1. Sejarah
Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani: anthropos, artinya “orang” atau
“manusia”; dan logos, artinya “ilmu/nalar”. Menurut kamus anthropology dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk
manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat, serta
kebudayaannya (Ariyono, 1985). Dari analisis usul asal kata, disimpulkan bahwa
antropologi merupakan ilmu pengetahuan tentang manusia. Dalam refleksi yang lebih
bebas, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menelaah sifat-sifat manusia
secara umum dan menempatkan manusia yang unik dalam sebuah lingkungan hidup
yang lebih bermartabat.
b. Masalah pada sejarah terjadinya aneka bentuk makhluk manusia, dipandang dari
sudut ciri-ciri tubuhnya.
c. Masalah pada sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa
di seluruh dunia.
Fase-fase perkembangan antropologi diawali sejak akhir abad ke-15 atau awal
abad ke-16. Menurut bapak antropologi Indonesia Koentjaraningrat, fase perkembangan
antropologi dibagi dalam lima fase.
Fase pertama adalah tahapan awal munculnya ilmu antropologi di dunia. Fase
tersebut terjadi ketika bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan dunia dan
mendatang suku-suku di wilayah lain. Beberapa wilayah yang paling banyak dikunjungi
bangsa Eropa adalah wilayah-wilayah di benua Afrika, Amerika, dan Asia. Penjelajahan
tersebut kemudian menghasilkan berbagai macam bentuk laporan dari ekspedisi yang
dilakukan. Laporan tersebut tidak hanya ditulis oleh para penjelajah, tetapi juga ditulis
oleh para pelaut, musafir, pegawai kolonial dan pendeta penerjemah.
Fase kedua adalah fase yang terjadi pada pertengahan abad ke-19, yang mana
cabang ilmu antropologi mulai melakukan kajian terhadap masyarakat dan kebudayaan
primitif. Kajian tersebut dilakukan dengan cara menghimpun berbagai macam informasi
mengenai sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Pada tahapan
ini, bahan etnografi mulai bermunculan yan didasari dengan cara berpikir evolusi dan
difusi.
Fase ketiga adalah fase yang mana antropologi mulai melakukan kajian-kajian
mengenai masyarakat dan kebudayaan suku bangsa di luar Eropa untuk kepentingan
pemerintah kolonial. Tahapan ini terjadi pada awal abad ke-20. Kajian tersebut memiliki
tujuan untuk memahami masyarakat masa kini yang semakin kompleks. Tahapan ini
berkaitan dengan kemantapan kekuasaan dari negara-negara penjajah Eropa.
Fase keempat adalah fase yang terjadi usai tahun 1930 yang ditandai dengan
adanya perubahan penting. Perubahan penting tersebut ialah hilangnya bangsa-bangsa
primitif dan timbulnya sikap antipati terhadap kolonialisme. Pada fase ini, ilmu
antropologi seakan telah kehilangan objek kajian dan pengembangan karena adanya
perubahan tersebut. Akhirnya, pada fase ini antropologi menetapkan tujuan barunya.
Tujuan dari antropologi pada fase ini ialah untuk mempelajari manusia secara umum
dan kebudayaan-kebudayaan yang dihasilkannya.
Ilmu Antropologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, diantaranya
pengetahuan yang jauh lebih teliti fan metode-metode ilmiahnya yang semakin tajam.
Perkembangan ini menyebabkan :
1. Tujuan akademis yaitu pengertian manusia beserta bentuk fisik, masyarakat dan
kebudayaannya.
2. Tujuan praktis yaitu mempelajari manusia dalam berbagai masyarakat suku bangsa
guna membangun masyarakat suku bangsa tersebut.
Sebagai contoh, pengaruh daerah sub tropis terhadap pola kerja manusia akan
berbeda dengan daerah tropis. Pada daerah sub tropis ada musim dimana manusia
kurang/tidak dapat bekerja secara penuh, terutama pada musim dingin, sehingga
keadaan ini memaksa manusia daerah sub tropis untuk mempersiapkan cadangan
makanan untuk musim dingin. Demikian pula masyarakat di daerah gersang akan
terpaksa bekerja lebih keras untuk mempertahankan hidupnya dibandingkan dengan
daerah subur.
Hal-hal tersebut diatas juga mempengaruhi sistem nilai budaya yang dianut oleh
warga masyarakat, yang dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap proses
pendidikan yang berlangsung di masyarakat yang bersangkutan, karena proses
pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungan geografis dan sosiokultural
masyarakat.
Kajian antropologi memudahkan akses dari proses kegiatan belajar peserta didik
untuk tetap dapat menanamkan kebudayaan ke dalam individu peserta didik, seperti
halnya pengembangan kurikulum dalam penerapan muatan lokal di sekolah harus
ditinjau terlebih dahulu melalui kajian antropologi agar sesuai dengan kondisi peserta
didik sehingga membantu guru lebih baik dalam proses pembelajarannya. Septiarti,
Hanum, Wahyono, Astuti, & Efianingrum (2017) menguraikan yang dikaji dalam dalam
sosio-antropologi pendidikan meliputi: 1) pendidikan kebudayaan; 2) pendidikan di
dalam kebudayaan; dan 3) pendidikan lintas kebudayaan
Uno, H., & Lamatenggo, N. (2016). Landasan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.