Anda di halaman 1dari 14

ISLAM DITINJAU DARI DIMENSI TEOLOGICAL, DIMENSI DOKTRINAL,

DAN DIMENSI RITUAL

Disusun untuk memenuhi Tugas matakuliah Metodologi Studi Islam

Oleh :

Muhammad Husni Hamdani (02040821019)

Dosen Pengampu :

Dr. Achmad Zaini, MA

Program Studi Pendidikan Agama Islam Pascasarjana

Universitas Negeri Sunan Ampel Surabaya

2021
Kata Pengantar

Segala puji selalu kami panjatkan kepada Allah SWT Tuhan semesta alam, atas
rahmat dan nikmatnya yang berupa kesehatan, baik jasmani maupun rohani, sehingga saya
dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah ini dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Metodologi Studi Islam. Tidak lupa
juga sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW yang kita harapkan syafaatnya kelak pada hari kiamat.

Penulisan makalah berjudul “ISLAM DITINJAU DARI DIMENSI TEOLOGICAL,


DIMENSI DOKTRINAL, DAN DIMENSI RITUAL” ini dapat diselesaikan dengan bantuan
dari beberapa refrensi yang saya temukan dan berharap juga bahwa makalah ini bisa
dijadikan sebuah refrensi baru bagi pembaca. Dan penulis menyadari bahwa makalah ini
masih memerlukan penyempurnaan terutama bagian isi, oleh karena itu saya sebagai penulis
menerima segala bentuk kritik dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.
Apabila ada banyak kesalahan dalam penulisan makalah ini saya sebagai penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya. Demikian makalah ini dibuat semoga bermanfaat.
Bab I
Pendahuluan

Islam merupakan agama yang sempurna dan juga universal yang bersumber dari Al
qur’an dan Hadits, ajaran tersebut dibawa oleh Nabi Muhammad SAW melalui perantara
malaikat jibril. Islam mengajarkan kepada kita tentang hubungan kita kepada Allah dan
Hubungan Kita kepada sesama dengan cara yang positif normatif. Sebagai agama, Islam tidak
datang dengan ruang hampa, islam hadir kepada masyarakat yang berbudaya, dengan
berbagai keyakinan, tradisi, dan berbagai praktik kehidupan masyarakat, islam datang dengan
memberikan koreksi sekaligus perbaikan terhadap praktik, nilai dan moralitas mereka.
Kehadiran islam senantiasa berdialog dengan realitas sosial kemasyarakatan,
mengantarkan pada disapresiasinya secara kritis nilai nilai budaya lokal dari suatu
masyarakat beserta ciri khas yang menggiringnya. Hal ini menyebabkan islam dan pemikiran
yang dikembangkan oleh suatu masyarakat diwilayah tertentu dapat saja berbeda dengan
ekspresi keberagaman pada masyarakat diwilayah lainnya, meskipun demikian, islam
tetaplah agama yang dapat menyatukan seluruh umat yang sejatinya memiliki keberagaman
budaya dan tradisi yang berbeda dengan dimensi dimensi yang ada dalam islam itu sendiri.
. Dalam memahami islam tentunya banyak pendekatan – pendakatan dan Dimensi –
dimensi yang harus kita pahami terlebih dahulu, terdapat berbagai macam dimensi yang harus
kita pahami dan kita pelajari agar kita dapat memahami islam secara utuh, dimensi – dimensi
tersebut sangat erat kaitannya dengan akidah, akhlaq, dan syariah, karena hal itu merupakan
pokok dari ajaran islam itu sendiri, dalam praktiknya dimensi - dimensi yang ada dalam islam
juga memiliki kesamaan dengan dimensi- dimensi yang ada pada agama lain, namun tentunya
setiap agama memiliki ciri khas nya sendiri dalam ajarannya, hal ini akan kita lihat pada
dimensi – dimensi yang akan di jelaskan dalam makalah ini, adapun dimensi dimensi tersebut
adalah Dimensi Teological, Dimensi Doctrinal, dan Dimensi Ritual.
Bab II
Pembahasan
A. Dimensi Teological
Teologi memiliki arti leksikal yang terdiri dari dua kata, yaitu “theos” yang bermakna
Tuhan dan “Logos” yang bermakna Ilmu.1 Jadi teologi adalah ilmu yang membahas tentang
Tuhan atau ketuhanan. Dan secara terminologi, teologi adalah ilmu yang membahas tentang
Tuhan dan segala sesuatu yang terkait dengannya, juga membahas hubungan Tuhan dengan
manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.2 Dalam Bahasa Arab, ajaran dasar agama itu
disebut dengan usul al-din, oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam
Islam selalu diberi nama kitab ushul al-din oleh pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar itu
disebut juga ‘aqaid, credos atau keyakinan. Teologi dalam Islam disebut juga ilmu al-tauhid.
Kata tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam disebut
sebagai agama monotheisme merupakan sifat yang terpenting diantara segala sifat Tuhan.
Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilmu al- kalam.3

Kalam di dalam Islam memiliki pengertian ilmu atau seni.4 Kalam dalam
pengertiannya adalah “perkataan atau percakapan”, dalam pengertian teologis kalam disebut
sebagai kata-kata (firman) Tuhan, maka teologi dalam Islam disebut ‘ilmu al-kalam, karena
kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian
masing- masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallimin, yaitu ahli debat
yang pintar memakai kata-kata. Menurut Amin Abdullah, Teologi adalah ilmu yang
membahas tentang keyakinan, yaitu sesuatu yang sangat amat fundamental dalam kehidupan
beragama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang paling otoritatif, dimana semua hasil
penelitian dan pemikiran harus sesuai dengan alur pemikiran teologis, dan jika terjadi
perselisihan, maka pandangan keagamaan yang harus dimenangkan.5

Perkataan teologi sebenarnya tidak berasal dari khazanah dan budaya Islam. Teologi
merupakan istilah yang diambil dari agama lain, yaitu dari khazanah dan tradisi gereja
Kristen. Namun, istilah tersebut sudah umum digunakan sebagaiman pemaknaan di atas.
Pendekatan Teologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan penelitian agama.
1
Jaya. Hanafi, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1989), 11
2
Amsal Bachtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), 18
3
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,2002), ix.
4
Muhammad Abed al-Jabiri, Nalar Filsafat dan Teologi Islam: Upaya Membentengi Pengetahuandan
Mempertahankan Kebebasan Berkehendak, terj.Aksin Wijaya, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), 22
5
Amin Abdullah, Studi Agama:Normativitas atau Historisitas,(Yogjakarta:Pustaka Pelajar,1999), 10.
Hal ini dilakukan untuk menjawab persoalan apakah agama dapat diteliti. menurut Noeng
Muhadjir, bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi dibidangnya masing-masing.
Ekstremitasnya menimbulkan filsafat di antara para ulama, dan menabukan non empirik dan
non sensual diantara para ilmuan. Apapun alasan yang dikemukakan, bahwa pendekatan
teologi dalam penelitian agama dimaksudkan untuk menjembatani para pakar ilmu agama
(ulama) dengan ilmuan lainnya, karena pendekatan teologi dalam penelitian agama berada di
kawasan naqli atau wahyu dan ada yang aqli atau produk budaya manusia.6

Dimensi Teological dalam Islam

Teologi Islam yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam
bentuk ilmu kalam/ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam
pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya memberi
pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau
golongan- golongan lain yang ada dalam teologi Islam. Dan ilmu tauhid yang diajarkan dan
dikenal di Indonesia pada umumnya adalah ilmu tauhid menurut aliran Asy’ariah, sehingga
timbullah kesan di kalangan umat islam Indonesia bahwa itulah satu-satunya teologi yang ada
dalam Islam.7 Dalam Islam sebenarnya terdapat lebih dari satu aliran teologi. Ada aliran
yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional, ada pula yang bersifat antara liberal dan
tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya. Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin
lebih sesuai dengan jiwanya teologi tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam
pemikirannya lebih dapat menerima ajaran -ajaran teologi liberal. Kedua corak tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam.

Memperhatikan sejarah dan perkembangan ilmu tauhid (teologi Islam) sebagai


pelopor pengkajian terma-terma ketuhanan, maka tidak dapat disangkal bahwa hal ini antara
lain muncul pada masa saat menggemanya filsafat Yunani sebagai salah satu manifestasi akal
atau rasio nomor satu. Di satu sisi, meskipun pengaruh Yunani dalam memperkaya khazanah
budaya dan peradaban Islam cukup signifikan, namun di sisi yang lain, baik secara implisit
maupun eksplisit, telah menjauhkan umat dari semangat membela dan mengaktualisasikan al-

6
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV Cet. I, (Yoyakata: Rake Sarasin,2000), 255.
7
Nasution, Teologi Islam., ix-x.
Qur'an secara utuh. Ironisnya, ia hanya dijadikan tidak lebih dari sekedar alat legitimasi,
pembelaan diri terhadap kebenaran kelompok masing- masing.8

Pembacaan pemikiran teologis seperti yang telah tergambarkan tersebut yang menjadi
problem utama kali ini. Konsep penerapan teologi tidak pernah termanifestasikan dalam
tatanan praktis. Persoalan yang diangkat Mutakallimun hampir tidak menyentuh aspek
kehidupan nyata manusia sehari-hari, seperti masalah demokrasi, Hak-hak Asasi Manusia,
ketidakadilan, konflik agama dan sebagainya. Menyadari kondisi objektif ini, sudah saatnya
diskursus teologi Islam beralih pada paradigma baru yang memaknai Tuhan dengan berbagai
atributnya dalam konteks kebumian.9

Nilai teologis dalam konteks Islam terakumulasi dalam konsep tauhid, Di mana dalam
konsep ini, nilai teologis berfungsi sebagai pandangan dunia (world view) yang meliputi
seluruh tatanan nilai yang ada dalam Islam. Konsep tauhid pada dasarnya merupakan suatu
konsep tentang sistem keyakinan kepada Tuhan, namun tauhid juga sekaligus menjadi nilai
dalam Islam.10 Tauhid sebagai esensi nilai teologis berangkat dari kesadaran manusia
terhadap eksistensi Tuhan (teologis) sebagai tempat bergantung (Allâh al-Shamad), kesadaran
terhadap dirinya sendiri (antropologis) sebagai individu dan mandataris Tuhan (khalîfah)
yang mengemban amanah Tuhan di bumi serta alam jagad raya (kosmologis) sebagai wadah
bagi manusia untuk men-jalankan misi Tuhan tersebut.

B. Dimensi Doctrinal
Kata doktrin berasal dari bahasa inggris yaitu doctrine yang berarti ajaran. Oleh
karena itu doktrin lebih dikenal dengan dengan ajaran-ajaran yang bersifat absolute yang
tidak boleh diganggu-gugat. Dalam Kamus Ilmiah Populer (Windi Novia, 2008), kata doktrin
berarti dalil-dalil dari suatu ajaran. Kesesuaian pengertian ini dapat kita temukan di lapangan
bahwa suatu ajaran dalam agama maupun yang lainya pasti mempunyai dasar atau dalil-dalil.

Pengertian yang sama juga dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
yaitu “doktrin adalah ajaran atau asas suatu aliran politik, keagamaan; pendirian segolongan

8
M. Amin Syakur dkk., Teologi Islam Terapan (Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme KehidupanModern)
(Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003), 15.

9
Alwi Bani Rakhman, “Teologi Sosial - Keniscayaan Keberagamaan yang Islami BerbasisKemanusiaan”
Jurnal ESENSIA Vol. XIV No. 2 (Oktober 2013), 163.
10
Amrullah Achmad, “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam,” dalam Muslih USA(ed)
Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Jakarta: Tiara Wacana, 1991), 71.
ahli ilmu pengetahuan, ketatanegaraan secara bersistem, khususnya dalam penyusunan
kebijakan negara”.11 Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa
doktrin adalah ajaran-ajaran atau pendirian suatu agama atau aliran atau segolongan ahli yang
tersusun dalam sebuah sistem yang tidak bisa terpisahkan antara yanga satu dengan yang
lainnya.

Dimensi Doktrin dalam Agama Islam

Islam merupakan agama yang sangat multidimensi yang dapat dikaji dari berbagai
aspek baik dari tinjauan budaya-sosial maupun dari aspek doktrin sebagaimana yang akan
dijelaskan berikut ini. Agama Islam apabila ditelaah dari aspek doktrin maka yang akan
muncul adalah ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam itu sendiri yang bisa saja ajaran
tersebut tidak dapat diganggu gugat keberadaannya. Dalam Islam, trilogi doktrin (ajaran)
Islam biasa dikenal dengan trilogi ajaran Ilahi, yakni: Iman, Islam dan Ihsan.

Dalam sebuah hadits dikatakan :

Dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu’anh, dia berkata: ketika kami tengah berada
di majelis bersama Rasulullah pada suatu hari, tiba-tiba tampak dihadapan kami
seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat
padanya tanda-tanda bekas perjalanan jauh dan tidak seorangpun diantara kami yang
mengenalnya. Lalu ia duduk di hadapan Rasulullah dan menyandarkan lututnya pada
lutut Rasulullah dan meletakkan tangannya diatas paha Rasulullah, selanjutnya ia
berkata, “Hai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam” Rasulullah
menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain
Alloh dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Alloh, engkau mendirikan sholat,
mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon dan mengerjakan ibadah haji
ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya.” Orang itu berkata,”Engkau benar,”
kami pun heran, ia bertanya lalu membenarkannya Orang itu berkata lagi,
“Beritahukan kepadaku tentang Iman” Rasulullah menjawab, “Engkau beriman
kepada Alloh, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada utusan-utusan
Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk” Orang
tadi berkata, “Engkau benar” Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang
Ihsan” Rasulullah menjawab, “Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau
melihat-Nya, jika engkau tidak melihatnya, sesungguhnya Dia pasti melihatmu.”
Orang itu berkata lagi, “Beritahukan kepadaku tentang kiamat” Rasulullah
menjawab, “Orang yang ditanya itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” selanjutnya
orang itu berkata lagi, “beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya” Rasulullah
menjawab, “Jika hamba perempuan telah melahirkan tuan puterinya, jika engkau
melihat orang-orang yang tidak beralas kaki, tidak berbaju, miskin dan penggembala
kambing, berlomba-lomba mendirikan bangunan.” Kemudian pergilah ia, aku tetap

11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka,1997), 239.
tinggal beberapa lama kemudian Rasulullah berkata kepadaku, “Wahai Umar,
tahukah engkau siapa yang bertanya itu?” Saya menjawab, “Allah dan Rosul-Nya
lebih mengetahui" Rasulullah berkata,” Ia adalah Jibril, dia datang untuk
mengajarkan kepadamu tentang agama kepadamu”. (HR.Muslim)12
Keimanan merupakan keyakinan secara mutlak kepada Allah SWT. Elaborasi aspek
keimanan dijabarkan oleh para ulama dalam diskursus akidah atau tauhid. Keyakinan seorang
muwahhid dan mukmin membuahkan sikap penyerahan diri secara total kepada Allah SWT.
untuk melaksanakan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya. Sikap
semacam ini merupakan hakikat dari Islam yang kemudian termaktub dalam bingkai syari'ah
dan siyasah yang tercakup dalam fiqih. Sikap ber-Islam seperti ini tentu tak cukup sekedar di
bibir, tetapi perlu direalisasikan dalam amal (tindakan) yang benar dan luhur sebagai hakikat
aspek ihsan. Pengembangan aspek ihsan tercakup dalam bidang akhlak dan tasawuf.13
Keimanan merupakan sentral bagi seorang muslim. Dengan keimanan itulah Islam akan
teruji. Dengan keimanan itu pula, ia akan mampu menjadi orang yang baik (ihsan). Antara
iman, Islam dan ihsan merupakan konsep yang saling berhubungan dan kesatuan yang utuh,
tidak bisa dipisah. Pada hakikatnya, iman tetapi belum Islam atau Islam tetapi belum iman.
Atau sudah iman dan Islam tetapi belum menjadi ihsan, hanyalah predikat yang dikenakan
kepada hamba Allah yang belum mampu mengamalkan konsep keimanan.

Antara iman dan Islam memiliki keterkaitan langsung. Ihsan terbentuk dari penerapan
identitas keimanan. Di antara iman dan ihsan, terdapat kriteria- kriteria ke-Islaman yang
umumnya disebut sebagai syariat dan tarekat.14

Konsep dasar Islam yaitu iman, Islam dan ihsan yang menjadi prinsip fundamental
agama, tidak hanya sebatas doktrin, tetapi dapat dikembangkan secara dinamis dalam dunia
keilmuan. Iman yang akar katanya a-m-n (damai, aman, tidak menghadapi bahaya), dapat
dikembangkan dalam ilmu ketuhanan dan ilmu yang menjelaskan tentang hakikat yang ada,
yang biasanya dikenal dalam filsafat. Islam, (syariah) yang menetapkan prinsip-prinsip
ibadah dan muamalah berasal dari kata s-l-m (selamat, menyeluruh, dan terpadu, tidak
terpecah), dapat dikembangkan dalam ilmu yang berhubungan dengan manusia dan alam
yang biasanya dikenal sebagai ilmu sosial, kebudayaan dan iptek. Sementara ihsan yang
berasal dari kata h-s-n (membawa kebaikan, senang, puas, indah dan terpuji), dapat

12
Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, Syarah Arba’in An-Nawawi (t.tp.: Pustaka Imam Syafi’i, 2011), 35.
13
Said Aqil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi, Bukan
Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), 75.
14
Muhammad Sholikhin, Hadirkan Allah di Hatimu (Solo: Tiga Serangkai, 2008), 185.
dikembangkan menjadi ilmu tasawuf.15 Kesatuan antara filsafat, syariah dan tasawuf
merupakan manifestasi religiusitas antara iman, Islam, dan ihsan atau integrasi antara
filsafat/kalam, fiqih/ilmu sosial, kebudayaan, iptek dan tasawuf yang di arahkan untuk
mencapai ketakwaan. Integrasi ini dimungkinkan karena obyek kajiannya mempunyai
kesatuan sumber yaitu ayat-ayat Tuhan sendiri.16 Iman, Islam dan Ihsan merupakan tiga
serangkai atau trilogi doktrin (ajaran) ilahi yang tidak dapat dipisahkan. Jadi, seorang
dikatakan sebagai muslim sejati apabila ia mampu menyatukan tiga dimensi tersebut. Pada
perkembangan selanjutnya trilogi tersebut menjadi tiga kerangka dasar Islam yang digunakan
dalam tiga bidang pemikiran Islam, yaitu Aqidah, Syari’ah dan Akhlak.

C. Dimensi Ritual
Dimensi Ritual yaitu aspek yang mengukur sejauh mana seseorang melakukan
kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut. Misalnya; pergi ke tempat ibadah, berdoa
pribadi, berpuasa, dan lain- lain. Dimensi ritual ini merupakan perilaku keberagamaan
yang berupa peribadatan yang berbentuk upacara keagamaan.17

Ritualistik atau peribadatan (Religious Practice). Dimensi ritualistik atau peribadatan


ini menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan seseorang dalam mengerjakan kegiatan-
kegiatan ritual yang diperintahkan oleh agamanya. Kepatuhan ini ditunjukkan dengan
meyakini dan melaksanakan kewajiban-kewajiban secara konsisten. Apabila jarang dilakukan
maka dengan sendirinya keimanan seseorang akan luntur.18 Praktek-praktek keagamaan
yang dilakukan individu meliputi dua hal, yaitu:

a. Ritual yaitu dimana seseorang yang religius akan melakukan kegiatan-kegiatan


keagamaan yang diperintahkan oleh agama yang diyakininya dengan
melaksanakannya sesuai ajaran yang telah ditetapkan. Dengan Indikatornya antara
lain: selalu melakukan sembahyang dengan rutin, melakukan kegiatan keagamaan
seperti mendengarkan ceramah agama, melakukan dakwah agama, melakukan

15
Hendar Riyadi (ed), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan (Bandung: Penerbit
Nuansa, 2000), 14.
16
Hendar Riyadi (ed), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan (Bandung: Penerbit Nuansa, 2000),
15.
17
Wahyudin, larisa, sumarsono, dkk. dimensi religiusitas dan pengaruhnya terhadap organizational citizenship
behaviour (Studi Pada Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto)
18
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Ibid,hlm.77-78
kegiatan amal, bersedekah, dan berperan serta dalam kegiatan keagamaan seperti
ikut berpartisipasi dan bergabung dalam suatu perkumpulan keagamaan.
b. Ketaatan yaitu dimana seseorang yang secara batiniah mempunyai ketetapan untuk
selalu menjalankan aturan yang telah ditentukan dalam ajaran agama dengan cara
meningkatkan frekuensi dan intensitas dalam beribadah. Dengan Indikatornya antara
lain: khusuk ketika mengerjakan sembahyang atau kegiatan keagamaan, membaca doa
ketika akan melakukan pekerjaan dan selalu mengucapkan syukur pada Tuhan.
Individu yang menghayati dan mengerti serta selalu ingat pada Tuhan akan
memperoleh manfaat, antara lain: ketenangan hati, perasaan yang tenang, aman dan
merasa memperoleh bimbingan serta perlindungan-Nya. Kondisi seperti itu
menyebabkan individu selalu melihat sisi positif dari setiap permasalahan yang
dihadapi dan berusaha mencari solusi yang tepat dalam memecahkan masalah yang
membuat dirinya tertekan.

Dimensi ini merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang
disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan hal-hal lain yang dilakukan untuk
menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Perilaku di sini bukan perilaku
dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan
oleh agama seperti tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari
besar agama. Setiap agama memiliki tata cara ritualnya masing – masing yang sesuai dengan
ajaran agama yanng di anutnya.

Dimensi Ritual dalam Islam

Dalam islam dimensi ritual sejajar dengan ibadah (syariah). Ibadah merupakan
penghambaan manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah.
Ibadah yang berkaitan dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah, yaitu ibadah
yang bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara, syarat serta rukun yang
telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan dalam hadits nabi. Ibadah yang termasuk
dalam jenis ini adalah shalat, zakat, puasa dan haji.

Dimensi ritual merupakan bagian dari dimensi religius, Religiusitas menurut Glock
dan Stark (Robertson,1988), ada lima macam dimensi keberagaman, yaitu: dimensi
keyakinan (ideologis), dimensi peribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi
penghayatan (eksperiensial), dimensi pengamalan(konsekuensial), dimensi pengetahuan
agama (intelektual)

Menurut Glock & Stark (1994) seperti ditulis oleh Djamaluddin Ancok konsep
religiusitas adalah rumusan brilian. Konsep tersebut mencoba melihat keberagamaan
seseorang bukan hanya dari satu atau dua dimensi, tetapi mencoba memperhatikan
segala dimensi. Keberagamaan dalam islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk
ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas - aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem
yang menyeluruh, islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula.
Ada lima dimensi keberagamaan sesorang yang dapat diukur untuk mengetahui apakah
seseorang tersebut religius atau tidak, yaitu, dimensi keyakinan, dimensi praktek agama
(ritual dan ketaatan), dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama, dimensi
pengamalan atau konsekuensi.

Menurut Jamaluddin Ancok (1994) lima dimensi keberagamaan rumusan Glock &
Stark itu melihat keberagamaan tidak hanya dari dimensi ritual semata tetapi juga pada
dimensi-dimensi lain. Ancok (1994) menilai, meskipun tidak sepenuhnya sama, lima dimensi
keberagamaan rumusan Glock & Stark itu bisa disejajarkan dengan konsep Islam. Dimensi
ideologis bisa disejajarkan dengan akidah, dimensi ritual bisa disejajarkan dengan syari’ah,
khususnya ibadah, dan dimensi konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah,
syari’ah dan akhlak adalah inti dari ajaran Islam.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Dimensi ritual merupakan suatu
aspek yang beruhubungan dengan ritual peribadatan, dimensi ritual juga merupakan bagian
dari aspek religius yang termasuk bagian dalam keberagaman dalam agama. Dalam islam
dimensi ritual sejajar dengan ibadah (syariah), contohnya seperti sholat, puasa, dzikir dan
lainnya.
Bab III

Kesimpulan

Islam merupakan agama yang sempurna dan juga universal yang bersumber dari Al
qur’an dan Hadits, Islam mengajarkan kepada kita tentang hubungan kita kepada Allah dan
Hubungan Kita kepada sesama dengan cara yang positif dan normatif. Dalam islam terdapat
beberapa dimensi yang erat kaitannya dengan Akidah, Akhlaq, dan syari’ah, Dimensi –
dimensi tersebuta antara lain : Dimensi Teological ; yaitu dimensi yang membahas tentang
aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan tuhan. Yang kedua adalah
Dimensi Doctrinal ; yaitu dimensi yang membahas tentang ajaran/ dalil - dalil yang ada pada
suatu agama. Yang ketiga adalah Dimensi Ritual ; yaitu dimensi yang membahas tentang
aspek ritual peribadatan pad suatu agama.
Daftar Pustaka

Abdullah, A. 1999. Studi Agama:Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar
Achmad, A. 1991. Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam,” dalam
Muslih USA (ed) Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta.
Jakarta: Tiara Wacana.
Al-Jabiri, M.A. 2003. Nalar Filsafat dan Teologi Islam: Upaya Membentengi
Pengetahuan dan Mempertahankan Kebebasan Berkehendak, terj.Aksin
Wijaya. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ancok, Djamaludin. 1994. Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, A. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam. Bandung: Mizan.
Bachtiar, A. 1997. Filsafat Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Berger, P.,L. 1967. The Sacred Canopy. New York: Doubleday.
Berger, P.L. 1997. Kabar Angin dari Langit Makna Teologis dalam Masyarakat
Modern. Jakarta: LP3ES.
Bevans, S., B. 1996. Model of Contextual Theology, Faith and Cultures Series. New
York: Maryknoll.
Departemen Pendidikan Kebudayaan. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Glock, C. Y. & Stark, R. 1966. Christian Beliefs and Anti-semitism. New York &
Harper & Row.
Jawaz, Y.,A.,Q. 2011. Syarah Arba’in An-Nawawi. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.
Jaya, H.A. 1989. Pengantar Theology Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
John A. Titaley, Th.D, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontektual, Pidato
Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar Ilmu Teologi,
Universitas Satya Wacana, Salatiga, 29 Nopember 2001,
Macquarrie, J. 1966. Principle of Christian Theology. London: SCM Press.
Muhadjir, N. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV Cet. I. Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Nasution, H. 2002. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press..
Rakhman, A.B. 2013. Teologi Sosial - Keniscayaan Keberagamaan yang Islami
Berbasis Kemanusiaan. Jurnal ESENSIA, 17(2).
Roudlege & Paul, K. 1986. Making Sense of Modern Time, Peter L. Berger and the
Vision of Interpretatif Sosiologi. London.
Sholikhin, M. 2008. Hadirkan Allah di Hatimu. Solo: Tiga Serangkai.
Siroj, S.,A. 2006. Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai
Inspirasi, Bukan Aspirasi. Bandung: Miza Pustaka.
Syakur, M.A. 2003. Teologi Islam Terapan (Upaya Antisipatif terhadap Hedonisme
Kehidupan Modern). Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Riyadi, H. 2000. Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. Bandung:
Penerbit Nuansa.
Wahyudin, Larisa, & Sumarsono. Dimensi Religiusitas Dan Pengaruhnya Terhadap
Organizational Citizenship Behaviour. Studi Pada Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto.

Anda mungkin juga menyukai