Anda di halaman 1dari 90

KATA PENGANTAR

Bahan bacaan Pengantar Antropologi Sosial Budaya disusun untuk memenuhi kebutuhan
tentang perlunya buku pegangan bagi mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin dalam proses perkuliahan. Dalam rangka itu, diterbitkan modul
untuk digunakan oleh jurusan Komunikasi, Administrasi, Hubungan Internasional, Politik,
Pemerintahan, Sosiologi, dan Antropologi.

Kajian antropologi dalam konteks ilmu-ilmu sosial tidak hanya memberi kejelasan
mengenai hubungan antara ilmu antropologi dengan ilmu-ilmu lainnya, khususnya ilmu
sosial, tetapi juga menunjukkan keluasan dan kedalaman domain kajian ilmu antropologi.
Dalam pada itu, maka kehadiran modul ini, sedikit banyak dapat membantu pembaca
dalam mengenali domain, konsep-konsep dan metode-metode yang khas ilmu
Antropologi. Oleh karena itu, modul ini selain akan digunakan sebagai buku pegangan
bagi mahasiswa yang memprogramkan mata kuliah antropologi, juga dapat digunakan
sebagai bahan referensi bagi pemerhati masalah-masalah sosial budaya.

Makassar,13 September 2011


Penyusun

Yahya
SATUAN ACARA PERKULIAHAN

Tujuan Umum
Mata kuliah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman dasar kepada
mahasiswa tentang antropologi, khususnya antropologi sosial budaya, sebagai suatu
biding ilmu. Selain itu, dengan mata kuliah ini mahasiswa dapat memahami hubungan
antara ilmu antropologi dengan ilmu-ilmu lainnya, konsep-konsep dan metode pendekatan
ilmiah antropologi, dan tujuan paraktis antropologi.
Pokok Bahasan
1. Pengertian dan Ruing Lingkup Antropologi
2. Sejarah Perkembangan Antropologi
1. Pendekatan Ilmiah Antropologi
2. Makhluk Manusia
3. Masyarakat
6. Kebudayaan
7. Kebudayaan dan Kepribadian
8. Perubahan Masyarakat dan Kebudayaan
9. Antropologi Terapan dan Pembangunan

BUKU BACAAN

Barnouw. Victor
1982 An Introduction to Anthropology; Volume Two Ethnology. Homewood,
Illinois: The Dorsey Press; Fourth Edition.
Beals, Ralph L., et.al.
1977 An Introduction to Anthropology. New York: Macipilland Pub. Co. Inc.
Danandjaja, James
1988 Antropologi Psikologi: 7eori,..kfetode dan Sejarah Perkembangannya.
Jakarta: Rajawali Press.
Harsojo
1977 Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta, hal.144-172
Ihromi, T.O.
1984 Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.-
Keesing, Roger M.
1989 Cultural Anthropology: A Contemporary Perspective, second edition.
(Terjemahan Samuel Gunawan). Jakarta: Erlangga.
Koentjaraningrat
1980 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Spindler, Louise S.
1977 Culture Change and Modernisation. Illinois: Haveland Press.
Spradley, James
1972 Culture and Cognition: Rules, Maps, And Rules. USA: Chandler Pub. Com.
BAHASAN 1

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI

A. SASARAN BELAJAR
1 . Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan ruang lingkup antropologi.
2 . Mahasiswa dapat menjelaskan ilmu-ilmu bagian antropologi.
3 . Mahasiswa dapat membedakan antara ilmu antropologi dengan ilmu-ilmu sosial
lainnya.

B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLOGI


Secara etimologis antropologi berasal dari Bahasa Yunani dan merupakan
bentuk kombinasi dari kata anthropos (makhluk manusia) dan logia (studi). Dengan
demikian, antropologi berarti studi tentang umat manusia (the study of humanity). Ruth
F. Benedict menyebutkan antropologi sebagai suatu disiplin ilmu yang mengkaji
masyarakat (Benedict dalam Menno dkk. 1982). Sementara itu, Ralph L. Beals et.al.,
(1977) menyebutkan antropologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tentang asal-usul,
perkembangan, dan sifat spesies manusia. Selanjutnya Hoebel menyebutkan
antropologi sebagai suatu bidang ilmu yang mengkaji tentang manusia dengan seluruh
aspek kehidupannya (the study of mankind as whole). Diantara aspek manusia yang
dimaksud ialah biologi, psikologi, sosial, dan budaya.
Antropologi bukanlah satu-satunya disiplin ilmu yang mengkaji tentang manusia,
melainkan terdapat pula disiplin ilmu lain yang berurusan dengan manusia. Beberapa
diantaranya ialah biologi, psikologi, sosiologi, ilmu sejarah, ilmu hukum, ilmu ekonomi, dan
ilmu politik. Namun, masing-masing disiplin itu mempunyai karakteristik dan penekanan
khasnya sendiri-sendiri yang membedakannya dengan disiplin antropologi.
Ketika Margaret Mead, Ruth F. Benedict, dan Bronislaw Malinowski melakukan
kajian antropologis pada masyarakat terpencil dan eksotis, maka saat itu antropologi
menjadi lebih dikenal sebagai suatu bidang ilmu yang kajiannya berfokus pada
masyarakat terpencil atau orang-orang primitif. Namun, sekarang ini para pakar
antropologi tidak lagi hanya bekerja pada masyarakat primitif, tetapi telah mengkaji petani
dusun, termasuk yang bermukim di daratan Eropa; mengkaji kota-kota, baik di negara
maju maupun di negara berkembang dan terbelakang; mengkaji perusahaan nasional dan
multinasional; dan mengkaji berbagai organisasi-organisasi formal lainnya, seperti
lembaga-lembaga pelayanan kesehatan rumah sakit, Puskesmas, Posyandu, Pengadilan,
dan sebagainya (Kalangie, 1994; Keesing, 1989).
Dari uraian di atas tampak bahwa yang membedakan antara antropologi dengan
disiplin ilmu sosial yang lain ialah tidak pada masyarakat (primitif atau eksotis) yang
menjadi fokus kajiannya, tetapi pada pendekatan dan metode ilmiahnya (penjelasan
mengenai hal itu, lihat sub bahasan 3). Lagipula, ruang lingkup kajian antropologi menjadi
semakin kompleks dibandingkan dengan 50 tahun yang lalu, tatkala ketiga pendekar
antropologi tersebut di atas memperkenalkan kepada khalayak mengenai ciri khas kajian
disiplin antropologi.

1.3 ILMU-ILMU BAGIAN ANTROPOLOGI


Spektrum kajian antropologi amat luas, meliputi mulai dari kajian yang
mengkhusus pada biologi dan evolusi manusia sampai pada kajian mengenai kehidupan
sosial manusia kontemporer, baik yang berdomisili di pedesaan maupun yang di
perkotaan. Demikian luasnya menyebabkan di dalam disiplin ini berkembang beberapa
bidang spesialisasi, atau ilmu-ilmu bagian antropologi. Secara umum antropologi terbagi
atas dua bidang ilmu, yakni: (1) Antropologi Biologi; dan (2) Antropologi Budaya.
Antropologi biologi mempelajari manusia, (Homo Sapiens) sebagai sebuah
organisma biologi yang terutama mengkaji evolusi spesies manusia dan berupaya
menjelaskan diversitas populasi manusia masa kini. Sedangkan antropologi budaya
mengkaji tentang, kebudayaan manusia atau cara-cara hidup manusia, baik masa kini
maupun masa lampau (Barnouw, 1982). Dari kedua bidang disiplin antropologi itu
berkembang pula beberapa sub-sub bidang lain.
Adapun bidang-bidang ilmu yang berkembang di dalam antropologi biologi,
meliputi:
1 . Paleoantropologi, yaitu sub disiplin antropologi biologi yang meneliti dan mempelajari
asal-usul dan perkembangan evolusi manusia dari sudut fisiknya, mulai dari ketika
kondisinya masih berupa Homo Erektus sampai menjadi Homo Sapiens modern.
Pakar antropologi yang mengkhususkan perhatiannya pada bidang itu berusaha
merekonstruksi kemunculan manusia di atas muka bumi ini dan evolusinya menjadi
manusia dengan bentuk tubuh atau fisik sebagaimana yang ada sekarang ini.
2 . Antropologi fisik, yakni sub disiplin antropologi yang mengkaji tentang variasi-variasi
yang terdapat pada umat manusia dipandang dari sudut ciri-ciri fisiknya. Misalnya,
bentuk dan ukuran tubuh, warna kulit dan rambut, indeks tengkorak, frekuensi
golongan darah, dan sebagainya. Kecuali itu, masih terdapat sub-sub bidang
antropologi yang mengkaji tentang keadaan fisik manusia, diantaranya:
1) Somatologi, yakni sub bagian antropologi fisik yang mengkaji tentang varitas
manusia yang masih hidup, perbedaan jenis kelamin, penggolongan ras, dan
variasi perorangan.
2) Antropometri, yaitu sub bagian antropologi fisik yang mengkaji tentang
pengukuran tubuh manusia.
3) Studi perbandingan tentang pertumbuhan organik dan antropologi konstitusi
(ketubuhan) yang mempelajari efek-efek lingkungan terhadap bangsa-bangsa,
dan interaksinya terhadap ciri-ciri khusus yang terdapat pada bangsa-bangsa
serta bagaimana dan mengapa terdapat jenis-jenis penyakit tertentu yang
menimbulkan efek terhadap bangsa-bangsa yang berbeda, dan tingkah laku
khusus yang berkaitan dengan perilaku kriminalitas.
Sementara itu, bidang-bidang ilmu yang berkembang di dalam antropologi budaya
meliputi:
1 . Antropologi Linguistik, yaitu sub-bagian antropologi budaya yang kajiannya berfokus
pada penelusuran timbulnya bahasa dan terjadinya variasi dalam bahasa-bahasa itu
selama suatu jangka waktu berabad-abad. Selain itu, menguji teori bahasa yang
terutama didasarkan atas bahasa Eropa, dan mengamati bahasa dalam konteks latar
belakang sosial budaya.
2 . Arkeologi (prasejarah) adalah sub bidang antropologi budaya yang kajiannya terfokus
pada cara hidup manusia pada periode sebelum mengenal tradisi tulis. Dewasa ini,
pakar arkeologi juga telah mengkaji tentang munculnya negara perkotaan dengan
perhatian lebih diarahkan pada teori proses sosial dan tidak pada peradaban klasik.
3 . Etnologi atau Antropologi Sosial, yaitu sub bidang antropologi budaya yang kajiannya
terfokus pada upaya untuk menyusun generalisasi dan teori tentang perilaku dan
sosial budaya manusia (Keeling, 1989).
Dalam bidang antropologi sosial berkembang pula sub-sub bidang kajian
yang namanya disesuaikan dengan bidang yang digeluti dan orientasi teorinya.
Adapun nama sub-sub bidang antropologi sosial yang serupa dengan bidang
yang digelutinya adalah (1) antropologi hukum, (2) Antropologi Politik; (3) Antropologi
Ekonomi, (4) Antropologi Pendidikan; (5) Antropologi Arsitektur, (6) Antropologi Musik;
(7) Antropologi Pariwisata; (8) Antropologi Agama; dan (9) Antropologi Pembangunan.
Sedangkan nama sub bidang antropologi sosial yang disesuaikan dengan orientasi
teorinya adalah (1) Antropologi Psikologi, (2) Antropologi simbolik, dan (3) Antropologi
Kognitif.
Dewasa ini, telah berkembang pula sub bidang Antropologi Kesehatan.
Wilayah kajian sub bidang ini adalah mempertautkan antara kesehatan dan penyakit
dari segi biologi dengan konseptualisasi dan pengobatan dari segi budaya.
Ilmu-ilmu bagian yang berkembang dalam antropologi sebagaimana yang
diuraikan di atas, dapat digambarkan dalam bentuk skema di bawah ini.
Ilmu-Ilmu Bagian Antropologi
ANTROPOLOGI

Arkeologi Antropologi
(Prasejarah) Linguistik

Antropologi Ekonomi

Antropologi Agama

Antropologi Hukum
Antropologi
Sosial
Antropologi Politik

Antropologi Antropologi Ekologi


Budaya
Antropologi Terapan
Antropologi
Biologi

ANTROPOLOGI

1.4 Hubungan Ilmu Antropologi Dengan Ilmu-Ilmu Lain


Telah disebutkan pada pembahasan terdahulu bahwa bukan hanya disiplin

antropologi yang mengkaji tentang manusia, melainkan juga i1mu-ilmu lain. Dalam

pada itu, maka masing-masing disiplin tersebut berhubungan satu sama lain. Adapun
disiplin ilmu yang dimaksud:
1.4.1 Sosiologi:
Sosiologi merupakan suatu disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan antropologi,

khususnya sub-bidang antropologi sosial. Bahkan kedua bidang ilmu itu mempunyai

tujuan yang sama, yakni mendapatkan pengertian tentang azas-azas hidup masyarakat

dan kebudayaan manusia pada umumnya. Namun, jika dilihat dari asal-usul dan sejarah

perkembangannya serta motede ilmiahnya, maka tampak perbedaan di antara keduanya.

Sosiologi pada awaInya merupakan bagian dari ilmu filsafat, kemudian berubah

menjadi suatu ilmu tersendiri karena krisis yang dialami oleh masyarakat Eropa pada saat

itu, sehingga orang Eropa membutuhkan suatu pengetahuan yang lebih mendalam

mengenai azasazas masyarakat dan kebudayaan. Berbeda dengan antropologi sosial

yang pada mulanya hanya sebagai suatu himpunan bahan keterangan tentang

masyarakat dan kebudayaan penduduk pribumi di luar Eropa untuk mendapatkan

pengertian tentang tingkat-tingkat permulaan dan sejarah perkembangan masyarakat dan

kebudayaannya sendiri.

Dewasa ini, objek penelitian sosiologi bukan lagi hanya masyarakat kompleks di

Eropa melainkan juga pada masyarakat pedesaan di luar Eropa. Hal itu, misalnya, tampak

pada dikembangkannya sosiologi pedesaan (rural sociology). Sebaliknya, antropologi

sosial tidak hanya memfokuskan kajiannya pada masyarakat eksotis dan pedesaan tetapi

juga telah mengkaji masyarakat kompleks dan organisasi-organisasi formal. Dengan

demikian, dalam konteks itu antara sosiologi dan antropologi terjadi overlapping.

Hal yang membedakan antara kedua bidang ilmu itu adalah pada aspek

metodologi. Misalnya, antropologi menyelidiki masyarakat dengan menggunakan

pendekatan holistik. Sebaliknya, sosiologi memusatkan perhatian pada unsur-unsur atau

gejala khusus dalam masyarakat manusia dengan menganalisis kelompok-kelompok

sosial khusus dan hubungan antara kelompok-kelompok sosial yang khusus (social
relations) atau proses-proses yang terdapat dalam kehidupan suatu masyarakat.

Dengan demikian, bilamana ahli sosiologi dan antropologi sosial meneliti

masyarakat tertentu, maka kedua ahli itu akan menggunakan pendekatan yang berbeda.

Ahli antropologi sosial akan meneliti semua, unsur kehidupan masyarakat sebagai suatu

kebulatan. Walaupun penelitiannya difokuskan pada satu unsur atau pranata tertentu saja,

seperti pranata kesehatan, namun is tetap akan menghubungkan pranata tersebut dengan

seluruh struktur kehidupan masyarakat. Sedangkan ahli sosiologi akan meneliti gejala-

gejala atau proses-proses khusus dengan tidak perlu melihat struktur dari keseluruhannya.

Lagipula, ahli antropologi melakukan penelitian yang bersifat intensif dan mendalam

terhadap objek kajiannya dengan menggunakan metode wawancara dan pengamatan

terlibat. Sebaliknya, ahli sosiologi melakukan penelitian dengan menggunakan angket

dengan bantuan ilmu statistik.

Dewasa in, kedua disiplin itu telah saling meminjam metode untuk saling

melengkapi dalam berbagai penelitian. Dalam kata lain, antropologi seringkali

menggunakan angket untuk mendapatkan data dasar perihal objek yang dikajinya dan

kemudian dilanjutkan dengan pengamatan dan wawancara mendalam. Sebaliknya,

sosiologi telah menggunakan pengamatan dan wawancara mendalam dalam

mendapatkan infoi-masi berkenaan dengan objek yang dikajinya.

1.4.2 Psikologi
Antropologi mengkaji perilaku manusia yang terpolakan dan bahwa perilaku yang

terpolakan itu (pattern behavior) itu dipaham! sebagai manifestasi dari struktur mental

manusia. Struktur mental yang dimak-sud, meliputi pengetahuan (knowledge)

kepercayaan (believe), nilai (value), dan sikap (attitude) individu sebagai warga

masyarakat. Psikologi merupakan suatu disiplin ilmu yang mengkaji struktur mental

individu.
Dengan demikian, psikologi mempunyai kontribusi yang sangat berarti bag!

antropologi. Sebaliknya, hasil-hasil penelitian antropologi berkenaan dengan pola-pola

perilaku suatu kelompok komunitas tertentu sangat membantu bagi psikologi dalam

menentukan ukuran dan pola struktur mental berbagal kelompok masyarakat. Dalam kata

lain, dengan kerja sama antara psikologi dan antropologi diperoleh gambaran yang jelas

mengenai hubungan timbal balik antara struktur mental dengan pola-pola perilaku suatu

kelompok masyarakat.

1.4.3 Sejarah
Parasasti, dokumen, naskah tradisional, dan arsip kuno sebagai sumber Sejarah
seringkali hanya membet-i peristiwa-peristiwa Sejarah
terbatas pada biding politik saja. Mengenai Tatar belakang sosial dari peristiwa-peristiwa

politik itu dapat dijelaskan secara tepat manakala ahli sejarah menggunakan konsep-

konsep tentang kehidupan masyarakat yang dikembangkan oleh antropologi dan ilmu-ilmu

sosial lain. Sebaliknya, ahli antropologi juga membutuhkan sejarah, terutama sejarah dari

suku-suku bangsa yang telah diteliti untuk memecahkan masalahmasalah yang terjadi

karena masyarakat itu mengalami pengaruh dari kebudayaan lain. Pemahaman mengenai

hal tersebut diketahui secara cermat. Kecuali itu, sejarah tersebut seringkali masih perlu

direkonstruksi sendirl oleh peneliti, dan karena itu antropolog harus mempunyai

pengetahuan tentang metode-metode untuk merekonstruksi sejarah dari suatu rangkaian

peristiwa.

1.4.4 Geografi
Geografi adalah berusaha mendapatkan pengertian tentang bumi Berta ciri-ciri

dari segala macam bentuk kehidupan yang menduduki bumi. Manusia salah situ di antara

bentuk kehidupan yang dimaksud yang mempunyai keragaman sifat di berbagai tempat di

atas permukaan bumi. Oleh karena antropologi mempunyai kemampuan menyelami

masalah keragaman makhluk manusia, maka tentu saja ilmu geografi sangat

membutuhkan ilmu antropologi.


Sebaliknya, kalangan antropolog membutuhkan ilmu geografi, sebab kenyataan-

kenyataan kebudayaan manusia mempunyai katerkaitan dengan keadaan lingkungan

alamnya.

1.4.5 Ilmu Hayat


Cabang antropologi yang berkaitan Brat dengan ilmu hayat adalah antropologi

fisik. Bagian ilmu hayat yang membahas anatomi, fisiologi, genetika, dan embriologi

bariyak memberi pengetahLian kepada ahli antropologi fisik yang kliustis menyelidiki

masalah ras sebagai konsepsi biologi. Bantuan embriologi, anatomi, dan antropometri

banyak membantu ahli antropologi fisik dalam mempelajari manusia.

Ciri khas tubuh manusia dilihat darl sudut anatomi adalah makhluk yang berdiri
tegak, kuantum otaknya yang terbesar di antara semua makhluk lainnya, tangan dan jari-
jarinya mudah digerakkan untuk berbagai kcperluan dan matanya adalah stereokopis. Ciri-
ciri biologis itu, termasuk sistem saraf, merupakan dasar organis dari kemampuan
manusia untuk berkebudayaan.
1.4.6 Ilmu Ekonomi
Perekonomian suatu bangsa atau masyarakat sangat dipengaruhi oleh

kebudayaan bangsa atau masyarakat itu. Dengan demikian, penerapan konsep-konsep

dan teorl-teorl ekdnomi modern (umumnya berasal dari Ero-Amerika) di negara-negara

non Ero-Amerika perlu penyesualan dengan kebudayaan yang berlaku dalam bangsa dan

masyarakat bersangkkutan. Oleh karena itu, kalangan ekonom, tertitama yang bekerja di

negara-negara belum dan sementara berkembang yang menganut ekonomi subsistensi,

tidak dengan mudah menerapkan teoriteori ekonomi modern.

Sebaliknya, kalangan antropolog yang hendak menjelaskan tentang sistem


ekonomi pada masyarakat-masyarakat agraris dan masih sederhana perlu Pula
mengetahui teorl-teori dan metode-metode ekonomi modern. Masalah-masalah pokok
antropologi yang erat terkait dengan ekonomi adalah etos kerja, pengetahuan budaya dan
kepercayaan, hubungan manusia dengan alamnya, nilai hidup, struktur sosial, dan norma-
norma yang mengatur hubungan manusia dengan alam dan semacamnya. Bagi para ahli
antropologi, pengetahuan mengenai prinsip-prinsip dan teori-teori ekonoml akan
membuatnya lebih tepat dalam menganallsis perubahan sosial yang disebabkan oleh
pembangunan ekonomi.
1.4.7 Ilmu Hukum
Cabang ilmu hukum yang berkaitan erat dengan antropologi adalah hukum adat,

khususnya di Indonesia. Hukum adat mulai dipelajari sebagai bagian dari ilmu hukum di

Indonesia pada awal abad ke-20, dan antropologi telah digunakan sebagai alat bantu

dalam mengkaji hukum adat, baik basil-basil penelitiannya maupun metode-metodenya,

dalam menyelami latar belakang kchidupan Hukum adat di berbagal daerah di Indonesia.

Sementara itu, bag! antropologi, hukum adat itu adalah penting, tidak hanya,

sebagai suatu sistem hukum yang telah diabstraksikan sebagai aturan-aturan normatif

yang timbul dan hidup langsung dari masalah-masalah pranata, yang bersumber dari

kegiatan-kegiatan masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat, balk yang sederhana

maupun yang kompleks, mempunyai kegiatan-kegalatan yang berfungsi sebagai peradilan

sosial untuk menciptakan kehidupan yang tenteram, harmonis dan teratur dalam

masyarakat. Konsepsi yang memandang hukum sebagai salah satu kegiatan kebudayaan

yang berkaitan dengan kontrol sosial tentunya mengharuskan ahli antropologi untuk juga

mempunyai pengetahuan umum tentang konsep-konsep hukum pada umumnya.

1.4.8 Ilmu Politik


Akhir-akhir ini ilmu polltik, khususnya, di negara-negara berkembang, merasa

perlu untuk mempelajarl latar belakang kebudayaan dalam masyarakat, terutama yang

menyangkut struktur politik dan proses mencapai kektiasaan dalam masyarakat, serta

yang mendukung kekuasaan itu. Dernikian pula dengan sistem norma dan adat istiadat

yang berlaku dalam masyarakat. Hal itu disebabkan oleh dijumpainya hal-hal yang

menyimpang dari ketentuan-ketentuan norma kepartaian modern. Untuk keperluan

pemahaman itulah, maka ilmuan politik merasa perlu untuk menggunakan metode analisis

antropologi. Sebaliknya, ahli antropologi yang mempelajari suatu masyarakat, juga akan

menghadapi adanya kekuatan dan proses politik lokal dan kegiatan partai politik nasional

yang mulai berkembang untuk menganalisis gejalagejala itu, perlu diketahiii konsep dan

teori ilmu politik.


1.4 RANGKUMAN

Antropologi adalah studi tentang asal-usul, perkembangan, dan sifat spesies

manusia. Manusia sebagai fokus kajian antropologi dapat disorot dari berbagal dimensi,

diantarannya dimensi biologis, psikologis, sosial, politik, ekonoml, religi, dan sebagainya.

Demikian luasnya wilayah cakupan disiplin antropologi menyebabkan dalam

perkembangannya muncul berbagai bidang spesialisasi. Secara umum bidang spesialisasi

tersebut terangkum ke dalam sub disiplin antropologi biologi dan antropologi budaya.

Di dalam sub disiplin biologi berkembang sub bidang tertentu, seperti

paleoantropologi, antropologi fisik, somatologi, antropometri, dan stud! perbandingan.

Sedangkan sub bidang ilmu yang berkembang dalam antropologi budaya seperti arkeologi

(prasejarah), antropologi linguistik, dan antropologi sosial.

Di dalam sub bidang antropologi sosial berkembang lagi bidang-bidang

spesiallsasi. Nama bidang-bidang itu disesuaikan dengan bidang yang digeluti dan

orientasi teorinya.

Kecuali itu, berkembang pula sub bidang antropoloi kesehatan. Wilayah

kajiannya mempertautkan antara kesehatan dan penyakit segi biologi dengan

koriseptualisasi dan pengobatan dari segi budaya.

DAFTAR BACAAN

Barnouw, Viktor
1982 An Introduction to Anthropology. Ethnology. Illinois: The Doresy Press., pp., 1-38.
Beals, Ralph L. Et.al.
1977 An Introduction to Anthropology. New York: % Macmillan Pub., Co., Inc., pp., 1-
21.
Harsojo
1977 Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta, hal., 1-70
Kalangie, Nico S.
1994 Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta: Megapoin, hal., 1-23.
Keening, Roger M.
1989 Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Penerbit Erlangga.
hal. 1-10.
Koentjaraningrat
1980 Pengantar Dmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Hal., 17-36.

1.7 Tugas Latihan


1. Uraikan dengan menggunakan kata-kata sendiri mengenai ruang lingkup kajian

antropologi.

2. Tulin dengan menggunakan kata-kata sendiri tentang ke khasan antropologi

yang membedakannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial yang juga mengkaji

manusia, terutama pada periode Mead, Benedict, Malinowski; dan setelah

priode mereka itu.

3. Uraikan cabang-cabang antropologi biologi dan antropologi budaya.

4. Buatlah dalam bentuk skema mengenai antropologi berikut cabang-cabangnya.


BAHASAN 2

SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI

2.1 SASARAN BELAJAR

1. Mahasiswa mampu menjelaskan sejarah perkembangan antropologi, mulai dari awal

pertumbuhan hingga mencapai tingRat kemamtapannya sebagai suatu bidang ilmu.


2. Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan ilmiah dan praksis dalam fase-fase

perkembangannya.
2.2 FASE-FASE PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
Dewasa ini, antropologi telah melalui empat fase perkembangan. Masing-masing

perkembangan tersebut ditandai dengan fokus perhatian dan tujuan tersendiri. Adapun

keempat fase yang dimaksud dapat dilihat dalam uraian di bawah ini.

2.2.1 Fase Pertama.


Fase pertama berlangsung selama kurang lebih empat abad lamanya, yakni abad
ke-15 hingga abad ke-16, ditandai dengan usaha para ilmuan menghimpun buku-buku
kisah perjalanan dan laporan yang ditulis oleh para musafir, penyiar agama Nasrani,
penerjemaah Kitab Injil, dan pegawai pemerintahan jajahan negara-negara bangsa Eropa.
BukLI-buku itu men desk ripsikan perihal adat-istiadat, susunan masyarakat, 8ahasa, dan
ciri-ciri fisik dari beragam suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan suku bangsa Indian
(penduduk pribumi benua Amerika), yang menjadi jajahan bangsa-bangsa Eropa pada
masa itu. Bahan-bahan itu amat menarik pehatian orang Eropa, Kebab sangat berbeda
dengan adat-istiadat, susunan masyarakat, bahasa, dan ciri-ciri fisik bangsa Eropa Barat.
Bahan pengetahuan itu disebut etnografi, yakni pelukisan tentang bangsa-bangsa.
Sungguhpun demikian, deskripsi itu tidak cermat dan seringkali bersifat kahLII- Berta
kebanyakan hanya memperhatikan hal-hal yang di mata orang Eropa tampak anch.
Keanehan tersebut memancing minat kalangan terpelajar di Eropa Barat sejak

abad ke-18. Kemudian dalam pandangan orang Eropa timbul tiga macam sikap, yakni: (1)

sikap negatif yang menganggap suku bangsa itu sebagai primitif, liar, keturunan iblis, bat-

bar, dan sebagainya; (2) sikap positif yang menganggap suku bangsa itu masih harmonis,
murni, dan belum kemasukan kejahatan dan keburukan seperti yang terdapat pada

masyarakat bangsa-bangsa Eropa waktu itu; dan (3) sikap tertarik terhadap adat-istiadat

yang aneh; dan karena itu mereka mengumpulkan benda-benda budaya dari suku-suku

bango& tersebut. Benda-benda budaya yang dikumpulkan secara pribadi itu, sebagian

yang dipertontonkan kepada umum. Saat itulah untuk pertama kalinya muncul museum-

museum yang menghimpun benda-benda budaya bangsabangsa di luar Eropa.

2.2.2 Fase Kedua


Sekitar awal abad ke-19, dunia ilmiah tertarik dan berusaha mengintegrasikan

himpunan bahan etnografi suku bangsa yang disebutkan di atas menjadi satu. Namun

integrasi barn terjadi pada pertengahan abad ke-19, tatkala terbit keterangan-keterangan

yang menyusun bahan etnografi berdasarkan cara berfikir evolusi masyarakat. Secara

sinkat, cara berfikir seperti itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Masyarakat dan

kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat dalam satu jangka waktu

beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat

antara sampai ke tingkat-tingkat tertinggi. Bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan

manusia yang tertinggi itu adalah bentuk-bentuk seperti apa yang hidup di Eropa Barat.

Semua bentuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa, yang oleh

orrang Eropa disebut primitif, dianggap sebagai contoh dari tingkat-tingkat kebudayaan

yang lebih rendah atau sebagai sisa dari kebudayaan manusia purba.

Kecuali itu, timbal pula beberapa karangan yang hendak meneliti sejarrah

persebaran kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumf. Dalam pada itu, kebudayaan-

kebudayaan di luar Eropa dianggap sebagai sisasisa dan contoh-contoh dari kebudayaan

manusia kuno, sehingga dengan meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu

orang dapat menambah pengertiannya tentang sejarah persebaran kebudayaan manusia.

2.2.3 Fase Ketiga.


Fase ketiga dari sejarah perkembangan antropologi ditandai oleh timbulnya
perhatian yang sangat besar di kalangan pemerintah negaraneara Eropa terhadap bahan-

bahan etnografi bangsa-bangsa jajahannya demi mantapnya satabilitas sistem

administrasi pemerintahan di daerah jajahannya. Selain itu, ilmu antropologi yang

dikembangkan dari bahanbahan etnografi dianggap penting karena dengan pengetahuan

tentang masyarakat dan kebudayaan yang kurang kompleks itu, akan menambah pula

pengertian orang mengenai masyarakat yang sudah kompleks sepeti masyarrakat dan

kebudayaan orrang Eropa sendiri.

2.2.4 Fase Keempat


Dalam fase keempat, ilmu antropologi mengalami proses perkembangan yang

paling lugs. Hal itu disebabkan oleh semakin bertambahnya bahan-bahan pengetahuan

yang lebih teliti dan ditunjang oleh ketajaman metode-metode ilmiah yang digunakan.

Pada fase ini sararan kajian ilmu antropologi bukan lagi hanya pada suku-suku bangsa di

War Eropa, melainkan juga masyarakat Eropa sendiri, khususnya masyarakat pedesaan

mereka. perkembangan kajian antropologi secara akademik berlangsung di Universitas-

Universitas Eropa pada saat setelah tahun 1951, namun perkembangan itu berlangsung

paling pesat dl univeritas-universitas Amerika.

Terjadinya perluasan lapangan penelitian ilmu antropologi itu disebabkan oleh

adanya dua perubahan yang terjadi, yakhi: (1) timbulnya antipasi terhadap kolonialisme

sesudah perang dunia ke-2; dan (3) menghilangnya bangsa-bangsa primitif di dunia sejak

sekitar tahun 1930-an.

2.3 TUJUAN-TUJUAN AKADEMIK DAN PRAKSIS ANTROPOLOGI


Pada fase pertama, perkembangan antropologi masih berupa pendeskripsian

yang kabur mengenai adat istiadat dan susunan masyarakat di Afrika, Asia, Oseania, dan

suku bangsa Indian. Pada fase ini, ilmu antropologi belum memberikan sumbangan ilmiah

dan praktis yang jelas.

Pada pase kedua, antropologi dengan bahan-bahan etnografinya yang telah

melimpah ruah telah secara jelas memberikan sumbangan yang sangat berartl bag!
penyusunan perkembangan teori-teori evolusl dan persebaran kebudayaan manusia.
Dengan demikian, pada pase in! antropologi telah memberikan kontribusi yang berharga

dalam bidang akademik.


Dalam pase ketiga, perhatlan antropologi terfokus pada bahanbahan etnograf!
lama dan pentilisan etnngraf! diarahkan pada kepentingan stabilitas dan kelancaran

sistem administrasi pemerintahan di negara-negara jajahan. Dengan demikian, tujuan

anropologi pada pase ini leih berorientasi praksis.

Dalam fase keempat, K-egiatan-kegiatan penelitian antropologi bertujuan, balk


untuk perkembangan ilmu itu sendirl maupun untuk kepentingan praksis. Pada fase ini,
lapangan-lapangan penelitian antropologi telah diperluas pada masyarakat pedesaan,
tidak hanya yang berdomisil di daerah jajahan tetapi juga yang bermukim di Eropa. Lagi
pula pada fase itu bermunculan spesialisasi-spesialisasi dalam antropologi budaya dan
ditambah dengan adanya perluasan dan penajaman metodemetodenya.
Tujuan praksis antropologi pada fase keempat ini bukan lagi untuk kepentingan

negara-negara penjajah, melainkan juga untuk pembangunan masyarakat-masyarakat

negara jajahan atati bekas jajahan bangsa-bangsa Eropa. Gagasan tentang

pembangunan kembali masyarakat-masyarakat jajahan tersebut muncul pertama kali dari

kalangan orang Eropa sendiri dengan ide "politik etis" ditamnbah dengan semakin

meningkatnya asplrasl bangsa-bangsa terjajah atau bekas jajahan untuk membangun

kehidupan bangsanya sendiri.

2.4 RINGKASAN
Ada empat fase sejarah perkembangan antropologi: Pertama sebelum tahun

1800; kedua pada pertengahan abad ke-19; ketiga pada permulaan abad ke-20; dan

keempat sesudah tahun 1930-an.

Fase pertama, yakni fase awal munculnya buku-buku etnorafi tentang suku-suku

bangsa di luar Eropa dan adanya ahli yang mengumpulkan bendy-bendy budaya dari

masyarakat non Eropa untuk dimusiumkan agar dapat dilihat oleh banyak oran. Sekalipun

pada fase ini belum menunjukkan adanya manfaat ilmiah dan praksis yan jelas, namun

menjadi cikal akal berkembangnya ilmu antopologi.


Fase kedua, dilakukan penelitian dan penyusunan bahan-bahan etnografi secara

teliti yang dimaksudkan untuk mengembangkan dan memperkuat teori-teori evolusi

budaya dan sejarah persebaran kebudayaan. Dengan demikian tujuan antropologi pada

pace tersebut berorientasi iliniah.

Fase ketiga, perhatian terhadap penyusunan bahan-bahan etnografi (]an

penelitian etnografi di negara-negara jajahan dimaksudkan untuk memamtapkan dan

memperlancar adminsitrasi pemerintahan di negara-negara jajahan. Pada pase ini tujuan

antropologi lebih besia paksis.

Fase keempat, kajian antropologi mejadi semakin berkembang, bukan hanya

pada lapangan perhatiannya, melainkan juga pada metodemetode ilmiahnya. Hasil-hasil

penelitiannya pun tidak hanya untuk kepentingan ilmiah tetapi juga kepentingan

pembangunan bangsa-bangsa jajahan dan bekas jajahan.

2.5 KEPUSTAKAAN
Koentjaraningrat
1980 "Fase-Fase Perkembangan Antropologi Sebagai Suatu Ilmu". Dalam Pengantar
Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta; halaman 13-18.
Koentjaraningrat
1980 "Tujuan Prkatis dan Akademis Antropologi dalam Sejarah Perkembangannya".
Dalam Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta; halaman 13-36.
BAHASAN 3

PENDEKATAN DAN METODE PENELITIAN


LAPANGAN ANTROPOLOGI

3.1 SASARAN BELMAR


1 . Mahasiswa mampu menjelaskan jenis pendekatan yang terdapat dalam disiplin

antropologi

2 . Mahasiswa dapat menjelaskan metode penelitian lapangan antropologi

3 . Mahasiswa dapat memahami jenis data yang diperoleh melalui masing-masing

metode yang digunakan.


3.2 PENDEKATAN ILMIAH ANTROPOLOGI
Seperti telah dinyatakan pada uraian terdahulu bahwa yang membedakan

antropologi dengan disiplin ilmu-ilmu sosial lain yang juga mengkaji manusia adalah pada

metode pendekatan. Metode pendekatan yang dimaksud: (1) Pendekatan holistik; (2)
p
endekatan historis;(3) Pendekatan komparatif; (4) Pendekatan emik; dan (5) Pendekatan

etik.

Pendekatan holistik (holistic approach) adalah suatu pendekatan yang melihat

kebudayaan manusia sebagai suatu fungsi yang menyeluruh yang tersusun dari sejumlah

bagian-bagian yang sating berhubungan secara aktif. Dengan demikian, sesuatu yang

terjadi pada suatu bagian tertentu yang merupakan bagian dari suatu sistem akin

mempengaruhi struktur dan kerja keseluruhan sistem. Misalnya, pranata ekonomi,

kesehatan, kekerabatan, politik, dan lain-lain adalah sating berhubungan satu sana lain.

Satu bagian saja tidak dapat dimengerti secara utuh tanpa mengkaitkannya dengan

pranata-pranata lain. Oleh karena itu, meskipun kajian difokuskan pada bidang tertentu

dari kehidupan manusia, misalnya, pranata kesehatan, namun senantiasa terkait dengan

pranata-pranata lain seperti pranata ekonomi, politik, kekerabatan, agama, dan lain-lain.

Pendekatan historis (historical approach) adalah suatu pendekatan yang mellhat


manusia sebagai konsekilens! dari rang.Raian proses-proses biologi dan social budaya.
Arkeolog! sebagai suatu bidang dari antropologi budaya menekankan kajiannya
pada rekonstruksi bentuk awal, perkembangan, dan saling hubungan di antara berbagai
macam manusia di atas permukaan bum! ini. Dalam konteks itu, antropolog! dengan
pendekatan historis menginterpretasi kebudayaan yang dipunyai oleh suatu kelompok
masyarakat tertentu dalam bentuk pengaruh sejarah.
Pendekatan Komparatif (comparatif approach) digunakan dalam disiplin
antropologi untuk menjelaskan persamaan dan perbedaan d! antara berbagai makhluk
manusia, baik darl segi bicfisik maupun dari segi budaya, di atas muka bumf ini.
Pendekatan komparatif ini dapat digunakan dalam tingkat mikro maupun makro.
Pendekatan komparatif dalam tingkat mikro adalah pendekatan yang digunakan untuk
menyusun penjelasan mengenal persamaan dan perbedaan satu aspek kebudayaan
tertentu. Pendekatan komparatif dalam tingkat makro adalah pendekatan yang digunakan
untuk menyusun proposis! umum dan teorl tentang manusia dan kebudayaannya.
Pendekatan emik (amic approach) dan etik (etic approach) adalah suatu
pendekatan yang digunakan oleh ahli antropologi untuk membedakan antara pengertian
orang dalam (native view) dan orang luar. Pengertian orang dalam berkenaan dengan
kepercayaan, cara, dan kebiasaan tertentu dipahami sebagai perspektif emik; sedangkan
pandangan orang luar tentang kepercayaan, cara, dan kebiasaan kelompok masyarakat
tertentu dipahami sebagai perspektif etik.
Pengertian berdasarkan perspektif emik sangat penting, terutama sekali dalam

pengembangan dan implementasi suatu program. Sebab hanya dengan memahami


perspektif masyarakat setempat yang menjadi sasaran program, barn terbuka pintu untuk
diintrodusir program-program tertentu. Dalam kata lain, dengan memahami pandangan

dunia (world view) masyarakat yang menjadi sasaran program, maka akan diketahui faktor

potensi dan kendala bag! pelaksanaan dan keberhasilan program.

Salah satu contoh mengenai perbeadaan antara perspektif emik dan etik adalah

pada penyakit campak. Menurut masyarakat bahwa terdapat dua jenis penyakit campak

yaitu yang disebabkan oleh faktor alamiah dan yang disebabkan oleh intervensi agen-

agen supernatural. Sedangkan menurut perspektif etik, hanya terdapat satu jenis penyakit

campak, yakni yang disebabkan oleh virus campak.


3.3 METODE PENELITIAN LAPANGAN
Penelitian lapangan merupakan hal yang sangat penting bagi disiplin antropologi.

Hanya dengan penelitian lapangan, maka proposisi-proposisi dan teori-teori dapat

ditemukan bukti-bukti empirisnya; dan melalui penelitian lapangan pula, maka dapat

ditemukan konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan teori dari data yang telah dikumpulkan

di lapangan.

Data atau informal! yang diperoleh di lapangan dikumpulkan melalui metode atau
teknik penelitian tertentu. Metode atau teknik penelitian lapangan yang dimkasud selain
yang khas digunakan dalam antropologi juga seringkali digunakan metode atau teknik
penelitian ilmu social lain, seperti survey, riwayat hidup individu (life history) Focus Group
Discussion (FGD), dan lain-lain. Namun yang akan dibahas dalam uralan ini adalah yang
umum digunakan dalam limo antropologi, yakni pengamatan berperanserta (participant
observation) dan wawancara mendalam (indepth interview).
Penelitian dengan menggunakan metode atau teknik pengamatan sangat penting
artinya dalam kerja lapangan antropologi. Sebab dengan pengamatan tidak hanya

memberikan gambaran mengenai setting (latar belakang dan keadaan yang diamati),
tetapi juga memberikan keterangan yang non-verbal yang berarti mengenai sesuatu yang

benar-benar terjadi.

Menurut Spradley (1980) terdapat tiga jenis pengamatan, yakni (1) pengamatan

deskriptif; (2) pengamatan fokus; dan (3) pengamatan selektif.

Pengamatan deskriptif adalah pengamatan yang sifatnya masih sangat umum


dan bertujuan untuk menjawab pertanyaan apa yang sedang terjadi. Pengamatan
deskriptif selalu termasuk perspektif dari pengamat (etic perspektif). Pengamatan
deskriptif relatif mudah dikerjakan asalkan pengamat mengetahui tentang keadaan yang
diamati. Adapun dimensi utama dari setiap keadaan sosial yang perlu diketahui oleh
pengamat adalah:
 Tempat Apa keadaan fisik dari situasi sosial
 Pelaku Siapa-siapa orang yang terlibat
 Kegiatan Apa yang dilakukan orang-orang yang terlibat
 Objek Benda-benda material apa yang ada pada situasi sosial itu.
 Waktu Kapan kejadian itu berlangsung
 Sasaran Apa yang akan diselesaikan oleh orang-orang dalam situasi sosial itu
 Perasaan Emosi apa yang terpendam dan terungkap dalam situasi sosial itu.

Pengamatan fokus adalah lebih spesifik dan membutuhkan tingkat keakraban

yang tinggi dengan keadaan atau aktivitas yang diamati.

Sebuali pengamatan fokus terhadap sebuah keadaan di ruang tunggu, misalnya,

dapat diatur sebagai berikut:

 Kegaiatan apa yang terjadi di ruang tunggu


 Siapa orang-orang yang termasuk dalam kegiatan itu
 Apa yang dilakukan orang-orang dalam ruang tunggu
 Bagaimana cara-cara orang berinteraksi
Pengamatan selektif adalah pengamatan terhadap kejadian yang lebih spesifik

dan fokus biasanya diarahkan pada perbedaan yang spesifik.

Ketiga jenis pengamatan yang dikemukakan di atas dapat dilakukan dengan


pengamatan terlibat (participant observation). Pengamatan terlibat merupakan salah satu
teknik.pengumpulan data yang dijalankan oleh sarjana antropologi. Dalam pada itu,
peneliti terlibat dalam kehidupan sehari-hari orang yang diteliti. Melalui cara itu, peneliti
dapat belajar menjadi "orang dalam" secara nyata.
Secara umum pengamatan terlibat dapat dikelompokkan ke dalam 3 bagian
yakni:
1. Partisipasi pasif, yaitu pengamat hadir di dalam kegiatan objek yang diamati tetapi

tidak secara sungguh-sungguh terlibat atau berhubungan dengan orang dan peristiwa

yang menjadi objek penelitiannya.

2 . Partisipasi aktif, yaitu pengamat mencoba untuk melakukan atau berbuat


sebagalmana, yang diperbuat orang-orang yang menjadi objek kajiannya,
mempelajari peranan kebudayaan, dan kebiasaan setempat.
3 . Partisipasi sempurna, yaitu pengamat mempelajari suatu situasi dan berpatisipasi
setiap hari di dalam masyarakat yang diteliti.
Metode pengumpulan data yang juga umum digunakan dalam disiplin antropologi
adalah wawancara. Teknik wawancara ini dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian,

yakni wawancara informal dan wawancara formal.


Wawancara informal biasanya dilaksanakan dalam bentuk percakapan, namun

percakapan itu terarah sesuai dengan format pertanyaan yang telah disusun. Sungguhpun

peneliti dalam melakukan wawancara mengikuti garis-garis umum (pedoman wawancara),

namun !a bebas mengajukan pertanyaan sesuai dengan kondisi dan situasi yana:,

dihadapi, asal saja percakapan itu seiring dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam

kata lain, topik tambahan yang belum tertuang dalam daftar pertanyaan jika dianggap

perlu dapat ditanyakan.

Menurut Spradley (1979) wawancara informal mengandalkan pada tiga tipe

pertanyaan, yaitu:

1. Pertanyaan Struktural, sebagal contoh: Dapatkah anda menyebutkan kepada saga

tentang jenis-jenis pengobat tradisional (dukun). Jawaban yang mungkin diberikan


oleh informan seperti: dukun patah tulang, dukun bay!, dukun ramuan, dan

sebagainya.
2. Pertanyaan deskriptif, sebagal contoh: dapatkah anda menggambarkan kepada saga
tentang cara-cara pengobatan yang dilakukan oleh dukun patah tulang?
3. Pertanyaan kontras, sebagai contoh: Dapatkah anda menyebutkan perbedaan antara
dukun patah tulang dengan dukun ramuan.
3.4 RANGKUMAN
Pendekatan ilmiah yang khas bagi ilmu antropologi adalah pendekatan holistik,

historls, komparatif, emik, dan etik.

Sementara metode penelitian yang umum digunakan dalain antropologi adalah

pengamatan dan wawancara. Ada dua jenis pengamatan, yakni pengamatan terlibat dan

pengamatan tidak terlibat. Demikian juga wawancara terbagi ke dalam dua jenis, yakni

wawancara informal dan wawancara formal.

Metode pengamatan yang digunakan oleh para peneliti antropologi ialah

pengamatan terlibat; dan bahwa dalam pengamatan terlibat sekurang-kurangnya terdapat


tiga tipe keterlibatan, yakni terlibat pasif, terlibat aktif, dan terlibat sempurna. Sedangkan

kegiatan pengamatan dikelompokkan ke dalam tiga tipe, yakni pengamatan deskriptif,

pengamatan fokus, dan pengamatan selektif.

Selanjutnya, dalam kegiatan wawancara informal mengandalkan pada tiga tipe

pertanyaan, yakni: pertanyaan struktural, pertanyaan deskriptif dan pertanyaan kontras.

DAFTAR BACAAN

Beals, Ralph L. Et.al.


1977 An Introduction to Anthropology. New York: Macmillan Pub., Co., Inc., pp., 1-21.
Pelto, Pertti & Gretel H. Pelto
1978 Anthropological Research: The Structure Inquiry. London:
Cambridge University Press, pp., 54-66.
Spradley, James
1980 Participant Observation. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Spradley, James
1979 The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart & Winston.
3.6 TUGAS LAYMAN
1. Uraikan dengan jelas pendekatan yang khan dalam ilmu antropologi.
2. Mengapa pendekatan emik dianggap penting dalam memahami peta-peta sosial

budaya masyarakat.

3 . Uraikan metode pengumpulan data lapangan yang senantiasa digunakan dalam

antropologi.

Uraikan perbedaan data yang terkumpul melalui metode yang disebutkan dalam

pertanyaan nomor 3 di atas.


BAHASAN 4

MANUSIA

4.1 SASARAN BELAJAR


1. Mahasiswa mampu menjelaskan manusia dari perspektif evolusi.
2. Mahasiwa mampu menjelaskan pengertian ras dan penggolongan ras
manusia yang hidup pada masa kini.
3. Mahasiwa mampu menjelaskan metode klasifikasi ras.
4. Mahasiswa dapat menerangkan kemungkinan masalah psikologis dan sosial

yang akan timbul karena kesalahpahaman mengenai pengertian ras.

4.2 HOMO SAPIENS


Nenek moyang Homo Sapiens (manusia modern atau manusia sebagaimana
yang hidup pada masa sekarang ini) diperkirakan dari kera besar yang digolongkan
sebagai Ramapithecus yang hidup di pinggiran Tropis Afrika dan Asia Selatan pada kurun
waktu sekitar 15 sampai 10 juta tahun yang lalu. Ramaphithecus kemungkinan besar
merupakan binatang yang hidup di pohon-pohon, namun dapat juga berkeliaran di atas
permukaan tanah untuk mencari makanan, dan dapat berjalan di atas kedua kakinya
(Simon dalam Keesing, 1989).
Hal yang patut dipertanyakan dari pernyataan di atas adalah sudah berapa lama
terjadi perpisahan antara garis keturunan manusia (Homonid) dengan garis keturunan
kera? Menyangkut hal itu terdapat ketidaksepakatan yang tajam di antara para ahli.
Sebagian yang mengatakan bahwa perpisahan tersebut terjadi pada kurun waktu 15
sampai 10 juta tahun yang lalu, dan sebagian lain yang mengatakan bahwa perpisahan itu
terjadi pada kurun waktu sekitar 5 juta yang 1,11U. Ketidaksepakatan itu muncul oleh
karena tiadanya temuan fosil yang diperkirakan hidup pada kurun waktu 10 sampai 5 juta
tahun yang lalu yang dapat menunjukkan secara jelas perbedaan garis keturunan manusia
dengan garis keturunan kera.

Akan tetapi setelah ditemukannya fosil yang usianya berasal dari kurun waktu 5
sampai 3 juta tahun yang lalu, maka garis keturunan manusia yang tertua sudah diketahui.
Garis keturunan manusia tersebut dinamakan Australopithecine.
Cirl-cirl Australopithecine yang hidup pada masa-masa awal adalah berukuran
kecil (30-50 kg), berjalan tegak, dan struktur tubuhnya relatif menyerupai manusia
sekarang ini. Mereka memakan pangan yang umumnya berupa tumbuhan liar (akar-
akaran, biji-bijian, buah-buahan), dan pangan hewani (telur, binatang melata, binatang
pengerat, dan berbagai jenis binatang lainnya). Akan tetapi rahang dan struktur wajahnya
masih kasat dan lebih mirip kera ketimbang manusia; rongga otak agak keeil (separuh dart
rongga otak manusia modern).
Pada kurun waktu antara 3 sampai 2 juta tahun yang lalu terjadi perubahan
dramatis bagi bentuk Australopithecine. Perubahan itu tidak hanya tampak pada bentuk
fisik, tetapi juga pada meningkatnya ukuran rongga otak, intelegensi, dan kemampuan
simbolik. Garis keturunan manusia (hominid) yang berada pada tahap evolusi seperti itu
disebutkan oleh keluarga Leakey sebagai manusia Homo Habilis. Kenyataan itu
memunculkan pertanyaan: Apa yang menjadi penyebab munculnya Homo Habilis? Dan
tekanan apa yang telah mengganggu keseimbangan yang telah ada pada saat itu?
Keunggulan apa yang ada pada evolusi intelegensi manusia?
Perubahan pada kemampuan intelegensi Homo Habilis tampaknya disebabkan
oleh adanya kerumitan dalam perburuan binatang besar, penggunaan peralatan, dan
hidup dalam kelompok sosial yang terorganisir serta saling berkaitan. Jenis binatang yang
diburu oleh Homo Habilis pada saat itu diantaranya jerapah, kuda nil, rusa, dan gajah; dan
perburuan itu menghendaki adanya keterampilan, perencanaan, dan. organisasi. Kecuali
ltu, sekalipun otaknya relatif kecil, is telah mampu membuat peralatan dari batu, dan boleh
jadi sudah membuat peralatan dari tulang dan kayo. Peralatan dari batu digunakan untuk
memotong, menggali, menglkis, dan memahat. Kemampuan membuat peralatan sepertl
itu mengisyaratkan adanya kemampuan imajinasi mengenai keadaan benda yang akan
dibentuk, dan hal itu pada gillrannya melahirkan kemampuan untuk menentukan ukuran
tindakan. Dalam pada itu, diperlukan pula kemampuan mental untuk menyampaikan
rencana, walaupun secara kasar, seperti halnya dalam kegiatan berburu yang
terorganisasi.
Tempat penemuan fosil Homo Habilis menunjukkan pemukiman sebagai basis

tempat tinggal. Keadaan in! juga menuntut adanya perencanaan dan komunikasi; dan hal
tersebut memperluas kemungkinan adanya kehidupan sosial yang terorganisasi dan

pembagian kerja. Kaum prig pada saat itu diduga bekerja sebagai pemburu binatang besar

dan kaum wanita bekerja sebagai pengumpul pangan di hutan dan berburu binatang kecil

serta mengasuh anak.

Jlka pola hidup yang demikian itu telah dimulai, maka timbul berbagai

kemungkinan barn, seperti: kegiatan membuat dan merawat peralatan yang tidak lag!

bersifat sementara, kegiatan menghimpun pengetahuan setempat dan usaha

mengalihkannya; kegiatan yang dflakukan secara, bekerja sama ketimbang dengan

bersaing; dan keglatan penciptaan pola distribus! pangan. Hal itu, pada gillrannya sangat

berpengaruh bag! intelegens! serta pola perilaku dan f1sik yang bertaIlan. Dengan

demikian, keseluruhan pola berevolusi secara bersama; perubahan struktur fisik dan

perilaku yang, diturunkan secara genetik natipun secara sosial saling berkaitan.

Keadaan tersebut mendorong bagi munculnya tahapan lain nenek moyang


manusia; yakni telah memiliki kesanggupan dan daya penyesualan yang luar blasa.
Mereka itu digolongkan sebagai Homo Erectus. Homo Ei-ectus memf)tinyai tubuh yang
secara anatomi harnpir tidak dapat dibedakan dengan manusia modern, kecuali bentuk

dahi yang pendek dan miring; alis lebat dan tebal; rahang dan gigi yang besar. Lebih dari
kurun waktu sejuta tahun, Homo Erectus berevolusi secara berangsur-angsur ke arah
Homo Sapiens dan bentuk tengkorak serta, ukuran otak yang semakin besar yang
bergerak mendehati ukuran otak manusia modern.
Fosil Homo Erectus yang hidup sekitar 400.000 tahun yang lalu yang ditemukan
di pantai Laut Tengah daerah Perancis telah menunjukkan bukti-bukti tentang adanya
perpindahan musiman yang teratur ke pantai untuk mengumpulkan kerang dan berburu
rusa, gajah, babi hutan, badak, dan banteng liar. Mereka juga telah membuat dan
menggunakan peralatan yang berdaya guna dari batu -dan tulang, memasak makanan
mereka, mendirikan gubuk dan penahan angina menggunakan tempat persembunyian
binatang, tempat tidur dan duduk serta telah menggunakan mangkuk.
Perkembangan yang terjadi seperti yang disebutkan di atas dipandang oleh para
ahli sebagai pengejawantahan dari, dan dorongan bagi peningkatan intelegensi dan

keteraturan kehidupan sosial.

Selanjutnya, dalam kurun waktu 250.000 sampai 100.000 tahun yang lalu terjadi
perkembangan fisik ke arah peningkatan rongga otak dan penciutan rahang raksasa.
Dalam pada itu, maka lahirlah Homo Sapiens dengan jenis Neanderthal. sebagai Homo
Sapiens awal yang tersebar lugs, manusia Neanderthal ditanadai oleh otak yang besar,
seukuran otak manusia modern; tetapi rahangnya masih besar, wajahnya menjorok ke
depan, keningnya tebal, dan dahinya landai, struktur per.%vajahan seperti itu menurut
Brace (dalam Keesing, 1989) merupakan penyesuaian fisik karena masih menggunakan
gigi sebagai alat untuk membuat peralatan, proses menguliti dan sebagainya.
Dengan semakin majunya teknologi peralatan, maka gigi semakin kurang dipakai
sebagai alat penggenggam atau pemotong dan akibatnya struktur wajah modern
berevolusi. Kecuali itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa karma manusia

Neanderthal telah mampu menghasilkan bunyi-bunyi vokal dengan baik, maka bentuk

'tengkoraknya berkembang bersama dengan evolusi kemampuan berbieara manusia

modern.
Proses evolusi tersebut berlangsung terns, sehingga pada kurun waktu antara
40.000 sampai 30.000 tahun yang lalu telah muncul Homo Sapiens modern sebagaimana
yang ada sekarang in!. Hal itu terbukti dari adanya berbagai fosil yang ditemukan di
berbagai tempat, diantaranya Eropa, Kalimantan, Australia, dan lain-lain.
4.3 RAS DAN METODE KLASIFIKASI RAS
Ras menurut pengertian antropologi adalah suatu golongan manusia yang

menunjukkan berbagai ciri tubuh tertentu. Ciri-ciri tubuh tersebut adalah sebagian yang

dapat dilihat secara langsung dan diukur secara kuantitatif dan sebagian lagi merupakan

organ bagian dalam tubuh serta organ-organ penciuman rasa dan bau yang unttik

pengklasifikasiannya harus dengan metode ilmiah atau fenotipe.

Metode klasifikasi ras yang termasuk klasik, namun masih digunakan adalah

metode yang melihat ciri-ciri morfologi atau fenotipe, yaitu ciri-ciri kaulitatif berupa warna

kulit, warna dan bentuk rambut, bentuk muka dan bagian-bagiannya; dan ciri-ciri kuantitatif
seperti berat dan ukuran badan, ukuran tengkorak dan indeks tengkorak, dan sebagainya.

Metode klasifikasi ras yang relatif barn dan canggih adalah metode klasifikasi
f7logentik, yaitu yang berdasarkan pengetahuan tentang ciri-ciri genotif seperti golongan
darah dan ciri-ciri penciuman bau zat atau phenythlocarbomide. Dengan menggunakan
metode klasifikasi filogentik, maka selain persamaan-persamaan dan perbedaan-
perbedaan antara ras dapat digambarkan, juga hubungan-hubungan asal-usul antara ras-
ras tertentu Berta percabangannya dapat dijelaskan.
4.4 KLASIFIKASI RAS
Klasifikasi ras yang diungkapkan dalam uraian ini adalah yang dibuat oleh A.L.

Kroeber. Dalam klasifikasi itu, tampak secara jolas golongan ras-ras yang terpenting di

dunia. Adapun golongan ras-ras yang dimaksud, meliputi:

1. Austroloid (penduduk asli benua Australia)


2. Caucasoid, yang termasuk ras Caucasoid adalah:
2.1 Nordic (Eropa Utara sekitar laut Baltik).
2.2 Alpine (Eropa tengah dan Timur).
2.3 Mediteranean (penduduk sekitar laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arab, dan

Iran).

3. Mongoloid, yang termasuk ras Mongoloid adalah:


3.1 Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah, dan Asia Timur).
3.2 Malayan Mongoloid (Asia Tenggara, Kep. Indonesia, Malaysia, Filipina, dan
penduduk Taiwan).
3.3 American Mongoloid (penduduk asli Benua Amerika Utara dan Selatan, yaitu dari
orang Eskimo di Amerika Utara sampai dengan penduduk Terra del Fuego di
Amerika Selatan).
4. Negroid, yang termasuk ras \egrold adalah:
4.1 African Negroid (Benua Afrika)
4.2 Negrito (Afrika Tengah, semenanjung Melayu, dan Filipina)
4.3 Melanesian (Irian dan Melanesian).
5. Ras-ras khusus, yakni ras yang tidak dapat diklasifikasikan Ice dalam keempat ras

pokok.

5.1 Bushman (di daerah gunung Kalahari di Afrika Selatan).


5.2 Veddoid (di pedalaman Sri Langka dan Sulawesi Selatan).
5.3 Polynesian (di Kepulauan Mikronesia dan Polynesia).
5.4 Ainu (di pulau Karafuto dan Hokkaido di Jepang Utara).
4.5 SALAH FAHAM MENGENAI KONSEP RAS
Dalam sejarah bangsa-bangsa, konsepsi mengenai ciri tubuh manusia yang

keliru telah menimbulkan berbagai masala- masalah kemanusiaan. Kesalahfahaman

tersebut diantaranya memberikan penilaian yang tinggi atau rendah kepada ras-ras

tertentu. Sebagaimana anggapan yang muncul bahwa ras Caucasoid atau ras kulit putih

lebih kuat, lebih pandai, lebih maju, dan lebih luhur dibandingkan dengan ras-ras lain.

Konsekuensi yang ditimbulkan oleh anggapan seperti itu, tidak hanya muncul

dalam bentuk keinginan untuk menguasai atau menjajah bangsa-bangsa lain, tetapi juga

adanya perlakuan diskriminatif terhadap ras lain yang hingga dewasa ini masih

berlangsung di sebagian negara tertentu.

A.de Gobineau pada pertengahan abad ke-19, mengemukakan bahwa ras yang

paling unggul dan murni di dunia ini adalah ras Arya di Eropa Utara dan Tengah. Orang

Perancis dari kalangan bangsawan merupakan keturunan ras unggul itu. Sementara itu,

orang Perancis dari kalangan rakyat yang telah banyak bercampur dengan orang Negro

dan Scmit memang telah ditakdirkan untuk dikuasai. Anggapan semacam itu diambil alih

dan bahkan dijadikan sebagai dasar perjuangan bagi aliran Nasionalis Sosialisas (NAZI) di

bawah kepemimpinan Hitler. Mereka beranggapan bahwa orang-orang Jerman

merupakan keturunan langsung dari ras Arya dan karena itu harus menguasai seluruh

dunia. Upaya yang dilakukan Hitler dalam mewujudkan anggapannya itu, menimbulkan

malapetaka dan kesengsaraan bagi umat manusia.

4.6 RANGKUMAN
Nenek moyang Homo Sapiens (manusia modern) diperkirakan dari kera besar
yang digolongkan scbagai Ramapithecus yang hidup pada kurun waktu 15-10 juta tahun
yang lalu di pinggiran Troplis Afrika dan Asia Sclatan.
Pemisahan garis keturunan antara manusia dengan kera masih belum ada kata

sepakat di antara para ahli. Sebagian yang mengatakan bahwa pemisahan itu terjadi pada
kurun waktu 15 sampai 10 juta tahun yang lalu; dan. sebagian lag! yang mengatakan

bahwa pemisahan itu terjadi pada kurun waktu 5 sampai 3 juta tahun yang lalu yang

diperkirakan sebdgal garis keturunan manusia yang tertua.

Pada kurun waktu 3 sampai 2 juta tahun yang lalu Australopithecine berevolusi
menjadi manusia Homo Habilis yang mempunyal ukuran rongga otak dan intelegensi
semakin berkembang serta sudah mempunyai kemampuan simbolik.
Homo Habilis itu kemudian berevolusi menjad! Homo Erectus. Homo Erectus ini
meskipun mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi dan daya kemampuan penyesuaian
yang tinggi, namun bentuk dahinya masih pendek dan miring; alisnya lebat dan tebal;
rahang dan giginya besar.
Lebih dari kurun waktu sejuta tahun, Homo Erectus ini kemudian berevolusi
secara berangsur-angsur ke dalam Homo Sapiens yang bentuk dan ukuran otaknya
semakin besar bergerak mendekat! ukuran otak manusia modern. Pada kurun waktu
sekitar 250.000 sampai 100.000 tahun jenis Homo Sapiens ini mengalami perkembangan
fisik berupa peningkatan rongga otak dan penciutan rahang; dan pada saat itu lahirlah
Homo Sapiens jenis Neanderthal
IHomo Sapien jenis itu kemudian berevolusi terns hingga pada kuran waktu

40.000 sampai 30.000 tahun yang lalu lahir Homo Sapiens modern atau manusia
sebagaimana yang hidup sekarang ini.

Homo Sapiens modern yang menghun! bumf sekarang ini terdistribusi ke dalam
lima jenis ras, meluputi: (1) Austroloid; (2) Caucasoid; (3) Negroid; (4) .%fongoloid; (5) Ras-
ras khusus.
Penggolongan ras tersebut seringkali menimbulkan masalahmasalah

kemanusiaan. Masalah itu timbul oleh karena ad~nya kesalahfahaman yang menganggap

ras tertentu lebih unggul daripada golongan ras lainnya.

DAFTAR BACAAN

Barnouw, Viktor
1982 An Introduction to Anthropology, Ethnology. Illinois: The Doresy Press., pp., 1-38.
Beals, Ralph L. Et-al.
1977 An Introduction to Anthropology. New York: Macmillan Pub., Co., Inc., pp., 1-21.
Keesing, Roger M.
1989 Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta: Penerbit Erlangga.
hal. 1-10.
Koentjaraningrat
1980 Pengantar 11mu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Hal., 17-36.
4.8 TUGAS LATIHAN
1 . Uraikan perkembangan fisik manusla ditinjau dari perspektif evolusionis.

2 . Uraikan mengenai faktor pencetus bag! terjadi perubahan rongga otak,

kemampuan intelegensi, dan kemampuan simbolik manusia pada sekitar 3


sampai 2 juta tahun yang lalu.
3 . Uraikan faktor penyebab munculnya. Homo Sapiens jenis Neanderthal.
4 . Uraikan golongan-golongan ras yang tersebar d! permukaan bumf.

5 . Uraikan masalah yang kemungkinan timbul sebagai akibat dari kesalahpahaman

mengenai ras.
BAHASAN 5

MASYARAKAT

5.1 SASARAN BELAJAR


1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep masyarakat dan kesatuan-kesatuan

sosial lainnya.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan unsur-unsur masyarakat dan menggambarkan

saling keterkaitan antara unsur-unsur tersebut.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep struktur sosial.


5.2 MASYARAKAT DAN KESATUAN-KESATUAN SOSIAL
Di dalam pembahasan ini akan dipaparkan secara singkat mengenai konsep

masyarakat, komunitas, kategori sosial, golongan sosial, kelompok, dan perkumpulan.

Masyarakat berasal dari kata Arab 'syaraka' yang artinya bergaul. Kata itu dalam

Bahasa Inggris disebut society. Secara umum kata masyarakat dapat diartikan sebagai

orang-orang yang saling bergaul atau berinteraksi. Kalangan ilmuan sosial menanggapi

kata masyarakat bukan sebagai istilah biasa melainkan sebagai konsep. Karena itu,

Koentjaraningrat, misalnya, menyebutkan bahwa suatu kesatuan sosial dapat disebutkan

sebagai masyarakat bilamana di dalamnya (1) terdapat interaksi antara warga-

warganya; (2) terdapat adat-istiadat, norma-norma hukum dan aturan-aturan

tertentu yang mengatur tirigkah laku warganya: (3) terdapat suatu kontinuitas

(keberlanjutan) dalam waktu; dan (4) terdapat rasa identitas yang mengikat

warganya.

Berdasar dari persyaratan itu, maka Koentjaraningrat kemudian mendefinisikan


masyarakat sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistom adat istiadat tertentu yang berssifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas
bersama
Dengan demikian, maka konsep masyarakat dapat melingkupi kesatuan hidup

manusia yang lebih besar dan dapat pula kesatuan h1up manusia yang lebih keell. Contoh

masyarakat dengan kesatuan hidup yang lebih besar adalah masyarakat Indonesia,
masyarakat Jepang, masyarakat Belanda, dan sebagainya. Sedangkan masyarakat

dengan kesatuan hidup manusia yang lebih kecil meliputi masyarakat Kota Ujung

Pandang, masyarakat Kota Jakarta, masyarakat Kota Jogjakarta, hingga masyarakat

dengan kesatuan hidup manusia yang lebih kecil lagi, sepert! masyarakat desa.

Suatu kesatuan hidup manusia yang lebih kecill dan khusus itu dalam disiplin

antropolog! dan sosiologi dikenal dengan istilah komunitas (community). Dengan


demikian, maka komunitas juga merupakan masyarakat dalam arti yang lebih sempit. Ciri-

ciri suatu komunitas meliputi (1) terdapat kesatuan wilayah, (2) terdapat kesatuan adat
istiadat, (3) terdapat rasa identitas komunitas, dan 4) terdapat rasa loyalitas terhadap

komunitas sendirl.
Adapun kesatuan-kesatuan hidup manusia yang merupakan komunitas

diantaranya komunitas desa, komunitas petani, komunitas nelayan, komunitas pengrajin,

dan lain-lain. Selain itu, kelompok-kelompok kekerabatan termasuk komunitas. Misainya,

Marga pada orang Batak, Dadia di Ball, dan lain-lain.

Berkaitan dengan itu, Koentjaraningrat mendefinisikan komunitas sebagai suatu


kesatuan hidup manusia yang menem-pati suatu wilayah yang nyata, dan yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat Berta terikat oleh rasa identitas komunitas.
Suatu kesatuan hidup manusia yang lebih khusus tetapi yang belum tentu
memenuhi syarat sebagai masyarakat adalah kategori sosial. Kategori sosial adalah
kesatuan-kesatuan hidup manusia yang terwujud karena adanya suatu ciri atau
suatu kompleks ciri-ciri objektif, biasanya dikenakan oleh fihak dari luar kategori sosial
itu sendiri tanpa disadari oleh pihak yang bersangkutan, dengan suatu maksud praktis
tertentu.
Sebagai contoh, penduduk yang berusia di atas atau di bawah 18 tahun untuk

membedakan mereka yang telah mempunyai hak pilih atau belum mempunyai hak pilih;

kategori sosial yang memiliki kendaraan bermotor dan tidak memiliki kendaraan bermotor;

kategori usia 17 tahun untuk larangan menonton film yang diperuntukkan bagi orang

dewasa.
Orang-orang dalam kategori sosial biasanya tidak mempunyai orientasi sosial

bersama; tidak mempunyai potensi mengembangkan interaksi di antara mereka; dan juga

tidak mempunyai identitas bersama yang mengikat mereka sebagai suatu keseluruhan.

Selain itu, terdapat juga suatu kesatuan hidup manusia yang lebih khusus lagi

yang menunjukkan beberapa ciri yang menjadi ukuran masyarakat, yaitu golongan sosial.

Berbeda dengan kategori sosial, golongan sosial justru mempunyai suatu ikatan identitas

sosial, dan bahkan mungkin terikat oleh suatu sistem nilai, sistem norma, dan adat istiadat

tertentu. Ikatan identitas sosial dari suatu golongan sosial tumbuh sebagai respon

terhadap cara orang luar memandang golongan sosial itu. Sebagai contoh adalah

golongan pemuda, yang mempunyai ciriciri penuh idealisms, nasionalisme, dan

patriotisme yang telah menggagas dan mencetuskan sumpah pemuda. Golongan Negro

Amerika juga mempunyai kesadaran dan ikatan identitas sosial bersama yang tumbuh

karena diskriminasi dari warga negara keturunan Eropa terhadapnya.

Selain konsep-konsep kesatuan hidup manusia yang telah diuraikan di atas,

masih terdapat dua konsep lain yang pengertiannya seringkali dikacaukan, yaitu konsep

Kelompok dan Perkumpulan. Kelompok (group) mempunyai ciri-ciri seperti (1) terdapat

sistem interaksi di antara para anggotanya; (2) terdapat adat istiadat dan sistem norma

yang mengatur interaksi itu; (3) terdapat kontinuitas dalam waktu; (4) terdapat identitas

yang mempertautkan semua anggota kelompok; dan (5) terdapat unsur-unsur tambahan,

yakni organisasi dan pemimpin yang selalu tampak sebagai kesatuan dari individu-individu

yang secara berulang kali berktimpul pada masa-masa tertentu kemudian bubar lagi.

Kelompok atau group dengan sistem organisasi informal tidak dibentuk dengan
sengaja, tetapi terbentuk melalui ikatan-ikatan alamiah dan keturunan yang mengikat
warganya dengan adat istiadat dan sistem norma yang tumbuh seolah-olah tidak
disengaja juga. Pimpinan dalam kelompok lebih didasarkan kewibawaan dan kharisma,
sementara hubungan dengan anggota kelompok yang dipimpinnya lebih berdasarkan
pada hubungan azas perorangan. Secara umum, pergaulan yang menggerakkan dan
mempersatukan semua anggota kelompok bersifat kekeluargaan. Adapun solidaritas yang
menjiwai hubungan antara individu dalam kelompok adalah solidaritas mekanik.
Solidaritas mekanik menurut Emile Durkheim muncul dari kesadaran sosial
kolektif masyarakat yang sifatnya sosial. Hubungan solidaritas antarindividu oleh
Durkheim dianalogikan dengan kohesi antarmolekul-molekul yang bersifat mekanika dan
otomatis. Contoh dari kesatuan hidup manusia yang disebut kelompok diantaranya adalah
Marga Tarigan di Tanah Karo, Medan; Keluarga Inti (nuclear family), Keluarga Luas
(extended family), Klen Kecil dan sebagainya.
Lain halnya dengan Perkumpulan yang dalam Bahasa Inggris disebut association
adalah dibentuk dengan sengaja sehingga dengan demikian sistem organisasinya bersifat
formal. Pimpinan perkumpulan lebih berdasarkan wewenang atau hukum; sedangkan
hubungannya dengan anggota perkumpulan yang dipimpinnya berlandaskan pada
hubungan azas guna. Atau dalam istilah Sorokin hubungan yang berdasarkan kontrak
(contractual relation) yang mendasari pergaulan di antara orang-orang dalam
perkumpulan (Sorokin dalam Koentjaraningrat, 1980:157). Solidaritas yang menjiwai
perkumpulan adalah solidaritas organik.
Solidaritas organik menurut E. Durkheim tumbuh dalam jiwa setiap individu yang
dipengaruhi oleh adanya sistem pembagian kerja. Dengan terbentuknya differensiasi kerja
di antara para individu, maka tumbuh suatu kesadaran khusus yang merupakan ciri khas
setiap individu. Semakin jelas dan ketat fungsi atau tugas setiap individu kian kuat pula
ikatan solidaritas organik. Sebaliknya, solidaritas mekanik semakin melemah.
Oleh karena hubungan azas guna yang mendasari perkumpulan, maka
perkumpulan dapat dikelaskan berdasarkan prinsip guna, keperluan, dan fungsi. Di antara
perkumpulan yang dimaksud, meliputi perkumpulan dagang, koperasi, perseroan,
perusahaan, dan sebagainya yang gunanya untuk keperluan ekonomi; perkumpulan
pemberantasan buta huruf, yayasan pendidikan, dan sebagainya yang bertujuan untuk
memajukan pendidikan dalam masyarakat; Himpunan Indonesia untuk Pengembangan
Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Asosiasi Antropologi Indonesia
(AAI), dan sebagainya merupakan perkumulan yang dibentuk dalam rangka memajukan
ilmu pengetahuan dan profesi; perkumpulan teater, perkumpulan mitra budaya, aliran-
aliran seni lukis; dan lain-lain merupakan perkumpulan yang dibentuk dalam rangka
keperluan memajukan kesenian; organisasi gereja, sekte, remaja mesjid, gerakan-gerakan
ratu adil, dan sebagainya merupakan perkumpulan yang dibentuk untuk tujuan
pelaksanaan kegiatan keagamaan; PPP, Golkar, PDI dan sebagainya merupakan
perkumpulan yang dibentuk untuk keperluan pelaksanaan kegiatan-kegiatan politik.

5.3 UNSUR-UNSUR MASYARAKAT


Yang termasuk unsur-unsur masyarakat adalah pranata (institution), lembaga
(institute), kedudukan (status), dan peranan (role). Keempat unsur itu saling terkait
satu sama lain dalam membentuk masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat individu-individu dimungkinkan berinteraksi oleh
karena adanya pranata sosial. Dalam pada itu, konsep pranata didefinisikan sebagai suatu
listen norma dan aturan-aturan tertentu yang menata tindakan guna memenuhi keperluan
khusus dart manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena kebutuhan-kebutuhan manusia bervariasi, maka pranata sosial yang

tercipta pun menjadi bervariasi. Variasi pranata yang dimaksud adalah:

1. Pranata kekerabatan (kinship institution)


2. Pranata mata pencaharian hidup (economik institution)
3. Pranata pendidikan (education institution)
4. Pranata Ilmiah (scientific institution)
5. Pranata Beni (aesthetic institution)
6. Pranata religi atau agama (religion institution)
7. Pranata politik (political institution)
8. Pranata pemeliharaan kesehatan (somatic institution).
Konsep lain yang sangat berkaitan dengan pranata adalah lembaga. Lembaga

dalam hal ini dipahami sebagai wahana bagi berlangsungnya kegiatan tertentu dalam

rangka memenuhi kebutuhan tertentu. Dengan demikian, maka lembaga adalah yang

mewadahi berlangsungnya pranata.

Perbedaan antara pranata dan lembaga dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Kecuall itu, dalam setiap masyarakat, komunitas, dan kesatuan hidup manusia, termasuk

yang lebih kecil seperti kelompok-kelompok kekerabatan atau yang paling kecil sekali pun

berupa keluarga inti, selalu terdapat kedudukan-kedudukan dan peranan-peranan sosial.


Kedudukan sama artinya dengan status dalam Bahasa Inggris. Setiap orang atau
individu dalam suatu masyarakat atau kesatuankesatuan sosial mempunyai status
tersendiri dalam rangka kehidupan bersama. Di dalam status terdapat sekumpulan hak
dan kewajiban yang dipunyai oleh seseorang dalam rangka kehidupan bermasyarakat.
Dengan kesadaran akan status, seseorang dapat menuntut hak dan menjalankan kewa-
jibannya sesuai dengan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam
masyarakatnya. Pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut disebutkan dalam antropologi
dan sosiologi sebagai peranan (role).
Harsojo (1977:130) menyebutkan status sebagai posisi polaritas yang terdapat
dalam pola tingkah laku yang bersifat timbal batik.
Lagipula, konsep komunitas lebih mengacu kepada kesatuan hidup manusia yang lebih

kecil.

Kategori sosial merupakan kesatuan manusia yang terwujud karena adanya

suatu ciri atau kompleks ciri-ciri objektif yang dapat dikenakan kepada manusia-manusia

itu. ciri-ciri objektif itu biasanya dikenakan olch pihak dari luar kesatuan sosial itu tanpa

disadari oleh pihak yang bersangkutan, dengan suatu maksud praktis tertentu. Misalnya,

kategori usia 18 tahun ke atas untuk ikut dalam pemi-lihan umum. Kategori sosial tidak

dapat disebutkan sebagai masyarakat.

Golongan sosial merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang mempunyai

suatu ikatan identitas sosial, bahkan mungkin golongan sosial itu terikat oleh suatu sistem

nilai, norma, dan adat-istiadat tertentu. Ikatan identitas sosial dari suatu golongan tumbuh

sebagai respon terhadap sikap orang luar yang memandang golongan sosial tertenrtu.

Misalnya, golongan Negro Amcrika. Sekalipun golongan sosial mungkin mempunyai

beberapa ciri yang serupa dengan ciri masyarakat, namun golongan sosial belum dapat

disebutkan sebagai masyarakat.

Kesatuan hidup manusia yang disebutkan sebagai kelompok (gi•oup) dapat

dikategorikan sebagai masyarakat, sebab mempunyai ciriciri yang sama dengan yang

dipuriyai oleh masyarakat. Namun kelompok mempunyai unsur-unsur tambahan, yakni


organisasi dan pimpinan. Hubungan yang mendasari anggota kelompok adalah hubungan

kekeluargaan dan solidaritas yang tumbuh di dalam jiwa masing-masing anggota


kelompok adalah solidaritas mekanik; organisasi berdasarkan adat, pemimpin
berlandaskan kewibawaan dan kharisma Berta hubungan yang berazas perorangan.

Kesatuan hidup manusia yang berbeda dengan kelompok adalah perkumpulan


(association). Perkumpulan dibentuk dengan sengaja dan dengan suatu tujuan tertentu
yang akan dicapai. Dalam perkumpulan Urnpulan
4,5
Dengan demikian, maka sesungguhnya setiap individu menyandang lebih dari satu status.

Sebagai contoh, seseorang mempunyai status sebagai suami, sebagai ayah, sebagai

kepala rumah tangga, sebagai dosen, sebagai direktur perusahaan, dan sebagainya.

Seseorang yang mempunyai status yang demikian itu, akan berperilaku sesuai dengan

muatan hak-hak dan kewajiban yang terkandung pada masing-masing status yang

disandangnya; dan bahwa muatan hak dan kewajiban yang terkandung pada masing-

masing status tersebut mengacu pada sistem norma dan aturan-aturan yang berlaku

dalam masyarakat.

Lebih lanjut, Harsojo (1977:130) mengemukakan bahwa peranan merupakan


aspek dinamis dari status. Dengan demikian peranan seseorang merupakan seluruh
jumlah peranan yang dia lakukan sebagai suatu kebulatan antara hak dan kewajiban
sesuai dengan nilai-nilai yang dikenakan kepada siapa saja yang menduduki status itu.
5.4 STRUKTUR SOSIAL
Struktur sosial (social structure) merupakan salah satu konsep yang utama dalam
antropologi. Konsep struktur sosial pertama kali dikembangkan oleh A.R. Redcliffe Brown
(tokoh antropologi sosial dari Tnggris). Menurutnya struktur sosial adalah perumusan dari
keseluruhan hubungan atau jaringan antarindividu dalam masyarakat. Hal yang dilihat
dalam struktur sosial adalah tak lain dari prinsip-prinsip kaitan antara berbagai unsur
masyarakat, seperti status, peranan, pranata, dan lembaga sosial. Lebih lanjut dikatakan
bahwa hubungan interaksi antarindividu dalam masyarakat merupakan hal yang konkrit,
sedangkan struktur sosial berada di belakang dan mengendalikan hal yang konkrit itu.
Dalam pada itu, maka struktur sosial tidak dapat diamati.
Contoh mengenai struktur sosial adalah dLia orang individu yang berhubungan,

yakni A dan C. A senantiasa bersikap menghormat terhadap C, dimana C merupakan

orang tua anggota dari isteri A. Kelakuan sosial seperti itu dikendalikan oleh struktur

sosial, dimana pihak penerima gadis harus bersikap menghormat terhadap kelompok

kerabat pemberi gadis.

Contoh di atas, bilamaria diamati secara lebih Was dan mendalam, akan

ditemLikan kualitas hubungan seperti: A seb--gal seorang suami akan bersikap sungkam

dan formal terhadap C (mertuanya), sebaliknya bersikap santai terhadap B (isterinya).

Demikian juga B senantiasa bersikap sungkam dan formal terhadap D (mertuanya). Dalam

hubungarihubungan yang digambarkan itu, terdapat dua bentuk kualitas hubungan, yakni

hubungan yang bersifat formal dan tegang dan hubungan yang bersifat santai dan akrab.

Hubungan-hubungan nyata seperti yang digambarkan di atas dikendalikan oleh

struktur sosialnya. struktur sosial yang tak tampak itu berlangsung terns dan tidak mullah

berubah, sekalipun individuindividu dengan kelaktian-kelakuannya yang tact pada struktur

sosial silih berganti dari generasi ke generasi berikutnya.

RANGKUMAN
Konsep masyarakat mengacu pada kesatuan hidup manusia yang mempunyai

ciri-ciri seperti: terdapat interaksi antara warganya; terdapat adat istiadat, norma-norma

dan hukum atau aturan-aturan khas yang mengatur pola tingkah lake di antara

anggotanya; terdapat kontinuitas dalam waktu; dan terdapat rasa identitas bersama yang

mengikat warganya.

Konsep mengenai kesatuan sosial yang mempunyai ciri-ciri sama dengan

masyarakat adalah komunitas. Hanya saja, dalam komunitas terdapat unsur tambahan

yang sangat menentukan, yakni lokasi atau wilayah, rasa identitas dan loyalitas terhadap

komunitas sendiri. Terbina hubungan yang kontekstual, juga dalam perkumpulan

tumbuh jiwa solidaritas organik. Pimpinan'berdasarkan wewenang dan hukum serta dalam
hubungannya dengan par-d anggota bawahan bersifat azas guna. Perkumpulan ini juga

tidak dapat disebutkan sebagai masyarakat.

Suatu kesatuan hidup manusia yang disebut masyarakat mempunyai unsur-

unsur, seperti pranata, lembaga, status, dan peranan. Pranata adalah sistem norma atau

aturan-aturan yang mengenai suatu kegiatan tertentu dalam rangka memenuhi kebutuhan-

kebutuhan khusus. Sedangkan lembaga adalah wahana yang mendinamisasikan

kegiatankegiatan dalam pranata.

Status atau kedudukan merupakan kumpulan dari hak-hak dan kewajiban.

Kumpulan hak-hak dan kewajiban tersebut ditentukan dan diatur oleh norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat. Pelaksanaan hak dan kewajiban disebutkan sebagai peranan.

Dalam kata lain, seperti adalah aspek dinamis dari status.

Prinsip-prinsip hubungan yang mengkaitkan keseluruhan unsurunsur yang

terdapat dalam masyarakat sebagaimana yang diuraikan di atas disebutkan oleh A.R.

Redcliffe Brown sebagai struktur sosial.

5.6 DAFTAR BACAAN


Beals, Ralph L. Et.al.
1977 An Introduction to Anthropology. New York: Macmillan Pub., Co., Inc., pp., 1-21.
Brown, A.R. Radcliffe
k
1940 fengenal Struktur Sosial (diterjemahkan oleh Koentjaraningrat
dari Journal of the Royal Anthropological Institute).
Harsojo
1977 Pengantar Antropologl. Bandung: Binacipta, hal., 1-70.
Koentjaraningrat
1980 Pengantar 11mu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Hal., 17-36.
5.7 TUGAS LATIHAN
1. Uraikan perbedaan antara konsep masyarakat, komunitas,

kategori sosial, golongan sosial, kelompok, dan perkumpulan.

2. Uraikan maksud dari konsep solidaritas mekanik.,dan solidaritas organik.

3. Uraikan pengertian pranata, lembaga, status, peranan, dan struktur sosial.


BAHASAN 6

KEBUDAYAAN
6.1 SASARAN BELMAR
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan pengertian kebudayaan.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan secara analitis unsur-unsur kebudayaan.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan tiga aspek mendasar dari pengalaman

manusia.

4. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antara kebudayaan dengan perilaku.

6.2 DEFINISI DAN PENGERTIAN KEBUDAYAAN


Telah banyak sarjana yang mencoba menjelaskan atau mendefinisikan

kebudayaan, namun karena menggunakan perspektif yang berbeda-beda, maka definisi

kebudayaan pun beragam. Keragaman itu, tampak dari adanya sekitar 160 buah

pengertian dan definisi kebudayaan yang telah dikumpulkan oleh dua orang sarjana

antropologi, yakni A.L. Kroeber dan C. Kluckhon.

Definisi dan pengertian kebudayaan yang beragam itu, dikelompokkan oleh


Spradley (1972) ke dalam lima tipe definisi, yakni:

1 . Definisi kelas sosial (social class definition), yaitu memandang kebudayaan sebagai

kebiasaan-kebiasaan yang beradab dan kesopanan dari kelas atas.


2. Definisi hakekat manusia (human -nature definition), yaitu digunakan untuk
membedakan perilaku manusia dengan perilaku binatang. Manusia mempunyai
kebudayaan sedangkan binatang lainnya tidak. Maksudnya, baliwa kebudayaan
manusia (human culture) merupakan
suatu gagasan abstrak berkenaan dengan perilaku yang ditransmisikan secara sosial

yang jauh lebih kompleks daripada perilaku primal lainnya.

3) Defenisi kelompok manusia (human-group definition), yaitu penggunaan konsep


kebudayaan sebagai sinonim dengan masyarakat atau komunitas. Dengan definisi itu
memungkinkan untuk mengunjungi kebudayaan Hawai atau menjadi anggota
kebudayaan Asmat. Konsep area kebudayaan yang pernah dikembangkan oleh ahli
Antropologi sangat terkait dengan ide itu.
4) Defenisi artefak (artifak definition), yaitu menggunakan konsep kebudayaan dengan
mengacu kepada hasil-hasil yang manusia ciptakan, seperti peralatan-peralatan,

lukisan, perumahan, jarum suntik, candi, bom hidrogen, dan lain-lain.


5) Defenisi omnibus (omnibus definition), yaitu melihat kebudayaan sebagai segala

sesuatu meliputi perasaan-perasaan, pikiran, pengetahuan, kepercayaan, pranata-

pranata, perilaku dan karya seni. Defenisi yang termasuk ke dalam kategori ini adalah

yang dikemukakan oleh E.B. Tylor, Ralph Linton, dan Koentjaraningrat.

Kebudayaan menurut E.B Tylor adalah keseluruhan yang kompleks, yang di


dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, litikum, adat
istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Sedangkan menurut Linton kebudayaan adalah keseluruhan dari
pengetahuan, sikap, dan perilaku yang merupakan kebiasaan yang dimiliki dan diwariskan
oleh anggota suatu masyarakat. Rumusan kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang diperoleh dengan
belajar.

Tiga rumusan kebudayaan diuraikan terakhir di atas, ditolak oleh beberapa ahli
antropologi, sebab terlalu luas dan sangat tumpul untuk menggambarkan unsur-unsur
pokok perilaku manusia. Karena itu, rumusan kebudayaan seperti itu, tidak lagi digunakan
sebagai peralatan konseptual utama, dan kini semakin dipertajam dan dipersempit instru-
mennya agar dapat lebih operasional dalam menggambarkan unsur-unsur pokok perilaku
manusia.
Dalam pada itu, maka muncul dua rumusan kebudayaan yang dewasa ini sangat
besar pengaruhnya dalam perkembangan antropologi. Rumusan yang dimaksud adalah
defenisi perilaku (behavior definition) dan defenisi kognitif (cognitive definition). Hal ini
menjadi menarik, sebab berkaitan erat dengan pendekatan teoritis utama dalam
antropologi.
Defenisi perilaku tentang kebudayaan memfokuskan pada polapola perilaku yang
dapat di observasi dalam beberapa kelompok sosial. Bagi pendekatan ini, konsep
kebudayaan muncul dari pola perilaku yang berkaitan dengan adat istiadat atau cara hidup
dari kelompok orangorang tertentu (Hai-is dalam Spradley, 1972). Berbeda halnya dengan
defenisi kognitif yang mengabaikan perilaku dan membatasi konsep kebudayaan hanya
pada ide-ide, kepercayaan-kepercayaan, dan pengetahuan (Spradley, 1972). Rumusan
kebudayaan seperti itu disebut juga ideasionalisme (Keesing, 1986).
Rumusan kebudayaan yang termasuk dalam kategori ideasionalisme mempunyai
penekanan yang bervarlasi di antara ahli antroplogi. Empat diantaranya akan diuraikan di
bawah ini.
1) Rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh GoodenOLIgh, yang melihat
kebudayaan sebagai suatu sistem kognitif -- suatu sistem yamg terdiri atas
pengetahuan, kepercayaan, dan nilai -- yang tersusun dalam pikiran anggota
masyarakat (Goodenough dalam
Kalangie, 1994). Dengan demikin, kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang
oleh pendukung kebudayaan itu digunakan dalam proses-proses orientasi,
pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata
dalam masyaraliatnya. Dalam kata lain, kebudayaan berfungsi sebagai kerangka
acuan bag! individu-individu dalam menghadap! lingkurigannya (lingkungan alam dan
sosial).
2) Rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh sathe yang melihat kebudayaan
sebagal terdiri atas gagasan-gagasan dan asumsi-asumsi yang dipunyai oleh suatu
masyarakat yang menentukan atau mempengaruhi komunikasi, pembenaran, dan
perilaku anggotaanggotanya (Sathe dalam Kalangie, 1994).
3) Rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh Clifford Geertz yang melihat
kebudayaan sebagai suatu sitem simbolik. Dalam hal itu, kebudayaan merupakan
sistem semiotik yang mengandung simbolsimbol yang berfungsi mengkomunikasikan
maknanya dari pikiran seseorang ke pikiran orang lain. Simbol dan makna tersebut
tidak berada dalam pikiran-pikiran individu-individu (superoi-gan1c) itu. Dengan
demikian, rumusan itu berbeda dengan yang dikemukakan oleh Goodenough yang
melihat kebudayaan berada dalam pikiran individu-individu.
4) Rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh Parsudi Suparlan yang melihat
kebudayaan sebagal pedoman menyeluruh atau bluefrint bag! kehidupan dari sebuah
masyarakat yang digunakan oleh para vvarganya untuk memaham! dan
menginterpretasikan lingkungan hidupnya, dan mendorong tindak-an-tindakan dalam
upaya memanfaatkan sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup
tersebut untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mereka.
5) Terlepas dari perbedaan rumusan kebudayaan yang termasuk dalam aliran

ideasional, namun rumusan itu selain dapat digunakan untuk menelaah tipe-tipe

masyarakat suku bangsa dan komunitas alamiah

6) (pedesaan) seperti yang umum menjadi sasaran pepeliflan dalam


7) antropologi juga dapat digunakan untuk menelaah sistem-sistem organisasi formal,
seperti inst-itusi-Institusi pelayanan kesehatan rumah sakit, puskesmas, posyandu,
dan organisasi-organisasi bisnis swasta dengan kebudayaan korporatnya (lihat
Kalangie, 1994:2).
8) Sungguhpun defenisi kebudayaan yang termasuk dalam aliran ideasional tidak

memasukkan perilaku sebagai kebudayaan, namun perilaku senantiasa ditanggapi

sebagai konsekwensi logis atau menunggal tak terpisahkan dari kebudayaan. Dengan

demikin, membicarakan mengenai sistem budaya tertentu senantiasa terkalt dengan

perilaku aktor-aktor dalam sistem social tertentu. Salinghubungan itulah yang

kemudian dikenal sebagai sistem soslobudaya (Keesing, 1989).

9) Demikianlah, maka perilaku seseorang dipahami sebagai tidak terpisahkan dari

pengetahuan, kepercayaan, nilai dan norma dalam lingkungan sosialnya.

1 0 ) Dengan demikian, pada saat kita meneliti dan menelaah pranatapranata kebudayaan

tertentu, seperti pranata kesehatan misalnya, maka aspek pengetahuan,


kepercayaan, kelakuan, bahan dan peralatan yang digunakan orang berkenaan
dengan perawatan. diri (self treatment), kebersihan diri (Self hygiene),
penanggulangan dan penyembuhan penyakit harus diperhatikan secara bersama-
sama. Seining dengan itu, dikatakan oleh Spradley (1980), bagi yang akan meneliti
atau menelaah suatu kebudayaan tertentu, maka tiga aspek mendasar dari
pengalaman malILIsia yang harus diperhatikan, yakni apa yang orang ketahui, apa
yang orang lakukan, dan apa yang orang beat dan gunakan.
6.3 SIFAT DAN UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN
Kebudayaan yang dipunyai oleh uincit manusia mempuriyai sifatsifat tertentu,

yakni:

1. Bahwa kebudayaan itu merupakan milik yang dipahami dan dibagi bersama (shared)
oleh sebagian terbesar anggota masyarakat pendukung kebudayaan itu.
2) Bahwa kebudayaan itu diperoleh dan diteruskan secara sosial melalui proses belajar.

3) Bahwa kebudayaan umat manusia di muka bumi ini sangat bervariasi.


4) Baliv.-a nilai dalam kebudayaan itu relatif.
5) Bahwa kebudayaan itu dinamis.
ad.l. Kebudayaan dipahami dan dibagi bersama oleh anggota masyarakat.
Pengetahuan, kepercayaan, dan nilai berkenaan dengan sesuatu obyek dan

peristiwa-peristivva tertentu manakala dipahami dan dibagi bersama oleh sebaliaglan

besar anggota masyarakat atau komunitas, maka hal itu disebutkan sebagai kebudayaan.

ad.2. Kebudayaan diperoleh dan diteruskan secara sosial Melalui proses


belajar.
Kebudayaan yang dipunyai oleh manusia tidak diturunkan secara genetis tetapi

diperoleh dan d1warlskan secara sosial dengan melalui proses belajar.

ad.3 Kebudayaan Ru sangat bervariasi


Latar belakang tumbuhnya antropologi sebagai suatu bidang ilmu sosial ditandai
oleh adanya kenyataan bahwa kebudayaan umat manusia yang hidup di muka bumi ini
berlain-lainan. Variasi kebudayaan itu tidak hanya tampak dalam kesatuari-kesatuan
sosial berupa masyarakat suku bangsa atau komunitas, seperti pedesaaan, tetapi juga
tampak pada orga-riisasi-organisasi sosial tertentu.
ad.4. Nilai dalam kebudayaan itu relatif
Salah satu sifat dari kebudayaan adalah bahwa nilai-rillal yang terkandung di

dalanya bersifat relatif. sesuatu yang dinilai balk dalam satu kebudayaan tertentu, belum

tentu dinilai demi`kian dalam kebudayaan-kebudayaan lainnya. Demikian pula sesuatu hal

yang dipandang sangat tercela dalam suatu kebudayaan tertentu boleh jadi dalam

kebudayaan lain justeru sangat terpuji. Sebagai contoh, seorang anak dengan sikap

menatap wajah, tegas, dan kritis pada saat menyampaikan sesuatu dan menerima
sesuatu hal kepada orang tuanya merupakan perilaku yang tercela menurut penilaian

kebudayaan tertentu di luar Eropa, tetapi bagi masyarakat di Eropa Barat sikap seperti itu

justeru dinilai terpuji.

ad.5. Kebudayaaan itu dinamis


Setiap kebudayaan, cepat atau lambat, akan mengalaml perubahan atau berada

dalam proses perubahan. Makin mendalam kontak-kontak kebudayaan atau komunikasi

gagasan baru dari luar ke suatu kebudayaan tertentu semakin pesat pula proses

perubahan kebudayaan yang berlangsung pada kebudayaan tersebut. Kecuali itu,

temuan-temuan baru yang muncul di dalam kesatuan budaya tertentu dapat menyebab-

kan terjadinya perubahan kebudayaan.

Selanjutnya, setiap kebudayaan mempunyai unsur-unsur tertentu. Menurut

Koentjaraningrat (1980) terdapat 7 unsur kebudayaan yang dapat ditemukan pada semua

bangsa di dunia. Ketujuh unsur kebudayaan yang sifatnya universal itu adalah meliputi:

1) Bahasa
2) Sistem pengetahuan
3) Organisasi sosial
4) Sistem peralatan hidup dan teknologi
5) Sistem mata pencahai•jan hidup
6) Sistem religi, dan
7) Kesenian.
6.4 KOGNTSI, SIKAP, DAN PERILAKU
Kognis! dalam uraian ini dipahanii/diartikan suatu yang unsurunsurnya terdiri atas
pengetahuan, kepercayaan dan nilai yang dipunyai dan dibagi bersama (shared) oleh

anggota-anggota kesatuan sosial tertentu yang dijadikan sebagal pedoman dalam


menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi dan menghasilkan tindakan. Dengan

demikian, kognisi yang dimaksud adalah sama dengan kebudayaan.

Unsur-unsur kognisi tersebut merupakan. himpunan pengalaman yang diperoleh

individu atau kelompok dalam berinteraksi dengan. lingkungannya. Dalam kata lain,

pengetahuan, kepercayaan, dan nilai merupakan himpunan pengalaman yang tersusun


dalam peta-peta kognisi sebagai konsekwens! dari masukan-masukan yang individu dan

kelompok dapatkan dari lingkungan alam maupun lingkungan sosial.

Sunguhpun pengetahuan, kepercayaan dan nilai seluruhnya tersimpan atau

tersusun dalam peta-peta kognisi, namun masing-masing mempunyal wilayah penjelasan

tersendiri. Secara sederhana. pengetahuan (knowledge) dapat diartikan sebagai ketahuan

atau kesadaran seseorang -berkenaan dengan sesuatu objek atau peristliva tertentu; dan

bahwa ketahuannya itu dapat d1jelaskan dan bahkan dapat dibuktikannya secara empiris;

sedangkan kepercayaan (belief) adalah bagian dari stuktur kognitif seseorang berkenaan

dengan sesuatu objek atau peristiwa yang diyakini yang seringkali tidak mampu dijelaskan

dan dibuktikannya secara empiris. pengetahuan dan kepercayaan itulah kemudian yang

menjadi dasar bag! seseorang untuk menilai baik atau but-uk; benar atau salah; tercela

atau terhoi•mat. Dengan demikian Willa!


56
(value) merupakan bagian dari struktur kognitif seseorang yang menentukan baik atau
buruk, benar atau salah; terhormat atau tercela.
Dalam pada itu, maka unsur kognitif tersebut dapat dilacak dengan melalui

bentuk pertanyaan; apa yang orang ketahui atau sadari tentang suatu objek atau peristiwa

tertentu; apa yang orang yakini berkenaan suatu objek atau peristiwa tertentu; flan apa

penilaian orang berkenaan dengan suatu objek atau peristiwa tertentu.

Akan tetapi, manakala seseorang mendapatkan suatu gagasan baru, dan

gagasan itu telah diketahui, dipercayai, dan dinilai: positif, namun tidak selalu langsung

d1wujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Hal in! terjadi, sebab antara kognisi dan

perilaku di tengahi oleh sikap (attitude) setiap individu. sebagai contoh, seseorang ibu

hamil yang menerima atau mengdapatkan penyuluhan yang berkenaan dengan manfaat
gizi dan bagi diri dan kandungannya; dan bahwa makna dari penyuluhan itu telah

diketahui, diyakini dan dinilai positif, namun ibu itu tidak langsung mewujudkannya dengan

segera, menunda atau sama sekall tidak melakukannya. Dalam situasi pengambilan

keputusan tersebut si ibu dipengaruhi oleh kondisi motivasi dan emosionalnya, risiko yang

kemungkinan dialami bila dilakukan atau tidak dilakukan dan alasanalasan lainnya.
Alasan-alasan yang mempengaruhi pengambilan keputusan itulah yang disebutkan

sebagal sikap.
Berkaitan dengan itu, boleh jadi dalam struktur kognisi seseorang berkenaan

dengan suatu gagasan baru positif, tetapi sikap negatif, maka akibatnya tidak diwujudkan

dalam tindakan. Dalam pada itu, maka seyogianya antara kognisi dan sikap berkenaan

dengan gagasan baru harus seiring agar kemudian terwujud dalam perilaku.

Berdasar dari uraian di atas, maka tindakan atau perilaku dapat diartikan sebagai

perwujudan dari pengetahtian, kepercayaan, nilai, dan sikap seseorang.

MAN
Japat banyak defenisi yang berkenaan dengan kebudayaan, ig kini banyak digandrungi

oleh ahli Antropologi adalah ang mengacu pada perilaku dan kognisi. Defenis! perilaku

kebudayaan sebagal pola-pola kebudayaan yang dapat

dan konsep in! berkaitan erat dengan adat istiadat, atau


dari kelompok orang-orang tertentu. Sedangkan defenisi embatasi kebudayaan hanya

pada pengetahuan, kepercayaan ang menjadi pedoman bagi perilaku. Dengan demikian,

kebulihat berada pada tatanan ideasional yang t1dak dapat

kipun kebudayaan yang termasuk dalam tatanan ideasional .n atau tidak menganggap
perilaku sebagai kebudayaan, namun rlihat tidak terpisah dari, atau sebagai konsekwensi
logis dari i. keterkaitan antara kebudayaan dan perilaku itulah yang lisebut sebagai sistem
soslobudaya.
udayaan mempunyai sifat-sifat tertentu diantaranya: (1) milik .hami dan dibagi bersama

oleh sebagian besar anggota

(H) diperoleh dan diteruskan secara sosial melalui proses i) kebudayaan yang ada di

muka bum! ini bervariasi; (iv) nilai idayaan relatif; dan (v) kebudayaan itu dinamis.

iin itu, dalam setiap kebudayan sekurang-kurangnya dapat unsur-unsur lain : (i) bahasa;
(H) sistem pengetahuan; (Iii) sosial; (iv) sistem peralatan hidup dan teknologi; (v) sistem
-aharian hidup; (vi) sistem religi dan kepercayaan, dan (vii)
igetahuan, kepercayaan, dan nilai merupakan konstruk yang inelalul pengalaman yang

diperoleh dan tersusun dalam peta seor-ang. Ketiga unsur kognitif itu, dapat dilacak
perbedaannya

3 . Uraikan varian rumusan kebudayaan yang termasuk kategori kognitivistik.

4 . Uraikan sifat dan unsur-unsur kebudayaan.


5 . Uraikan hubungan antara kebudayaan dan perilaku.
6 . 58
7 . melalui bentuk pernyataan, seperti; apa yang orang ketahui, apa yang orang percayai,

dan apa penilaian orang berkenaan dengan sesuatu objek atau peristiwa tertentu. Jika

pengetahuan, kepercayaan, dan nilai itu dipuriyai dan dibagi bersama oleh sebagian

besar anggota masyarakat, maka dapat disebut sebagai pengetahuan budaya,

kepercayaan budaya, dan nilai budaya.

DAFTAR BACAAN
Kalangie, Nico S.
1994 7(ebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer
melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: Megapoin
Keesing, Roger M.
1966 Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta Erlangga.
Koentjaraningrat
1980 Pengantar 11mu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Spradley, James P.
1972 Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans. USA: Chandler Pub. Com.
58
8 . melalui bentuk pernyataan, seperti; apa yang orang ketahui, apa yang orang percayai,

dan apa penilaian orang berkenaan dengan sesuatu objek atau peristiwa tertentu. Jika

pengetahuan, kepercayaan, dan nilai itu dipuriyai dan dibagi bersama oleh sebagian

besar anggota masyarakat, maka dapat disebut sebagai pengetahuan budaya,

kepercayaan budaya, dan nilai budaya.

9 . 6.7 DAFTAR BACAAN


10. Kalangie, Nico S.
11. 1994 7(ebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer
melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: Megapoin
12. Keesing, Roger M.
13. 1966 Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta Erlangga.
14. Koentjaraningrat
15. 1980 Pengantar 11mu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
16. Spradley, James P.
17. 1972 Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans. USA: Chandler Pub. Com.
18. 58
19. melalui bentuk pernyataan, seperti; apa yang orang ketahui, apa yang orang

percayai, dan apa penilaian orang berkenaan dengan sesuatu objek atau peristiwa

tertentu. Jika pengetahuan, kepercayaan, dan nilai itu dipuriyai dan dibagi bersama

oleh sebagian besar anggota masyarakat, maka dapat disebut sebagai pengetahuan

budaya, kepercayaan budaya, dan nilai budaya.

20. 6.7 DAFTAR BACAAN


21. Kalangie, Nico S.
22. 1994 7(ebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer
melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: Megapoin
23. Keesing, Roger M.
24. 1966 Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta Erlangga.
25. Koentjaraningrat
26. 1980 Pengantar 11mu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
27. Spradley, James P.
28. 1972 Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans. USA: Chandler Pub. Com.
29.
30. 58
31. melalui bentuk pernyataan, seperti; apa yang orang ketahui, apa yang orang

percayai, dan apa penilaian orang berkenaan dengan sesuatu objek atau peristiwa

tertentu. Jika pengetahuan, kepercayaan, dan nilai itu dipuriyai dan dibagi bersama

oleh sebagian besar anggota masyarakat, maka dapat disebut sebagai pengetahuan

budaya, kepercayaan budaya, dan nilai budaya.

32. 6.7 DAFTAR BACAAN


33. Kalangie, Nico S.
34. 1994 7(ebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan Primer
melalui Pendekatan Sosiobudaya. Jakarta: Megapoin
35. Keesing, Roger M.
36. 1966 Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer. Jakarta Erlangga.
37. Koentjaraningrat
38. 1980 Pengantar 11mu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
39. Spradley, James P.
40. 1972 Culture and Cognition: Rules, Maps, and Plans. USA: Chandler Pub. Com.

6.8 TUGAS LATIHAN


1 . Uraikan tipe-tipe rumusan kebudayaan yang dikemukakan oleh James P.

Spradley.

2 . Uraikan perbedaan rumusan kebudayaan yang berorientasi behabioristik dan


kognitivistik.
BAHASAN 7

KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIAN

7.1 SASARAN BELAJAR


1 . Mahasiswa dapat menjelaskan hubungan antara kebudayaan dengan

kepribadian.

2. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep-konsep kepribadian menurut konsep

antropologi psikologi.

3. Mahasiswa dapat menjelaskan keragaman kepribadian.

7.2 HUBUNGAN ANTARA KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIAN


Dalam disiplin antropologi terdapat satu bidang spesialisasi yang kajiannya

berfokus pada hubungan antara kebudayaan dan kepribadian. Bidang spesialisasi itu

dinamakan Antropologi PsIkologi. Bidang ini dikembangkan oleh pakar antropologi

Amerika diantaranya: Margaret Mead, Ruth F. Benedict, dan Ralph Linton pada

dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Hal yang menjadi pendorong bagi munculnya penelitian

'Kebudayaan dan Kepribadian' adalah karena selama perang dunia ke-2 sangat

dibutuhkan data mengenai "Watak Nasional" dari sekutu dan musuh.

Asumsi yang mendasari penelitian kebudayaan dan kepribadian sepanjang

dasawarsa 1930-an dan 1940-an adalah bahwa tingkah laku ditentukan terutama oleh

budaya. Seorang bocah yang dibesarkan dalam satu lingkungan sosial tertentu dibentuk

oleh pengalaman budaya yang diterimanya. Seberapa sering dan dalam situasi yang

bagaimana seorang anak disuapi dan dimandikan, bagaimana dia dipegangi, bagaimana

dan kapan dia diajari berdisiplin, bagaimana dan kapan disapih dan diajari menggunakan

kamar kecil tergantung pada lingkungan budayanya. Pola-pola pengalaman masa kecil

umumnya menimbulkan orientasi kepribadian yang khusus; dan dalam mempelajari

budaya seorang anak belajar mengartikan motif-motif dan nilai-nilai Berta pandangan

dunia (world view) yang khas. Kepribadian menurut pandangan ini merupakan suatu

internalisasi budaya.
Demikian asumsi tersebut, melahirkan beberapa teori dan konsep berkenaan

dengan hubungan antara kebudayaan dan kepribadian.

7.3. TEORI DAN KONSEP YANG BERKENAAN DENGAN HUBUNGAN KEBUDAYAAN

DAN KEPRIBADIAN

Teori dan konsep berkenaan dengan hubungan kebudayaan dan kepribadian


yang akan disajikan dalam uraian ini adalah teori pembawaan manusia (human-nature)
dan kepribadian khas kolektif (typical personality).
7.3.1 Teori Pembawaan Manusia
Teori Pembawaan manusia yang akan dibahas dalam uraian ini adalah teori

seksualitas kanak-kanak yang dirumuskan oleh Sigmund Freud dan teori masa akil balig

M. Mead.

7.3.1.1 Teori Seksualitas Kanak-Kanak Sigmund Freud


Sigmund Freud merumuskan dua hipotesa dasar perihal teori psikoanalisa. Kedua
hipotesa tersebut adalah seksualitas kanak-kanak dan Kompleks Oedipus (Oedipus
Complex).
Menurut Freud, manusia memiliki dua macam dorongan vital (vital drive), yakni
dorongan untuk melindungi diri (the drive self preservation) dan dorongan untuk
berkembang biak (the drive toward procreation).
Dorongan yang disebutkan pertama tidak perlu dipersoalkan sebab dalam

pemenuhannya tidak mendapatkan hambatan secara terus-menerus. Berbeda halnya

dengan dorongan untuk berkembang biak scring d1hambat oleh keadaan social budaya.

Dorongan untuk berkembang biak tersebut oleh Freud dinamakan libido atau tenaga seks

(sexual energy).Oleh karena Freud menganggap bahwa dorongan atau naluri untuk

melindungi dirl tidak sclalu mendapatkan hambatan, maka !a tidak mempersoalkannya,

dan ia kemudian memfokuskan perhatiannya pada naluri yang kedua atau apa yang ia

sebut sebagai libido (tenaga seks).

Menurut Freud tenaga seks berpusat pada tiga daerah erotik di tubuh manusia,
yaltu: mulut (oral), lubang dubur (anal), dan alat kelamin (genital). Lebih lanjut dikatakan
bahwa perhatian seorang anak terhadap ketiga daerah erotik tersebut terjad! secara
bertahap, dengan urutan sebagai berikut: (i) tahap oral, (H) tahap anal, dan (iii) tahap
genital.
Tahap oral itu masih merupakan tahap pertama oleh karena bagi anak bagi sejak
bare lahir, alat yang paling member! kenikmatan dalam hidupnya adalah mulutnya sendirl.
Dengan mulutnya, ia dapat berhubungan dengan alat ketubuhan yang paling
didambakannya. Apabila kebutuhan itu tidak dapat ia nikmati, maka ia akan mencari
penggantinya dengan cara mengisap jempolnya.
Tahap oral itu masih bersifat pasif hingga bayi itu berusia lima bulan: namun
setelah anak itu berusia enam bulan, maka sifat itu berubah menjadi agresif. Sifat itu
terjadi bersamaan dengan mulai tumbuhnya gigi pada mulut si anak. Face agresif ini oleh
Karl Abraham disebutkan sebagal later oral phase (fase oral kemudian).
Setelah itu, berkembang fase yang kedua, yakni tahap anal: dan tahap itu lambat
laun mengambil alih peranan tahap oral. Tahap ini ditandai oleh kecenderungan secara
agresif untuk membuang dan mempertahankan sesuatu. Bersamaan dengan itu,
berkembang pula kemampuan si anak untuk mengendalikan gerakan otot di sekeliling
duburnya. Tahap kedua ini berakhir setelah anak itu berumur sekitar satu tahun. Dengan
berakhirnya tahap anal, zona erotis si anak pun berlanjut ke tahap genital. Pusat perhatian
erotik si anak, menurut Freud justru bukan pada semua alat kelamin melainkan hanya
pada alat kelamin pria (linggam). Setelah itu memasuki tahap laten (tidur) yang
berlangsung sejak mulai si anak berusia lima tahun sampai sepuluh tahun. Laten yang
dimaksud adalah perubahan libido hanya terjadi secara kualitatif dan tidak secara
kuantitatif. Pada tahap akhir- ini si anak cenderung menjadi lebih tidak rapi dan
pemberontak sebagai akibat dari adanya tekanan yang hebat terhadap dorongan seksnya
yang telah berkembang itu. Semua itu akhirnya diganti oleh keakilbaligan yang
disebabkan oleh berbagai perubahan kelenjar seksualnya yang menunjukan adanya
kedewasaan dalam hal alat kelaminnya.
Sungguhpun tahap-tahap perkembangan libido ditentukan oleh biologi, namun

harus diakui juga bahwa perkembangan itu dipengaruhi oleh reaksi tokoh-tokoh penting,

cara-cara pengasuhan anak, sikap orang tua terhadap latihan buang air besar, dan

larangan yang bersikap mengekang perkerkembangan libido seorang anak.


Tahap genital dimulai sejak akhir tahun ketiga hidup seorang anak, yaitu pada

waktu perhatiannya berpusat pada linggamnya sendiri, dan perhatian itu segera

menimbulkan rasa birahi terhadap - ibunya sendiri dan dibarengi dengan timbulnya rasa

camburu dan benci kepada ayahnya yang dirasakan sebagai saingan dalam mendapatkan

rasa cinta ibuntya. Gejala ini disebut oleh Freud sebagai Odipus Kompleks.

Berbeda halnya dengan anak wanita yang obyek perhatiannya tidak ditujukan

kepada alat kelaminnya sendiri, tetapi pada alat kelamin laki-laki (linggam). Karena itu si

anak wanita menjadi lebih dekat dengan ayahnya dan hal itu menyebabkan terjadi apa

yang disebut Kompleks Elektra (Electra compleks) atau (Femme complex).

Teori mengenal Odipus komplekss telah mendapat tanggapan oleh banyak

sarjana antropologi. salah seorang d! antaranya adalah Bronislaw Mallnowski yang

sengaja mengujinya di pulau Trobriand. Hasil pengujiannya itu menunjukkan bahwa di

Trobriand tidak terdapat dalam kompleks Oedipus. keadaan itu terjadi, sebab di Trobriand

ayah bukan tokoh kerabat yang berkewajiban mengasuh anak, sehingga !a tidak perlu dan

tidak mempunyai peluang untuk bersikap otoriter terhadap anaknya; dan yang menjadi

tokoh pengasuh si anak adalah saudara lakilaki ibunya. Karena itu, si anak tidak punya

alasan untuk menjadikan ayah kandungnya sebagai penyaing cinta bundanya. Dalam

pada itu, maka menurut Malinowski bahwa gejala Odipus Kompleks hanya mungkin ada

dalam masyarakat dimana tokoh ayah bersifat otoriter dan keras serta mewajibkan disiplin

yang ketat bag! anak-anaknya, terutama bagi anak laki-laki.

7.3.1.2 Teori Gejala Masalah Akil Balig Margaret Mead


Ahli antropologi lainnya yang juga meneliti teori dan konsep mengenai
pembawaan manusia adalah Margaret Mead, seorang murld F. Boas. Atas saran gurunya,
ia melakukan penelitian lapangan di Kepulauan Samoa, yang terletak d! Polinesia. Ia
menelit! seberapa jauh para remaja dalam kebudayaan Samoa, terutama wanita,
mengalami masalah ketegangan akil balig. Hal yang mendasari pelaksanaan penelitian itu
adalah bahwa pada masyarakat Ero-Amerika, ada kecenderungan para remajanya untuk
menentang kekuasaan dan otoritas pada umumnya. Pada masa itu kecenderungan
semacam itu dianggap universal, dan M. Mead ingin melihat apakah kecenderungan
semacam itu terdapat juga pada masyarakat di luar kebudayaan Ero-Amerika.
Dari hasil penelitiannya selama sembilan bulan ditiga desa di Samoa, Mead
berkesimpulan bahwa para gadis Samoa tidak mengalami gejolak masa akil balig. Itu
terjadi, sebab keluarga orang Samoa tidak bersipat keluarga inti, tetapi bersipat keluarga
lugs. Akibatnya seorang anak tidak selalu hat-us berhubungan terus-menerus dengan
kedua orang tuanya saja, tetapi juga mendapat kesempatan untuk berhubungan secara
bebas dan emosional dengan anggota kerabatnya yang lain. Selain itu, pergaulan secara
seksual antara para remaja dari lain jenis kelamin juga lebih bebas jika dibandingkan
dengan para remaja Ero-Amerika pada tahun 1920-an. Karena tidak adanya pengekangan
mengenai seks, maka gejala akil balig tidak terdapat pada remaja Samoa.
7.3.2 Teori Kepribadian Khas Kolektif
Teori mengenai kepribadian khas kolektif tertentu telah banyak disajikan oleh
sarjana, di antaranya adalah (1) teori pola kebudayaan oleh Ruth F. Benedict; (2) teori
kepribadian status oleh Ralph Linton; (3) teorl kepribadian orang modern oleh Alex
Inkeles; dan (4) teori kepribadian petan% desa oleh Robert Redfield
ad.l. Teori Pola Kebudayaan
Teori pola kebudayaan (pattern of culture) dapat disebut juga sebagai teori
konfigurasi kebudayaan, teori mozaik kebudayaan, teori representasi kolektif, dan teori
etos kebudayaan. Istilah pattern of culture adalah ciptaan Ruth F. Benedict, meskipun
sebelumnya telah ada orang yang pernah menyinggungnya, namun beliaulah yang
berhasil menarik perhatian kalangan cedikiawan dan orang awam mengenai teori itu
melalui karyanya pattern of culture (1934).
Inti dari teori pola kebudayaan Benedict adalah bahwa di dalam setiap
kebudayaan terdapat aneka ragam tipe temperamen yang telah ditentukan oleh faktor
ketubuhan (konstitusi) yang timbul berulangulang secara universal. Namun setiap
kebudayaan hanya membolehkan sejumlah terbatas dari tipe temperamen tersebut
berkembang. Tentu saja tipe temperamen yang dimaksud adalah yang cocok dengan
konfigurasi dominan. Umumnya orang-orang dalam setiap masyarakat akan berbuat
sesuai dengan tipe dominan dari masyarakatnya; dan tipe itulah yang disebut kepribadian
normal. Dalam pada itu, biasanya, terdapat juga sejumlah orang – golongan minoritas –
yang tidak cukup berbakat menyesuaikan diri dengan tipe dominan. Colongan inilah yang
disebutkan sebagai deviant atau abnormal.
Kerangka teori tersebut kemudian diterapkan oleh Benedict dalam menelaah tiga

suku bangsa di dunia, yakni orang Zuni di New Mexico, orang Kwakiutle di pantai Barat

laut Amerika Utara, dan orang Dobu di Papua New Guinea.

Orang Zuni di New Mexico yang bermata pencaharian sebagai petani mempunyai
konfigurasi kebudayaan yang bertipekan appolonian, yang ditandai dengan sifat-sifat
introversi, rapi, dapat menahan diri. Akibatnya kebudayaan mereka tidak banyak
menunjukkan ketegangan-ketegangan. Selain itu, jiwa tolong menolong kuat sekali dan
mereka patuh pada peraturan masyarakat serta mementingkan upacara-upacara
keagamaan yang tenang tanpa histeris.
Orang Kwakiutle yang bermata pencaharian sebagai nelayan mempunyai
konfigurasi kebudayaan yang bersifat Dionysian yang ditandai dengan sifat-sifat
ekstrovert, pemboros, suka bertindak ekstrim, gemar memamerkan kekayaan (potlatch),
dan senang mempergunakan obat bins. Selain itu, pola kebudayaan orang Kwakiutle, juga
digolonglan sebagai megalomanic paranoid. Suatu istilah psikiatri mengenai penyakit jiwa
yang menganggap dirinya orang hebat (megalomania), dan di samping itu juga selalu
curiga dirinya akan dicelakakan oleh orang (paranoid).
Orang Dobu dari New Papua Guinea menurut Benedict mempunyai konfigurasi
atau pola kebudayaan yang bertipekan schizophrenia dari jenis paranoid. Para pendukung
kebudayaan bersifat penghianat, suka pada ilmu sihir, dan selalu curiga bahwa dirinya
akan dicelakakan oleh orang lain.
ad.2. Teori Kepribadian Status Ralph Linton
Dapat dikatakan bahwa setiap orang mempunyai 16bih dari satu status, dan

bahwa setiap status yang disandang itu membutuhkan seperangkat kepribadian tipikal

agar sesuai dengan pecan yang harus dibawakan dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Sebagai contoh, seseorang selain sebagai mahasiswa S2 (pascasarjana) yang telah

menikah, juga sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi; dan dengan demikian sudah

barang tentu akan mompunyal paling sedikit tiga kepribadian tipikal, yakni kepribadian
tipikal mahasiswa, kepribadian tipikal sebagai kepala rumah tangga, dan kepribadian

tipikal sebagai dosen, dan boleti jadi satu sama lain saling bertolak belakang. Seringkali

beberapa kepribadian tipikal itu harus diperankan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya,

pagi sebagai mahasiswa, siang sebagai dosen, dan malam sebagai kepala rumah tangga.

Tentu saja kepribadian tipikal tersebut berkaitan dengan status, dan karena itu Ralph

Linton menyebutnya sebagai status personality (kepribadian status) (Linton dalam

Danandjaja, 1988:49).

ad.3. Teori Kepribadian Orang Modern Alex Inkeless


Menurut Alex Inkeless ada dua jenis ciri khas orang modern, yakni ciri luar dan

ciri dalam. Ciri yang pertama menyangkut lingkungan, dan yang kedua mengenai sikap

dan perasaan.

Keadaan ciri luar yang dialami oleh orang modern adalah urbanisasi, pendidikan,

politikisasi, komunikasi massa, dan industrialisasi. Sedangkan keadaan ciri dalam yang

dipunyai oleh orang modern adalah:

1) Mempunyai kesediaan untuk mengalam! pengalaman barn dan terbuka bag!

pembaharuan dan perubahan.

2) Berpandangan lugs, tidak terpaku pada masalah yang ada di sekitarnya saja, tetapi

juga pada masalah negara dan dunia.

3) Tidak mementingkan masa lampau, melainkan masa kini dan masa yang akan datang;

selain itu juga menghargai waktu sehingga terikat padanya.

4) Suka bekerja dengan perencanaan dan organisasi yang ketat. -


D) Yakin akan

kemampuan manusia untuk menguasai alam; tidak menyerahkan hidupnya kepada

kemauan alam.

6 ) Yakin bahwa kehidupannya dapat diperhitungkan dan tidak ditentukan oleh nasib.

7 ) Bersedia menghargai martabat orang lain, terutama wanita dan anakanak.

8 ) Percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi


9) Menganut prinsip bahwa ganjaran seharusnya diberikan sesuai dengan prestasi; dan
bukan karena kedudukan yang diperoleh berdasarkan kelahlran atau keturunan.

Mereka yang memiliki ciri sebaliknya dari yang dikemukakan itu digolongkan sebagai

orang tradisonal (Inkeless dalam Danandjaja, 1988:60).

ad.4. Tipe Kepribadian Petani Desa Robert Redfield


Redfield dalam menerangkan teorinya, ia membedakan masyarakat di dunia ini
menjadi tiga macam, yakni masyarakat folk (folk society); masyarakat petani desa
(peasant sociaty); dan masyarakat perkotaan (urban society).
Masyarakat folk adalah masyarakat yang telah ada sebelum timbulnya kota.
Istilah lain yang sinonim adalah tribal society, yang dahulu sering juga disebut sebagal
masyarakat primitif atau masyarakat terpencil. Masyarakat folk sedikit sekall mendapat
pengaruh dari peradaban besar di dunia seperti Ilan (Gina), Yunani, India, Islam, dan lain-
lain.
Masyarakat perkotaan adalah masyarakat yang berkembang di daerah

perkotaan. Kebudayaan masyarakat ini sudah sangat maju karena telah mendapatkan

pengaruh dari bermacam-macam peradaban besar dunia, dan bahkan banyak yang telah

terpengaruh oleh peradaban modern.

Masyarakat petani desa adalah bentuk masyarakat folk dahulu yang telah

mendapat kontak dengan masyarakat perkotaan, sehingga terpengaruh oleh kebudayaan

modern. Walaupun pengarunya tidak mendalam atau hanya bersifat superfisial saja.

Berbeda dengan masyarakat folk yang dapat hidup secara. otonom. Masyarakat petani

desa tidak demikian, sebab !a sangat tergantung dari masyarakat perkotaan. Akibatnya

kebudayaannya pun tidak bersifat otomon, itulah sebabnya Redfield mengatakan

masyarakat petani desa bersifat setengah masyarakat dan setengah kebudayaan.

Dengan demikian masyarakat petani desa tidak ada sebelum terbentuknya kota.

Hubungan masyarakat petani desa dengan masyarakat perkotaan adalah hubungan

simbiosis. Masyarakat petani desa memperoleh benda-benda industri yang canggih,

pendidikan modern, perlindungan keamanan, dan lain-lain dari masyarakat perkotaan; dan

sebaliknya masyarakat perkotaan menerima hasil produksi pertanian dan peternakan,


tenaga kerja, dan lain-lain dari masyarakat petani desa.

Tipe kepribadian yang dipunyai oleh masyarakat petani desa, menurut Redfield

meliputi:

1 . Sikap yang praktis dan mencari yang berfaedah terhadap alam. Motifikasinya dalam

bekerja tidak saja untuk menghasilkan sesuatu bagi hidupnya, tetapi juga untuk

memenuhi perintah dewa.

2 . Mereka lebih menonjolkan perasaan dibandingkan dengan rasio.


3. Mereka sangat mengutamakan pada kesejahteraan hidup dan kepastian hidup.

4. Mereka sangat menghargai prokreasi, yakni urituk mempunyai keturunan yang

banyak.

5. Mereka mendambakan kekayaan.


6. Menghubungkan keadilan sosial dengan pekerjaan.
7.4 PROSES PEMBENTUKAN DAN PENYESUAIAN KEPRIBADIAN INDIVIDU
DENGAN MASYARAKAT
Sebagaimana telah disebutkan oleh Ruth F. Benedict bahwa setiap individu dalam

masyarakat mempunyai potensi untuk mempunyai tipe kepribadian yang beragam sebagai

akibat dari faktor genetik dan faktor konstitusi; namun hanya sejumlah terbatas yang

diperbolehkan untuk berkembang dalam setiap kebudayaan. Tipe-tipe kepribadian yang

dibolehkan itu adalah yang sesuai dengan konfigurasi dominan. Penyesuaian terhadap

konfigurasi dominan itu dimungkinkan terjadi sebab, menurut Benedict temperamen

seseorang cukup plastis untuk dibentuk oleh tenaga pencetak dari masyarakat.

Adapun tenaga pencetak atau proses-proses pembentukan dan penyesuaian

kepribadian individu di dalam masyarakat dan kebudayaan meliputi:

1. Proses internallsasi, yaitu proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai is

hampir meninggal, dimana is belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala

perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Manusia

mempunyai potensi yang terkandung dalam genenya untuk mengembangkan

berbagai macam perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi dalam kepribadiannya, tetapi

dipengaruhi oleh berbagai macam stimulus yang berada di lingkungannya, balk


lingkungan alam maupun lingkungan sosial dan budaya.

2. Proses Sosialisasi yaitu proses dimana seorang individu dari masa kanak-kanak

hingga masa tuanya pola-pola tindakan dalam intraksi dengan segala macam status

dan menjalankan peran-peran sosial dalam kehidupan sehari-hari.


3. Proses enkulturasi, yaitu proses dimana seorang individu mempelajari dan

menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan

peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya.

7.5 RANGKUMAN
Pengkajian tentang kebudayaan dan kepribadian menarik perhatian di kalangan

antropologi Amerika diantaranya Marget Mead, Ruth F. Benedict, dan Ralph Linton, pada

sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an. Hal ini disebabkan karena pada fase itu,

berlangsung perang dunia II sangat dibutuhkan data atau informasi mengenai watak

nasional dari sekutu dan musuh.

Asumsi yang mendasari penelitian budaya dan kepribadian sepanjang dasawarsa

1930-an dan 1940-an adalah bahwa tingkah laku orang dewasa ini ditentukan terutama

oleh budaya. Asumsi ini kemudian melahirkan beberapa teori dan konsep berkenaan

hubungan antara kebudayaan dan kepribadian. Teori yang dimaksud diantaranya adalah

teori pembawaan manusia dan teori kepribadian khas kolektif

Dalam teori pembawaan manusia, Sigmund Freud merumuskan teori seksualitas

kanak-kanak dan kompleks Oedipus. Bagi Freud manusia memiliki dua macam dorongan,

yakni dorongan untuk melindungi diri dan dorongan untuk berkembang biak. Dorongan

yang pertama dianggap tidak terlalu mendapatkan hambatan secara terns menerus dalam

mewujudkannya; berbeda dengan dorongan yang kedua yang seringkali dihambat oleh

budaya. Karena itu, Freud memfokuskan perhatiannya pada


IL
dorongan atau naluri yang kedua atati apa yang disebut sebagai libido, dalam artian yang

lebih sempit adalah seks.

Menurut Freud, tenaga seks berpusat pada tiga daerah erotik pada tubuh
manusia yaitu mulut (oral), lubang dubur (anal), dan alat kelamin (genital). Perhatian
seorang anak terhadap tenaga seks itu berlangsung secara bertahap.
Sunggupun tahap-tahap perkembangan libido ditentukan oleh biologis, namun

juga dipengaruhi oleh reaksi tokoh-tokoh penting, yaitu melalui cara-cara pengasuhan

anak, sikap orang tua terhadap latihan buang air besar, dan larangan lainnya yang

bersikap mengekang perkembangan libido seorang anak.

Tahap genital dimulai pada tahun ketiga kehidupan anak, yaitu pada waktu

perhatiannya berpusat pada linggam (kelamin laki-laki) dan perhatian itu segera

menimbulkan rasa birahi terhadap ibunya sendiri dan dibarengi dengan timbulnya rasa

cemburu dan benci kepada ayahnya yang dirasakan sebagai saingan dalam mendapatkan

rasa cinta ibunya. Gejala inilah yang disebut oleh Freud sebagai Kompleks Oedipus.

Gejala Kompleks Oedipus diuji oleh Malinowski di Pulau Trobriand; dan is

menemukan bahwa di Trobriand tidak terdapat gejala Kompleks Oedipus. Hal itu

disebabkan karma di Trobriand, ayah bukan tokoh kerabat yang berkewajiban meng-asuh

anak sehingga dengan demikian ayah tidak diariggap sebagai saingan untuk

mendapatkan cinta ibunya.

Selain itu, Margaret Mead meneliti di Kepulauan Samoa untuk melihat apakah

gadis-gadis Samoa mengalami ketegangan pada masa akil balig sama halnya dengan

gadis di Ero-Amerika. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa gadis-gadis di Pulau

Samoa tidak mengalami masa akil balig. Sebab selain anak gadis berhubungan secara

bebas dan emosional dengan anggota kerabatnya yang lebih Was, juga mereka bebas

melakukan hubungan seks.

Selanjutnya berkaitan dengan teori kepribadian khas kolektif yang diantaranya


dicetuskan oleh (j) Ruth F. Benedict dengan teori pola kebudayaan, (ii) Ralph Linton
dengan teori kepribadian status. (iii) Alex Inkeless dengan teori kepribadian orang Modern,
dan (iv) Robert Redfield dengan teori kepribadian petani.
Teori pola kebudayaan Ruth F. Bendict adalah bahwa di dalam setiap
kebudayaan terdapat aneka ragam tipe temperamen yang telah ditentukan oleh faktor
genetik dan konstitusi, namun hanya terbatas yang diperbolehkan secara budaya, yakni
yang sesual dengan pola-pola kebudayaan.
Teori kepribadian status oleh Ralph Linton bahwa setiap individu dalam satu
masyarakat memiliki lebih dari satu status dan kadangkandang dalam memerankan status
itu di butuhkan kepribadian tipikal yang boleh jadi satu sama lain Baling bertentangan.
Keperibadian tipikal itulah yang disebut oleh Linton sebagai kepribadian status.
Teori Kepribadian orang modern menurut Inkeless, bahwa orang medern ditandai
oleh dua ciri, yakni ciri luar yang menyangkut keadaan lingkungan, seperti urbanisasi,
komunikasi massa, dan industrialisasi; dan ciri dalam yang menyangkut sikap, nilai, dan
perasaan.
Teori kepribadian petani oleh R. refield, disebutkan bahwa petani mempunyai tipe
kepribadian, seperti; mereka bersikap menonjolkan perasaan, mengutamakam
kesejahteraan dan kepastian hidup; menghargai prokreasi, mendambakan kekayaan,
menghubungkan keadilan social dengan pekerjaan.
Proses pembentukan dan penyesuiaan kepribadian individu dengan
kebudayaanya dilalui dengan tiga tahap yakni Internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi.

7.6 DAFTAR BACAAN


Danandjaja
1988 Antropologi PsIkologi: Teorl, Metode dan Sejarah
Perkembangannya. Jakarta: Rajawali Press.
Koentjaningrat
1980 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Akasara Baru.

Keeling, Roger M.
1989 Antropolog! Rudaya: Suatu Perspektif Kontempoi•er. Jakarta: Penerbit Erlangga.

7.7 TUGAS LATiHAN


1. Jelaskan hubungan antara, kebudayaan dan kepribadian.
2. Uraiakan dengan menggunakan kata-kata sendiri teori seksualitas anak-anak

menurut Sigmund Freud; teori gejala masalah akil balig Margaret Mead; teori pola

kebudayaan R.F. Benedict; teori kepribadian status R. Linton; teori kepribadian

orang modern Alex Inkeles; dan teori tipe kepribadian petani desa R. Redfield.

3. Uraikan mengenal proses-proses penyesuaian individu ke dalam masyarakat.


BAHASAN 8
PERUBAHAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

8.1 SASARAN BELAJAR


1. Mahasiswa mampu menjelaskan defenisi perubahan masyarakat dan perubahan

kebudayaan.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara perubahan masyarakat

dengan perubahan kebudayaan.

3. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian discovery, invention, dan inovation.


4. Mahasiswa mampu menjelaskan mengenai proses keputusan. inovasi, komponen

sistem sosial dalam proses penyebaran inovasi dan akibatnya.

8.2 PERUBAHAN MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN


Terdapat perbedaan pengertian antara perubahan masyarakat dan perubahan

kebudayaan. Secara sederhana, pengertian perubahan masyarakat meliputi proses

perubahan yang terjadi dalam huburigan antara manusia, perubahan yang dialami oleh

lembaga-lembaga dan organisasi yang terjadi karena transformasi struktur sosial dan

kektiatan-kekuatan yang menyebabkan perubahan itu terjadi. Kekuatankekuatan yang

dimaksud: perubahan kondisi geografis, adanya hasilhasil kebudayaan yang berupa alai

yang mempertinggi taraf kehidupan, dan perubahan komposisi penduduk.

Sementara itu, perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi pada aspek

pengetahuan, kepercayaan, nilai, dan norma yang menjadi milik bersama warga

masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan dalam struktur sosial masyarakat itu.

Perubahan masyarakat dan kebudayaan berjalan terns menerus. Hanya saja

sifat perubahan itu ada yang lambat dan ada pula yang cepat. Lagipula, di dalam

masyarakat dan kebudayaan itu sendiri terdapat kekuatan yang mendukung dan menolak

perubahan. Oleh karena itu, dalam mengkaji perubahan sosial dan kebudayaan, salah

satu aspek yang dianalisis adalah proses bekerja dan berkembangnya perubahan itu yang

disebabkan oleh perbenturan antara, koriservatisme dan keinginan akan perubahan Berta
bagaimana suatu kebudayaan yang telah bersentuhan dan menerima unsur yang barn

menempatkannya dalam unsur kebudayaan itu.

8.3 PROSES-PROSES BERULANG DALAM EVOLUSI SOSIAL BUDAYA


Sebelum tahun 1920-an kalangan sarjana antropologi umumnya hanya
memperhatikan adat-istiadat yang lazim berlaku dalam suatu masyarakat yang menjadi
objek penelitiannya. sementat•a sikap, perasaan, dan tingkah laku yang ditampilkan oleh
individu tertentu dalam masyarakat itu yang mungkin bertentangan dengan adat istiadat
yang lazim, diabaikan saja atau tidak mendapat perhatian yang layak. Akan tetapi, setelah
dasawarsa 1920-an para sarjana antropologi telah menyadari bahwa tindakan individu
warga masyarakat yang menyimpang dari adat istiadat umum seringkali pada suatu ketika
dapat banyak terjadi dan Bering berulang (recurrent) dalam kehidupan sehari-hari di setiap
masyarakat di dunia. Dalam pada itu, ternyata keadaan-keadaan yang menyimpang dari
adat istiadat tersebut sangat penting artinya karena merupakan pangkal dari proses-
proses perubahan sosial dan kebudayaan pada umumnya.
Tentu saja anggota masyarakat pada umumnya tidak membiarkan

penyimpangan-penyimpangan itu terjadi. Karcna itu, maka dalam setiap masyarakat

terdapat alat-alat pengendalian yang bertugas untuk mengurangi penyimpangan (deviant).

Walau demikian, dalam setiap masyarakat senantiasa timbul masalah ketegangan antara

individu dan masyarakat. Hanya saja, boleh jadi terdapat masyarakat yang teriang

77
untuk jangka ~,.aktu tertentu, tetapi pada suatu ketika akan muncul individu-individu yang
membangkan. Dengan demikian, keteganganketegangan di dalam masyarakat akan
menjadi (recurrent) lag!. Implikasinya adalah jika penyimpangan-penyimpangan itu pada
suatu ketika menjadi demikian recurrent, maka masyarakat terpaksa member! konsesi,
dan bahkan adat dan aturan diubah sesuai dengan desakan keperluaan-keperluan baru
dari individu-individu dalam masyarakat.
8.4 PROSES MENGARAH DALAM EVOLUSI KEBUDAYAAN
Dalam menelaah sejarah evolus! kebudayaan masyarakat, kalangan sarjana

antropologi terutama pada abad ke-19, menjelaskan dengan mengambil interval waktu
yang panjang, misalnya, beberapa tahun yang lalu. Melalui cara penjelasan seperti itu,

maka mereka menemukan perubahan-perubahan besar yang seolah-olah bersifat


menentukan arch (direktional) dari sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan.
Dewasa ini dalam disiplin antropologi terdapat suatu sub disiplin yang kajiannya

terpokus pada sejarah perkembangan kebudayaan manusia dalam jangka atau interval

waktu yang panjang, yakni prehistori.

8.5. PEMAHAMAN TENTANG INOVASI, DISCOVERY, DAN INVENTION


Sebagaimana dikemukakan oleh para ahli, inovasi adalah suatu pemikiran,

perilaku atau suatu yang baru dan secara kualitatif berbeda dari yang ada sebelumnya.

Dengan demikian inovasi selalu mengambil bentuk penciptaan yang bersifat subjektif dan

tidak sekedar mengurangi atau menambahkan komponen pada sesuatu yang telah ada.

Karena Itu, inovasi selalu menghasilkan pola baru.

sesuatu penemuan baru, baik penemuan berupa alat maupun ide baru, yang
diciptakan oleh seseorang individu dalam masyarakat disebut discovery. Apabila ide baru
itu telah diakui dan diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat, maka penemuaan
baru itu menjadi apa yang disebut sebagai invention. Proses sejak tahap discovery sampai
ke tahap invention, sering memakan waktu yang lama, dan kadang-kadang tidak hanya
menyangkut seorang individu sang pencipta pertama, tetapi sejumlah individu.
Untuk memahami konsep discovery dan in ven tion, maka pengertian kedua

konsep itu dibedakan. Discovery adalah suatu penemuan dari suatu unsur kebudayaan

yang baru, misalnya, teknologi pemanfaatan dan pengolahan lahan pertanian, yang

diciptakan oleh seorang individu atau sejumlah individu dalam masyarakat tertentu.

Discovery baru menjadi invention manakalah masyarakat sudah mengakui, menerima,

dan menerapkan penemuan baru itu.

Selain itu, ada pula yang menbedakan antara discovery dan invention atas dasar

peristiwa penciptaannya. yakni peristiwa kebetulan. Dalam hal ini, discovery dianggap

sebagai penemuan yang terjadi secara kebetulan, sedangkan pada invention penemuan

itu merupakan hasil usaha secara sadar. Sarjana lain mengemukakan bahwa discovery
adalah setiap penambahan pada pengetahuan dan invention adalah pengetrapan dari

pengetahuan yang baru itu.

Secara umum, gejala discovery hares didahului oleh empat hal, yakni:

1) Kesempatan;
2) Pengamatan;
3) Penilaian dan imjinasi;
4) Adanya keinginan dan kebutuhan.
Kecuali itu, ada pendapat yang mengemukakan bahwa pendorong bagi individu

dalam suatu masyarakat untuk memulai dan mengembangkan penemuan baru adalah:

1) Kesadaran para individu akin kekurangan dalam kebudayaan


2) Mutu dari keahlian dalam suatu kekurangan
3) Sistem perangsang bagi kegiatan mencipta dalam masyarakat.
Lebih jauh dari itu, Barnett menyebutkan hal-hal yang mempengaruhi terjadinya

inovasi:

1 . Besar dan kompleksitas inventaris budaya yang ada dalam masyarakat setempat.

2 . Adanya konsentrasi ide.


3 . Terjadinya kerja sama dan kebersamaan dalam usaha ide.
4 . Banyaknya alternatif dan banyaknya perbedaan yang bersilangan.
5 . Penduduk yang berjumlah besar.
6 . Harapan dan keinginan yang berubah.
7 . Derajat ketergantungan warga masyarakat pada otoritas.
8 . Kompetisi dalam usaha
9 . Tiadanya'benda-benda yang amat diperlukan dan
10. Terjadinya modifikasi pada salah satu komponen kebudayaan.
Tidak semua inovasi akan diterima secara serta-merta, oleh masyarakat. Inovasi

dapat saja ditentang atau ditolak setidak-tidaknya pada tahap-tahapriya yang awal. Untuk

itu, maka penting untuk dipertanyakan: Faktor apa sajakah yang menentukan diterima

atau ditolaknya sebuah inovasi? Bagaimana karakteristik inovasi itu sendiri? Siapa atau

adakah orang-orang di dalam masyarakat yang secara potensial akan menjadi penentang

atau penyokong inovasi tersebut?


Salah satu faktor yang menentukan penerimaan inovasi adalah penganjur.

Penganjur yang potensial adalah yang memenuhi kriteria, sebagai berikut:

1) Status penganjur cukup terhormat atau bergengsi


2 ) Kepribadian penganjur sesuai dengan kepribadian yang diidealkan oleh kelompok

sasaran

3 ) Penganjur mempunyai hubungan yang akrab dengan kelompokkelompok sosial bagi

kemungkinan sebagai penerima inovasi

4 ) Pengajur berafiliasi dengan kelompok yang berkedudukan mayoritas dalam


masyarakat.
Selain itu, karakteristik ide yang dianjurkan juga ikut menentukan bagi

penerimaan inovasi. Adapun karakteristik ide yang dimaksud meliputi:

1) Memang didambakan untuk memenuhi sesuatu kebuttihan yang amat dirasakan;

2) Dipandang menguntungkan;
3) Tidak bertentangan dengan nilai-nilal dan kaidah-kaidah masyarakat setempat;

4) Sesuai dengan kemampuan dana yang dipunyai oleh kelompok sasaran untuk

menerima dan menggunakan inovasi tersebut,

5) Teknik dan tatacara penggunaannya mudah dipelajari dan dikuasai.


8.6 PEMAHAMAN TENTANG PROSES KEPUTUSAN INOVASI
Suatu inovasi ditolak atau diterima bergantung pada keputusan yang dibuat oleh
seseorang. Keputusan !novasi individu menurut Roegers dan. Shoemakers (1981) terdiri
atas beberapa tipe, yakni:

1. Keputusan otoritas;
2. Keputusan individu, balk dalam bentuk keputusan opsional maupun dalam bentuk

keputusan kolektif dan keputusan kontingen. Keputusan yang dimaksudkan terakhir

ini merupakan keputusan seseorang untuk menerima atau menolak inovasi setelah

ada keputusan inovasi yang mendahuluinya.

Proses keputusan menerima !novasi yang blasa jUga disebut sebagai proses

adopsi dimulai dengan tahap-tahap:

1) Tahap kesadaran,
2) Tahap menaruh minat
3) Tahap penilaian
4) Tahap mencoba-coba
5) Tahap penerimaan

Proses yang disebutkan di atas mendapat kritikan, sebab adopsi bukan

merupakan tingkah laku yang kebetulan dan terpisah, melaikan merupakan hasil urutan

kejadian. Dalam pada itu, maka keputusan inovasi diperbaharui menjadi empat tahap,

yakni:

1 ) Pengenalan, pada tahap ini seseorang sudah mengetahui adanya inovasi dan telah

memperoleh beberapa pengertian berkenaan dengan bagaimana, inovasi itu

berfungsi.

2 ) Persuasi, pada tahap ini seseorang telah membentuk sikap berkenan atau tidak

berkenan terhadap inovasi.


3 ) Keputusan, pada tahap ini seseorang sudah memutuskan untuk menerima atau

menolak inovasi.

4 ) Konfirmasi, pada tahap ini seseorang mencari penguat bagi keputusan yang

dibuatnya, jika is memperoleh imformasi yang bertentangan dengan keputusannya.

Hal lain yang penting diperhatikan dalam proses penyebaran inovasi adalah

sistem sosial kelompok penerima atau sasaran inovasi. Ada pun yang patut diperhatikan

dari sistem sosial tersebut, meliputi:

1) Anggota, sistem sosial


2) Peranan agen pembaharu
3) Tokoh masyarakat sebagai sumber dari penyebaran inovasi
4) Saluran komunikasi yang dipergunakan dalam proses difusi. Selain itu, peranan

struktur sosial.

Menurut para ahli, sekalipun ariggota sistem sosial merupakan satu kesatuan,

namun boleh jadi mereka mempunyai perbedaan dalam menerima ide-ide baru. Ada

anggota sistem sosial yang cepat menerima inovasi dan ada pulah yang lambat. Dalam
kaftan itu, Roegers dan Shoemakers (1981) mengelompokkan penerima inovasi ke dalam

lima kelompok, yakni:

1) Inovator, mereka ini jumlahnya relatif terbatas, tetapi penuh dengan gagasan sehingga

begitu gemar untuk mencoba hal-hal baru. Mereka

82
itu disebut sebagai petualang yang berani, khususnya dalam hal mengambil resiko.

2) Pelopor atau adopter pemula, yaltu orang-orang yang terbuka terhadap ide-ide baru,

namun mereka ini lebih berorientas! ke dalam sistem sosial sendiri. Mereka itu,

biasanya meneliti lebih dahulu suatu !novas! sebelum memutuskan untuk

menggunakannya. Kelompok pelopor ini biasanya terdiri atas beberapa pemuka

pendapat.

3. Pengikut din! atau mayoritas awal, terdiri atas orang kebanyakan dan jarang di antara

mereka yang memegang posisi pimpinan. Sebelum menerima inovasi si pengikut dini

itu mempertimbangkannya secara cermat lebih dahulu. Dalam kata lain, pengikut dini

adalah orangorang yang mengikuti atau mengadopsi inovasi dengan penuh

pertimbangan.

4 ) Pengikut akhir atau mayoritas akhir, yakni orang-orang yang sangat lamban dalam

menerima suatu ide baru. Biasanya mereka menerima inovasi karena pertimbangan

ekonomi atau karena tekanan sosial.

5) Kolot (laggard), yaitu golongan masyarakat yang paling akhir menerima inovasi.
Mereka itu, selain hampir t1dak ada yang menjadi pemuka pendapat, juga ~-
.'awasannya sangat sempit, terutama yang berkenan dalam lial-hal baru, sehingga
dengan demikian banyak diantaranya yang terisolasi.
8.7 RANGKUMAN
Masyarakat dimana pun pasti akin mengalam! suatu perubahan yang sebagian

disebabkan oleh pengaruh darl dalam dan dari luar masyarakat itu. Pengaruh yang

ditimbulkan tidak hanya perubahan sosial tetapi juga perubahan kebudayaan.

Perubahan kebudayaan dapat diidentifikasi dengan memahami proses evolus!


sosial dalam bentuk recurrent process dan proses efolusi dalam bentuk directional
process.
Discovery dan invention merupakan dasar bagi berkembang dan berubalinya
kebudayaan. Sebab, hanya dean proses itulah unsur-unsur yang baru dapat ditambahkan
pada keselLiruhan kebudayaan manusia. Discovery adalah bentuk penemuan unsur
kebudayaan baru, sedangkan invention merupakan penerimaan dan penerapan unsur
budaya baru tersebut.
Hal yang erat berkaitan dengan discovery dan invention adalah inovasi.
Sungguhpun inovasi diartikan juga sebagai penemuan baru, namun pengertiannya lebih
lugs dibandingkan dengan discovery. Inovasi diartikan sebagai segugus ide yang sebagian
tetap mengambil bentuk ide dan sebagian lagi muncul dan menampakkan diri dalam
wujud benda.
Inovasi tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi terdapat beberapa faktor yang

mempengaruhi terjadinya inovasi, seperti adanya inovator, kesempatan, ,dana, dan

kebutuhn masyarakat itu sendiri. Berkaitan dengan itu, maka hal yang penting untuk

digaris bawahi adalah bahwa !novasi dapat diterima dan dapat juga ditolak. Hal itu sangat

bergantung pada materi !novasi dan pengaruh dari si penganjur.

8.8 DAFTAR BACAAN


Harsoyo
1977 Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta; hal, 174-190.
Koentjaraningrat
1980 Pengantar 11mu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, hal. 89- 91 & 240-254.
Roegers, Everett M., dan F. Floyd shoemakers
1987 Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.
8.9 TUGAS LATIHAN
1 . Terangkan perbedaan antara perubahan masyarakat dan perubahan kebudayaan.
2 . Terangkan perbedaan antara recurrent prosesses dan directional prosesses.
3. Terangkan arti discovery, invention, dan 1novation.
4 . Terangkan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inovasi.
5. Terangkan bagaimana suatu proses keputusan inovasi terjadi.
BAHASAN 9

DIFUSI KEBUDAYAAN

9.1 SASARAN BELJAR


1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian difusi kebudayaan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan difusionisme Jerman-Austria, difusionisme
Inggris, dan difusionisme Amerika Serikat.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan jalannya proses akulturasi.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan masalah psikologi dalam proses akulturasi.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang metode-metode untuk mengamati,
melukiskan, dan menganalisis suatu proses akulturasi.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian asimilasi dan faktor-faktor
yang memudahkan asimilasi.
9.2 DIFUSI KEBUDAYAAN
Di dalam bagian ini akan diuraikan mengenal persebaran manusia, balk karena

pembiakan maupun karena migrasi yang disertai dengan proses penyesuaian atau

adaptasi fisik dan sosial budaya dari makhluk manusia dalam jangka waktu beratus-ratus

tahun lamanya sejak zaman purba.

Migrasi itu sendiri terjadi disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya: (1) karena

bencana alam; (2) karena wabah penyakit; (3) karena perkembangan pelayaran dari

beberapa suku bangsa dan lain-lain. Bersamaan dengan itu, maka ikut pula tersebar

unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia yang disebut sebagai proses difusi.

Persebaran unsur-unsur kebudayaan tidak saja terjadi karena perpindahan


kelompok manusia dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga terjadi oleh karena ada
individu tertentu yang membawa, unsurunsur kebudayaan itu hingga jauh sekali.

Bentuk difusi yang lain lag! yang terutama mendapat perhatian antropologi

adalah persebaran unsur-unsur kebudayaan yang berdasarkan pertemuan-pertemuan

antara individu-individu dalam suatu

kelompok manusia dengan individu-individu kelompok tetangga. Pertemuan-pertemuan


semacam itu dapat berlangsung dengan berbagai cara. Pertama, dapat berbentuk

hubungan simbiosis, dan kedua sering

disebut (penetration pacifigue).

9.3 DIFUSIONISME JERMAN-AUSTRIA


Frist Graebner merupakan tokoh. difusi. Jerman-Austria yang menjadi peletak

dasar aliran sejarah kebudayaan. Di dalam tinjauannya mengenai difusionisme, ia

memakai kriteria kulitas dan kriteria kuantitas Berta mengajukan konsep kebudayaan.

Yang dimaksud kriteria kualitas adalah ciri-ciri yang khas atau kualitas dari unsur-unsur

kebudayaan yang terdapat dibeberapa daerah yang sama keadaannya. Dalam

mengadakan studi perbandingan itu, t1dak hanya satu unsur Baja yang diperhatikan tetapi

dicarl sebanyak-banyaknya unsur yang sama. Berdasarkan atas kriteria tersebut dapat

dikembangkan konsep menganal Kulturkrelse, yaitu unsur-unsur yang sama yang terdapat

di berbagai tempat.

Sebagaimana Graebner, Wilhelm Schmidt pun memakai kriteria kualitas dan

kuantitas untuk menyusun lingkaran-lingkaran kebudayaan. Schmidt beranggapan akan

adanya:

1. Kebudayaan kuno
2. Kebudayaan primer
3. Kebudayaan. sekunder
4. Kebudayaan tertier
9.4 DIFUSIONISME INGGRIS
Rivers adalah tokoh yang menggunakan pendekatan sejarah dalam pemikiran

etnologi, yang terkenal dalam ekspedisinya yang bermaksud menyelidiki hubungan antara

kebudayaan-kebudayaan suku;-suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Selat Torres.

Etnolog lainnya yang menggunakan pendekatan sejarah adalah Schmidt yang

memandang bah, a:

1. Manusla itu tidak mempunyai daya untuk menemukan. Oleh karena itu kebudayaan

hanya timbul di daerah-daerah yang mengandung banyak kemungkinan bagi

terciptanya kebudayaan.
2. Keadaan dan tempat yang mengandung kemungkinan-kemungkinan seperti itu adalah

Mesir. Daerah itulah yang menjadi pusat penyebaran kebudayaan ke belahan bumf

lainnya.

3. Secara kodrat alam, jika peradaban itu bergerak darl satu tempat atau pusat ke

daerah tepi, maka, kebudayaan itu makin jauh dari pusatnya dan makin tidak murni

lagi. Karena kebudayaan manusia itu mengalami dekandens! dalam sejarahnya.

9.5 DIFUSIONISME AMERIKA SERIKAT


Studi difusi di Amerika Serikat dipelopori oleh Frans Boas, dengan berpendapat

bahwa persoalan pokok mengenai studi difusi bukanlah pada adanya kontak, melainkan

yang terpenting adalah adanya timbul efek yang dinamis sebagai akibat dari adanya

kontak itu yang kemudian dapat terjadi pencampuran kebudayaan. Dalam pada itu, maka

yang terpenting adalah proses pencampuran kebudayaan dengan berbagal masalahnya.

Prinsip-prinsip metode difusi yang dikemukakan oleh Boas:

1. Stud! deskriptif merupakan pengantar terhadap studi analisis tentang proses.


87
2. Studi difusi itu harus dikerjakan dengan metode induktif. Kompleks kebudayaan yang

terdiri atas unsur-unsur yang mengalami difusi haraus dilihat dalam hubungannya

dengan atau dari alam yang sudah bersenyawa dan janganlah unsur-unsur yang

membentuk kompleks kebudayaan itu sendiri oleh peneliti.

3 . Stud! difusi itu harus dimulai dengan meneliti tentang hal yang khusus menuju kepada

masalah yang umum.

4. Pendekatan terhadap studi mengenai proses-proses dinamis itu harus dilihat dan

ditinjau secara psikologis dan diperhatikan pula kedudukan serta sifat individu untuk

mendapatkan gambaran tentang realitas akulturasi.

9.6 JALANNYA SUATU PROSES AKULTURASI


Dalam pembahasan mengenai jalannya suatu proses akulturasi, konsep covert
culture dan overt culture yang dikeniukakan oleh Linton masih relevan untuk diuraikan.
Menurut Linton terdapat perbedaan antara bagian inti kebudayaan (covert culture). Yang
termasuk bagian inti kebudayaan:
1. Sistem nilal budaya.
2. Keyakinan-keyakinan tentang keagamaan yang dianggap keramat.
3. Beberapa adat yang dipelajarl dan ditanamkan sejak din! dalam proses sosiallsasi.

Hal yang menai-ik bagi jalannya proses akulturasi adalah

menyangkut:

1 . Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan;

2. Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan

asing;
3 . Salut-an-salut•an yang (Malul oleh unsur-unsur kebudayaan asing
untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima;
4. Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur
kebudayaan asing tali;

5. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing. Foster meringkas

pola proses akulturasi yang biasanya terjadi

ti
bila suatu kebudayaan terkena pengaruh-pengaruh kebudayaan asing, yaitu:

1 . Hampir semua proses akulturasi mulai dengan golongan atas (upper


class) lalu menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah di
daerah pedesaan. Proses ini biasanya mulai dengan perubahan sosial-
ekonomi.
2. p
erubahan dalam bidang ekonomi hampir selalu menyebabkan perubahan yang

penting dalam asas-asas kehidupan kekerabatan.

3 . Penanaman tanaman untuk ekspor dan perkembangan ekonomi yang merusak pola-

pola gotong royong tradisional, dan karena itu berkembanglah sistem pengerahan

tenaga kerja barn.

4.. perkembangan sistem ekonomi uang juga menyebabakan perubahan dalam kebiasaan-

kebiasaan makan, dengan segala akibatnya dalam aspek gizi, ekonomi, dan sosial.

5. Proses akulturasi yang berkembang cepat menyebabkan berbagai pergeseran sosial

yang tidak seragam dalam semua unsur dan sektor masyarakat sehingga dengan

demikian terjadi keretakan masyarakat.


6. Gerakan-gerakan nasionalisme juga dapat dianggap sebagai salah satu tahap dalam

proses akulturasi.

9.7 MASALAII PSIKOLOGI DALAM SUATU PROSES AKULTURASI


Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu masyarakat yang sedang terkena

proses akulturasi dan berada dalam masa transisi dari kebudayaan tradisional ke

kebudayaan masa kini, tentu banyak individu atau golongan sosial yang tidak dapat

menyesuaikan diri dengan keadaan

"I
krisis seperti itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan hidup dalam suasana

tegang terus-menerus, namun juga tidak suka kepada pembaharuan.

Dari analisis para ahli antropologi, manakala keadaan seperti yang diuraikan di

atas terjadi, maka akan muncul gerakan rata adil yang mempunyai empat aspek penting,

yakni:

1. Aspek keagamaan
2. Aspek psikologi
3. Aspek rata adil
4. Aspek keaslian budaya

9.8 PEMAHAMAN TENTANG GEJALA ASIMILASI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG


MEMUDAHKAN ASIMILIASI.

Asimilasi adalah proses sosial yang timbal bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Golongan-golongan manusia dengan Tatar belakang kebudayaan yang berbeda-beda,
2. Saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama;
3. Kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tersebut masing-masing berobah
wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Faktor-faktor yang
memudahkan bagi terjadinya asimilasi:
1. Faktor toleransi;
2. Faktor adanya persamaan kriteria aspek ekonomi:
3. Faktor adanya simpati terhadap kebudayaan lain; dan
4. Faktor perkawinan campuran.
9.9 RANGKUMAN
Difusi kebudayaan sebenarnya terjadi akibat adanya pesebaran manusia di maka
bumf karena berbagai hal. Pesebaran itu dapat terjadi

secara kelompok dan dapat pula secara individual.


Difusi dapat terjad! karena faktor simbiosis dan karena penetration pacifique.

Kedua gejala itu mendapat perhatian khusus dalam kajian antropologi.

Tokoh-tokoh antropologi penganut difusionisme dikelompokkan ke dalam difus!

Jerman-Austria, Inggris, dan Amerika Serikat. Pengkategorian ini didasarkan atas latar

belakang daerah asal dan perbedaan penekanan dan pandangan dalam mengkaji

masalah difusi.

Masalah akulturasi dewasa ini banyak mendapat perhatian di kalangan sarjana

antropolgi, terutama dalam mempelajari metode-metode untuk mengamati, melukiskan,

dan mengana4isis proses akulturasi, jalannya suatu proses akulturas, serta masalah

psikologi dalam suatu proses akulturasi.

Selain itu, dibahas pula mengenal pengertian asimilasi, yaitu proses sosial yang

telah melanjut yang ditandal oleh kurangn5,a perbedaan antara individu-individu dan

antara kelompok-kelompok, dan makin eratnya persatuan aksi, sikap, dan proses mental

yang berhubungan dengan kepentingan dan tujuan yang sama. Berkaitan dengan itu

dibahas pula mengenai faktor-faktor yang memudahkan bag! terjadinya asimilasi.

9.10 DAFTAR BACAAN


ffarsojo
1977 Pengantar Anti•opologi. Bandung: Binacipta.
Koentjaraningrat
1980 Pengantai• 11mu Antropologi. Jakarta: Akasara Baru.
Roegers, Evereet M. dan F. Floyd Shoemaker
1987 Afemasyai-akatkan Ide-ide Baru. Surabaya: Usaha Nasional.
91
9.11 TUGAS LATIIIAN
1. Terangkan pengertian difusi dan akulturasi.
2. Terangkan teori difusi dari tokoh-tokoh difusionisme JermanAustria; dan Inggris

3. Terangkanlah teori difusionis Frans Boas.


4 . Terangkan metode-metode untuk mengamati, m'eltikiskan, dan menganalisis

suatu proses alkulturasi.

5 . Terangkan apa yang dimaksud dengan asimilasi dan faktor yang memudahkan

terjadinya asimilasi.
BAHASAN 10
ANTROPOLOGI DAN PEMBANGUNAN
10.1 SASARAN BELAJAR
1. Mahasiswa dapat memahami kedudukan antropologi terapan dalam disiplin

antropologi.

2. Mahasiswa dapat menjelaskan fungsi-fungsi praktis antropologi.


3. Mahasiswa dapat menganalisis masalah-masalah sosial budaya yang

berkaitan dengan pembangunan.

10.2 ANTROPOLOGI TERAPAN DAN PEMBANGUNAN

10.2.1 Antopologi Terapan


Jika kita menengok sejarah perkembangan antropologi, maka tampak bahwa

pada fase ke-3 dari perkembangannya (akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) dimensi

praktis mendapatkan porsi perhatian yang sepadan dengan dimensi akademis. Hal mana

negara-negara Erropa seperti Inggris, Perancis, Belanda, Belgic, Portugal, Spanyol,

Jerman dan Italia sebagai negara-negara kolonial melakukan pengkajian terhadap

masyarakat dan kebudayaan suku bangsa di luar Fropa dalam rangka memantapkan

sistem administrasi pemerintahannya di daerah-daerah jajahan. Bersamaan denan iu

muncul keinginan di kalangan negara penjajah, terutama Inggeris dan Belanda, untuk

memajukan dan memperbaiki kesejahteraan penduduk di daerah-daerah jajahannya.

Sebagai contoh di dalam Dewan Perwakilan Rakyat Belanda pada akhir abad ke-

19 mulai dilancarrkan kecaman-kecaman keras oleh kaum politikus terhadap pemeintah

jajahan belanda di Indonesia, sehubungan dengan adanya berita mengenai meningkatnya

kemiskinan yang luar biasa di antara rakyat Indonesia, terutama di Pulau Jax%,a. 'rek-

anan politik itu, memaksa pemerintah Belanda untuk mengambil kebijaksanaan yang lebih

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan rakyat. Dalam

rangka pelaksanaannya, maka pengetahuan mengenai manusia, masyarakat, dan

kebudayaan rakyat Indonesia dengan Tatar suku bangsa yang berbeda ditingkatkan.

Dalam pada itu, jadilah ilmu antropologi Indonesia sebagai suatu bidang ilmu yang
mempelajari tentang cara berfikir bangsa Indonesia dan bersifat terapan. Ketika itu ilmu

antropologi disebut sebagai ethnology atau volkehkunde (ilmu bangsa-bangsa).

Di negara-negara jajahan lain, terutama jajahan Inggeris, perkembangan ilmu


antropologi disesuaikan dengan keperluan pemerintah jajahannya. Dalam pada itu, para
calon pegawai pemerintah daerah jajahan, para perwira, dan para pendeta penyebar
agama Nasrani Inggeris mempelajari bahasa, masyarakat, dan kebudayaan daerah-
daerah di mana mereka akan ditempatkan. Pendidikan itu mereka peroleh dari univesitas-
universitas Inggeris yang ternama, seperti University of Oxford, Cambridge atau London
University. Dalam rangka pendidikan itu ilmu antropologi wajib diambil sebagai mata kuliah
pokok.
Sementara itu, Amerika Serikat meskipun tidak termasuk negara kolonial, namun

memiliki penduduk pribumi (orang Indian) yang di beberapa tempat hidup dalam keadaan

yang sangat menderita miskin karena mereka terpusat di daerah-daerah yang terbatas

dengan kualitas tanah yang rendah. Keadaan itu memaksa pemerintah Amerika Serikat

untuk membina dan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Dalam rangka itu, maka

didirikan biro yang berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri yang bertujuan

untuk meningkatkan kesejahteraan hidup orang Indian. Biro itu mempekerjakan seorang

ahli antropologi. Sungguhpun demikian, kalangan ahli antropologi Amerika pada saat itu

umumnya lebih berminat pada pengembangan konsep dan teori, sedang penelitian yang

berorientas praktis atau terapan dianggap rendah.

Pengembangan antropologi yang lebih berorientasi akademik itu rilengalami


perubahan sesudah tahun 1930-an, tatkala didirikan Bureau of American Fthnology yang
bergerak dalam kajian ilmu alam dan sejarah alam semesta, termasuk sejarah dan
evolusi manusia. Lembaga itu berhasil melakukan penelitian yang lugs dengan bantuan
ilmu-ilmu antopologi dari perguruan-perguruan tinggi, yang rhengkaji sifat kepemimpinan
suku-suku Indian. Implikasi praktis dari hasil penelitian itu adalah dibentuk undang-
undang dalam tahun 1934 untuk mengatur daerah-daerah pemukiman orang Indian.
Bersamaan dengan itu Bureau of Indian Affairs and Soil Conservation Service
dengan bantuan ahli-ahli antropologi di kalangan universitas, mengadakan survei luasa
mengenai hak tanah dan hak guna tanah pada suku-suku bangsa Indian (penelitian
antropologi hokum). Selain itu, dilakukan survey berkenaan dengan pendidikan orang
Indian (antropologi pendidikan), yang bertujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan
sekolah-sekolah di Indian.
Kedudukan antropologi terapan di Amerika Serikat semakin penting tatkala pada
ahun 1941 didirikan Society for Applied Anthropology oleh beberapa tokoh terkenal, yang
menerapkan ilmu mereka untuk membantu negerinya dalam perang dunia II. Tokoh
penting yang dimaksud, seperti Ruth F. Benedict, R.H Lowie, M. Mead dan lain-lain,
melakukan "penelitian jarak jauh" selama era perang dan menulis buku-buku mengenai
kehidupan masyarakat dan kebudayaan serta Cara berfikir musuh negaranya, yaitu
bangsa Jepang di laut Fasifik dan bangsa Jerman di benua Eropa, untuk digunakan oleh
pimpinan angkatan perang Amerika Serikat.
Selain itu, G.P Murdock dan W. Goodenough adalah ahli antropologi Ameika
yang maju ke medan pertempuran dan bekerja di staf markas besar angkatan laut
Amerika Serikat di laut Fasifik, Mikronesia. Kedua ahli itu, selain menulis buku-buku
ilmiah, juga data yang disajikan dapat dimanfaatkan langsung oleh pemerintah daerah-
daerah yang diduduki oleh angkatan laut Amerika Serikat.

Seusai perang dunia ke-2, ilmu antropologi di Amerika Serikat juga dimanfaatkan

dalam penelitian-penelitian terhadap masalah-masalah yang bersifat praktis, diantaranya

penelitian masalah daya guna kerja kaum buruh dalam industri, hubungan antarmanusla

dala?n industri, dan lainnya.

10.2.2 Antropologi Pembangunan


Koentjaraningrat (1990) merumuskan tiga bidang masalah yang menjadi pusat

kajian antropolol pembangunan, yakni: (1) masalah teori dan metodologi pembangunan;

(2) masalah kebijaksanaan pembangunan; dan (3) masalah sektor-sektor dan unsur-unsur

yang dibangun dan akibat sosial politiknya.

ad.1 Masalah teori dan metodologi pembangunan


1.1 Masalah dualisme ekonomi, atau kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan
ekonomi industri di negara-negara yang sedang membangun.

1.2 Masalah kesenjangan kemajuan sosial budaya antar berbagai golongan sosial

dan bagian-bagian tertentu dalam negaranegara yang sedang membangun.

1.3 Masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta yang

mendorong kemakmuran.

1.4 Masalah peranan agama dalam pembangunan.


ad.2. Masalah kebijaksanaan pembangunan
2.1 Aspek manusla dan model-model perencanaan pembangunan.
2.2 Masalah arah pembangunan yang berbeda dari arah pem-
bangunan yang menuju ke masyarakat scrupa dengan
masyarakat Eropa Barat atau Amerika.
2.3 Kajian Antropologi mengenai pembangunan ekonomi marxisme.

2.4 Aspek manusia dari pembangunan pada karya atau pembangunan padat

modal.

ad.3. Masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun, dan Social politiknya

3.1 Masyarakat desa


3.2 Penduduk (migrasi, urbanisasi, transmigrasi, dan KB) 3.3 Lingkungan

3.4 Kepemimpinan dan pembangunan


3.5 Perubahan sosial budaya akibat pembangunan
3.6 pendidikan sebagai masalah khusus dalam pembangunan
3.7 Aspek manusia dalam reorganisasi administrasi dan pemerintahan.

3.8 Masyarakat majemuk dan integrasi nasional.


Ke-16 masalah tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tidak berdiri

sendiri, tetapi sating berkaitan. Masalah dualisme ekonomi (1.1) misalnya, berkaitan

dengan masalah orientasi nilai budaya dan jiwa kewiraswastaan dalam pembangunan

(1.3). Selanjutnya, masalah itu berkaitan dengan masalah manusia dalam model-model

perencanaan

pembangunan (2.1) dan pembangunan padat karya (2.4), masalah pembangunan

masyarakat desa (3.1), dan masalah pendidikan sebagai masalah khusus dalam
pembangunan (3.5).

Masalah (1.2), yaitu kesenjangan kemajuan sosial budaya pada umumnya

antara golongan-golongan tertentu dalam masyarakat dan negara, sudah barang tentu

merupakan suatu masalah politik. Namun di dalamnya terdapat bagian-bagian yang lebih

khusus, seperti masalah kesenjangan kemajuan pendidikan antara penduduk masyarakat

desa dan masyarakat kola. Oleh karma itu, masalahnya menjadi masalah pendidikan dan

untuk menelitinya, antropologi pendidikan dapat

menjalankan peranan yang penting (3.6). Kecuali itu, masalah kesenjangan kemajuan

pendidikan antara masyarakat desa dan masyarakat kota mengakibatkan sederet

masalah lain, seperti urbanisasi (3.2) dan perubahan sosial budaya akibat pembangunan

(3.5).

Masalah (1.3) juga berkaitan dengan masalah-masalah lain. Dalam pada itu, ahli

antropologi terapan dapat melakukan penelftian berkenaan dengan aspek manusia dalam

pembangunan atau jiwa kewiraswastaan dalam. pembangunan.

Masalah (1.4), yaitu masalah peranan agama dalam pembangunan, berkaitan

dengan masalah (2.1), yakni masalah aspek manusia dalam model-model perencanaan

pembangunan, dan dengan sendirinya juga menyangkut serangkaian masalah lain. Karya

yang terkenal mengenai peranan agama dalam pembangunan di antarartya yang ditulis

oleh Max Weber. Karya yang dimaksud adalah pengaruh suatu agama yang bersifat

puritan dan ketat, yakni agama Protestan Calvinis, pada pembentukan modal di negara-

negara Eropa Barat sejak abad ke-17.

Masalah (2.1) berkaitan dengan masalah (2.2), (2.4), (3.1), (3.4), dan (3.5).
Model pembangunan dalam perencanaan pembangunan nasional di berbagai negara
yang barn berkembang agaknya diilhami oleh dan disesuaikan dengan konsepsi ahli
sejarah ekonomi W.W Rostow. Adapun konsepsi pembangunan ekonomi Rostow
melewati 5 (lima) tahap pertumbuhan, yakni: (1) tahap masyarakat traditional (traditional
society) atau tahap permulaan pembangunan ekonomi; (2)tahap pra kondisi untuk
memasuki tahap industrialisasi (precondition for take-off); (3) tahap dimana semua faktor
ekonomi sudah cukup untuk bertumbuh sendiri (take-off); (4) tahap dimana ekonomi itu
sudah mampu untuk berkembang menjadi makmur atas kekuatannya sendiri (drive to
maturity); dan (5) tahap dimana rak3,at banyak telah menikmati hasil produksi massanya
sendiri (age of mass consumption).
Dalam tahap (1) dan (2) di atas, terdapat banyak masalah yang dapat diteliti
dengan menggunakan pendekatan antropologi. Di antara masalah-masalah yang
dimaksud adalah adat-istiadat dan sikap mental serta pranata-pranata sosial budaya yang
menjadi kendala hagi pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan harus digeser sesuai
dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Sedangkan tahap (2), ketika telah terjadi surplus
prodilksi pertanian, maka harus dialihkaln ke tangan golongan-golongan sosial yang
memiliki kemampuan untuk mengubah surplus itu menjadi modal kerja untuk membangun
dengan menginvestasikannya secara berhasil guna dan berdaya guna ke dalam usaha-
usaha non pertanian, sehingga diperoleh modal yang lebih besar.
Masalah (2.2) yakni masalah arah pembangunan yang berbeda dari arah

pembangunan yang menuju ke masyarakat seperti di Eropa, Barat dan Amerika, tentu

merupakan masalah yang khan dan bersifat politik. Dalam hal ini antropologi tidak dapat

memberikan sumbangan yang memadai, kecuali secara tidak langsung, yaitu dengan

memberi data mengenai kehidupan sosial budaya di negara-negara yang

pembangunannya tidak mengambil arah seperti pembangunan masyarakatmasyarakat

Eropa Barat atau Amerika. Misalnya, Birma atau negaranegara Komunis seperti RRC dan

Kampuchea. Hal itu tentu tidak dimaksudkan agar arah pembangunan di negara-negara

tersebut terakhir menjadi model pembangunan bag! semua negara yang sedang

berkembang, melainkan untuk melihat kekuatan dan kelemahan dari arah pembangunan

yang tidak berorientasi ke masyarakat Eropa Amerika. Masalah (2.2) tentu berkaitan erat

dengan masalah (2.3) mengenai pembangunan ekonomi Marxisme.

Masalah (2.4) yaltu masalah aspek manusla dalam pembangunan padat karya
atau padat modal, jelas merupakan masalah yang layak pula Lintuk diteliti dengan
pendekatan antropologi ekonomi. Beberapa ahli antropologi malahan telah
memperlihatkan bahiva asumsi berbagal ahli ekonomi pembangunan mengenai adanya
kelebihan tenaga kerja tetapi
99
kekurangan modal dalam masyarakat yang berada pada tahap persiapan untuk

pembangunan (atau tahap 2 dalam model Rostov), tidak selamanya benar. H.K.

Schneider, misalnya, menunjukkan bahwa dalam masyarakat tradisional di negara-negara

Afrika Timur dan Selatan yang baru mulai berkembang, tidak menghadapi masalah

kekurangan modal, sebab modal dalam bentuk ternak terdapat dalam jumlah yang

melimpah."Fetapi untuk dapat mengubah sistem peternakan tradisional menjadi

peternakan modern masalahnya terletak pada kekurangan tenaga yang berkompetensi

untuk itu.

Masalah (3.1), yaitu pembangunan masyarakat desa di negaranegara baru yang

sedang berkembang meliputi upaya peningkatan produksi pertanian dengan penggunaan

bibit unggul, peningkatan teknologi pemupukan dan pemberantasan hama, perbaikan

sistem irigasi, perbaikan sarana dan prasarana jalan, perbaikan lingkungan, penyem-

purnaan administrasi desa, pengembangan koperasi, penyempurnaan sistem pendidikan

umum dan pendidikan agama, dan peningkatan kesehatan masyarakat. Melihat sektor-

sektor tersebut, maka jelas bahwa hampir semua sub bidang antropologi dapat

memberikan kontribusi melalui penelitian-penelitian untuk pembangunan masyarakat

desa. Menurut. Goodenough (1963) pembangunan masyarakat desa pada dasarnya

merupakan upaya untuk merubah adat-istiadat, kepercayaan, sikap mental, dan orientasi

nilai budaya penduduk. Dengan demikian berkaitan erat dengan masalah (1.3), (3.2),

(3.3), (3.4), (3.5) dan (3.6).

Masalah (3.2) yaitu masalah penduduk merupakan masalah nasional dalam

pembangunan, karena menyangkut pengendalian laju pertumbuhan penduduk yang

berlangsung terlalu cepat. Misalnya, melalui program-program keluarga berencana,

mengatur proporsi kepadatan penduduk yang tidak seimbang di berbagai daerah di

wilayah nasional yang antara lain ditanggulangi dengan program transmigrasi. Masalah

tersebut, selain menjadi tanggung jawab ahli demografi dan kedokteran, juga menjadi
kajian antropologi. Ahli antropologi dapat mengkaji tentang nilai anak bag! suatu kelompok

komunitas tertentu dan adat istiadat berkenaan dengan waktu berhubungan kelamin bagi

swami isteri setelah melahirkan. Kecuali itu, ahli antropologi dapat menciptakan kondis!

sosial budaya yang mengarahkan perhadan para ibu ke hal lain dari pada hanya

melahirkan. Misalnya, meningkatkan peranserta mereka delam angkatan kerja,

meningkatkan mute pengasuhan dan pendidikan anak dengan cara memberikan perhatian

yang penuh kepada anak dan lain-lain.

Masalah (3.3), (3,4), (3,6), dan (3,7) pembahasannya serupa dengan yang telah

dibahas dalam uraian mengenai antropologi ekonomi, antropologi pendidikan dan

antropologi politik diatas. Masalah (3.5) akan dibahas secara khusus dibawah ini.

10.2.2.1 Masalah-masalah Sosial Budaya dalam Pembangunan


Kondisi sosial budaya kelompok masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan
seringkali menjadi faktor kendala (barrier) bagi keberhasilan pembangunan. Hal itu tampak
dari pengalaman pembangunan di berbagal negara berkembang dimana pelaksanaan
pembangunan seringkali mengalami hambatan untuk mengenalkan dan mengubah
perilaku pihak sasaran (recipient) sebagaimana tujuan yang diinginkan oleh program yang
mereka implementasikan.
Sebagai contoh, pengadaaan sarana dan prasarana kesehatan di suatu

komunitas tertentu dengan tujuan agar warga masyarakat yang bersangkutan dapat

memanfaatkan sumber perawatan kesehatan tersebut manakala mereka membutuhkan

pertolongan perawatan kesehatan. Namun, seringkali masyarakat yang bersangkutan

lebih percaya pada sumber perawatan kesehatan pribumi mereka manakala

membutuhkan perawatan kesehatan.

Berkaitan dengan itu, para pelaksana pembangunan (provider) hares memahami


terlebih dahulu kondisi sosial budaya masyarakat
sasaran (recipient) sebelum kegiatan pembangunan dilakukan. Dalam kata lain, perlu
dilakukan penelitian pendahuluan berkenaan dengan kondisi sosial budaya kelompok
sasaran sebelum program diimplementasikan. Disiplin ilmu yang berkompeten dalam
meneliti dan mengungkap kondisi sosial budaya kelompok masyarakat adalah
antropologi.
Kecuali itu, antroPologi dapat ikut berperan serta dalam menjembatani antra

budaya provider dan budaya recipient; serta dapat ikut mengevaluasi program

pembangunan yang sementara atau telah dilaksanakan. Selain itu, pelaksanaan program

pembangunan tertentu seringkali menimbulkan konsekwens% sosial budaya tertentu. Hal

yang terakhir ini juga menjadi wilayah kajian antropologi, dan bahwa hasil pengkajian itu

menjadi masukan bagi perencana dan pelaksana pembangunan.

10.3 RANGKUMAN
Sejak fare ke-3 dari sejarah perkembangan antropologi telah menunjukkan

orientasi praktis. Hanya raja kedudukan antropologi yang berorientasi praktis, terutama di

Amerika Serikat, ketika itu dianggap rendah. Namun, anggapan itu mulai berubah

sesuadah tahun 1930-an dan bahkan pada tahun 1941 di Amerika Serikat beberapa ahli

antropologi mendirikan lembaga yang mereka rebut Society for Applied Anthropology.

Diantara ahli yang dimaksud: Ruth F. Benedict, R. H Lowie, dan M. Mead. Mereka itu

melakukan penelitian "jarak jauh" perihal masyarakat dan kebudayaan bangsa yang

menjadi musuh Amerika Serikat.

Kecuali itu, setelah perang dunia ke-2 usai hingga kini ahli antropologi telah

terlibat dalam meneliti, merencanakan, melaksanakan. dan mengevaluasi berbagai

program pembangunan. Bahkan dewasa ini telah berkembang sub bidang antropologi

pembangunan.

10.4 DAFFAR BACAAN


Kalangie, Nico S.
1994 Kebudayaan dan Kesehatan. Jakarta: Megapoin.
Koentjaraningrat
1990 "Antropologi Terapan dan Antropologi Pembangunan. Dalam Sejarah Teori
Antropologi 11. Jakarta: UI-Press

10.5 TUGAS LATIHAN


1 . Uraikan kedudukan antropologi terapan dalam kerangka ilmu antropologi

2 . Uraikan funsi-fungsi praksis ilmu antropologi


3 . Jelaskan perihal antropologi pembangunan
4 . Uraikan masalah-masalah sosial budaya yang berkaitan Oengan

pembangunan.

Anda mungkin juga menyukai