Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam karya tulis ini kami mendapat tema tentang “IDEOLOGI
AGAMA”.karna ideology agama ini dapat memberikan pengetahuan tentang etika
bagaimana berperilaku yang baik dikehidupan sehari-hari. Seiring dengan banyak
terjadi konflik antar agama yaitu fakta yang terjadi di Indonesia demi misi ideology
kelompok masing-masing.
Konsep tentang agama perlu dipertanyakan kembali karena dalam konstalasi
zaman, ideologi bertabrakan, dengan jahatnya ideologi terselubung lewat agama yang
sulit dikendalikan karena sangat akut, konflik tidak hanya terjadi dalam
polemik/kontroversi wacana yang terjadi dalam teks melainkan juga secara riil telah
nampak diermukaan bumi dan sangat telanjang. Karena masing-masing paham
memiliki sudut pandang yang berbeda dan juga relevansinya dengan ideologi
masing-masing. Konsekuensi logisnya suatu penyampaian terdistorsi, yang
seharusnya berada di wilayah agama kini ditempatkan pada wilayah teks, karena
setiap tokoh paham mempunyai hak provieles dan sebagai masyarakat yang awam
tidak dapat memberikan negasi mutlak. Indikasinya masyarakat selalu terpatologi
bahkan menjadi panismen ideologi paham.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penyusun merumuskan
rumusan masalah sebagai berikut.
1. Apa itu ideologi ?
2. Apa itu ideologi Islam?
3. Apa saja karakteristik ideologi Islam?
4. Bagaimana sifat ideologi Islam?

1
C. Tujuan Penulisan Makalah
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, makalah ini disusun
dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan:
1. Untuk mengetahui apa itu ideologi;
2. Untuk mengetahui apa itu ideologi Islam;
3. Untuk mengetahui karakteristik ideologi Islam;
4. Untuk mengetahui sifat dari ideologi Islam;

D. Manfaat Penulisan Makalah


Makalah ini disusun dengan harapan dapat memberikan manfaat
bagi penyusun maupun pembaca. Manfaat yang dapat dirasakan penyusun
yaitu sebagai penambahan wawasan dan pengetahuan konsep keilmuan
yang sedang dipelajarinya. Sedangkan manfaat yang diharapkan kepada
pembaca yaitu sebagai media informasi tentang ideologi Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka
1. Ideologi Agama

Agama sebagai Ideologi pada tataran individu, etika berfungsi

sebagai proses awal pembentukan indentitas. Konstruksi identitas akan

memberikan kesadaran untuk mempercayai segala kebenaran yang

disampaikan oleh suatu agama. Jika seorang penganut agama sudah punya

kesadaran tentang identitasnya dalam suatu agama, maka komitmennya

pada agama tidak akan diragukan lagi. Dapat dikatakan bahwa militansi

seorang penganut agama berawal dari pembentukan identitas pada dirinya.

Adanya identifikasi spesifik di antara anggota kelompok. Termasuk

masalah komitmen di antara mereka dapat kita lihat pada cerita

kepahlawanan ataupun perilaku yang menidentikan perlawanan antara

yang baik dan jahat. Tradisi keagamaan selalu menunjukkan bahwa Tuhan

tidak suka pada beberapa perilaku yang dianggap salah dan juga

memberikan restu pada perilaku yang dianggap benar. Konsep ini juga

memberikan pemahaman untuk memberikan reward pada pelaku agama,

yang benar diberikan pahala sedangkan yang salah diberikan dosa.

Identitas kelompok (agama) inilah yang menjadikan awal ideologisasi

agama bagi pemeluknya. Ideologi sendiri berfungsi untuk mempengaruhi

3
kehidupan suatu kelompok agar sesuai dengan apa yang telah digariskan

sejak awal oleh agama tersebut. Di sisi lain pada tingkat lebih lanjut

identitas agama memberikan harapan besar bagi masyarakat untuk maju,

karena membentuk moral personal dan juga solidaritas bagi masing-

masing pemeluk agama. Namun demikian, sebagaimana ideologi, agama

tidak akan serta-merta dipercaya oleh para penganutnya, dalam keadaan

ini konstruksi identitas memberikan pengamanan akan keraguan tersebut.

Hingga penerimaan akan sebuah kepercayaan mutlak dan mesti dilakukan.

Pada dataran inilah kebanyakan pemerhati keagamaan memetakan asal-

mula tindakan kekerasan atas nama agama muncul. Menurut penulis

sendiri agama sebagai Ideologi tidaklah menjadi pokok persoalan, ketika

ideologisasi ini mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi

hidup di dunia dan akhir nanti. Karena memang setiap agama menawarkan

rasa aman kepada pengikutnya. Tentunya perasaan seperti inilah yang

dicari oleh setiap pengikut agama. Rasa aman memberikan ketenangan

kepada manusia akan kehidupan setelah mati, seperti apa yang selalu di

informasikan oleh setiap agama di dunia ini. Permasalahannya adalah

pembenaran tindak kekerasan terhadap kelompok lain.

2. Agama Sebagai Ideologi

Pada tataran individu, etika berfungsi sebagai proses awal

pembentukan indentitas. Konstruksi identitas akan memberikan kesadaran

untuk mempercayai segala kebenaran yang disampaikan oleh suatu agama.

Jika seorang penganut agama sudah punya kesadaran tentang identitasnya

4
dalam suatu agama, maka komitmennya pada agama tidak akan diragukan

lagi. Dapat dikatakan bahwa militansi seorang penganut agama berawal

dari pembentukan identitas pada dirinya.

Adanya identifikasi spesifik di antara anggota kelompok.

Termasuk masalah komitmen di antara mereka dapat kita lihat pada cerita

kepahlawanan ataupun perilaku yang menidentikan perlawanan antara

yang baik dan jahat. Tradisi keagamaan selalu menunjukkan bahwa Tuhan

tidak suka pada beberapa perilaku yang dianggap salah dan juga

memberikan restu pada perilaku yang dianggap benar. Konsep ini juga

memberikan pemahaman untuk memberikan reward pada pelaku agama,

yang benar diberikan pahala sedangkan yang salah diberikan dosa.

Identitas kelompok (agama) inilah yang menjadikan awal ideologisasi

agama bagi pemeluknya. Ideologi sendiri berfungsi untuk mempengaruhi

kehidupan suatu kelompok agar sesuai dengan apa yang telah digariskan

sejak awal oleh agama tersebut. Di sisi lain pada tingkat lebih lanjut

identitas agama memberikan harapan besar bagi masyarakat untuk maju,

karena membentuk moral personal dan juga solidaritas bagi masing-

masing pemeluk agama. Namun demikian, sebagaimana ideologi, agama

tidak akan serta-merta dipercaya oleh para penganutnya, dalam keadaan ini

konstruksi identitas memberikan pengamanan akan keraguan tersebut.

Hingga penerimaan akan sebuah kepercayaan mutlak dan mesti dilakukan.

5
Pada dataran inilah kebanyakan pemerhati keagamaan memetakan asal-

mula tindakan kekerasan atas nama agama muncul.

3. Ideologi dan Materi

Sebelum membicarakan soal akal dan dunia obyektif, ada baiknya

kita simak teori tentang ideologi. Dalam aliran filsafat idealisme

dinyatakan bahwa yang nyata itu adalah ide, sedangkan realitas empiris

atau dunia di luar pikiran manusia adalah hasil konstruksi pikiran. Dari

penjelasan ini nampak bahwa orang tidak tahu apakah apa yang ada di

dalam pikiran manusia itu ada pula di dunia empiris? Karenanya aliran

filsafat idealisme yang tidak ekstrem mengatakan bahwa kalau pun dunia

empiris itu ada, namun sudah merupakan hasil rekonstruksi kesadaran

manusia. Adanya dunia empiris tergantung si penafsir, demikian kira-kira

penjelasan singkatnya

Oleh karena itu, menurut aliran tersebut,  ideologi jauh lebih

penting dibandingkan dunia empiris. Untuk merubah dunia, kesadaran

manusia lah yang menjadi titik intinya. Aliran filsafat idealisme ini

berbeda dengan aliran filsafat materialisme yang mengatakan bahwa dunia

materi lah yang nyata, sedangkan ide hanyalah di awang-awang. Filsafat

materialisme-historisme inilah yang mengilhami Marx untuk melahirkan

teori konflik kelas.

Titik tengah dari dua aliran filsafat tersebut menyatakan bahwa ide

bergerak bebas dan materi bergerak mengikuti hukum alam. Karenanya

perubahan sosial dan sejarah manusia mengikuti perkembangan alam

6
materi atau karena ada ide dan campur tangan pemikiran manusia, untuk

menentukan arah gerak perubahan.

Dari gambaran ringkas tersebut sekarang kita kembali kepada

persoalan, apakah kitab suci atau agama secara otomoatis sanggup

“mengislamkan” manusia? Tentu jawabnya tidak. Untuk menyelamatkan

manusia dan alam semesta, Allah SWT nampaknya suka “berteater”

dengan manusia. Karenanya Allah tidak langsung “mengislamkan” seluruh

umat manusia secara otomatis lewat firmanNya di dalam kitab suci

(meskipun Allah bisa), tapi manusia diberi “bahan” yang berupa kitab suci

dan akal, agar berdialektika. Dengan kata lain, agar manusia bisa Islam

yang sejati, maka diberilah akal pikiran. Allah sudah berfirman bahwa

manusia adalah sebaik-baik makhluk (ahsani taqwim). Kitab suci dan

agama menyediakan resep dan kemungkinan-kemungkinan, oleh

karenanya, manusia dengan akalnya harus menangkapnya agar dapat

diobyektifkan di dunia nyata.

Kalau “resep” di kitab suci tersebut tidak ditangkap oleh akal pikiran,

maka kitab suci tersebut hanya seonggok benda mati yang berupa kertas

belaka. Bagaimana agar akal dapat berpikir sesuai kehendakNya? Allah

juga memberi hati kepada manusia agar bisa ikut mengendalikan akal

dengan jalan mengasah radar kepekaan spiritual kita. Jalan untuk

misalnya, manusia disuruh sholat, puasa, zakat dan berhaji. Dalam sholat

misalnya, selalu kita ucapkan “Ya Allah tunjukkan aku ke jalan yang lurus

7
(menegakkan)”. Ini artinya akal kita dimohonkan agar dapat digunakan

untuk menuju jakan yang lurus tersebut.

Meminjam istilah dalam teori struktural-historisme yang dicelotehkan

ilmuwan Brazil Cardoso, sejarah itu digerakkan oleh dua unsur, yakni

kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh dunia obyektif atau

kondisi struktural yang berubah mengikuti hukum-hukum obyektif yang

ada di luar kesadaran manusia. Pada sisi lain ada kondisi historis yang ada

pada waktu kemungkinan-kemungkinan itu diberikan, yang berupa

kekuatan-kekuatan sosial yang ada yang juga berubah sepanjang sejarah.

Jadi ke arah mana kondisi obyektif itu berubah tergantung sejauhmana

kesadaran manusia  digerakkan. Jadi ideologi itu merupakan semacam

“mercu suar” untuk memandu ke arah mana dunia digerakkan. Ideologi ini

tidak diperoleh dari dunia obyektif namun dari rekonstrukjsi kesadaran

kita.

Oleh karena itu, dalam beragama, akal pikiran harus digunakan untuk

menafsirkan dan merekonstruksi kesadaran ke arah mana Allah

mengajarkan kita agar nanti kembali kepadaNya (ilaihi rojiun), setelah

manusia hidup melalui dunia ini. Jadi apapun yang kita kerjalan di dunia

ini, ujungnya harus kembali kepadaNya. Kuncinya, manusia harus dapat

mendialektikkan antara: akal, hati dan nafsu (syahwat).

Agar akal dapat digunakan menafsirkan kitab suci untuk menggerakkan

hidup di dunia yang menuju kepadaNya, maka kita harus selalu peka

mengasah ”radar” jiwa dan batin kita, dan mampu mendialektikkan dengan

8
hati dan nafsu. Ibadah mahdoh seperti sholat, puasa, zakat, dan haji adalah

metode yang ampuh untuk mengasah ”radar” kepekaan tersebut. Kita

harus rajin ber-iqra, dan rajin untuk memaksa diri kembali kepada jati

dirinya, yakni manusia yang fitri.

Kalau ia sudah beragama, namun masih korup dan berbuat

kebatilan, maka ia belum kembali kepada kefitrian dan belum kembali ke

rumah Allah. Islam adalah agama dunia sekaligus akherat, dan ini tidak

dapat dipisahkan antara tauhid vertikal dan horizontal. Tidak bisa Allah

diajak kalkulasi, kita korupsi 10 ribu, jika yang 5 ribu kita sumbangkan ke

masjid maka dosa kita hapus. Karena Islam adalah agama dunia-akherat,

maka tidak ada keterpisahan. Dengan kata lain, yang ideal adalah

menjalankan segala tugas duniawi (jadi guru, dosen, budayawan,

tukang nggamel, pemusik, penyanyi, pejabat, bupati, gubernur, presiden,

blantik sapi, tukang ojeg, pengamen, dst) untuk di arahkan selalu ke rumah

Allah.

Kata Al Ghazali : ”Menjadi sufi itu tidak menolak dunia ini,

mereka juga tidak memandang bahwa nafsu duniawi harus dimatikan.

Mereka hanya ingin mendisiplinkan keinginan-keinginan yang tidak

berkesesuaian dengan kehidupan agama dan perintah suara akal. Mereka

tidak melemparkan semua hal itu di dunia ini, mereka juga tidak

mengikutinya dengan balas dendam.Involusi Religiusitas Singkat kata,

kehebatan menjalankan syariat agama ternyata tidak paralel

dengan outputsosial seseorang. Saya kira hal ini tidak hanya dialami umat

9
muslim saja, namun juga umat beragama lainnya. Mestinya setelah selesai

menjalankan ritual, maka harus terwujud dalam kehidupan keseharian.

Yang terjadi saat ini adalah perumitan bentuk-bentuk syariat, atau

semangat menjalankan syariat agama, namun tidak terjadi peningkatan

efek sosialnya.

Karenanya saya menyebutnya dengan istilah involusi religiusitas.

Istilah ini barangkali tidak tepat, namun hanya sekadar menggambarkan

dengan ”idiom” saja agar mudah dipahami. Istilah involusi sebenarnya

digunakan oleh Geertz dalam bidang pertanian, yang intinya adalah sebuah

proses perubahan masyarakat yang mengalami kegagalan, terutama dalam

membentuk pola-pola baru. Akibatnya masyarakat gagal menstabilkan diri

menjadi bentuk yang definitif bahkan justru yang terjadi adalah perumitan

bentuk.

Meski tidak tepat benar jika ini diterapkan dalam kehidupan

beragama, namun jika melihat ciri-ciri kehidupan umat beragama saat ini,

boleh jadi teori Geertz tersebut dapat digunakan. Realitas kehidupan

beragama itu misalnya:

 Pertama, banyak bentuk-bentuk baru syariat dengan tafsir baru

pula, bahkan terlalu  bersemangat sehingga yang terjadi adalah saling

klaim kebenaran dan ujungnya meng-kafir-kan yang lain hingga terjadi

konflik berdarah. Semangat menggunakan simbol-simbol keagamaan,

seperti baju, jubah, jilbab, tasbih di tangan, kursus sholat khusyu`,

pengajian di hotel dst, namun tidak berdampak terhadap kehidupan

10
keseharian. Bahkan banyak koruptor yang menggunakan simbol itu ketika

diadili, seperti selalu memegang tasbih atau tiba-tiba berjilbab.

 Kedua, semakin rumitnya interaksi sosial antar-aliran atau mazhab,

bahkan terjadi pengkotak-kotakan organisasi keagamaan yang

semangatnya—sadar atau tidak– adalah bersaing dalam mendapatkan

”laba” duniawi dan kekuasaan. Banyak ustadz atau kiai ”dadakan” yang

justru ”membisniskan” dakwah, dsb.

 Ketiga, banyak muncul agamawan yang hebat ilmu agamanya atau

ilmu fiqh-nya, namun tidak memiliki pengetahuan umum yang memadai.

Akibatnya, mereka tidak dapat dijadikan panutan umat. Fatwa yang

muncul hanyalah fatwa yang terkait rakyat kecil (misalnya mengemis

haram,Facebook haram, makanan ini haram, dst). Jarang ada fatwa

bagaiamana jika anggota DPR membolos atau ngelencer ke luar negeri,

atau fatwa yang terkait dengan masalaha kenegaraan yang berdampak

terhadap kehidupan rakyat.

Mestinya ada perbedaan yang signifikan antara negara yang

mayoritas penduduknya tekun menjalankan syariat agama, dengan negara

yang ”sekuler”. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni negara yang

kelihatannya sekuler, namun dalam kesehariannya justru sangat ”Islami”,

mulai dari kedisiplinan masyarakatnya, kebersihan yang terjaga, saling

menolong, malu dan mengundurkan diri jika korup, sangat amanah

terhadap tugasnya, semangat mengembangkan iptek (iqra` dalam bahasa

Quran-nya, dst).

11
B. Pembahasan

1. Pengertian Ideologi
Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ideologi memiliki arti
Kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang
memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup, cara berpikir seseorang atau
suatu golangan, Paham, Teori dan Tujuan yang merupakan satu program sosial
politik.

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan


oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains  tentang
ide“. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara
memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat
Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi
politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh
anggota masyarakat. Tujuan untama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan
perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran
abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik
sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran
politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir
yang eksplisit.(definisi ideologi Marxisme).

2. Pengertian Ideologi Islam


Ideologi yang menjadikan Islam sebagai pedoman di seluruh lapangan
kehidupan, material dan spiritual. Akidah masyarakat dalam ideologi Islam harus
islami. Begitu juga semboyan hidupnya, paham dan pikirannya yang Islami.
3. Karakteristik ideologi Islam
a. Segi Moral dan Spiritual, yaitu dengan ideologi Islam sebagai sistem,
maka sistem inilah yang mengetahui fitrah manusia, yang menghargainya
dengan penghargaan yang sesuai, yang menyiapkan santapan dan
tempatnya yang cocok sehingga tumbuh dan berbuah dengan seizin
Tuhannya. Dan ini tidak dapat dilakukan, kecuali dengan ilmu yang

12
bermanfaat, iman yang benar, ibadah yang tulus dengan budi pekerti yang
terpuji. 
b. Segi Pendidikan dan Kebudayaan: Allah SWT telah memuliakan manusia
dengan aka dan kemampuan belaja dan ilmu pengetahuan adalah sebagai
dasar dicalonkannya manusia untuk menjadi khalifah di muka Bumi.
Karenanya Islam datang menyuruh kita untuk merenung, berpikir, dan
memperingatkan peniruan secara membuta dan sikap jumud, sehingga
berpikir dan belajar adalah kewajiban dalam Islam. Islam juga memuji
ilmu pengetahuan, sehingga orang-orang yang berilmu pengetahuan,
Islam menjadikannya sebagai pewaris para Nabi.
c. Segi Sosial: Islam sebagai Ideologi dalam bidang sosial sangat cocok
dikarenakan Islam merupakan agama sosial. Ia bertujuan membentuk
masyarakat individu yang saleh. Bahkan Islam berpendapat bahwa
kesalehan masyarakat adalah sesuatu yang lazim bagi kesalehan individu
dan kedudukannya, seperti tanah yang subur unuk menumbuhkan dan
mengembangkan biji-bijian.

4. Sifat ideologi Islam


a) Abadi dan Dinamis

“Dan kami tidak mengutusmu kecuali untuk seluruh manusia sebagai


pemberi harapan dan ancaman”. [QS. Al-Anbiya’ (21): 107]

Islam adalah agama masyarakat dunia. Ia tidak diperuntukkan


kepada bangsa manusia tertentu. Ia tidak terbatas pada satu kawasan bumi.
Ia diturunkan hanya untuk seluruh umat manusia, di seluruh pelosok
dunia. “Ia tidak lain hanyalah dzikr (peringatan) bagi semua alam”.[QS.
Shaad (37): 87] Islam adalah agama terakhir untuk umat manusia. Mereka
tidak akan lagi menerima misi dari langit selain misi Islam, sampai dunia
ini menemui hari kehancurannya. Maka itu, nabi Islam adalah khotamul
anbiya, nabi terakhir yang diutus Allah swt. “Sesungguhnya Muhammad
bukanlah ayah seorangpun dari kalian, tetapi dia adalah rosul Allah dan
nabi terakhir”.[QS. Al-Ahzab (33): 40]

13
Islam adalah agama yang peduli pada manusia dengan segenap
kapasitasnya; sebagai raga ataupun ruh, sebagai individu, kepala keluarga,
ataupun anggota masyarakat, sebagai pengusaha yang mempertahankan
dan mencukupi hidupnya, ataupun budak yang tulus pada Tuhannya,
sebagai penegak perdamaian di antara sesamanya ataupun pengobar api
peperangan. Islam adalah agama yang mengatur dan menata semua aspek
kehidupan.Islam dan Realitas Kehidupan

Dalam pada itu, disepakati atau tidak bahwa kehidupan manusia


sendiri tidak statis, tidak jumud, tetapi bergerak dan berubah-ubah.
Pergerakan dan perubahan ini mencakup seluruh sisi dzahir kehidupan
manusia, sisi-sisi fisikal dan hubungan interaktif antarmanusia, serta
dialog antarpikiran mereka. Sesungguhnya pergerakan dan perubahan itu
pula yang mengantarkan makhluk-makhluk hidup dan aspek-aspek dzahir
kehidupan mereka kepada kemajuan pada suatu saat, dan kepada
kemunduran pada saat lain.

Dengan demikian, kalau benar Islam ini agama global yang


memperdulikan kehidupan manusia dengan segenap aspeknya, tentunya ia
harus menunjukkan sikap yang jelas dan tegas terhadap setiap perubahan
yang mengarah pada kemajuan ataupun pada kemunduran. Jadi,
permasalahanya cukup jelas, apakah sikap Islam?

Sekali lagi, Islam adalah agama terakhir umat manusia. Maka, ia


abadi selama ada manusia yang tersisa di muka bumi ini. Kendati
demikian, keabadian Islam tidak berarti bahwa agama ini selalunya
mengambil sikap pasif atau negatif terhadap setiap perubahan yang terjadi
pada umat manusia dan aspek-aspek kehidupannya. Islam bahkan berperan
aktif dan positif di dalam semua itu. Islam akan menampung dan
mengembangkan sekup dan skalanya jika perubahan itu benar-benar
membantu manusia dan hidupnya untuk kemajuan dan pencerahannya.

14
Begitu pula, Islam akan menolak dan melawan segala arus perubahan yang
benar-benar memisahkan manusia dari tujuan-tujuan luhur yang
dikehendaki oleh Allah swt untuknya.

Maka, Islam tidak membekukan kehidupan manusia dari segala


bentuk, jalur, dan caranya, selama tidak melampaui batas-batas tertentu.
Bahkan, ia memberikan kesempatan luas kepada manusia untuk
melangsungkan pengembangan, pembangunan dan kemajuan.

b) Dalam hal ini ada dua macam perubahan

Perubahan yang terjadi pada aspek-aspek dzahir kehidupan


manusia kadangkala menyentuh alam materi yang menghampari manusia,
dan kadangkala menyentuh tatanan sosial, ekonomi dan politik hidupnya.

 Perubahan macam pertama tampak jelas pada usaha-usaha manusia jaman


sekarang ini untuk kemajuan dan terobosan-terobosan luar biasa dalam
tehnik-tehnik pemanfaatan dan pemberdayaan alam materi. Penguasaan
dan eksploitasi manusia atas alam ini diusahakan guna melengkapi sarana-
sarana hidup kesehariannya. Di sini, Islam tidak menunjukkan pandangan
negatif terhadap kemajuan material yang dicapai manusia sekarang ini,
bahkan mengajak manusia muslim untuk memanfaatkannya dan
berpartisipasi serta berkreasi dalam bidang-bidangnya, karena kemajuan
itu bukanlah musuh bagi perkembangan dan pembangunan peradaban.
 Perubahan macam kedua terjadi pada tatanan-tatanan sosial, sistem-sistem
ekonomi dan politik modern yang melahirkan peradaban Barat dan
mengilhamkan serangkaian konsep ke dalam pikiran manusia di sana
tentang dunia, kehidupan dan hakikat manusia.
Sikap Islam terhadap tatanan-tatanan tersebut, dengan segala
perubahan dan pengubahan yang terjadi atas mereka, bukan penolakan
mutlak, juga bukan perestuan mutlak. Karena, Islam adalah agama yang –
sekali lagi- datang untuk menata semua aspek hidup. Untuk itu, segala
perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia dari sudut bidang-bidang

15
tersebut mesti diajukan kepada prinsip-prinsip Islam, dan ditimbang oleh
hukum-hukumnya yang berhubungan dengan bidang yang mengalami
perubahan. Ketika itu, segala kasus dan isu yang bertentangan dengan
hukum-hukum Islam harus ditolak secara habis, tegas dan pasti. Adapun
kasus atau isu yang sesuai dengan hukum–hukum Islam, atau tidak
bertentangan dengannya –misalnya dalam suatu kasus yang tidak
ditemukan batasan yang konkret dari sumber hukum, juga ia bukan berupa
rincian dari prinsip Islam yang umum- maka Islam akan menyambutnya
ahlan wasahlan setelah ia menuangkannya ke dalam wataknya yang islami
dan mengisinya dengan ruh dan citranya yang khas.
Misalnya, Islam tidak mungkin menerima cara pandang Barat yang
menekankan kebinatangan manusia, materialitas, seksualitas, legalitas
riba, dsb. Akan tetapi, dalam Islam tidak ada sesuatu yang menghalangi
kaum buruh dari cara mereka mengatur urusan diri sendiri, yakni
mempercayakan urusan tersebut kepada suatu badan yang mereka bentuk
untuk mengawasi dan menjamin kepentingan mereka.
Akar perbedaan sikap Islam di sini dengan sikapnya di sana ialah
bahwa persepsi Barat mengenai permasalahan-permasalahan pertama itu
bertolak belakang dengan hukum-hukum Islam, sementara mengenai
permasalahan terakhir tadi, prinsip kebebasan pekerja dalam kerja dan
usahanya merupakan prinsip utama dalam Islam. Prinsip inilah yang
memberikan hak kepada pekerja untuk menggunakan sarana-sarana yang
legal, sehingga memudahkannya dalam memperbaiki dan meningkatkan
taraf hidupnya. Selama prinsip Islam dalam usaha itu adalah kebebasan,
kita tidak berhak melarang demikian itu hanya karena kasus tersebut tidak
pernah terjadi pada jaman Nabi saw.
Dalam pada itu, ijtihad yaitu derajat pengetahuan yang tinggi
tentang hukum-hukum Islam dan prinsip-prinsip umumnya dengan alat-
alatnya yang khas- adalah sebuah perangkat yang disediakan untuk para
faqih (ahli hukum) kaum muslim. Mereka menggunakan ijtihad ini untuk

16
mengisi kehidupan manusia dengan karakter serta cirta islami, sejauh
otoritas yang mereka miliki.
Dengan demikian, Islam ialah agama sepanjang jaman dan
dinamis; Ia abadi dan utuh dalam prinsip-prinsip dan hukum-hukumnya
yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan hadis yang otentik, ia dinamis
dalam hukum-hukum tsanawiyyah (sekunder), yaitu hukum agama yang di
dalamnya otoritas hukum (musyarri’) tidak menetapkan atas kita bentuk
dan modus tertentu, juga (dinamis) dalam subjek-subjek yang mempunyai
hukum umum yang mencakup segala macam bentuk suatu kasus.

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa ideologi 
agama merupakan  etika yang digunakan sebagai proses awal pembentukan identitas
atau jati diri seseorang bisa terbentuk.Sehingga,seseorang itu bisa berkelakuan baik
dan berakhlak mulia yaitu menaati setiap nilai – nilai dan norma – norma yang
berlaku dalam suatu bangsa dan Negara.

B. Saran
Dengan adanya karya tulis ini sehingga diharapkan dapat memberikan
masukan kepada semua kalangan agar bisa menerapkan ideologi agama didalam
kehidupan sehari- hari. Guna untuk menumbuhkan rasa kebersamaan diantara
perbedaan yang terjadi di kehidupan beragama agar tidak terjadi lagi konflik antar
agama.

18
DAFTAR PUSTAKA

Http://abufurqan.com/2011/02/15-islam-antara-agama-dan-ideologi/

Http://ukpkstain.multiply.com/journal/item/17

http://id.wikipedia.org/wiki/Ideologi_Islam

http://www.apapengertianahli.com/2014/09/pengertian-dan-karakteristik-ideologi.html#)

(SUMBER: Fauzi, Ammar Heryadi. __. IDEOLOGI ISLAM, ABADI DAN


DINAMIS, melalui http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/009/07.html,
diakses pada tanggal 7 Juni 2012)

19

Anda mungkin juga menyukai