Iqra Ramadhan
@Iqraramadhan147@gmail.com
2010003600043
Universitas Eka Sakti
A. PENDAHULUAN
Pluralisme merupakan pengakuan atas perbedaan, dan perbedaan itu sesungguhnya
sunatullah dan merupakan sesuatu yang nyata serta tidak bisa di pungkiri. Penolakan
terhadap pluralisme yang sunatullah itu menimbulkan ketegangan dan bahkan konflik, karena
meniadakan sesuatu yang nyata merupakan pengingkaran terhadap kehendak Allah. Pluralisme
pada tujuannya tidak sebatas menghendaki pengakuan atas keperbedaan itu, melainkan juga
penghormatan atas kenyataan perbedaan. Untuk itu, sudah seharusnya diakui dengan jujur
bahwa masyarakat Indonesia memang berbeda-beda dan karenanya segala perbedaan itu untuk
dihormati. Kalau sikap seperti ini bisa dilakukan maka tidak mungkin ada ketegangan yang
berujung pada konflik. Konflik menurut Syafa’atun Elmirzanah, terjadi karena terdapat
ketidakadilan atau kesalah pahaman yang berkaitan dengan status yang tidak sah dalam
masayarakat,1 sehingga terjadi pemaksaan keinginan antara satu bagian dengan bagian lainnya,
di antara berbagai kelompok masyarakat. Dan dalam berbagai pertentangan itu, isu suku,
agama, ras dan antar golongan (SARA) begitu cepat menyebar ke berbagai lapisan sehingga
1. Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata plural dan isme, plural yang berarti banyak (jamak),
sedangkan isme berarti paham. Jadi pluralism adalah suatu paham atau teori yang
Dalam pengertian semacam ini ada sesuatu yang mendasar dari pluralisme, yaitu
“ketulusan hati” pada diri setiap manusia untuk menerima keanekaragaman yang ada.
“Ketulusan hati” bukanlah hal yang mudah untuk ditumbuhkembangkan dalam diri
seseorang, atau dalam komunitas secara luas, sebab “ketulusan hati” ini berkaitan
Pluralisme adalah upaya membangun tidak saja kesadaran bersifat teologis tetapi
juga kesadaran sosial. Hal itu berimplikasi pada kesadaran bahwa manusia hidup di
tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai keragaman
sosial lainnya. Karena dalam pluralisme mengandung konsep teologis dan konsep
sosiologis.
kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya
latar belakang (agama) dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai eksistensi hidup
berdampingan, saling bekerja sama dan saling berinteraksi antara penganut satu agama
dengan penganut agama lainnya, atau dalam pengertian yang lain, setiap penganut
agama dituntut bukan saja mengakui keberadan dan menghormati hak agama lain, tetapi
juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan, guna tercapainya
kerukunan bersama.
dipahami sebagai suatu sikap mengakui dan menerima kenyataan kemajemukan sebagai
yang bernilai positif dan merupakan ketentuan dan rahmat Tuhan kepada manusia.
bahwa agama yang kita peluk adalah jalan keselamatan yang paling benar, tetapi bagi
penganut agama lain sesuai dengan keyakinan mereka agama mereka pulalah yang
paling benar. Dari kesadaran inlah akan lahir sikap toleran, inklusif, saling menghormati
dan menghargai, serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk beribadah sesuai
Hal tersebut sesuai dengan sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa”,
dan UUD’45 pasal 29 ayat (2) yang menjamin kebebasan beragama dan beribadah
sesuai menurut agama dan kepercayaan masing- masing.4 Pasal 29 ayat (2) UUD’ 45, di
merupakaan jaminan tidak ada diskriminasi agama di Indonesia. Mukti Ali, secara
Setiap agama tidak terpisah dari yang lainnya dalam kemanusiaan. Keterpisahan
watak dasar masyarakat manusia yang tidak bisa dihindari. Dilihat dari segi etnis,
bahasa, agama, budaya, dan sebagainya, Indonesia termasuk satu negara yang paling
majemuk di dunia. Indonesia juga merupakan salah satu Negara multikultural terbesar di
dunia. Hal ini disadari oleh para founding father kita, sehingga mereka merumuskan
kalangan seiring dengan semakin banyaknya konflik yang timbul saat ini. Sebagian
besar konflik tersebut di tenggarai sebagai akibat dari perbedaan agama. Untuk
karena disamping ada yang setuju dan menaruh harapan padanya, ada yang pula
berbagai kekhawatiran ataupun kecurigaan terhadapnya. Seperti apa yang dikatakan oleh
M. Amin Abdullah bahwa kekhawatiran umat beragama pada pluralitas adalah pada
akibat yang ditimbulkan dan konsekuensi dari wujud praktis dari wujud pengakuan
formal tersebut terhadap faham “Relativitas” keberadaan relativitas adalah salah satu
internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana antara satu faktor dan faktor lainnya
saling mempengaruhi dan saling berhubungan erat. Faktor internal merupakan faktor
yang timbul akibat tuntunan akan kebenaran yang mutlak (absolute truthclaims) dari
agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah akidah, sejarah maupun dalam masalah
keyakinan atau doktrin. Faktor ini sering juga di namakan dengan faktor ideologis.
Adapun faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu
faktor sosio-politis dan faktor ilmiah.
yang serba mutlak dan absolut dalam apa yang di yakini dan di imaninnya merupakan
hal yang wajar. Sikap absolutisme agama tak ada yang mempertentangkannya hingga
b. Faktor Eksternal
Di samping faktor-faktor internal tersebut di atas tadi, terdapat juga dua faktor
eksternal yang kuat dan mempuyai peran kunci dalam menciptakan iklim yang kondusif
3. Dasar-dasar Pluralisme
dan martabat yang sama, mempunyai unsur-unsur essensial (inti sari) serta
tujuan atau cita-cita hidup terdalam yang sama, yakni damai sejahtera lahir dan
batin. Namun dari lain sisi, manusia berbeda satu sama lain, baik secara
individual atau perorangan maupun komunal atau kelompok, dari segi eksistensi
sosial.
c. Dasar Teologis
macam agama yang berbeda dalam berbagai aspek atau unsur-unsurnya, dan
gambaran “sang Ilahi” (Allah) yang maha baik serta cita-cita atau tujuan mulia
keragaman hukum. Pluralismme hukum adalah hadirnya lebih satu aturan hukum dalam sebuah
lingkungan sosial Pluralisme hukum bisa menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi di
Indonesia. Dengan alasan pluralisme hukum, semua produk hukum dapat dipakai untuk
dijadikan jalan bagi totalitarianisme. Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, Namun
kita belum memiliki konstitusi yang kuat untuk menopang kemajemukan. Feodalisme masih
begitu kental dalam seluruh segi kehidupan masyarakat kita. Kita masih juga masih belum lepas
dari bayang-bayang otoritarianisme yang masih menghantui kita, ditambah dengan ancaman
munculnya kembali totalitarianisme semakin menguat akhir-akhir ini. Oleh karena itu,
pluralisme hukum, bagaimanapun juga, tidak relevan dengan kondisi sosial-politik Indonesia.
Dari tulisan ini, jika anda menelaah lebih jauh maka tentunya anda akan memahami cakupan dari
Pluralisme Hukum terkait dengan pandangan para Antropologi Hukum. Karena plural senantiasa
terkait dan terikat pada istilah keragaman maka setiap ada kata ‘keragaman’ maupun
DAFTAR PUSTAKA
Gokma Toni Parlindungan S, Asas Nebis In Idem Dalam Putusan Hakim Dalam Perkara
Poligami Di Pengadilan Negeri Pasaman Sebagai Ceriminan Ius Constitutum, Volume
2, Nomor 1, 2020.
Harniwati, Peralihan Hak Ulayat Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004, Volume 1,
Nomor 3, 2019.
Jasmir, Pengembalian Status Hukum Tanah Ulayat Atas Hak Guna Usaha, Soumatera Law
Review, Volume 1, Nomor 1, 2018.
Mia Siratni, Proses Perkawinan Menurut Hukum Adatdi Kepulauan Mentawai Di Sebelum Dan
Sesudah Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Ensiklopedia Of Journal, Vol 1 No 2 Edisi 2 Januari 2019,
Remincel, Dimensi Hukum Pelanggaran Kecelakaan Lalu Dan Angkutan Jalan Lintas Di
Indonesia, Ensiklopedia Social Review, Volume 1, Nomor 2, 2019.