PENGERTIAN ANTROPOLOGI
Tujuan Pembelajaran.
A. Pengantar
Sewaktu saya mengawali perkuliahan terhadap mahasiswa semester awal,
kegiatan dimulai dengan perkenalan perindividu, kemudian dilanjutkan dengan
pengenalan mata kuliah. Salah satu pertanyaan yang selalu saya ajukan adalah “siapa
yang sudah pernah mendengar atau faham istilah antropologi ?” Pada suatu ketika
seorang mahasiswa mengacungkan tangan dan menjawab “ antropologi adalah ilmu yang
membicarakan/mengkaji tentang bintang-bintang”, sejenak suasana ruangan menjadi
hening. Mahasiswa tersebut rupanya menyamakan antropologi dengan ilmu astronomi.
Sebagian besar mahasiswa juga menjawab baru kali ini mereka mendapatkan pelajaran
antroplogi. Itu pertanda bahwa antropologi memang belum familiar di telinga para pelajar
di negeri ini.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu antropologi nanti diperkenalkan pada
pendidikan tingkat atas, itupun hanya terkhusus pada jurusan ilmu bahasa, sedangkan
jurusan ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial tidak mendapakan pelajaran
antropologi. Nanti setelah di perguruan tinggi khususnya program studi rumpun ilmu
sosial dan humaniora, serta beberapa prodi ilmu agama menjadikan antropologi sebagai
mata kulian dasar umum (MKDU).
Keberadaan ilmu antropologi tentu bersama dengan ilmu sosial yang lain seperti
sosiologi, kini mulai mengambil peran praktis dalam membantu memecahkan problem
hidup sosial kemasyarakatan. Ilmu antropologi mulai dibutuhkan karena selama ini
pembangunan nasional cenderung pada aspek pembangunan fisik dan ekonomi, sehingga
indikator kemajuan suatu masyarakat selalu diukur dari kemajuan pembangunan sarana
fisik dan pendapatan perkapita, mengakibatkan sumber daya sosio-kultural yang menjadi
milik asasi setiap masyarakat diabaikan, sehingga tidak heran terjadi ketimpangan dalam
pemerataan pembangunan yang menyisakan persoalan sosial budaya.
Kini riset-riset antropologi secara praktis telah berguna dalam mengdiagnosa
persoalan sosial budaya seperti kemiskinan, pengangguran, anak jalanan, komonitas
keagamaan, agama lokal, masyarakat marjinal, eksisitensi hakhak adat, komonitas adat,
masyarakat urban, masyarakat nelayan, buruh, buruh tani, trafiking, kepemilikan tanah,
sampai pada persoalan seks komersial dan kesetaraan jender.
Antropologi adalah salah satu bidang disiplin ilmu yang jenis keilmuannya murni dan
juga praktis. Sejarah munculnya keilmuan ini, berawal dari bangsa Yunani dan Romawi.
Bapak sejarah Herodotus menulis 50 bahasa, seni, macam adat perkawinan serta
menganggap masyarakat saat itu melakukan perbandingan diantara budaya-budaya
masyarakat. Mereka memilki sikap dan pandangan meremehkan pada masyarakat dan
budaya-budaya lain. Diabad 1 M Tacitus menulis tentang suku-suku di Jerman. Fase
perkembangan Antropologi terbagi menjadi empat bagian:
Selama empat abad berselang. Dimulai sejak abad 15 hingga permulaan abad ke 16,
bangsa Eropa menularkan pengaruh besar terhadap berbagai suku, bangsa, masyarakat
hingga budaya setempat. Mereka melakukan penjajahan di tiga benua, afrika, asia dan
amerika. Ketika bangsa Eropa menemukan suatu hal yang aneh, suatu hal-hal yang baru di
tempat jajahannya. Mereka mencurahkan pengalaman-pengalaman yang mereka dapat ke
sebuah tulisan. Kumpulan-kumpulan tulisan itu disebut Etnographi. Terdapat beberapa
pendapat dalam segi sudut pandang seseorang dalam memaknainya. Mulai dari
beranggapan mereka (bangsa yang dijajah) adalah makhluk liar hingga sebutan-cebutan
keturunan iblis dilontarkan. Ada juga yang mencoba mengumpulkan barang-barang antik
lalu mengumpulkannya untuk diperlihatkan ke semua orang.
Pada masa ini perkembangan antropologi bertambah pesat dan luas. Bertambahnya
pengetahuan yang lebih teliti dan ketajaman dalam metode ilmiahnya sangat mengesankan.
Adanya perkembangan yang pesat ini mengakibatkan hilangnya sedikit demi sedikit
masyarakat primitif dan kebudayaan-kebudayan kuno. Antropologi dimasa ini berperan
dalam dua hal yakni, dalam bidang akademik dan juga tujuan praktis. Tujuan dalam bidang
akademiknya berusaha untuk mencapai pengertian manusia dengan mempelajari keragaman
bentuk fisik, masyarakat dan kebudayaannya. Sedangkan tujuan praktisnya adalah
mempelajari, memahami dan membangun masayarakat suku bangsa.
BAB III
KONSEP KEBUDAYAAN
Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi.
Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini.
Seniman seperti penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan
istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang
sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa
Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya
istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli
Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli
Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada
sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian
banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi tentang
arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang
ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan
pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari: “Kebudayaan adalah seluruh cara
kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang
dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek
kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap,
dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok
penduduk tertentu. Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan
dengan beberapa aspek “di luar sana” yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan.
Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia
tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu
ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan
perilaku mahluk lain yang tingkahlakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan,
semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri.
Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi
kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar
yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa
yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia
perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompokkelompoknya menyebabkan
manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara
makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan
tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut
perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu
untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari
banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu makan. Dulu manusia makan
disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempat-tempat khusus dimana makanan itu
dimakan. Hal ini semua terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang
dilakukan oleh generasi sebelumya atau lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan
berguna dalam hidupnya. Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak
dipelajari. Semut semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki
kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi
pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya
dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola
kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.
Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para
pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya
selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan
itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang
atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan
kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan
langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam
kebudayaan kita merupakan hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap
melanggar tata kesopanan atau yang ada.
Akan ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal
yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada,
akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-tertib
yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan
yang berlaku dalam masyarakatnya. Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika
seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam gereja. Ada
sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini. Kalau si
individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke gereja, mungkin dia hanya
akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu tadi adalah seorang
wanita dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke gereja, dia mungkin akan di
tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan oleh
kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh
beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi.
Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang
awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun
kampung jauh diatas bukit atau kampung di atas air dan sebagainya, karena akan banyak
sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila
kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan
didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka
mendapat tekanan-tekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya
dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu
cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit.
Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian
masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu
sama.
Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang
berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut
mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain
yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasan–alasan ini
sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya.
Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu menyesuaikan diri pada
suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya orang akan mengubah
tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau penyesuaian atas suatu keadaan yang baru
sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi.
Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk
menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak
kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini.
A. Evoliusionisme
Pemikiran dasar evolisionisme adalah bahwa ada suatu kepastian dalam tata
tetib perkembangan, yang melintasi kebudayaan dengan kecepatan yang agak kecil
agak besar (Baal,1988; 114). Misalkan saja dalam bidang perkawinan, Edward
Watermarck bahwa ada hubungan analogis antara hewan dan manusia.Khususnya
pada jenis burung, telah ada pemilihan keturunan, bahkan burung jantan juga
memelihara anak-anaknya. Hal ini mengidentifikasiakan bahwa masa silam
perkawinan manusia pun tidak tidak campur aduk, malinkan telah ada proses yang
beradap. Perkawinan masa lalau telah berlangsung lama, telah memikirkan hubungan
seksual, dan karenanya memerlukan perawatan.Perkawinan besar kemungkinananya
berupa warisan. Homo sapiens, aslinya juga pemakan buah, seperti juga manusia kera
tadinya hidup dalam kelompok-kelompok kecil.Jika mereka berpencar lalu terjadi
perkawinan campur aduk, sebenarnya merupakan mitos manusia purba saja.Seperi
hanya penemuan masyarakat Andaman, bahwa suatu pasangan bercerai untuk
mencuri patner baru, setelah mereka disapi.Ternyata penelitian menunjukkan, orang
Andaman suami-istri yang sangat setia. Tentu saja proses semacam ini bergerak
sedikit demi sedikit seiiring dengan perkembangan budaya mereka.
B. Difusionisme
Difusi adalah salah satu bentuk penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu
tempat ke tempat lainnya. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika teori
evolusi kebudayaan dari Tylor dan Morgan masih populer, aliran difusi mulai
mempengaruhi ahli antropologi dari berbagai tempat dunia. Dua aliran utama yang
mempunyai pandangan difusi dari aliran Inggris dan aliran Jerman-Austria. Aliran
difusi Inggris adalah G. Elliot Smith. William J. Perry dan W.H.R., mereka
berpendapat bahwa evolusi yang sejajar atau pararel yang berlangsung terpisah dari
sesuatu unsur kebudayaan di dua daerah yang berjauhan adalah jarang sekali terjadi.
Mereka juga beranggapan bahwa pada hakekatnya manusia tidak cenderung
menciptakan hal-hal baru dan lebih suka meminjam saja penemuan-penemuan dari
kebudayaan orang lain lebih daripada menciptakan unsur budaya sendiri. Sama halnya
pada aliran Jerman-Austria yang sams-sama beranggapan bahwa manusia lebih suka
meminjam kebudayaa lain. Karena dasarnya manusia itu bukan pencipta ide baru.
C. Fungsionalisme
Tokoh utama teori ini adalah Bronislaw Malinowski yang memiliki anggapan
atau asumsi bahwa setiap unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana
unsur terdapat atau dapat dikatakan bahwa pandangan fungsionalisme terhadap
kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi
kebiasaan. Pemikiran Bronislaw Malinowski mengajukan beberapa unsur pokok
kebudayaan yang meliputi, sebagai berikut:
a. Sistem normatif yaitu sistem norma-norma yang memungkinkan kerjasama antara
para anggota masyarakat agar dapat menguasai alam di sekelilingnya.
b. Organisasi ekonomi
c. Mechanism and Agencies of education yaitu alat-alat dan lembaga-lembaga atau
petugas untuk pendidikan. Misalnya keluarga, karena keluarga adalah berperan
sebagai lembaga awal dalam mengajarkan pendidikan sebelum memasuki dunia
pendidikan.
d. Organisasi kekuatan (the organization of force). Bronislaw Malinowski sebagai
penganut teori fungsional selalu mencari fungsi atau kegunaan setiap unsur
kebudayaan untuk keperluan masyarakat.
D. Fungsionalisme-Struktural
Sama halnya Bronislaw Malinowski yang menjadi tokoh utama dalam aliran
fungsionalisme, dalam aliran fungsionalisme-struktural yang tokoh utamanya adalah
Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Yang sama-sama alhli lain dalam antropologi
sosial mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalism.
Tetapi ada perbedaan sudut pandang bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah
berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk
mempertahankan struktural sosial masyarakat. Satu contoh kongkret dari pendekatan
yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah analisa tentang cara
penanggunlangan mengenai ketegangan yang kecenderungan timbul di antara orang-
orang yang terikat karena perkawinan, yang terdapat dalam masyarakat-masyarakat
yang berbeda-beda.Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsional strutural
ini, adalah sulitnya untuk menentukan apakah satu kebiasaan tertentu pada nyatanya
berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat.
E. Strukturalisme
Dari sudut pandang Claude Levi-Strauss sebagai tokoh terkemuka dari
pendekatan analisa kebudayaan yang dinamakan Struktural Perancis. Struktural Levi-
Straus berbeda dengan Struktural Racdcliffe-Brown,karena permasalahn yang
menjadi perhatian utama dari Brown adalah elemen yang bagaimanakah yang
berfungsi dalam masyarakat, sedangkan Levi-Straus lebih konsentrasi pada asal-usul
dari sistem dan selalu memandang sebagai kebudayaan. Seperi halnya adanya
upacara-upacara dan pola kehidupan sehari-hari. Antropologi Levi-Straus juga
bertujuan untuk menemukan model-model bahsa dan budaya melalui struturnya yaitu
pemahaman terhadap pikiran dan perilaku kehidapan manusia.
F. Etnosains
Etnosains dapat dikatakan sebagai suatu susunan bahasa. Bila dalam
pendekatan struktural dari Levi-Straus dimasukkan aturan-aturan mengenai cara
berfikir yang mungkin melatar belakangkan suatu kebudayaan dalam antropologi
pastinya memunculkan etnografi dalam kebudayaan di masyarakat, dalm suatu
pendekatan etnografis yang baru diberi nama ethosciece, aturan-aturan demikian
dicoba dirumuskan berdasarkan analisa logis dan data etnografis dan kemungkinan
bahwa analisa itu berpendapat jika dapat diungkapkandiwarnai oleh penilaian sepihak
dari peneliti. Banyak pengikut ethnoscience berpendapat jika dapat diungkapkan
aturan-aturan yang menjadi dasar dari perilaku budaya yang tepat, maka banyak hal
yang dilakukan oleh manusia dan alasan mengapa dia berlaku seperti itu, seperti
halnya dengan tata bahasa yang tidak menjelaskan mengapa suatu bahasa memiliki
sifat-sifat yang ada dan bagaimana proses perubannya.
G. Simbolik
Geertz adalah seorang pakar Antropologi Amerika yang memperkenalkan
perspektif baru di bidang antropologi untuk melengkapi beberapa perspektif
sebelumnya, yaitu aliran struktural fungsional yang berkembang di Inggris melalui
tokoh-tokohnya, seperti Bronislaw Malinowski dan Redelife Brown. Dan juga aliran
evolusionis yang berkembang lebih dahulu sebelum aliran, struktural-fungsional
memperoleh pengakuan akademis, dengan tokohnya, seperti Frazer, Tylor, dan Maret.
Di Amerika, aliran struktural fungsional berkembang berkat karya Turner yang
merupakan guru Clifford Geertz. Meskipun kemudian terdapat perbedaan di dalam
perspektif antropologinya.Jika Turner lebih mengarah ke antropologi sosial
sebagaimana aliran ini berkembang di Inggris, maka Geertz lebih masuk ke dunia
budaya atau kajian antropologi budaya, terutama kajian-kajian tentang dinamis
hubungan antara agama dan budaya.Di antara karya itu adalah the Religion of
java,Islam Observed, dan karya lain misalnya Religion as a Cultural System.
Perspektif simbolik memang menjadi lahan baru di tengah berbagai aliran yang
sudah ada sebelumnya dan dirasakan mengalami kejenuhan. Akan tetapi, perspektif
ini sebagai kelanjutan tidak langsung dari perspektif fenomenologi-interpretatif di
dalam kajian-kajian agama memiliki “kesamaan”, yaitu ingin memahami apa yang
ada di balik fenomena. Ia tidak berhenti pada fenomena saja, tetapi bergerak menatap
lebih mendalam pada dunia fenomena yang sering dikonsepsikan sebagai pemahaman
interpretatif.
Kebudayaan dalam Perspektif Antropologi Simbolik. Kebudayaan adalah istilah
yang kompleks.Begitu kompleksnya sehingga terdapat sangat banyak definisi tentang
kebudayaan itu. Kluckholn, misalnya telah melakukan pelacakan terhadap sekian
banyak pengertian tentang kebudayaan dan kemudian merangkumnya menjadi:
1. Keseluruhan cara hidup suatu masyarakat,
2. Warisan sosial yang diperoleh individu dari kelompoknya,
3. Suatu cara berpikir, merasa, dan percaya,
4. Suatu abstraksi dari tingkah laku,
5. Suatu teori pada pihak antropologi tentang cara suatu kelompok
masyarakatnyatanyabertingkah laku,
6. Suatu gudang untuk mengumpulkan hasil belajar,
7. Seperangkat orientasi-orientasi standar pada masalah yang sedang berlangsung,
8. Tingkah laku yang di pelajari,
9. Suatu mekanisme untuk penataantingkah laku yang bersifat normative,
10. Seperangkat teknik untuk menyesuaikan, baik dengan linkungan luar maupun
dengan orang-orang lain
11. Suatu endapan sejarah.
H. Interprentivisme
Paradigma interpretivismemenekankan cara pandang, pemahaman dan
makna.Dalam manajemen pendidikan, interpretifisme berada pada bagaimana
pendidikan diperoleh di managemen sedemikian rupa agar mencapai tujuannya.
Contoh yaitu: fenomena UAN yang meresahkan hampir semua civitas akademik
mulai dari siswa orang tua sampai pada perangkat sekolah, yang menuntut para guru
untuk selalu bekerja keras agar murid-muridnya lulus dengan nilai yang memuaskan.
Dengan cara memanajemen pendidikan maka “panekanan” terhadap siswa utuk lulus
akan semakin besar dengan tidak menggunakan rekayasa-rekayasa dalam pendidikan.
I. Postmodernisme
Istilah Postmodernisme dipopulerkan oleh para seniman, penulis, dan kritikus
sastra yang menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme berhenti
dalam birokrasi.Dalam bidang filsafat, Postmodernisme berarti kritik-krtik filosofis
atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain,
istilah postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik
atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Bahasa dan sastra
adalah salah satu cara untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi objek utama
dalam Hermeneutika. Hermeneutika menurut Gadamer adalah sebuah refleksi kritis
atas cara-cara kita memahami dunia dan atas bentuk-bentuk pemahaman itu.
Menurutnya, bahasa adalah cara yang khas dari manusia di dunia ini.
Menurut Pauline Rosenau (1992 dalam Ritzer, 2007) postmodernisme
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-
janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan
dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah
industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur
cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan,
tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme,
egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan
impersonal dan rasionalitas. teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang
biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan
sebagainya.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi,
Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan
pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya,
merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat,
perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme. Postmodernisme
adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu : Ia melawan dan
mengaburkan pengertian postmodernisme. Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap
tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru, Sebuah zaman, zaman
apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan
berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah
ekonomi.
Adapun ciri-ciri dalam aliran antropologi teori postmodernisme, terdapat
delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :
1. Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya
kepercayaan pada agama yang bersifat transenden , dan diterimanya pandangan
pluralisme relativisme kebenaran.
2. Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem
indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi
terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan
“agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan
oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa,
semisal program televisi.
3. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga
sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran
sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk
membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
4. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta
keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.
5. Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan
wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi
menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang.Ibarat negara maju
sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.
6. Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk
mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era
postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
7. Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi
tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret
serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat
pada kelompok budaya secara eksklusif.
8. Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan
ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era
postmodernisme” banyak mengandung paradoks
Teori Evolusionisme Deterministik dapat dikatakan sebagai teori tertua di deretan teori
antropologi. Teori ini dikembangkan oleh Lewis Henry Morgan dan Edward Burnet
Tylor. Teori ini muncul dari anggapan adanya hukum universal yang mengendalikan
perkembangan semua kebudayaan manusia. Berdasarkan teori ini setiap kebudayaan
mengalami fase-fase atau evolusi. Lewis Henry Morgan (1818-1881) menggambarkan
proses evolusi masyarakat dan kebudayaan dengan delapan tahap evolusi universal yang
dituangkan dalam karyanya dengan judul Ancient Society. Delapan tingkat evolusi
tersebut adalah zaman liar, zaman liar madya, zaman liar muda, zaman barbar tua, zaman
barbar madya, zaman barbar muda, zaman peradaban purba dan zaman peradaban masa
kini.
B. Teori Partikularisme
Teori partikularisme muncul setelah berakhirnya masa teori evolusionisme. Pemikiran
baru ini dipelopori oleh Franz Boas (1858-1942) yang menentang teori evolusionisme.
Teori ini disebut juga sebagai partikularisme historic. Boas tidak setuju dengan teori
evolusi tentang adanya hukum universal yang menguasai kebudayaan. Boas berpendapat
meskipun hanya satu unsur, kebudayaan tetap harus dipelajari dalam konteks masyarakat
di mana unsur tersebut berada. Teori partikularisme berpandangan bahwa perkembangan
tiap kebudayaan mempunyai kekhasan sendiri-sendiri dan tidak dapat digeneralisasikan
ke dalam aturan atau hukum yang universal.
C. Teori Fungsionalisme
Hasil intisari dari pemikiran Koentjaraningrat (1984) dan Sjafri Sairin (2010) guna
menjadikan antropologi berperan dalam memajukan pembangunan sosial di Indonesia. Apa
yang tertuang dalam tulisan ini merupakan deskripsi bagaimana antropologi berjalan melalui
pendekatan-pendekatan yang ada dalam ilmu tersebut. Meskipun pada masa kini, metode atau
pendekatan antropologi telah mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan
kehidupan manusia. Ada lima metode yang berhasil dihimpun dari kedua tokoh antropologi
Indonesia tersebut. Masing-masing memiliki hubungan, cara dan penerapannya yang khas.
Berikut disajikan kelima metode itu :
1. Metode holistik. Holistik berarti menyeluruh. Yang diartikan dari pendekatan ini adalah
meneliti suatu masalah social budaya dalam rangka kehidupan masyarakat secara
menyeluruh. Metode ini dikembangkan dalam fasenya untuk masyarakat pedesaan (rural)
kecil yang dapat dicakup seluruhnya. Dalam suatu penelitian lapangan dan waktu yang
cukup lama. Begitu juga oleh Sairin (2010), pendekatan ini menekankan pada
pemahaman dari keseluruhan jaringan dari fenomena sosial masyarakat yang diteliti
(structural functional analysis).
2. Metode mikro. Sebagai konsekuensi dari penerapan pendekatan di atas, maka antropolog
mempelajari segi-segi rinci/detil dari suatu gejala hingga terkumpul semua data yang
sangat mendalam dan konkret mengenai suatu masalah sosial budaya tertentu. Data
konkrit ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk menganalisa masalah-masalah serupa
pada kasus-kasus lain sehingga didapat pengertian umum yang sangat mendalam terhadap
masalah bersangkutan. R. Firth, seorang antropolog Inggris mengatakan bahwa
pendekatan terhadap masalah sosial-budaya ini merupakan sifat yang khas dari ilmu
antropologi dan malah menyebut ilmu antropologi sebagai “sosiologi mikro (micro
sociology)”.
3. Metode semiotik. Pendekatan ini lebih menekankan kepada pemahaman kebudayaan
berdasarkan pada interpretasi yang dilakukan peneliti dari pandangan dasar subyek
penelitian atau native’s point of view. Menurut Sairin (2010) metode semiotik semakin
banyak digunakan akhir-akhir ini. Terutama dengan munculnya tokoh antropologi seperti
Goodenough dan Clifford Geertz. Dalam mertode semiotik ini analisa yang bersifat thick
description sangat ditekankan. Meskipun pendekatan atau metode yang digunakan
antropolog berbeda-beda, tetapi mereka umumnya tetap melakukan penelitian dengan
metode disebut kualitatif dengan observasi partisipasi (participant observation)
4. Metode komparatif. Metode ini menjadi kebiasaan antropologi sejak permulaan
sejarahnya. Hal tersebut dikarenakan antropologi selalu menghadapi gejala aneka warna
bentuk masyarakat dan kebudayaan yang besar. Berbagai metode komparatif
(perbandingan) sudah dikembangkan, salah satu diantaranya adalah metode perbandingan
“lintang kebudayaan” atau “cross-cultural method”. Cara kerja metode ini adalah
dipergunakan satu atau beberapa gejala sosial budaya yang serupa dalam suatu sampel
(contoh) yang cukup besar dari kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang tersebar luas.
5. Metode behavioristik. Metode ini hampir mirip dengan metode komparatif. Menurut
Sairin (2010), metode yang lebih mengarah kepada penelitian yang bersifat komparasi
dari behavior (tingkah laku) berbagai segmen (lapisan) masyarakat dengan menggunakan
kombinasi psiko-analisa, learning theory, dan antropologi budaya.
Dengan metode-metode yang khas tadi, ilmu antropologi dapat digunakan untuk melakukan
penelitian terhadap beberapa masalah tertentu yang biasanya bersifat menghambat proses
proses pertumbuhan pembanguan ekonomi yang cepat. Antropolog diminta untuk menambah
pengertian para perencana pembanguan dengan memberikan data mendalam mengenai
masalah-masalah tadi melalui jalur penelitian atau jalur konsultasi dalam rapat-rapat kerja
lokakarya atau seminar-seminar pembangunan. Adapun masalah pembangunan yang khas
untuk ilmu antropologi yaitu :
1. Masalah penduduk
2. Masalah struktur masyarakat desa
3. Masalah migrasi, transmigrasi, dan urbanisasi
4. Masalah interasi nasional
5. Masalah pendidikan dan modernisasi
Namun, seiring perkembangan kehidupan manusia, kini permasalahan yang lain pun turut
ditangani oleh antropolog, seperti ekologi, politik, kesehatan, dan teknologi, dan lain-lain.
BAB V
STRUKTUR SOSIAL
Ilmu antropologi sosial adalah salah satu ilmu sosial yang bertugas mempelajari
struktur-struktur sosial dari sebanyak mungkin masyarakat sebagai kesatuan-kesatuan, dan
membandingkannya dengan metode analisa komparatif untuk mencari azas-azasnya. Dengan
demikian dapat dikembangkan suatu klasifikasi besar dari semua jenis struktur sosial yang
ada di dunia, ke dalam beberapa tipe dan sub-tipe struktur sosial yang terbatas.
Seorang ahli ilmu sosial yang mendeskripsi suatu struktur sosial pada dimensi diadik
maupun diferensialnya, serta morfologi sosial maupun fisiologi sosialnya, dapat mengerti
latar belakang kehidupan kekerabatan, ekonomi religi, mitologi, dan sektor-sektor dalam
kehidupan. Struktur sosial dapat juga dipakai sebagai kriterium untuk menentukan batas dari
suatu sistem sosial atau suatu kesatuan masyarakat sebagai organisma. hal itu telah menjadi
masalah bagi para ahli ilmu sosial sejak lama.
Nah, didalam sebuah struktur pasti ada bentuk yang menguatkan suatu struktur
tersebut. Penguatan struktur sosial adalah bentuk struktur sosial. Bentuk dari struktur
sosial adalah stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial. Stratifikasi sosial sendiri merupakan
bentuk dari unsur sosial contohnya adalah melakukan sebuah interaksi dengan orang lain
yang ada di dalam masyarakat dalam waktu lama. Dengan hal tersebut tatanan kehidupan
masyarakat yang baik akan terbentuk di seluruh masyarakat. Intinya stratifikasi sosial
merupakan perbedaan yang vertikal, dapat memicu munculnya hierarki dan juga kelas
sosial masyarakat. Sebuah dasar yang digunakan untuk mengelompokkan masyarakat pada
stratifikasi sosial diantaranya adalah faktor kekayaan, pendidikan, kekuasaan, keturunan,
dan lain sebagainya. Sedangkan pengertian dari diferensiasi sosial adalah penggolongan
masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan. Pembedaan masyarakat dengan cara horizontal
ini sengaja diberikan agar tidak ada kelas sosial yang timbul. Dengan ini masyarakat
dikategorikan sebagai perbedaan yang setara. Beberapa diferensiasi diantaranya adalah
diferensiasi ras, diferensiasi klen, suku bangsa, profesi, agama, jenis kelamin, dan
diferensiasi harta.
Agar lebih jelas lagi, kita akan memberikan beberapa contoh yang tepat untuk
dipahami. Diantaranya :
1. Ascribed status, contoh nya adalah kasta, kasta dapat diberikan tanpa melihat suatu
karakteristik pada seseorang dan secara otomatis didapatkan karena faktor keturunan.
2. Achived status, contohnya adalah menjadi dokter, guru, hakim. Intinya beberapa
pekerjaan yang diperoleh dari usaha pribadi.
3. Assigned status, adalah sesuatu yang diberikan kepada orang yang telah berjasa pada
masyarakat. Sebagai contoh adalah peraih nobel, pahlawan, pejuang bangsa, dan lain
sebagainya.
Adanya struktur sosial dari sebuah Negara memang penting adanya, kita sebagai
bangsa Indonesia pasti sudah merasakan efek dari struktur sosial ini. semakin baik
struktur sosial yang ada di dalam sebuah kelompok, daerah, ataupun Negara semakin baik
pula tatanan yang ada didalamnya. Meskipun sampai saat ini terdapat beberapa daerah
yang masih rumit, misalnya saja daerah perkotaan yang kompleks, perumahan dan
sebagainya, masyarakat perkotaan tetap di stratifikasikan menurut perbedaan pekerjaan,
tingkat pendidikan, kepemilikan ekonomi, dan beberapa hak istimewa
MASYARAKAT
A. Pengertian Masyarakat
Manusia adalah makhluk yang hidup secara kolektif, berbagai kekurangan
membuat manusia merasa butuh dengan orang lain. Dengan kolektifitas ini, manusia
dapat hidup secara bahu membahu, saling membantu sehingga membuat manusia
semakin kuat sehingga dapat bertahan dalam mempertahankan kelangsungan hidup.
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society ) adalah sekelompok orang yang
membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata
“masyarakat” sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih
abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar
entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain).Umumnya,istilah masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.Kata
society berasal dari bahasa latin, societas, yang berarti hubungan persahabatan dengan
yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti teman, sehingga arti
society berhubungan erat dengan kata sosial.
Menurut Marion Levy diperlukan empat kriteria yang harus dipenuhi agar
sekumpolan manusia bisa dikatakan / disebut sebagai masyarakat yaitu : Ada sistem
tindakan utama, Saling setia pada sistem tindakan utama, Mampu bertahan lebih dari
masa hidup seorang anggota, Sebagian atan seluruh anggota baru didapat dari
kelahiran / reproduksi manusia. Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara
utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan ada:
masyarakat pemburu, masyarakat pastoral nomadis, masyarakat bercocoktanam, dan
masyarakat agrikultural intensif, yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian
pakar menganggap masyarakat industri dan pasca-industri sebagai kelompok
masyarakat yang terpisah dari masyarakat agrikultural tradisional.
KEBUDAYAAN
A. Definisi Kebudayaan
Kebudayaan dalam bahasa Inggris disebut culture. Kata tersebut sebenarnya
berasal dari bahasa Latin = colere yang berarti pemeliharaan, pengolahan tanah
menjadi tanah pertanian. Dalam arti kiasan kata itu diberi arti “pembentukan dan
pemurnian jiwa”. Sedangkan kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu kata
buddayah. Kata buddayah berasal dari kata budhi atau akal. Manusia memiliki unsur-
unsur potensi budaya yaitu pikiran (cipta), rasa dan kehendak (karsa). Hasil ketiga
potensi budaya itulah yang disebut kebudayaan. Dengan kata lain kebudayaan adalah
hasil cipta, rasa dan karsa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan
cipta manusia mengembangkan kemampuan alam pikir yang menimbulkan ilmu
pengetahuan. Dengan rasa manusia menggunakan panca inderanya yang
menimbulkan karya-karya seni atau kesenian. Dengan karsa manusia menghendaki
kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan sehingga berkembanglah kehidupan
beragama dan kesusilaan.
ANTROPOLOGI TERAPAN
Dalam kajian Antropologi kita dituntut untuk mempelajari apa-apa yang dilakukan
oleh manusia yang itu menjadi kebiasaan,namun jika kita memaparkan semua yang ita
omongkan tidak ada salahnya karena omomgan terebut bisa menjadikan pembelajaran dan
kesan dari diri ita yang kita ingat, omomgan-omongan tersebut bisa menjadi fakta maupun
hanya omong kosong maka sebagai antropolog kita harus memperhatikan saat seseorang
mengomongkan sesuatu, karena omongan yang meyakinkan belum tentu sepenuhnya benar
dan yakin oleh orang lain.
Antropologi itu kasat mata, jika seperti apa memang tidak bisa dilihat dengan mata
kita tidak akan tahu jika melihat kebiasaan orang lain sebagai antropologi , namun bisa
dirasakan dengan cara kegiatan sehari-hari yang biasa kita lakukan seperti makan,minum dan
tidur merupakan wujud nyata dari antropologi.
Jadi antropologi yang akan dibangun di dalam masyarakat adalah antropologi yang
menuntut zaman saatberkembang jadi mengikuti perkembangan zaman, dari hal-hal yag baru,
sebagai antropolog kita harus menjadi antropolog yang cerdas dengan cara melakukan riset-
riset mengenai antropologi, dengan mengungah kasus-kasus yang baru dan jarang, nah jadi
kita secara otomatis memperbarui dan membangun kebudayaan-kebudayan yang baru lewat
antropologi tersebut,jadi kita selain melakukan penelitian kita juga membangun kebudayaan
atau menemukan hal baru dari masyarakat di lingkungan kebudayaan untuk di bangun di
zaman yang baru sebagai pemaparan antropologi.
Sebenarnya jika menurut aliran-aliran yang kita ketahui bersifat positif kenapa tidak
kita ikuti, karena itu juga bermanfaat bagi diri kita sebagai antropolog, sejauh mana
perkembangan informasi dari aliran yang berkembang tersebut. Apakah masih asli
kebudayaan yang diturunkan oleh leluhurnya ataukah sudah terjadi pergeseran atau
modifikasi kebudayaan yang dialami oleh kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam kasus ini
kita bisa mengambil positif dan negatif , dari kasus yang positif dari aliran yang tidak
berubah meskipun mengalami perkembangan yang pesat di zaman globalisasi saat ini.
Contoh di pulau bali beragam kebudayaan yang asli dan yang kuat begitu jelas akan
kebergaman budayanya , saat Bali melakukan ritual atau hari raya nyepi semua yang
berhubungan dengan kegiatan mausia dihentikan pada saat hari raya nyepi,bahkan bandara
pun tutup. Tak hanya itu umat muslim yang berada di bali juga meghormati dengan rasa
toleransi terhadap hari raya nyepi dengan cara tidak gaduh, jadi aliran yang seperti inilah dari
dahulu hingga sekarang yang harus dipertahankan. Dari segi pandang negatif dari perubahan
aliran antropologi ini adalah aliran ini menghendaki perubahan yang mengikuti zaman seperti
masyarakat papua yang begitu hebat dan kuat kebudayaan yang khas, namun sejatinya di
Papua terkenal dengan kebudayaan yang sering dikenakan oleh Masyarakat papua yaitu
koteka yang dikenakan sehari-hari menjadikan simbol dari rakyat papua yang merupakan
kebudayaanasli dan ciri khas dari Papua, namun secara perkembangan zaman di Papua malah
tidak diberlakukan lagi memakai koteka, malah sekarang jarang yang mengenakan koteka,
karena sesuai kebutuhan perkembangan zaman rakyat papua mengenakan kaos ataupun baju
sebagai penganti koteka untuk menutupi tubuhnya itu. Sangat disayangkan karena aliran
antropologi tersebut merupakan warisan leluhur yang wajib di jaga untuk diajarkan kepada
generai-generasi penerus bangsa, namun apa daya perkembangan zaman telah mengerus
kebudayaan yang asli tersebut.
Sebagai antropologi yang baik kita harus benar-benar faham untuk membuat
kesimpulan dari masalah-masalah aliran yang mengendaki perubahan terencana agar tetap
ada, jadi harus berjuang untuk memperjuangkan keaslian budaya dan bukan membiarkan
kebudayaan tergerus oleh zaman yang berkembang ini.
Sebenarnya perlu atau tidak perlunya perubahan terencana tersebut itu terganttung
oleh manusianya sendiri, karena manusia yang membuat ,melakukannya dan merusaknya
sendiri,jadi jika ada keperluaan perubahan kebudayaan yang terencana tersebut meskipu iti
ada segi positifnya ,namun secara tidak sadar perubahan yang kita rubah dari kebudayaan asli
yang kita rubah ataupun kita modifikasi, secara otomatis kita juga merusak kebudayaan asli
tersebut, meskipun tujuannya baik untuk mengkuti arus perkembangan zaman namu itu
kurang efisien untuk memerindah dan mempertahankan kebudayaan, sebagai cari amanya
kita harus menggambil jaan tengahnya supaya perubahan yang terencana tidak sepenuhnya
dibutuhkan sebagai perubahan yang terencana.
Sebagai rancangan dan rencana yng kuat untuk tetap berdiri tegap pada antropologi
kita harus banyak belajar-belajar dan terus belajar, karena tiada gading yang tak retak. Jika
kita terus berusaha untuk menjadi yang terbaik nantinya kita akan terus berusaha menjadi
yang terbaik. Jika dirasa kita gagal melakukan pengaplikasian terhadap ilmu
antropologi,rasanya kita tidak etis, mengapa demikian kita belajar dan melakukan sebuah
antrpologi setiap hari karena kita melakukan antropologi setiap saat yang tidak kita
sadari,kenapa kita takut untuk gagal saat mengaplikasikan sebuah antropologi. Jika kita
memilih sebuah aliran dipastikan sudah sesuai dan tepat untuk kita buat dipelajari dan
mengambil kesimpulannya ,intinya sudah diperkirakan apa-apa yang akan terjadi dan akan
dihadapi nantinya, dan sudah mempunyai senjata yang hebat untuk membuat dan melawan
rasa ketidak tegasan saat memilih aliran-aliran landasan yang menjadi pemikiran ke depan.
BAB IX
A. Pengantar
Dinamika berasal dari kata dynamic dari akar kata dynamo, yaitu alat peralatan
yang dipergunakan untuk menghidupkan sebuah mesin yang terbuat dari gulungan kabel
tembaga. Alat tersebut ketika berputar dalam kecepatan tinggi maka akan menghasilkan
energi listrik, energi itu kemudian disalurkan melalui suatu jaringan untuk dipergunakan
sesuai dengan kebutuhan. Jika jaringan tersebut dipergunakan untuk menyalakan lampu,
maka maka alat-alat berupa kabel akan disambungkan ke arah bola lampu. Dalam
kehidupan sehari-hari alat ini terdapat pada kendaraan bermotor, mobil, mesin parut,
genset dan lain sebagainya. Jadi peralatan tersebut bisa on atau hidup karena memiliki
dynamo yang bergerak terus menerus dan jika dimatikan maka otomatis dynamo ini akan
mati dengan sendirinya. Bila istilah dinamika ini dipergunakan dalam kaitannya dengan
kebudayaan dan masyarakat, maka yang dimaksud adalah bahwa kebudayaan dan
masyarakat tersebut senantiasa mengalami perubahan atau bergrek terus menerus secara
dinamis dan bukan sebaliknya yaitu tetap atau statis. Perubahan kebudayaaan dan
masyarakat selalu dikaitkan karena antara keduanya tidak dapat dipisakan. Sebagaimana
pembahasan sebelumnya bahwa setiap kebudayaan pasti ada masyarakatnya demikian
pula sebaliknya, setiap masyarakat mesti ada kebudayaanya, dengan kata lain masyarakat
adalah wadah tumbuhnya kebudayaan. Dari hubungan antara kebudayaan dan masyarakat
itu maka jika tejadi perubahan pada kebudayaan maka dengan sendirinya juga
menyebabkan terjadinya perubahan pada masyarakat. Secara umum sebab-sebab
terjadinya perubahan kebudayaan dan masyarakat karena dua faktor, yeitu faktor yang
berasal dari dalam masyarakatnya sendiri atau internal dan faktor yang diakibatkan oleh
pengaruh kebudayaan asing atau faktor luar.
1. Faktor Internalisasi
2. Sosialisasi
3. Enkulturasi
1. Difusi
Difusi dalam ilmu kimia adalah pergerakan senyawa suatu zat (padat/cair/gas)
dari bagian yang konsentrasinya lebih tinggi ke bagian yang konsentrasinya yang lebih
rendah (Agustin.Tanpa tahun: 80). Sedangkan dalam kamus antropologi difusi adalah
proses menyebarnya kebudayaan secara meluas di berbagai lingkungan masyarakat (Al-
Barry. 2001: 65). Jadi dalam pembahasan antropologi dimaksudkan dengan difusi
adalah penyebaran kebudayaan ke berbagai tempat disebabkan karena adanya
perpindahan penduduk atau migrasi dari suatu tempat ke tempat yang lain. Migrasi
penduduk dalam suatu masyarakat akan membawa serta kebudayaan miliknya ke
tempat baru yang ia diami. Kebudayaan yang diperkenalkan terhadap masyarakat
pribumi dalam waktu cepat atau lambat akan diserap oleh masyarakat setempat.
Penyebaran kebudayaan ke berbagai penjuru menyebabakan terdapat beberapa
kebudayaan yang sama di beberapa tempat di belahan dunia. Namun dalam difusi ini
yang menjadi perhatian utama adalah kesamaan kebudayaan itu akan ditelusuri, apakah
kesamaan itu disebabakan oleh proses penyebaran yang sama atau disebabkan kerena
setelah sampai pada suatu tempat kemudian tempat tersebut akan dilanjutkan oleh
imigran atau orang yang sama, atau oleh penduduk setempat yang sudah menerima
kebudayaan hasil defusi tadi untuk berimigrasi ketemapat lain dan menyebarkannaya.
Contohnya, kalau kita menelusuri beberapa masyarakat nelayan di Indonesia, mereka
menggunkan perahu bercadik. Akan tetapi perahu bercadik tersebut terdapat pula di
beberapa tempat di belahan dunia yang lain seperti Miyanmar, Vietnam dan di Amerika
Selatan.
2. Akulturasi
3. Asimilasi
Asimilasi adalah penyesuaian (peleburan) sifat-sifat asli yang dimilki oleh suatu
kebudayaan terhadap kebudayaan baru Al-Barry. 2001: 27). Kalau akulturasi gabungan
dua atau lebih kebudayaan namun masih nampak eksisitensi keaslianya maka pada
asimilasi adalah terjadi gabungan dua atau lebih kebudayaan dimana kebudayaan
tertentu (lemah-minoritas) melebur kebudayaanya ke dalam kebudayaan yang dominan.
Faktor terjadinya asimilasi bisa disebabkan oleh serbuan budaya dominan terhadap
budaya pribumi atau datangnya suatu kebudayaan baru kemudian melebur diri kedalam
kebudayaan setempat. Suatu kebudayaan itu bisa melebur dan menghilangkan sifat dari
kebudayaan lain karena kebudayaan dominan dipandang lebih baik atau lebih maju dan
dapat membawa perubahan yang berarti dalam menghadapi tantangan zaman, dan
dianggap mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan hidup masyarakat penerima. Di
Indonesia sering terjadi para migran yang berasal dari daerah pinggiran dan
terkebelakang (kebudayaan yang masih sederhana) masuk secara komunal ke suatu
daerah baru yang pada umumya dalam rangka mencari nafkah hidup atau melanjutkan
pendidikan. Lama kelamaan ia bertempat tinggal di daerah baru tersebut, kemudian
membentuk satuan keluarga dan kerabat baru, namun yang dipergunkan bukan nilai-
nilai budaya yang berasal dari daerah asalnya melainkan telah meninggalkanya dan
menjadikan kebudayaan baru dimana ia tinggal sebagai kebudayaanya. Kebudayaan
asalnya telah terasimilasi kedalam kebudayaan setempat. Kebudayan asalnya akan
terlihat ketika ia bergabung dengan komonitas atau tatkala kembali pulang ke kampung
halamanya bertemu dengan masyarakat pada kebudayaan asalnya.
4. Inovasi
Salah satu aspek yang menentukana terjadinya perubahan kebudayaan dan
masyarakat adalah pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Memang pada
awalnya pengembangan ilmu dan teknologi diperuntukkan untuk memenuhi segala
kebutuhan manusia yang sifatnya terbatas maupun terhadap pemenuhan keinginan
manusia yang sifatnya tidak terbatas. Modifikasi yang berlangsung sepanjang masa
menyebabkan pula terjadinya penemuan-penemuan baru di bidang teknologi yang tanpa
disadarai telah ikut serta merubah pola budaya yang sudah berakar pada masyarakat.
Penenemuan alat-alat teknologi yang membawa perubahan kebudayaan ini dapat dilihat
contohnya pada para petani padi di Indonesia. Sejak awal para petani membajak satu
sampai lima hektar sawah dengan menggunkan cangkul, tenaga manusia atau
menggunakan tenaga binatang berupa kuda, sapi atau kerbau. Karena membutuhakan
jumlah tenaga manusia maupun tenaga hewan yang cukup banyak, maka sebelum
melakukan bajak sawah para petani terlebih dahulu meminta bantuan kepada keluarga,
kerabat dan tetangga untuk bekerja sama. Penemuan teknologi baru sebenarnya bisa
bermanfaat untuk meningkatkan produktivitas para petani, karena para petani tidak
perlu lagi memeras keringat secara berlebihan menginat tenaga mereka telah digantikan
oleh mesin-mesin penemuan teknologi moderen. Namun dibalik kecanggihan teknologi
telah terkikis nilai-nilai solidaritas mekanik yang justru menjadi modal sosial uutama
dalam kehidupan petani khususnya dan masyarakat pada umumnya di Indoensia.
Adanya teknologi baru yang membawa perubahan kebudayan secara dratis adalah alat
telkomonikasi berupa hend phone (HP), intenet, Televisi dan lain lain. Masyarakat yang
dahulunya melakukan komonikasi verbal yang menunjukkan keramahtamaan karena
bisa berkomikasi secara langsung, kini diperhadapkan pada komonikasi yang lintas
batas karena walaupun hanya berada di dalam kamar tidur, tapi manusia sekarang bisa
menyaksikan berbagai kegiatan atau acara di belahan bumi lain berkat ratusan chanel
televisi di seluruh dunia dengan aneka macam program, mulai dari politik, pendidikan,
hiburan film, diskusi, debat, dialoh, kekerasan, perang, konflik, pembunuhan,
pemerkosaan, kelaparan, bencanan alam, narkotika sampai pada prostitusi on line.
Setiap sudut ruang tunggu kursi kantor pelayanan umum, terlihat oleh kita suasana
setiap orang sedang asyik melakukan komonikasi melalui internet, seolah dia berada di
suatu dunia tersendiri sambil sesekali menunjukkan wajah tegang, sedih, bahkan sambil
tertawa oleh dirinya sendiri, tidak lagi peduli dengan orang yang berada di sekitarnya,
bahkan alat-alat elektronik ini dengan sengaja diperlihatkan untuk menunjukkan jati diri
sebagai golongan yang mempunyai status sosial lebih tinggi, dibandinkan dengan fungsi
dan kegunaaan yang terdapat pada alat teknologi tersebut. Suatu pemandangan tentang
manusia abad moderen yang lebih asyik dengan dirinya sendiri.
5. Revolusi
Kalau revolusi adalah perubahan kebudayaan yang terjadi secara lambat dalam
rentang waktu yang lama, maka revolusi dimaksudkan adalah perubahan kebudayaan
yang berlangsung secara cepat dan dratis dalam waktu yang singkat. Perubahan
kebudayaan secara revolusi telah menjungkirbalikkan nilai-nilai kebudayaan yang
sudah dianut selama ini, dipatuhi dan diataati secra turun teurun. Terkadang revolusi
kebudayaan didahului oleh suatu kejadian luar biasa berupa bencanan alam,
peperangan, maupun demontrasi berskala besar yang terkadang ikut pula memakan
korban nyawa manusia dan harta benda yang banyak, seperti revolusi komonis di Rusia
pada zaman pemerintahan Lenin, atau masa awal pemerintahan presiden Soekarno yang
selalu mengobarkan kata-kata revolusi. Walaupun tidak disebut revolusi, tejadinya
reformasi di Indonesia pada tahun 1998, dalam bidang antroplogi khususnya pada
kajian kebudayaan bisa disebut sebagai peristiwa revolusi. Karena dilihat dari makna
esensinya bahwa peristiwa mei 1998 yang menandai perubahan zaman Orde Baru ke
zaman Reformasi, telah memakan koban nyawa manusia dan harta yang demkian
banyak, begitu pula halnya dengan perubahan pada nilai-nilai kebudayaan tertentu.
Misalnya sebelum reformasi masyarakat Indonesia tabu menyebut namanama pejabat
tinggi Negara terutama presiden (Soeharto) dengan konotasi negative karena akan
mengakibatkan yang bersangkutan dapat dikenakan pelanggaran berat dan dijerat
Undang-Undang Subversif, sehingga ia dapat dihukum tanpa melalui suatu proses
pengadilan. Namun setelah reformasi, setiap rakyat Indonesia bisa dengan lantang
menyuarakan hak-haknya, bahkan dalam suatu peristiwa demontrasi mahasisiwa di
Kota Makasar, telah dihadirkan seekor sapi kemuadian sapi itu dikalungkan di lehernya
sebuah papan yang bertuliskan sebuah kata yang menyebut insial nama presiden yang
sedang berkuasa. Analogi nama insial presiden pada sapi tersebut sudah jelas, bahwa
para demonstran telah menggambarkan bahwa presidenya seperti sapi yang dicoror
hidungnya sehingga bisa ditarik kemana-mana sesuai dengan maksud dan tujuan
pemiliknya. Akibat langsung dengan terjadinya reformasi adalah terbukanya keran
kebebasan berpendapat dan mengekpresikan pendapat di muka umum. Di bidang media
dan informasi telah berjamurnya pendirian media cetak dan lektronik. Media elektronok
kini dengan tujuan mengejar profit menampilkan program hiburan yang terkadang tidak
mengindahkan nilai-nilai kebudayaan yang selama ini dijunjung tinggi oleh masyarakat
Indonesia. Media masa secara terbuka menampilkan diskusi yang bertemakan sikap
kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai telah gagal memenuhi harapan publik
sesuai dengan janji-janjinya sebelum naik ke puncuk kekuasaan. Walaupun demikian
harus diakui bahwa media juga telah berperan menjadi garda terdepan dalam
mengontrol segala produk Undang-Undang dan kebijakan para pemegang kekuasaan
yang cenderung tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak. Sehingga dapat
dikatakan bahwa adanya teknologi membawa perubahan pada suatu kebudayaan, baik
perubahan yang bersifat positif maupun perubahan yang bersifat negative.
BAB X
ETNOGRAFI
A. Pengertian Etnografi
Istilah etnografi dilihat dari segi arti kata berasal dari akar kata etnos yang artinya
suku bangsa dan grafi yang artinya gambaran, penjelasan, ceritra atau lukisan. Etnos
berarti suatu kelompok sosial yang homogen dan menganggap berasal dari keturunan atau
kekerabatan yang sama (Al-Barry. 2001:79). Jadi Etnografi yang artinya tulisan atau
laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis seorang antroplog (peneliti) atas hasil
yang diperoleh selama melakukan penenlitian lapangan (field work) selama beberapa
lama waktunya, biasanya dilakukan selama berbulan-bulan, bahkan sekian tahun. Laporan
penelitian yang disajikan oleh para antropolog demikian khasnya sehingga istilah
etnografi ini juga biasanya dipakai untuk menunjukkan tentang penggunaan suatu metode
(Marzali dalam Spradley. 1997: XV), yang memang dalam tradisi antropologi
sebagaimana yang telah dikemukakan di awal buku ini bahwa sejarah lahir
berkembangnya ilmu antropologi justru berasal dari kegiatan yang bersifat etnografis.
Sampai disini kita memperoleh suatu gambaran betapa penting dan berperannya
etnografi dalam ilmu antropologi, atau dengan kata lain belajar tentang etnogari berarti
belajar tentang jantung antroplogi (Marzali dalam Spradley,1997 : xvi ) terutama dalam
antropologi sosial budaya.
B. Perkembangan Etnografi
1. Etnografi Awal
Para ilmuan itu bekerja menulis laporan di belakang meja karena tidak pernah terjun
langsung ke masyarakat yang diteliti kecuali L.H Morgan. Tulisan yang dikumpulkan
tersebut kemudian berusaha untuk membangun suatu pengetahuan tentang tigkat-tingkat
evolusi dalam perkembanagan kebudayaan umat manusia, mereka bekerja di
perpusatakaan tanpa harus melihat langsung masyarakat primitive yang mereka
ceritrakan. Sebagaimana James Frazer ketika ditanyakan kepadanya tentang “apakah ia
pernah melihat langsung tentang masyarakat primitive yang diceritrakan dalam berjilid
jilid buku”?. Frazer menjawab “Tuhan Melarangnya” (Marzali dalam Spradley. 1997:
xvii).
Pandangan ilmuan baru tentang pentingnya etnografi ini bisa kita sebut beberapa
nama sperti Franz Boas dari Amerika Serikat. Teknik yang diperkenalkan dalam
perkembnagn etnografi ini adalah wawancara yang dilakukan secara panjang dan
berulang kali terhadap informan kunci, informan kunci dipilih dari kalangan orang tua
dari suku bangsa tersebut yang dipandang kaya akan pengalaman tentang ceritra masa
lampau. Orentasi teoritis utama para penenliti adalah tentang perubahan sosial
kebudayaan (Marzali dalam Spradley: xvii). Dengan kata lain perkembangan awal
etnografi adalah informan orented, karena tujuan pokoknya adalah ingin mengetahui
ceritra tentang masyarakat masa silam.
2. Etnografi Moderen
Tahun 1915-1925 dapat disebut sebagai era etnografi moderen yang digagas du
antropolog sosial asal Inggris bernama A.R. Radcliffe-Brown dan Barislaw Malinowski,
usaha keduanya ditandai dengan pengembangan metode etnografi yang membedakan
dengan cara kerja metode etnorafi awal, pada etnografi awal metode etnogarfi yang
dilakukan adalah terlalu memfokuskan diri pada kontruksi masa lampau, atau sejarah
perkembangan kebudayaan pada suatu masyarakat, sedangkan etnografi moderen lebih
ditekankan pada kehidupan sosial budaya masyarakat masa kini yang sedanag mereka
jalani, yaitu mengenai pedoman dan cara hidup masyarakat tersebut.
Malinowski mengatakan bahwa tujuan utama penelitin etnografi adalah manangkap
sudut pandang native tersebut hubunganya dengan kehidupan, menyadari visinya dan
dunianya, sementara Brown dalam membangun kerja etnografinya sebagai seorang
antropolog bertujuan untuk melihat pentingnya hubungan dalam struktur sosial suatu
masyarakat (Marzali dal Spradley: xvii).
C. Metode Etnografi
Dengan kata lain dalam aliran anropologi kognitif, setiap anggota masyarakat secara
individu telah tersimpan pengetahuan mengenai aturan yang difahaminya sebagai pola
hidup yang dipedomani, gagasan yang tersimpan dalam pengetahuan tersebut disepakati
sebagai kebudayaan yang terwujudkan dalam bentuk symbol-simbol (symbol budaya)
baik melalui kaya-karya yang diciptakan maupun melalui bahasa yang diucapkan.
Sehingga jalan yang paling mudah untuk memahami ragam budaya masyarakat setempat
adalah dengan malalui bahasa yang mereka pergunakan, maka bahasa merupakan kunci
utama dalam memahami budaya suatu masyarakat sebagaimana yang dikatakan oleh
Spradley (1997:xx) bahwa pendekatan dan strategi apapun yang ingin digunakan oleh
seorang etnografer untuk memahami suatu kebudayaan, maka bahasa selalu berada dalam
fase terdepan dalam proses penelitian.
Ciri utama yang tersajikan dalam karya etnografi Spradley tidak lagi sebagimana
para etnografer terdahulu semisal Brown dan Malinowski yang selalu menganggap other
cultures budaya suku bangsa yang primitive dan terisolasi jauh dari lalu lintas keramaian
budaya yang hidup dengan teknologi sederhana, Spradley ingin mengembalikan
antropologi atau etnografi sebagai alat yang fundamental untuk memahami masyarakat
kita sendiri dan masyarakat dunia yang multi-kultur.
Pertama, seorang peneliti daam penelitian etnografi bisa melakukan berbagai teknik
penelitian secara bersamaan dalam satu fase peneltian, yaitu dapat melakukan kegiatan
observasi partisipasi, wawancara, membuat peta geografis dan sebagainya, namun
demikian seorang pemula dianjurkan oleh Spradley untuk menguasai salah satu teknik
saja terlebih dahulu yaitu teknik wawancara, karena wawancara yang dipusatkan pada
aktor di tempat seorang informan itu bermukim maka secara tidak langsung seorang
etnografer juga mengetahui peta geografis dan observasi partisipasi.
Ketiga, Langkah pokok diatas seharusnya dilakukan secara bertahap atau maju
bertahap. Keempat, teknik wawancara tidak hanya diperlakukan ketika sedang melakukan
latihan wawancara akan tetapi harus dilakukan secara sungguhan dengan terjun lagsung
ke masyarakat yang diteliti, semakain sering melakukan wawancara maka akan semakin
terlatih sehingga menimbulkan sikap cinta wawancara sebagai sebuah kegiatan yang
begitu disukai dan dikuasai.
Kelima. Fase terakhir dari suatu kegiatan etnografi mestilah memenuhi tujuan
tertentu, bukan hanya tujuan yang berguna untuk seorang etnografir akan tetapi juga
tujuan yang bermanfaat untuk semua yang berkepentingan denganya, seperti masyarakat
akdemik dan masyarakat suku bangsa yang bersangkutan. Atau dengan kata lain Spradley
menggariskan Ilmu untuk ilmu sudah ketinggalan zaman. Ilmu tidak hanya ditujukan
untuk membagnun ranah teori tetapi yang paling penting dari sebuah ilmu itu adalah ilmu
itu harus mempunyai kegunaan praktis dalam membantu menyelesaikan permasalahan
kemanusiaan. Sehingga seorang peneliti dalam bidang etnografi adalah seorang problem
solver, bukan hanya penemu tetapi sekaligus juga sebagai pemecah masalah (Marzali:
xxii). Atau dengan kata lain suatu bidang ilmu tidak hanya memiliki tujuan secara
akademis tetapi tujuan praktis.
Kerangka atau susunan yang berurut dalam penelitian etnografi sengaja disusun
secara sistematis, agar laporan tersebut bisa menjadi pedoman umum dalam setiap
laporan penelitian yang harus mencakup segala hal yang berkaitan dengan suatu suku
bangsa. Susunan kerangka ini apabila dipatuhi maka akan tersaji sebuah laporan yang
enak dibaca karena telah menggambarkan suatu keadaan suku bangsa yang utuh.
1. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh suatu batas wilayah satu desa atau lebih.
2. Kesatuan masyarakat yang terdiri dari penduduk yang mengucapkan bahasa yang
sama atau logat bahasa yang sama.
3. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu wilayah secara
administrative politis.
4. Keasatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa suatu identitas penduduknya
sendiri.
5. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan
kesatuan daerah fisik.
6. Kesatuan masyarakat yang dibatasi dan ditetukan oleh wilayah ekologi.
7. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman sejarah yang
sama.
8. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekwensi interaksinya satu dengan yang
lain terjadi secara merata.
9. Kesatuan masyarakat dengan susunan sosial yang seragam.
E. Kerangka Etnografi
Para antropolog dalam menyusun laporan penelitian etnografinya terkadang
berbeda dalam urutan kerangka yang disusun. Namun secara umum mereka tetap
mencantumkan seluruh kerangka yang disepakati, yaitu kerangka kebudayaan yang sudah
menjadi unsur universal dalam setiap kebudayaan. Perbedaan itu sebenarnya tergantung
pada fokus penelitian yang dilakukan. Apabila seorang etnografer ingin meneliti tentang
bahasa, dan struktur suatu bahasa suku bangsa, maka yang diletakkan di bagian awal adalah
unsur bahasa, sedangkan kerangka yang lain dijadikan sebagai data pendukung. Jadi dalam
suatu penelitian etnografi tidak mesti secara mendetail diuraikan secara mendalam semua
unsur yang menjadi kerangka etnografi, hanya saja unsur-unsur yang lain tetap penting
untuk mendapatkan gambaran suatu suku bangsa secara lengkap.
Walaupun demikian kalau kita membaca laporan penenelitian etngrafi niscaya unsur
bahasa selalu berada paragraf paling depan. Ini disebabkan karena alasan bahwa syarat
yang paling diperlukan seorang etnografer untuk memahami kebudayaan suatu suku bangsa
adalah melalui pegetahuanya terhadap bahasa setempat. Bahasa sebagaimana diterangkan
terdahulu menjadi kunci mengungkap isi alam pikiran masyarakat mengenai kebudayaan
yang dimiliki, baik yang masih tersimpan dalam ide masing masing maupun yang telah
terwujudkan dalam bentukbentuk yang dapat dilihat secara nyata.
Simbol-simbol itu misalnya mengapa orang Thailand (Muangthai) begitu
mengagungkan binatang gajah, orang India sangat mensucikan binatang sapi, orang suku
Asmat sangat menghargai babi, atau orang Tana Toraja yang bersedia membeli kerbau
dengan bayaran hingga ratusan juta. Atau orang Bali yang menempatkan patung-patung di
berbagai tempat, di rumah, kamar, pasar, tempat rekreasi dan sebagainya. Kesemua itu
tergantung pada asal kebudayaan yang telah tertanam dalam alam pikiran masing-masing
yang disepakati sebagai pedoman hidupnya. Atau dengan kata lain simbol tersebut menjadi
ekspresi dari mind (pikiran) yang tersimpan dalam kepala masing masing anggota
masyarakat.
Bahasa bukan hanya sekekdar alat untuk berkomonikasi menyampaikan pesan atau
maksud yang dikehendaki, tetapi lebih dari itu adalah dalam rangka mengungkap nilai rasa
yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari niai-nilai budaya secara keseluruhan. Gaya
bertutur, tinggi rendahnya nada, pilihan kata dan struktur kata (bahasa atas-bahasa bawah)
sangat menentukan nilai rasa suatu bahasa sehingga kalau seorang etnografer tidak
memamahi dan menguasainya secara baik maka kemungkinan besar ia gagal
menerjemahkan kebuadayaan suku bangsa yang ditelitnya dengan baik(pandangan emik).
Selain unsur-unsur kebudayaan universal dalam kebudayaan, kerangka etnografi
juga memuat bab-bab permulaan atau pengantar yang berisi deskripsi tentang lokasi
lingkungan geografi dan lingkungan alam kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan.
Selanjutnya bab berikutnya berisikan gambaran tentang keadaan demografi atau penduduk
suku bangsa tesebut, dan lebih berarti lagi kalau di bagian bab-bab terakhir diketengahkan
tentang kondisi keadaan kebudayaan masa sekarang terkait dengan perubahan-perubahan
yang sudah terjadi selama ini.
Kerangka etnografi seperti dibawah ini memberikan contoh penyusunan laporan
penelitian etnografi yang lengkap. Kemudian bab-bab tersebut masih dapat diisi dengan
sub-sub bab sesuai dengan kebutuhan atau data penelitian yang didapatkan. Kerangka
laporan etnografi yang dimuat dalam buku karangan Koentjaraningrat (2009:257) sebagai
berikut:
1. Lokasi, Lingkungan Alam dan Demografi
2. Asal Mula dan Sejarah Suku Bangsa
3. Bahasa
4. Sistem TeknologI
5. Sistem Mata Pencaharian (ekonomi)
6. Organisasi Sosial (Politik)
7. Sistem Pengetahuan
8. Kesenian
9. Sistem Religi
Sistem Teknologi
Teknologi dalam kajian antropologi yang dimaksud adalah jumlah keseluruhan
teknik yang dimiliki oleh suatu anggota masyarakat, yaitu keseluruhan cara bertindak dan
berbuat dalam hubunganya dengan pengumpulan bahan-bahan mentah dari lingkunganya,
memproses bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, alat untuk menyimpan,
makanan, pakaian, perumahan, alat transportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda
material (Harsoyo: 1999).
Sistem teknologi sangat erat kaitanya dengan hasil karya manusia berupa
kebudayaan yang bersifat materil yang diproses melalui teknologi. Jadi benda-benda yang
bersifat materil tersebut dihasilkan berdasarkan pengetahuan mereka yang bersifat abstrak,
yaitu sistem pengetahuan atau ide dari sistem kebudayaan yang bersifat abstrak, alam
pikiran itulah yang termanifestasikan dalam memberikan pengertian dan nilai pada benda
materil sebagai hasil usaha dan kerja yang dilakukan secara sadar dan bertujuan.
Sistem teknologi yang dimiliki oleh manusia senantisa berubah dan selalu
dikembangkan, karena manusia berdasarkan kamampuan kebudayaanya telah mampu
belajar, berhubung karena kemampuan tenaga manusia terbatas tidak sebagaimana binatang
seperi kuda, kerbau, gajah, dan lain sebagainya, maka untuk menguasai atau mengolah
alam lingkungan sekitarnya manusia perlu memikirkan alat peralatan yang bisa digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui penggunaa alat-alat kerja. Sebenarnya pada
haikatnya alam telah menyediakan semua yang dibutuhkan manusia akan tetapi
ketersediaan alam itu masih dalam bentuk bahan baku mentah, disinilah manusia dengan
kebudayaanya harus mampu membentuk dan mendesain teknik untuk memudahkan
hidupnya.
Adapun peralatan teknologi yang dipergunakan oleh umat manusia dalam aktivitas
yang berkiatan dengan kemampuan mengolah alam untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari dapat dikemukakan sebagai berikut; (Harsoyo, 1999: 201).
1. Alat Kerja
Sistem teknologi yang dikemukan ini pada umumnya diambil berdasarkan alat
peralatan yang digunakan oleh masyarakat yang perkembangan kebudayaanya masih
sederhana (primitive), akan tetapi jika dibandingkan dengan perkembangan masyarakat
yang sudah diangap maju (moderen) sekarang ini, tetapi model alat yang diperguankan
memang berbeda karena masyarakat sekarang ini telah mampu mengembangkan alat-
perlatan yang demikian canggih, akan tetapi dilihat dari prinsip dan kebutuhan alat
tersebut pada dasarnya masih tetap sama.
Alat kerja yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah alat perlatan atau benda
yang dihasilkan oleh manusia, dan dipergunakan untuk mengolah dan mengubah bahan
mentah dari hasil alam yang masih bersifat kasar menjadi alat kerja yang berguna dan
mudah dipergunakan, dengan bentuk bentuk yang bermacammacam yang dinggap
mudah.
Alat kerja bagi masyarakat sederhana bisa dlihat dari segi fungsi dan pemakaian
menurut lapangan pekerjaan. Dari aspek fungsinya alat keja itu dapat diklasifikasi
menjadi alat potong, alat pembuat lubang (tusuk), alat membuat api, alat tangga dan
sebagainya. Sedangkan bila dilihat dari segi lapangan pekerjaanya terdiri atas alat alat
rumah tanggga, alat pengikat dan tenun, alat-alat pertanian, alat-alat penangkap ikan, alat
jerat, alat perangkap dan sebagainya.
2. Wadah
Wadah termasuk alat peralatan yang sifatnya mutlak diperlukan bagi masyarakat
dalam beraktivitas. Wadah itu dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan makanan,
menyimpan benda kebutuhan lainnya, memindahkan ke tempat lain. Wadah ini dapat
dibagi menjadi dua macam:
a. Wadah yang telah disediakan oleh alam seperti kerang.
b. Wadah yang diciptakan melalui suatu proses, jadi wadah yang semula telah
disediakan alam diolah oleh menusia untuk membuatnya lebih maju dan berguna. Alat
ini seperti gentong untuk menyimpan air, tikar dari anyaman daun, dinding dari anyaman
bambu, atap dari susunan dedaunan yang rapi dan sebagainya.
3. Makanan
Pembahasan tentang makanan dalam sistem teknologi ini bukan pada jenis dan
bahan makanan, akan tetapi pada aspek alat-peralatan yang digunakan untuk memproleh
makanan dan membuat atau mengolah makanan. Teknik pengumpulan makanan bisa
kita bedakan menjadi, a) berburu, b) menangkap ikan dan c) mengumpulkan bahan
makanan.
Teknik pengumpulan bahan makanan ini bisa hanya dipergunakan salah satu saja
dalam suatu masyarakat suku bangsa, akan tetapi bisa juga dalam suatu masyarakat dapat
dipergunakan secara keseluruhan, hal ini terkait dengan letak geografis suatu
pemukiman. Bila daerah georafis itu berada di hutan yang berbatasan dengan sungai dan
laut maka kita bisa menyaksikan suatu mayarakat itu dapat meggunakan ketiga cara
tersebut.
Kemudian disamping teknik pengumpulan makanan, bagian lain yang tidak kalah
pentingnya adalah persoalan yang berkaiatan dengan teknik menghasilkan makanan
yang bisa dibagi menjadi a) mengumpulkan makanan menggunakan tenaga manusia b)
mengumpulkan makanan dengan menggunakan tenaga hewan atau mesin c) orang hidup
dari hasil beternak(Harsoyo, 1999: 204).
4. Pakaian
Selaian makanan, pakaian merupakan alat yang dibutuhakn secara mutlak dalam
kehidupan manusia, karena itu semua kebudayaan dalam masyarakat di dunia ini
memerlukan pakaian tersebut. Pada dasarnya pakaian yang dipergunakan memiliki
berbagai motivasi, antara lain:
a. Untuk melindungi diri dari pengaruh alam, seperti terik matahari, cuaca yang dingin,
tiupan angin kencang, hujan maupun binatang atau benda yang secara langsung bisa
menyebabkan luka pada tubuh atau cedera.
b. Guna menunjukan status keberadaan dirinya dalam masyarakat. Motivasi ini terkait
dengan jenis pakaian, harga dan bahan yang dipilih.
c. Berkaitan dengan ingin memperindah dan mempercantik diri.
d. Berpakain dengan motivasi mengikuti aturan atau kepercayaan yang diyakininya.
Gambaran tentang bentuk pakaian, bagaimana caranya memakai, kapan waktunya dan
dimanakah layak untuk dipakai, serta apa yang ada dalam pandangan dan pikiran
setiap orang dalam memakai pakaian tersebut tentu tidak sama pada semua suku
bangsa, karena terkait dengan kebudayaan suatu masyarakat. Misalnya berhubungan
dengan factor sejarah, nilai dan etika yang dianut, estetik, religius, teknologi,
aksesoris, ekonomis dan kesepakatan sosial terhadap suatu nilai dalam masyarakat.
5. Perumahan Rumah
Tempat tinggal adalah aspek yang sangat esensial bagi manusia selain makanan
dan pakaian. Rumah berarti manusia sedang belajar untuk mengarungi hidup dengan
menyesuaikan diri secara biologis dengan alam sekitarnya. Sifat dasar manusia yang
selalu hidup berkeloompok, berkumpul dan bercekrama dalam hubungan dengan
keluarga tentu menjadikan rumah sebagai sesutau yang berarti secara khusus. Rumah
tidak semata hanya sebagai tempat untuk berlindung, lebih dari itu rumah sebagai tempat
menyesuaikan diri dan proses perintegrasian secara psikologis para penguhinya untuk
merekatkan hubungan yang lebih akrab. Rumah bagi manusia berhubungan dengan
tempat berlindung, memberi rasa aman dan tenang baik secara fisik maupun secara
psikologis.
6. Alat Transportasi
Zaman moderen sekarang ini trasnportasi meliputi darat, laut dan udara. Dari
ketiga area ini maka manusia dapat menciptakan dan mengembangkan peralatan
tarnsportasi baik dari aspek kekuatan, kecepatan gerak, daya muat, eknomis, prestise,
maupun berdasaran nilai teknis dan nilai sosial lainya. Sedangkan pada masyarakat
sederhana hanya ada trasportasi darat, air. Transportasi air yang paling banyak
digunakan. Walaupun demikian alat transportasi baik pada masyarakat sederhana
maupun yang sudah maju fungsi utama pada alat transpotrasinya tersebut sama saja,
yaitu memindahkan manusia dan barang secara cepat dan banyak. Pada zaman dahulu
alat trasnportasi bisa kita temui seperti dengan menggunakan manusia, binatang, perahu,
kapal dan lain-lain. Di zaman sekarang ini alat trasnportasi yang demikian pesat
berkembanganya kita bisa menggunakan motor, mobil, kereta api, perahu, perahu
bermesin, kapal, kapal cepat, pesawat terbang dan lain-lain.
Pengetahuan
Kajian antropologi mengenai pengetahuan pada mulanya hanya ditujukan pada
pengetahuan tertentu pada suatu suku bangsa yang dianggap menonjol, seperti kemampuan
suatu suku bangsa menangani pengaturan pengobatan, meracik panah beracun, pengetahuan
di bidang navigasi pelayaran, pegetahuan mengenai diagnosa penyakit, pengetahuan
mengenai anatomi tubuh manusia dan lain-lain. Pandangan seperti ini dapat dimaklumi,
karena pada awalnya kajian etnografi yang dilakukan oleh bangsa Eropa adalah
membangun suatu anggapan bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa belum memiliki
pengetahun, dan hanya bangsa Eropa yang mempunyai pengetahuan. Namun para
antropolog masa kini mulai menyadari bahwa sistem pengetahuan itu ternyata berlaku
untuk semua orang, karena pengetahuan itu berlaku secara universal bagi semua kebudayaa
di dunia ini dan merupakan suatu bagian dari kebudayaan yaag tidak bisa dipisahkan
dengan manusia itu sendiri.
Walaupun pengetahuan yang dimaksud secara umum berlaku mengenai
pengetahuan manusia akan kemampuan menciptakan barang dan jasa, namun demikian
pengetahuan yang dimaksud secara khusus adalah yang kita sebut KEARIFAN LOKAL
(local wisdom) suatu masyarakat suku bangsa, mengenai konsepsi mereka terhadap alam
sekitarnya, flora dan fauna, serta manusia itu sendiri dan sistem sosialnya. Terkadang
pengetahuan (kearifan local) itu bersifat khas dan tidak dimiliki oleh suku bangsa yang lain
sehingga bisa dianggap bermafaat, tetapi pengetahuan itu justru mempunyai nilai filosofis
atau mempunyai argumentasi yang mampu dipertanggungjawabkan baik secara psikologis-
emosional maupun secara illmiah. Pengetahuan yang berupa kearifan local dapat kita lihat
misalnya pada masyarakat Sulawsi Selatan, seperti Masyarakat Kajang di Kabupaten
Bulukumba yang sampai sekarang ini tidak memperkenangkan masuknya teknologi
moderen seperi listrik, kendaraan bermotor, hand phone, untuk menjaga dan menghormati
alam ligkunganya, serta tidak memperkenangkan setiap orang yang memasuki wilayah
kawasan adat Amatoa selain harus memakai pakaian serba hitam. Secara sepintas ada
angggapan orang lain bahwa cara hidup atau kebudayaan orang Kajang adalah kebudayaan
yang primitive, akan tetapi pola hidup mereka tentu mempunyai alasan filososfis yang
hanya difahami oleh Orang Kajang sendiri atau orang yang belajar dan melakukan
penelitian terhadap kebudayaan masyarakat Kajang tersebut.
Kesenian
Antropologi memandang bahwa manusia memiliki sifat universal untuk mencari
dan mengagumi keindahan. Munculnya bentuk keindahan dalam diri manusia karena
terjadinya permainan imajinatif yang bersifat kreatif, sehingga manusia merasa terpuaskan
secara batiniah. Dalam bidang kesenian manusia tidak megandalkan pikiranya semata, akan
tetapi manusia bergumul dengan perasaanya sehingga melahirkan suatu kegairahan kreasi
yang spontan, ketenangan jiwa yang mengantar setiap pelaku seni keluar dari hiruk pikuk
kehidupan sehari-hari lalu masuk ke dalam suatu dunia ajaib yang dipandang penuh dengan
suasana kindahan dan kebesaran, dunia yang sarat dengan kegairahan, namun juga penuh
dengan kesedihan. Seniman dalam dunia seni adalah orang yang sedang memasuki dunia
yang bebas dengan keserakahan hidup.
Seorang seniman mencoba menghayati hasil karya seninya agar terpuaskan dahaga
batinya, akan tetapi seni bukan hanya milik seniman, seni itu milik semua orang karena ia
menjadi sifat kodrati setiap manusia, seni menggema dalam perasaan setiap insan. Jadi
hakikat seni itu adalah keadaan indah yang menggema yang mampu memuaskan batin.
Hakikat seni ini kemudian dijelaskan oleh Franz Boas dalam studi klasiknya Primitive of
Art (1927) menyebutkan bahwa menjadi kodrat manusia untuk menyatakan daya kreasinya,
akan tetapi bentuk kesenian itu tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan. Menurut Boaz, seni
berlandaskan dua hal, yaitu peningkatan teknik dan ekspresi emosi dan pikiran (Harsoyo,
1999: 231).
Manusia menciptakan suatu tingkat kemampuan diri, baik melalui gerakan tubuh
maupun hasil kreasi terhadap benda-benda tertentu, kreasi itu bisa berwujud benda, suara,
gambar maupun gerak. Semua hal yang dikreasikan tentu melalui suatu proses berfikir yang
halus disertai kemasan emosial yang secara psikologis bisa menggelorakan batin bagi yang
melakoninya, dan tentu berpengaruh kuat terhadap para penikmat seni itu sendiri.
Namun demikian tingkat emosi yang berkaitan dengan kepuasan batin sangat
tergantung pada kebudayaan dan sub kebudayaan masing-masing suku bangsa, karena itu
maka seni adalah ekspresi kepuasan yang diperoleh melalui petualangan batin untuk
memenuhi kebutuhan rasa atau kebutuhan perasaan manusia. Walaupun demikian kesenian
juga terkadang dipakai untuk mengekpresikan sikap kritis terhadap kekuasaan karena ia
tidak punya kuasa untuk melakukanya.
Kesenian pada masyarakat sederhana pada umumnya digunakan untuk menyatakan
kebersamaan secara lahiriyah maupun batiniyah melalui kumpulan komunal sosial dan
cultural, yang tidak hanya sekedar berkumpul untuk berkomonikasi akan tetapi sebagai
ajang menguatkan nilai solidarista sosial dan cultural, yang melibatkan emosi, mitos dan
keyakinan religius. Nyanyian dan tarian tertentu yang dilakukan suatu suku bangsa
berhubungan dengan sesembahan kepada arwah, para dewa atau kepada alam gaib. Ia tidak
terbatas pada apa yang nampak tapi menembus batas-batas spritualitas manusia.
Religi
Istilah religi berasal dari kata religion, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kata
agama. Secara sengaja saya tidak menggunakan istilah agama karena di kalangan
masyarakat Indonesia kata agama sudah mempunyai makna secara khusus yang terkait
dengan agama tertentu seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Koungfutsu. Dalam kajian
antroplogi istilah religi diartikan sebagai keyakainan atau kepercayaan terhadap kekutan
Gaib, yaitu kekutaa yang berada di luar kendali manusi. Kakuatan Gaib itu bermacam-
macam, bisa bersumber dari tuhan, dewa, benda-benda, kekuatan alam dan sebagainya. Jadi
yang dimaksud religi dalam pembahasan ini bersifat umum, dalam arti semua yang
beranggapan bahwa ada kekuatan Supra-Natuural di luar dirinya maka itulah religi.
Kemudian sudah dibahas terdahulu bahwa dalam kajian antropologi, religi adalah
bagian dari kebudayaan, religi pada dasarnya adalah rasa pasrah manusia atas ketidak
berdayaanya menghadapi segala sesuatu yang tidak mampu diatasi. Oleh karena itu religi
manusia senantiasa memelihara sikap keterkaitan secara emosial dengan kekuatan-kekuatan
Supra-Natural tersebut. Maka religi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: a) Keyakinan b)
upacara religi dan c) umat penganut religi tersebut. (Koentjaranningrat , 2005: 202).
Keyakinan dalam religi juga mencakup berbagai hal yang berhubungan dengan
kekuatan-kekuatan Gaib, seperti konsepsi mengenai keyakinaan akan adanya dewa baik
maupun dewa jahat, sifat dan tanda-tanda dewa, kensepsi dan keyakinan terhadap mahluk
halus seperti ruh leluhur, ruh yang baik maupun ruh jahat, keyakinan mengenai dewa
tertinggi pencipta alam dan manusia, konsepsi mengenai hidup dan maut, dunia ruh, hidup
setelah mati dan lain-lain (Koentjaraninrat, 2005: 204). Himpunan atau kumpulan
pengetahuan atau ceritra tentang dunia alam gaib biasanya terhimpun dalam suatu buku
atau ceritra yang dinamakan mitologi atau kesusastraan suci.
Selain keyakinan , aspek kedua dari sistem reiligi adalah upacara religi. Dalam
kajian antropologi titik perhatianya dalam upacara religi biasanya yang difokuskan adalah
pada (a) tempat dan waktu upacara religi itu dilakukan (b) bendabenda dan peralatan
upacara religi dan (c) orang yang memimpin dan yang mengikuti upacara religi
(Koentjaraningrat, 2005: 211-212).
Aspek tempat upacara religi berkaitan dengan tempat yang dianggap keramat
seperti makam, candi, pura, kuil, gereja, langgar, surau, mesjid, sinagoge dan sebagainya.
Kemudian waktu pelaksanaan upacara religi berkaitan dengan hari keramat, hari suci, hari
raya, dan sebagainya. Sedangkan benda, peralatan, dan orang yang terlibat dalam upacara
religi seperti, alat bunyi-bunyian seperli gong, seruling, gendang, herbana, dan lain
sebagainya. Sedangkan pemimpin upacara religi misalnya pendeta, biksu, syaman, dukun,
kyai, dan sebagainya.
Kemudian pada umumnya kegiatan dalam upacara religi di Indonesia meliputi
unsur-unsur: Bersaji, berkorban, berdoa, makan bersama, menari tarian suci, menyanyi
nyanyian suci, pawai, drama suci, berpuasa, mengaburkan pikiran hingga kerasukan,
bertapa, bersemedi dan sebagainya (Koentjaraningrat, 2009 : 296).
Berbagai unsur upacara religi yang tersajikan di atas, dalam setiap kegiatan unsur-
unsur tersebut pada setiap religi tentu berbeda-beda, ada yang mengaggap suatu kegiatan
lebih utama sedangkan yang lainya bukanlah unsur yang utama, sehingga apabila para
mahasiswa yang belajar antropologi diajak untuk mengunjungi setiap kelompok religi yang
sedang melakukan upacara religi, niscaya akan terlihat hal- hal yang paling ditonjolkan, dan
setiap religi akan berbeda tergantung pada sistem nilai yang dianut dalam keyakinan religi
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Saebani B. Ahmad. Pengantar Antroplogi. Bandung: Pustaka Setia: 2012.
Puji Leksono. Petualangan Antropologi: Sebuah Pengantar Ilmu Antropologi. Malang:
UMM Press. 2006
Ihromi. T.O. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006.
Benedict, Ruth, Patterns of Culture. Boston: Houghton
Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009.
Mifflin Co., 1980. Harris, Marvin, “Culture, People, Nature; An Introduction to General
Anthropology”, New York, Harper and Row Publishers, 1988.
Richardson, Miles, “Anthropologist-the Myth Teller,” American Ethnologist, 2, no.3 (August
1975).
Koentjaraningrat,Pengantar Ilmu Antropologi.Rineka Cipta: Jakarta.2002
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu antropologi: Pokok-Pokok Etnografi. Jakarta: Rineka
Cipta. 2005.
Koentjaraningrat. 1984. Masalah-masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi
Terapan. Jakarta: LP3ES.
Sairin, Sjafri. 2010. Riak-riak Pembanguan Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Media
Wacana
Syam, Nur. 2012. Mazhab-Mazhab Antropoogi. Yogjakarta: LKIS Printing Cemerlang.
Ihromi. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ihroni,I.T.O. Pokok Pokok Antropologi, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia,2006. Hlm 49 dan
50.
http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat
http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-
sosial-antar-manusia.
http://donarsri.blogspot.com/2013/04/antropologi-bab-5
kebudayaan.htmlhttps://moondoggiesmusic.com/struktur-sosial/
https://www.anthropology.id/metode-metode-antropologi-sebagai-ilmu-sosial-terapan/
http://pustaka-pintar.blogspot.com/2017/09/teori-teori-dalam-antropologi.html