Anda di halaman 1dari 18

P a g e 1 | 18

MAKALAH
AKHLAK KEHIDUPAN DALAM DALAM MASYARAKAT YANG
PLURAL


DISUSUN OLEH:
1. MOCHAMMAD ALIF FATHURAHMAN (13513003)
2. UMMU LATIFAH (13513004)
3. RIFKA AISHA (13513015)
4. SITTI HARIYATI (13513032)
5. MUHAMMAD SIDIQ (13513022)
6. VALDY FERI RAHMANI (13513035)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FALKUTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2013/2014



P a g e 2 | 18

KATA PENGANTAR

Bismillahhirahmannirrahim,
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Akhlak Kehidupan dalam Masyarakat
yang Plural dengan baik.
Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari tidak sedikit hambatan yang kami
hadapi. Akan tetapi, berkat kerjasama kelompok yang baik kami bisa menyelesaikan makalah
ini
Akhir kata semoga makalah ini bermanfaat, segala yang baik hadirnya makalah ini
adalah dari Allah Swt, sedangkan segala kekurangannya adalah dari kami. Hanya ridha Allah
semata yang kami harapkan. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.


Penulis














P a g e 3 | 18

DAFTAR ISI

Kata pengantar 2
Daftar Isi 3
Bab I : Pendahuluan 4
A. Latar Belakang 4
B. Tujuan 4
Bab II : Pembahasan 6
A. Definisi Pluralisme 5
B. Sebab-Sebab adanya Pluralisme 5
C. Bentuk Pluralisme Budaya dan Agama Islam di Indonesia 10
D. Akhlak Islami dan Pluralitas Agama-Budaya 13
Bab III : Penutup 16
A. Kesimpulan 16
Daftar Pustaka 18










P a g e 4 | 18

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini, persoalan pluralisme masih hangat diperbincangkan. Sebenarnya isu
pluralisme telah lama hadir, bahkan bisa dikatakan setua usia manusia dan akan ada selama
kehidupan belum usai, hanya saja terus menerus akan berkembang seiring dengan
kemajuan zaman.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menjalani kehidupan yang majemuk secara ilmiah
dan wajar apa adanya. Namun seiring dengan kepentingan ideologis, sosial, politik, dll.,
realitas pluralisme berada pada puncak kesadaran dan menjadi pusat perhatian. Berkenaan
dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralisme agama beberapa tahun terakhir ini,
maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan
dari sejumlah cendikiawan muslim. Bahkan memunculkan pro dan kontra dikalangan para
pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama.
Menarik, dalam artian memprihatinkan karena persoalan itu terjadi di Indonesia, yang
notabene bukan negara agama, tetapi yang selalu mengatakan religius; bukan pula negara
sekuler, tetapi yang semakin terbuka kepada modernisasi; bukan juga negara yang tidak
menjunjung tinggi demokrasi, tetapi yang berdasarkan pada Pancasila, yang menjunjung
tinggi demokrasi. Negara yang lahir dan terbentuk dari dan oleh masyarakat plural, termasuk
di dalamnya adalah pluralitas agama. Sebuah fakta dalam masyarakat yang tidak dapat
dipisahkan dengan Pluralisme.
Terlebih lagi ketika MUI pada bulan Juli 2005 yang lalu mengharamkan pluralisme
agama, maka persoalan ini telah mencuat ke permukaan dan telah menghiasi halaman-
halaman media masa cetak maupun elektronik. Bila dicermati, maka perbedaan ini
nampaknya berkaitan dengan kesalahpahaman pemaknaan pluralisme agama-budaya,
perbedaan di dalam memahami isyarat-isyarat ayat Al-Qur'an tentang pluralitas maupun
tentang klaim kebenaran dalam suatu agama.
B. TUJUAN
Mengetahui definisi pluralisme agama
Mengetahui pandangan kaum agamawan tentang pluralisme
P a g e 5 | 18

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pluralisme
Secara etimologis, asal kata pluralisme adalah pluralisme (bahasa Inggris) yang
berarti plural (beragam), jamak, atau majemuk. Sedangkan secara terminologis, pluralisme
yaitu suatu pandangan atau paham yang memiliki prinsip bahwa keanekaragaman itu jangan
menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat yang sama.
Berangkat dari definisi pluralisme, maka pluralisme agama adalah sebuah pandangan
yang mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling
mendukung untuk bisa hidup secara damai.
Sedangkan dari definisi yang lain, pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama
(koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas
dengan tetap mempertahakan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama.
B. Sebab-sebab adanya pluralisme
Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut
pencerahan (Enlightenment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering
disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang
diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada
superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama.
Sebab-sebab lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragam, sekaligus
kompleks. Alasan keragaman itu adalah kebudayaan-kebudayaan yang berbeda menghasilkan
perbedaan tanggapan yang nyata. Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua
faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana satu faktor
dengan faktor lainnya saling mempengaruhi dan berhubungan erat. Faktor internal
merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama-
agama itu sendiri, baik dalam masalah aqidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau
doktrin keterpilihan. Faktor ini sering juga dinamakan dengan faktor ideologis. Adapun
faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu faktor sosio-
politis, faktor ilmiah dan faktor teknologi.

P a g e 6 | 18


1. Faktor Ideologis atau Internal
Dalam konteks ideologi ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang pertama
mereka beriman teguh terhadap wahyu langit atau samawi, sedangkan kelompok yang kedua
mereka yang tidak beriman kecuali hanya kepada kemampuan akal saja (rasionalis).
Perbedaan cara pandang dalam beriman dan beragama secara otomatis akan mengantarkan
kepada perbedaan dan pertentangan di setiap masalah dalam menentukan kebenaran yang
mutlak. Sebab, keimanan adalah pokok seluruh permasalahan. Mereka yang beriman kepada
wahyu samawi adalah mereka yang beriman kepada esensi wujud yang gaib, metafisik atau
kekuatan yang paling tinggi di atas segalanya atau kekuatan transendental yang ada di balik
kekuatan alam. Adapun kelompok yang kedua dari manusia adalah mereka yang sama sekali
tidak mengimani itu semua. Kelompok pertama, terjebak dalam perbedaan pendapat yang tak
mungkin dikompromikan sama sekali dalam menetukan siapa/apa esensi Zat yang ghaib itu,
baik dalam aspek bilangan, substansi maupun eksistensinya. Dan akibat perbedaan ini,
mereka berbeda pendapat dalam segala hal yang berhubungan, dekat atau jauh, dengan
akidah dan keyakinan ini. Oleh karenanya, kajian kita dalam hal ini, bisa disederhanakan
dalam suatu permasalahan yaitu faktor teologis.
a. Kontradiksi seputar masalah teologis
Dalam perspektif agama, teologi merupakan unsur yang tidak dapat ditinggalakan,
yang dalam perumpamaannya bisa diibaratkan seperti kepala bagi badan manusia. Tidak ada
agama tanpa teologi. Dalam teologi ketuhanan tak ada satu pun agama yang tidak membawa
keyakinan ini dan mengajak para pengikutnya untuk pertama-tama meyakininya baru
kemudian disusul dengan keyakinan-keyakinan yang lain. Oleh karenanya, dalam konteks ini
akan dibahas secara mendalam masalah-masalah yang sangat relevan dan penting, yaitu
teologi ketuhanan danteologi keterpilihan (the divine chosennes).
b. Aqidah Ketuhanan
Aqidah ketuhanan dalam wacana pemikiran manusia telah mengundang kontroversi
pemahaman yang sangat beragam dan banyak, sepadan dengan ragam dan jumlah agama
yang ada di dunia. Dalam hal ini, kontroversi tersebut didasarkan pada tiga permasalahan.
Perbedaan mereka dalam memahami Zat yang ghaib atau kekuatan transendental yang
bersifat metafisikal yang sering dikenal denga nama Tuhan. Para pengikut theistic religions
P a g e 7 | 18

mengatakan itulah eksistensi Tuhan, sedangkan pengikut non-theistic religions terbagi
menjadi dua golongan, yang satu mengatakan Tuhan itu murni tidak ada, mereka itu adalah
komunis, ateis dan kebanyakan pengikut aliran-aliran dan ideologi-ideologi modern.
Sementara golongan yang lain tidak mengatakan tuhan itu ada atau tidak, tetapi cukup diam
saja atau berada pada kebimbangan dan keragu-raguan, seperti pengikut-pengikut agama
Budha kelompok Theravada, agnostik dan skeptik. Pada prinsipnya, jika dicermati secara
mendalam kedua komunitas pemeluk yang terakhir ini sesungguhnya tidak mengingkari
tuhan sama sekali, khususnya dalam konteks bahwa esensi Tuhan secara mutlak adalah
sesembahan yang patut untuk disembah. Sejatinya mereka hanya mengingkari secara lahir
saja. Betapa pun adanya, manusia pada hakikatnya tidak mungkin bisa hidup, tanpa
seperangkat aturan dan sistem aqidah keimanan.
c. Akidah Keterpilihan
Keyakinan sebagai bangsa terpilih oleh Tuhan merupakan suatu aqidah yang hampir
didapati dalam semua agama. Pada prinsipnya aqidah ini lebih dikenal di kalangan agama-
agama samawi dibanding agama-agama lain. Dalam agama Yudaisme misalnya, kitab-kitab
sucinya jelas-jelas menjelaskan pemilihan tuhan kepada mereka. Kitab Keluaran (Exodos),
misalnya, menyebutkan: Dan Musa mendaki gunung itu untuk bertemu dengan Allah,
Tuhan berbicara kepada Musa dari gunung itu dan menyuruh dia mengumumkan kepada
orang Israel, keturunan Yakub, sekarang kalau kamu taat kepada-Ku dan setia kepada-Ku
sendiri. Seluruh bumi adalah milikku, tetapi kamu akan menjadi milik kesayanganku, khusus
untuk diriku sendiri, dan kamu akan melayani aku sebagai imam-imam.
Bahkan Al-Quran juga telah menguatkan hal ini dengan firman Allah, Hai Bani
Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Ku-anugrahkan kepadamu dan Aku telah
melebihkan kamu atas segala umat. Disebutkan pula, dan sesungguhnya telah Kami pilih
mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa (yang ada pada masa mereka itu).
Sementara itu, berbeda dengan ayat di atas, di dalam Kristen sebetulnya tidak terdapat
teks-teksPerjanjian Baru yang secara kategoris menyatakan keterpilihan umat Kristen oleh
tuhan. Akan tetapi sejauh yang menyangkut masalah keyakinan keterpilihan ini dalam
kitab-kitab perjanjian baru hanyalah terbatas pada Nabi Isa al-Masih saja, atau tokoh-tokoh
tertentu saja. Oleh karena itu, aqidah keterpilihan umat Kristen lebih didasarkan pada
ajaran gereja yang menegaskan bahwa Tuhan telah memilih Isa al-Masih untuk menjadi
P a g e 8 | 18

tempat inkarnasi, untuk kemudian disalib sebagai tebusan dosa warisan anak cucu Adam.
Dan pemilihan terhadap Isa al-Masih adalah pemilihan terhadap umatnya.
Sedangkan dalam Islam, keyakinan keterpilihan umat Islam oleh Allah ini jelas-jelas di
nash dalam Al-Quran, surah Al-Imron: 110,
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang maruf
dan mencegah pada yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
Aqidah ini disebut juga disebut juga dalam dalam surah Al-Baqarah, yang artinya :
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu
Dan masih banyak lagi ayat-ayat dan hadits-hadits yang secara eksplisit maupun
implisit menegaskan eksistensi umat Islam sebagai umat yang terpilih. Namun perlu disadari
bahwa keutamaan atau keterpilihan umat Islam tidaklah mutlak tanpa syarat, karena hal itu
akan bertentangan dengan keadilan Tuhan. Akan tetapi terikat dengan apa yang termaktub di
dalam ayat-ayat al-Quran, yakni mereka senantiasa tergolong sebagai umat yang terpilih
selama mereka tetap menegakkan prinsip amar maruf nahii munkar, dan tetap beriman
kepada Allah.
2. Faktor eksternal
Faktor eksternal mempunyai peran yang cukup besar bagi berkembangnya teori pluralisme
agama. Faktor eksternal meliputi faktor sosio-politis dan faktor ilmiah, dan faktor teknologi.

a. Faktor Sosio-Politis
Diantara faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah
berkembangnya wacana-wacana sosio-politis, demokrasi, dan nasionalisme yang telah
melahirkan sistem negara-bangsa, dan kemudian mengarah pada apa yang dikenal dengan
globalisasi.Proses ini bermula semenjak pemikiran manusia mengenal liberalisme yang
menerompetkan irama-irama kebebasan, toleransi, kesamaan dan pluralisme, kemudian
liberalisme menjadi ikon dan simbol setiap pergerakan sosio-politis dalam menentang segala
bentuk kedzaliman, hingga muncul dalam kasus sosial politik suatu istilah yang disebut
demokrasi. Begitu juga meski dasar-dasar liberalisme semula tumbuh dan berkembang
P a g e 9 | 18

sebagai proses sosio-politis dan sekular, tapi kemudian paham ini tidak lagi berbatas pada
masalah-masalah politis belaka. Watak universal dan komprehensif,] yang diklaimnya yang
meliputi HAM, telah juga menyeretnya untuk mempolitisasi masalah-masalah agama dan
mengintervensinya secara sistematis.
b. Faktor Keilmuan: Gerakan Kajian-Kajian Ilmiah Modern terhadap Agama-
Agama
Pada hakikatnya, terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan
ini. Namun yang memiliki kaitan langsung dan erat dengan timbulnya teori-teori pluralisme
agama adalah maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang
sering dikenal dengan studi Perbandingan Agama. Kajian-kajian ini telah berkembang begitu
pesat dan cepat, baik dalam metodologi maupun materinya, sehingga memungkinkannya
untuk membuat penemuan-penemuan, tesis-tesis, teori-teori, kesimpulan-kesimpulan dan
pengayaan-pengayaan ilmiah yang baru, dan pada gilirannya menjadikannya memiliki bobot
yang sangat diperhitungkan dalam diskursus pemikiran dan akademik modern. Lebih dari itu,
kajian-kajian telah berhasil membekali perpustakaan-perpustakaan dengan banyak literatur
yang berkenaan dengan agama-agama dunia yang sangat bermanfaat bagi kajian-kajian
berikutnya.
c. Teknologi
Teknologi modern tak hanya merubah wajah kehidupan fisik-material, tapi juga
merubah pola kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Untuk memenuhi
kebutuhan psikis material dapat diperoleh dengan cara membeli atau mentransfer teknologi.
Namun tak demikian untuk memenuhi kebutuhan mental-spiritual manusia. Transisi dari pola
pikir lama ke pola pikir baru, baik secara fisik-material maupun mental-spiritual tak mudah.
Kasus bekas negara-negara Eropa Timur, Uni Soviet dan Yugoslavia menjelaskan betapa
proses transisi itu tidak mudah. Hukum perubahan tak mengenal apakah suatu bahasa sudah
memasuki era high technology atau belum.
Dalam era globlisasi budaya, agama dapat tekanan berat. Sebab agama punya asumsi
dasar: manusia perlu pegangan hidup tetap (stable, certainty, unfalsifiable)sedang kehidupan
sendiri penuh perubahan (instability, uncurtainty dan falsifible). Dalam keadaan pelik ini,
orang dituntut beradaptasi dengan lingkungan baru secara terus menerus, sementara nilai-
nilai lama yang diidealkan tetap jadi panutan. Era keterbukaan kultural dan kognitif secara
bersama-sama berpengaruh pada perubahan cara seseorang dan kelompok memandang
P a g e 10 | 18

objek di luar dirinya. Dalam situasi demikian, peran agama yang konstruktif untuk
membimbing manusia yang terhimpit kedua sisi tuntutan berlawanan itu sangat dinantikan.
C. Bentuk Pluralisme Budaya dan Agama Islam di Indonesia
Hampir seluruh wilayah di Indonesia, pluralitas masyarakatnya semakin nyata dan
berhimpit erat dengan realitas kehidupan sehari-hari, antara lain dengan kehidupan agama-
agama atau kehidupan beragama dan bermasyarakat. Timbulnya pluralisme, terutama
pluralisme agama Islam di Indonesia, di antaranya disebabkan karena lahirnya organisasi-
organisasi Islam, munculnya paham-paham baru, aliran-aliran baru, ataupun ajaran-ajaran
baru yang masing-masing dari mereka mempunyai latar belakang dan tujuan. Di antara
perkumpulan dan organisasi islam tersebut ialah:
1. Muhammadiyah
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H oleh Kyai
Haji Ahmad Dahlan. Perkumpulan Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran Islam
kepada sumber aslinya yaitu Alquran dan Assunah. Itulah sebabnya tujuan perkumpulan ini
adalah untuk meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama islam, serta memperteguh
keyakinan tentang agama islam, sehingga terwujudlah masyarakat islam yang sebenar-
benarnya.
2. Nahdhatul Ulama (NU)
Nahdatul Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama Nahdlatoel
Oelama (NO) didirikan di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 M, bertepatan dengan
tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut mazhab yang seringkali menyebut
dirinya sebagai golongan Ahlussunnah Waljamaah yang dipelopori oleh K.H. Hasyim
Asyari dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Berdirinya gerakan NU tersebut adalah sebagai
reaksi terhadap gerakan reformasi dalam kalangan umat Islam Indonesia, dan berusaha
mempertahankan salah satu dari empat mazhab dalam masalah yang berhubungan dengan
fikih, Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafii, dan Mazhab Hanbali.
3. Lembaga Dakwah Aliran Islamiyah Indonesia (LDII)
Faham yang dianut oleh LDII tidak berbeda dengan aliran Islam Jamaah/Darul
Hadits yang telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971.
Keberadaan LDII mempunyai akar kesejarahan dengan Darul Hadits/Islam Jamaah.,
P a g e 11 | 18

kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972
(tanggal 13 Januari 1972).
Kemudian LEMKARI sebagai singkatan Lembaga Karyawan Islam ganti nama dengan
Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang disingkat juga LEMKARI (1981).
Karena Islam Jamaah sudah terlarang di seluruh Indonesia, maka Nur Hasan Ubaidah Lubis
mencari taktik baru, yaitu dengan mendekati Letjen Ali Murtopo (Wakil Kepala Bakin dan
staf Opsus (Operasi Khusus Presiden Suharto)) waktu itu. Sedangkan Ali Murtopo adalah
seorang yang dikenal sangat anti terhadap Islam. Dengan perlindungan Ali Murtopo maka
pada tanggal 1 Januari 1972 M, Islam Jamaah berganti nama menjadi Lemkari (Lembaga
Karyawan Islam atau Lembaga Karyawan Dakwah Islam) dibawah Golkar. Dikarenakan
masih tetap menyimpang dan menyusahkan masyarakat, kemudian pada bulan November
1990 M mereka mengadakan Musyawarah Besar Lemkari di Asrama Haji Pondok Gede
Jakarta, dan berganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) atas anjuran
Menteri Dalam Negeri, Rudini.
Kota atau daerah asal mula munculnya disebut LDII adalah:
a. Desa Burengan Banjaran, di tengah-tengah kota Kediri, Jawa Timur.
b. Desa Gadingmangu, Kec. Perak, Kab. Jombang, Jawa Timur.
c. Desa Pelem di tengah-tengah kota Kertosono, Kab. Nganjuk, Jawa Timur.

4. Ahmadiyyah
Jemaat Ahmadiyah adalah suatu gerakan dalam Islam yang didirikan oleh Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad pada tahun 1889. Ahmadiyah bukanlah suatu agama. Agamanya adalah
ISLAM. Jemaat Ahmadiyah menjunjung tinggi Kalimah Syahadat "Laa ilaha Illallah,
Muhammadur-rasulullah". Nama Ahmadiyah berasal dari nama sifat
Rasulullah SAW, Ahmad (yang terpuji). Tujuan Jemaat Ahmadiyah adalah Yuhyiddiyna
wayuqiymus-syariah (Menghidupkan kembali agama Islam, dan menegakkan kembali Syariat
Qur'aniah).


P a g e 12 | 18



Faktor Perbedaan Kebudayaan
Keberagamaan dalam agama Islam di Indonesia, tidak terlepas dari kebudayaan yang
beranekaragam. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi akan keberagamaan
kebudayaan, hal tersebut dikarenakan oleh:
a. Faktor Adat Istiadat
Faktor adat istiadat adalah nilai tidak bersifat universal artinya tidak untuk setiap
masyarakat/kelompok menerima nilai tersebut, sehingga nilai antara suatu daerah dengan
daerah lainnya berbeda-beda.
Contoh: adat istiadat masyarakat Sunda dengan mayarakat Jawa Tengah berbeda.
b. Faktor Agama
Faktor agama adalah faktor yang paling mempengaruhi norma dan nilai, karena di setiap
agama berbeda pantangan dan ibadahnya.
Contoh: dalam Islam alkohol dan daging babi itu haram, sedangkan dalam agama lain tidak
diharamkan.
c. Faktor Lingkungan (tempat tinggal)
Faktor lingkungan berperan dalam pembedaan nilai dan norma setiap daerah/tempat masing-
masing.
Contoh: lingkungan di pasar sangat berbeda dengan lingkungan di perumahan, jika di pasar
ada preman yang tetapi di daerah komplek tidak ada preman (yang memegang/menarik
bayaran).
d. Faktor Kebiasaan
Faktor kebiasaan adalah faktor yang dipengaruhi oleh sering tidaknya orang itu
melaksanakan suatu pekerjaan.
Contoh: orang yang berada di pesantren sudah terbiasa membaca Al-Quran, tetapi orang
yang berada di luar, belum tentu terbiasa membaca Al-Quran.
P a g e 13 | 18



e. Faktor Suku
Suku-suku di Indonesia bermacam-macam ada Sunda, Jawa, Minang, dan lain-lain. Setiap
suku memiliki suatu nilai dan norma yang berbeda-beda contohnya jika di Jawa Barat suatu
pernikahan itu yang melamar laki-laki, tetapi di Sumatera Barat yang melamar itu
perempuan.
D. Akhlak Islami dan Pluralitas Agama-Budaya
Al-Qur'an, mengakui masyarakat terdiri berbagai macam komunitas yang memiliki
orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya
dan agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan
ibadahnya. Oleh karena itu kecurigaan tentang Islam yang anti plural, sangatlah tidak
beralasan dari segi idiologis. Bila setiap muslim memahami secara mendalam etika pluralitas
yang terdapat dalam al-Qur'an, tidak perlu lagi ada ketegangan, permusuhan, dan konflik baik
intern maupun antar agama selama mereka tidak saling memaksakan.

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebebasan untuk meyakini agama yang
dipilihnya dan beribadat menurut keyakinan tersebut. Dalam Al- Qur'an banyak ayat yang
berbicara tentang penerimaan petunjuk atau agama Allah. Penerimaan terhadap sebuah
keyakinan agama adalah pilihan bebas yang bersifat personal. Barang siapa yang sesat berarti
ia menyesatkan dirinya sendiri (QS. al-Isra[17]:15). Orang yang mendapat petunjuk yang
benar tidak akan ada yang menyesatkannya (QS. al-Zumar [39]: 37) dan orang yang sesat
dari jalan yang benar tidak akan ada yang dapat menunjukinya selain Allah (Qs. al-Zumar
[39]: 9). Selain prinsip tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqarah [2]: 256), juga
dikenal prinsif "untuk kalian agama kalian, dan untukku agamaku". (QS al- Kafirun [109]: 6).
Sungguhpun demikian, manusia diminta untuk menegakan agama fithrah (QS al-Rum
[30]:30).

Fithrah adalah ciptaan dan agama adalah ciptaan Allah. Dua ciptaan dari Maha
Pencipta yang sama, yaitu manusia dan agama, tidak mungkin melahirkan kontradiktif.
Karena itu, opsi yang terbaik adalah memilih agama ciptaan Allah. Intinya sama sepanjang
P a g e 14 | 18

sejarah, yang dibawa oleh para Nabi/Rasul dan disempurnakan dengan kedatangan
Nabi/Rasul terakhir, Muhammad Saw. Pluralitas adalah merupakan "hukum ilahi dan
"sunnah" ilahiyah yang abadi disemua bidang kehidupan, sehinga pluralitas itu sendiri telah
menjadi karakteristik utama semua makhluk Allah bahkan manusia, macamnya, afialiasinya,
dan tingkat prestasi (performance) dalam melaksanakan kewajibannya Allah berfirman dalam
surat al-Hujurat [47]ayat13:
Artinya: " Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal."
Ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan fakta diatas secara jelas menerangkan, pluralisme
merupakan realitas yang mewujud dan tidak mungkin dipungkiri. Yaitu suatu hakikat
perbedan dan keragaman yang muncul semata karena memang adanya kekhususan dan
karakterstik yang diciptakan Allah dalam setiap ciptaan-Nya. Dan pluralitas yang
menyangkut agama, yaitu suatu topik yang sedang kita bicarakan, adalah berarti pengakuan
akan eksistensi agama-agama yang berbeda dan beragam dengan seluruh karakteristik dan
kekhususannya, dan menerima ke-"lain"-an yang lain beserta hak untuk berbeda alam
beragama dan berkeyakinan.

Konsep dan pemahaman pluralitas seperti inilah yang di dukung oleh teks wahyu,
akal dan kenyataan. Teks-teks wahyu yang dirujuk seperti dalam surat Huud: [11]: 118-119
dan al-Maaidah [5]: 48, menegaskan bahwa perbedaan dan keragaman bangsa-bangsa, syariat
dan filsafah hidup memang dikehendaki oleh Allah swt. Inilah yang pertama. Kedua, ayat al-
Qur'an yang menggambarkan bahwa Allah Swt mengutus serangkaian nabi dan rasul kepada
manusia sepanjang zaman, dengan membawa akidah Islamiyah yang benar dan agama yang
suci (hanif) antara lain seperti Nabi Nuh a.s (Q.S. Yunus [10 ]: 71), Nabi Ibrahim dan cucu-
cucunya (Q.S. al-Baqarah [2]: 128), Nabi Yusuf (Q.S. Yunus [ 10 ]:101), Nabi Musa (Q.S.
Yunus [10]: 48), Nabi Sulaiman (Q.S. an-Naml [ 27 ]: 44) dan nabi-nabi Bani Israil (Q.S. al-
Midah[5]:44),AliImran[3]:52}.

P a g e 15 | 18

Jika memang tidak ada perbedaan hakiki antara agama-agama tentu saja pengutusan
ini tidak ada artinya atau sia-sia, dan ini adalah hal yang mustahil bagi Allah. Ketiga, Ayat-
ayat al-Qur'an yang di dalamnya Allah memerintahkan Rasulullah untuk mengajak ahli kitab
(kaum Yahudi dan Nasrani) dan para penyembah berhala semua agar masuk Islam (Q.S. Ali
Imran [3]:20dan64).
Artinya : "Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam),maka
katakanlah, :Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikain pula) orang-orang yang
mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang diberi al-Kitab dan kepada orang-
orang yang ummi, "Apakah kamu (mau) masuk Islam?". Jika mereka masuk Islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban
kamu hanyalah menyampaikan(ayat-ayat Allah).
















P a g e 16 | 18






BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pluralisme berasal dari dua kata yakni plural dan isme, plural yang berarti beragam,
jamak, atau majemuk. Sedangkan isme yang berarti suatu paham atau pandangan. Jadi
pluralisme agama adalah pandangan atau paham yang memiliki prinsip bahwa
keanekaragaman itu jangan menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam
satu masyarakat yang sama.
Munculnya pluralisme agama tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa factor, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal. Di dalam faktor internal tersebut umat manusia terbagi
menjadi umat manusia yang beriman terhadap wahyu langit/ samawi dan umat manusia yang
tidak beriman kecuali pada akal atau rasionalis. Sedangkan di dalam faktor eksternal tersebut
terbagi menjadi faktor sosio-politis dan faktor keilmuan.
Faktor internal tersebut merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran
yang mutlak dari agama-agama itu sendri, seperti akidah, sejarah, keyakinan. Faktor eksternal
mempunyai peran kunci dalam menciptakan iklim kondusif dan lahan yang subur bagi
tumbuh berkembangnya teori pluralisme agama.
Di Indonesia, dapat kita simpulkan bahwa agama bersifat plural, secara keseluruhan
yakni terdapat agama Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Budha. Khusunya di agama Islam itu
juga terdapat keanekaragaman, misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, LDII, Ahmadayiyah.
Dengan adanya keberagaman tesebut, tidak menutup kemungkinan untuk hidup secara damai.
B. Saran
P a g e 17 | 18

Pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan
dengan penerimaan terhadap agama-agama yang berbeda, dan dipergunakan dalam cara yang
berlain pula.
Al-Quran dalam memberikan pendidikan kesadaran terhadap pluralisme agama
terhadap umat manusia diantaranya tampak dari sikap-sikapnya sebagai berikut:

1. Mengakui eksistensi agama lain.
2. Memberi hak untuk hidup berdampingan saling menghormati pemeluk agama lain.
3. Menghindari kekerasan dan memelihara tempat-tempat beribadah umat beragama lain.
4. Tidak memaksakan kehendak kepada penganut agama lain.
5. Mengakui tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh manusia dan pemerintah
berlomba-lomba dalam kebajikan.













P a g e 18 | 18








DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin. 1996. Study Agama Normativ atau Historis?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haidar, M. Ali. 1998. Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Hasbullah. 1994. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Banjarmasin: Lembaga-Lembaga
Studi Islam dan Kemasyarakatan.
H. M. Zainuddin . 2010. Pluralisme Agama Pergaulatan Dialogis Islam-Kristen di
Indonesia (Malang: UIN Malang Press).
Khadziq. 2009. Islam Budaya Lokal Memahami Realitas Agama dalam
Masyarakat. Yogyakarta: TERAS.

Anda mungkin juga menyukai