Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

PENDEKATAN TEOLOGIS
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah “Studi Islam”
Dosen : Hairunnisa, M .Pd

Disusun oleh :
1. M. Reza Pahlevi

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


KUALA KAPUAS
JURUSAN TARBIYAH
2022/2023
BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Agama sering dipahami sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesungguhnya tentang
dunia ini, sebab agama diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan untuk semua manusia.
Namun, dewasa ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomodir segala
kebutuhan manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”, karena
berangkat dari sanalah tumbuh berbagai macam konflik, pertentangan yang
terus menelan korban. Kemudian sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan
kembali dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dengan masalah-masalah
kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang berlaku sekarang.
Apa yang menjadi kritik terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-
pemikiran keagamaannya terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argumen tekstual
(normative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati secara
semestinya. Struktur logis tidak pernah berhubungan dengan tema-tema yang menyangkut
tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di masyarakat.
Melihat kenyataan semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan,
khususnya yang berkaitan dengan pendekatan-pendekatan teologis yang selama ini cenderung
normative, tekstual dan “melangit”, sehingga tidak bisa terjamah oleh manusia. Oleh karena itu
diperlukan pendekatan-pendekatan teologis yang kontekstual, sehingga dapat dinikmati oleh
manusia dan tidak bertentangan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang ada.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian pendekatan teologis?
2.      Mengapa diperlukan pendekatan teologis?
3.      Bagaimana penerapan pendekatan teologis?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian pendekatan teologis
2.      Mengetahui perlunya pendekatan teolgis
3.      Menegetahui penerapan pendekatan teolgis
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Teologi secara leksikal terdiri dari dua kata, yaitu “theos” yang berarti Tuhan dan “Logos”
yang berarti Ilmu.[1] Jadi teologi adalah ilmu tentang Tuhan atau ketuhanan. Secara terminologi,
teologi adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu yang terkait dengannya,
[2] 
juga membahas hubungan Tuhan dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.[3]
Dalam istilah lain ajaran dasar itu disebut dengan Ushuluddin, Aqoid, Aqidah, juga
Kalam dan oleh sebab itu Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallimin, yaitu ahli
debat yang pintar memakai kata-kata.

Menurut Amin Abdullah, Teologi ialah suatu ilmu yang membahas tentang keyakinan, yaitu
sesuatu yang sangat fundamental dalam kehidupan bergama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang
paling otoritatif, dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur
pemikiran teologis, dan jika terjadi perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus
dimenangkan.[4]

B.     Pendekatan Teologis
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu
pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang
didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama
dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekuarangan sedikit pun dan
tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya
yang khas. Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai
luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,
kejujuran, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.[5]
Pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada
bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-
simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang
lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar
sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir,
murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun
menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka
terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian,
antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada
hanyalah ketertutupan (eksklusifisme),  sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-
kotak.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak
dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi
kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak
pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan
yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu
menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas
masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial
kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang
dihadapi umat beragama.
Uraian di atas bukan berarti kita tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami
agama, karena tanpa adanya pendekatan teologis, keagamaan seseorang akan mudah cair dan
tidak jelas identitas dan pelembagaannya. Proses pelembagaan perilaku keagamaan melalui
mazhab-mazhab sebagaimana halnya yang terdapat dalam teologi jelas diperlukan. Antara lain
berfungsi untuk mengawetkan ajaran agama dan juga berfungsi sebagai pembentukan karakter
pemeluknya dalam rangka membangun masyarakat ideal menurut pesan dasar agama. Tetapi,
ketika tradisi agama secara sosiologis mengalami pengentalan, maka bisa jadi spirit agama yang
“hanif’ lalu terkubur oleh simbol-simbol yang diciptakan dan dibakukan oleh para pemeluk
agama itu sendiri. Pada taraf ini sangat mungkin orang lalu tergelincir menganut dan meyakini
agama yang mereka buat sendiri, bukan lagi agama yang asli, meskipun yang bersangkutan tidak
menyadari.
1

1[] Jaya. Hanafi, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), hlm. 11.
[2] Ya’kub Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu 1991), hlm. 10.
[3] Amsal Bachtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), hlm. 18.
Sikap eksklusifisme (ketertutupan) teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas
agama sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan bagi agama lain, tetapi juga merugikan
diri sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya mempersempit masuknya kebenaran-
kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang dan lebih kaya dengan nuansa agama.
C.    Ciri – Ciri Pendekatan Teologis
Sebagai sebuah bentuk pendekatan, Pendekatan teologis normatif  mempunyai ciri- ciri yang
malekat, yakni:
1.      Loyalitas terhadap diri sendiri
Yang dimaksud loyalitas terhadap diri sendiri adalah bahwa kebenaran keagaaman dimaknai
dengan kebenaran sebagaimana dipahami oleh dirinya sendiri. Kebenaran sebagaimana diyakni
oleh seseorang merupakan kebenaran yang tidak bisa lagi di ungkit-ungkit dan konsekuensinya
kebenaran yang ditunjukkan orang lain dianggap kurang benar atau salah sama sekali.
2.      Komitmen
Pendekatan teologis normatif menghasilkan orang-orang yang berkomitment tinggi terhadap
kepercayaan. Seseorang yang telah meyakini kebenaran yang diyakini siap “berjuang”
mempertahankan keyakinannya itu, siap berkorban, siap menghadapi tantangan dari pihak-pihak
lain yang mencoba menyerang kebenaran  yang telah mereka yakini secara mutlak.
3.      Dedikasi
Hasil dari loyalitas dan komitmen yang tinggi tersebut akan menghasilkan dedikasi yang
tinggi dari penganut agama sesuai dengan kebenaran yang diyakini. Dedikasi itu diwujudkan
dalam bentuk ketaatan terhadap ritual keagamaan, antusiasme menjalankan keyakinan dan
menyebarkannya, kerelaan untuk berkorban demi pengembangan keyakinannya dan sebagainya.
Secara umum, pendekatan teologis normatif menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara
berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang
berasal dari tuhan sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan
dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil- dalil dan argumentasi.

D.    Kelebihan dan Kekurangan


Sebagai sebuah metode, pendekatan teologis normative tentunya memiliki kelebihan dan
kekurangan, yaitu:
1.      Kelebihan
Kelebihan dari pendekatan teologis normatif adalah melalui pendekatan ini seorang akan
memiliki sikap mencintai dalam beragama yakni berpegang teguh kepada agama yang
diyakininya sebagai yang bnar tanpa memandang dan meremehkan agama lain. Dengan
pendekatan yang demikian seseorang akan memiliki sikap fanatis terhadap agama yang
dianutnya
2.      Kekurangan
a.       Bersifat eksklusif
Ketika seseorang meyakini sesuatu dengan kebenaran yang mutlak dan meyakini orang lain
salah, maka ia akan menjadi pribadi yang tertutup, tidak mau menerima pendapat dan
pemahaman orang lain, dan seterusnya. Dengan demikian, orang-orang yang memahami Islam
dengan pendekatan teologis normatif akan “menutup” dirinya dari kebenaran yang dibawa orang
lain. Namun demikian jika sikap ekskusif itu hanya berkaitan dengan masalah ke-tauhidan, maka
hal itu bukan lagi menjadi suatu kekurangan.
b.      Dogmatis
Pengertian dogma adalah pokok ajaran yang harus diterima sebagai hal yang baik dan benar,
tidak perlu dipertanyakan lagi, tidak boleh dibantah dan diragukan. Orang-orang yang
memahami Islam dengan pendekatan teologis normatif cenderung menganggap ajarannya
sebagai ajaran yang tidak boleh dipertanyakan lagi kebenarannya, tidak boleh dikritisi dan
dipertanyakan lagi.
c.       Tidak mengakui kebenaran orang lain
Pendekatan teologis normatif menghasilkan orang-orang yang tidak mengakui kebenaran
orang lain, karena menurut mereka yang mereka yakini adalah benar dan yang tidak sama
dengan yang mereka yakini adalah salah.

[4] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 10.
[5] Muhammad Abed al-Jabiri, Nalar Filsafat dan Teologi Islam: Upaya Membentengi Pengetahuan dan Mempertahankan
Kebebasan Berkehendak, terj.Aksin Wijaya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hlm. 22.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendekatan teologis berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu
sendiri. pendekatan seperti ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu agama untuk
kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran keyakinan
terhadap agama yang dipeluknya itu. Sikap eksklusifisme (ketertutupan) teologis dalam
memandang perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana tersebut di atas tidak saja merugikan
bagi agama lain,tetapi juga merugikan diri sendiri karena sikap semacam itu sesungguhnya
mempersempit masuknya kebenaran-kebenaran baru yang bisa membuat hidup ini lebih lapang
dan lebih kaya dengan nuansa.
Pendekatan normatif erat kaitannya dengan pendekatan teologis.pendekatan normatif yaitu
suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan
yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Amsal Bachtiar, Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Jaya. Hanafi, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989.
Nata Abdullah, Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Prees, 2012.
Ya’kub Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan Wahyu. Jakarta: Pedoman Ilmu 1991.

Anda mungkin juga menyukai