Anda di halaman 1dari 9

2

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN SISTEM RELIGI

1. SISTEM

Sistem adalah suatu kesatuan perangkat unsur yang secara teratur saling
berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, susunan yang teratur dari
pandangan, teori dan asas. Menurut wikipedia berbahasa Indonesia, pengertian
sistem dalam pengertian yang paling umum adalah sekumpulan benda yang
memiliki hubungan di antara mereka. Kata sistem sendiri berasal dari bahasa
Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri
komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran
informasi, materi atau energi. Dibawah ini adalah pengertian sistem menurut para
ahli :

Anatol Raporot, sistem adalah suatu kumpulan kesatuan dan perangkat


hubungan satu sama lain.

C.W. Churchman. Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian


yang dikoordinasikan untuk melaksanakan seperangkat tujuan.

Edgar F Huse dan James L. Bowdict. Menurutnya sistem adalah suatu


seri atau rangkaian bagian-bagian yang saling berhubungan dan bergantung
sedemikian rupa sehingga interaksi dan saling pengaruh dari satu bagian akan
mempengaruhi keseluruhan.

J.C. Hinggins. Menurutnya sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang


saling berhubungan.

John Mc Manama. Menurutnya sistem adalah sebuah struktur konseptual


yang tersusun dari fungsi-fungsi yang saling berhubungan yang bekerja sebagai
suatu kesatuan organik untuk mencapai suatu hasil yang diinginkan secara efektif
dan efesien.
L. Ackof, sistem adalah setiap kesatuan secara konseptual atau fisik yang
terdiri dari bagian-bagian dalam keadaan saling tergantung satu sama lainnya.

L. James Havery. Menurutnya sistem adalah prosedur logis dan rasional


untuk merancang suatu rangkaian komponen yang berhubungan satu dengan yang
lainnya dengan maksud untuk berfungsi sebagai suatu kesatuan dalam usaha
mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan.

Ludwig Von Bartalanfy, sistem merupakan seperangkat unsur yang


saling terikat dalam suatu antar relasi diantara unsur-unsur tersebut dengan
lingkungan.

2. Religi

Asal-mula religi, para ahli biasanya mengganggap religi sebagai sisa-sisa


dari bentuk-bentuk religi yang kuno, yang dianut seluruh umat manusia pada
zaman dahulu, juga oleh orang eropa ketika kebudayaan mereka masih berada
pada tingkat yang primitif. Bahan etnografi mengenai upacara keagamaan dari
berbagai suku bangsa didunia dijadikan pedoman dalam usaha penyusunan teori-
teori tentang asal mula agama.

Prof. Dr. M. Driyarkara, S.J. mengatakan bahwa kata agama kami ganti
dengan kata religi, karena kata religi lebih luas, menganai gejala-gejala dalam
lingkungan hidup dan prinsip. Istilah religi menurut kata asalnya berarti ikatan
atau pengikatan diri. Oleh sebab itu, religi tidak hanya untuk kini atau nanti
melainkan untuk selama hidup. Dalam religi manusia melihat dirinya dalam
keadaan yang membutuhkan, membutuhkan keselamatan dan membutuhkan
secara menyeluruh.

Namun pada dasarnya religi berasal dari kata religare dan relegare (Latin).
Religare memiliki makna ”suatu perbuatan yang memperhatikan kesungguh-
sungguhan dalam melakukannya”. Sedangkan Relegare memiliki makna
”perbuatan bersama dalam ikatan saling mengasihi”. Kedua istilah ini memiliki
corak individual dan sosial dalam suatu perbuatan religius.

3
Menurut Leslie A. White, bahwa salah satu unsur yang membentuk religi
itu adalah keyakinan (beliefe) adalah salah satu bagian dari sistem ideologi, sistem
tersebut merupakan bagian dari kebudayaan.

Bagi Firth, bahwa keyakinan belumlah dapat dikatakan sebagai religi


apabilah tidak diikuti upacara yang terkait dengan keyakinan tersebut. Keyakinan
dan upacara adalah dua unsur penting dalam religi yang saling memperkuat.
Keyakinan menggelorakan upacara dan upacara merupakan upaya membenarkan
keyakinan.

Menurut Goldschmidt, upacara mengkomunikasikan keyakinan kepada


sekalian orang. Kedua tidak dapt dipisahkan, yang satu tidak terlepas dari yang
lainnya.

Konsep religi yang berkaitan dengan keyakinan dikemukakan


oleh Edward B. Tylor, yang melihat religi sebagai keyakinan akan
adanya makluk halus (belief in spiritual being). Konsep umum religi sering kali
berkaitan dengan konsep makluk halus (spiritual being) dan konsep kekuatan tak
nyata (impersonal power), makluk halus diyakini ada di sekitar manusia dan
kekuatan tidak nyata diyakini memberikan manfaat selain juga menimbulkan
kerugian dan bencana.

Koentjaraningrat (bapak antropologi indonesia) mendefinisikan religi


yang memuat hal-hal tentang keyakinan, upacara dan peralatannya, sikap dan
perilaku, alam pikiran dan perasaan disamping hal-hal yang menyangkut para
penganutnya sendiri.

Emile Durkheim mengartikan religi sebagai keterkaitan sekalian orang


pada sesuatu yang dipandang sakral yang berfungsi sebagai simbol kekuatan
masyarakat dan saling ketergantungan orang-orang dalam masyarakat yang
bersangkutan.

Myron Bromley, bahwa religi berbeda dengan agama. Religi menekankan


bentuk hubungan dengan obyek diluar diri manusia. Obyek bersifat polyteis, lokal
dan tidak berdasarkan wahyu tertulis. Sebaliknya agama lebih menekankan pada

4
bentuk hubungan dengan obyek yang bersifat monotheisme, universal dan
berdasarkan wahyu tertulis serta teruji dalam sejarah yang panjang.

Van Ball, mengatakan bahwa religi adalah semua gagasan yang berkaitan


dengan kenyataan yang tidak dapat ditentukan secara empiris dan semua gagasan
tentang perbuatan yang bersifat dugaan semacam itu, dianggap benar. Dengan
demikian, surga atau neraka dianggap benar adanya meski tidak dapat dibuktikan
keberadaannya. Dari pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan beberapa hal
penting tentang religi yaitu:

1)      Religi itu adalah sesuatu yang berkaitan dengan nila susila yang agung

2)      Religi itu memiliki nilai, dan bukannya sistem ilmu pengetahuan. Religi
juga sesuatu yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan rasio.

3)      Religi menyangkut pula masalah yang dimiliki manusia.

4)      Religi sangat mempercayai adanya Tuhan, hukum kesusilaan, dan roh yang
abadi.

Spencer, mengatakan bahwa awal mula munculnya religi adalah karena


manusia sadar dan takut akan maut. Berikutnya terjadi evolusi menjadi lebih
kompleks dan terjadi diferensiasi. Diferensiasi tersebut adalah penyembahan
kepada dewa; seperti dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa perang, dewa
pemelihara, dew kecantikan, dewa maut, dan lain sebagainya.

Sumber penting di dalam religi adalah adanya empat hal yang muncul
yang berkaitan dengan perasaan: yakni takut, takjub, rasa syukur, dan masuk
akal. Di dalam perkembangannya, animisme berubah menjadi politeisme, dan lalu
berubah menjadi monoteisme.

Dari uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa religi adalah suatu sistem
yang memperlihatkan adanya kesalinghubungan antar lima unsur yang ada
didalamnya yakni emosi keagamaan, sistem kepercayaan, sistem upacara
keagamaan, peralatan upacara dan kelompok keagamaan.

5
B. PERHATIAN ANTROPOLOGI TERHADAP SISTEM RELIGI

Sejak lama, ketika ilmu antropologi belum ada dan hanya merupakan
suatu himpunan tulisan mengenai adat‐istiadat yang aneh‐aneh dari suku‐suku
bangsa di luar Eropa, religi telah menjadi suatu pokok penting dalam biku‐buku
para pengarang tulisan‐tulisan etnografi mengenai suku‐suku bangsa itu.

Kemudian, waktu bahan etnografi tersebut digunakan secara luas oleh


dunia ilmiah, perhatian terhadap bahan mengenai upacara keagamaan itu sangat
besar. Sebenarnya ada dua hal yang menyebabkan perhatian yang besar itu, yaitu:

1.Upacara keagamaan dalam kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan


unsur kebudayaan yang tampak paling lahir.

2.bahan etnografi mengenai upacara keagamaan diperlukan untuk menyusun teori‐


teori tentang asal‐mula religi.

Para pengarang etnografi yang datang dalam masyarakat suatu suku


bangsa tertentu, akan segera tertarik akan upacara‐upacara keagamaan suku
bangsa itu, karena upacara‐uapacara itu pada lahirnya tampak berbeda sekali
dengan upacara keagamaan dalam agama bangsa‐bangsa Eropa itu sendiri, yakni
agama Nasrani. Hal‐hal yang berbeda itu dahulu dianggap aneh, dan justru karena
keanehanya itu menarik perhatian. Masalah asal‐mula dari suatu unsur universal
seperti religi, artinya masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu
kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi dari padanya, dan mengapa manusia
itu melakukan berbagai hal dengan cara‐cara yang beraneka warna, untuk
berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan‐kekuatan tadi, telah lam
menjadi pusat perhatian banyak orang di Eropa, dan juga dari dunia ilmiah pada
umumnya.

Dalam usaha untuk memecahkan masalah asal‐mula religi, para ahli


biasanya menganggap religi suku‐suku bangsa di luar Eropa sebagai sisa‐sisa dari
bentuk‐bentuk religi yang kuno, yang dianut seluruh umat manusia dalam zaman
dahulu, juga oleh orang Eropa ketika kebudayaan mereka masih berada pada
tingkat yang primitif. Dalam memecahkan soal asal‐mula dari suatu gejala, sudah

6
jelas orang akan melihat kepada apa yang dianggapnya sisa‐sisa dari bentuk‐
bentuk tua dari gejala itu. Dengan demikian bahan etnorgafi mengenai upacara
keagamaan dari berbagai suku bangsa di dunia sangat banyak diperhatikan dalam
usaha penyusun teori‐teori tentang asal‐mula agama.  

C. UNSUR-UNSUR DASAR SISTEM RELIGI

Berdasarkan teori asal mula religi, dapat di lihat bahwa masing masing
ahli memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun dari bentuk-bentuk religi
paling tidak terdapat lima unsur dasar religi yaitu:

1. Emosi Keagamaan

Merupakan getaran jiwa yang pernah di rasakan manusia dalam jangka


waktu hidupnya yang mendorongnya berperilaku religi. Munculnya emosi
keagamaan pada diri manusia dapat di karenakan beberapa hal, diantaranya
kekuatan keyakinan adanya firman tuhan, kesadaran akan adanya kekuatan
supranatural, adanya mahluk halus, adanya krisis dalam kehidupan, keyakinan
adanya gejala alam.

2. Sistem kepercayaan

Dalam religi berhubungan dengan bayangan manusia terhadap dunia gaib.


Mahluk dan kekuatan yang di anggap menduduki dunia gaib. Sistem kepercayaan
ini dapat berupa konsepsi tentang faham faham yang hidup terlepas dalam pikiran
orang tetapi juga bisa berupa konsepsi konsepsi dan faham faham yang
terintegrasikan kedalam dongeng dongeng aturan aturan tersebut biasanya
dianggap bersifat Kramat dan merupakan kesusastraan dalam religi.

3. Sistem Upacara Keagamaan (religius ceremonias system)

Merupakan kelakuan keagamaan yang di laksanakan sesuai dengan tata


kelakuan yang berlaku dengan urutan urutan yang tidak boleh di bolak balik.
Dalam upacara keagamaan terdapat empat komponen yaitu: 1)tempat upacara
(masjid,gereja,dll). 2) makam, tempat tempat yang di anggap sakral, kuburan, 3)
waktu upacara(pergantian siang-malam,musim,hari,dan bulan tertentu). Sebagai

7
contoh: sebuah Genta kecil yang di pegang oleh seorang pendeta/pedande dengan
membaca doa pada saat upacara. Bentuk bentuk upacara keagamaan diantaranya,
bersaji, berdoa,berkorban,berpuasa,intoxinasi,dan bersemedi. Perayaan korban
adalah sebuah peristiwa yang sangat menggembirakan, menurut Robertson setiap
upacara korban pada mulanya adalah upacara kelompok,kekerabatan dan
penyembelihan binatang korban pada mulanya adalah tindakan yang di larang dan
hanya di benarkan jika seluruh kelompok mempertanggungjawabkan nya.

4. Peralatan/Perlengkapan Upacara

Menjadi salah satu komponen penting dalam upacara,bisa jadi


benda/peralatan perlengkapan tsb hanya benda benda yang di pergunakan dalam
kehidupan sehari-hari.

5. Kelompok Keagamaan (community religius)

Merupakan kesatuan kemasyarakatan yang mengonsepsikan dan


mengaktifkan sesuatu religi beserta sistem upacara keagamaannya.

Kesatuan masyarakat yang menjadi pusat aktivitas religi dapat berupa:

• keluarga inti/kelompok kekerabatan kecil

• kelompok kelompok kekerabatan unilineal yang besar seperti klen.

• kesatuan hidup setempat/komunitas.

• kesatuan kesatuan sosial dengan orientasi yang khas.

Untuk mengetahui kerangka dasar hubungan antara unsur dalam sistem


religi berikut fungsi unsur unsur religi yang di kemukakan oleh
koentjaraningrat(1974-270-272).

Berdasarkan matriks dapat di kemukakan beberapa hipotesis dasar yaitu:


1) emosi keagamaan akan menentukan sifat sifat ulah yang di ikuti dan yang di
kasihi dalam unsur keyakinan dan sebaliknya akan memberikan corak kedalaman
emosi religius. 2) emosi keagamaan akan memberikan tingkat kesyahduan dan
kesungguhan upacara dan akan menentukan kedalaman emosi religius. 3) emosi
keagamaan akan menetapkan nilai ekstrim sok segala peralatan dan simbol. 4)

8
emosi keagamaan akan memberikan corak kesungguhan. 5) isi keyakinan juga
akan menentukan macam baik kuantitas dan kualitas. 7) isi keyakinan akan
menentukan macam klasifikasi Petugas keagamaan. 8) upacara akan
memantapkan status orang serta mengentalkan ikatan sosial. 10) peralatan dan
benda benda upacara akan memantapkan status sosial peyakin.

D. BENTUK-BENTUK SISTEM RELIGI


1. Fetishisme

kepercayaan akan adanya jiwa pada benda-benda tertentu lalu melahirkan


aktivitas-aktivitas religi guna memuja benda-benda jiwa tersebut. Contohnya,
sebagian masyarakat Jawa memiliki tradisi ‘memandikan’ keris/pusaka pada
bulan suro. Ada keyakinan jika tidak melakukan hal tersebut keris/pusaka akan
hilang atau dapat mencelakai pemiliknya.

2. Animisme

Kepercayaan bahwa di alam sekeliling tempat tinggal manusia didiami


berbagai macam ruh. Kepercayaan ini melahirkan pemujaan terhadap roh-roh.
Contohnya, animisme pada masyarakat Dayak di Borneo (Kalimantan), orang-
orang koyak di Asia. Masyarakat melihat dirinya sebagai bagian dari alam.
Bentuk religi ini di temukan pada suku bangsa yang hidupnya berburu dan
meramu. Bagi mereka hutan-hutan penuh dengan segala macam roh.

3. Animatisme

Sistem kepercayaan bahwa benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di


sekeliling manusia itu memliki jiwa dan bisa berfikir seperti manusia. Dalam
kamus lengkap Psikologi (1997:29) animatisme merupakan suatu kepercayaan
primitif yang menghubungkan kehidupan dengan benda-benda mati.

4. Pra-animisme (dinamisme)

Kepercayaan pada kekuatan sakti yang ada dalam segala hal yang luar
biasa dan terdiri dari aktivitas religi yang berpedoman pada kepercayaan tesebut.

9
5. Totemisme

Bentuk religi dalam masyarakat yang teridir dari kelompok-kelompok


kekerabatan yang unlineal, mereka meyakini berasal dari nenek moyang yang
satu. Masing-masing kelompok memiliki tanda/lambang (totem) yang berbeda-
beda, berupa binatang, tumbuh-tumbuhan, gejala alam atau benda yang
melambangkan dewa nenek moyangnya.

Totem bukan saja sebagai sistem agama, tetapi juga sebagai sistem sosial
karena ia terdiri dari kewajiban timbal balik antara anggota kelompok lain dengan
yang lain. Totem dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu (1) Totem suku, yang
dimiliki bersama oleh satu suku dan diwariskan dari generasi ke generasi; (2)
Totem jenis kelamin; (3) Totem individu.

6. Politheisme

Kepercayaan pada satu sistem yang luas dari dewa-dewa dan terdiri dari
upacara pemujaan dewa-dewa. Dewa dan dewi merupakan makhluk yang
dianggap mengendalikan alam semesta serta menguasai alam-alam tertentu dari
alam semesta.

7. Monoteisme

Monoteisme merupakan bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada


satu tuhan dan terdiri dari upacara-upacara guna memuja Tuhan. Contohnya
agama islam.

8. Mistik

Mistik adalah bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada satu tuhan 


yang dianggap meliputi segalah hal dalam alam semesta. Sistem kepercayaan ini
terdiri dari upacara-upacara yang bertujuan mencapai kesatuan dengan tuhan.

10

Anda mungkin juga menyukai