalam bukunya medical Antropology in Ecological Perspective (19850.
3. Antropologi psikolog
Bidang ini merupakan wilayah antropologi yang mengkaji tentang hubunganya antara
individu dengan makna dan nilai dengan kebiasaan social dari system budaya yang ada
(White,2000:856). secara historis bidang antropologi psikologi tersebut lebih dekat pada
psikoanalisis daripada psikologi eksperimental.

4. Antropologi sosial
Bidang ini mulai dikembangkan oleh James George Frazer di Amerika Serikat pada awal
abad ke-20. penekanan pada antropologi social inggris bergerak menjadi suatu studi
komperatif masyarakat kontenporer(kuper, 2000:971). mereka bereksperimen dengan suatu
kisaran yang luas dari strategi penelitian yang bersifat komparatif, historis dan etnografis

Bab II. Antropologi:Ontologi,epistimologi,aksiologi

1. Ontologi adalah ilmu yang menyelidiki alam nyata dan keadaannya secara fakta.

Di balik alam nyata ontologi menyelidiki segala sesuatu yang kasat oleh pancaindra,
dalam realita terbentuk suatu unsur( monoisme),dua unsur(dualisme),ataukah terdiri
dari unsur yang banyak ( pluralisme)

2. Epistimologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berusaha menjawab dengan


pengetahuan, disertai dengan cara manusia memperoleh dan menangkap serta
jenis jenis pengetahuan.

Menurut epistomologipengetahuan manusia di peroleh dari hasil pemeriksaan dan


penyelidikan hingga di ketahui Manusi.

3. Aksiologi menyangkut nilai-nilai berkualitas atau tidak, dalam devinisi lain


aksiologi merupakan suatu pendidikan yang di emplementasikan serta untuk
menguji dalam kepribadian anak.

Bab III. Sejarah Antropologi

Pengertian Antropologi
Antropologi nerasal dari bahasa Yunani dari asal kata anthropos yang berarti manusia,
dan logos yang berarti ilmu. Secara harfiah antropologi berarti ilmu tentang manusia. Jadi
antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian atau pemahaman tentang
makhluk manusia dengan mempelajari aneka hentuk fisiknya, masyarakat, dan kebudayaannya.

Sejarah Kelahiran Antropologi

Antropologi merupakan salah satu displin ilmu yang berkembang sebagai dampak penjajahan
bangsa Eropa di seluruh dunia. Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang
mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi muncul berawal dari
ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-cirii fisik, adat-istiadat, budaya yang berbeda
dari apa yang dikenal di Eropa.

Banyak ahli Antrpologi berpendapat bahwa antropologi muncul sebagai suatu cabang ilmu yang
jelas batasannya pada sekitar abad ke 19. Antropologi pada abad ke 19 sampai abad ke 20
berkembang ke arah yang lebih sistemastik dan menggunakan metodologi ilmiah.

Koentjaraningrat menyusun perkembangan antropologi menjadi 4 fase:

1. Fase pertama (sebelum tahu. 1800-an

Pada akhir abad ke 15,.bangsa Eropa mulai menjelajah ke berbagai benua seperti Asia, Afrika,
dan Amerika. Dari para penjelajah tersebut terkumpul buku-buku kisah perjalanan, yang berisi
bahan pengetahuan berupa deskripsi tentang adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa, dan
ciri-ciri fisik dari bermacam-macam suku bangsa di Asia, Afrika, Oseania, dan Amerika.
Kemudian bahan pengetahuan tadi disebut bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-
bangsa.

2. Fase Kedua (Tahun 1800-an)

Pada fase ini, muncul karangan-karangan yang menyusun bahan etnografi berdasarkan cara
berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. Pada fase kedua ini perkembangan antropologi
bertujuan akademis, yaitu mempelajari masyarakt, kebudayaan, dan masyarakat primitif dengan
maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan
manusia.

3. Fase Ketiga (awal tahun 1900-an)

Pada fase ini, antropologi menjadi ilmu praktis dengan tujuan mempelajari masyarakat dan
kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan untuk
memahami kebudayaan masyarakat modern yang kompleks.

4. Fase keempat (tahun 1930-an)

Pada ini Antropologi mengalami masa perkembangan yang paling pesat karena terjadi
perubahan yang besar. kebudayaan asli bangsa-bangsa pribumi hilang akibat pengaruh
kebudayaan Eropa. Selain itu, setelah perang dunia ke II muncul kebencian terhadap negara-
negara penjajah. proses-proses tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropoogi tidk lagi
ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar ERopa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah
pedesaan Eropa.
Antropologi adalah ilmu tentang manusia. Antropologi berasal dari kata Yunani
άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang
berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal") atau secara etimologis
antropologi berarti ilmu yang mempelajari manusia.[1]Dalam melakukan kajian
terhadap manusia, antropologi mengedepankan dua konsep penting yaitu: Holistik
dan Komparatif. Karena itu kajian antropologi sangat memperhatikan aspek sejarah
dan penjelasan menyeluruh untuk menggambarkan manusia melalui pengetahuan
ilmu sosial ilmu hayati (alam), dan juga humaniora.
Antropologi bertujuan untuk lebih memahami dan mengapresiasi manusia sebagai
entitas biologis homo sapiens dan makhluk sosial dalam kerangka kerja yang
interdisipliner dan komprehensif. Oleh karena itu, antropologi menggunakan teori
evolusi biologi dalam memberikan arti dan fakta sejarah dalam menjelaskan
perjalanan umat manusia di bumi sejak awal kemunculannya. Antropologi juga
menggunakan kajian lintas-budaya (Inggris cross-cultural) dalam menekankan dan
menjelaskan perbedaan antara kelompok-kelompok manusia dalam perspektif
material budaya, perilaku sosial, bahasa, dan pandangan hidup (worldview).[2]
Dengan orientasinya yang holistik, antropologi dibagi menjadi empat cabang ilmu
yang saling berkaitan, yaitu: Antropologi Biologi, Antropologi Sosial Budaya,
Arkeologi, dan Linguistik. Keempat cabang tersebut memiliki kajian-kajian
konsentrasi tersendiri dalam kekhususan akademik dan penelitian ilmiah, dengan
topik yang unik dan metode penelitian yang berbeda-beda.[3]
Antropologi lahir atau berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa pada ciri-ciri fisik,
adat istiadat, dan budaya etnis-etnis lain yang berbeda dari masyarakat yang dikenal
di Eropa. Pada saat itu kajian antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang
merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang
tinggal di suatu kawasan geografis yang sama, memiliki ciri fisik dan bahasa yang
digunakan serupa, serta cara hidup yang sama. Namun demikian dalam
perkembangannya, ilmu antropologi kemudian tidak lagi hanya mempelajari
kelompok manusia tunggal yang mendiami suatu wilayah geografis yang sama.
Kajian-kajian antropologi mengenai isu-isu migrasi misalnya kemudian melahirkan
penelitian-penelitian etnografis multi-situs. Hal ini terjadi karena dalam
perkembangannya, pergerakan manusia baik dalam satu kawasan regional tertentu
hingga dalam cakupan global adalah fenomena yang semakin umum terjadi.
Antropologi muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang
melihat ciri-cirii fisik, adat-istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang
dikenal di Eropa. Banyak ahli Antrpologi berpendapat
bahwaantropologi muncul sebagai suatu cabang ilmu yang jelas
batasannya pada sekitar abad ke 19.

Bab IV. Antropologi Budaya


Antropologi budaya adalah cabang antropologi yang berfokus pada
penelitian variasi kebudayaan pada manusia. Disiplin ini berbeda dengan
cabang antropologi sosial, yang memandang keragaman budaya sebagai sub bagian
dari antropologi itu sendiri.
Berbagai metode yang digunakan dalam studi antropologi budaya antara lain
pengamatan partisipatif (participant observation), wawancara, dan survei. Metode
pengamatan partisipatif sering disebut juga sebagai "penelitian lapangan" (fieldwork)
karena memerlukan dedikasi [[antropolog untuk menetap dalam kurun waktu yang
cukup lama di lokasi penelitiannya.[1]
Salah satu pengertian pertama tentang pengertian istilah "kebudayaan" berdasarkan
antropologi adalah oleh Sir Edward Burnett Tylor, antropolog asal Inggris dalam
halaman pertama bukunya yang terbit tahun 1897: "Kebudayaan, atau peradaban,
diambil dalam artinya yang luas dan etnografis, adalah keseluruhan yang kompleks
yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, kesusilaan, hukum, adat-
istiadat dan kemampuan dan kebiasaan lain mana pun yang didapati manusia
sebagai anggota masyarakat.[2] Istilah "peradaban" di kemudian hari diganti definisiiya
oleh V. Gordon Childe, di mana "kebudayaan" menjadi istilah perangkum dan
"peradaban" menjadi satu jenis khusus kebudayaan[3]
Wawasan antropologis tentang "kebudayaan" antara lain mencerminkan reaksi
terhadap wacana sebelumnya di dunia Barat, yang berdasarkan pada perlawanan
antara "budaya" dan "alam", di mana sejumlah manusia dianggap masih hidup dalam
"keadaan alamiah". Para antropolog menyatakan bahwa kebudayaan justru
merupakan "alam manusia" dan semua manusia memiliki kemampuan untuk
menyusun pengalaman, menterjemahkan penyusunan ini secara simbolis berkat
kemampuan berbicara dan mengajarkan paham tersebut ke manusia lainnya.
Karena manusia mendapati kebudayaan melalui proses
belajar enculturation dan sosialisasi, orang yang tinggal di tempat yang berbeda atau
keadaan yang berbeda, akan mengembangkan kebudayaan yang berbeda. Para
antropolog juga mengemukakan bahwa melalui kebudayaan, orang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya secara non-genetik, sehingga orang yang
tinggal di lingkungan yang berbeda sering akan memiliki kebudayaan yang
berbeda. Teori antropologi terutama berasal dari kesadaran dan minat akan
perselisihan antara segi lokal (kebudayaan tertentu) dan global (kemanusiaan secara
umum, atau jaringan hubungan antara orang di tempat atau keadaan yang berbeda).
[4]
Perkembangan antropologi budaya terjadi dalam konteks akhir abad ke-19, saat
pertanyaan tentang kebudayaan manakah yang "primitif" dan yang mana yang
"beradab", tidak hanya ada dalam benak Marx dan Freudtetapi juga banyak orang
lainnya. Kolonialisme dan prosesnya semakin sering membuat pemikir
asal Eropa berhubungan, secara langsung atau tidak langsung, dengan bangsa lain
yang "primitif"[5]. Keadaan yang berbeda antara berbagai kelompok manusia, yang
sebagian memiliki teknologi modern dan maju seperti mesin dan telegraf, sedangkan
sebagian lain tidak memiliki apa-apa kecuali komunikasi tatap muka dan masih hidup
dengan gaya Paleoliti, menarik perhatian angkatan pertama antropolog budaya.
Sejajar dengan perkembangan antropologi budaya di Amerika Serikat,
di Inggrisantropologi sosial, di mana "kesosialan" merupakan paham inti yang berpusat
pada penelitian mengenai kedudukan dan peranan sosial, kelompok, lembaga dan
hubungan antaranya, berkembang sebagai disiplinakademis. Suatu istilah perangkum,
yaitu antropologi sosial-budaya, mengacu baik ke antropologi budaya maupun
sosial[6]
Antropologi budaya moder mempunyai asal-usulnya, dan dikembangkan sebagai
reaksi terhadap etnologo abad ke-19 yang melibatkan perbandingan masyarakat
majemuk yang terorganisir. Sarjana seperti E.B. Tylor dan J.G.
Frazer di England bekerja dengan sebagian besar bahan yang dikumpulkan oleh
orang lain – biasanya misionaris, pedagang, penjelajah, atau kolonial pejabat – ini
didapat dari mereka yang saat ini nama julukannya "arm-chair anthropologists"
Ethnologists had a special interest in why people living in different parts of the world
often had similar beliefs and practices. In addressing this question, ethnologists in the
19th century divided into two schools of thought. Some, like Grafton Elliot Smith,
argued that different groups must somehow have learned from one another,
however indirectly; in other words, they argued that cultural traits spread from one
place to another, or "diffused".
Other ethnologists argued that different groups had the capability of creating similar
beliefs and practices independently. Some of those who advocated "independent
invention", like Lewis Henry Morgan, additionally supposed that similarities meant
that different groups had passed through the same stages of cultural evolution (See
also classical social evolutionism). Morgan, in particular, acknowledged that certain
forms of society and culture could not possibly have arisen before others. For
example, industrial farming could not have been invented before simple farming, and
metallurgy could not have developed without previous non-smelting processes
involving metals (such as simple ground collection or mining). Morgan, like other
19th century social evolutionists, believed there was a more or less orderly
progression from the primitive to the civilized.
20th-century anthropologists largely reject the notion that all human societies must
pass through the same stages in the same order, on the grounds that such a notion
does not fit the empirical facts. Some 20th-century ethnologists, like Julian Steward,
have instead argued that such similarities reflected similar adaptations to similar
environments (see cultural evolution).
Others, such as Claude Lévi-Strauss (who was influenced both by American cultural
anthropology and by French Durkheimiansociology), have argued that apparently
similar patterns of development reflect fundamental similarities in the structure of
human thought (see structuralism). By the mid-20th century, the number of examples
of people skipping stages, such as going from hunter-gatherers to post-industrial
service occupations in one generation, were so numerous that 19th-century
evolutionism was effectively disproved.[7]
In the 20th century, most cultural (and social) anthropologists turned to the crafting
of ethnographies. An ethnography is a piece of writing about a people, at a particular
place and time. Typically, the anthropologist lives among people in another society
for a considerable period of time, simultaneously participating in and observing the
social and cultural life of the group.
Numerous other ethnographic techniques have resulted in ethnographic writing or
details being preserved, as cultural anthropologists also curate materials, spend long
hours in libraries, churches and schools poring over records, investigate graveyards,
and decipher ancient scripts. A typical ethnography will also include information
about physical geography, climate and habitat. It is meant to be a holistic piece of
writing about the people in question, and today often includes the longest possible
timeline of past events that the ethnographer can obtain through primary and
secondary research.

Bronisław Malinowski (who conducted fieldwork in the Trobriand Islands and taught in


England) developed this method, and Franz Boas (who conducted fieldwork in Baffin
Island and taught in the United States) promoted it. Boas's students drew on his
conception of culture and cultural relativismto develop cultural anthropology in the
United States. Simultaneously, Malinowski and A.R. Radcliffe Brown´s students were
developing social anthropology in the United Kingdom. Whereas cultural anthropology
focused on symbols and values, social anthropology focused on social groups and
institutions. Today socio-cultural anthropologists attend to all these elements.
Although 19th-century ethnologists saw "diffusion" and "independent invention" as
mutually exclusive and competing theories, most ethnographers quickly reached a
consensus that both processes occur, and that both can plausibly account for cross-
cultural similarities. But these ethnographers also pointed out the superficiality of
many such similarities. They noted that even traits that spread through diffusion
often were given different meanings and function from one society to another.

Accordingly, these anthropologists showed less interest in comparing cultures,


generalizing about human nature, or discovering universal laws of cultural
development, than in understanding particular cultures in those cultures' own terms.
Such ethnographers and their students promoted the idea of "cultural relativism", the
view that one can only understand another person's beliefs and behaviors in the
context of the culture in which he or she lived or lives.
In the early 20th century, socio-cultural anthropology developed in different forms
in Europe and in the United States. European "social anthropologists" focused on
observed social behaviors and on "social structure", that is, on relationships among
social roles (for example, husband and wife, or parent and child) and
social institutions (for example, religion, economy, and politics).
American "cultural anthropologists" focused on the ways people expressed their view
of themselves and their world, especially in symbolic forms, such as art and myths.
These two approaches frequently converged and generally complemented one
another. For example, kinship and leadership function both as symbolic systems and
as social institutions. Today almost all socio-cultural anthropologists refer to the
work of both sets of predecessors, and have an equal interest in what people do and
in what people say.
Ethnography dominates socio-cultural anthropology. Nevertheless, many
contemporary socio-cultural anthropologists have rejected earlier models of
ethnography as treating local cultures as bounded and isolated. These
anthropologists continue to concern themselves with the distinct ways people in
different locales experience and understand their lives, but they often argue that one
cannot understand these particular ways of life solely from a local perspective; they
instead combine a focus on the local with an effort to grasp larger political,
economic, and cultural frameworks that impact local lived realities. Notable
proponents of this approach include Arjun Appadurai, James Clifford, George
Marcus, Sidney Mintz, Michael Taussig and Eric Wolf.
A growing trend in anthropological research and analysis is the use of multi-sited
ethnography, discussed in George Marcus's article, "Ethnography In/Of the World
System: the Emergence of Multi-Sited Ethnography"]. Looking at culture as
embedded in macro-constructions of a global social order, multi-sited ethnography
uses traditional methodology in various locations both spatially and temporally.
Through this methodology, greater insight can be gained when examining the
impact of world-systems on local and global communities.

Also emerging in multi-sited ethnography are greater interdisciplinary approaches to


fieldwork, bringing in methods from cultural studies, media studies, science and
technology studies, and others. In multi-sited ethnography, research tracks a subject
across spatial and temporal boundaries. For example, a multi-sited ethnography may
follow a "thing," such as a particular commodity, as it is transported through the
networks of global capitalism.

Multi-sited ethnography may also follow ethnic groups in diaspora, stories or rumours
that appear in multiple locations and in multiple time periods, metaphors that appear
in multiple ethnographic locations, or the biographies of individual people or groups
as they move through space and time. It may also follow conflicts that transcend
boundaries. An example of multi-sited ethnography is Nancy Scheper-Hughes's work
on the international black market for the trade of human organs. In this research, she
follows organs as they are transferred through various legal and illegal networks of
capitalism, as well as the rumours and urban legends that circulate in impoverished
communities about child kidnapping and organ theft.
Sociocultural anthropologists have increasingly turned their investigative eye on
to "Western" culture. For example, Philippe Bourgois won the Margaret Mead Award in
1997 for In Search of Respect, a study of the entrepreneurs in a Harlem crack-den. Also
growing more popular are ethnographies of professional communities, such as
laboratory researchers, Wall Street investors, law firms, or information technology (IT)
computer employees.[8]
Antropologi budaya adalah cabang antropologiyang berfokus pada penelitian
variasi kebudayaanpada manusia. Disiplin ini berbeda dengan cabang antropologi sosial, yang
memandang keragaman budaya sebagai sub bagian dariantropologi itu sendiri.
Antropologi Budaya merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu sosial, yang berupaya
untuk memberi jawaban atas berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan manusia
dalam posisi atau kedudukannya sebagai makhluk sosial. Jawaban yang diberikan
tersebut menguraikan seluk-beluk realitas fundamental tentang manusia yang
dikonstruksikan sebagai intersubjektivitas atau ketentuan dunia nyata, yang merupakan
dasar kebudayaan manusia.

Garis besar pembahasan yang disajikan dalam buku ini dibatasi pada tiga kajian utama,
yang dieksposisikan dalam beberapa bab. Pertama, orientasi umum tentang Antropologi
Budaya yang tergambar dalam teori-teori yang terdapat dalam dunia Antropologi, baik
berupa konsep dasar, metode-metode yang khas, hubungannya dengan ilmu lain,
sejarah dan manfaat pengkajian, maupun berbagai permasalahan yang terkait dengan
penerapannya.

Kedua, gejala-gejala elementer atau esensial yang diamati dalam Antropologi Budaya,
semisal evolusi manusia dan kebudayaannya, organisasi atau kehidupan kolektif dalam
struktur masyarakat yang kemudian melahirkan pranata sosial, penelitian kepribadian,
norma atau hukum, serta adat istiadat dalam budaya tertentu. Di mana hal tersebut
dikaji dengan memanfaatkan pendekatan hukum serta psikologi dalam penelitian
kepribadian manusia.

Terakhir, merupakan kajian yang tidak kalah penting adalah mengenai perubahan
kepribadian masyarakat dan budayanya. Karena pada dasarnya perubahan kebudayaan
atau culture change selalu dapat terjadi, meskipun masa perubahan tersebut memakan
waktu yang cukup lama, bahkan bisa ribuan tahun. Sumber penyebab perubahan
tersebut bisa berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, bisa pula berasal dari luar
masyarakat yang bersangkutan. Secara umum, hal yang memengaruhi proses
perubahan kebudayaan tersebut ada empat, yaitu discovery, invention, evolusi, dan
difusi. Namun, pada era teknologi informasi seperti saat ini, telah banyak ditemukan
perubahan budaya yang terjadi dalam masa yang relatif cepat. Hal ini biasanya karena
ditemukan atau dikenalkannya teknologi baru yang semakin canggih yang dapat
memicu proses perubahan kebudayaan.

Semua uraian dalam buku ini merupakan kajian yang sangat penting, mengingat kita--
sebagai manusia abad ini--akan terus dan harus mengalami proses pergeseran sikap
dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan
masa kini, atau yang lebih kita kenal dengan istilah modernisasi. Sementara
modernisasi sendiri pasti akan selalu terkait dengan Antropologi, karena di dalamnya
terdapat berbagai kajian yang memengaruhi manusia modern, seperti asal-usul, adat
istiadat, norma dan hukum, kepercayaan pada masa lampau, dan sebagainya.
Pemahaman atas berbagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau dan terus
mengalami perubahan tersebut, tentu saja akan memiliki manfaat yang besar bagi
manusia modern yang hidup di zaman ini.

Adapun informasi atau pembahasan yang disajikan dalam buku ini, pertama-tama
dimaksudkan bagi mahasiswa dalam melengkapi referensi mata kuliah Pengantar
Antropologi Budaya atau mata kuliah lainnya yang diarahkan untuk menumbuhkan
pemahaman tentang kemanfaatan kajian Antropologi terhadap hukum.
Selain itu, buku ini juga sangat bermanfaat bagi mereka yang berminat dan/atau
memiliki keterkaitan dengan bidang studi ini. Misalnya, para petugas yang berurusan
dengan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan kualitas kemanusiaan, semisal
bimbingan masyarakat (BIMAS) atau keamanan dan ketertiban masyarakat
(KAMTIBNAS), yang notabene memiliki tugas pokok dalam menjamin kondisi
keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum di masyarakat.

Buku yang membahas kebudayaan serta kaitannya dengan hukum ini, akan
memberikan gambaran yang jelas dan mampu membekali para pembacanya mengenai
fungsi dan peranan hukum yang dikaji berdasarkan pendekatan Antropologi.
Selanjutnya, pembaca akan menyadari betapa pentingnya mengetahui dan memahami
budaya masyarakat dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku dalam suatu
negara.
Antropologi merupakan disiplin ilmu yang luas di mana humaniora, sosial, dan ilmu
pengetahuan alam digabung dalam menjelaskan apa itu manusia dan artinya
menjadi manusia. Antropologi dibangun berdasarkan pengetahuan dari ilmu alam,
termasuk penemuan tentang asal usul dan evolusi Homo sapiens, ciri-ciri fisik
manusia, perilaku manusia, variasi di antara berbagai kelompok manusia, bagaimana
masa lalu evolusi Homo sapiens telah memengaruhi organisasi dan budaya sosial.
Serta dari ilmu-ilmu sosial, antropologi memelajari organisasi hubungan manusia
sosial dan budaya, sistem keturunan dan hubungan kekerabatan, spiritualitas dan
religi, lembaga, konflik sosial, dan lain-lain. Antropologi awal berasal dari Yunani
klasik dan Persia yang memelajari dan mencoba untuk memahami keragaman
budaya yang dapat diamati. Pada saat ini, antropologi (akhir abad ke-20) telah
menjadi sentral dalam pengembangan beberapa bidang interdisipliner baru seperti
ilmu kognitif, studi globalisasi, genetik, dan berbagai penelitian etnis.
Dalam ilmu antropologi terdapat salah satu fokus kajian tentang perilaku komunikasi
khususnya etnografi komunikasi yang diartikan sebagai perilaku yang terbentuk dari
tiga integrasi keterampilan yang dimiliki oleh setiap individu sebagai makhluk sosial
yaitu keterampilan linguistik, keterampilan interaksi, dan keterampilan budaya.
Perilaku komunikasi menuntut adanya suatu bentuk penguasaan dari beberapa
keterampilan dan kompetensi, baik dalam bentuk keterampilan linguistik atau
bahasa, keterampilan berinteraksi, dan keterampilan budaya dalam berperilaku dari
individu. Perilaku komunikasidipahami sebagai bentuk integrasi dari dua kata, yaitu
perilaku (behavior) dan komunikasi (communication). Perilaku atau yang disebut
dengan istilah aktivitas diartikan sebagai bagian dari konsep stimulus dan respon
dalam teori psikologi. Kata perilaku juga dapat diartikan sebagai sebuah perbuatan
yang dapat dibagi menjadi dua macam seperti perbuatan terbuka (overt) dan
tertutup (covert).
Kajian tentang karakter dalam masyarakat pada studi-studi antropologi dimasukkan
ke dalam kajian antropologi psikologi dengan memfokuskan kepada konsep utama,
yakni kepribadian (personality). Terbentuknya karakter masyarakat berada dalam
konteks kebudayaan suatu masyarakat dapat membetuk pula kepribadian tetapi
sangat bergantung kepada proses pembelajaran dalam perilaku individu (learned
behaviors)yang mendukug kebudayaan tersebut.[11]Faktor yang mempengaruhi
pandangan antropologi dari sudut pandang antropologi psikologis adalah individu
dapat memilih kebudayaan sendiri saat dimensi psikologisnya sesuai dengan
kebudayaan tersebut.[12]

Bab V. Kesimpulan dan Analisis Kritis

Antropologi ini merupakan konteks kebudayaan suatu masyarakat yang dapat membentuk pula

Kepribadian seseorang tapi sangat penting jika bergantung pada proses belajar karena dalam ini kita dapat

mempengaruhi pandangan antropologi dari sudut padang antropologi psikologis adalah yang dimana

sesuatu individu dapat memilih untuk saat dimensi psikologi nya sesuai dengan adanya kebudayaan dari

antropologi tersebut. Antropologi ini memang dasarnya udah ada pada kebudayaan lokal sehingga

masyarakat dapat mengetahui apa yang di maksud oleh antropologi tersbut,kini budaya-budaya yang ada

di Indonesia terkenal dengan adanya perubahan pada budaya nya sendiri dan orang asing pun banyak

yang berkunjung ke Indonesia dengan tujuan untuk digunakan sebagai media liburan,para turis ini sering

datang ke Indonesia karena keindahan negara nya sendiri yang menyebabkan adanya dampak tertentu

yang menarik wisatawan lokal maupun wisatawan luar. Karena namanya budaya pasti banyak pengunjung

yang akan meminati atau menjadikan moment tersebut sebagai adanya bentuk sosial yang dimana banyak

terdapat kajian-kajian tertentu. Salah satu budaya yang paling terkenal di Indonesia adalah BATIK. Batik

merupakan budaya khas Indonesia yang bertujuan untuk menciptakan adanya kerukunan terhadap bangsa

Indonesia. Banyak masyarakat yang mengagumi budaya Indonesia yang terkenal di negara lainnya seperti

negara tetangga dan kini batik khas Indonesia merupakan batik khas internasional yang dimana terkenal

dengan keunikan nya.

Kritis berarti “mendongkrak” sedangkan Analisis berarti “menguraikan”.


Perbedaan antara keduanya yaitu, Berfikir kritis adalah kegiatan
menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik,
membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan
mengembangkannya kea rah yang lebih sempurna.

Berfikir kritis adalah kegiatan menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik,
membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya
kea rah yang lebih sempurna.

Sedangkan berfikir analisis merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur ke


dalam komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Tujuan
pokoknya adalah memahami sebuah konsepglobal dengan cara menguraikan atau merinci
globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan terperinci.
A. Kemampuan Berfikir Analitis Berpikir secara
analitis (analytical thinking) diperlukan terutama
dalam memecahkan suatu masalah. Namun,
diperlukan teknik dan kerangka kerja yang
sistematis (systematic framework) untuk
mempercepat penemuan solusi terhadap
masalah tersebut. 
Analysis Adalah proses yang dilakukan secara
hati-hati dengan membagi-bagi masalah dengan
melalui aplikasi teknis analisis dan penerapan
pengetahuan yang tepat. Sebagai contoh,
analisa fakta membutuhkan pembuktian
hipotesa. 

B. Kemampuan Berpikir Kritis


Berpikir kritis adalah proses yang melibatkan
operasi mental seperti induksi,
deduksi,klasifikasi, dan penalaran.

A.    Kemampuan Berfikir Analitis

Berpikir secara analitis (analytical thinking) diperlukan terutama dalam


memecahkan suatu masalah. Namun, diperlukan teknik dan kerangka kerja yang sistematis
(systematic framework) untuk mempercepat penemuan solusi terhadap masalah tersebut. 

Analysis Adalah proses yang dilakukan secara hati-hati dengan membagi-bagi


masalah dengan melalui aplikasi teknis analisis dan penerapan pengetahuan yang tepat.
Sebagai contoh, analisa fakta membutuhkan pembuktian hipotesa. 

B.     Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis adalah proses yang melibatkan operasi mental seperti induksi, deduksi,
klasifikasi, dan penalaran. Menurut Ennis (1985) serta Fogarty dan McTighe (1993) berpikir kritis
merupakan cara berpikir reflektif yang masuk akal atau berdasarkan nalar untuk menentukan apa
yang akan dikerjakan dan diyakini. Berpikir menggunakan proses secara simbolik yang menyatakan
objek-objek nyata, kejadian-kejadian dan penggunaan pernyataan simbolik untuk menemukan
prinsip-prinsip mendasar suatu objek dan kejadian (Arends, 2000). Di dalam proses berpikir
berlangsung kejadian menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi
atau pertimbangan yang seksama (Ibrahim dan Nur, 2000). Disampaikan oleh Diestler (1994) bahwa
dengan berpikir kritis, orang menjadi memahami argumentasi berdasarkan perbedaan nilai,
memahami adanya inferensi dan mampu menginterpretasi, mampu mengenali kesalahan, mampu
menggunakan bahasa dalam berargumen, menyadari dan mengendalikan egosentris dan emosi, dan
responsif terhadap pandangan yang berbeda.

Kemampuan berpikir kritis merupakan proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan.


Liliasari (2000) dan Krulik dan Rudnick (1999) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis
merupakan aktivitas berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis ini mengaktifkan kemampuan melakukan
analisis dan evaluasi bukti, identifikasi pertanyaan, kesimpulan logis, memahami implikasi argumen
(Friedrichsen, 2001). Lebih lanjut McMurarry et al (1991) menyampaikan bahwa berpikir kritis
merupakan kegiatan yang sangat penting untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu
merealisasikan pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis
pada siswa. Hal ini didukung oleh penyataan Friedrichsen (2001) dan King (1994) bahwa kemampuan
berpikir kritis seyogyanya dikembangkan sejak usia dini. Dinyatakan oleh Presseisen (1985) bahwa
agar siswa memiliki keterampilan intelektual tingkat tinggi harus dilatih keterampilan kritis, kreatif,
pemecahan masalah, dan membuat keputusan. Selanjutnya, disampaikan oleh Ennis (1993) bahwa
evaluasi terhadap kemampuan berpikir kritis antara lain bertujuan untuk mendiagnosis tingkat
kemampuan siswa, memberi umpan balik keberanian berpikir siswa, dan memberi motivasi agar
siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.

Daftar Pustaka
Bab I (www.kompasiana.com > daishg)
Bab II ( afiidburhanuddin.wordpress.com )
Bab III ( blog.unnes.ac.id )
Bab IV ( id.m.wikipedia.org>wiki>Antropologi)
Bab IV ( www.myedisi.com )
Bab V ( brainly.co.id )
Bab V ( thablikarisma.blogspot.com )

Anda mungkin juga menyukai