Anda di halaman 1dari 8

Nama : Haposan Yustinus Sinaga (210510033)

Marsianus Andriawan (210510052)


Kelas : 3A
Mata kuliah : Seminar Filsafat
Dosen : Dr. Hieronymus Simorangkir

Apakah Agama Hanya Sekedar Fakta Sosial?

Abstraksi
Dalam keberagaman agama, setiap orang menganut suatu agama
dengan keyakinan bahwa kebenarnan yang terkandung di dalamnya
adalah benar. Namun, klaim kebenaran dalam agama-agama ini menjadi
perdebatan yang hangat di antara para pemikir yang mempelajari
agama. Untuk memahami kebenaran suatu agama, maka perlu
menjelaskan agama dengan sudut yang berbeda antara orang dalam dan
orang luar. Ilmu sosial juga mencoba untuk menjelaskan agama dari
sudut pandangnya. Agama dapat dijelaskan secara ilmiah jika ia
memiliki otonominya sendiri. Namun, agama bukanlah suatu ilmu
empiris yang dapat dijelaskan dengan pendekatan empiris dan juga satu
sudut pandang. Agama harus dipahami sebagai kepercayaan yang
bercirikan ketuhana sehingga setiap orang harus memberikan sikap
hormat terhadap agama-agama agar fungsi agama dapat terealisasi
dengan baik.
Kata Kunci: Pluralisme, agama, kebenaran, ilmu sosial, pengetahuan.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan liberalisme, dengan keberagaman orang-orang di dalamnya, hidup
sebagai seorang yang menganut suatu kepercayaan agama menjadi hal yang terlihat wajib
untukk dapat berbaur dalam hidup masyarakat pluralis. Agama menjadi salah satu pusat
perhatian dari sekian banyak fakta sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Setiap orang
memiliki keyakinannya masing-masing atas agama yang dimilikinya dan setiap agama
memiliki klaimnya sendiri tentang kebenaran dalam keyakinannya. Klaim kebenaran yang
ada dalam suatu agama, menjadi perdebatan hangat bagi para pemikir. Sehingga mereka
mencari cara dan metode pendekatan terhadap agama untuk mampu menjelaskan agama itu
apa dan bagaimana keyakinan kebenaran yang ada di dalamnya.
Agama bukan hanya sekadar fakta sosial, tetapi juga merupakan institusi atau
lembaga sosial yang memberikan pedoman perilaku bagi pengikutnya dan memelihara
integritas masyarakat. Meskipun agama dapat memperkuat koneksi dan integrasi kelompok,
serta mempromosikan kontrol sosial dengan memperkuat norma-norma sosial, klaim
kebenaran agama adalah masalah yang terpisah dan harus dinilai melalui filsafat, ilmu
pengetahuan alam, dan sejarah. Hingga saat ini, penelitian tentang keyakinan dalam agama
belum menemukan bukti yang mendukung klaim kebenaran dari agama manapun.
Pertanyaan yang menjadi perhatian dalam pluralitas kehidupan sosial beragama ini
adalah apakah agama itu hanya sekedar fakta sosial? Dan bagaimana menjelaskan kebenaran
dalam suatu agama? pertanyaan ini menjadi latar belakang terjadinya pembahasan mengenai
realitas agama dalam kehidupan sosial.
ISI
1. Penalaran tentang agama
Agama merupakan perwujudan praktik sosial dan keyakinan yang diungkapkan dengan
cara hidup tertentu. Menurut fungsinya, agama bisa meningkatkan solidaritas sosial dan
berkontribusi terhadap stabilitas masyarakat. Namun, persoalan mengenai kebenaran seperti
apa yang dapat diklaim oleh suatu agama menjadi perdebatan yang hangat. Dalam perdebatan
ini, muncul pertanyaan-pertanyaan apakah kita bisa mempelajari hakikat agama secara
rasional dan sejauh mana kita bisa menangkap hakikatnya jika agama dipandang sebagai
salah satu dari fenomena sosial? Apakah mungkin membicarakan studi ilmiah tentang
agama? Selain dari persoalan-persoalan ini, pertanyaan yang menjadi pokok dari diskusi
tentang agama bagi orang-orang yang terdidik yang mengatakan bahwa apa pun bisa di nalar
adalah apakah mungkin keyakinan agama beserta unsur-unsur budaya manusia lainnya bisa
menjadi objek penalaran dalam diskusi studi ilmiah? Dapatkah suatu keyakinan agama
dijelaskan secara ilmiah? Menjelaskan agama melalui pendekatan ilmu sosial, maka agama
harus diperlakukan sebagai fakta sosial baik itu keyakinan dan institusi agama itu sendiri.
dengan kata lain, pendekatan ini tidak mengkaitkan isi dari keyakinan dalam agama untuk
menjelaskan agama tersebut melainkan konteksnya.
Banyak peneliti hakikat agama yang cukup yakin mana yang benar dan mana yang
tidak dan mereka menganggap bahwa metode ilmiah adalah jalan pasti menuju penguasaan
ilmu. Mereka bisa saja mengabaikan atau bahkan menyangkal klaim kebenaran agama,
karena mereka yakin bahwa dengan menjauhi agama dan menyelidikinya secara ilmiah
mereka akan memperoleh pengetahuan baru yang penting. Namun banyak orang yang akan
merasa bahwa studi-studi ilmiah tentang agama akan terkontaminasi jika memasukkan
kategori-kategori teologis di dalam studi tersebut. Maka, pendirian eksternal akan menjadi
prasyarat untuk mencoba menjelaskan agama.
Perdebatan yang sering terjadi adalah persoalan tentang “orang dalam” dan “orang
luar”. Dalam catatan ilmu sosial yang berasal dari pandangan Wittgenstein mengatakan fakta
bahwa satu-satunya cara untuk memahami suatu konsep adalah dengan mempelajari cara
menggunakannya. Hal ini berlaku terhadap agama, bahwa untuk memahami kebenaran
keyakinan agama adalah dengan memahaminya dari dalam. Namun akan menjadi mustahil
jika agama hanya bisa dipahami dari dalam saja. Sebab akan ada yang mengerti dan percaya
tetapi akan ada juga yang gagam memahami keyakinan agama tersebut.
Don Wiebe membahas kontroversi antara “orang dalam” dan “orang luar” yaitu antara
pihak yang melihat pentingnya memasukkan kategori-kategori agama ke dalam kajian
tentang agama dengan pihak yang mengingkarinya. Orang dalam akan menerima kebenaran-
kebenaran dalam agama sebab kategori-kategori agama dimasukkan ke dalamnya, tetapi
orang luar akan beranggapan bahwa jika kategori-kategori agama dimasukkan ke dalam
kajian tentang agama, maka akan mengancam integritas ilmu pengetahuan. Memasukkan
kategori-kategori teologis untuk memahami agama akan membahayakan keberadaan studi
akademis tentang agama karena hal ini akan membuka perdebatan apakah studi tentang
agama ini pada akhirnya akan ditentukan oleh akademi atau “gereja”. ada banyak konflik
antara teologi dan studi agama sebagai disiplin akademis. Perdebatan antara gereja dan studi
agama ini tidak boleh dianggap sebagai perebutan kekuasaan, baik itu antara Universitas dan
Gereja atau bahkan antara kelompok akademis yang berbeda.
Untuk menalar agama, maka persoalan yang harus menjadi perhatian agar dapat
menjelaskan tentang keyakinan suatu agama adalah dengan mempertanyakan sampai di mana
batas-batas usaha ilmiah dan peran penjelasan ilmiah dalam studi agama. Gereja merupakan
institusi yang sedang berjalan adalah sebuah fakta sosial, terlepas dari apakah keyakinannya
benar atau salah, dan pertanyaan tentang apa peran sosial terhadapnya akan tetap ada, apa pun
status klaimnya terhadap pengetahuan. Dan pertanyaan yang lebih mendasar lagi tentang
menalar agama adalah, sejauh mana pendekatan “ilmiah” dapat menghasilkan teori-teori
memadai tentang hakikat dan karakter keyakinan agama.

2. Menjelaskan agama
Paham positivisme lama menyatakan bahwa sains dibatasi oleh ilmu empiris, yang
bersifat publik dan dapat dibagikan serta dapat dilakukan eksperimen yang bisa diulangi dan
pada observasinya dapat diakses oleh semua orang. Positivisme hidup dalam naturalisme
yang menolak menyetujui klaim kebenaran agama tertentu dan membatasi diri pada apa yang
berada dalam lingkup sains.1
Kaum naturalisme menginginkan penjelasan mengapa seseorang harus memiliki
kepercayaan aneh seperti yang diberikan oleh agama. Bagi banyak pemikir, rasionalitas
memerlukan bukti, namun bukti yang dihasilkan untuk mendukung keyakinan agama
dianggap tidak dapat diterima. Daya tarik wahyu sebagai bukti akan dianggap sebagai
keyakinan pribadi dan istimewa yang tidak dapat divalidasi dengan cara yang memungkinkan
keyakinan tersebut dibagikan kepada orang lain. Meskipun suatu keyakinan bersifat pribadi
dan juga dapat diyakini secara komunitas, namun masih ada persoalan tentang bagaimana
keyakinan dalam agama itu dapat didiskusikan oleh pihak di luar komunitas.
Pendekatan untuk dapat menjelaskan keyakinan agama dan klaim di dalamnya, lebih
muda dilakukan dengan metode membandingakan agama yang tampak primitif dan takhayul
dengan agama-agama yang lebih tinggi. Perbandingan agama-agama telah menghasilkan
orang-orang yang ingin memberikan penjelasan naturalistik tentang semua agama. Mereka
menginginkan pentelajan teori ilmiah tentang agama berharap mendapatkan penjelasan
umum yang bersifat transtruktural.
Para ilmuan sosial dalam menjelaskan agama, lebih tertarik tentang fungsi agama
dalam masyarakat dan bermaksud bahwa menjelaskan agama dari sudut fungsionalnya akan
bisa diterapan pada agama apa pun termasuk keyakinan di daaamnya, sehingga mereka
menekankan bahwa peran agama adalah solidaritas sosial dan juga ketertiban sosial meskipun
menjelaskan agama dengan melihat fungsinya saja hanya akan menghasilkan perpecahan dan

1
Fauzie Nurdin, Pengantar Fiklsafat, (Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2014), hlm. 18.
perselisihan dalam masyarakat. Pendekatan dengan menjelaskan agama melalui fungsinya
mungkin akan mampu menjelaskan fungsinya namun tidak dapat menjelaskan tentang
keyakinan dalam agama itu sendiri dan mengapa orang harus menganut satu keyakinan
dibandingkan dengan keyakinan lainnya.
Pendekatan naturalistik menganggap bahwa agama harus dijelaskan dengan cara yang
tidak mempertimbangkan objek kepercayaan, jika diasumsikan tidak ada yang namanya
supranatural, namun jika ada maka hal itu tidak bisa bersentuhan atau berhubungan dengan
kita. Dress mengatakan bahwa ia tidak melihat kesenjangan relevansi agama antara alam dan
dunia manusia, di mana keilahian dapat mengganggu realitas alam. Ia menyimpulkan bahwa
sebagai akibat dari hal ini, asal-usul dan fungsi agama mungkin bisa dimengerti. Jika Tuhan
tidak ada atau Tanpa campur tangan Tuhan, asal muasal kepercayaan, jelas terletak
sepenuhnya di dunia ini. Sebaliknya, jika Tuhan ada dan Ia mewahyukan diri kepada
beberapa orang dengan cara tertentu, maka tidak perlu mencari penejlasan lebih lanjut
mengenai tumbuhya keyakinan beragama.
Maka pertanyaan tentang ruang lingkup penjelasan ilmiah mengenai agama
tampaknya bermuara pada pertanyaan apakah agama itu benar atau salah. Jika keyakinan
agama itu “benar”, maka itulah pembenaran mereka. Jika “tidak” maka kita memerlukan
alasan lebih lanjut mengapa orang harus mempunyai dan berpegang kepada suatu keyakinan.

3. Otonomi Agama
Studi historis/empiris tentang agama dan tradisi akan masuk akal jika adanya otonomi
agama. Agama adalah sebuah fenomena yang dapat dipahami dalam istilahnya sendiri.
Agama melekat pada konteks zaman diaman ia hidup. Memahami suatu agama tidak dapat
dilepaskan dari kontes itu. Jika agama hanya direduksi pada tatanan fisik, studi agama akan
kehilangan kekhasannya. Agama hanya dapat dijadikan sebagai ilmu jika ia memiliki
otonomi sendiri.
Wiebe berpendanpat bahwa keyakinan agama sesungguhnya tidak memiliki dasar
kognitif. Bila dibandingkan dengan ilmu sains, kepercayaan agama dianggap sebagai mitos,
yaitu cara berpikir yang tidak rasional. Wiebe membatasi pandanganya hanya pada apa dapat
dibuktikan secara empiris/ilmiah. Baginya, agama hanya berisi seperangkat sikap yang tidak
rasional.
Berbicara lebih jauh tentang agama, Wiebe memasukan agama ke dalam seuatu
disiplin ilmu. Sebagai sebuah ilmu, agama harus memiliki objek dan metode pendekatan yang
sistematis. Hal-hal yang transenden dan supernatural harus dikesampingkan. Sebab prioritas
adalah dunia fisik dengan segala metodenya.
Kaum fenomenolog tidak membatasi ruang lingkup ilmu sosial. Bagi mereka, agama
terbuka pada klaim kebenaran yang rasional. Keyakinan itu membutuhan penjelasan kausal
(sebab akibat). Sedangkan menurut Ledwig Feuerbach (1804-1872) keyakinan agama
merupakan proyeksi dan aspirasi manusia belaka. Hal itu menggambarkan ketergantungan
manusia dengan dunia yang dinamis. Tuhan yang menciptakan manusia merupakan ciptaan
angan-angan manusia. dengan kata lain, Tuhan merupakan hasil proyeksi manusia.2
2
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press, 1996), hlm. 139
Sebagian antropolog meyakini bahwa agama ditetapkan oleh Tuhan. Tapi pada
umumnya mereka berpendapat bahwa agama adalah ciptaan budaya yang beranekaragam.
Klaim agama relevan sejauh mereka dapat menjelaskannya. Banyaknya klaim agama atas
kebenaran yang saling bertentangan semakin membenarkan bahwa klaim agama tidak benar.
Seler, seorang analitis Barat berpendapat bahwa agama adalah suatu abstraksi dan
tidak pernah netral. Objektifitas dan netralitas adalah sebuah mitos yang sering menimbulkan
perpecahan dan perselisihan. Untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, kita tidak
pernah bisa "berdiri" di luar konsep yang ada. Konsep selalu terikat dengan historitas.
4. Pengetahuan Sebagai Konstruksi Budaya
Perbandingan agama-agama mengandaikan adanya paham yang baik di dalamnya.
Paham seorang peneliti tentu berbeda dari paham orang yang menghidupinya. Epistemologi
Kantian menyatakan bahwa manusia dengan kerangka berpikirnya membentuk realitas
seperti yang tampak bagi kita. Banyak orang yang terkesan dengan perbedaan keyakinan dan
sudut pandang yang mereka temui. Pluralitas skema konseptual yang mereka lihat
memastikan pluralitas interpretasi yang tidak dapat dibandingkan. Sedangkan Kant
berpendapat bahwa manusia terdiri dari seperangkat konsep. Apa yang kita tafsirkan tidak
dapat dipisahkan dari fakta. Oleh karena itu agama hanya dipandang sebagai konstruksi
budaya yang sederhana.
Bagi Nietzsche, perbedaan antara subjek dan objek harus dihilangkan, agar
pemeriksaan ilmiah terhadap agama menjadi tidak mungkin dilakukan. Keagamaan dan
pengetahuan dapat menjadi pedoman dan jaminan kepastian bagi manusia dalam menghadapi
hidup yang penuh dengan ketidak pastian, tetapi itu harus dibongkar dan manusia dipaksa
untuk kembali menyadari dan menerima dengan apa adanya ketidakpastian sebagai eksistensi
dasar.3 Jonathan Z. Smith menerapkan pemikiran semacam ini dalam perbandingan agama.
Perbandingan adalah produk dari para ahli demi intelegtualitasnya. Ulama lah atau para
petinggi agama yang melihat persamaan, ketika orang lebih melihat perbedaan. Tidak ada
afinitas/asal usul yang alami. Smith mengungkapkan bahwa semua ajaran agama tentang
asal-usul keberadaanya tidak dapat dipisahkan dari sejarah manusia. Kita semua adalah
produk dari sejarah.
Para postmodernisme mengatakan bahwa zaman pencerahan yang mendorong
lahirnya fisika tidak terlepas dari perkembangan sejarah. Zaman pencerahan dan fisika
merupakan salah satu produk sejarah. Kebenaran akal juga dipengaruhi situasi waktu tertentu.
Sejarawan mengatakan bahwa gereja berperan dalam mendukung lahirnya pandangan
modren. Pemikiran kita mungkin dipengaruhi dan berakar pada sejarah, tetapi kita juga harus
mampu menaruh jarak bahkan dari warisan intelektual kita sendiri.
5. Datasemen agama dan rasional
Pemikir pra-socrates, Xenophanes, mencatat bahwa orang Etiopia mempersonifikasi
dewa mereka sebagai manusia yang berhidung pesek dan hitam, sedangkan orang Thracia
mengambarkan dewa mereka sebagai seorang yang bermata biru muda dan rambut merah.
Kuda akan menggambar bentuk para dewa seperti kuda dan ternak seperti ternak. Artinya,

3
Franz Magnis Suseno (Pengatar), Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: Gramedia, 1982).
hlm.21.
setiap orang melukiskan realitas transenden dengan karakteristik masing-masing. Kiasan ini
menggambarkan pemikiran pada masa Pra-Sokrates Xenopanes.
W. K. C. Guthrie menyatakan bahwa pluralitas perspektif dipengaruhi oleh perbedaan
keyakinan dan adat istiadat. Tidak masuk akal jika pluralitas hanya sekedar proyeksi dari
sudut pandang penyidik. Hal itu diungkapkan Tominaa Nakmoto dalam tulisannya yang
berbeda dari para peneliti Barat, ia menulis tentang agama "Timur" (Shinto, Konfusianisme
dan Buddhisme) dari sudut pandang dan sejarah orang timur. Nakmoto melihat bahwa ajaran-
ajaran tersebut merupakan hasil dari proses perkembangan yang berkelanjutan.
Michael Pye juga melakukan kritik historis atas perkembangan agama. Perkembangan
agama dapat ditundukan pada hukum umum. Sebagaimana terdapat dalam hukum fisika,
demikian juga lahirnya agama terjadi karena proses sebab akibat.
Manusia mampu berpikir tentang apa yang benar, salah satu penjelasan atas suatu
keyakinan adalah keyakinan itu diyakini karena hal itu benar. Jika semua agama dikatakan
salah maka diperlukan penjelasan lebih lanjut dan juga memerlukan pembenaran lebih lanjut.
Manusia adalah makhluk yang rasional yang menuntut fakta-fakta empiris untuk memahami
sesuatu, namun tidak berarti bahwa tidak ada realitas transenden seperti yang dicari dalam
agama-agama yang ada di dunia. Bahkan jika suatu keyakinan agama tertentu adalah benar,
masih ada hal-hal yang dapat disampaikan oleh ilmu sosial kepada kita. Benar atau tidak
kepercayaan tersebut, tetap memiliki fungsi di masyarakat.
6. Kesimpulan
Untuk memahami agama, seseorang harus menghilangakan asumsi bahwa agama pada
dasarnya murni berasal dari manusia. Agama merupakan hal yang sulit dijelaskan, sebab jika
agama telah bisa dijelaskan, maka subjek-subjek lain pun akan dapat dijelaskan. Setiap
kebenaran dalam penyelidikan tentang keyakinan dalam agama harus diberikan sikap hormat,
agar penyelidikan itu tidak mengarah menjadi upaya-upaya destruktif atas usaha-usaha
disiplin intelektual yang mencoba menjelaskan agama.
Setiap disiplin ilmu, tidak akan pernah mengemukakan seluruh realitas kebanaran
dalam agama.Metedologi apa pun yang digunakan, tidak memadai untuk menjelaskan asal-
usul agama. Setiap penjelasan ilmiah akan mencapai titik buntu. Rasa hormat terhadap
kebenaran, akan menimbulkan sikap kerendahan hati. Kita tidak boleh dengan "mudah"
menegaskan bahwa agama adalah murni hasil karya manusia.
Agama bukanlah hanya sekedar fakta sosial yang hangat diperdebatkan, tetapi suatu
bagian penting dalam kehidupan sosial yang tidak mudah dijelaskan mengapa seseorang
harus menganut agama yang satu dan tidak menganut yang lain. Untuk memahami tentang
agama, seseorang dapat banyak belajar dari masyarakat dengan menjauhi agama dan melihat
perannya dalam masyarakat dan memperhatikan perbedaan-perbedaan dan persamaan-
persamaan antar agama. Walau dengan belajar dari masyarakat, seseorang bisa mendapatkan
pemahaman atas suatu agama, tetapi tidak berarti ia dapat memahami segala sesuatu tentang
agama. Maka kita harus memahami bahwa ciri paling penting dari suatu agama adalah
kepercayaan itu merupakan kepercayaan terhadap suatu bentuk realitas ketuhanan. Sehingga
kita harus menanamkan sikap hormat terhadap keyakinan kebenaran yang dianut oleh
pemeluk agama.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama
Trigg, Roger. Rationality and Religion. Oxford: Blackwell Publishers, 1998
Sumber lain
Nurdin, Fauzie. Pengantar Fiklsafat. Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2014.

Pals, Daniel L.. Seven Theories of Religion. New York: Oxford University Press, 1996.

Suseno, Franz Magnis. (Pengatar) Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Gramedia,
1982.

Anda mungkin juga menyukai