Anda di halaman 1dari 6

Tugas Individu

Mata Kuliah Psikologi Keluarga

TUGAS FINAL

RIZKI YULIANI
Q 111 12 274

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2015

1. Pendahuluan
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral. Karena teramat sakralnya, bahkan
agama kristen melarang adanya perceraian. Pernikahan dianggap sebagai suatu ikatan
yang dipersatukan oleh Tuhan, sehingga manusia tidak memiliki hak untuk melepaskan
ikatan tersebut. Pernikahan dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang
berkomitmen untuk membentuk sebuah keluarga baru. Dalam agama islam, keluarga
dibentuk atas dasar cinta kasih sehingga nantinya akan timbul kedamaian di dalam
keluarga. Melalui ini dapat dilihat bahwa keluarga dibentuk berdasarkan adanya rasa
kasih dan sayang di antara dua orang yang memilih untuk menikah.
Pernikahan merupakan sebuah komitmen yang perlu dipegang teguh oleh
pasangan suami istri yang memutuskan untuk menikah. Di berbagai agama, dikatakan
bahwa pernikahan bukan hanya sekedar ikatan fisik antara laki-laki dan perempuan,
tetapi juga menyangkut ikatan emosional dan tanggung jawab yang diterima oleh lakilaki dan perempuan sebagai konsekuensi dari pernikahan. Ketika laki-laki dan
perempuan berkomitmen untuk menikah, maka mereka kemudian akan membentuk
keluarga baru yang hidup bersama dan diharapkan kebersamaan tersebut berlangsung
selamanya sampai maut memisahkan, kemudian dipersatukan kembali di akhirat. Di
agama Kristen, laki-laki dan perempuan yang telah menikah diharamkan untuk
bercerai. Kristen memandang bahwa pernikahan merupakan ikatan yang dipersatukan
oleh Tuhan, sehingga manusia tidak boleh melepas ikatan tersebut, yakni bercerai
(Muhiddin, 2015). Kata-kata tersebut mencerminkan adanya ikatan yang sakral di dalam
pernikahan, yakni dipersatukan oleh Tuhan. Agama Islam tidak melarang pasangan untuk
bercerai, tetapi juga tidak menganjurkannya. Untuk itu, sebelum bercerai pasangan akan
bertemu dahulu untuk mengetahui duduk persoalannya, baru kemudian akan ada
keputusan bersama apakah akan bercerai atau tetap membina rumah tangga. Melalui
pembahasn-pembahasan yang telah dipaparkan, penulis mengambil inisght bahwa
pernikahan bertujuan untuk menghadirkan kenyamanan dan menumbuhkan kebahagiaan.
John Gray (Gunarya, 2015) mengemukakan tentang 10 vitamin kasih yang perlu
diisi selama kehidupan manusia. Salah satu vitamin kasih yang perlu diisi adalah vitamin
R yakni kebutuhan individu akan relasi romantis. Gray mengatakan bahwa di luar sana
terdapat ribuan orang yang dapat menjadi great partner untuk individu. Seorang soul
mate adalah satu dari ribuan orang tersebut yang dipilih oleh individu untuk berbagi
hidup. Penulis berasumsi bahwa ketika individu telah memilih untuk berbagi hidup
dengan orang lain, maka individu telah mempercayai pasangannya untuk hidup bersama.

Pernikahan seyogyanya menghasilkan kedamaian dan kenyamanan, untuk itu di dalam


keluarga perlu ada rasa saling percaya satu sama lain.
Kenyataannya saat ini beberapa pasangan seringkali bertengkar karena rasa tidak
percaya antara satu dengan yang lainnya. Mereka saling mencemburui dan saling
menuduh tentang perselingkuhan dan konflik lainnya. Pasangan-pasangan ini kerap kali
bertengkar karena permasalahan yang sama setiap kalinya. Hal ini tentu bukanlah tujuan
dari dibentuknya sebuah keluarga. Individu yang menikah mengharapkan adanya
kebahagiaan di dalam keluarganya, bukannya pertengkaran.
2. Gagasan
Melihat permasalahan yang dihadapi oleh keluarga, dalam hal ini pertengkaran
suami istri, penulis menawarkan gagasan dalam hal peningkatan rasa saling percaya antar
pasangan dengan jalan komunikasi asertif. Penelitian yang dilakukan oleh Eliyani (2013)
menunjukkan bahwa komunikasi yang terbuka sangat diperlukan oleh pasangan terlebih
jika pasangan tersebut berjauhan. Hal ini juga menunjukkan bahwa komunikasi berperan
penting dalam menumbuhkan kepercayaan antar pasangan yang berjauhan. Puspitawati
(2012) juga mengatakan bahwa salah satu elemen yang menentukan kualitas perkawinan
adalah komunikasi. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Sudhana (2013)
menunjukkan adanya hubungan antara komunikasi interpersonal pasangan suami istri
dengan keharmonisan dalam pernikahan. Melalui ketiga jurnal tersebut dapat dilihat
bahwa komunikasi merupakan salah satu elemen yang dapat mempertahankan
pernikahan, agar tujuan pernikahan untuk mencapai kebahagiaan dapat terwujud.
McMaster mendefinisikan komunikasi sebagai pertukaran informasi di antara
anggota keluarga, serta bagaimana penerimaan dan penanggapannya. Komunikasi dapat
dibagi menjadi empat kuadran, yakni jelas dan langsung, jelas dan tidak langsung,
terselubung dan langsung, serta terselubung dan tidak langsung (Miller dkk, 2000;
Gunarya, 2015). Komunikasi yang jelas dan langsung merupakan bentuk paling sehat
dari komunikasi di keluarga dan muncul ketika pesan disampaikan secara terus terang
(jelas) dan secara langsung kepada anggota keluarga yang dimaksudkan. Kemudian,
dikatakan sebagai komunikasi yang jelas dan tidak langsung ketika pesan disampaikan
secara jelas tetapi tidak langusng diberitahukan kepada orang yang bersangkutan. Pada
komunikasi jenis ini, orang yang dimaksud belum tentu paham bahwa pesan tersebut
ditujukan untuk dirinya. Komunikasi yang terselubung dan langsung muncul ketika isi
pesan tidak jelas, tetapi ditujukan secara langsung kepada orang yang bersangkutan.
Sedangkan komunikasi yang terselubung dan tidak langsung muncul ketika isi pesan

tidak jelas dan pesan tersebut tidak disampaikan secara langsung kepada orang yang
bersangkutan. Pada hubungan keluarga yang tidak sehat, komunikasi cenderung sangat
terselubung dan tidak langsung (Peterson & Green, 2009). Melalui pembahasan tersebut,
dapat dilihat bahwa komunikasi efektif yang perlu ada di dalam keluarga adalah
komunikasi yang jelas dan langsung. Komunikasi ini akan membuat pasangan dapat
asertif dalam mengatakan berbagai hal. Keasertifan diperlukan agar masalah yang tengah
diperbincangkan menjadi jelas, sehingga tidak ada keraguan dan rasa saling curiga antara
suami dan istri.
Selain komunikasi verbal yang telah dijelaskan di atas terdapat pula komunikasi
non verbal. Antara komunikasi verbal dan non verbal dapat searah (congruent) dan dapat
pula tidak searah (inncongruent). Semakin ada kesesuaian antara komunikasi verbal dan
non verbal maka semakin berfungsi sebuah keluarga. Selain itu, penerimaan komunikasi
verbal dan non verbal juga perlu diperhatikan. Terdapat tiga jenis kemungkinan
komunikasi

di

dalam

keluarga,

yakni

diterima,

diingkari/diabaikan,

dan

ditiadakan/dihapuskan. Semakin efektf keberfungsian keluarga, semakin sering


komunikasi anggota keluarga yang diterima (Gunarya, 2015). Melalui pembahasan ini
dapat dilihat bahwa pasangan suami istri perlu membangun komunikasi yang diterima
dan dihargai. Penerimaan ini membuat pasangan dapat lebih terbuka dan menjadikan
keluarga yang mereka bangun dapat berfungsi dengan baik.
Ketik pasangan berkomunikasi secara jelas dan langsung, maka isi percakapan
akan dipahami maksudnya. Menjelaskan secara gamblang isi pikiran masing-masing
membuat pasangan dapat saling mengerti dan memahami. Ketika pasangan dapat saling
mengerti dan memahami, maka kecurigaan dapat diminimalisasi, sehingga pertengkaran
akibat rasa tidak percaya dan curiga tidak akan terjadi, juga tidak akan memicu masalah
yang merembet pada perpisahan. Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai keluarga
bahagia dan harmonis, bukan untuk becerai. Untuk itu, komunikasi asertif dapat menjadi
salah satu cara untuk dapat memelihara hubungan antara suami dan istri, sehingga sistem
keluarga tidak entropi, juga akan mendewasakan sistem. Hal ini karena komunikasi
merupakan salah satu interaksi yang diperlukan demi keberlangusngan sistem. Jika
komunikasi berlangusng efektif, maka interaksi akan terus terjalin sehingga sistem dapat
terus bertahan.

3. Kesimpulan

Melalui pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa


saat ini ada pasangan-pasangan yang menikah tetapi kerap bertengkar karena rasa curiga
dari masing-masing pihak. Padahal ketika pasangan telah memutuskan untuk menikah,
maka mereka telah berkomitmen untuk berbagai kehidupan, menjalani kehidupan
berumah tangga bersama-sama. Pernikahan tersebut membutuhkan rasa saling percaya
agar dapat terus bertahan dan tidak entropi. Untuk itu, penulis mengajukan gagasan
tentang pentingnya komunikasi asertif di antara pasangan suami istri. Komunikasi yang
jelas (terbuka) dan langsung dapat membuat pasangan saling mengerti dan memahami
sehingga kecurigaan yang timbul dapat diminimalisasi. Bukan hanya komunikasi verbal,
komunikasi non verbal juga sama pentingnya. Jadi, antara komunikasi verbal dan non
verbal perlu sejalan agar keberfungsian keluarga dapat berjalan, dalam hal ini adalah
fungsi komunikasi.
4. Penutup
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan diharapkan tidak berujung pada
perceraian. Untuk itu, antara suami dan istri perlu bekerja sama dalam pemeliharan
sistem keluarga tersebut. Konflik dalam pernikahan memang tidak dapat dihindari, tetapi
dapat dimanage agar dapat memperkuat keluarga dan membuat keluarga menjadi lebih
berkembang. Salah satu konflik yang timbul adalah masalah kepercayaan, yang mana
kepercayaan ini dapat ditumbuhkan dengan cara menjalin komunikasi yang efektif antar
pasangan. Komunikasi efektif bukan hanya dapat menumbuhkan kepercayaan tetapi
dapat pula menjadi jalan bagi pasangan untuk mengomunikasikan masalah-masalah yang
ada di dalam keluarga sehingga menemukan solusi yang tepat. Komunikasi bukan satusatunya fungsi keluarga yang perlu ada, tetapi komunikasi dapat menjadi jembatan dalam
peran-peran dan fungsi-fungsi keluarga yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Dewi, N. R., & Sudhana, H. (2013). Hubungan antara Komunikasi Interpersonal Pasutri
dengan Keharmonisan dalam Pernikahan. Jurnal Psikologi Udayana, 1 (1): 22-31.

Eliyani, E. R. (2013). Keterbukaan Komunikasi Interpersonal Pasangan Suami Istri yang


Berjauhan Tempat Tinggal. eJournal Ilmu Komunikasi, 1 (2): 85-94.
Idris, E. Y. I. R. (2015). Keluarga dalam Perspektif Agama Hindu. Makassar: Prodi Psikologi
FK-UH. (tidak diterbitkan)
Jamil, R. A. (2015). Keluarga dalam Perspektif Agama Konghucu. Makassar: Prodi Psikologi
FK-UH. (tidak diterbitkan)
Miller, I. W., Ryan, C. E., Keitner, G. I., Bishop, D. S., & Epstein, B. (2000). The McMaster
Approach to Families: Theory, Assessment, Treatment and Research. Journal of Family
Therapy, 22: 168-189. Oxford: Blackwell Publishers.
Muhiddin, S. (2015). Pandangan Agama Kristen tentang Keluarga. Makassar: Prodi
Psikologi FK-UH. (tidak diterbitkan)
Peterson, R. & Green, S. (2009). Family First: Key to Successful Family Functioning.
Virginia Cooperative Extension. Ettrick: Virginia State University.
Puspitawati, H. (2012). Interaksi Sumai Istri dalam Mewujudkan Harmonisasi Keluarga
Responsif Gender. Gender dan keluarga. Bogor: PT IPB Press.
Yuliani, R. (2015). Keluarga Menurut Pandangan Islam. Makassar: Prodi Psikologi FK-UH.
(tidak diterbitkan)

Anda mungkin juga menyukai