Anda di halaman 1dari 9

BAHAN PRESENTASE

LANDASAN ILMU PENDIDIKAN

Tugas Mata Kuliah Landasan Ilmu Pendidikan yang Dibina oleh


Prof. Dr. Syahrul R., M.Pd., dan Dr. Amril Amir, M.Pd.

Elly Frisca Waruwu (23174004)


Tiara Tri Dewi (23174021)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


PROGRAM MAGISTER FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2024
ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

A. Sejarah, dan Manfaat Landasan Antropologi dalam Pendidikan

1. Sejarah

Antropologi berasal dari dua akar kata Yunani: anthropos, artinya “orang” atau
“manusia”; dan logos, artinya “ilmu/nalar”. Menurut kamus anthropology dapat
diartikan sebagai suatu ilmu yang berusaha mencapai pengertian tentang makhluk
manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik, kepribadian, masyarakat, serta
kebudayaannya (Ariyono, 1985). Dari analisis usul asal kata, disimpulkan bahwa
antropologi merupakan ilmu pengetahuan tentang manusia. Dalam refleksi yang lebih
bebas, antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mencoba menelaah sifat-sifat manusia
secara umum dan menempatkan manusia yang unik dalam sebuah lingkungan hidup
yang lebih bermartabat.

Keesing (1981), antropologi adalah kajian tentang manusia. Haviland (1985),


antropologi adalah suatu studi tentang manusia dan perilakunya dan melaluinya
diperoleh pengertian lengkap tentang keanekaragaman manusia. Menurut Harsojo,
antropologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang umat manusia sebagai
mahkluk masyarakat, terutama pada sifat-sifat khusus badani dan cara-cara produksi,
tradisi-tradisi dan nilai-nilai yang membuat pergaulan hidup menjadi berbeda dari yang
satu dengan lainnya.

Menurut Koentjaraningrat (2009), Ilmu antropologi memperhatikan 5 (lima)


buah masalah mengenai makhluk hidup yaitu :

a. Masalah pada perkembangan manusia sebagai makhluk biologis.

b. Masalah pada sejarah terjadinya aneka bentuk makhluk manusia, dipandang dari
sudut ciri-ciri tubuhnya.

c. Masalah pada sejarah asal, perkembangan, serta penyebaran berbagai macam bahasa
di seluruh dunia.

d. Masalah persebaran dan terjadinya keanekaragaman kebudayaan manusia di seluruh


dunia.
e. Masalah pada dasar-dasar dan keanekaragaman kebudayaan manusia dalam
kehidupan masyarakatmasyarakat dan suku bangsa yang tersebar di seluruh penjuru
bumi pada zaman sekarang ini.

Fase-fase perkembangan antropologi diawali sejak akhir abad ke-15 atau awal
abad ke-16. Menurut bapak antropologi Indonesia Koentjaraningrat, fase perkembangan
antropologi dibagi dalam lima fase.

1. Fase Pertama (Abad ke 15-18)

Fase pertama adalah tahapan awal munculnya ilmu antropologi di dunia. Fase
tersebut terjadi ketika bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan dunia dan
mendatang suku-suku di wilayah lain. Beberapa wilayah yang paling banyak dikunjungi
bangsa Eropa adalah wilayah-wilayah di benua Afrika, Amerika, dan Asia. Penjelajahan
tersebut kemudian menghasilkan berbagai macam bentuk laporan dari ekspedisi yang
dilakukan. Laporan tersebut tidak hanya ditulis oleh para penjelajah, tetapi juga ditulis
oleh para pelaut, musafir, pegawai kolonial dan pendeta penerjemah.

Bangsa Eropa memiliki ketertarikan dengan laporan tersebut karena adanya


temuan perbedaan adat, susunan masyarakat, dan ciri-ciri fisik suku bangsa dari benua
lain. Pada akhir abad ke-18, bahan etnografi mulai menjadi pusat perhatian para
ilmuwan yang ada di Eropa. Padahal sebelumnya bahan etnografi secara umum tidak
teliti dan hanya mendeskripsikan hal yang aneh saja. Akhirnya, para ilmuwan mulai
melakukan berbagai macam upaya untuk mengintegrasikan bahan etnografi dari seluruh
dunia menjadi satu.

2. Fase Kedua (Pertengahan Abad ke-19)

Fase kedua adalah fase yang terjadi pada pertengahan abad ke-19, yang mana
cabang ilmu antropologi mulai melakukan kajian terhadap masyarakat dan kebudayaan
primitif. Kajian tersebut dilakukan dengan cara menghimpun berbagai macam informasi
mengenai sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Pada tahapan
ini, bahan etnografi mulai bermunculan yan didasari dengan cara berpikir evolusi dan
difusi.

Masyarakat Eropa kala itu berpikir bahwa masyarakat dan kebudayaannya


lambat laun akan berevolusi dalam beberapa tahun lamanya dan menempuh berbagai
tingkatan dari tingkatan, dari tingkatan rendah ke tingkatan yang tertinggi. Masyarakat
Eropa kala itu menganggap bahwa bentuk masyarakat dan kebudayaan tertinggi adalan
Eropa barat. Masyarakat di luar Eropa Barat adalah primitif yang tingkat
kebudayaannya lebih rendah yang masih hidup sampai sekarang, sebagai sisa-sisa dari
kebudayaan manusia zaman dulu. Timbulnya klasifikasi/ tingkatan evolusi masyarakat
dan beragam kebudayaan di dunia maka timbulah Ilmu Antropologi dan menyebabkan
timbulnya pula karangan hasil penelitian tentang sejarah penyebaran kebudayaan
bangsa-bangsa. Pada fase ini ilmu antropologi masuk ke dalam ilmu akademis dengan
tujuan: mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitive dengan maksud untuk
mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan
sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

3. Fase Ketiga (Awal Abad ke-20)

Fase ketiga adalah fase yang mana antropologi mulai melakukan kajian-kajian
mengenai masyarakat dan kebudayaan suku bangsa di luar Eropa untuk kepentingan
pemerintah kolonial. Tahapan ini terjadi pada awal abad ke-20. Kajian tersebut memiliki
tujuan untuk memahami masyarakat masa kini yang semakin kompleks. Tahapan ini
berkaitan dengan kemantapan kekuasaan dari negara-negara penjajah Eropa.

Setelah sebagian Eropa memantapkan kekuasaannya di daerah jajahan luar


Eropa maka ilmu antropologi menjadi sangat penting karena pada umumnya masyarakat
tersebut masih belum kompleks seperti masyarakat bangsa Eropa. Sebagai contoh
Amerika yang mengalami berbagai masalah yang berhubungan dengan suku-suku
bangsa Indian penduduk pribumi benua Amerika, kemudian terpengaruh oleh ilmu
antropologi tadi. Sehingga “mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku bangsa di
luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapatkan suatu
pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.

4. Fase Keempat (Setelah tahun 1930)

Fase keempat adalah fase yang terjadi usai tahun 1930 yang ditandai dengan
adanya perubahan penting. Perubahan penting tersebut ialah hilangnya bangsa-bangsa
primitif dan timbulnya sikap antipati terhadap kolonialisme. Pada fase ini, ilmu
antropologi seakan telah kehilangan objek kajian dan pengembangan karena adanya
perubahan tersebut. Akhirnya, pada fase ini antropologi menetapkan tujuan barunya.
Tujuan dari antropologi pada fase ini ialah untuk mempelajari manusia secara umum
dan kebudayaan-kebudayaan yang dihasilkannya.
Ilmu Antropologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, diantaranya
pengetahuan yang jauh lebih teliti fan metode-metode ilmiahnya yang semakin tajam.
Perkembangan ini menyebabkan :

1. Timbulnya anitipati kolonialisme setelah perang dunia 2


2. Sekitar tahun 1930 bangsa primitive mulai hilang dan benar-benar hilang setelah
Perang Dunia 2.
Lapangan penelitian ilmu Antropologi berhasil berkembang dengan tujuan dan
pokok yang baru, dengan berlandaskan bahan etnologi dan metode ilmiah yang lalu.
Pokok tujuan yang baru itu ditinjau dan diteliti di dalam suatu simposium oleh 60 tokoh
ahli antropologi dari negara-negara di Amerika dan Eropa pada tahun 1951 . penekitian
tifak hanya tertuju pada penduduk pedesaan di luar Eripa, tetapi juga suku bangsa
pedesaan di Eropa, seperti bangsa Irlandis, Flam, dan Soami. Ilmu Antropologi ada 2
tujuan, yaitu :

1. Tujuan akademis yaitu pengertian manusia beserta bentuk fisik, masyarakat dan
kebudayaannya.
2. Tujuan praktis yaitu mempelajari manusia dalam berbagai masyarakat suku bangsa
guna membangun masyarakat suku bangsa tersebut.

B. Pengaruh Antropologi terhadap Lingkungan dan Masyarakat

Perbedaan geografis mencakup perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh


faktor geografis seperti letak daerah, misalnya: pantai, daerah pegunungan, daerah
tropis, daerah sub tropis, daerah subur, daerah tandus, dan sebagainya.

Sebagai contoh, pengaruh daerah sub tropis terhadap pola kerja manusia akan
berbeda dengan daerah tropis. Pada daerah sub tropis ada musim dimana manusia
kurang/tidak dapat bekerja secara penuh, terutama pada musim dingin, sehingga
keadaan ini memaksa manusia daerah sub tropis untuk mempersiapkan cadangan
makanan untuk musim dingin. Demikian pula masyarakat di daerah gersang akan
terpaksa bekerja lebih keras untuk mempertahankan hidupnya dibandingkan dengan
daerah subur.

Perbedaan-perbedaan tersebut melahirkan pula perbedaan kebudayaan, baik


dalam wujud ide-ide, pola, tingkah laku maupun kebudayaan. Di daerah subur seperti di
Indonesia, di mana manusia tidak perlu berjuang keras untuk mempertahankan
hidupnya, dimana sumber-sumber alam relatif mudah diambil, membuat manusia juga
bermurah hati terhadap sesamanya, sehingga bila ada seorang warga masyarakat yang
mengalami kekurangan, orang lain dengan mudahnya membantu orang yang menderita
tersebut. Karena itu terutama di pedesaan, dimana kebutuhan hidup dari alam sekitar
relatif lebih mudah didapatkan, perasaan gotong-royong antar warga masyarakat sangat
tinggi. Sebaliknya di daerah perkotaan dimana manusia harus berusaha lebih keras
untuk mempertahankan hidupnya, maka perasaan gotong-royong itu makin menipis, dan
perasaan individualitasnya lebih tinggi.

Hal-hal tersebut diatas juga mempengaruhi sistem nilai budaya yang dianut oleh
warga masyarakat, yang dengan sendirinya akan berpengaruh terhadap proses
pendidikan yang berlangsung di masyarakat yang bersangkutan, karena proses
pendidikan tersebut tidak dapat dilepaskan dari lingkungan geografis dan sosiokultural
masyarakat.

Studi antropologi selain untuk kepentingan pengembangan ilmu itu sendiri, di


negara-negara yang telah membangun sangat diperlukan bagi pembuatan-pembuatan
kebijakan dalam rangka pembangunan dan pengembangan masyarakat. landasan
antropologis pendidikan adalah asumsi-asumsi yang bersumber dari kaidah-kaidah
antropologi yang dijadikan titik tolak dalam pendidikan. Contoh : perbedaan
kebudayaan masyarakat di berbagai daerah (misalnya: system mata pencaharian,
bahasa, kesenian, dsb). Mengimplikasikannya perlu diberlakukan kurikulum muatan
lokal.

Dari paparan di atas pendidikan perlu dilandasi antropologi karena


melalui antropologi bisa membuka diri tentang keanekaragaman budaya yang dimiliki
oleh Indonesia dan menghargai kebudayaan orang lain.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam implikasi landasan antropologi, adalah


sebagai berikut.

1. Identifikasi kebutuhan belajar masyarakat

Identifikasi kebutuhan masayarakat ini bersumber dari informasi masyarakat


sekitar. Masyarakat tersebut terdiri dari tokoh masyarakat, baik secara formal maupun
informal, tokoh agama, dan perwakilan masyarakat kelas bawah. Hal ini bertujuan
untuk memperoleh informasi dan data yang dijadikan bahan pengembangan kurikulum.
Memperhatikan masyarakat sebagai sumber informasi merupakan hal penting dalam
indentifikasi kebutuhan belajar masyrakat.
Chambers menyatakan bahwa biasanya hanya aspirasi golongan masyarakat
menengah ke atas yang menjadi tokoh-tokoh masyarakat dan jarang ditemui masyarakat
lapisan bawah dilibatkan dalam upaya menjaring data dan informasi (Uno &
Lamatenggo, 2016). Oleh karena itu, pengumpulan data tidak akan akurat, karena data
yang di ambil tidak mewakili kejadian yang sebenarnya. Maka, dalam melakukan
indentifikasi harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat baik masyarakat pedesaan
maupun masyarakat perkotaan agar menjadi pertimbangan untuk memperoleh data dan
informasi yang benar dan akurat.

2. Keterlibatan partisipasi masyarakat

Setelah mengidentifikasi kebutuhan belajar, maka masyarakat ikut serta dalam


merancang kurikulum, menyediakan sarana dan prasarana, menentukan nara sumber
sebagai fasilitator, dan ikut menilai hasil belajar. Keterlibatan masyarakat dalam tahap
identifikasi sangatlah diperlukan dan seharusnya tidak terhenti hanya pada tahap
identifikasi saja, namun keterlibatan masyarakat harus sampai pada tahap awal
perencanaan hingga ke tahap evaluasi dari serangkaian hasil pelaksanaan kegiatan.
Dalam tahap pelaksanaan menggunakan metode partisipator. Dengan maksud, warga
masyarakat wajib terlibat dan menjadi sasaran didik dalam semua kegiatan pendidikan.
Dimulai dari menyusun dan merancang kurikulum, menyediakan sarana dan prasarana
yang memadai, menentukan dan menunjuk narasumber yang akan menjadi pemateri
dalam proses belajar, serta juga terlibat dalam penilaian hasil belajar. Pada hakikatnya,
didalam masyarakat akan sangat merasa senangjika dilibatkan dalam kegiatan
pendidikan dan dengan suka rela akan menyumbang atau membantu menyediakan
sarana dan prasarana yang diperlukan.

3. Pemberian pendidikan kecakapan hidup

Pendidikan kecakapan hidup merupakan pendidikan dalam bentuk pemberian


keterampilan dan kemampuan dasar pendukung fungsional, membaca, menulis,
berhitung, memcahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan
menggunakan teknologi (Dikdasmen 2002, dalam Efendi 2009:153).

C. Implikasi Landasan Antropologi dalam Pendidikan

Pendidikan yang berlandasakan pada nilai-nilai antropologi turut membawa


peserta didik dalam kehidupan pola bermasyarakat yang madani dalam pembangunan
Indonesia di masa yang akan datang. Kehidupan individu berada dalam masyarakat
sekaligus di dalam kebudayaan (Ihromi, 2006). Pendidikan dan kebudayaan berproses
secara dinamis untuk mengatur tata hidup bermasyarakat, adanya proses pemanusiaan
dan pencapaian visi tantang kehidupan (Tilaar, 2002). Oleh karenanya, proses
pendidikan yang diselenggarakan berkaitan erat dengan nilai-nilai kebudayaan yang
berlangsung pada kehidupan masyarakat.

Kajian antropologi memudahkan akses dari proses kegiatan belajar peserta didik
untuk tetap dapat menanamkan kebudayaan ke dalam individu peserta didik, seperti
halnya pengembangan kurikulum dalam penerapan muatan lokal di sekolah harus
ditinjau terlebih dahulu melalui kajian antropologi agar sesuai dengan kondisi peserta
didik sehingga membantu guru lebih baik dalam proses pembelajarannya. Septiarti,
Hanum, Wahyono, Astuti, & Efianingrum (2017) menguraikan yang dikaji dalam dalam
sosio-antropologi pendidikan meliputi: 1) pendidikan kebudayaan; 2) pendidikan di
dalam kebudayaan; dan 3) pendidikan lintas kebudayaan

Penerapan landasan antropologi dalam pendidikan saat ini adalah sebagai


berikut:

1. Model Pembelajaran Berbasis Budaya Lokal

Model pembelajaran ini diterapkan melalui muatan lokal. Materi disesuaikan


dengan potensi lokal masing-masing daerah di lingkungan sekolah. Sehingga siswa
dapat mengenali potensi budayanya sendiri, mengembangkan budaya, menumbuhkan
cinta tanah air, dan mempromosikan budaya lokal kepada daerah lain.

2. Metode Pembelajaran Karya Wisata

Guru mengajak siswa ke suatu tempat ( objek ) tertentu untuk mempelajari


sesuatu dalam rangka suatu pelajaran di sekolah. Metode karyawisata berguna bagi
siswa untuk membantu mereka memahami kehidupan ril dalam lingkungan beserta
segala masalahnya . Misalnya, siswa diajak ke museum, kantor, percetakan, bank,
pengadilan, atau ke suatu tempat yang mengandung nilai sejarah/kebudayaan tertentu.

3. Pembelajaran dengan modeling

Modelling adalah metode pembelajaran dengan menggunakan model (guru)


sebagai obyek belajar perubahan tingkah laku yang kemudian ditiru oleh
siswa. Modelling bertujuan untuk mengembangkan keterampilan fisik dan mental siswa.
REFERENSI

Ariyono Suyono. (1985). Kamus Antropologi,. Jakarta : Akademi Persindo.

Harsono. (1976). Pengantar Antropologi. Bandung: Angkasa Offset.

Ihromi, T. O. (2006). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka


Obor.

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Tilaar, H. A. R. (2002). Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia.


PT. Remaja Rosdakarya.

Uno, H., & Lamatenggo, N. (2016). Landasan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai