Anda di halaman 1dari 1

Barangkali untuk memulai pembicaraan antara filsafat dan teknologi kita mesti berangkat dari

banyaknya pandangan yang seolah memposisikan bahwa teknologi itu adalah sesuatu yang terpisah dari
kehidupan manusia. Maksudnya, teknologi dianggap sebagai objek yang berada di luar manusia. Semisal,
kita menganggap bahwa perkembangan teknologi dan informasi seperti penciptaan teknologi android di
handphone bisa melampaui pemikiran manusia. Bahkan, pembicaraan kontemporer sekarang sedang
diramaikan dengan kekhawatiran dimana android yang menjelma dalam Artificial Intelligence (AI) akan
mampu hidup seperti manusia. Film Terminator yang menggambarkan sosok AI yang terbentuk menjadi
robot dan bertujuan untuk menghancurkan spesies manusia kiranya merupakan sebuah analogi yang
cukup bagus untuk melihat kekhawatiran ini.
Namun, menurut Budi Hartanto dalam bukunya Dunia Pasca Manusia pemisahan antara
teknologi dan manusia kiranya sesuatu hal yang cukup berlebihan. Budi Hartanto menjelaskan alih-alih
dipisahkan justru teknologi itu sangat lekat dengan manusia. Bagi Budi Hartanto teknologi itu tak lebih
daripada kepanjangan tubuh manusia. Kita secara tidak sadar bahwa bentuk-bentuk teknologi sepanjang
sejarah tidak lebih daripada kelangsungan yang terdapat pada anatomi manusia. Teleskop dibuat justru
untuk melepaskan batas indera penglihatan manusia. Alat bajak, cangkul, dsb, yang berada di sektor
agraria tidak lebih daripada perpanjangan otot manusia. Mobil dan motor diciptakan agar kaki manusia
melampaui batasannya. Dan, teknologi kontemporer sekarang berusaha menggapai jauh dan melebarkan
potensi manusia terutama dalam imajinasi. Game, film, ataupun internet yang berkembang di abad kita
sekarang merupakan usaha manusia agar imajinasinya mampu untuk direalisasikan dalam wujud material.
Oleh karena itu persoalan teknologi yang dibuat sebagai objek terpisah dari manusia merupakan sesuatu
yang berlebihan.
Atas pengertian posisi yang demikian kiranya filsafat yang melekat pada persoalan pola pikir
manusia masih cukup berpengaruh pada persoalan teknologi. Sebagai contoh akan hal ini dapat dilihat
dari masalah mengenai moralitas yang berada dalam kehidupan teknologi. Kita tahu teknologi selain
daripada sesuatu hal yang penting untuk meningkatkan potensi tubuh manusia, disisi lain ia juga mampu
berpotensi untuk menghancurkan segalanya. Jika tangan selain digunakan untuk membantu, ia juga bisa
memukul manusia yang lainnya. Perkembangan atas kekuatan tangan manusia yang ditujukan pada hal
yang bersifat destruktif, memunculkan teknoogi militer, seperti panah, pistol, sampai bom nuklir
sekalipun. Jika manusia mempunyai suatu sisi moral akan baik dan buruk, maka hal itu juga berlaku pada
teknologi sebagai hal yang melekat pada tubuh manusia.
Beberapa dasawarsa ini, setelah melampaui perang dunia ke-II, Era perang dingin, dan menuju
abad 21, teknologi lebih banyak dikembangkan pada persoalan militer. Tahun 1945 ketika Amerika
Serikat mampu membuat teknologi bom Atom, serta menghanguskan ratusan ribu masyarakat Jepang,
selanjutnya hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai etika teknologi itu sendiri. Mengapa kiranya
manusia membuat bom atom, alih-alih teknologi Atom itu sendiri dibuat untuk hal lain yang sangat
berguna demi kepentingan manusia. Entah itu membuat teknologi Atom ke arah medis (radiologi
misalnya), atau juga memberi energy alternatif masa depan manusia (PLTN misalnya). Pertanyaan-
pertanyaan mengenai arah teknologi itu sendiri sebenarnya secara implisit mengandung pemikiran soal
etika. Dan etika ini sebagaimana kita tahu merupakan problem dari filsafat.
Oleh sebab itu, dikarenakan teknologi merupakan perpanjangan dari hidup manusia itu sendiri,
persoalan filsafat dan teknologi selamanya tidak akan dipisahkan satu sama lain. Fisafat merupakan
bagian dari kehidupan manusia, begitu juga teknologi yang merupakan hasil kreasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai