Anda di halaman 1dari 81

BAB I

PENGERTIAN ANTROPOLOGI

Tujuan Pembelajaran.

Setelah pembahasan topik ini diharapkan mahasiswa dapat memahami betapa


pentingnya pengetahuan tentang antropologi, sebagai salah satu pandangan awal mengenai
eksistensi manusia sebagai mahluk biologi dan mahluk budaya dalam kehidupan
bermasyarakat.

Standar Kompetensi 1. Mahasiswa dapat memahami pengertian antropologi baik secara


etimologi maupun secara terminologi. 2. Memahami ruang lingkup kajian antropologi. 3.
Mengetahui metodologi dan pendekatan antropologi.

A. Pengantar
Sewaktu saya mengawali perkuliahan terhadap mahasiswa semester awal,
kegiatan dimulai dengan perkenalan perindividu, kemudian dilanjutkan dengan
pengenalan mata kuliah. Salah satu pertanyaan yang selalu saya ajukan adalah “siapa
yang sudah pernah mendengar atau faham istilah antropologi ?” Pada suatu ketika
seorang mahasiswa mengacungkan tangan dan menjawab “ antropologi adalah ilmu yang
membicarakan/mengkaji tentang bintang-bintang”, sejenak suasana ruangan menjadi
hening. Mahasiswa tersebut rupanya menyamakan antropologi dengan ilmu astronomi.
Sebagian besar mahasiswa juga menjawab baru kali ini mereka mendapatkan pelajaran
antroplogi. Itu pertanda bahwa antropologi memang belum familiar di telinga para pelajar
di negeri ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu antropologi nanti diperkenalkan pada
pendidikan tingkat atas, itupun hanya terkhusus pada jurusan ilmu bahasa, sedangkan
jurusan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial tidak mendapakan pelajaran
antropologi. Nanti setelah di perguruan tinggi khususnya program studi rumpun ilmu
sosial dan humaniora, serta beberapa prodi ilmu agama menjadikan antropologi sebagai
mata kulian dasar umum (MKDU).
Keberadaan ilmu antropologi tentu bersama dengan ilmu sosial yang lain seperti
sosiologi, kini mulai mengambil peran praktis dalam membantu memecahkan problem
hidup sosial kemasyarakatan. Ilmu antropologi mulai dibutuhkan karena selama ini
pembangunan nasional cenderung pada aspek pembangunan fisik dan ekonomi, sehingga
indikator kemajuan suatu masyarakat selalu diukur dari kemajuan pembangunan sarana
fisik dan pendapatan perkapita, mengakibatkan sumber daya sosio-kultural yang menjadi
milik asasi setiap masyarakat diabaikan, sehingga tidak heran terjadi ketimpangan dalam
pemerataan pembangunan yang menyisakan persoalan sosial budaya.
Kini riset-riset antropologi secara praktis telah berguna dalam mengdiagnosa
persoalan sosial budaya seperti kemiskinan, pengangguran, anak jalanan, komonitas
keagamaan, agama lokal, masyarakat marjinal, eksisitensi hakhak adat, komonitas adat,
masyarakat urban, masyarakat nelayan, buruh, buruh tani, trafiking, kepemilikan tanah,
sampai pada persoalan seks komersial dan kesetaraan jender.

B. Arti Kata Antropologi


Secara arti kata-kata, istilah antroplogi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari asal
kata anthropos yang artinya manusia dan logos /logi yang artinya ilmu. Kemudian ditulis
dalam ejaan bahasa Inggris menjadi Anthroplogy. Sedangkan untuk ejaan dalam bahasa
Indonesia menjadi Antroplogi. Jadi kalau dalam bahasa Indonesia terdiri dari Antro
artinya manusia dan logo/logi artinya ilmu. Maka sepintas dari arti kata secata etimologi
dapat dikatakan bahwa antroplogi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia.
Beberapa defenisi berikut ini akan membantu kita dalam memahami pengertian ilmu
antroplogi.
1. Antropologi adalah studi untuk menyusun sejumlah generalisasi yang bermakna
tentang mahluk manusia dan tindakanya serta pengertian yang lengkap tentang
keragaman munusia baik kebudayaan maupun ciri fisiknya. (Haviland. 199: 29).
2. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia pada umunya baik mengenai
warna kulit, bentuk fisik maupun kebudayaan yang dihasilkan. (koentjaraningrat.
2009: 12).
3. Antropologi adalah ilmu yang membicarakan tentang beragam kebudayaan, perbedaan
dan persamaan fisik, sifat manusia dan kelembagaannya. (Keesing. 1999:1).
4. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia sebagi mahluk biologi
dan manusia sebagai mahluk sosio-budaya secara holistik, yaitu sebagai suatu
kesatuan bio-sosio-budaya. (Harsoyo. 1999: 1).
5. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dari asepk fisik psikis, sosial dan
budayanya sebagai suatu kesatuan yang menentukan tindakanya. (Penulis)
Penjelasan mengenai pengertian tentang antroplogi di atas dapat difahami bahwa
ilmu ini memfokuskan kajianaya terhadap manusia dalam arti manusia yang seutuhnya.
Yaitu manusia dari aspek bentuk fisik, manusia dari aspek ruhaniah, manusia dari aspek
nilai atau pikran/ide (budaya) dan manusia dari aspek tindakan, baik tindakan yang
bersifat individual maupun tindakan yang berkaitan dengan orang lain dan lingkungan
sekitarnya (sosial). Untuk memahami makna manusia seutuhnya dapat dilihat pada
pembahasan tentang bab kebudayaan.
BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI

Antropologi adalah salah satu bidang disiplin ilmu yang jenis keilmuannya murni dan
juga praktis. Sejarah munculnya keilmuan ini, berawal dari bangsa Yunani dan Romawi.
Bapak sejarah Herodotus menulis 50 bahasa, seni, macam adat perkawinan serta
menganggap masyarakat saat itu melakukan perbandingan diantara budaya-budaya
masyarakat. Mereka memilki sikap dan pandangan meremehkan pada masyarakat dan
budaya-budaya lain. Diabad 1 M Tacitus menulis tentang suku-suku di Jerman. Fase
perkembangan Antropologi terbagi menjadi empat bagian:

1.Fase pertama (sebelum 1800)

Selama empat abad berselang. Dimulai sejak abad 15 hingga permulaan abad ke 16,
bangsa Eropa menularkan pengaruh besar terhadap berbagai suku, bangsa, masyarakat
hingga budaya setempat. Mereka melakukan penjajahan di tiga benua, afrika, asia dan
amerika. Ketika bangsa Eropa menemukan suatu hal yang aneh, suatu hal-hal yang baru di
tempat jajahannya. Mereka mencurahkan pengalaman-pengalaman yang mereka dapat ke
sebuah tulisan. Kumpulan-kumpulan tulisan itu disebut Etnographi. Terdapat beberapa
pendapat dalam segi sudut pandang seseorang dalam memaknainya. Mulai dari
beranggapan mereka (bangsa yang dijajah) adalah makhluk liar hingga sebutan-cebutan
keturunan iblis dilontarkan. Ada juga yang mencoba mengumpulkan barang-barang antik
lalu mengumpulkannya untuk diperlihatkan ke semua orang.

2.Fase kedua (sekitar abad ke 19)

Pada pertengahan abad ke 19 ini, antropologi lebih condong digunakan untuk


mengklasifikasikan tingkat-tingkat budaya dengan meneliti sejarah penyebaran
kebudayaan-kebudayaan di muka bumi. Orang Eropa menganggap kebudayaan bangsa-
bangsa diluar Eropa adalah bangsa yang kuno. Dengan mempelajarinya sama halnya
mereka mencari tahu sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Karangan-karangan
etnografi berdasarkan cara berfikir evolusi masyarakat. Maknanya masyarakat dan
kebudayaan manusia berevolusi dengan sangat lambat hingga memerlukan waktu yang
sangat lama.

3.Fase ketiga (permualaan abad ke 20)


Pada permulaan abad ke-20, bahan-bahan etnografi lebih difahami lagi demi
mengetahui seluk-beluk suatu bangsa, mempelajari kelemahan-kelemahannya lalu
menaklukannya. Masa ini memperlihatkan bahwa disiplin ilmu Antropologi berperan aktif
sebagai ilmu terapan. Tujuannya hanya untuk mengetahui pengertian masyarakat masa kini
yang kompleks dan berfungsi untuk menundukkan bangsa-bangsa lain seperti benua
Amerika, Asia dan juga Afrika yang sudah ada dalam genggaman Eropa barat.

4.Fase keempat (sesudah kira-kira 1930)

Pada masa ini perkembangan antropologi bertambah pesat dan luas. Bertambahnya
pengetahuan yang lebih teliti dan ketajaman dalam metode ilmiahnya sangat mengesankan.
Adanya perkembangan yang pesat ini mengakibatkan hilangnya sedikit demi sedikit
masyarakat primitif dan kebudayaan-kebudayan kuno. Antropologi dimasa ini berperan
dalam dua hal yakni, dalam bidang akademik dan juga tujuan praktis. Tujuan dalam bidang
akademiknya berusaha untuk mencapai pengertian manusia dengan mempelajari keragaman
bentuk fisik, masyarakat dan kebudayaannya. Sedangkan tujuan praktisnya adalah
mempelajari, memahami dan membangun masayarakat suku bangsa.
BAB III

KONSEP KEBUDAYAAN

Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi.
Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini.
Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan
istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang
sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa
Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya
istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli
Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli
Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada
sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian
banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi tentang
arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang
ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan
pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari: “Kebudayaan adalah seluruh cara
kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang
dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek
kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap,
dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok
penduduk tertentu. Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan
dengan beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan.

Konsep-konsep kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan


pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan
dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan dan persamaan mahluk manusia dengan
mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak
mempunyai kesamaankesamaan. Bagaimana konsep kebudayaan membantu dalam
membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting disini adalah kemampuan
belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan aktifitasnya hari demi hari, bulan demi
bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai
pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan
perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu untuk
koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat
lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah
akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah
menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal
ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa dari manusia untuk belajar dari
pengalamannya. Benar bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar karena mahluk
lainnya pun ada yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia sangat luar-
biasa dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan
apa yang telah dipelajari itu.

A. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar

Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia
tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu
ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan
perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan,
semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri.
Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi
kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar
yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa
yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia
perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompokkelompoknya menyebabkan
manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara
makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan
tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut
perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu
untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari
banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu makan. Dulu manusia makan
disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat khusus dimana makanan itu
dimakan. Hal ini semua terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang
dilakukan oleh generasi sebelumya atau lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan
berguna dalam hidupnya. Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak
dipelajari. Semut semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki
kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi
pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya
dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola
kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.

B. Kebudayaan Milik Bersama

Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang


individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi
membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para
warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang
sama yang didapat melalui proses belajar. Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai
seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan
yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian
masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu
wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk
tetangganya.

C. Kebudayaan sebagai Pola

Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-


pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya
pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat hal-
hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban yang
harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut
dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam
kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai
hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti
norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut
dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal tersebut
dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut telah
dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat.

Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para
pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya
selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan
itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang
atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan
kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan
langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam
kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap
melanggar tata kesopanan atau yang ada.

Akan ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal
yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada,
akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-tertib
yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan
yang berlaku dalam masyarakatnya. Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika
seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam gereja. Ada
sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini. Kalau si
individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke gereja, mungkin dia hanya
akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu tadi adalah seorang
wanita dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan di
tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum.

Dalam pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan oleh


orang yang melanggar tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan
tersebut tidak akan mendapat respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan yang lain
karena tindakan tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak
akan ada orang yang melarang seseorang di pasar Hamadi, Jayapura untuk berbelanja
dengan menggunakan bahasa Polandia, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena tidak
ada yang memahaminya. Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti
menghilangkan kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang
pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-
kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanan-tekanan
sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka
yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat
mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas. Kenyataan
bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa
kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya disesuaikan
dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu
strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak
disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan
akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam
lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan
berarti setiap ada mode yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat
menyesuaikan diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang
dikenal dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang
mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi
pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung
kebudayaan tersebut.

D. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif

Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan


melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada kebutuhan-kebutuhan
fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-
geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan
tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok
masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan
lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran
kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat tertentu pada kaum ibu
sesudah melahirkan anaknya sampai anak tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di
luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakat
pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut
mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik dimana mereka berada.
Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan
mereka, sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah
pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi
sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut
untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan pantangan-
pantangan tersebut.

Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan oleh
kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh
beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi.
Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang
awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun
kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan banyak
sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila
kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan
didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka
mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya
dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu
cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian
masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu
sama.

Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang
berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut
mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain
yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasan–alasan ini
sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya.
Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu menyesuaikan diri pada
suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya orang akan mengubah
tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu keadaan yang baru
sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi.
Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk
menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak
kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini.

Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru sebagai bentuk penyesuaian terhadap


keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka
tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian
terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah merugikan mereka
sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam suatu kelompok
masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku
pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu
dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi
dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap
lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti
telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut. Siapa saja dalam
masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini tergantung dari masyarakat itu
sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap
masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra
antara berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan
muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.
BAB IV
TEORI ANTROPOLOGI

A. Evoliusionisme
Pemikiran dasar evolisionisme adalah bahwa ada suatu kepastian dalam tata
tetib perkembangan, yang melintasi kebudayaan dengan kecepatan yang agak kecil
agak besar (Baal,1988; 114). Misalkan saja dalam bidang perkawinan, Edward
Watermarck bahwa ada hubungan analogis antara hewan dan manusia.Khususnya
pada jenis burung, telah ada pemilihan keturunan, bahkan burung jantan juga
memelihara anak-anaknya. Hal ini mengidentifikasiakan bahwa masa silam
perkawinan manusia pun tidak tidak campur aduk, malinkan telah ada proses yang
beradap. Perkawinan masa lalau telah berlangsung lama, telah memikirkan hubungan
seksual, dan karenanya memerlukan perawatan.Perkawinan besar kemungkinananya
berupa warisan. Homo sapiens, aslinya juga pemakan buah, seperti juga manusia kera
tadinya hidup dalam kelompok-kelompok kecil.Jika mereka berpencar lalu terjadi
perkawinan campur aduk, sebenarnya merupakan mitos manusia purba saja.Seperi
hanya penemuan masyarakat Andaman, bahwa suatu pasangan bercerai untuk
mencuri patner baru, setelah mereka disapi.Ternyata penelitian menunjukkan, orang
Andaman suami-istri yang sangat setia. Tentu saja proses semacam ini bergerak
sedikit demi sedikit seiiring dengan perkembangan budaya mereka. 

B. Difusionisme
Difusi adalah salah satu bentuk penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu
tempat ke tempat lainnya. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika teori
evolusi kebudayaan dari Tylor dan Morgan masih populer, aliran difusi mulai
mempengaruhi ahli antropologi dari berbagai tempat dunia. Dua aliran utama yang
mempunyai pandangan difusi dari aliran Inggris dan aliran Jerman-Austria. Aliran
difusi Inggris adalah G. Elliot Smith. William J. Perry dan W.H.R.,  mereka
berpendapat bahwa evolusi yang sejajar atau pararel yang berlangsung terpisah dari
sesuatu unsur kebudayaan di dua daerah yang berjauhan adalah jarang sekali terjadi.
Mereka juga beranggapan bahwa pada hakekatnya manusia tidak cenderung
menciptakan hal-hal baru dan lebih suka meminjam saja penemuan-penemuan dari
kebudayaan orang lain lebih daripada menciptakan unsur budaya sendiri. Sama halnya
pada aliran Jerman-Austria yang sams-sama beranggapan bahwa manusia lebih suka
meminjam kebudayaa lain. Karena dasarnya manusia itu bukan pencipta ide baru.

C. Fungsionalisme
Tokoh utama teori ini adalah Bronislaw Malinowski yang memiliki anggapan
atau asumsi bahwa setiap unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana
unsur terdapat atau dapat dikatakan bahwa pandangan fungsionalisme terhadap
kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi
kebiasaan. Pemikiran Bronislaw Malinowski  mengajukan beberapa unsur pokok
kebudayaan yang meliputi, sebagai berikut:
a. Sistem normatif yaitu sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antara
para anggota masyarakat agar dapat menguasai alam di sekelilingnya.
b. Organisasi ekonomi
c. Mechanism and Agencies of education yaitu alat-alat dan lembaga-lembaga atau
petugas untuk pendidikan. Misalnya keluarga, karena keluarga adalah berperan
sebagai lembaga awal dalam mengajarkan pendidikan sebelum memasuki dunia
pendidikan.
d. Organisasi kekuatan (the organization of force). Bronislaw Malinowski sebagai
penganut teori fungsional selalu mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur
kebudayaan untuk keperluan masyarakat.

D. Fungsionalisme-Struktural
Sama halnya Bronislaw Malinowski yang menjadi tokoh utama dalam aliran
fungsionalisme, dalam aliran fungsionalisme-struktural yang tokoh utamanya adalah 
Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Yang sama-sama alhli lain dalam antropologi
sosial mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalism.
Tetapi ada perbedaan sudut pandang bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah
berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk
mempertahankan struktural sosial masyarakat. Satu contoh kongkret dari pendekatan
yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah analisa tentang cara
penanggunlangan mengenai ketegangan yang kecenderungan timbul di antara orang-
orang yang  terikat karena perkawinan, yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat
yang berbeda-beda.Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsional strutural
ini, adalah sulitnya untuk menentukan apakah satu kebiasaan tertentu pada nyatanya
berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat.

E. Strukturalisme
Dari sudut pandang Claude Levi-Strauss sebagai tokoh terkemuka dari
pendekatan analisa kebudayaan yang dinamakan  Struktural Perancis. Struktural Levi-
Straus berbeda dengan Struktural  Racdcliffe-Brown,karena permasalahn yang
menjadi perhatian utama dari Brown adalah elemen yang bagaimanakah yang
berfungsi dalam masyarakat, sedangkan Levi-Straus lebih konsentrasi pada asal-usul
dari sistem dan selalu memandang sebagai kebudayaan. Seperi halnya adanya
upacara-upacara dan pola kehidupan sehari-hari. Antropologi Levi-Straus juga
bertujuan untuk menemukan model-model bahsa dan budaya melalui struturnya yaitu
pemahaman terhadap pikiran dan perilaku kehidapan manusia.

F. Etnosains
Etnosains  dapat dikatakan sebagai suatu susunan bahasa. Bila dalam
pendekatan struktural dari Levi-Straus dimasukkan aturan-aturan mengenai cara
berfikir yang mungkin melatar belakangkan suatu kebudayaan dalam antropologi
pastinya memunculkan etnografi dalam kebudayaan  di masyarakat, dalm suatu
pendekatan etnografis yang baru diberi nama ethosciece, aturan-aturan demikian
dicoba dirumuskan berdasarkan analisa logis dan data etnografis dan kemungkinan
bahwa analisa itu  berpendapat jika dapat diungkapkandiwarnai oleh penilaian sepihak
dari peneliti. Banyak pengikut ethnoscience berpendapat jika dapat diungkapkan
aturan-aturan yang menjadi dasar dari perilaku budaya yang tepat, maka banyak hal
yang dilakukan oleh manusia  dan alasan mengapa dia berlaku seperti itu, seperti
halnya dengan tata bahasa yang tidak menjelaskan mengapa suatu bahasa memiliki
sifat-sifat yang ada  dan bagaimana proses perubannya.

G. Simbolik
Geertz adalah seorang pakar Antropologi Amerika yang memperkenalkan
perspektif baru di bidang antropologi untuk melengkapi beberapa perspektif
sebelumnya, yaitu aliran struktural fungsional yang berkembang di Inggris melalui
tokoh-tokohnya, seperti Bronislaw Malinowski dan Redelife Brown. Dan juga aliran
evolusionis yang berkembang lebih dahulu sebelum aliran, struktural-fungsional
memperoleh pengakuan akademis, dengan tokohnya, seperti Frazer, Tylor, dan Maret.
Di Amerika, aliran struktural fungsional berkembang berkat karya Turner yang
merupakan guru Clifford Geertz. Meskipun kemudian terdapat perbedaan di dalam
perspektif antropologinya.Jika Turner lebih mengarah ke antropologi sosial
sebagaimana aliran ini berkembang di Inggris, maka Geertz lebih masuk ke dunia
budaya atau kajian antropologi budaya, terutama kajian-kajian tentang dinamis
hubungan antara agama dan budaya.Di antara karya itu adalah the Religion of
java,Islam Observed, dan karya lain misalnya Religion as a Cultural System.
Perspektif simbolik memang menjadi lahan baru di tengah berbagai aliran yang
sudah ada sebelumnya dan dirasakan mengalami kejenuhan. Akan tetapi, perspektif
ini sebagai kelanjutan tidak langsung dari perspektif fenomenologi-interpretatif di
dalam kajian-kajian agama memiliki “kesamaan”, yaitu ingin memahami apa yang
ada di balik fenomena. Ia tidak berhenti pada fenomena saja, tetapi bergerak menatap
lebih mendalam pada dunia fenomena yang sering dikonsepsikan sebagai pemahaman
interpretatif.
Kebudayaan dalam Perspektif Antropologi Simbolik. Kebudayaan adalah istilah
yang kompleks.Begitu kompleksnya sehingga terdapat sangat banyak definisi tentang
kebudayaan itu. Kluckholn, misalnya telah melakukan pelacakan terhadap sekian
banyak pengertian tentang kebudayaan dan kemudian merangkumnya menjadi:
1. Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat,
2. Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya,
3. Suatu cara berpikir, merasa, dan percaya,
4. Suatu abstraksi dari tingkah laku,
5. Suatu teori pada pihak antropologi tentang cara suatu kelompok
masyarakatnyatanyabertingkah laku,
6. Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar,
7. Seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah yang sedang berlangsung,
8. Tingkah laku yang di pelajari,
9. Suatu mekanisme untuk penataantingkah laku yang bersifat normative,
10. Seperangkat teknik untuk menyesuaikan, baik dengan linkungan luar maupun
dengan orang-orang lain
11. Suatu endapan sejarah.

H. Interprentivisme
Paradigma interpretivismemenekankan  cara pandang, pemahaman dan
makna.Dalam manajemen pendidikan, interpretifisme berada pada bagaimana
pendidikan diperoleh di managemen sedemikian rupa agar mencapai tujuannya.
Contoh yaitu: fenomena UAN yang meresahkan hampir semua civitas akademik
mulai dari siswa orang tua sampai pada perangkat sekolah, yang menuntut para guru
untuk selalu bekerja keras agar murid-muridnya lulus dengan nilai yang memuaskan.
Dengan cara memanajemen pendidikan maka “panekanan” terhadap siswa utuk lulus
akan semakin besar dengan tidak menggunakan rekayasa-rekayasa dalam pendidikan.

I. Postmodernisme
Istilah Postmodernisme dipopulerkan oleh para seniman, penulis, dan kritikus
sastra yang menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme berhenti
dalam birokrasi.Dalam bidang filsafat, Postmodernisme berarti kritik-krtik filosofis
atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain,
istilah postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik
atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Bahasa dan sastra
adalah salah satu cara untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi objek utama
dalam Hermeneutika. Hermeneutika menurut Gadamer adalah sebuah refleksi kritis
atas cara-cara kita memahami dunia dan atas bentuk-bentuk pemahaman itu.
Menurutnya, bahasa adalah cara yang khas dari manusia di dunia ini.
Menurut Pauline Rosenau (1992 dalam Ritzer, 2007) postmodernisme
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-
janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan
dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah
industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur
cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan,
tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme,
egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan
impersonal dan rasionalitas. teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang
biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan
sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi,
Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan
pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya,
merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat,
perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme. Postmodernisme
adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu : Ia melawan dan
mengaburkan pengertian postmodernisme. Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap
tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru, Sebuah zaman, zaman
apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan
berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah
ekonomi.
Adapun ciri-ciri dalam aliran antropologi teori postmodernisme, terdapat
delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
1. Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya
kepercayaan pada agama yang bersifat transenden , dan diterimanya pandangan
pluralisme relativisme kebenaran.
2. Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi
terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan
“agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan
oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa,
semisal program televisi.
3. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga
sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran
sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk
membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
5. Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan
wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi
menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang.Ibarat negara maju
sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
6. Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
7. Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi
tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret
serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat
pada kelompok budaya secara eksklusif.
8. Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan
ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era
postmodernisme” banyak mengandung paradoks

Antropologi semakin berkembang karena adanya teori-teori yang bermunculan dan


berkembang. Teori antropologi tersebut adalah sebagai berikut:

A. Teori Evolusionisme Deterministik

Teori Evolusionisme Deterministik dapat dikatakan sebagai teori tertua di deretan teori
antropologi. Teori ini dikembangkan oleh Lewis Henry Morgan dan Edward Burnet
Tylor. Teori ini muncul dari anggapan adanya hukum universal yang mengendalikan
perkembangan semua kebudayaan manusia. Berdasarkan teori ini setiap kebudayaan
mengalami fase-fase atau evolusi. Lewis Henry Morgan (1818-1881) menggambarkan
proses evolusi masyarakat dan kebudayaan dengan delapan tahap evolusi universal yang
dituangkan dalam karyanya dengan judul Ancient Society. Delapan tingkat evolusi
tersebut adalah zaman liar, zaman liar madya, zaman liar muda, zaman barbar tua, zaman
barbar madya, zaman barbar muda, zaman peradaban purba dan zaman peradaban masa
kini.

B. Teori Partikularisme
Teori partikularisme muncul setelah berakhirnya masa teori evolusionisme. Pemikiran
baru ini dipelopori oleh Franz Boas (1858-1942) yang menentang teori evolusionisme.
Teori ini disebut juga sebagai partikularisme historic. Boas tidak setuju dengan teori
evolusi tentang adanya hukum universal yang menguasai kebudayaan. Boas berpendapat
meskipun hanya satu unsur, kebudayaan tetap harus dipelajari dalam konteks masyarakat
di mana unsur tersebut berada. Teori partikularisme berpandangan bahwa perkembangan
tiap kebudayaan mempunyai kekhasan sendiri-sendiri dan tidak dapat digeneralisasikan
ke dalam aturan atau hukum yang universal.
C. Teori Fungsionalisme

Teori fungsionalisme dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1942). Teori ini


beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan adalah bagian-bagian yang berguna bagi
masyarakat di mana unsur-unsur tersebut berada. Pandangan fungsionalis menekankan
bahwa setiap pola perilaku, kepercayaan dan sikap yang menjadi bagian dari kebudayaan
suatu masyarakat, memiliki peran mendasar di dalam kebudayaan yang bersangkutan.

Antropologi semakin ramai diperbincangkan karena adanya teori-teori yang bermunculan


serta berkembang. Berikut teori antropologi yg berkembang di masyarakat. Teori
Evolusionisme Deterministik bisa dikatakan merupakan bagian dari teori tertua diantara teori
antropologi lainnya. Teori ini dikemvangkan oleh Lewis Henry Morgan serta Edward Burnet
Tylor. Teori ini berhasil memunculkan adanya hukum universal, dimana hukum ini yang
mengendalikan perkembangan keseluruhan kebudayaan manusia. Teori ini yang mendasari
setiap kebudayaan serta mengalami fase-fase dan juga evolusi. Lewis Henry Morgan sendiri
menggambarkan proses evolusi yang terjadi pada masyarakat serta kebudayaan kedalam
delapan tahap evolusi universal. Gagasan ini dituangkan kedalam karyanya yang
berjudul Ancient Society. Delapan tahapan ini terdiri atas zaman liar, zaman liar madya,
zaman liar muda, zaman barbar tua, zaman barbar madya, zaman barbar muda, zaman
peradaban purba serta zaman peradaban masa kini.
METODE ANTROPOLOGI

Antropologi menggunakan beberapa metode tertentu dalam melakukan penelitian.


Metode tersebut digunakan untuk mengembangkan konsep aturan, teori dan generalisasi
namun hanya beberapa yang memiliki konsep dan aturan yang baku sedangkan yang lain
masih bersifat tradisi. Metode-metode tersebut dapat digunakan bersama atau salah satu
metode dapat juga lebih dominan dari metode lain. Berikut ini merupakan metode dalam
antropologi:

A. Kelangkaan metode yang baku


Antropologi dapat digolongkan sebagai keilmuan yang masih baru sehingga belum
mengembangkan metode penelitian yang sistematis dan jelas. Hal ini dapat dilihat dari
tulisan etnografis masa lalu yang menunjukkan sedikitnya perhatian pada metode
penelitian.
B. Observasi Partisipan
Observasi merupakan salah satu metode penelitian dengan melakukan pengamatan
terhadap obyek yang diteliti. Observasi partisipan dapat digunakan oleh ahli antropologi
dengan cara hidup bersama dalam suatu kebudayaan yang tengah diteliti. Ahli
antropologi bukan hanya berinteraksi dengan orang didalam budaya tersebut namun
juga mempelajari bahasa dan aktif dalam kegiatan masyarakat tersebut.
C. Indepth Interview
Wawancara merupakan salah satu metode penelitian yang sering digunakan dalam
penelitian ilmu sosial. Indepth interview biasanya dikombinasi dengan observasi untuk
mendapatkan hasil secara lengkap. Wawancara dapat dilakukan dengan non sistematik
dan informal. Ahli antropologi biasanya memilih narasumber yang telah dikenal dan
mempercayainya atau memilih narasumber yang dipandang bisa memberi informasi
secara rinci dan akurat mengenai berbagai aspek budaya yang sedang diteliti.
D. Memperkecil Kesalahan
Seringkali dalam suatu penelitian, peneliti akan menemukan perbedaan informasi yang
didapatkan. Informasi yang diberikan dari subyek yang berbeda dapat bertentangan
sehingga perlu dilakukan upaya untuk memperkecil kesalahan tersebut. Mengulang
observasi atau wawancara dan melakukan cross-check dengan informan lain akan sangat
berguna dalam memperkecil kesalahan.
E. Kecenderungan Menggunakan Metode Tradisional
Peneliti antropologi jarang menggunakan kuisioner atau angket tertulis. Hal ini
dilakukan untuk menjembatani subyek yang sebagian buta aksara. Peneliti antropologi
cenderung menggunakan metode antropologi tradisional meski saat ini mereka banyak
mempelajari kelompok masyarakat modern.

Hasil intisari dari pemikiran Koentjaraningrat (1984) dan Sjafri Sairin (2010) guna
menjadikan antropologi berperan dalam memajukan pembangunan sosial di Indonesia. Apa
yang tertuang dalam tulisan ini merupakan deskripsi bagaimana antropologi berjalan melalui
pendekatan-pendekatan yang ada dalam ilmu tersebut. Meskipun pada masa kini, metode atau
pendekatan antropologi telah mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
kehidupan manusia. Ada lima metode yang berhasil dihimpun dari kedua tokoh antropologi
Indonesia tersebut. Masing-masing memiliki hubungan, cara dan penerapannya yang khas.
Berikut disajikan kelima metode itu :

1. Metode holistik. Holistik berarti menyeluruh. Yang diartikan dari pendekatan ini adalah
meneliti suatu masalah social budaya dalam rangka kehidupan masyarakat secara
menyeluruh. Metode ini dikembangkan dalam fasenya untuk masyarakat pedesaan (rural)
kecil yang dapat dicakup seluruhnya. Dalam suatu penelitian lapangan dan waktu yang
cukup lama. Begitu juga oleh Sairin (2010), pendekatan ini menekankan pada
pemahaman dari keseluruhan jaringan dari fenomena sosial masyarakat yang diteliti
(structural functional analysis).
2. Metode mikro. Sebagai konsekuensi dari penerapan pendekatan di atas, maka antropolog
mempelajari segi-segi rinci/detil dari suatu gejala hingga terkumpul semua data yang
sangat mendalam dan konkret mengenai suatu masalah sosial budaya tertentu. Data
konkrit ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk menganalisa masalah-masalah serupa
pada kasus-kasus lain sehingga didapat pengertian umum yang sangat mendalam terhadap
masalah bersangkutan. R. Firth, seorang antropolog Inggris mengatakan bahwa
pendekatan terhadap masalah sosial-budaya ini merupakan sifat yang khas dari ilmu
antropologi dan malah menyebut ilmu antropologi sebagai “sosiologi mikro (micro
sociology)”.
3. Metode semiotik. Pendekatan ini lebih menekankan kepada pemahaman kebudayaan
berdasarkan pada interpretasi yang dilakukan peneliti dari pandangan dasar subyek
penelitian atau native’s point of view. Menurut Sairin (2010) metode semiotik semakin
banyak digunakan akhir-akhir ini. Terutama dengan munculnya tokoh antropologi seperti
Goodenough dan Clifford Geertz. Dalam mertode semiotik ini analisa yang bersifat thick
description sangat ditekankan. Meskipun pendekatan atau metode yang digunakan
antropolog berbeda-beda, tetapi mereka umumnya tetap melakukan penelitian dengan
metode disebut kualitatif dengan observasi partisipasi (participant observation)
4. Metode komparatif. Metode ini menjadi kebiasaan antropologi sejak permulaan
sejarahnya. Hal tersebut dikarenakan antropologi selalu menghadapi gejala aneka warna
bentuk masyarakat dan kebudayaan yang besar. Berbagai metode komparatif
(perbandingan) sudah dikembangkan, salah satu diantaranya adalah metode perbandingan
“lintang kebudayaan” atau “cross-cultural method”. Cara kerja metode ini adalah
dipergunakan satu atau beberapa gejala sosial budaya yang serupa dalam suatu sampel
(contoh) yang cukup besar dari kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang tersebar luas.
5. Metode behavioristik. Metode ini hampir mirip dengan metode komparatif. Menurut
Sairin (2010), metode yang lebih mengarah kepada penelitian yang bersifat komparasi
dari behavior (tingkah laku) berbagai segmen (lapisan) masyarakat dengan menggunakan
kombinasi psiko-analisa, learning theory, dan antropologi budaya.

Dengan metode-metode yang khas tadi, ilmu antropologi dapat digunakan untuk melakukan
penelitian terhadap beberapa masalah tertentu yang biasanya bersifat menghambat proses
proses pertumbuhan pembanguan ekonomi yang cepat. Antropolog diminta untuk menambah
pengertian para perencana pembanguan dengan memberikan data mendalam mengenai
masalah-masalah tadi melalui jalur penelitian atau jalur konsultasi dalam rapat-rapat kerja
lokakarya atau seminar-seminar pembangunan. Adapun masalah pembangunan yang khas
untuk ilmu antropologi yaitu :

1. Masalah penduduk
2. Masalah struktur masyarakat desa
3. Masalah migrasi, transmigrasi, dan urbanisasi
4. Masalah interasi nasional
5. Masalah pendidikan dan modernisasi

Namun, seiring perkembangan kehidupan manusia, kini permasalahan yang lain pun turut
ditangani oleh antropolog, seperti ekologi, politik, kesehatan, dan teknologi, dan lain-lain.
BAB V

STRUKTUR SOSIAL

Ilmu antropologi sosial adalah salah satu ilmu sosial yang bertugas mempelajari
struktur-struktur sosial dari sebanyak mungkin masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan, dan
membandingkannya dengan metode analisa komparatif untuk mencari azas-azasnya. Dengan
demikian dapat dikembangkan suatu klasifikasi besar dari semua jenis struktur sosial yang
ada di dunia, ke dalam beberapa tipe dan sub-tipe struktur sosial yang terbatas.

Seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial pada dimensi diadik
maupun diferensialnya, serta morfologi sosial maupun fisiologi sosialnya, dapat mengerti
latar belakang kehidupan kekerabatan, ekonomi religi, mitologi, dan sektor-sektor dalam
kehidupan. Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas dari
suatu sistem sosial atau suatu kesatuan masyarakat sebagai organisma. hal itu telah menjadi
masalah bagi para ahli ilmu sosial sejak lama.

A. Pengertian Struktur Sosial


Struktur sosial dapat diartikan sebagai susunan atau bentuk yang tidak harus
berbentuk fisik. Karena struktur sosial merupakan susunan sosial berbentuk kelompok
yang ada di suatu daerah. Terdapat beberapa pengertian struktur sosial menurut para ahli
diantaranya adalah :
1. George Simmel, struktur sosial adalah kumpulan individu serta pola perilakunya.
Sedangkan menurut George C. Homans struktur sosial adalah suatu hal yang memiliki
hubungan baik terhadap perilaku sosial dari dalam kehidupan sehari-hari.
2. Menurut William Kornblum struktur sosial adalah susunan yang dapat terjadi karena
adanya sebuah pengulangan pola perilaku individu. Menurut Soerjono
Soekonto struktur sosial merupakan hubungan timbal balik antara posisi dan peranan
sosial.

Nah, didalam sebuah struktur pasti ada bentuk yang menguatkan suatu struktur
tersebut. Penguatan struktur sosial adalah bentuk struktur sosial. Bentuk dari struktur
sosial adalah stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Stratifikasi sosial sendiri merupakan
bentuk dari unsur sosial contohnya adalah melakukan sebuah interaksi dengan orang lain
yang ada di dalam masyarakat dalam waktu lama. Dengan hal tersebut tatanan kehidupan
masyarakat yang baik akan terbentuk di seluruh masyarakat. Intinya stratifikasi sosial
merupakan perbedaan yang vertikal, dapat memicu munculnya hierarki dan juga kelas
sosial masyarakat. Sebuah dasar yang digunakan untuk mengelompokkan masyarakat pada
stratifikasi sosial diantaranya adalah faktor kekayaan, pendidikan, kekuasaan, keturunan,
dan lain sebagainya. Sedangkan pengertian dari diferensiasi sosial adalah penggolongan
masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan. Pembedaan masyarakat dengan cara horizontal
ini sengaja diberikan agar tidak ada kelas sosial yang timbul. Dengan ini masyarakat
dikategorikan sebagai perbedaan yang setara. Beberapa diferensiasi diantaranya adalah
diferensiasi ras, diferensiasi klen, suku bangsa, profesi, agama, jenis kelamin, dan
diferensiasi harta.

B. Ciri-Ciri Struktur Sosial


Struktur sosial dikatakan struktur karena memiliki sebuah ciri-ciri yang komprehensif.
Ciri-ciri struktur sosial sendiri bisa di kelompokan menjadi empat golongan yaitu:
1. Terdapat pada suatu kelompok masyarakat. Bisa dikatakan sebagai suatu kelompok
masyarakat jika pada individu memiliki status serta peran ketika dalam kelompok.
Peran dan juga macam status setiap sistem sosial memiliki peran yang berbeda-beda.
Sehingga sangat baik jika individu bisa menyesuaikan diri.
2. Berkaitan dengan kebudayaan masyarakat. Munculnya budaya karena adanya suatu
masyarakat, kebudayaan memiliki sebuah struktur sendiri. di Indonesia kebudayaan
setiap daerah berbeda-beda, tetapi hal tersebut tidak menjadi sebuah masalah yang
besar karena kita sebagai masyarakat Indonesia mengamalkan Bhineka Tunggal Ika
( Berbeda-beda tetapi tetap satu jua)
3. Aspek dinamis, berasal dari kedudukan atau status. Ketika seorang individu berhasil
melaksanakan kewajiban maka secara otomatis seseorang telah berhasil
menyelesaikan peranannya. Peranan merupakan sebuah tingkah laku yang diharapkan
kepada orang yang memiliki sebuah status dan kedudukan. Diharapkan peranan
muncul pada orang yang memiliki status kedudukan.
4. Bersifat abstrak, yang dimaksud dengan abstrak disini adalah sesuatu yang tidak
tampak dan tidak bisa diraba. Karena struktur sosial merupakan sebuah hierarki
kedudukan dari tingkat yang rendah sampai ke tingkat tinggi. fungsi dari abstrak ini
agar saluran kekuasaan dan pengaturan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat tetap
sesuai dengan porsinya dan merata.

C. Fungsi Struktur Sosial


Fungsi yang menonjol dari struktur sosial terbagi menjadi beberapa macam
diantaranya adalah :
1. Fungsi Kontrol, fungsi control adalah untuk mengontrol individu ataupun masyarakat
agar tidak sampai melanggar sebuah nilai, norma, ataupun peraturan yang telah
diterapkan kepada masyarakat. Harapan adanya teori ini agar masyarakat jera dan
tidak sampai melakukan hal-hal yang dilanggar oleh masyarakat.
2. Fungsi identitas, fungsinya sebagai penegas identitas yang terdapat dalam sebuah
masyarakat. Dalam hal ini kelompok yang dimaksud adalah yang memiliki latar
belakang sama, sosial, budaya, dan juga ras.
3. Fungsi pembelajaran, terakhir adalah individu dapat mempelajari sebuah struktur
sosial yang berlaku di suatu masyarakat, kedisiplinan, ketaatan, dan juga kebiasaan.

Agar lebih jelas lagi, kita akan memberikan beberapa contoh yang tepat untuk
dipahami. Diantaranya :

1. Ascribed status, contoh nya adalah kasta, kasta dapat diberikan tanpa melihat suatu
karakteristik pada seseorang dan secara otomatis didapatkan karena faktor keturunan.
2. Achived status, contohnya adalah menjadi dokter, guru, hakim. Intinya beberapa
pekerjaan yang diperoleh dari usaha pribadi.
3. Assigned status, adalah sesuatu yang diberikan kepada orang yang telah berjasa pada
masyarakat. Sebagai contoh adalah peraih nobel, pahlawan, pejuang bangsa, dan lain
sebagainya.

Adanya struktur sosial dari sebuah Negara memang penting adanya, kita sebagai
bangsa Indonesia pasti sudah merasakan efek dari struktur sosial ini. semakin baik
struktur sosial yang ada di dalam sebuah kelompok, daerah, ataupun Negara semakin baik
pula tatanan yang ada didalamnya. Meskipun sampai saat ini terdapat beberapa daerah
yang masih rumit, misalnya saja daerah perkotaan yang kompleks, perumahan dan
sebagainya, masyarakat perkotaan tetap di stratifikasikan menurut perbedaan pekerjaan,
tingkat pendidikan, kepemilikan ekonomi, dan beberapa hak istimewa

Sebaliknya, masyarakat homogeny dibedakan berdasarkan perbedaan kekuasaan,


usia, senioritas. Hal ini berfungsi untuk meratakan kecenderungan masyarakat yang masih
homogen. Menarik sekali bukan pembahasan mengenai struktur sosial didalam sebuah
Negara? Meskipun selalu ada sebuah perbedaan di masyarakat, kita harus selalu
menghargai satu sama lain agar tidak sampai ada permusuhan di negeri ini. Bhineka
Tunggal Ika adalah hal yang harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari agar selalu
bisa memahami keyakinan orang lain dengan baik.
BAB VI

MASYARAKAT

A. Pengertian Masyarakat
Manusia adalah makhluk yang hidup secara kolektif, berbagai kekurangan
membuat manusia merasa butuh dengan orang lain. Dengan kolektifitas ini, manusia
dapat hidup secara bahu membahu, saling membantu sehingga membuat manusia
semakin kuat sehingga dapat bertahan dalam mempertahankan kelangsungan hidup.
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society ) adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
“masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih
abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar
entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain).Umumnya,istilah masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.Kata
society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan
yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti
society berhubungan erat dengan kata sosial.

Menurut ahli seperti menurut Koentjaraningrat Masyarakat adalah kesatuan


hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang
bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat sering
diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu
sosial mengidentifikasikan ada: masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis,
masyarakat bercocoktanam, dan masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut
masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-
industri sebagai kelompok masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural
tradisional. Unsur – Unsur Masyarakat, menurut Soerjono Soekanto alam masyarakat
setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini : Berangotakan minimal dua orang,
Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan, Berhubungan dalam waktu yang cukup lama
yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-
aturan hubungan antar anggota masyarakat, Menjadi sistem hidup bersama yang
menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota
masyarakat

Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar
sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat yaitu : Ada sistem
tindakan utama, Saling setia pada sistem tindakan utama, Mampu bertahan lebih dari
masa hidup seorang anggota, Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari
kelahiran / reproduksi manusia. Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara
utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada:
masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan
masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian
pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok
masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.

B. Ciri-ciri dan Karateristik Masyarakat Kota dan Masyarakat Desa


1. Masyarakat Kota memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pengaruh alam terhadap masyarakat kota kecil
b. Mata pencahariannya sangat beragam sesuai dengan keahlian dan
ketrampilannya.
c. Corak kehidupan sosialnya bersifat gessel schaft (patembayan), lebih
individual dan kompetitif.
d. Keadaan penduduk dari status sosialnya sangat heterogen
e. Stratifikasi dan diferensiasi sosial sangat mencolok. Dasar stratifikasi adalah
pendidikan, kekuasaan, kekayaan, prestasi, dll.
f. Interaksi sosial kurang akrab dan kurang peduli terhadap lingkungannya.
Dasar hubungannya adalah kepentingan.
g. Keterikatan terhadap tradisi sangat kecil
h. Masyarakat kota umumnya berpendidikan lebih tinggi, rasional, menghargai
waktu, kerja keras, dan kebebasan
i. Jumlah warga kota lebih banyak, padat, dan heterogen
j. Pembagian dan spesialisasi kerja lebih banyak dan nyata
k. Kehidupan sosial ekonomi, politik dan budaya amat dinamis, sehingga
perkembangannya sangat cepat.
l. Masyarkatnya terbuka, demokratis, kritis, dan mudah menerima unsur-unsur
pembaharuan.
m. Pranata sosialnya bersifat formal sesuai dengan undang-undang dan peraturan
yang berlaku
n. Memiliki sarana – prasarana dan fasilitas kehidupan yang sangat banyak.
2. Masyarakat kota memiliki karakteristik antara lain :
a. Anonimitas. Kebanyakan warga kota menghabiskan waktunya di tengah-
tengah kumpulan manusia yang anonim.Heterogenitas kehidupan kota dengan
keaneka ragaman manusianya yang berlatar belakang kelompok ras, etnik,
kepercayaan, pekerjaan, kelas sosial yang berbeda-beda mempertajam
suasana anonim.
b. Jarak Sosial. Secara fisik orang-orang dalam keramaian, akan tetapi mereka
hidup berjauhan.
c. Keteraturan. Keteraturan kehidupan kota lebih banyak diatur oleh aturan-
aturan legal rasional. (contoh: rambu-rambu lalu lintas, jadwal kereta api,
acara televisi, jam kerja, dll)
d. Keramaian (Crowding). Keramaian berkaitan dengan kepadatan dan tingginya
tingkat aktivitas penduduk kota. Sehingga mereka suatu saat berkerumun pada
pusat keramaian tertentu yang bersifat sementara (tidak permanen).
e. Kepribadian Kota Sorokh, Zimmerman, dan Louis Wirth menyimpulkan
bahwa kehidupan kota menciptakan kepribadian kota, materealistis,
berorientasi, kepentingan, berdikari (self sufficient), impersonal, tergesa-gesa,
interaksi social dangkal, manipualtif, insekuritas (perasaan tidak aman) dan
disorganisasi pribadi.
3. Masyarakat Pedesaan:
a. Letaknya relatif jauh dari kota dan bersifat rural
b. Lingkungan alam masih besar peranan dan pengaruhnya terhadap kehidupan
masyarakat pedesaan
c. Mata pencaharian bercorak agraris dan relatif homogen (bertani, beternak,
nelayan, dll)
d. Corak kehidupan sosialnya bersifat gemain schaft (paguyuban ddan memiliki
community sentiment yang kuat)
e. Keadaan penduduk (asal-usul), tingkat ekonomi, pendidikan dan
kebudayaannya relatif homogen.
f. Interaksi sosial antar warga desa lebih intim dan langgeng serta bersifat
familistik
g. Memiliki keterikatan yang kuat terhadap tanah kelahirannya dan tradisi-tradisi
warisan leluhurnya
h. Masyarakat desa sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip kebersamaan /
gotong royong kekeluargaan, solidaritas, musyawarah, kerukunan dan
kterlibatan social.
i. Jumlah warganya relatif kecil dengan penguasaan IPTEK relatif rendah,
sehingga produksi barang dan jasa relatif juga rendah
j. Pembagian kerja dan spesialisasi belum banyak dikenal, sehingga deferensiasi
sosial masih sedikit
k. Kehidupan sosial budayanya bersifat statis, dan monoton dengan tingkat
perkembangan yang lamban.
l. Masyarakatnya kurang terbuka, kurang kritis, pasrah terhadap nasib, dan sulit
menerima unsur-unsur baru
m. Memiliki sistem nilai budaya (aturan moral) yang mengikat dan dipedomi
warganya dalam melakukan interaksi sosial. Aturan itu umumnya tidak
tertulis
n. Penduduk desa bersifat konservatif, tetapi sangat loyal kepada pemimpinnya
dan menjunjung tinggi tata nilai dan norma-norma ang berlaku.

Dalam pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat, dapat digolongkan


menjadi masyarakat sederhana dan masyarakat maju (masyarakat modern) :

a. Masyarakat Sederhana. Dalam lingkungan masyarakat sederhana (primitif) pola


pembagian kerja cenderung dibedakan menurut jenis kelamin. Pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin, nampaknya berpngkal tolak dari kelemahan dan
kemampuan fisik antara seorang wanita dan pria dalam menghadapi tantangan
alam yang buaspada saat itu. Kaum pria melakukan pekerjaan yang berat-berat
seperti berburu, menangkap ikan di laut, menebang pohon, berladang dan
berternak. Sedangkan kaum wanita melakukan pekerjaan yang ringan-ringan
seperti mengurus rumah tangga,menyusui dan mengasuh anak-anak ,merajut,
membuat pakaian, dan bercocok tanam.
b. Masyarakat Maju. Masyarakat maju memiliki aneka ragam kelompok sosial, atau
lebih dikenal dengan kelompok organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dan
berkembang berdasarkan kebutuhan serta tujuan tertentu yang akan dicapai.
Organisasi kemasyarakatan tumbuh dan berkembang dalam lingkungan terbatas
sampai pada cakupan nasional, regional maupun internasional.
Dalam lingkungan masyarakat maju,dapat dibedakan sebagai kelompok
masyarakat non industi dan masyarakat industri.
1) Masyarakat Non Industri. Secara garis besar, kelompok nasional atau
organisasi kemasyarakatan non industri dapat digolongkan menjadi dua
golongan:
Kelompok primer. Dalam kelompok primer, interaksi antar anggota
terjalin lebih intensif, lebih erat, lebih akrab. Kelompok primer ini juga
disebut kelompok “face to face group”, sebab para anggota sering berdialog
bertatap muka. Sifat interaksi dalam kelompok primer bercorak kekeluargaan
dan lebih berdasarkan simpati. Pembagian kerja dan tugas pada kelompok
menenerima serta menjalankannya tidak secara paksa, namun berdasarkan
kesadaran dan tanggung jawab para anggota secara sukarela. Contoh-
contohnya : keluarga, rukun tetangga, kelompok agama, kelompok belajar dan
lain-lain.
Kelompok sekunder. Antaran anggota kelompok sekunder, terpaut
saling hubungan tak langsung, formal, juga kurang bersifat kekeluargaan.
Oleh karena itu sifat interaksi, pembagian kerja, antaranggota kelompok
diatur atas dasar pertimbangan-pertimbangan rasiomnal dan objektif.
Para anggota menerima pembagian kerja/tugas berdasarkan kemampuan dan
keahlian tertentu, disamping itu dituntut pula dedikasi. Hal-hal tersebut
dibutuhkan untuk mencapai target dan tujuan tertentu yang telah di flot dalam
program-program yang telah sama-sama disepakati. Contohnya: partai politik,
perhimpunan serikat kerja/buruh, organisasi profesi dan sebagainya.
Kelompok sekunder dapat dibagi dua yaitu : kelompok resmi (formal group)
dan kelompok tidak resmi (informal group). Inti perbedaan yang terjadi
adalah kelompok tidak resmi tidak berststus resmi dan tidak didukung oleh
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) seperti lazim
berlaku pada kelompok resmi.
2) Masyarakat Industri. Durkheim mempergunakan variasi pembagian kerja
sebagi dasar untuk mengklarifikasikan masyarakat, sesuai dengan taraf
perkembangannya, tetapi ia lebih cenderung memergunakan dua taraf
klarifikasi, yaitu sederhana dan yang kompleks. Masyarakat yang berada di
antara keduanya daiabaikan (Soerjono Soekanto, 1982 :190).
Jika pembagian kerja bertambah kompleks, suatu tanda bahwa kapasitas
masyarakat bertambah tinggi. Solidaritas didasarkan pada hubungan saling
ketergantungan antara kelompok-kelompok masyarakat yang telah mengenal
pengkhususan. Otonomi sejenis juga menjadi cirri dari bagian/kelompok-
kelompok masyarakat industri dan diartikan dengan kepandaian/keahlian
khusus yang dimiliki seseorang secara mandiri, sampai pada batas-batas
tertentu. Laju pertumbuhan industri-industri berakibat memisahkan pekerja
dengan majikan menjadi lebih nyata dan timbul konflik-konflik yang tak
terhindarkan, kaum pekerja membuat serikat-serikat kerja/serikat buruh yang
diawali perjuangan untuk memperbaiki kondisi kerja dan upah. Terlebih
setelah kaum industralis mengganti tenaga manusia dengan mesin.
BAB VII

KEBUDAYAAN

A. Definisi Kebudayaan
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Kata tersebut sebenarnya
berasal dari bahasa Latin = colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah
menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata itu diberi arti “pembentukan dan
pemurnian jiwa”. Sedangkan kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata
buddayah. Kata buddayah berasal dari kata budhi atau akal. Manusia memiliki unsur-
unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga
potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah
hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
cipta manusia mengembangkan kemampuan alam pikir yang menimbulkan ilmu
pengetahuan. Dengan rasa manusia menggunakan panca inderanya yang
menimbulkan karya-karya seni atau kesenian. Dengan karsa manusia menghendaki
kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan sehingga berkembanglah kehidupan
beragama dan kesusilaan.

B. Pendapat Para Ahli Tentang Kebudayaan


1. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski : segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
2. Andreas Eppink : kebudayaan mengandung keseluruhan
pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur
sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan
artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
3. Edward B. Tylor : kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai
anggota masyarakat.
4. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi : kebudayaan adalah sarana hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat. Menurut Ki Hajar Dewantara: “Kebudayaan
adalah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat” sedangkan menurut
Koentjaraningrat, guru besar Antropologi di Universitas Indonesia: “Kebudayaan
adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara
belajar”.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai


kebudayaan yaitu : sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan
itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang
diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan
hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Adapun point utama yang harus dipenuhi oleh konsep kebudayaan adalah :
kebudayaan itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia; kebudayaan itu tidak
diturunkan secara biologis melainkan diperoleh melalui proses belajar; dan
kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.

C. Unsur – Unsur Kebudayaan


Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada
semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia.
1. Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu:
a. Sistem religi yang meliputi : sistem kepercayaan sistem nilai dan pandangan
hidup komunikasi keagamaan upacara keagamaan
b. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan
asosiasi dan perkumpulan sistem kenegaraan sistem kesatuan hidup
perkumpulan
c. Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan tentang: flora dan fauna
waktu, ruang dan bilangan tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia.
d. Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk: lisan tulisan.
e. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat relief lukis dan gambar rias vokal
musik bangunan kesusastraan drama.
f. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi: berburu
dan mengumpulkan makanan bercocok tanam peternakan perikanan
perdagangan.
g. Sistem peralatan hidup atau teknologi yang meliputi: produksi, distribusi,
transportasi peralatan komunikasi peralatan konsumsi dalam bentuk wadah
pakaian dan perhiasan tempat berlindung dan perumahan
senjata.
2. Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:
alat-alat teknologi sistem ekonomi keluarga kekuasaan politik.
3. Bronislaw Malinowski  mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:
sistem norma yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat
untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya organisasi ekonomi
alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga
adalah lembaga pendidikan utama) organisasi kekuatan (politik).

D. Wujud dan Komponen


1. Wujud
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan,
aktivitas, dan artefak. Gagasan (Wujud ideal) Wujud ideal kebudayaan adalah
kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau disentuh.
Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam pemikiran warga
masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam
bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
Aktivitas (tindakan)Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula
disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati
dan di dokumentasikan. Artefak (karya) Artefak adalah wujud
kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan di dokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud
kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud
kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain.
Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada
tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
2. Komponen
Berdasarkan wujudnya tersebut, kebudayaan dapat digolongkan atas dua
komponen utama: Kebudayaan material Kebudayaan material mengacu pada
semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret. Termasuk dalam kebudayaan
material ini adalah temuan-temuan yang dihasilkan dari suatu penggalian
arkeologi: mangkuk tanah liat, perhiasan, senjata, dan seterusnya. Kebudayaan
material juga mencakup barang-barang, seperti televisi, pesawat terbang, stadion
olahraga, pakaian, gedung pencakar langit, dan mesin cuci.
Kebudayaan nonmaterialKebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak
yang diwariskan dari generasi ke generasi, misalnya berupa dongeng, cerita
rakyat, dan lagu atau tarian tradisional.

E. Hubungan Antara Unsur-Unsur Kebudayaan


Komponen-komponen atau unsur-unsur utama dari kebudayaan antara lain:
1. Peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi).
Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta
memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-
cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan
rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian. Masyarakat kecil
yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang hidup dari pertanian paling
sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional (disebut juga sistem
peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu: alat-alat produktif senjata wadah
alat-alat menyalakan api makanan pakaian tempat berlindung dan perumahan alat-
alat transportasi.
2. Sistem mata pencaharian hidup.
Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-
masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya: berburu dan meramu
beternak bercocok tanam di ladang menangkap ikan.
3. Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur
sosial. M. Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan
suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari
masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri
dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan.
Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik,
paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi,
ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil
hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di
masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga
inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral. Sementara itu,
organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik
yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi
sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara.
Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia
membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak
dapat mereka capai sendiri.
4. Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk
saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan
(bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada
lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan
diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus
mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan
fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk
berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk
mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus
adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari,
mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuna, dan untuk
mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
5. Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi
hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga.
Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan
berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian
yang kompleks.
6. Sistem kepercayaan
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam
menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat
terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi
dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu
bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup
bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan
kepada penguasa alam semesta. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali
terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar
dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur
kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia.
7. Sistem ilmu dan pengetahuan
Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia
tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh
semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-
percobaan yang bersifat empiris (trial and error). Sistem pengetahuan tersebut
dikelompokkan menjadi : pengetahuan tentang alam pengetahuan tentang tumbuh-
tumbuhan dan hewan di sekitarnya pengetahuan tentang tubuh manusia,
pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku sesama manusia pengetahuan
tentang ruang dan waktu.

F. Penetrasi (Difusi) Kebudayaan


Perubahan sosial budaya, ditinjau dari pahan non linearisme, dapat terjadi bila
sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing (penetrasi ) atau
karena gejala alam (lingkungan). Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala
berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial
budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap
masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang
selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan
manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan.Ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan sosial : tekanan kerja dalam masyarakat
keefektifan komunikasi perubahan lingkungan alam. Perubahan karena alam
lingkungan : Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan
lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai
contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan
kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.
Perubahan Karena Pengaruh Kebudayaan Lain : Penetrasi kebudayaan adalah
masuknya pengaruh suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, umumny amenjadi
penyebab utama terjadinya perubahan sosial budaya non alami Penetrasi kebudayaan
dapat terjadi dengan dua cara: Penetration pasipique Masuknya sebuah kebudayaan
dengan jalan damai. Misalnya, masuknya pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke
Indonesia. Penerimaan kedua macam kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan
konflik, tetapi memperkaya khasanah budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua
kebudayaan ini pun tidak mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya
masyarakat.Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi,
Asimilasi, atau sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga
membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.
Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara
kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya dua
kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan sintesis adalah
bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan
baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli. Penetration violante
Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak. Contohnya,
masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan disertai dengan
kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang merusak keseimbangan
dalam masyarakat.
G. Peradaban
Istilah peradaban dalam bahasa Inggris disebut Civilization. Istilah peradaban
sering dipakai untuk menunjukkan pendapat dan penilaian kita terhadap
perkembangan kebudayaan. Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai
puncaknya berwujud unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan,
luhur dan sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan tersebut dikatakan telah
memiliki peradaban yang tinggi. Dengan batasan-batasan pengertian di atas maka
istilah peradaban sering dipakai untuk hasil-hasil kebudayaan seperti: kesenian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, adat sopan santun serta pergaulan. Selain itu juga
kepandaian menulis, organisasi bernegara serta masyarakat kota yang maju dan
kompleks. Tinggi rendahnya peradaban suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh faktor
pendidikan, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tiap-tiap masyarakat atau
bangsa di manapun selalu berkebudayaan, akan tetapi tidak semuanya telah memiliki
peradaban yang tinggi. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil budidaya
manusia baik cipta, karsa dan rasa.
Kebudayaan berwujud gagasan/ide, perilaku/aktivitas dan benda-benda.
Sedangkan peradaban adalah bagian-bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah
dan maju antara lain :
1. Kebudayaan sebagai peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan "budaya" yang dikembangkan
di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang "budaya" ini
merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan
daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap 'kebudayaan' sebagai
"peradaban" sebagai lawan kata dari "alam". Menurut cara pikir ini, kebudayaan
satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti
lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk
pada benda-benda dan aktivitas yang "elit" seperti misalnya memakai baju yang
berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan
digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian,
dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat
bahwa musik klasik adalah musik yang "berkelas", elit, dan bercita rasa seni,
sementara musik tradisional dianggap sebagai musik
yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia
adalah orang yang sudah "berkebudayaan".
Orang yang menggunakan kata "kebudayaan" dengan cara ini tidak percaya
ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada
satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara
pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka
yang "berkebudayaan" disebut sebagai orang yang "tidak berkebudayaan"; bukan
sebagai orang "dari kebudayaan yang lain." Orang yang "tidak berkebudayaan"
dikatakan lebih "alam," dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen
dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran "manusia
alami" (human nature).
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan
antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu —
berkebudayaan dan tidak berkebudayaan— dapat menekan interpretasi perbaikan
dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan "tidak
alami" yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal
ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap
mengekspresikan "jalan hidup yang alami" (natural way of life), dan musik klasik
sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan. Saat ini kebanyakan ilmuwan sosial
menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan
konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan
yang sebelumnya dianggap "tidak elit" dan "kebudayaan elit" adalah sama —
masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat
diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan
sebagai Kultur populer (Popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau
aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.
2. Kebudayaan sebagai "sudut pandang umum "Selama Era Romantis, para
cendikiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap
gerakan nasionalisme — seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk
menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas
melawan Kekaisaran Austro-Hunggaria — mengembangkan sebuah gagasan
kebudayaan dalam "sudut pandang umum".
Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki
perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat
diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya
pemisahan antara "berkebudayaan" dengan "tidak berkebudayaan" atau
kebudayaan "primitif." Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah
memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari
teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan
berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.Pada tahun 50-
an, subkebudayaan-kelompok dengan perilaku yang sedikit berbedan dari
kebudayaan induknya-mulai dijadikan subjek penelitian oleh para ahli sosiologi.
Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan - perbedaan
dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.
3. Kebudayaan sebagai mekanisme stabilisasi.
Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa (suatu) kebudayaan adalah
sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju
kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut
dengan tribalisme.

H. Kebudayaan Menurut Wilayah.


Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling
keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan
teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi,
dan agama. Adapun dari berbagai negara :
1. Afrika
Beberapa kebudayaan di benua Afrika terbentuk melalui penjajahan Eropa, seperti
kebudayaan Sub-Sahara. Sementara itu, wilayah Afrika Utara lebih banyak
terpengaruh oleh kebudayaan Arab dan Islam.
2. Amerika
Kebudayaan di benua Amerika dipengaruhi oleh suku-suku Asli benua Amerika;
orang-orang dari Afrika (terutama di Amerika Serikat), dan para
imigran Eropa terutama Spanyol, Inggris, Perancis, Portugis, Jerman,
dan Belanda.
3. Asia
Asia memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, meskipun
begitu, beberapa dari kebudayaan tersebut memiliki pengaruh yang menonjol
terhadap kebudayaan lain, seperti misalnya pengaruh kebudayaan Tiongkok
kepada kebudayaan Jepang, Korea, dan Vietnam. Dalam bidang agama,
agama Budha dan Taoisme banyak mempengaruhi kebudayaan di Asia Timur.
Selain kedua Agama tersebut, norma dan nilai Agama Islam juga turut mem-
pengaruhi kebudayaan terutama di wilayah Asia Selatan dan tenggara.
4. Australia
Kebanyakan budaya di Australia masa kini berakar dari
kebudayaan Eropa dan Amerika. Kebudayaan Eropa dan Amerika tersebut
kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan lingkungan benua Australia,
serta diintegrasikan dengan kebudayaan penduduk asli benua Australia, Aborigin.
5. Eropa
Kebudayaan Eropa banyak terpengaruh oleh kebudayaan negara-negara yang
pernah dijajahnya. Kebudayaan ini dikenal juga dengan sebutan "kebudayaan
barat". Kebudayaan ini telah diserap oleh banyak kebudayaan, hal ini terbukti
dengan banyaknya pengguna bahasa Inggris dan bahasa Eropa lainnya di seluruh
dunia. Selain dipengaruhi oleh kebudayaan negara yang pernah dijajah,
kebudayaan ini juga dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani kuno, Romawi kuno,
dan agama Kristen, meskipun kepercayaan akan agama banyak mengalami
kemunduran beberapa tahun ini.
6. Timur Tengah dan Afrika Utara
Kebudayaan didaerah Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini kebanyakan sangat
dipengaruhi oleh nilai dan norma agama Islam, meskipun tidak hanya agama
Islam yang berkembang di daerah ini.
BAB VIII

ANTROPOLOGI TERAPAN

Dalam kajian Antropologi kita dituntut untuk mempelajari apa-apa yang dilakukan
oleh manusia yang itu menjadi kebiasaan,namun jika kita memaparkan semua yang ita
omongkan tidak ada salahnya karena omomgan terebut bisa menjadikan pembelajaran dan
kesan dari diri ita yang kita ingat, omomgan-omongan tersebut bisa menjadi fakta maupun
hanya omong kosong maka sebagai antropolog kita harus memperhatikan saat seseorang
mengomongkan sesuatu, karena omongan yang meyakinkan belum tentu sepenuhnya benar
dan yakin oleh orang lain.

Antropologi itu kasat mata, jika seperti apa memang tidak bisa dilihat dengan mata
kita tidak akan tahu jika melihat kebiasaan orang lain sebagai antropologi , namun bisa
dirasakan dengan cara kegiatan sehari-hari yang biasa kita lakukan seperti makan,minum dan
tidur merupakan wujud nyata dari antropologi.

Antropologi merupakan kajian tentang kebudayaan atau gambaran tentang


kebudayaan ,karena apa-apa yang menurutnya tentang budaya itulah antropologi. Semua hal
dan kebiasan yang dilakukan menjadi kebiasaan dan tradisi merupakan salah satu pokok
utama bentuk antropologi, antropologi itu tidak bisa kita ketahui kebenaranya karena
bersifat abstrak namun antropologi bisa kita rasakan dengan diri kita dengan mengamatinya
secara visual. Jika terkadang sistem sosial budaya yang disangkutkan dengan antropologi
memang termasuk dengan antropologi karena itu merupakan kebiasaan-kebiasaan yang selalu
dilakukan dan menjadi kebiasaan lalu, menjadikan sebuah simbol-simbol di daerah tertentu
yang hanya di mengerti oleh orang-orang daerah tertentu. Contoh dari antropologi ini adalah
tradisi slametan atau pesta komunal yang dilakukan orang jawa, biasanya dilakukan sore hari
setelah magrib ataupun sesudah solat isya. Slametan ini dilakukan oleh para pria yang berdoa
untuk mendoakan orang yang di slameti tersebut untuk di berikan keberkahan terhadap
Tuhan. Sedangkan para wanitanya ikut slametan namun bekerja di belakang di dapur untuk
mempersiapkan hidangan –hidangan pada saat slametan, nah itulah kebudayaan jawa yang
sampai sekarang masih ada dan eksis.

Jadi antropologi yang akan dibangun di dalam masyarakat adalah antropologi yang
menuntut zaman saatberkembang jadi mengikuti perkembangan zaman, dari hal-hal yag baru,
sebagai antropolog kita harus menjadi antropolog yang cerdas dengan cara melakukan riset-
riset mengenai antropologi, dengan mengungah kasus-kasus yang baru dan jarang, nah jadi
kita secara otomatis memperbarui dan membangun kebudayaan-kebudayan yang baru lewat
antropologi tersebut,jadi kita selain melakukan penelitian kita juga membangun kebudayaan
atau menemukan hal baru dari masyarakat di lingkungan kebudayaan untuk di bangun di
zaman yang baru sebagai pemaparan antropologi.

Pastinya antropologi akan di bawa ke dalam lingkup masyarakat , yang memiliki


keragaman-keragaman budaya yang menarik, jadi antropologi tidak hanya di bawa di dalam
diri kita ataupun di dalam diri masyarakat, karena banyak hal-hak yang menarik lainya yang
bisa kita kaji melalui antropologi, karena di zaman sekarang ini susah dan sulit untuk
menebak dan ditebak tentang presepi orang dan kebudayaan,nya yang akan di kaji
tersebut,tidak mudah dan bukan secara instan, butuh waktu berbulan-bulan dan juga bisa
bertahun-tahun untuk mengetahui serta mendalami sifat,tingkah laku dan kebiasaan yang
dilakukan masyarakat tersebut, belum juga nantinya kepastiaan yang sudah menjadi titik
fokus kita kan mengalami perubahan dari informan yang kita wawancarai saat kita
melakukan riset, maka dari itu sebagai antropolog kita harus jeli dan pintar-pintar dalam
mengambil kesimpulan agar kita dapat mendapatkan informasi yang benar,nyata dan juga
bukan abal-abal yang nantinya tidak sesuai dengan kebudayaan yang dilakukan masyarakat
tersebut di dalam lingkungannya.

Sebenarnya jika menurut aliran-aliran yang kita ketahui bersifat positif kenapa tidak
kita ikuti, karena itu juga bermanfaat bagi diri kita sebagai antropolog, sejauh mana
perkembangan informasi dari aliran yang berkembang tersebut. Apakah masih asli
kebudayaan yang diturunkan oleh leluhurnya ataukah sudah terjadi pergeseran atau
modifikasi kebudayaan yang dialami oleh kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam kasus ini
kita bisa mengambil positif dan negatif , dari kasus yang positif dari aliran yang tidak
berubah meskipun mengalami perkembangan yang pesat di zaman globalisasi saat ini.
Contoh di pulau bali beragam kebudayaan yang asli dan yang kuat begitu jelas akan
kebergaman budayanya , saat Bali melakukan ritual atau hari raya nyepi semua yang
berhubungan dengan kegiatan mausia dihentikan pada saat hari raya nyepi,bahkan bandara
pun tutup. Tak hanya itu umat muslim yang berada di bali juga meghormati dengan rasa
toleransi terhadap hari raya nyepi dengan cara tidak gaduh, jadi aliran yang seperti inilah dari
dahulu hingga sekarang yang harus dipertahankan. Dari segi pandang negatif dari perubahan
aliran antropologi ini adalah aliran ini menghendaki perubahan yang mengikuti zaman seperti
masyarakat papua yang begitu hebat dan kuat kebudayaan yang khas, namun sejatinya di
Papua terkenal dengan kebudayaan yang sering dikenakan oleh Masyarakat papua yaitu
koteka yang dikenakan sehari-hari menjadikan simbol dari rakyat papua yang merupakan
kebudayaanasli dan ciri khas dari Papua, namun secara perkembangan zaman di Papua malah
tidak diberlakukan lagi memakai koteka, malah sekarang jarang yang mengenakan koteka,
karena sesuai kebutuhan perkembangan zaman rakyat papua mengenakan kaos ataupun baju
sebagai penganti koteka untuk menutupi tubuhnya itu. Sangat disayangkan karena aliran
antropologi tersebut merupakan warisan leluhur yang wajib di jaga untuk diajarkan kepada
generai-generasi penerus bangsa, namun apa daya perkembangan zaman telah mengerus
kebudayaan yang asli tersebut.

Sebagai antropologi yang baik kita harus benar-benar faham untuk membuat
kesimpulan dari masalah-masalah aliran yang mengendaki perubahan terencana agar tetap
ada, jadi harus berjuang untuk memperjuangkan keaslian budaya dan bukan membiarkan
kebudayaan tergerus oleh zaman yang berkembang ini.

Sebenarnya perlu atau tidak perlunya perubahan terencana tersebut itu terganttung
oleh manusianya sendiri, karena manusia yang membuat ,melakukannya dan merusaknya
sendiri,jadi jika ada keperluaan perubahan kebudayaan yang terencana tersebut meskipu iti
ada segi positifnya ,namun secara tidak sadar perubahan yang kita rubah dari kebudayaan asli
yang kita rubah ataupun kita modifikasi, secara otomatis kita juga merusak kebudayaan asli
tersebut, meskipun tujuannya baik untuk mengkuti arus perkembangan zaman namu itu
kurang efisien untuk memerindah dan mempertahankan kebudayaan, sebagai cari amanya
kita harus menggambil jaan tengahnya supaya perubahan yang terencana tidak sepenuhnya
dibutuhkan sebagai perubahan yang terencana.

Pandangan dari setiap orang memang berbeda, namun ketika penjabaran-penjabaran


yang jelas dari keberagaman budaya tersebut memberikan gambaran yang jelas dan terbukti
dari kebudayaan tersebut yang dilakukan sat riset, dirasakan menurut saya meskipun
melakukan cara yang berbeda-beda dalam melakukan riset pasti tujuannya sama untuk
meneliti kebudayaan dari setiap daerah-daerah masing-masing yang berbeda. Jika orang yang
baru belajar antropologi ,kita bisa memberitahu bagaimana itu antropologi dan apa itu
antropologi,nah jika kita memberikan gambaran-gambaran tentang antropologi secara jelas
dan menarik pasti penjelasan tentang antropolgi yang kita transfer terhadap teman kita yang
masih belajar tersebut akan semakin yakin ,senang dan terngiang-ngiang berkat penjelasan
antropologi kita yang menarik. Jadi teman kita yang belajar tersebut akan semakin semanggat
untuk mempelajari antropologi. Jika nantinya setelah kita keluar dari jurusan antropologi
antropologi akan dikemanakan itu tergantung oleh presepsi setiap masing-masing indivi
,karena menurut saya sendiri saya akan membawa antropologi dalam kehidupan say dan akan
mempelajarinya lebih lanjut ke jenjang perkuliahan S2 bahkan sampai dengan desertasi saya
akan mempelajari antropologi, jadi ketakutan dari antropologi yang akan dibawa kemana
tidak akan dibawa hanya di bangku kuliah , namun nantinya akan dibawa untuk memberikan
pengajaran terhadap mahasiswa-mahasiswa yang saya ajarkan nantinya.

Pada nantinya akan memposisikan antropologi yang bagaimana, yaitu memposisikan


antropolog sebagai calon pengajar di dalam proses kegiatan belajar mengajar. Jadi
memposisikan diri menjadi antropolog yang cerdas dan mampu memberikan materi-materi
yang baik terhadap para calon pendidikan, namun tidak sekadar aktif di dalam untuk
melakukan pengajaran, namun aktif diluar sebagai antropolog umumnya melakukan sebuah
kegiatan penelitian-penelitian sebagai antropolog. Saya lebih berorientasi kepada hal
akademis, dikarenakan ilmu-ilmu antropologi yang sudah saya pelajari dan diterima di saat
bangku perkuliahan,dirasa sangat perlu di transfer kepada calon-calon pendidik yang
nantinya akan saya didik di dalam dunia pendidikan akademis, jadi ilmu yang saya terima
pada saat belajar antropologi dan yang sudah di ajarkan oleh pendidik tidak hanya sampai dan
berhenti di saya saja, karena itu nantinya akan diajarkan kepada calon –calon pendidik
akademis.

Sebagai rancangan dan rencana yng kuat untuk tetap berdiri tegap pada antropologi
kita harus banyak belajar-belajar dan terus belajar, karena tiada gading yang tak retak. Jika
kita terus berusaha untuk menjadi yang terbaik nantinya kita akan terus berusaha menjadi
yang terbaik. Jika dirasa kita gagal melakukan pengaplikasian terhadap ilmu
antropologi,rasanya kita tidak etis, mengapa demikian kita belajar dan melakukan sebuah
antrpologi setiap hari karena kita melakukan antropologi setiap saat yang tidak kita
sadari,kenapa kita takut untuk gagal saat mengaplikasikan sebuah antropologi. Jika kita
memilih sebuah aliran dipastikan sudah sesuai dan tepat untuk kita buat dipelajari dan
mengambil kesimpulannya ,intinya sudah diperkirakan apa-apa yang akan terjadi dan akan
dihadapi nantinya, dan sudah mempunyai senjata yang hebat untuk membuat dan melawan
rasa ketidak tegasan saat memilih aliran-aliran landasan yang menjadi pemikiran ke depan.
BAB IX

DINAMIKA KEBUDAYAAN DAN MASYARAKAT

A. Pengantar

Ahmad Sobari seorang budayawan mengatakan bahwa kebudayaan itu ibarat


seorang pemuda yang meninggalkan kampung halamanya ketika desanya sedang diairi air
yang jernih dari sungai, namun jangan berharap beberapa tahun kemudian, ketika pulang
kampung, air sungai itu masih jernih, bisa saja air itu telah kotor karena dicemari oleh
limbah, atau kering karena pendangkalan atau bisa jadi sungai itu sudah berubah menjadi
dataran. Itulah kebudayaan, selalau berubah dari waktu ke waktu. Perubahan kebudayaan
itu antara lain disebabkan karena masyarakat yang menjadi wadahnya ingin merubah
dirinya. Perubahan kebudayaan itu bisa berasal dari dalam kebudayaan sendiri maupun
faktor yang datang dari luar. Salah satu aspek yang secara langsung mempengaruhi
perubahan kebudayaan adalah ditemukanya teknologi, terutama teknologi informasi, baik
informaasi melalui media cetak maupun media elektronik. Manusia yang ingin tetap
dengan kebudayaanya adalah manusia yang tidak mau berkembang. Karena satu hal yang
menjamin suatu masyarakat bisa tetap eksis dalam kehidupan kebudayaanya adalah
kemampuan masyarakat tersebut beradaptasi dengan budaya global. Karena jika suatu
masyarakat tidak mampu beradaptasi dengan perubahan kebudayaan niscaya masyarakat
tersebut akan terhempas oleh arus perubahan kebudayaan itu sendiri.

B. Pengertian Dinamika Kebudayaan Kata

Dinamika berasal dari kata dynamic dari akar kata dynamo, yaitu alat peralatan
yang dipergunakan untuk menghidupkan sebuah mesin yang terbuat dari gulungan kabel
tembaga. Alat tersebut ketika berputar dalam kecepatan tinggi maka akan menghasilkan
energi listrik, energi itu kemudian disalurkan melalui suatu jaringan untuk dipergunakan
sesuai dengan kebutuhan. Jika jaringan tersebut dipergunakan untuk menyalakan lampu,
maka maka alat-alat berupa kabel akan disambungkan ke arah bola lampu. Dalam
kehidupan sehari-hari alat ini terdapat pada kendaraan bermotor, mobil, mesin parut,
genset dan lain sebagainya. Jadi peralatan tersebut bisa on atau hidup karena memiliki
dynamo yang bergerak terus menerus dan jika dimatikan maka otomatis dynamo ini akan
mati dengan sendirinya. Bila istilah dinamika ini dipergunakan dalam kaitannya dengan
kebudayaan dan masyarakat, maka yang dimaksud adalah bahwa kebudayaan dan
masyarakat tersebut senantiasa mengalami perubahan atau bergrek terus menerus secara
dinamis dan bukan sebaliknya yaitu tetap atau statis. Perubahan kebudayaaan dan
masyarakat selalu dikaitkan karena antara keduanya tidak dapat dipisakan. Sebagaimana
pembahasan sebelumnya bahwa setiap kebudayaan pasti ada masyarakatnya demikian
pula sebaliknya, setiap masyarakat mesti ada kebudayaanya, dengan kata lain masyarakat
adalah wadah tumbuhnya kebudayaan. Dari hubungan antara kebudayaan dan masyarakat
itu maka jika tejadi perubahan pada kebudayaan maka dengan sendirinya juga
menyebabkan terjadinya perubahan pada masyarakat. Secara umum sebab-sebab
terjadinya perubahan kebudayaan dan masyarakat karena dua faktor, yeitu faktor yang
berasal dari dalam masyarakatnya sendiri atau internal dan faktor yang diakibatkan oleh
pengaruh kebudayaan asing atau faktor luar.

C. Belajar Kebudayaan Sendiri

1. Faktor Internalisasi

Perubahan kebudayaan terjadi karena setiap individu dalam anggota


masyarakat senantiasa terus belajar dan mengalami hal-hal yang terjadi dalam
hidupnya sejak ia lahir sampai ajal menjemput maut. Sebagaimana seorang bayi yang
baru dilahirkan, dia dibekali oleh potensi yang dibawa sejak lahir yang terdiri dari
aspek pendengaran, penglihatan dan tanggapan, dan ketika ketiga aspek ini belum
berfungsi secara baik maka hal penting yang dilakukan oleh seorang bayi adalah
dengan menangis. Ketika seorang bayi menangis pada umunya disebabkan karena ia
sedang lapar dan haus, sedang mengantuk, sedang buang air atau sedang sakit, atau
sedang merasa tidak nyaman. Untuk menyampaikan bahwa ia telah mengalami hal
tersebut diatas maka cara yang bisa ia lakukan adalah dengan menangis. Setiap kali ia
manangis untuk manyampaikan perasaanya, maka orang tuanya atau orang di
sekitarnya akan bergegas menghapiri dia, memeriksa keadaannya untuk memastikan
faktor apa yang menyababkan terjadinya tangisan pada si bayi tersebut. Karena setiap
kali menangis ia selalau mendapat respon dari orang di sekitarnya, maka ia mulai
belajar memahami bahwa cara yang terbaik untuk menyampaikan hasrat dan
kemauanya adalah dengan jalan menangis. Namun demikian tentu tidak selamanya ia
akan menangis setiap kali menyampaikan kemaunya kepada orang disekelilingnya,
karena ketika ia mulai tumbuh menjadi anak-anak dan seterusnya ia akan melakukan
sesuai dengan perkembangan fungsi organ-organ tubuhnya. Ia mulai belajar
berinteraksi dengan orang disekelilingnya dengan berbicara, memberi isyarat,
tersenyum tentu sesekali ian juga akan menangis.

2. Sosialisasi

Sosialisasi secara harfiah artinya memperkenalkan sesuatu keluar dari


lingkungan sekitarnya. Yang dimaksud dalam sosialisasi dalam hubungan dengan
perubahan kebudayaaan adalah seorang individu mulai melakukan kontak sosial
dengan orang-orang di lingkungan sekitarnya sebagai suatu proses belajar
berkebudayaan dengan orang lain dimana ia berada. Proses itu kemudian membuat
seorang individu mulai faham bahwa dalam hidupnya ada orang lain yang memiliki
peran dan masing-masing orang memiliki ketergantungan dengan orang lain. Coba kita
perhatikan sekelompok anak-anak yang sedang bermaian atau coba kita mengingat
masa kecil kita. Dalam permainan berkelompok, tiba-tiba datang seorang kawan yang
ingin bergabung dalam permainan sambil membawa sepotong roti atau sebungkus
cemilan, kawanan bermainya akan segra merespon dengan meminta ia bergabung
kedalam kelompok bermaian mereka, namun tentu dengan suatu syarat yang diajukan
bahwa ia mesti membagi makanan yang dibawa, karena jika tidak maka ia tentu tidak
diperkenankan bergabung dalam dunia mereka, yaitu dunia bermain mereka. Ketika
mereka bermain, masing-masing telah bersepakat untuk menentukan mengambil peran
yang dibagi kedalam beberapam sub kelompok.

3. Enkulturasi

Enkulturasi dalam bahasa Indonesia diterjemahkan pembudayaan. Artinya


sesuatu yang telah dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan,
maka kebisasaan itu sudah mendarah daging sedemikian rupa sehingga tatkala tidak
dilaksanakan maka perasaan akan terasa hambar. Dalam kehidupan sehari-hari kita
temukan tatkala seseorang ingin bepergian meninggalkan rumahnya ke tempat yang
jauh selama beberapa waktu lamamya, lalu ia berpamitan kepada keluarga, kerabat
atau tetangganya, maka biasanya keluarga atau tetangga itu akan menitipkan pesan
agar ia menjaga keselamatan dan yang tidak kalah pentingnya adalah jangan lupa
membawa pulang oleh-oleh. Kebiasaan membagi oleh-oleh setiap pulang kampung
halaman atau dari kunjungan ke tempat yang jauh menjadi kebiasaan, dan menjadi
sesuatu yang lumrah sehingga apabila dalam suatu perjalanan tidak ada oleh-oleh,
maka kepulangan orang yang sedang bepergian itu terasa hambar. Masyarakat
Indonesia mempunyai kebiasaan membawa oleh-oleh dari lawatan ke tempat tertentu
terutama saat menuanikan ibadah haji, bagi kalangan muslim, rasanya tidak mabrur
ibadah hajinya kalau pulang dari berhaji tanpa membawa barang pernak-pernik yang
dibeli di Mekkah atau di Madinah. Walaupun dalam kenyataannya barang-barang
yang dijadikan oleh-oleh tersebut justru diproduksi di Indoensia sendiri atau di negara
lain kemudian diperdagangkan di Tanah suci Mekkah dan Madinah. Benda-benda
bawaan memang hanya berupa benda biasa, akan tetapi memiliki nilai tersendiri di
hati yang pemeberi dan penerima. Memberikan sesuatu berarti juga sekaligus
memberikan perhatian dan rasa cinta yang mengikat kedua pihak untuk selalu
meningkatkan ikatan kekerabatan baik dalam ikatan keluaraga, kerabat ataupun
sebagai tetangga. Hal ini yang menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia pada
umumnya. Jadi oleh-oleh berupa benda adalah suatu lambang perhatian, cinta, dan
rindu yang bersifat emosial dan hanya bisa dijelaskan rasa budayanya oleh kedua
belah pihak. Perubahan kebudayaan selain disebabkan karena faktor yang diakibatkan
dari dalam juga disebabkan oleh faktor yang berasal dari luar kebudayaan. Diantara
factor-faktor itu adalah :

D. Belajar Kebudayaan Asing

1. Difusi

Difusi dalam ilmu kimia adalah pergerakan senyawa suatu zat (padat/cair/gas)
dari bagian yang konsentrasinya lebih tinggi ke bagian yang konsentrasinya yang lebih
rendah (Agustin.Tanpa tahun: 80). Sedangkan dalam kamus antropologi difusi adalah
proses menyebarnya kebudayaan secara meluas di berbagai lingkungan masyarakat (Al-
Barry. 2001: 65). Jadi dalam pembahasan antropologi dimaksudkan dengan difusi
adalah penyebaran kebudayaan ke berbagai tempat disebabkan karena adanya
perpindahan penduduk atau migrasi dari suatu tempat ke tempat yang lain. Migrasi
penduduk dalam suatu masyarakat akan membawa serta kebudayaan miliknya ke
tempat baru yang ia diami. Kebudayaan yang diperkenalkan terhadap masyarakat
pribumi dalam waktu cepat atau lambat akan diserap oleh masyarakat setempat.
Penyebaran kebudayaan ke berbagai penjuru menyebabakan terdapat beberapa
kebudayaan yang sama di beberapa tempat di belahan dunia. Namun dalam difusi ini
yang menjadi perhatian utama adalah kesamaan kebudayaan itu akan ditelusuri, apakah
kesamaan itu disebabakan oleh proses penyebaran yang sama atau disebabkan kerena
setelah sampai pada suatu tempat kemudian tempat tersebut akan dilanjutkan oleh
imigran atau orang yang sama, atau oleh penduduk setempat yang sudah menerima
kebudayaan hasil defusi tadi untuk berimigrasi ketemapat lain dan menyebarkannaya.
Contohnya, kalau kita menelusuri beberapa masyarakat nelayan di Indonesia, mereka
menggunkan perahu bercadik. Akan tetapi perahu bercadik tersebut terdapat pula di
beberapa tempat di belahan dunia yang lain seperti Miyanmar, Vietnam dan di Amerika
Selatan.

2. Akulturasi

Akulturasi pada dasarnya merupakan salah satu proses terjadinya perubahan


kebudayaan pada suatu masyarakat karena adanya pengaruh kebudayaan asing atau
pengaruh kebudayaan dari luar. Dalam hukum akulturasi proses datangnya suatu
kebudayaan baru tidak serta merta menghilangkan kebudayaan setempaat/lama,
melainkan bercampur padu menjadi suatu model kebudayaan baru tanpa harus
kehilangan identitas kebudayaan masing-masing. Atau akulturasi secara singkat
diartikan proses pencampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan
saling mempengaruhi (Al-Barry. 2001: 14). Model-model kebudayaan hasil akulturasi
hampir terdapat di semua tempat karena pengaruh dari kebudayaan luar. Di Indonesia
akluturasi proses pada kebudayaan sebagaimana dapat diamatai pada upacara kematian
pada masyarakat muslim. Setiap peringatan orang yang meninggal dunia selalu
dilakukan upacara tahlilan. Makna upacara tahlilan mengandung arti filosofis bahwa
orang yang meninggal dunia arwahnya masih mengawang di antara bumi dan langit,
sampai dengan beberapa waktu lamanaya. Arwah itu sampai ke alam surga atau neraka
tergantung kemampuan energy yang mendoronya, salah satu energi untuk
mendorongnya adalah dengan doa-doa melalui upacara tahlilan.. Maka dalam peristiwa
sebagimana dalam upcara tahlilan juga dikenal struktur sosial sebagai pemimpin dan
peserta upacara keagamaan, dan akan menentukan jumlah makanan atau bahkan uang
yang diberikan kepada mereka. Dalam kasus tertentu, imam atau pemimpin upacara
tahlilan akan diberikan kepala kambing dan jumlah uang sedikti lebih banyak dari yang
lainya. Tidak kalah pentingnya ketika upacara tahlilan adalah menggunakan makanan
dan alat tertentu, dan peralatan upacara yang pada umumnya dipergunakan adalah
tasbih, yaitu rangkaian bulatan dalam jumlah ganjil mulai dari 33 sampai jumlah 99
agar memudahkan menghitung jumlah bilangan dalam ucapan-ucapan tertentu. Tasbih
dilihat dari sejarah lahirnya berasal dari tradisi Budha yang diergunakan oleh para
pendeta atau biksu membaca mantra dalam ritual semedi atau pertapaan, akan tetapi
tasbih juga dalam sejarah pergolakan di Tiongkok dipergunakan para pendeta Kungfu
sebagai senjata bela diri. Ketika agama Budha masuk ke Indonesia tradisi tasbih ini
diadaptasi dan diperguanakan dalam upacara keagamaan dalam Islam, seperti berzikir
dan teruatam tahlilan. Abad ke 12 Masehi masuknya islam di Indonesia telah pula
membawa ajaran islam dari jazirah Arabia, di beberapa tempat di Indonesia yang berada
dalam pemerintahan kerajaan dapat dipengaruhi sehinga para raja menyatakan diri
masuk islam. Setelah menganut agama islam, raja memperlakukan islam sebagai agama
resmi kerajaan, maka secara otomatis rakyat yang berada dalam kekuasaanya secara
mutlak juga menganut islam. Masuknya islam tidak berarti menghilangkan kepercayaan
yang dianut sebelumya berupa animisme, dinamisme, Hindu dan Budha, tetapi faham-
faham itu berakulturasi membentuk suatu kesatuan budaya. Sebagiamana bisa dilihat
ketika ucapan-ucapan dalam tahlilan berisi kalimat-kalimat yang bersumber dari ajaran
islam. Pada abad ke 16 terjadi ekspansi besar-besaran bangsa Eropa ke berbagai benua
di dunia terutama benua Afrika, Amerika, Asia dan Oecania. Selain bertujuan mencai
rempah-rempah mereka juga tidak ketinggalan mengikutsertakan para pendeta agama
Kristen untuk menyiarkan Kristem ke sepenjuru dunia. Kontak langsung bangasa
Indoneesia dengan dunia Barat maka secara otomatis rakyat Indonesia juga menerima
kebudayaan Barat tersebut sebagai bagian dari kebudayaan Indoensia melalui proses
akulturasi. Jadi alkuturasi itu masuknya suatu kebudayaan asing otomatis tidak
menghilangkan kebudayaan setempat, akan tetapi kebudayaan baru tersebut berampur
dengan kebudayaan setempat (lama) tanpa menghilangkan identitas kebudayaan
masing-masing. Kebudayaan yang mengalami akulturasi proses dapat dilihat di
berbagai macam kebudayaan, akulturasi juga dipergunakan oleh suatu kebudayaan
untuk melakukan adaptasi atau penyesuaian terhadap perkembangan zaman yang
berlangsung secara kontinyu.

3. Asimilasi

Asimilasi adalah penyesuaian (peleburan) sifat-sifat asli yang dimilki oleh suatu
kebudayaan terhadap kebudayaan baru Al-Barry. 2001: 27). Kalau akulturasi gabungan
dua atau lebih kebudayaan namun masih nampak eksisitensi keaslianya maka pada
asimilasi adalah terjadi gabungan dua atau lebih kebudayaan dimana kebudayaan
tertentu (lemah-minoritas) melebur kebudayaanya ke dalam kebudayaan yang dominan.
Faktor terjadinya asimilasi bisa disebabkan oleh serbuan budaya dominan terhadap
budaya pribumi atau datangnya suatu kebudayaan baru kemudian melebur diri kedalam
kebudayaan setempat. Suatu kebudayaan itu bisa melebur dan menghilangkan sifat dari
kebudayaan lain karena kebudayaan dominan dipandang lebih baik atau lebih maju dan
dapat membawa perubahan yang berarti dalam menghadapi tantangan zaman, dan
dianggap mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan hidup masyarakat penerima. Di
Indonesia sering terjadi para migran yang berasal dari daerah pinggiran dan
terkebelakang (kebudayaan yang masih sederhana) masuk secara komunal ke suatu
daerah baru yang pada umumya dalam rangka mencari nafkah hidup atau melanjutkan
pendidikan. Lama kelamaan ia bertempat tinggal di daerah baru tersebut, kemudian
membentuk satuan keluarga dan kerabat baru, namun yang dipergunkan bukan nilai-
nilai budaya yang berasal dari daerah asalnya melainkan telah meninggalkanya dan
menjadikan kebudayaan baru dimana ia tinggal sebagai kebudayaanya. Kebudayaan
asalnya telah terasimilasi kedalam kebudayaan setempat. Kebudayan asalnya akan
terlihat ketika ia bergabung dengan komonitas atau tatkala kembali pulang ke kampung
halamanya bertemu dengan masyarakat pada kebudayaan asalnya.

4. Inovasi
Salah satu aspek yang menentukana terjadinya perubahan kebudayaan dan
masyarakat adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Memang pada
awalnya pengembangan ilmu dan teknologi diperuntukkan untuk memenuhi segala
kebutuhan manusia yang sifatnya terbatas maupun terhadap pemenuhan keinginan
manusia yang sifatnya tidak terbatas. Modifikasi yang berlangsung sepanjang masa
menyebabkan pula terjadinya penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang tanpa
disadarai telah ikut serta merubah pola budaya yang sudah berakar pada masyarakat.
Penenemuan alat-alat teknologi yang membawa perubahan kebudayaan ini dapat dilihat
contohnya pada para petani padi di Indonesia. Sejak awal para petani membajak satu
sampai lima hektar sawah dengan menggunkan cangkul, tenaga manusia atau
menggunakan tenaga binatang berupa kuda, sapi atau kerbau. Karena membutuhakan
jumlah tenaga manusia maupun tenaga hewan yang cukup banyak, maka sebelum
melakukan bajak sawah para petani terlebih dahulu meminta bantuan kepada keluarga,
kerabat dan tetangga untuk bekerja sama. Penemuan teknologi baru sebenarnya bisa
bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas para petani, karena para petani tidak
perlu lagi memeras keringat secara berlebihan menginat tenaga mereka telah digantikan
oleh mesin-mesin penemuan teknologi moderen. Namun dibalik kecanggihan teknologi
telah terkikis nilai-nilai solidaritas mekanik yang justru menjadi modal sosial uutama
dalam kehidupan petani khususnya dan masyarakat pada umumnya di Indoensia.
Adanya teknologi baru yang membawa perubahan kebudayan secara dratis adalah alat
telkomonikasi berupa hend phone (HP), intenet, Televisi dan lain lain. Masyarakat yang
dahulunya melakukan komonikasi verbal yang menunjukkan keramahtamaan karena
bisa berkomikasi secara langsung, kini diperhadapkan pada komonikasi yang lintas
batas karena walaupun hanya berada di dalam kamar tidur, tapi manusia sekarang bisa
menyaksikan berbagai kegiatan atau acara di belahan bumi lain berkat ratusan chanel
televisi di seluruh dunia dengan aneka macam program, mulai dari politik, pendidikan,
hiburan film, diskusi, debat, dialoh, kekerasan, perang, konflik, pembunuhan,
pemerkosaan, kelaparan, bencanan alam, narkotika sampai pada prostitusi on line.
Setiap sudut ruang tunggu kursi kantor pelayanan umum, terlihat oleh kita suasana
setiap orang sedang asyik melakukan komonikasi melalui internet, seolah dia berada di
suatu dunia tersendiri sambil sesekali menunjukkan wajah tegang, sedih, bahkan sambil
tertawa oleh dirinya sendiri, tidak lagi peduli dengan orang yang berada di sekitarnya,
bahkan alat-alat elektronik ini dengan sengaja diperlihatkan untuk menunjukkan jati diri
sebagai golongan yang mempunyai status sosial lebih tinggi, dibandinkan dengan fungsi
dan kegunaaan yang terdapat pada alat teknologi tersebut. Suatu pemandangan tentang
manusia abad moderen yang lebih asyik dengan dirinya sendiri.
5. Revolusi
Kalau revolusi adalah perubahan kebudayaan yang terjadi secara lambat dalam
rentang waktu yang lama, maka revolusi dimaksudkan adalah perubahan kebudayaan
yang berlangsung secara cepat dan dratis dalam waktu yang singkat. Perubahan
kebudayaan secara revolusi telah menjungkirbalikkan nilai-nilai kebudayaan yang
sudah dianut selama ini, dipatuhi dan diataati secra turun teurun. Terkadang revolusi
kebudayaan didahului oleh suatu kejadian luar biasa berupa bencanan alam,
peperangan, maupun demontrasi berskala besar yang terkadang ikut pula memakan
korban nyawa manusia dan harta benda yang banyak, seperti revolusi komonis di Rusia
pada zaman pemerintahan Lenin, atau masa awal pemerintahan presiden Soekarno yang
selalu mengobarkan kata-kata revolusi. Walaupun tidak disebut revolusi, tejadinya
reformasi di Indonesia pada tahun 1998, dalam bidang antroplogi khususnya pada
kajian kebudayaan bisa disebut sebagai peristiwa revolusi. Karena dilihat dari makna
esensinya bahwa peristiwa mei 1998 yang menandai perubahan zaman Orde Baru ke
zaman Reformasi, telah memakan koban nyawa manusia dan harta yang demkian
banyak, begitu pula halnya dengan perubahan pada nilai-nilai kebudayaan tertentu.
Misalnya sebelum reformasi masyarakat Indonesia tabu menyebut namanama pejabat
tinggi Negara terutama presiden (Soeharto) dengan konotasi negative karena akan
mengakibatkan yang bersangkutan dapat dikenakan pelanggaran berat dan dijerat
Undang-Undang Subversif, sehingga ia dapat dihukum tanpa melalui suatu proses
pengadilan. Namun setelah reformasi, setiap rakyat Indonesia bisa dengan lantang
menyuarakan hak-haknya, bahkan dalam suatu peristiwa demontrasi mahasisiwa di
Kota Makasar, telah dihadirkan seekor sapi kemuadian sapi itu dikalungkan di lehernya
sebuah papan yang bertuliskan sebuah kata yang menyebut insial nama presiden yang
sedang berkuasa. Analogi nama insial presiden pada sapi tersebut sudah jelas, bahwa
para demonstran telah menggambarkan bahwa presidenya seperti sapi yang dicoror
hidungnya sehingga bisa ditarik kemana-mana sesuai dengan maksud dan tujuan
pemiliknya. Akibat langsung dengan terjadinya reformasi adalah terbukanya keran
kebebasan berpendapat dan mengekpresikan pendapat di muka umum. Di bidang media
dan informasi telah berjamurnya pendirian media cetak dan lektronik. Media elektronok
kini dengan tujuan mengejar profit menampilkan program hiburan yang terkadang tidak
mengindahkan nilai-nilai kebudayaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat
Indonesia. Media masa secara terbuka menampilkan diskusi yang bertemakan sikap
kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai telah gagal memenuhi harapan publik
sesuai dengan janji-janjinya sebelum naik ke puncuk kekuasaan. Walaupun demikian
harus diakui bahwa media juga telah berperan menjadi garda terdepan dalam
mengontrol segala produk Undang-Undang dan kebijakan para pemegang kekuasaan
yang cenderung tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Sehingga dapat
dikatakan bahwa adanya teknologi membawa perubahan pada suatu kebudayaan, baik
perubahan yang bersifat positif maupun perubahan yang bersifat negative.
BAB X
ETNOGRAFI
A. Pengertian Etnografi

Istilah etnografi dilihat dari segi arti kata berasal dari akar kata etnos yang artinya
suku bangsa dan grafi yang artinya gambaran, penjelasan, ceritra atau lukisan. Etnos
berarti suatu kelompok sosial yang homogen dan menganggap berasal dari keturunan atau
kekerabatan yang sama (Al-Barry. 2001:79). Jadi Etnografi yang artinya tulisan atau
laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis seorang antroplog (peneliti) atas hasil
yang diperoleh selama melakukan penenlitian lapangan (field work) selama beberapa
lama waktunya, biasanya dilakukan selama berbulan-bulan, bahkan sekian tahun. Laporan
penelitian yang disajikan oleh para antropolog demikian khasnya sehingga istilah
etnografi ini juga biasanya dipakai untuk menunjukkan tentang penggunaan suatu metode
(Marzali dalam Spradley. 1997: XV), yang memang dalam tradisi antropologi
sebagaimana yang telah dikemukakan di awal buku ini bahwa sejarah lahir
berkembangnya ilmu antropologi justru berasal dari kegiatan yang bersifat etnografis.

Etnografi kemudian dalam perkembanganya menunjukkan dua sisi sekaligus, yaitu


sebagai bentuk suatu laporan penelitian juga termuat di dalamnya metode yang dipakai
dalam antropologi. Penggunanan etnografi baik sebagai bentuk laporan maupun sebagai
metode telah dilakukan oleh para ilmuan terkenal yang justru mereka ini kemudian hari
dikenal sebagai antropolog dan sosiolog, yang mana untuk menghasilkan gambaran suatu
suku bangsa telah bersedia menyiapkan waktu dan rela tinggal di temapat suku bangsa
yang mereka teliti, walaupun menghadapi tantangan yang bersifat naturalistic (lingkunan
alam) maupun tantangan yang bersifat cultural karena mereka datang sebagai orang asing
yang ingin belajar sekaligus mengetahui suku bangsa yang ditelitinya.

Ucapan beberapa antropolog berikut ini menunjukkan betapa pentingnya etnografi


dalam penenltian antropologi. Margaret Mead mengatakan antropologi sebagai suatau
ilmu pengetahuan secara keseluruhan masih tergantung pada laporanlaporan kajian
lapangan yang dilakuakan oleh individu-individu dalam masyarakat yang hidup (Marzali
dalam Spradley. 1997:XV). Demikian halnya dengan Clifford Geertz yang menghabiskan
waktu lebih dari dua tahun di Pare Jawa Timur untuk melahirkan karyanya yang terkenal
The Religion of Java (Agama Jawa), berkomentar ”Jika anda ingin mengerti tentang suatu
ilmu pengetahuan, anda seharusnya memulai tidak dengan melihat teori-teori atau
penemuan-penemuanya, dan tentu saja bukan juga pada apa logisnya tentang ilmu
pengetahuan tersebut. Yang mesti dilakuakan adalah anda harus melihat pada apa yang
dilakukan oleh para praktasi…….dalam antropologi, atau khususnya antropologi sosial,
apa yang telah dikerjakan oleh para praktisi adalah antropologi (Geertz. 1973: 5). Lalu
ucapan seoarang yang bergelut dan ternama dalam bidang etnografi yaitu James Spradley
(1997:xvi) yang mengemukakan bahwa kajian lapangan etnografi adalah tonggak
antropologi sosial.

Sampai disini kita memperoleh suatu gambaran betapa penting dan berperannya
etnografi dalam ilmu antropologi, atau dengan kata lain belajar tentang etnogari berarti
belajar tentang jantung antroplogi (Marzali dalam Spradley,1997 : xvi ) terutama dalam
antropologi sosial budaya.

B. Perkembangan Etnografi

1. Etnografi Awal

Menelusuri sejarah lahirnya etnografi sebagaimana yang disajikan di awal


pembahasan buku ini, (ingat sejarah perkembangan antropologi), walaupun tradisi
etnografi sudah dimulai sejak zaman peradaban Yunani abad sebelum masehi, kemudian
juga dilakukan pula oleh para ilmuan islam semisal Ibnu Khaldun, justru kerja etnogarfi
yang melahirkan ilmu antropologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan secara
akademis nanti muncul pada abad ke 20 melalui pendekatan secara evolusi, untuk
menelusuri berbagai macam ragam suku bangsa yang terbentang di lima benua di dunia
ini, sebagaimana yang membuat heboh seantaro dunia ketika teori evolusi biologi yang
disponsori oleh Charles Darwin, kemudian tokoh semisal E.B Taylor, J. Frazer dan L.H.
Morgan telah memungut berbagai catatan para musafir, pendeta Nasrani, pegawai
pememrintah kolonial untuk dikumpulkan menjadi suatu laporan tentang suku bangsa di
berbagai pelosok dunia. Laporan itu dapat kita lihat pada buku berjudul Primitiv of Cultur
karya E.B. Taylor.

Para ilmuan itu bekerja menulis laporan di belakang meja karena tidak pernah terjun
langsung ke masyarakat yang diteliti kecuali L.H Morgan. Tulisan yang dikumpulkan
tersebut kemudian berusaha untuk membangun suatu pengetahuan tentang tigkat-tingkat
evolusi dalam perkembanagan kebudayaan umat manusia, mereka bekerja di
perpusatakaan tanpa harus melihat langsung masyarakat primitive yang mereka
ceritrakan. Sebagaimana James Frazer ketika ditanyakan kepadanya tentang “apakah ia
pernah melihat langsung tentang masyarakat primitive yang diceritrakan dalam berjilid
jilid buku”?. Frazer menjawab “Tuhan Melarangnya” (Marzali dalam Spradley. 1997:
xvii).

Kontruksi tentang masyarakat berdasarkan teori evolusi dalam antropologi


mendapat kritikan yang cukup tajam karena laporan yang dibuat para antropolog
terdahulu dianggap tidak realistik, hal itu disebabkan karena berdasarkan data-data
sekunder (pendukung) dan bukan data primer (utama). Berawal dari sinilah pandangan
baru muncul bahwa seorang antropolog mesti melihat sendiri suku bangsa yang ingin
diceritrakanya, sehingga laporannya bersifat narativ (pandangan yang nyata hidup dalam
masyarakat) sehinga diperoleh teori yang lebih sahih. Inilah asal mula timbul pemikiran
tentang perlunya perubahan dalam kajian etnografi lapangan dalam bidang antropologi.

Pandangan ilmuan baru tentang pentingnya etnografi ini bisa kita sebut beberapa
nama sperti Franz Boas dari Amerika Serikat. Teknik yang diperkenalkan dalam
perkembnagn etnografi ini adalah wawancara yang dilakukan secara panjang dan
berulang kali terhadap informan kunci, informan kunci dipilih dari kalangan orang tua
dari suku bangsa tersebut yang dipandang kaya akan pengalaman tentang ceritra masa
lampau. Orentasi teoritis utama para penenliti adalah tentang perubahan sosial
kebudayaan (Marzali dalam Spradley: xvii). Dengan kata lain perkembangan awal
etnografi adalah informan orented, karena tujuan pokoknya adalah ingin mengetahui
ceritra tentang masyarakat masa silam.

2. Etnografi Moderen

Tahun 1915-1925 dapat disebut sebagai era etnografi moderen yang digagas du
antropolog sosial asal Inggris bernama A.R. Radcliffe-Brown dan Barislaw Malinowski,
usaha keduanya ditandai dengan pengembangan metode etnografi yang membedakan
dengan cara kerja metode etnorafi awal, pada etnografi awal metode etnogarfi yang
dilakukan adalah terlalu memfokuskan diri pada kontruksi masa lampau, atau sejarah
perkembangan kebudayaan pada suatu masyarakat, sedangkan etnografi moderen lebih
ditekankan pada kehidupan sosial budaya masyarakat masa kini yang sedanag mereka
jalani, yaitu mengenai pedoman dan cara hidup masyarakat tersebut.
Malinowski mengatakan bahwa tujuan utama penelitin etnografi adalah manangkap
sudut pandang native tersebut hubunganya dengan kehidupan, menyadari visinya dan
dunianya, sementara Brown dalam membangun kerja etnografinya sebagai seorang
antropolog bertujuan untuk melihat pentingnya hubungan dalam struktur sosial suatu
masyarakat (Marzali dal Spradley: xvii).

Dari masing-masing pendapat kedua antropolog ini dapat disimpulkan bahwa


tujuan dari sebuah penelitin etnografi adalah untuk mendeskriptifkan dan membangun
struktur sosial dan budaya suatu masyarakat. Sedangkan budaya pada posisi ini dianggap
sebagai pandangan dan Pedoman hidup suatu masyarakat.

Sebagaimana yang dilakukan oleh Malinowski di Kepulauan Trobriand, metode


etnografi yang semula hanya melakukan wawancara kepada para tetuah adat secara
berungkali untuk memahami keadaan sosial budaya suatu masyarakat pada masa lalu,
maka pada tahap etnografi moderen dilakaukn suatu teknik pengumpulan data dengan
cara observasi, baik obeservasi biasa yang hanya mengamati secara sepintas kedaan sosial
budaya yang berlaku dalam masyarakat, maupun mengembangkan suatu tektik obeservasi
partisipasi yaitu dengan cara terlibat langsung kedalam keadaan dimana masyarakat
tersebut melakukan kegiatan sosial budayanya.

C. Metode Etnografi

Antropologi sebagai suatu ilmu pengetahuan terus melakukan inovasi mengenai


variasi metode penelitian yang dilakukanya, termasuk dalam bidang etnografi. Mulai
tahun 1960-an terutama dalam aliran antropologi kognitif . Kalau etnografi moderen yang
dilakukan oleh Brown dan Malinowski berorentasi pada organisasi internal suatu
masyarakat lalu membanding-bandingkan sistem sosialnya dalam rangka memperoleh
kaidah-kaidah umum tentang masyarakat, maka etnogarfi baru ini mencoba menemukan
bagaimana berbagai masyarakat mengorganisasikan budaya mereka dalam pikiran mereka
kemudian menggunakan budaya yang dianutnya tersebut dalam kehidupan bermasyarakat
sehari-hari. (Marzali dalam Spadley: xix) Kemudian jika dalam etnografi moderen
bentuk sosial dan budaya masyarakat dibangun dan dideskripsikan berdasarkan nalar sang
peneliti (ethic), yaitu struktur sosial dan budaya yang dideskripsikan adalah struktur sosial
dan budaya masyarakat tersebut menurut interpretasi sang peneliti. Sedangkan dalam
etnografi baru bentuk struktur sosial dan buadaya masyarakat adalah merupakan susunan
yang terdapat dalam alam pikiran (mind) pada anggota masyarakat tersebut, sedangkan
tugas seorang peneliti adalah membuat alam pikiran itu dapat keluar dari pandangan dan
pikiran masyarakat tersebut.

Dengan kata lain dalam aliran anropologi kognitif, setiap anggota masyarakat secara
individu telah tersimpan pengetahuan mengenai aturan yang difahaminya sebagai pola
hidup yang dipedomani, gagasan yang tersimpan dalam pengetahuan tersebut disepakati
sebagai kebudayaan yang terwujudkan dalam bentuk symbol-simbol (symbol budaya)
baik melalui kaya-karya yang diciptakan maupun melalui bahasa yang diucapkan.
Sehingga jalan yang paling mudah untuk memahami ragam budaya masyarakat setempat
adalah dengan malalui bahasa yang mereka pergunakan, maka bahasa merupakan kunci
utama dalam memahami budaya suatu masyarakat sebagaimana yang dikatakan oleh
Spradley (1997:xx) bahwa pendekatan dan strategi apapun yang ingin digunakan oleh
seorang etnografer untuk memahami suatu kebudayaan, maka bahasa selalu berada dalam
fase terdepan dalam proses penelitian.

Etnografi moderen ini kemudian terus dikembangkan oleh para antropolog


diantaranya adalah James Spradley sendiri, dalam studinya tentang kebudayaan ia
mendefenisikan sebagai berikut Kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan yang
diperoleh manusia melalui proses belajar, yang mereka gunakana untuk
menginterpretasikan dunia sekekliling mereka, dan sekaligus untuk menyusun strategi
perilaku dalam menghadapi dunia di sekeliling mereka (Marzali, 1997: xx).

Ciri utama yang tersajikan dalam karya etnografi Spradley tidak lagi sebagimana
para etnografer terdahulu semisal Brown dan Malinowski yang selalu menganggap other
cultures budaya suku bangsa yang primitive dan terisolasi jauh dari lalu lintas keramaian
budaya yang hidup dengan teknologi sederhana, Spradley ingin mengembalikan
antropologi atau etnografi sebagai alat yang fundamental untuk memahami masyarakat
kita sendiri dan masyarakat dunia yang multi-kultur.

Spradey kemudian merumuskan suatu metode etnografi dengan megistilahkannya


Penelitian Maju Bertahap. Metode ini didasarkan atas lima prinsip kerja, yaitu tenik
tunggal, identifikasi tugas, maju berhap, penelitian orisnil dan problem solving atau
penyelelesaian masalah (Marzali: xxii.).

Pertama, seorang peneliti daam penelitian etnografi bisa melakukan berbagai teknik
penelitian secara bersamaan dalam satu fase peneltian, yaitu dapat melakukan kegiatan
observasi partisipasi, wawancara, membuat peta geografis dan sebagainya, namun
demikian seorang pemula dianjurkan oleh Spradley untuk menguasai salah satu teknik
saja terlebih dahulu yaitu teknik wawancara, karena wawancara yang dipusatkan pada
aktor di tempat seorang informan itu bermukim maka secara tidak langsung seorang
etnografer juga mengetahui peta geografis dan observasi partisipasi.

Kedua. Setelah memilih untuk memfokuskan penelitian etnografi pada kegiatan


wawancara, maka sang etnografer mesti menemukan langkah-langkah untuk wawancara,
kemuudian langkah utama untuk melakukan wawancara adalah dengan memahami
bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat setempat, tentu saja hal demikian tidaklah
mudah karena harus terlebih dahulu memepelajari bahasa setempat, namun dengan
semanagt dan kerja keras seorang etografer sudah bisa memahamai bahasa setempat
dalam rentang waktu enam bulan, sehingga sudah dapat melakukan wawancara. Karena
jika hanya mengandalakan seorang penerjemah dapat berisiko tinggi terhadap validitas
data karena seorang penerjemah yang kurang faham terhadap kebudayaanya sendiri bisa
menimbulkan bias (efek lein) terhadap makna bahasa yang diucapkan oleh informan
kunci, apalagi ucapan informan sudah masuk dalam kategori diksi atau eksiklopedi
kebuayaan atau pemakaian kata yang artinya berkaitan erat dengan makna simbol budaya
yang dipergunakan.

Ketiga, Langkah pokok diatas seharusnya dilakukan secara bertahap atau maju
bertahap. Keempat, teknik wawancara tidak hanya diperlakukan ketika sedang melakukan
latihan wawancara akan tetapi harus dilakukan secara sungguhan dengan terjun lagsung
ke masyarakat yang diteliti, semakain sering melakukan wawancara maka akan semakin
terlatih sehingga menimbulkan sikap cinta wawancara sebagai sebuah kegiatan yang
begitu disukai dan dikuasai.

Kelima. Fase terakhir dari suatu kegiatan etnografi mestilah memenuhi tujuan
tertentu, bukan hanya tujuan yang berguna untuk seorang etnografir akan tetapi juga
tujuan yang bermanfaat untuk semua yang berkepentingan denganya, seperti masyarakat
akdemik dan masyarakat suku bangsa yang bersangkutan. Atau dengan kata lain Spradley
menggariskan Ilmu untuk ilmu sudah ketinggalan zaman. Ilmu tidak hanya ditujukan
untuk membagnun ranah teori tetapi yang paling penting dari sebuah ilmu itu adalah ilmu
itu harus mempunyai kegunaan praktis dalam membantu menyelesaikan permasalahan
kemanusiaan. Sehingga seorang peneliti dalam bidang etnografi adalah seorang problem
solver, bukan hanya penemu tetapi sekaligus juga sebagai pemecah masalah (Marzali:
xxii). Atau dengan kata lain suatu bidang ilmu tidak hanya memiliki tujuan secara
akademis tetapi tujuan praktis.

Kesatuan Sosial dalam Etnografi

Kerangka atau susunan yang berurut dalam penelitian etnografi sengaja disusun
secara sistematis, agar laporan tersebut bisa menjadi pedoman umum dalam setiap
laporan penelitian yang harus mencakup segala hal yang berkaitan dengan suatu suku
bangsa. Susunan kerangka ini apabila dipatuhi maka akan tersaji sebuah laporan yang
enak dibaca karena telah menggambarkan suatu keadaan suku bangsa yang utuh.

Seorang antropolog Amerika, R. Naroll telah menuyusun suatu kesatuan kerangka


sosial yang kemudian diperbaharui oleh J.A. Clifton sehingga kerangkanya menjadi
sebagai berkut: (Koentjaraningrat: 2009: 253-254).

1. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh suatu batas wilayah satu desa atau lebih.
2. Kesatuan masyarakat yang terdiri dari penduduk yang mengucapkan bahasa yang
sama atau logat bahasa yang sama.
3. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu wilayah secara
administrative politis.
4. Keasatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa suatu identitas penduduknya
sendiri.
5. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan
kesatuan daerah fisik.
6. Kesatuan masyarakat yang dibatasi dan ditetukan oleh wilayah ekologi.
7. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman sejarah yang
sama.
8. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekwensi interaksinya satu dengan yang
lain terjadi secara merata.
9. Kesatuan masyarakat dengan susunan sosial yang seragam.

E. Kerangka Etnografi
Para antropolog dalam menyusun laporan penelitian etnografinya terkadang
berbeda dalam urutan kerangka yang disusun. Namun secara umum mereka tetap
mencantumkan seluruh kerangka yang disepakati, yaitu kerangka kebudayaan yang sudah
menjadi unsur universal dalam setiap kebudayaan. Perbedaan itu sebenarnya tergantung
pada fokus penelitian yang dilakukan. Apabila seorang etnografer ingin meneliti tentang
bahasa, dan struktur suatu bahasa suku bangsa, maka yang diletakkan di bagian awal adalah
unsur bahasa, sedangkan kerangka yang lain dijadikan sebagai data pendukung. Jadi dalam
suatu penelitian etnografi tidak mesti secara mendetail diuraikan secara mendalam semua
unsur yang menjadi kerangka etnografi, hanya saja unsur-unsur yang lain tetap penting
untuk mendapatkan gambaran suatu suku bangsa secara lengkap.
Walaupun demikian kalau kita membaca laporan penenelitian etngrafi niscaya unsur
bahasa selalu berada paragraf paling depan. Ini disebabkan karena alasan bahwa syarat
yang paling diperlukan seorang etnografer untuk memahami kebudayaan suatu suku bangsa
adalah melalui pegetahuanya terhadap bahasa setempat. Bahasa sebagaimana diterangkan
terdahulu menjadi kunci mengungkap isi alam pikiran masyarakat mengenai kebudayaan
yang dimiliki, baik yang masih tersimpan dalam ide masing masing maupun yang telah
terwujudkan dalam bentukbentuk yang dapat dilihat secara nyata.
Simbol-simbol itu misalnya mengapa orang Thailand (Muangthai) begitu
mengagungkan binatang gajah, orang India sangat mensucikan binatang sapi, orang suku
Asmat sangat menghargai babi, atau orang Tana Toraja yang bersedia membeli kerbau
dengan bayaran hingga ratusan juta. Atau orang Bali yang menempatkan patung-patung di
berbagai tempat, di rumah, kamar, pasar, tempat rekreasi dan sebagainya. Kesemua itu
tergantung pada asal kebudayaan yang telah tertanam dalam alam pikiran masing-masing
yang disepakati sebagai pedoman hidupnya. Atau dengan kata lain simbol tersebut menjadi
ekspresi dari mind (pikiran) yang tersimpan dalam kepala masing masing anggota
masyarakat.
Bahasa bukan hanya sekekdar alat untuk berkomonikasi menyampaikan pesan atau
maksud yang dikehendaki, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka mengungkap nilai rasa
yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari niai-nilai budaya secara keseluruhan. Gaya
bertutur, tinggi rendahnya nada, pilihan kata dan struktur kata (bahasa atas-bahasa bawah)
sangat menentukan nilai rasa suatu bahasa sehingga kalau seorang etnografer tidak
memamahi dan menguasainya secara baik maka kemungkinan besar ia gagal
menerjemahkan kebuadayaan suku bangsa yang ditelitnya dengan baik(pandangan emik).
Selain unsur-unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan, kerangka etnografi
juga memuat bab-bab permulaan atau pengantar yang berisi deskripsi tentang lokasi
lingkungan geografi dan lingkungan alam kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan.
Selanjutnya bab berikutnya berisikan gambaran tentang keadaan demografi atau penduduk
suku bangsa tesebut, dan lebih berarti lagi kalau di bagian bab-bab terakhir diketengahkan
tentang kondisi keadaan kebudayaan masa sekarang terkait dengan perubahan-perubahan
yang sudah terjadi selama ini.
Kerangka etnografi seperti dibawah ini memberikan contoh penyusunan laporan
penelitian etnografi yang lengkap. Kemudian bab-bab tersebut masih dapat diisi dengan
sub-sub bab sesuai dengan kebutuhan atau data penelitian yang didapatkan. Kerangka
laporan etnografi yang dimuat dalam buku karangan Koentjaraningrat (2009:257) sebagai
berikut:
1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
2. Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa
3. Bahasa
4. Sistem TeknologI
5. Sistem Mata Pencaharian (ekonomi)
6. Organisasi Sosial (Politik)
7. Sistem Pengetahuan
8. Kesenian
9. Sistem Religi

Lokasi. Lingkungan Alam dan Demografi


Suatu karangan penelitin etnografi perlu mencantumkan posisi letak wilyah yang
bersangkutan, biasanya titik koordinatnya dipusatkan pada sebuah kota atau daerah yang
sudah dikenal luas dan mudah terjangkau oleh berbagai mode transpotasi. Dintara isi
laporan tersebut perlu diceritrakan tentang berbagai alat transportasi yang dapat
dipergunakan untuk sampai pada lokasi suku bangsa itu serta liku liku medan yang henak
dilalui, sehingga pembaca atau peneliti lain yang berminat mengembangkan penelitianya di
bidang yang sama mendapatkan suatu gambaran yang jelas untuk dapat meyusun suatu
proposal penelitianya. Data tentang lokasi ini bisa diperoleh di kantor statsitik setempat
disesuaikan dengan pegalaman peneliti selama di lokasi penelitian atau gambaran tentang
fakt-fakta yang dialami.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah keadaan alam tempat bermukim
suku bangsa tersebut, apakah teridiri dari dataran tandus, tanah rawa, pegunungan, lembah
dan ngarai, terbelah oleh sungai-sungai kecil atau besar, basis daerah pertanian atau
perkebunan, perikanan, berburu dan sebagainya.
Demikian halnya gambaran tentang flora dan fauna, bagimana kehidupan satwa
dengan lingkunan habitanya. Gambaran ini unutk menjelaskan hubungan antara keadaan
alam dengan manusia secara timbal balik. Ingat kembali bahwa makna culture dalam bahas
Inggris adalah mengolah, atau mengolah tanah. Karena kondisi geografis suatu daerah
menentukan bagaimana suku bangsa setempat mengolah alam sekitarnya, atau cara
memenuhi kebuatuhan pangan dan sandangnya. Cara mereka mengolah lingkungannya,
menentukan cara hidup, cara hidup menentukan pola hidup, dan pola hidup menetukan
kebudayaanya.
Masyarakat yang hidup di tanah yang subur memiliki karakter yang berbeda dengan
daerah kering nan tandus, orang yang hidup di tepi pantai, lain cara hidupnya dengan yang
bermukim di pegunungan, lingkunagn hidup mempengaruhi cara mereka merespon alam.
Cara mereka merespon alam dengan menciptakan peralatan atau wadah yang memudahkan
mereka memenuhi kebutuhan hidunya, semua cara hidup di dadahui oleh suatu
pengetahuan yang bersifat local (local wisdom) kearifan lokal dan itulah kebudayaan.
Selain faktor letak lokasi dan kondisi alam lingkungan hidup, faktor yang menjadi inti
pembicaraan adalah manusia yang menempati lokasi dan kondisi geografisnya (demografi).
Deskripsi yang berkaitan dengan keadaan demografis adalah keadaan jumlah perempuan
dan laki-laki, usia, mata pencaharian yang umum digeluti dan mata pencaharian tambahan,
tingkat pendidikan dan sarana pendidikan, tingkat kelahiran dan kematian (kesehatan), arus
perpindahan pendudk masuk dan keluar desa, tingkat perkawinan dan perceraian, agama
dan kepercayaan yang dianut, karena semua aspek tersebut sangat erat hubungannya
dengan kedaan sikap ritual, yaitu sikap dan keyakinan terhadap kekuatan gaib. Gambaran
keadaan demografi bisa diukur tingkatan kepadatan penduduk untuk membantu
menganalisis aspek apa saja yang dominan dan kurang dominan dalam mempengaruhi dan
membentuk kebudayaan suatu suku bangsa.
Misalkan saja keadaan penduduk dengan mata pencaharian bertani di Indonesia
akan mempengaruhi etos kerja, sehubungan dengan demikian banyaknya jumlah persediaan
makanan yang dihasilkan dalam pertanian, sehingga seorang petani akan cenderung
bersikap santai, bermalas-malasan, karena masih menganggap persediaan makanannaya
cukup sampai pada musim panen yang akan datang, sehingga akan bekerja keras lagi bila
tiba waktunya bercocok tanam. Sikap berbeda terjadi pada masyarakat peternak yang pagi
buta sudah harus bersiap menggiring ternaknya ke lapanagan rumput atau danau temat
persediaan air, jika saja terlambat menggiring ternak maka akan terjadi reaksi yang
berlebihan dari ternak, demikian pula halnya dengan peternak lain yang tentu sudah
menguasai arena padang rumput dan sumber-sumber persediaan air. Latar belakang
kehiduapan sosial masyarakat suku bangsa itulah hakikat sumber nilai kebudayaan.
Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa
Etnogarafi yang baik harus pula mencantumkan sejarah asal usul suku bangsa yang
bersangkutan. Tidak mudah memang menemukan rangkaian penjelaan tentang asal mula
suatu suku bangsa, karena peristiwanya telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun dengan
masa seorang antropolog melakukan penelitian. Seorang etnografer tidak bisa bekerja
sendiri untuk mendapatkan data sejarah tersebut, oleh karena itu peneliti perlu bekerjasama
dengan para sejarawan dan para arkeolog untuk membantu merekontruksi peristiwa masa
lalu, serta bahan-bahan artefak (peninggalan masa lalu) yang dapat dianalisa, bahan sejarah
dan artefak yang diperoleh itu tentu sangat berarti bagi penggiat antropologi untuk
nenelusuri jejak asal susul suku bangsa tersebut.
Seorang antropolog sangat terbantu dengan data berupa masunkrip mengenai
berbaga peristiwa yang terjadi pada masa lampau, biasanya ditulis oleh juru tulis dalam
bentuk naskah-naskah kuno di pelepah daun, kulit kayu dan kulit binatang. Terkadang pada
masa awalny manuskirip itu diangap tidak berarti apa-apa, sehingga harus diakui bahwa
banyak sekali peninggalan catatan masa lalu di Indonesia yang dikumpulkan oleh para
sekretaris dan pegawai negara jajahan di perpusatakaan Eropa (Laiden Belanda), hal ini
sangat membantu para sejarawan dan arkeolog yang juga dijadikan bahan para antropolog
untuk memahami awal mula sebuah masyarakat suku bangsa.
Selain sumber tertulis dan benda-benda artefak, para penenliti antropologi juga
mesti mencari sumber-sumber lain berupa tuturan lisan seperti ceritra rakyat, dongeng suci
atau mitologi (foklor) mengenai alam semesta dan asal mula manusia, semua bahan tersebut
bisa dipergunkan untuk mengaitkan dengan sumber sumber tertulis lainya. Manuskrip,
benda artefak, dongeng suci, ceritra rakyat tentang peristiwa masa lalu juga harus
dihubungkaan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat suku bangsa yang telah diteliti
dimasa ketika penelitian dilakukan. Ini penting untuk memahami perkembangan
kebudayaan suatu suku bangsa serta perubahan apa saja yang terjadi, dan faktor-faktor yang
menyebabakan suatu kebudayaan itu bisa berubah.
Sejak kedatangan orang Eropa melakukan kontak dengan bangsa Indonesia banyak
catatan-catatan mengenai masyarakat suku bangsa tersebut telah dikumpulkan dalam
bentuk buku dengan memakai bahasa Ingris, Prancis, Belanda dan lain-lain, sehingga jika
penelitian yang akan dilakukan sekarang ini data-data tersebut sangat berguna unutk
menjelaskan suku-suku bangsa di Indonesia pada zaman lampau dan perubahan yang sudah
terjadi hingga sekarang ini.
Bahasa
Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa dalam penelitian etnografi, bahasa
merupakan pintu masuk untuk memahami suatu suku bangsa, karena bahasa secara lisan
maupun tertulis merupakan alat komonikasi, dalam kajian etnografi yang ingin
diketengahkan adalah ciri-ciri umum dalam suatu bahasa beserta variasi yang terdapat
dalam bahasa tersebut.
Tentu deskripsi ernografi tidak perlu sama detailnya dengan yang dilakukan secara
khusus oleh para ahli bahasa, karena para ahli bahasa berkepentingan untuk memebicarakan
bahasa dari segi susunan fonetik, fonolagi, sintaksis dan semantik suatu bahasa, agar dapat
menghasilkan suatu buku secara khusus, yakni suatu buku tata bahasa tentang bahasa yang
bersangkutan, sedangkan deskripsi mendalam mengenai kosa kata suatu bahasa akan
menghasilkan suatu daftar kata-kata mengenai bahasa yang diperguanakan suatu suku
bangsa, atau yang lebih dikenal dengan kamus (Koentjaraninrat: 2009: 261). Jadi penulisan
tata bahasa dan kamus bahasa suatu suku bangsa sebaiknya diserahkan kepada para ahli
bahasa.
Seorang etnografer dalam pemahamanya mengenai bahasa hanya akan bertujuan
memperlihatkan ciri khas dari bahasa suku bangsa tersebut, mengenai batas penyebaran
suatu bahasa, variasi penuturnya dalam batas-batas geografi dan variasi pemakaian penutur
lapisan sosialnya. Laporan mengenai bahasa itu berkaitan dengan rumpun, sub rumpun dan
keluarga dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Daftar katakata itu biasanya hanya memuat
mengenai nama-nama anggota badan (kepala, mata hidung, mulut, tangan, kaki dan
sebagainya), kemudian gejala-gejala yang berhubungan dengan keadaan alam (angin,
hujan, panas, dingin, matahari, bulan, awan, langit dan sebaginya, warna, bilangan, kata
kerja pokok (makan, tidur, jalan, duduk, beridiri dan sebagainya (Koentjaraningrat: 2009:
262).
Memahamai luas penyebaran suatu bahasa untuk melihat daerah perbatasan dua
atau lebih suku bangsa yang secara intensif melakukan kontak atau komonikasi baik secara
individu maupun secara kelompok, apalagi telah melakukan kontak melalui perkawinana,
maka hal ini akan mempengaruhi unsur-unsur bahasa antara satu bahasa dengan bahasa
suku bangsa terdekat, bahkan terjadi pemakaian bahasa secar bercmpur. Kontak bahasa
pada dua atau lebih wilayah geografis terdekat tidak akan terjadi bila dibatasi oleh keadaan
alam seperti terpisah oleh laut, gunung yang tinggi, sungai yang lebar sehingga menghalagi
terjadinya kontak antar warga suku bangsa yang bersangkutan.
Pemakaina bahasa yang dipengaruhi oleh kontak bahasa antar suku bangsa dengan
daerah perbatasan yang sama tipologinya bisa dilihat di daerah Sulawesi Selatan. Suku
Bugis yang mendiami wilayah daerah Luwu bagian utara yang berbatasan dengan daerah
Tana Toraja dapat memahami bahasa yang digunakan oleh orang TanaToraja demikian
sebaliknya, Bahkan Kabupatan Maros yang letak geografisnya berbatasan langsung dengan
kota Makasaar di selatan dan Kabupaten pangkep di Utara, dapat memahamai dan
mengguakan dengan sama baiknya bahasa Makassar dan Bugis. Dalam bahasa Bugis
sendiri terdapat perbedaan dialek (logat), sperti logat bahasa Bugis Sidrap sangat berbeda
dengan logat bahasa Bugis Bone. Dalam bahasa Makassar antara penggguna bahasa
Makassar di Kabupaten Gowa terdapat perbedaan beberapa suku kata dan dialek dengan
bahasa Makassar yang dipakai di daerah Malino, walaupun masih berada dalam satu
wilayah dalam batas satu lingkungan kabupaten yang sama. Untuk penggunanan bahasa
menurut variasi tingkatan sosialnya bisa kita ambil contoh bahasa Jawa yang mengenal
bahasa kelas Priyayi dan bahasa kelas abangan.

Sistem Teknologi
Teknologi dalam kajian antropologi yang dimaksud adalah jumlah keseluruhan
teknik yang dimiliki oleh suatu anggota masyarakat, yaitu keseluruhan cara bertindak dan
berbuat dalam hubunganya dengan pengumpulan bahan-bahan mentah dari lingkunganya,
memproses bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, alat untuk menyimpan,
makanan, pakaian, perumahan, alat transportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda
material (Harsoyo: 1999).
Sistem teknologi sangat erat kaitanya dengan hasil karya manusia berupa
kebudayaan yang bersifat materil yang diproses melalui teknologi. Jadi benda-benda yang
bersifat materil tersebut dihasilkan berdasarkan pengetahuan mereka yang bersifat abstrak,
yaitu sistem pengetahuan atau ide dari sistem kebudayaan yang bersifat abstrak, alam
pikiran itulah yang termanifestasikan dalam memberikan pengertian dan nilai pada benda
materil sebagai hasil usaha dan kerja yang dilakukan secara sadar dan bertujuan.
Sistem teknologi yang dimiliki oleh manusia senantisa berubah dan selalu
dikembangkan, karena manusia berdasarkan kamampuan kebudayaanya telah mampu
belajar, berhubung karena kemampuan tenaga manusia terbatas tidak sebagaimana binatang
seperi kuda, kerbau, gajah, dan lain sebagainya, maka untuk menguasai atau mengolah
alam lingkungan sekitarnya manusia perlu memikirkan alat peralatan yang bisa digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui penggunaa alat-alat kerja. Sebenarnya pada
haikatnya alam telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusia akan tetapi
ketersediaan alam itu masih dalam bentuk bahan baku mentah, disinilah manusia dengan
kebudayaanya harus mampu membentuk dan mendesain teknik untuk memudahkan
hidupnya.
Adapun peralatan teknologi yang dipergunakan oleh umat manusia dalam aktivitas
yang berkiatan dengan kemampuan mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dapat dikemukakan sebagai berikut; (Harsoyo, 1999: 201).
1. Alat Kerja
Sistem teknologi yang dikemukan ini pada umumnya diambil berdasarkan alat
peralatan yang digunakan oleh masyarakat yang perkembangan kebudayaanya masih
sederhana (primitive), akan tetapi jika dibandingkan dengan perkembangan masyarakat
yang sudah diangap maju (moderen) sekarang ini, tetapi model alat yang diperguankan
memang berbeda karena masyarakat sekarang ini telah mampu mengembangkan alat-
perlatan yang demikian canggih, akan tetapi dilihat dari prinsip dan kebutuhan alat
tersebut pada dasarnya masih tetap sama.
Alat kerja yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah alat perlatan atau benda
yang dihasilkan oleh manusia, dan dipergunakan untuk mengolah dan mengubah bahan
mentah dari hasil alam yang masih bersifat kasar menjadi alat kerja yang berguna dan
mudah dipergunakan, dengan bentuk bentuk yang bermacammacam yang dinggap
mudah.
Alat kerja bagi masyarakat sederhana bisa dlihat dari segi fungsi dan pemakaian
menurut lapangan pekerjaan. Dari aspek fungsinya alat keja itu dapat diklasifikasi
menjadi alat potong, alat pembuat lubang (tusuk), alat membuat api, alat tangga dan
sebagainya. Sedangkan bila dilihat dari segi lapangan pekerjaanya terdiri atas alat alat
rumah tanggga, alat pengikat dan tenun, alat-alat pertanian, alat-alat penangkap ikan, alat
jerat, alat perangkap dan sebagainya.

2. Wadah

Wadah termasuk alat peralatan yang sifatnya mutlak diperlukan bagi masyarakat
dalam beraktivitas. Wadah itu dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan makanan,
menyimpan benda kebutuhan lainnya, memindahkan ke tempat lain. Wadah ini dapat
dibagi menjadi dua macam:
a. Wadah yang telah disediakan oleh alam seperti kerang.
b. Wadah yang diciptakan melalui suatu proses, jadi wadah yang semula telah
disediakan alam diolah oleh menusia untuk membuatnya lebih maju dan berguna. Alat
ini seperti gentong untuk menyimpan air, tikar dari anyaman daun, dinding dari anyaman
bambu, atap dari susunan dedaunan yang rapi dan sebagainya.
3. Makanan
Pembahasan tentang makanan dalam sistem teknologi ini bukan pada jenis dan
bahan makanan, akan tetapi pada aspek alat-peralatan yang digunakan untuk memproleh
makanan dan membuat atau mengolah makanan. Teknik pengumpulan makanan bisa
kita bedakan menjadi, a) berburu, b) menangkap ikan dan c) mengumpulkan bahan
makanan.
Teknik pengumpulan bahan makanan ini bisa hanya dipergunakan salah satu saja
dalam suatu masyarakat suku bangsa, akan tetapi bisa juga dalam suatu masyarakat dapat
dipergunakan secara keseluruhan, hal ini terkait dengan letak geografis suatu
pemukiman. Bila daerah georafis itu berada di hutan yang berbatasan dengan sungai dan
laut maka kita bisa menyaksikan suatu mayarakat itu dapat meggunakan ketiga cara
tersebut.
Kemudian disamping teknik pengumpulan makanan, bagian lain yang tidak kalah
pentingnya adalah persoalan yang berkaiatan dengan teknik menghasilkan makanan
yang bisa dibagi menjadi a) mengumpulkan makanan menggunakan tenaga manusia b)
mengumpulkan makanan dengan menggunakan tenaga hewan atau mesin c) orang hidup
dari hasil beternak(Harsoyo, 1999: 204).
4. Pakaian
Selaian makanan, pakaian merupakan alat yang dibutuhakn secara mutlak dalam
kehidupan manusia, karena itu semua kebudayaan dalam masyarakat di dunia ini
memerlukan pakaian tersebut. Pada dasarnya pakaian yang dipergunakan memiliki
berbagai motivasi, antara lain:
a. Untuk melindungi diri dari pengaruh alam, seperti terik matahari, cuaca yang dingin,
tiupan angin kencang, hujan maupun binatang atau benda yang secara langsung bisa
menyebabkan luka pada tubuh atau cedera.
b. Guna menunjukan status keberadaan dirinya dalam masyarakat. Motivasi ini terkait
dengan jenis pakaian, harga dan bahan yang dipilih.
c. Berkaitan dengan ingin memperindah dan mempercantik diri.
d. Berpakain dengan motivasi mengikuti aturan atau kepercayaan yang diyakininya.
Gambaran tentang bentuk pakaian, bagaimana caranya memakai, kapan waktunya dan
dimanakah layak untuk dipakai, serta apa yang ada dalam pandangan dan pikiran
setiap orang dalam memakai pakaian tersebut tentu tidak sama pada semua suku
bangsa, karena terkait dengan kebudayaan suatu masyarakat. Misalnya berhubungan
dengan factor sejarah, nilai dan etika yang dianut, estetik, religius, teknologi,
aksesoris, ekonomis dan kesepakatan sosial terhadap suatu nilai dalam masyarakat.
5. Perumahan Rumah
Tempat tinggal adalah aspek yang sangat esensial bagi manusia selain makanan
dan pakaian. Rumah berarti manusia sedang belajar untuk mengarungi hidup dengan
menyesuaikan diri secara biologis dengan alam sekitarnya. Sifat dasar manusia yang
selalu hidup berkeloompok, berkumpul dan bercekrama dalam hubungan dengan
keluarga tentu menjadikan rumah sebagai sesutau yang berarti secara khusus. Rumah
tidak semata hanya sebagai tempat untuk berlindung, lebih dari itu rumah sebagai tempat
menyesuaikan diri dan proses perintegrasian secara psikologis para penguhinya untuk
merekatkan hubungan yang lebih akrab. Rumah bagi manusia berhubungan dengan
tempat berlindung, memberi rasa aman dan tenang baik secara fisik maupun secara
psikologis.
6. Alat Transportasi
Zaman moderen sekarang ini trasnportasi meliputi darat, laut dan udara. Dari
ketiga area ini maka manusia dapat menciptakan dan mengembangkan peralatan
tarnsportasi baik dari aspek kekuatan, kecepatan gerak, daya muat, eknomis, prestise,
maupun berdasaran nilai teknis dan nilai sosial lainya. Sedangkan pada masyarakat
sederhana hanya ada trasportasi darat, air. Transportasi air yang paling banyak
digunakan. Walaupun demikian alat transportasi baik pada masyarakat sederhana
maupun yang sudah maju fungsi utama pada alat transpotrasinya tersebut sama saja,
yaitu memindahkan manusia dan barang secara cepat dan banyak. Pada zaman dahulu
alat trasnportasi bisa kita temui seperti dengan menggunakan manusia, binatang, perahu,
kapal dan lain-lain. Di zaman sekarang ini alat trasnportasi yang demikian pesat
berkembanganya kita bisa menggunakan motor, mobil, kereta api, perahu, perahu
bermesin, kapal, kapal cepat, pesawat terbang dan lain-lain.

Mata Pencaharian atau Ekonomi


Tulisan dalam buku-buku antropologi pada masa awal, yang dimaksudkan dengan
mata pencaharian atau ekonomi adalah membicarakan kebutuhan manusia dan cara
memenuhi kebutuhan tersebut pada masyarakat primitive (cprimitive cultur), namun istilah
yang dipopulerkan oleh penulis Eropa ini kemudian menimbulkan protes keras karena
dinggap memberi label inverior pada masyarakat di luar benua Eropa. Sehingga dalam
membicarakan bidang ekonomi ini, para antropolog masa kini berusaha menghindar untuk
menggunakan kata primitive, sehingga dirubah dengan itilah sederhana, oleh karena itu
istilah ekonomipun diganti dengan kebutuhan pokok atau ekonomi subtantif ( Eric
Wolf:1985).
Mata pencaharian pada manusia umumnya melakukan kegiatan untuk
mengumpulkan makanan yang telah disediakan oleh alam, dan mengolah makanan dari
bahan alam yang masih mentah sifatnya menjadi makanan yang siap untuk dikonsumsi.
Itulah salah satu kemampuan manusia dengan kebudayaanya yang membedakan dirinya
dengan hewan, karena hewan hanya memakan sumber makanan yang disediakan oleh alam
tanpa mampu mengolahnya.
Hal yang berkaitan dengan kebutuhan manusia dalam kajian antropologi, adalah
suatu jenis kebutuhan manusia dalam bidang makanan yang sangat erat berhubungan
dengan kebiasaan, kepercayaan, mitos, budaya, keadaan alam dan sebagainya. Orang
Maluku pada umunnya menjadikan sagu sebagai bahan makanan pokok karena bahan
makanan itu berupa pohon sagu yang tumbuh subur di area yang banyak sumber airnya di
wilayah Kepulauan Maluku (juga Maluku Utara dan Papua) dan tersebar di hutan
pedalaman yang dimiliki secara komunal, artinya setiap orang yang berkesempatan untuk
mengolah pohon sagu maka hasilnyya menjadi milik pengelola. Kebiasaan yang demikian
berlaku secara turun temurun sejak dahulu kala, sehingga sebagian masyarakat Maluku
merasa belum kenyang kalau ia belum makan makanan yang diolah dari bahan baku sagu
(popeda dan sagu lempe). Pada masyarakat Papua pedalaman, mereka merasa kenyang
kalau yang dimakan adalah ubi jalar (kasus bantuan puluhan ton beras dari Makassar pada
musibah gemba bumi di Biak tahun 2004 dibiarkan rusak kerena mereka kurang terbiasa
makan nasi). Pada hewan, ada msyarakat tertentu yang tidak mau mengkonsumsinya karena
alasan mitos, kepercayaan dan alasan budaya (babi bagi kalangan muslim, sapi bagi
kalangan Hindu dan sebagainya).
Mata pencaharian dalam masyarakat dunia sekarang ini bisa diklasifikasi menjadi a)
masyarakat pemburu dan peramu b) masyarakat nelayan c) masyarakat petani d)
masyarakat peternak e) masyarakat pengrajin f) masyarakat pekerja industri (buruh) g)
masyarakat pekerja di bidang jasa. Semua klasifikasi ini pada dasarnya menyediakan
kebutuhan manusia atau kegiatan produksi di bidang barang maupun bidang jasa.
Organisasi Sosial
Manusia di dunia ini tidak pernah kita jumpai hidup secara sendiri tetapi selalu
hidup secara berkleompok atau hidup bersama dengan orang lain. Walaupun terdapat kasus
seseorang yang hidup secara sendiri, namun hal yang demikain sifatnya sangat insidentil
dan tidak permanen, misalnya karena dihukum atau bepergian untuk sementara waktu, atau
oarng tersebut mempunyai kelainan tertentu. Manusia memerlukan kontak dengan orang
lain untuk berinteraksi karena dengan hidup bersama, manusia dapat mengembangkan
potensi yang terdapat pada dirinya melalui stimulus orang lain .
Ditinjau dari aspek biologis, manusia memiliki tubuh yang tergolong lemah dan
kalah dengan binatang yang lebih kuat dari manusia, seperti gajah, harimau, kera, buaya,
ikan hiu, paus, sapi, kerbau dan lain sebagainya. Atau kalah cepat dan tidak selincah seperti
burung yag berterbangan di udara. Oleh karena itu kekuatan manusia tidak terletak pada
kemampuan biologisnya secara individu, melainkan pada sifat kerjasamanya dengan
manusia yang lain. Manusia secara biololois sejak lahir sudah tergantung pada asuhan
orang tua, kerabat dan keluarga sekitarnya, ia bisa belajar menegmbangkan diri karena
adanya interaksi degan manusia lain, manusia lain itu telah mengajarka nilai-nilai hidup
yang kelak menjadi kebudayaanya.
Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari saja manusia begitu banyak membutuhakan
bantuan orang lain. Misalkan saja seorang karyawan atau pegawai negeri sipil yang bekerja
di kantor bidang administrai, setiap hari tugasnya hanya mencatat dan membuat laporan
tentang berbagai kegiatan yang terjadi di kantornya, kemudian setiap bulan ia mendapat
gaji atau upah dari negara berupa uang. Uang yang ia terima sebagai gaji tidak mungkin
bisa dimakan, tetapi uang itu mesti ditukarkan dengan sesuatu yang bernilai yaitu barang-
barang yang dibutuhkan untuk makan, pakain dan perumahan. Sedangkan barang yang
butuhkan itu ia tidak bisa menyediakan secara mandiri, maka disitulah pertanda begitu
kuatnya ketergantungan individu terhadap kelompok manusia yan lain. Kalau ia mau
makan, ia membutuhkan petani beras, distributor beras, sampai pada pedagang beras.
Ketika sudah menjadi nasi ia masih membutuhkan sayur dari petani dan pedagang sayur,
kemudian ia masih membutuhakn ikan atau daging, maka tentu ia masih membutuhkan jasa
baik dari kalangan nelayan dan peternak. Demikianlah ketidak mampuan manusia
menyediakan pangan dan papan sencara sendiri, sehingga sudah menjadi kodrati bahwa
manusia adalah mahluk sosial artinya bisa hidup karena jasa dan kerjasamanya dengan
manusia yang lain.
Menurut J.O. Hertzler (dalam Harsoyo: 217) agar tercipta adanya kehidupan yang
baik dalam hubungan kerjasama antar masyarakat diperlukan satu tertib sosial yang
memerlukan beberapa syarat:
a. Harus ada nilai atau tata aturan yang mengatur hubungan sosial yang disepakati bersama
oleh anggota masyarakat.
b. Harus ada otoritas kekuasaan yang memiliki kekuatan yang memksa anggota masyaakat
untuk melaksanakan tata aturan dan meneggakkan aturan tersebut.
c. Adanya pengaturan tentang status dan fungsi individu dalam berkelompok dan lapisan
sosial tertentu yang menggambarkan adanaya koordinasi dan subkoordinasi. d. Para
anggota masyarakat yang bergelut dalam berbagai bidang profesi masing-masing,
mempunyai tanggung jawab memberikan kepuasaan dan sikap menciptakan suasana
harmoni untuk semua.
e. Memiliki suatu mekanisme yang jelas dalam mencipakan tekanan sosial (intrupsi dan
protes) sebagai suatu pedoman dalam melakukan koreksi sosial.

Berkaiatan dengan kesepakatan sosial yang dibuat tersebut, antropologi mengenalkan


beberapa kelompok sosial yang berlaku dalam masyarakat, yaitu kelompok kekerabatan
yang menghimpun para anggota keluarga secara komunal (paguyuban), dan bentuk
organisasi atau lembaga yang bisa digunakan untuk mengembangkan potensi
kelompkok secara profesinal. Peran manusia baik sebagai individu maupun dalam
organisasi sosial juga kita kenal dengan istilah struktur sosial, status sosial, dan fungsi
sosial. Uraian lebih lengkap tentang istilah-istilah ini akan dipelajari dalam bidang ilmu
Sosiologi.

Pengetahuan
Kajian antropologi mengenai pengetahuan pada mulanya hanya ditujukan pada
pengetahuan tertentu pada suatu suku bangsa yang dianggap menonjol, seperti kemampuan
suatu suku bangsa menangani pengaturan pengobatan, meracik panah beracun, pengetahuan
di bidang navigasi pelayaran, pegetahuan mengenai diagnosa penyakit, pengetahuan
mengenai anatomi tubuh manusia dan lain-lain. Pandangan seperti ini dapat dimaklumi,
karena pada awalnya kajian etnografi yang dilakukan oleh bangsa Eropa adalah
membangun suatu anggapan bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa belum memiliki
pengetahun, dan hanya bangsa Eropa yang mempunyai pengetahuan. Namun para
antropolog masa kini mulai menyadari bahwa sistem pengetahuan itu ternyata berlaku
untuk semua orang, karena pengetahuan itu berlaku secara universal bagi semua kebudayaa
di dunia ini dan merupakan suatu bagian dari kebudayaan yaag tidak bisa dipisahkan
dengan manusia itu sendiri.
Walaupun pengetahuan yang dimaksud secara umum berlaku mengenai
pengetahuan manusia akan kemampuan menciptakan barang dan jasa, namun demikian
pengetahuan yang dimaksud secara khusus adalah yang kita sebut KEARIFAN LOKAL
(local wisdom) suatu masyarakat suku bangsa, mengenai konsepsi mereka terhadap alam
sekitarnya, flora dan fauna, serta manusia itu sendiri dan sistem sosialnya. Terkadang
pengetahuan (kearifan local) itu bersifat khas dan tidak dimiliki oleh suku bangsa yang lain
sehingga bisa dianggap bermafaat, tetapi pengetahuan itu justru mempunyai nilai filosofis
atau mempunyai argumentasi yang mampu dipertanggungjawabkan baik secara psikologis-
emosional maupun secara illmiah. Pengetahuan yang berupa kearifan local dapat kita lihat
misalnya pada masyarakat Sulawsi Selatan, seperti Masyarakat Kajang di Kabupaten
Bulukumba yang sampai sekarang ini tidak memperkenangkan masuknya teknologi
moderen seperi listrik, kendaraan bermotor, hand phone, untuk menjaga dan menghormati
alam ligkunganya, serta tidak memperkenangkan setiap orang yang memasuki wilayah
kawasan adat Amatoa selain harus memakai pakaian serba hitam. Secara sepintas ada
angggapan orang lain bahwa cara hidup atau kebudayaan orang Kajang adalah kebudayaan
yang primitive, akan tetapi pola hidup mereka tentu mempunyai alasan filososfis yang
hanya difahami oleh Orang Kajang sendiri atau orang yang belajar dan melakukan
penelitian terhadap kebudayaan masyarakat Kajang tersebut.

Kesenian
Antropologi memandang bahwa manusia memiliki sifat universal untuk mencari
dan mengagumi keindahan. Munculnya bentuk keindahan dalam diri manusia karena
terjadinya permainan imajinatif yang bersifat kreatif, sehingga manusia merasa terpuaskan
secara batiniah. Dalam bidang kesenian manusia tidak megandalkan pikiranya semata, akan
tetapi manusia bergumul dengan perasaanya sehingga melahirkan suatu kegairahan kreasi
yang spontan, ketenangan jiwa yang mengantar setiap pelaku seni keluar dari hiruk pikuk
kehidupan sehari-hari lalu masuk ke dalam suatu dunia ajaib yang dipandang penuh dengan
suasana kindahan dan kebesaran, dunia yang sarat dengan kegairahan, namun juga penuh
dengan kesedihan. Seniman dalam dunia seni adalah orang yang sedang memasuki dunia
yang bebas dengan keserakahan hidup.
Seorang seniman mencoba menghayati hasil karya seninya agar terpuaskan dahaga
batinya, akan tetapi seni bukan hanya milik seniman, seni itu milik semua orang karena ia
menjadi sifat kodrati setiap manusia, seni menggema dalam perasaan setiap insan. Jadi
hakikat seni itu adalah keadaan indah yang menggema yang mampu memuaskan batin.
Hakikat seni ini kemudian dijelaskan oleh Franz Boas dalam studi klasiknya Primitive of
Art (1927) menyebutkan bahwa menjadi kodrat manusia untuk menyatakan daya kreasinya,
akan tetapi bentuk kesenian itu tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Menurut Boaz, seni
berlandaskan dua hal, yaitu peningkatan teknik dan ekspresi emosi dan pikiran (Harsoyo,
1999: 231).
Manusia menciptakan suatu tingkat kemampuan diri, baik melalui gerakan tubuh
maupun hasil kreasi terhadap benda-benda tertentu, kreasi itu bisa berwujud benda, suara,
gambar maupun gerak. Semua hal yang dikreasikan tentu melalui suatu proses berfikir yang
halus disertai kemasan emosial yang secara psikologis bisa menggelorakan batin bagi yang
melakoninya, dan tentu berpengaruh kuat terhadap para penikmat seni itu sendiri.
Namun demikian tingkat emosi yang berkaitan dengan kepuasan batin sangat
tergantung pada kebudayaan dan sub kebudayaan masing-masing suku bangsa, karena itu
maka seni adalah ekspresi kepuasan yang diperoleh melalui petualangan batin untuk
memenuhi kebutuhan rasa atau kebutuhan perasaan manusia. Walaupun demikian kesenian
juga terkadang dipakai untuk mengekpresikan sikap kritis terhadap kekuasaan karena ia
tidak punya kuasa untuk melakukanya.
Kesenian pada masyarakat sederhana pada umumnya digunakan untuk menyatakan
kebersamaan secara lahiriyah maupun batiniyah melalui kumpulan komunal sosial dan
cultural, yang tidak hanya sekedar berkumpul untuk berkomonikasi akan tetapi sebagai
ajang menguatkan nilai solidarista sosial dan cultural, yang melibatkan emosi, mitos dan
keyakinan religius. Nyanyian dan tarian tertentu yang dilakukan suatu suku bangsa
berhubungan dengan sesembahan kepada arwah, para dewa atau kepada alam gaib. Ia tidak
terbatas pada apa yang nampak tapi menembus batas-batas spritualitas manusia.

Religi
Istilah religi berasal dari kata religion, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata
agama. Secara sengaja saya tidak menggunakan istilah agama karena di kalangan
masyarakat Indonesia kata agama sudah mempunyai makna secara khusus yang terkait
dengan agama tertentu seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Koungfutsu. Dalam kajian
antroplogi istilah religi diartikan sebagai keyakainan atau kepercayaan terhadap kekutan
Gaib, yaitu kekutaa yang berada di luar kendali manusi. Kakuatan Gaib itu bermacam-
macam, bisa bersumber dari tuhan, dewa, benda-benda, kekuatan alam dan sebagainya. Jadi
yang dimaksud religi dalam pembahasan ini bersifat umum, dalam arti semua yang
beranggapan bahwa ada kekuatan Supra-Natuural di luar dirinya maka itulah religi.
Kemudian sudah dibahas terdahulu bahwa dalam kajian antropologi, religi adalah
bagian dari kebudayaan, religi pada dasarnya adalah rasa pasrah manusia atas ketidak
berdayaanya menghadapi segala sesuatu yang tidak mampu diatasi. Oleh karena itu religi
manusia senantiasa memelihara sikap keterkaitan secara emosial dengan kekuatan-kekuatan
Supra-Natural tersebut. Maka religi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Keyakinan b)
upacara religi dan c) umat penganut religi tersebut. (Koentjaranningrat , 2005: 202).
Keyakinan dalam religi juga mencakup berbagai hal yang berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan Gaib, seperti konsepsi mengenai keyakinaan akan adanya dewa baik
maupun dewa jahat, sifat dan tanda-tanda dewa, kensepsi dan keyakinan terhadap mahluk
halus seperti ruh leluhur, ruh yang baik maupun ruh jahat, keyakinan mengenai dewa
tertinggi pencipta alam dan manusia, konsepsi mengenai hidup dan maut, dunia ruh, hidup
setelah mati dan lain-lain (Koentjaraninrat, 2005: 204). Himpunan atau kumpulan
pengetahuan atau ceritra tentang dunia alam gaib biasanya terhimpun dalam suatu buku
atau ceritra yang dinamakan mitologi atau kesusastraan suci.
Selain keyakinan , aspek kedua dari sistem reiligi adalah upacara religi. Dalam
kajian antropologi titik perhatianya dalam upacara religi biasanya yang difokuskan adalah
pada (a) tempat dan waktu upacara religi itu dilakukan (b) bendabenda dan peralatan
upacara religi dan (c) orang yang memimpin dan yang mengikuti upacara religi
(Koentjaraningrat, 2005: 211-212).
Aspek tempat upacara religi berkaitan dengan tempat yang dianggap keramat
seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid, sinagoge dan sebagainya.
Kemudian waktu pelaksanaan upacara religi berkaitan dengan hari keramat, hari suci, hari
raya, dan sebagainya. Sedangkan benda, peralatan, dan orang yang terlibat dalam upacara
religi seperti, alat bunyi-bunyian seperli gong, seruling, gendang, herbana, dan lain
sebagainya. Sedangkan pemimpin upacara religi misalnya pendeta, biksu, syaman, dukun,
kyai, dan sebagainya.
Kemudian pada umumnya kegiatan dalam upacara religi di Indonesia meliputi
unsur-unsur: Bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama, menari tarian suci, menyanyi
nyanyian suci, pawai, drama suci, berpuasa, mengaburkan pikiran hingga kerasukan,
bertapa, bersemedi dan sebagainya (Koentjaraningrat, 2009 : 296).
Berbagai unsur upacara religi yang tersajikan di atas, dalam setiap kegiatan unsur-
unsur tersebut pada setiap religi tentu berbeda-beda, ada yang mengaggap suatu kegiatan
lebih utama sedangkan yang lainya bukanlah unsur yang utama, sehingga apabila para
mahasiswa yang belajar antropologi diajak untuk mengunjungi setiap kelompok religi yang
sedang melakukan upacara religi, niscaya akan terlihat hal- hal yang paling ditonjolkan, dan
setiap religi akan berbeda tergantung pada sistem nilai yang dianut dalam keyakinan religi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Saebani B. Ahmad. Pengantar Antroplogi. Bandung: Pustaka Setia: 2012.
Puji Leksono. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu Antropologi. Malang:
UMM Press. 2006
Ihromi. T.O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006.
Benedict, Ruth, Patterns of Culture. Boston: Houghton
Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Mifflin Co., 1980. Harris, Marvin, “Culture, People, Nature; An Introduction to General
Anthropology”, New York, Harper and Row Publishers, 1988.
Richardson, Miles, “Anthropologist-the Myth Teller,” American Ethnologist, 2, no.3 (August
1975).
Koentjaraningrat,Pengantar Ilmu Antropologi.Rineka Cipta: Jakarta.2002
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu antropologi: Pokok-Pokok Etnografi. Jakarta: Rineka
Cipta. 2005.
Koentjaraningrat. 1984. Masalah-masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi
Terapan. Jakarta: LP3ES.
Sairin, Sjafri. 2010. Riak-riak Pembanguan Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Media
Wacana
Syam, Nur. 2012. Mazhab-Mazhab Antropoogi. Yogjakarta: LKIS Printing Cemerlang.
Ihromi. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ihroni,I.T.O. Pokok Pokok Antropologi,  Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2006. Hlm 49 dan
50.
http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat

http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-
sosial-antar-manusia.
http://donarsri.blogspot.com/2013/04/antropologi-bab-5
kebudayaan.htmlhttps://moondoggiesmusic.com/struktur-sosial/
https://www.anthropology.id/metode-metode-antropologi-sebagai-ilmu-sosial-terapan/

http://pustaka-pintar.blogspot.com/2017/09/teori-teori-dalam-antropologi.html

Anda mungkin juga menyukai