Anda di halaman 1dari 77

STISIP WIDURI – JAKARTA

Matakuliah : Pendidikan Agama


Dosen : Beny W Nawa, SE,MM
Kuliah : 8 Desember 2016, Pertemuan : 14 X pertemuan,
dan UTS serta UAS
Alamat : Hp. 081281227156, 081808545790
Email :benynawa23@gmail.com ;
Jl. Palmerah Barat No. 353, Jakarta Selatan

I. GARIS BESAR PERKULIAHAN PENDIDIKAN AGAMA :


1. Pengalaman beragama dan keberagamaan
2. Beberapa pendapat tentang Agama-
3. Beberapa pandangan sosiologi klasik ttg Agama-1
4. Civil Religion, Political -Religion dan State Religion-2
5. Beberapa pengertian Agama dari sudut pandang –Psikologi-3
6. Pandangan Relativisme-4
7. Pengertian Agama menurut beberapa Agama-agama
8. U T S
9. Pandangan Agama Budha, Hindu,-5
10. Islam, Kristen, Khong Hu- Chu-6
11. Agama ditinjau dari sudut pandang filsafat perennial-1
12. Interaksi Agama dan Kebudayaan di Indonesia-2
13. Hubungan antar Umat Beragama-3
14. Kerukunan antar umat beragama- 4
15. Agama-agama dan Etika Pembebasan-5
16. Refleksi Theologis-6
17. Ujian Akhir Semester (UAS).

II. Tugas : Buat Kliping tentang Agama-agama + 20 halaman,


dan dimasukkan pada saat, (Nama Koran,Tgl/bln/thn) UAS.

A. Tugas-tugas ; (07/12/2016)
1. Jelaskanlah Pengalaman beragama dan keberagamaan
2. Sebutkanlah Beberapa pendapat tentang agama
3. Pengertian agama menurut beberapa agama
4. Pengertian agama menurut 4 ahli + Anda ?

B. Tugas Kedua : (14/12/2016)


5. Jelaskan apakah dimaksudkan dengan Agama ditinjau dari
sudut pandang filsafat Perennial .
5a. Sebutkanlah pengertian Agama menurut Islam, Kristen, Budha ?
6. Ada apa dan bagaimana Hubungan antar umat beragama di
Indonesia ?
7. Sebutkanlah Nilai-nilai universal dalam Refleksi Theologis
tentang agama-agama (lima agama besar)
8. Sebutkan dan jelaskanlah makna/arti tiga simbol dari 5
agama di Indonesia.

1
C. Tugas Ketiga : (11/01/2017)
1. Apa yang dimaksudkan dengan Toleransi dan Intoleransi
antar umat beragama? berikanlah sebuah contoh !
2. Dialog macam apakah yang perlu dibuat antar umat
beragama di Indonesia ? Berilah contoh thema dialog
antar umat !
3. Sebutkanlah hambatan-hambatan dalam dialog antar
agama. Apa saja hambatan2 tsb?
4. Sebutkanlah unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam
membangun kerukunan antar umat ?

2
BAHAN KULIAH
AGAMA
Pertemuan I

1. PENGALAMAN BERAGAMA DAN KEBERAGAMAAN

1.1. Pengalaman beragama

Adalah kenyataan hakiki bahwa sebagai makhluk berakal budi manusia


selalu ingin mengetahui kebenaran. Secara garis besar, dapat dibedakan
tiga macam kebenaran, yaitu: kebenaran akali, kebenaran faktual dan
kebenaran absolut (kebenaran mutlak, kebenaran adikodrati). Kebenaran
akali adalah kebenaran hasil penalaran pikiran atau rasio manusia, seperti
kebenaran dalam logika dan matematika. Kebenaran faktual adalah
kebenaran berdasar fakta yang bersifat spasial (keruangan) dan temporal
(waktuwi), yang diketahui berdasar pengalaman inderawi. Sedangkan
kebenaran adikodrati adalah kebenaran yang berdimensi rohani,
melampaui ruang dan waktu, tak mungkin terjangkau secara penuh dan
sempurna oleh manusia, serta tak cukup dipahami berdasar pengalaman
inderawi, melainkan oleh pengalaman rohani. Pengalaman beragama atau
pengalaman tentang Tuhan atau kuasa supranatural yang mengatasi
hidup manusia merupakan contoh pengalaman rohani.1 Sejak zaman
purbakala manusia berusaha bersaksi tentang pengalaman
keagamaannya, pengalaman tentang adanya kuasa supranatural dan
interaksi serta komunikasi mereka dengan-Nya. Dalam hubungan inilah
dikenal adanya wahyu atau penyataan dari Yang Ilahi.

1.1.1. Pengalaman religius berdasar pewahyuan umum

Romando Guardini (1885-1971), seorang pemikir dan teolog Italia yang


kemudian berpindah ke Jerman, membedakan tiga macam pengalaman
agamawi berdasar pewahyuan umum: pengalaman religius kosmologis,
pengalaman religius antropologis dan pengalaman religius etis.
Pengalaman religius kosmologis adalah pengalaman religius yang
berhubungan dengan alam semesta. Pengalaman religius antropologis
adalah pengalaman religius yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
dalam kehidupan manusia. Pengalaman religius etis adalah pengalaman
religius yang berhubungan dengan suara hati.2
Pada saat manusia menatap kenyataan alam semesta dan seluruh
jagad raya ini, mungkin secara profan (sekular) manusia akan
menyatakan kekagumannya, betapa indah, betapa besar, betapa dahsyat,
dan seterusnya. Namun mungkin pula manusia bukan sekadar
memberikan tanggapan profan, melainkan sekaligus menghayati adanya
“misteri” di balik semua kedahsyatan alam ini. Sang “Misteri” itu
dibayangkan sebagai “Keberadaan” yang sama sekali berbeda dengan

1 Bdk. Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani (Yogyakarta dan Jakarta: Yayasan Kanisius dan BPK, 1985), hlm.19.
2 Lht. Huybers, Manusia Mencari Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 68-75, 248 dst.

3
kenyataan duniawi, sebab Ia adalah kekal, kudus dan sempurna.
Sekalipun keberadaannya sama sekali berbeda dengan hal-hal duniawi,
“Yang Kekal” atau “Yang Kudus” tersebut dialami melalui kenyataan
dunia. Rudolf Otto menyebut kepekaan manusia terhadap “Yang Kekal”
atau “Yang Kudus” ini sebagai “sensus religiosus” (kesadaran beragama),
salah satu aspek struktur apriori irasional dalam jiwa manusia. Karena
adanya sensus religiosus ini maka manusia dapat mengalami hal-hal
duniawi sebagai isyarat dari hal-hal yang ilahi.3 Kata “kudus” yang
dikenakan kepada “Sang Misteri” bukan berarti kesucian moral
sebagaimana makna kata tersebut jika dikenakan kepada manusia,
melainkan lebih berarti “kekuasaan ilahi”, yang sama sekali lain dengan
keberadaan manusia dan kenyataan-kenyataan duniawi ini.

Yang ketiga, pengalaman religius yang berkenaan dengan hati nurani.


Seringkali seseorang diperhadapkan pada pilihan untuk bertindak yang
berkaitan dengan hati nurani. Pada saat seseorang melihat dompet
seseorang jatuh, ia diperhadapkan dengan pilihan, berbuat jujur, yang
berarti mengembalikan dompet tersebut kepada pemiliknya, atau berbuat
tidak jujur dan tidak mengembalikan dompet tersebut. Keputusan untuk
memilih bertindak sesuai dengan bisikan hati nurani dapat menjadi
pengalaman religius seseorang, karena dalam dirinya ada kesadaran akan
adanya Kebenaran Mutlak yang menjadi sumber kebenaran dalam
hatinya. Pada saat seseorang harus menghadapi konflik batin, keinsyafan
akan kewajiban objektif, atau keharusan untuk mengambil keputusan
moral, hatinya terusik untuk mengingat Sumber Kebenaran yang
mengatasi dirinya. Tentu hal ini sangat tergantung pada keyakinan
seseorang akan adanya Kuasa transenden yang mengatasi dirinya. Dapat
saja terjadi bahwa hal-hal tersebut dipahami hanya sebagai tuntutan
moral etis manusiawi belaka. Di antara kaum humanis dan ateis terdapat
pula pribadi-pribadi yang bermoral tinggi. Tetapi sebaliknya, di antara
kaum beragama pun ada pula yang bermoral rendah. Jadi, kesadaran
moral tidak sama dengan kesadaran religius. Bagi orang yang
mempercayai adanya Tuhan, peristiwa yang berkaitan dengan kesadaran
moral dapat menjadi pengalaman religius, namun bagi mereka yang tidak
percaya akan adanya Tuhan, peristiwa-peristiwa tersebut hanya dianggap
sebagai peristiwa kemanusiaan belaka.

1.1.2. Pengalaman religius berdasar kerentanan manusia

Menghayati kehidupan ini manusia menyadari bahwa hidupnya berada


dalam kerentanan dan misteri-misteri yang tak terpecahkan. Kehidupan
manusia paling tidak diperhadapkan pada tiga macam kerentanan.
Pertama, kehidupan manusia berada dalam keadaan terancam dan tidak
pasti. Ada sakit-penyakit dan kematian, ada kesusahan dan penderitaan,
ada mala petaka dan bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Manusia
tidak dapat memastikan masa depan kehidupannya. Apa yang akan
terjadi nanti, besok atau lusa, tidak seorang pun dapat memastikannya.
Dalam keadaan seperti ini, manusia membutuhkan pertolongan dan
3 Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Harmondswoth: Penguin Books, 1959), hlm. 192.

4
rahmat dari Kuasa Supranatural yang mengatasi hidupnya. Memang,
kaum ateis berpendapat bahwa semua persoalan itu dapat diselesaikan
dengan akal budinya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
diyakini dapat mengatasi keterancaman dan ketidakpastian manusia.
Namun hingga saat ini, pemikiran ateistik tersebut toh tidak dapat
memberi jaminan bahwa manusia dapat terbebas dari ancaman dan
ketidakpastian itu.
Kedua, manusia diperhadapkan pada kenyataan bahwa keberadaan ini,
dunia dan diri manusia sendiri bersifat tak terpahami, tak terselami dan
tak terkenali. Manusia diperhadapkan pada misteri yang tidak
terpecahkan. Kesadaran akan adanya misteri-misteri ini membawa
manusia pada keinsyafan akan adanya Kuasa yang lebih tinggi, Yang
Mahatahu, yang mengetahui semua misteri, sekalipun bagi manusia Ia
adalah Misterium yang tak mampu dikenal dan diketahui secara lengkap.
Dia Yang Tak-Terbatas bukanlah objek pemikiran manusia yang terbatas.
Ketiga, manusia menyadari bahwa keberadaan dirinya dan dunia ini
bukanlah suatu keharusan untuk ada, melainkan kenyataan yang sudah
ada dan harus diterima. Kesadaran ini menuntun manusia pada
keinsyafan akan adanya Kuasa yang menghendaki. Segala sesuatu ada
karena adanya inisiatif dari Sang Inisiator atau prakarsa dari Sang
Pemrakarsa.4

1.1.3. Pengalaman religius khusus

Gejala keagamaan secara umum yang telah dibicarakan sudah terdapat


dalam semua bangsa di segala zaman. Di mana-mana manusia selalu
sadar akan adanya Kenyataan misterius yang dihayati sebagai asal-
muasal sekaligus tujuan segala sesuatu. Bentuk ungkapan kesadaran
tersebut sangat beragam, karena diwarnai oleh kebutuhan,
kecenderungan, alam berpikir, serta kebudayaan manusia. Sekalipun
demikian tidak berarti bahwa kehidupan agama umat manusia semata-
mata merupakan hasil perkembangan evolutif peradaban manusia. Dalam
penelitian dapat dibuktikan bahwa dalam agama-agama primitif justru
sering terdapat kesadaran beragama yang relatif murni; sebaliknya,
dalam masyarakat yang lebih modern kemurnian kesadaran beragamanya
sering tercampur dengan unsur-unsur duniawi (misalnya pendewaan
alam), yang mengakibatkan simbol-simbol untuk Sang Pencipta berubah
menjadi idol (berhala). Penghayatan akan Kuasa Supranatural telah
tereduksi oleh idol-idol, yang sadar atau tak sadar telah diciptakan
manusia. Akibatnya, bukan Kuasa Supranatural itu sendiri yang menjadi
sentrum pemujaan, melainkan telah bergeser pada simbol-simbol religius
yang diberhalakan.5
Di samping berdasar ‘wahyu’ umum yang telah dibicarakan,
pengalaman keagamaan dan hidup beragama manusia juga dipengaruhi
bahkan ditentukan oleh pewahyuan khusus yang berupa Kitab Suci, yang
oleh masing-masing agama diyakini sebagai wahyu yang berasal dari
Sang Ilahi. Namun tidak boleh dilupakan, bahwa pewahyuan tersebut

4 R. Guardini, Religion und Offenbarung, Wurzburg, 1958, hlm. 12, 47, 58, 66.
5 Bdk. Nico Syukur Dister, Bapak & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 43-45.

5
juga tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu manusia penerimanya.
Oleh sebab itu, umat beragama pada periode-periode selanjutnya perlu
dengan sekasama mengkaji inti pesan yang hendak disampaikan
melaluinya. Pesan-pesan tersebut tidak selalu dapat dipahami secara
harfiah (literer), sehingga perlu kajian ulang secara cermat.

1.2. Keberagamaan

1.2.1. Norma keagamaan dan spiritualitas

Agama sulit didefinisikan. Memang agama bukan untuk didefinisikan atau


diperdebatkan. Menurut Hans Küng agama merupakan keyakinan dalam
diri manusia untuk dihayati, bukan sekadar konsep teknis yang abstrak;
agama merupakan iman yang konkrit, bukan sekadar lembaga.6 Agama
selalu menyangkut basic trust seseorang akan hidup. Sadar atau tidak,
secara eksistensial manusia membutuhkan komitmen dasar, komitmen
pada makna, pada nilai dan pada norma. Agama memberikan makna
yang komprehensif akan hidup, menjadi jaminan bagi nilai-nilai tertinggi
dan norma-norma yang bersifat tanpa syarat, memberi komunitas dan
rumah rohani bagi individu-individu.7 Keberadaannya melekat pada
kemanusiaan manusia, bersifat konkret, berkaitan dengan kemeng-ada-
an manusia, dan bertolak dari pandangan komunitas manusia tentang
kuasa supranatural, dunia, manusia, serta hubungannya satu sama lain.
Kaidah-kaidahnya diwujudnyatakan dalam kehidupan, peribadahan, sikap,
perilaku, dlsb. Dalam rasa keagamaannya, manusia insyaf akan adanya
suatu Kekuasaan yang melebihi segala-galanya dan sangat penting untuk
keselamatannya.8 Dari segi yang lain, manusia – baik sebagai individu
maupun sebagai kelompok – memiliki keunikan masing-masing.
Kemanusiaannya tumbuh dan terbentuk oleh suatu lingkungan dan
kondisi tertentu, lengkap dengan norma, tata nilai dan cara pemaknaan
terhadap realitas yang dihadapinya. Oleh karena itu sah dan wajar jika
dalam “berolah agama” terdapat keunikan dan berbeda satu sama lain.
Keberagamaan berhubungan erat dengan spiritualitas. Spiritualitas
otentik tumbuh dan berkembang dari penghayatan personal seseorang
terhadap perjumpaannya dengan Kuasa transenden. Penghayatan
tersebut, menumbuhkan relasi, mungkin personal, mungkin pula
impersonal. Namun yang jelas, titik-tolaknya adalah realitas hidup yang
dialami, serta gerak hati untuk memberikan tanggapan spiritual terhadap
Kuasa transenden itu. Pengungkapan spiritualitas dan kedalaman
sentuhannya tidak dapat dilepaskan dari jalinan budayawi seseorang
secara kontekstual. Karena itu, pengembangan spiritualitas menggunakan
wahana kebudayaan adalah wajar, bahkan seharusnya.
Tidak dapat disangkal, sekalipun spiritualitas terkait erat dengan
penghayatan personal dan bersifat individual, implikasinya bersentuhan
pula dengan komunitas sosial. Itulah sebabnya, dimungkinkan terjadinya

6 Hans Küng, dikutip oleh Sunardi, dalam ulasannya mengenai Sumbangan Hans Küng Bagi Dialog Antar Agama, dalam
Seri Dian I, Dialog, Kritik & Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 1994), hlm. 60-61.
7 Sunardi, Dialog, Kritik dan Identitas Agama, hlm. 62.
8 A.P. Budiyono H.D, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman, Jilid 1 (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius,

1983), hlm. 96.

6
kelompok orang, yang secara bersama-sama terikat dalam kesamaan
pengungkapan spiritualitas dalam wadah agamawi. Wadah itu pun akan
menemukan spesifikasinya lebih lanjut dalam jalinan kebudayaan yang
melingkupinya. Dengan demikian, terjadinya bentuk-bentuk
pengungkapan spiritualitas (sebagai inti kehidupan keagamaan) yang
berbeda-beda, merupakan hal yang wajar dan (semestinya) tidak perlu
mengundang ketegangan.

1.2.2. Agama sebagai sistem Simbol

Simbol mempunyai makna yang lebih dalam dan lebih rumit daripada
tanda. Dalam simbol, objek, fakta atau peristiwa sebagai realitas
dipergunakan untuk menunjuk realitas lain, yang biasanya berada di luar
jangkauan pengalaman inderawi manusia. Signifikasi (signifikasi = proses
pemahaman tanda-tanda lahir yang mudah dilihat) simbol memuat
pemahaman-pemahaman yang dalam, misterius dan mengatasi
kemampuan inderawi manusia yang terbatas.9 Sekalipun demikian
manusia selalu membutuhkan dan menggunakan simbol-simbol itu.
Bahkan sebagai makhluk yang berakal budi, manusia dapat menciptakan
simbol-simbol untuk mengaktualisasikan pikiran dan kehendaknya.
Dengan pikirannya manusia menciptakan simbol-simbol dan dengan
menggunakan simbol-simbol manusia berpikir untuk mengartikannya.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa simbol-simbol tersebut merupakan
penjelmaan dari kebebasan dan dinamika budi manusia. Kemampuan
untuk menciptakan dan menggunakan simbol-simbol tersebut mewarnai
seluruh perilaku manusia, sehingga perilaku manusia dapat disebut
sebagai perilaku simbolik. Dapat dikatakan bahwa manusia berpikir,
berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan simbolik. Manusia
memaknai kehidupannya dengan simbol-simbol dan dengan cara itu
pengalaman-pengalaman dapat didefinisikan dan diatur sesuai dengan
cara hidup komunitasnya. Manusia tidak melihat, menemukan dan
mengenal dunia secara langsung, melainkan melalui berbagai simbol.
Realitas-realitas yang dihadapi tidak hanya dipahami sebagai kumpulan
fakta, melainkan sebagai sesuatu yang mempunyai makna kejiwaan.
Dalam hal ini, simbol berperan memberi keluasan dan keleluasaan
pemahaman.10
Secara fenomenal, realisasi sikap-tanggap manusia terhadap berbagai
realitas di sekitarnya, termasuk kuasa transenden yang diakui sebagai
keberadaan yang melebihi dirinya, terwujud dalam bentuk agama.
Pewujudnyataan penghayatan tersebut tidak terlepas dari simbol-simbol.
Oleh karena itu, agama memiliki dan memerlukan demikian banyak
simbol. Bahkan secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa agama adalah
suatu sistem simbol untuk mengungkapkan konsep-konsep dan gagasan-
gagasan tentang kekudusan, serta relasi manusia dengannya.11 Secara
spesifik simbol-simbol dalam agama dapat disebut sebagai simbol-simbol
religius. Wujudnya dapat bersifat material, seperti rumah ibadah dan

9 Sutan Takdir Alisyahbana, Antropologi Baru (Djakarta: PT Dian Rakjat, 1968), hlm. 256.
10 Bandingkan, Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (PT Hanindita, Yogyakarta, Cet. III, 1987), hlm. 10.
11 Alisyahbana, Antropolgi Baru, hlm. 262.

7
segala perangkat peribadahan, atau immaterial, seperti ibadah, ritus-ritus
dan tata-cara keagamaan yang lain.
Setiap religi atau agama – apapun bentuknya – sebagai sebuah sistem
simbol memiliki unsur-unsur: perasaan keagamaan atau kesadaran
keagamaan (kesadaran religius), sistem ajaran atau sistem kepercayaan,
sistem peribadahan atau sistem ritual, serta komunitas religius yang
menganut sistem ajaran atau sistem kepercayaan itu.12 Berhadapan
dengan realitas dan segala misterium yang tidak selalu mampu terjawab
oleh logika, manusia disadarkan akan adanya Realitas transenden yang
mengatasi keberadaannya, serta keterhubungan dirinya dengan Realitas
itu. Kesadaran inilah yang menumbuhkan perasaan keagamaan. Calvin
menyebutnya sebagai semen religionis.13 Dengan demikian, pada
hakikatnya kesadaran religius telah melekat (inheren) pada kemanusiaan
manusia. Kesadaran religius tersebut membutuhkan wahana
pengungkapan dalam bentuk simbol-simbol, yang berfungsi untuk
mendramatisasikan keterhubungan manusia dengan Kuasa transenden.
Lebih lanjut, kesadaran keagamaan itu mewujud dalam sistem
kepercayaan atau sistem ajaran yang merupakan konkretisasi keyakinan,
bayangan-bayangan manusia tentang Kuasa transenden, pemahaman
tentang hakikat dirinya sendiri dan alam semesta, pemahaman tentang
hidup dan maut, sikap dan perilaku, kebenaran dan kekudusan. Semua
itu ditransmisikan melalui Kitab Suci atau mitologi yang diwariskan secara
lisan turun-temurun dalam masyarakat. Aktualisasinya dalam kehidupan
tercermin dalam bentuk sistem ritual atau peribadahan, seperti: doa,
pujian, ayat2 suci,sesaji, korban, perjamuan, prosesi, laku, samadi,
dan sebagainya. Hal-hal tersebut merupakan dramatisasi relasi serta
komunikasi personal manusia dengan Yang Mahasuci. Dari sisi ini, sistem
religi merupakan salah satu segi kebudayaan, dengan simbol-simbol yang
dihasilkan oleh akal budi manusia.14
Para penganut suatu sistem kepercayaan atau religi, dipersatukan
dalam bentuk komunitas religius atau komunitas agama tertentu. Secara
pribadi atau kelompok, periodik atau keseharian, mereka berpegang pada
sistem ajarannya serta melakukan sistem peribadahannya dalam bentuk
upacara-upacara ritual. Inilah awal munculnya lembaga-lembaga
keagamaan (atau lazim disebut sebagai agama saja) sebagai wadah
spiritual bagi para penganutnya. Sedangkan para penganutnya disebut
sebagai jemaat atau umat. Disadari atau tidak, salah satu pengikat yang
mempersatukan umat tersebut adalah uniformitas pemaknaan simbol-
simbol religius yang digunakannya. Penyim-pangan pemaknaan akan
menimbulkan keberagaman aliran.
Jadi, secara ringkas dapat dikatakan: kesadaran religius
menumbuhkan penghayatan religius; penghayatan religius membutuhkan
ekspresi religius yang dikonkretisasi dalam simbol-simbol religius.15

12 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (PT Gramedia, Jakarta, 1974), hal. 137.
13 Calvijn, Johannes, Institutie, Boek 1, Hfst. III, 1,2,3 (vertaald door A. Sizoo, Amsterdam: Uitg. Naamloze Venootschap
W-D Meinema, Delft, Tweede Druk, 1949), hlm. 1-11.
14 Lihat, Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, hlm. 27-28.
15 Alkitab sebagai kesaksian iman Israel juga mengambil simbol-simbol dari latarbelakang sejarah dan kebudayaan

sejamannya (lihat uraian mengenai simbol dalam Bruce M. Metzger - Michael D. Coogan (ed), The Oxford Companion to
The Bible (New York: Oxforf University Press, 1993), hlm. 721.

8
Ekspresi religius tersebut meliputi tempat-tempat suci, seperti: rumah
ibadah atau tempat-tempat yang dianggap keramat; akta-akta suci yang
berbentuk upacara-upacara ritual dan kata-kata suci yang berupa:
kumpulan cerita-cerita suci, wahyu, Kitab Suci atau mitos mengenai
tokoh-tokoh suci.16

(Pertemuan Ke II )

2. BEBERAPA PENDAPAT TENTANG AGAMA

2.1. Pandangan beberapa Antropolog

Suatu pertanyaan penting bagi kita adalah, mengapa agama – paling


tidak bentuk atau pengungkapannya – berubah? Pertanyaan ini penting,
baik bagi para sejarawan, sosiolog, maupun antropolog kultural. Berdasar
fakta bahwa bentuk agama senantiasa berubah atau berkembang secara
dinamis, muncullah berbagai teori di kalangan para antropolog.

2.1.1. Teori proses evolusi

Agama adalah komunikasi mengenai alam berpikir tentang dunia


atau realitas yang diciptakan, yang dikembangkan oleh manusia
sebagai kelompok.

Realitas-realitas tersebut berawal dari pemikiran seseorang, kemudian


disebarkan kepada orang lain. Bagaimana dan mengapa manusia
mengembangkan kemampuannya untuk menciptakan realitas-realitas
internal dan kemudian mengkomunikasikannya kepada orang lain, hal
tersebut berhubungan dengan fungsi pusat syaraf kita sebagai mesin
pemroses. Input yang diolah berasal dari indera kita. Memori internal
dalam diri manusia merupakan jaringan kerja syaraf. Unit pemroses pusat
merupakan syaraf processor yang amat kompleks, yang mampu
mengembangkan probabilitas hubungan-hubungan tertentu dan
mengurangi hubungan-hubungan yang lain, dan output-nya adalah
perilaku dan emosi.
Kira-kira 60.000 tahun silam manusia mulai mengembangkan
kemampuannya untuk melakukan komunikasi simbolik (Mithen S., The
Prehistory of Mind, London: Thames & Hudson, 1996). Melalui komunikasi
simbolik, mereka memiliki kemungkinan untuk saling berbagi mengenai
model-model internal yang mereka miliki. Model-model yang berbeda

16 Bandingkan artikel Winston L. King, “Religion,” khususnya tentang “Sacred Places and Objects, Sacred Actions (rituals)”
dan “The Sacred Community,” dalam Mircea Eliade (Editor in Chief), The Encyclopedia of Religion, Vol. 12 (New York:
Macmillan Publishing Company, 1987), hlm. 288-290.

9
dikomunikasikan kepada orang lain melalui simbol-simbol. Model-model
kultural yang paling popular kemudian menjadi agama-agama. Dengan
demikian kita dapat memandang agama sebagai pemikiran yang hidup,
yang diterima oleh kelompok. Hal ini merupakan hasil kerja sistem syaraf
pusat yang memungkinkan seseorang bersikap adaptif (mudah
menyesuaikan diri) dan reproduktif (mampu mengembangkan). Meskipun
diterima oleh kelompok, sesungguhnya model tersebut merupakan hasil
penalaran seseorang.

2.1.2. Teori regulasi (aturan) ekologis

Teori yang dikemukakan oleh Roy A. Rappaport17 berpendapat bahwa


agama telah berubah secara evolutif untuk mengirimkan sinyal
kontrol terhadap kelompok atas interaksinya dengan lingkungan
alam.
Ada beberapa asumsi yang perlu dipertimbangkan secara kritis dari
teori ini, yaitu: (1) bahwa agama sendiri memiliki kekuatan emosional
untuk mengubah perilaku kelompok, ketika sinyal-sinyal simbolik lainnya
kehilangan dampak emosinal serta fungsinya; (2) bahwa agama tanggap
terhadap perubahan hubungan antara kelompok dengan lingkungan
alamiahnya; dan (3) bahwa kelompok merupakan unit penting
(signifikan) hasil seleksi alamiah.
Sebelum Rappaport, Marvin Harris18, dalam pandangan
materialistiknya terhadap agama telah mengemukakan gagasan yang
sama. Teori Harris terkait erat dengan gagasan tentang seleksi kelompok,
yang sama sekali tidak memberi ruang bagi evolusi psikologi individu
secara biologis. Menurut teori seleksi kelompok, manusia berjuang keras
bagi kelangsungan kelompoknya. Hal ini merupakan tema pokok dalam
ideologi kultural. Namun banyak pemikir evolusionis berpendapat bahwa
ideologi tersebut merupakan produk altruisme kekeluargaan (altruisme:
asas yang mengutamakan kepentingan orang lain dan mengesam-
pingkan kepentingan diri sendiri) atau altruisme resiprokal dan gagasan
bahwa pengorbanan demi kelompok akan lebih menguntungkan individu
daripada kelompok. Rappaport memberikan cukup banyak bukti bahwa
suku Tsembaga di New Guinea mengatur interaksi mereka dengan
lingkungan alam dan lingkungan politis melalui sistem ritual, namun ia
tidak menunjukkan bagaimana sistem tersebut berevolusi. Kemungkinan,
proses regulasi ekologis tersebut merupakan dampak dari kesadaran
psikologis yang lebih luas yang terdapat dalam banyak agama mengenai
lingkungan alam.

2.1.3. Teori komitmen

Terori komitmen adalah teori evolusi agama yang lebih mutakhir. Teori ini
berhubungan erat dengan pemikiran Robert H. Frank,19 seorang ekonom,

17 Roy A. Rappaport, Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People, 2nd ed. (New Haven: Yale
University Press, 1984).
18 Marvin Harris, Cows, Pigs, Wars, Witches: the Riddles of Culture (New York: Random House, 1974).
19 Robert H. Frank, Passion with Reason: the Strategic Role of the Emotions (New York: Norton, 1988).

10
dan William Irons,20 serta Richard Sosis,21 dua orang antropolog. Teori
komitmen berawal dari paradoks bahwa agama sekaligus rasional dan
irasional. Agama itu rasional, sehingga menyebabkan individu-individu
dapat bekerjasama dalam suatu kelompok. Namun agama juga irasional,
karena ia menuntut kepercayaan (yang tidak menuntut bukti atau
verifikasi) terhadap keberadaan dan kekuasaan suatu Entitas transenden.
Dengan komitmen terhadap sesuatu yang diterima sebagai kebenaran
(yang tidak memerlukan verifikasi) orang dapat menilai anggota
kelompok lainnya, apakah mereka dapat dipercaya atau tidak.
Kepercayaan selalu merupakan persoalan dalam kelompok manusia,
sebab komunikasi simbolik mimetik (bersifat menirukan ayau peniruan),
visual dan linguistik yang menghasilkan kebudayaan itu juga berpotensi
menghasilkan penipuan atau kecurangan. Bagaimanakah orang yakin
bahwa pemimpinnya tidak menipu mereka? Irons berpendapat bahwa
isyarat yang sungguh-sungguh, yang tidak berpura-pura, menunjukkan
bahwa si pemberi isyarat dapat dipercaya. Karena itu, ketika seorang
individu meninggalkan logika kepentingan pribadinya dan mengikatkan
diri pada suatu kepercayaan irasional, orang lain akan cenderung
menaruh kepercayaan kepadanya. Hal ini dapat dibandingkan dengan
isyarat dalam dunia binatang, hanya proses seleksinya berbeda. Dalam
dunia binatang yang menjadi daya tarik adalah kemampuan reproduksi
dan hasil yang diperoleh adalah keterpilihan menjadi pasangan. Dalam
dunia manusia, yang menjadi daya tarik adalah ke-dapatdipercaya-annya
dan hasil yang diperoleh adalah kerjasama yang lebih baik yang
menguntungkan baik bagi kelompok maupun bagi individu. Secara
empiris terbukti bahwa kelompok yang terorganisasi secara religius
memiliki kerjasama internal yang lebih baik dibanding dengan kelompok
non-religius.
Teori yang sejajar dengan teori komitmen dikembangkan oleh seorang
ekonom-sosiolog, Lawrence Iannaccone (1992). Ia melihat agama dari
sudut pandang kegunaannya. Keuntungan psikologis menjadi anggota
kelompok religius adalah adanya ikatan yang erat, yang berusaha
selalu dipertahankan. Kelompok kecil keagamaan yang begitu erat
ikatannya seringkali sangat eksklusif dan membatasi perilaku anggotanya
dengan berbagai macam tabu untuk mencegah mereka terlibat dalam
pergaulan dengan masyarakat yang lebih luas. Kelompok keagamaan
akan menolak para anggota yang intensitas solidaritasnya terhadap
kelompok mulai pudar. Jadi, teori komitmen melihat bahwa agama
berevolusi untuk mempertahankan ikatan kelompok dengan jalan
menjaga kesetiaan individu pada suatu sistem kepercayaan tertentu,
dengan meninggalkan egoismenya.

2.1.4. Teori kognitif

Para teoritisi kognitif dalam bidang antropologi berusaha mengetahui


faktor-faktor yang menyebabkan suatu model religius begitu popular dan

20 William Irons, “Religion as a Hard-to-fake Sign of Commitment” dalam Randolph Nesse (ed.), Evolution and the
Capacity for Commitment (New York: Russell Sage Foundation, 2001, pp. 292-309).
21 Richard Sosis, “The Adaptive Value of Religious Ritual” dalam American Scientist 92, pp. 166-172.

11
diterima secara luas. Rupanya, di masa lampau ada proses selektif yang
amat ketat. Karena keberhasilannya untuk bertahan dan berkembang,
perilaku model tersebut secara turun-temurun ditanamkan dalam pikiran
individu. Scott Atran22 menemukan sejumlah hal yang menyebabkan
kepercayaan religius menarik, yaitu: (1) kepercayaan itu memberi jawab
atas pertanyaan fundamental mengenai sebab-musabab terjadinya segala
sesuatu; (2) kepercayaan itu menyuguhkan cerita yang gampang untuk
diingat, yang dari padanya individu dapat belajar mengenai gagasan-
gagasan kultural yang penting; (3) kepercayaan itu menimbulkan
perasaan bermakna dalam pikiran; dan (4) kepercayaan itu menimbulkan
perasaan senang dan bahagia.
Gambaran umum dan daya tarik agama menunjuk pada evolusi
kemampuan kognitif otak.23 Persoalan utama dari teori kognitif adalah
pembedaan antara modul otak yang secara evolutif berusaha
memecahkan persoalan-persoalan religius dengan modul otak yang
berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang lain. Persoalan ini
menyebabkan perbedaan pendekatan kognitif untuk memahami agama.
Kebanyakan antropolog yang bergumul dengan studi perbandingan
agama cenderung memandang agama sebagai kompleks evolusi kultural
pada dirinya sendiri, yang berbeda arah dengan pola penyesuaian diri
secara menyeluruh. Namun antropolog kognitif seperti Atran dan Pascal
Boyer24 cenderung memandang agama sebagai modul-modul tersusun
yang berkembang perlahan-lahan untuk memecahkan persoalan-
persoalan non-religius.
Menurut Atran dan Norenzayan, agama bukanlah adaptasi
evolutif, melainkan hasil perkembangan evolutif yang kompleks,
yang terjadi berulang-ulang, sehingga membentuk kondisi kognitif,
emosional dan material bagi interaksi antarmanusia dalam
kehidupan sehari-hari. Dasar-dasar konseptual agama secara intuitif
merupakan hasil tugas spesifik domain kognitif manusia, termasuk
mekanisme masyarakat, biologi masyarakat dan psikologi masyarakat.
Hal ini memungkinkan manusia untuk membayangkan secara minimal
dunia supernatural untuk memecahkan berbagai masalah, termasuk
kematian. Kepercayaan agama tidak dapat divalidasi baik secara deduktif
maupun induktif, karena itu, validasinya hanya terjadi melalui ibadah
ritual suatu agama yang paling memberi motivasi secara emosional.
Konsep ini mengesampingkan teori komitmen yang dianggap tidak
memadai. Menurut Atran (2002) teori komitmen tidak menjelaskan
kepelikan kognitif keberadaan kepercayaan umum secara kultural, yang
secara prinsip tidak kelihatan, dan tidak pula menjelaskan siapa yang
mengubah dunia dengan alasan-alasan, yang pada prinsipnya secara
material dan logis tidak dapat dimengerti. Atran mengemukakan lebih
lanjut bahwa teori ini tidak dapat membedakan antara Marxisme dan
monoteisme, antara ideologi sekular dengan kepercayaan keagamaan.

22 Scott Atrand, In God We Trust: The Evolutionary Landscape of Religion (Oxford, New York: Oxford University Press,
2002).
23 Jerome Barkow, Leda Cosmides, and John Tooby, The Adapted Mind: Evolutionary Psychology and the Generation of

Culture (New York: Oxford University Press, 1992).


24 Pascal Boyer, The Naturalness of Religious Ideas: A Cognitive Theory of Religion (Berkeley: University of California

Press, 1994).

12
Menurut teori kognitif, agama adalah manifestasi beberapa perilaku
yang dapat diterima sepenuhnya, yang harus dilihat terlepas dari
kompleks kognitif (psi. kompleks = sistem gagasan yang dikuasai emosi,
sehingga menimbulkan perilaku yang tidak wajar). Secara kultural agama
adalah suatu kompleks perilaku kultural yang menghimpun sejumlah
modul perilaku yang dapat diiterima, yang tidak saling berhubungan satu
sama lain. Teori kognitif menandaskan bawa agama adalah murni
fenomenon manusiawi.

( Pertemuan Ke III )
2.2. Beberapa pandangan Sosiolog klasik tentang agama

2.2.1. Emile Durkheim

Durkheim menempatkan diri dalam tradisi positivis (cat. positivisme


adalah aliran filsafat yang beranggapan bahwa pengetahuan itu semata-
mata berdasarkan pengalaman dan ilmu yang pasti), yang berusaha
meneliti masyarakat secara ilmiah dan tidak memihak. Ia sangat tertarik
pada masalah yang membawa masyarakat modern kepada kesatuan
bersama. Sebagai seorang sekular yang sangat rasional, ia telah
menghabiskan waktu selama 15 tahun untuk meneliti ‘agama primitif’ di
kalangan aborigin di Australia. Ia sangat tertarik bada bentuk-bentuk
khidupan religius masyarakat. Menurutnya, dalam bentuk elementer,
dewa-dewa totemis yang disembah oleh orang aborigin benar-benar
merupakan ungkapan (ekspresi) konsep masyarakat aborigin sendiri. Hal
ini tidak hanya terjadi untuk orang-orang aborigin saja, namun untuk
semua masyarakat.
Bagi Durkheim, agama bukanlah ‘imajiner’, meskipun ia mengupas apa
yang oleh para penganut agama dianggap esensial. Agama benar-benar
real; ia merupakan ekspresi masyarakat sendiri, dan memang, tidak ada
masyarakat yang tidak beragama. Sebagai individu kita merasakan
adanya kekuatan yang lebih besar daripada diri kita sendiri, yaitu
kehidupan sosial kita, dan persepsi itu kita beri wajah supernatural.
Kemudian kita mengekspresikan diri kita secara religius dalam kelompok,
yang menyebabkan kekuatan simbolis itu menjadi lebih besar. Agama
adalah ekspresi kesadaran kolektif, yang merupakan gabungan dari
semua kesadaran individu, yang kemudian menciptakan realitasnya
sendiri.
Menurut Durkheim, secara elementer agama adalah “suatu sistem
kepercayaan dan tindakan (praktik) yang secara relatif dikaitkan dengan
hal-hal yang suci, yakni hal-hal yang dikhususkan dan dilarang, atau
dengan kata lain, agama adalah kepercayaan dan tindakan yang
dipersatukan dalam suatu komunitas moral tunggal bagi semua
pengikutnya.”
Definisi Durkheim dapat disebut sebagai definisi fungsional agama,
karena definisi tersebut menjelaskan fungsi agama dalam kehidupan
sosial yang secara esensial mempersatukan masyarakat. Definisi tersebut
tidak menetapkan secara pasti apa yang dianggap suci. Karena itu, para
sosiolog di kemudian hari (terutama Robert Bellah) telah memperluas

13
wawasan Durkheim dengan gagasan mengenai civil religion (agama
masyarakat) dan state religion (agama negara). Civil religion masyarakat
tertentu akan memiliki hal-hal sucinya sendiri, misalnya, civil religion
masyarakat Amerika adalah benderanya, Abraham Lincoln, Marthin Luther
King, dsb.

2.2.2. Karl Marx

Kita perlu lebih dulu membuang kesalahmengertian umum terhadap


pandangan Karl Marx. Perlu diketahui bahwa Marx tidak memaksudkan
karyanya sebagai tanggapan etis atau ideologis terhadap kapitalisme
abad XIX (seperti pendapat kebanyakan komentator). Usahanya semata-
mata didasarkan pada ilmu pengetahuan terapan. Marx bersikap netral
terhadap teori sosiologi dan ekonomi, serta bertindak secara moral demi
perkembangan umat manusia. Seperti dikatakan Christiano, “Marx tidak
percaya terhadap pameo ilmu pengetahuan demi ilmu pengetahuan,
melainkan ilmu pengetahuan sebagai alat yang bermanfaat bagi
kemajuan sistem kapitalis demi sosialisme”.25
Pokok terpenting argumennya adalah keyakinan bahwa kemajuan
umat manusia ditentukan oleh akalnya. Menurut Marx, agama adalah
rintangan penting bagi akal, karena secara mendasar ia
menyembunyikan kebenaran dan menyesatkan pengikutnya. Seperti
kita lihat di kemudian hari, Marx melihat alienasi sosial (keterasingan
sosial) sebagai inti kesenjangan sosial. Antitesis dari alienasi tersebut
adalah kebebasan. Karena itu, menganjurkan kebebasan berarti
menyampaikan kebenaran kepada individu-individu dan memberi mereka
kebebasan untuk menerima atau menolaknya. Dalam hal ini Marx tidak
pernah menganjurkan bahwa agama harus dilarang (Christiano, 2001,
hlm. 126). Namun bagaimanakah ia sampai pada kesimpulan seperti itu?
Hal yang amat penting mempengaruhi teorinya adalah situasi
ketertekanan secara ekonomis masyarakat tempat ia berada. Dengan
bangkitnya industrialisasi Eropa, Marx dan Engels, kawannya,
menyaksikan dan berusaha menanggapi pertumbuhan apa yang
disebutnya sebagai “nilai surplus.” Marx melihat kaum kapitalis menjadi
semakin kaya sedangkan kaum buruh menjadi semakin miskin
(kesenjangan dan eksploitasi itulah yang ia sebut sebagai “nilai surplus.”
Bukan saja kaum buruh semakin tereksploitasi, namun mereka juga
berada dalam proses dilepaskan dari produksi yang mereka ciptakan.
Dengan menjual pekerjaannya guna memperoleh upah “serta-merta
kaum buruh kehilangan keterhubungannya dengan objek pekerjaannya
dan sebaliknya justru menjadi objek. Kaum buruh diturunkan nilainya
menjadi sekadar komoditas, sekadar barang” (Christiano, hlm. 125). Dari
objektivikasi ini timbullah alienasi. Buruh ditempatkan seperti alat yang
dapat ditukar dan diganti, teralienasi dan berada dalam ketidakpuasan
yang berat. Marx memandang bahwa dalam kondisi seperti ini agama
berfungsi.

25 Kevin J. Christiano, et al., Sociology of Religion: Contemporary Developments (U.S.: AltaMaira Press, 2001, p. 124).

14
Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat. Norman
Birnbaum mengemukakan, “Bagi Marx agama merupakan respons
spiritual terhadap kondisi teralienasi” (Christiano, hlm. 126). Sebagai
respons terhadap keteralienasian manusia atas lingkungannya (termasuk
pekerjaan dan lingkungan kerjanya), agama berperan memperkuat
sistem ideologi dan kultural yang membantu perkembangan kapitalisme
opresif. Jadi, agama dipahami sebagai kekuatan konservatif yang
berperan melanggengkan dominasi kelas sosial tertentu dengan
mengorbankan kelas sosial yang lain (hlm. 127). Dengan kata lain,
agama berjalan seiring dengan sistem yang menindas individu-individu
kelas bawah. Karena itu Marx berkata, “Untuk menghapuskan agama
sebagai kebahagiaan ilusif masyarakat, dibutuhkan kebahagiaan real.”

2.2.3. Max Weber

Berbeda dengan Marx dan Durkheim, Weber memusatkan perhatiannya


pada dampak tindakan religius. Ia tidak membicarakan agama sebagai
kesalahmengertian atau pemersatu masyarakat, dan tidak berusaha
mereduksi agama hanya pada esensinya. Ia berusaha mempelajari
bagaimana gagasan-gagasan religius dan kelompok-kelompok
berinteraksi dengan aspek-aspek kehidupan sosial lainnya (terutama
ekonomi). Dalam melakukan hal ini Weber sering berusaha menemukan
makna subjektif agama bagi individu.
Dalam sosiologinya, Weber menggunakan istilah Jerman “Verstehen”
(memahami) untuk menjelaskan metode interpretasinya atas maksud dan
konteks tindakan manusia. Ia bukanlah seorang positivis – dalam arti
bahwa ia tidak percaya bahwa dalam sosiologi kita dapat menemukan
‘fakta’ yang dapat dihubungkan secara kausalistik. Meskipun percaya
pada beberapa pernyataan tentang kehidupan sosial yang dapat
digeneralisasi, ia tidak tertarik pada klaim tegas kaum positivis, tetapi
tertarik pada hubungan dan rangkaian, serta kisah historis dan kasus-
kasus khusus.
Menurut Weber kelompok religius atau individu dipengaruhi oleh segala
hal, namun jika mereka mengklaim bertindak atas nama agama, kita
harus berusaha memahami perspektif mereka pertama-tama dari dasar
religiusnya. Agama ikut membentuk gambaran pribadi mengenai dunia,
dan gambaran tentang dunia ini mempengaruhi pandangan individu
mengenai tujuan, dan akhirnya mempengaruhi cara ia bertindak untuk
mencapai tujuan itu.
Bagi Weber, paling baik agama dipahami sebagai respons terhadap
kebutuhan manusia untuk teodisi (pemikiran yang berusaha menjawab
mengapa di dunia ini ada kejahatan dengan tetap mempertahankan
kebaikan dan kemahakuasaan Allah) dan soteriologi (keselamatan).
Menurutnya, umat manusia direpotkan oleh pertanyaan mengenai teodisi
– pertanyaan tentang bagaimana kuasa ilah surgawi yang luar biasa
dapat direkonsiliasikan dengan ketidaksempurnaan dunia yang telah
diciptakan dan diperintah-Nya ini. Orang ingin tahu, misalnya, mengapa
di dunia ini ada nasib baik atau penderitaan yang tidak semestinya.

15
Agama menawarkan kepada manusia jawaban soteriologis atau
jawaban yang memberi kesempatan untuk memperoleh keselamatan,
terbebas dari penderitaan dan memperoleh kepastian tentang makna
kehidupan. Usaha untuk mendapat keselamatan, demikian pula untuk
memperoleh kekayaan, menjadi bagian motivasi manusia.
Karena membantu menentukan motivasi, maka menurut Weber,
agama (terutama Calvinisme Protestan) benar-benar menunjang
tumbuhnya kapitalisme, seperti diuraikan dalam bukunya The Protestant
Ethic and the Spirit of Modern Capitalism. Dalam bukunya ini Weber
berpendapat bahwa kapitalisme timbul di Barat antara lain karena
interpretasi kaum Puritan di Inggris atas doktrin predestinasi. Teologi
kaum Puritan didasarkan pada gagasan Calvin bahwa tidak semua orang
akan diselamatkan, melainkan hanya mereka yang terpilih, yang akan
terhindar dari kutukan. Hal ini ditentukan oleh kehendak Allah yang telah
dipredestinasikan dan bukan karena perbuatan yang dilakukan oleh
manusia. Teologi resmi gereja berpegang bahwa tidak seorang pun
benar-benar mengetahui apakah dirinya termasuk golongan yang terpilih.
Secara praktis dan psikologis hal ini sulit. Kecenderungan manusia
adalah ingin mengetahui apakah mereka akan dikutuk secara kekal atau
tidak. Karena itu para pemimpin kaum Puritan meyakinkan para
anggotanya bahwa apabila mereka mulai bekerja dengan baik untuk
mendapatkan banyak uang melalui bisnisnya, hal itu merupakan pertanda
nyata bahwa mereka termasuk orang-orang yang diselamatkan –namun,
hanya jika hasil pekerjaan mereka digunakan dengan baik. Hal ini
menyebabkan perkembangan pembukuan dan perhitungan keuangan
secara rasional serta mendorong orang untuk mengejar kesuksesan
finansial lebih dari sekadar yang mereka butuhkan untuk hidup. Inilah roh
kapitalisme. Namun dalam perkembangan kemudian, roh kapitalisme
tersebut kehilangan signifikansi religiusnya dan mengejar keuntungan
menjadi satu-satunya tujuan. Teori Weber menimbulkan banyak kritik
dan kontraversi.

Pertemuan ke IV : ( Selasa, 13 Des. 2016 – Kelpk. 1 – Anang,


Selamat, Kapriyani, Maisuroh)

2.3. Civil religion, political religion, dan state religion

2.3.1. Civil religion

Istilah civil religion pertama kali diperkenalkan oleh Jean-Jacques


Rousseau. Dalam pasal 8, volume 4, bukunya The Social Contract,
Rousseau menjelaskan apa yang dianggap sebagai dasar moral dan
spiritual esensial bagi setiap masyarakat modern. Baginya, yang
dimaksud civil religion adalah perekat sosial yang menunjang penyatuan
sebuah negara dengan memberinya kekuasaan suci. Ia mendefinisikan
civil religion sebagai “kelompok kepercayaan religius yang bersifat
universal, yang dipertahankan atau dipelihara kelestariannya oleh
16
pemerintah, dan di dalamnya mencakup kepercayaan kepada yang
ilahi, kepercayaan kepada kehidupan kekal tempat amal kebaikan
akan memperoleh ganjaran dan kejahatan akan memperoleh
hukuman, serta kepercayaan kepada toleransi religius.” Namun
Rousseau juga menandaskan bahwa agama pribadi berada di luar
jangkauan pemerintah. Pada tahun 1960-an, dalam penelitiannya atas
civil religion Amerika Serikat, Robert N. Bellah sampai pada kesimpulan
bahwa civil religion adalah “koleksi kepercayaan suci tentang bangsa
Amerika yang dilembagakan.” Bellah mengidentifikasi Revolusi Amerika,
Perang Saudara, dan Gerakan Hak-hak Sipil merupakan tiga peristiwa
historis yang menentukan dan mempengaruhi isi serta gambaran civil
religion di Amerika Serikat.
Dalam sosiologi agama, menurut Rousseau, civil religion adalah
agama rakyat (folk religion) atau budaya bangsa atau budaya politik.
Namun status sosial dan politis civil religion lebih dari sekadar
agama rakyat, karena secara definisi ia meliputi seluruh
masyarakat, atau paling tidak, suatu segmen masyarakat, dan
dipraktikkan oleh para pemimpin dalam masyarakat itu. Pada pihak
lain, civil religion lebih rendah dari agama yang telah mapan, karena
agama yang telah mapan memiliki pimpinan resmi dan secara relatif
memiliki hubungan formal dengan pemerintah. Civil religion biasanya
dipraktikkan oleh para pemimpin politis yang kepemimpinan
masyarakatnya bukan pemimpin spiritual. Lazimnya civil religion
mencakup hal-hal berikut:
- doa kepada Allah dalam pidato-pidato politis dan peristiwa-
peristiwa publik monumental
- pengutipan teks-teks Kitab Suci oleh para pemimpin politik
dalam peristiwa-peristiwa publik
- pemujaan pemimpin-pemimpin politik masa lalu
- menggunakan kehidupan para pemimpin politik sebagai
teladan dalam mengajarkan moralitas ideal
- pemujaan para veteran dan alasan perang yang dilakukan oleh
suatu bangsa
- pertemuan keagamaan yang diprakarsai oleh pemimpin politik
- penggunaan simbol-simbol keagamaan pada bangunan umum
- penggunaan bangunan umum untuk peribadahan.

Dalam filsafat politik praktis, civil religion atau civic religion sering
digunakan dalam arti ekspresi ritual patriotisme yang dilakukan oleh
semua negara, sekalipun di dalamnya tanpa unsur religius dalam arti
konvensional. Hal-hal tersebut antara lain:
- dalam upacara umum, peserta upacara menyanyikan lagu
kebangsaan
- parade dengan mengibarkan bendera kenegaraan pada hari-hari
nasional
- sumpah/janji kesetiaan yang diucapkan dalam suatu upacara
17
- upacara pengukuhan presiden atau penobatan raja
- cerita sepihak yang membesar-besarkan, bahkan memitoskan para
pendiri negara dan para pemimpin besar yang lain, atau peristiwa-
peristiwa besar di masa lalu (seperti peperangan,
perpindahan/migrasi, dll.). Hal ini berhubungan dengan
nasionalisme romantis.
- peringatan untuk mengenang pemimpin-pemimpin besar atau
peristiwa-peristiwa historis di masa lalu
- penghormatan terhadap para parajurit yang gugur dan peringatan
tahunan untuk mengenang mereka
- ungkapan penghormatan terhadap negara, Undang-undang Dasar
atau Kepala Negara
- pengibaran bendera setengah tiang untuk kematian seorang
pemimpin politik.

Pemerintahan yang pertama kali memiliki civil religion adalah kekaisaran


Romawi, yang kaisar pertamanya, Agustus, secara resmi berusaha
menerima praktik paganisme klasik. Agama Yunani dan Romawi masing-
masing memiliki karakter lokal. Kaisar berusaha mempersatukan
wilayahnya yang terpecah-pecah dengan menanamkan kesalehan Romawi
dan dengan mesinkretiskan dewa-dewa daerah yang ditaklukkannya
dengan dewa-dewa (pantheon) Yunani dan Romawi. Namun di kemudian
hari, civil religion Romawi ini berpusat pada diri kaisar sendiri, yang
disembah melalui kultus kerajaan.
Dalam konteks masyarakat monoteistik, atau masyarakat yang
mempercayai pewahyuan, dari perspektif teologis civil religion dapat
menjadi problematis. Dengan mengidentifikasi civil religion sebagai kultur
politis dan hierarki kepemimpinan dalam masyarakat, maka civil religion
dapat mencampuri misi profetis kepercayaan religius. Sulit untuk
menjadikan civil religion sebagai platform untuk mencela dosa-dosa
masyarakat atau lembaga-lembaganya, sebab civil religion hadir untuk
menjadikan mereka tampak suci pada dirinya sendiri.

2.3.2. Political religion

Bagi para sosiolog, political religion adalah suatu ideologi politik yang
memiliki kekuatan kultural dan politis setara dengan agama, dan
secara sosiologis serta ideologis sering memiliki banyak kesamaan
dengan agama. Istilah ini kadang-kadang dianggap memiliki kesamaan
arti dengan civil religion. Namun banyak ahli yang membedakannya,
sebab peran civil religion di tengah masyarakat lebih lemah daripada
political religion. Civil religion lebih berfungsi sebagai pemersatu secara
sosial dan lebih merupakan kekuatan esensial masyarakat. Sedangkan
political religion lebih bersifat transformasional, bahkan apokaliptik secara
radikal.
Istilah political religion adalah istilah sosiologis, bertolak dari unsur-
unsur sosiologi agama yang juga sering ditemukan dalam ideologi-
ideologi sekular tertentu. Secara psikologis dan sosiologis, political
religion memiliki banyak kesamaan dengan agama teistik. Akibatnya, ia
18
sering menggantikan atau mengkooptasi organisasi keagamaan dan
kepercayaan yang ada. Hal ini dilukiskan sebagai “sakralisasi” politik.
Namun, meskipun political religion sering mengkooptasi struktur atau
simbolisme keagamaan yang ada, di dalam dirinya sendiri ia tidak
memiliki aspek-aspek spiritual atau teokratis yang mandiri. Secara
esensial ia adalah sekular, menggunakan agama hanya untuk maksud-
maksud politis, bahkan mungkin menolak sama sekali kepercayaan
agamawi.
Sarjana-sarjana yang pertama kali menggunakan istilah ini (yang
sering dipakai sebagai sinonim ‘agama sekular’) adalah para intelektual
dan teolog Protestan dan Katolik, seperti Luigi Sturzo, Adolf Keller, Paul
Tillich, Gerhard Leibholz, Waldemar Gurian, dan Eric Voegelin. Mereka
menghubungkan konsep political religion dengan modernitas, masyarakat
massa, dan timbulnya negara birokratis. Mereka melihat political religion
sebagai klimaks pemberontakan terhadap agama yang menyembah Allah.
Political religion juga sering digambarkan sebagai ‘pseudo agama’, ‘agama
pengganti’, ‘agama yang dimanipulasi’ atau ‘anti agama’.

Pada umumnya (tidak selalu) political religion memiliki unsur-unsur


berikut:

Secara struktural:
 membedakan diri sendiri dengan orang lain dan mendemonisasi
pihak lain (dalam agama teistik, pembedaan ini didasarkan pada
ketaatan terhadap dogma dan perilaku sosial tertentu; sedangkan
dalam political religion, pembedaan ini mungkin didasarkan pada
nasionalitas, sikap sosial, atau keanggotaan partai politik, dsb.)
 berorientasi pada tokoh kharismatik dengan tendensi mesianik; jika
tokoh tersebut meninggal dunia, orientasi berpindah pada
penggantinya yang kuat
 memiliki struktur organisasi hierarkis yang kuat
 ada hasrat untuk menguasai pendidikan dalam rangka
mengamankan sistem yang ada.

Dari segi kepercayaannya:


 ada sistem kepercayaan yang saling bertalian untuk menentukan
makna simbolik pada pihak luar, dengan menekankan keamanan
melalui kemurnian
 intolerans terhadap ideologi lain yang sejenis
 memiliki mimpi dan tujuan untuk melakukan transformasi
masyarakat secara radikal ke arah akhir sejarah
 ada kepercayaan bahwa ideologi adalah alamiah dan jelas, sehingga
mereka yang menolaknya di anggap buta
 ada hasrat untuk membuat pihak lain berbalik pada ideologinya
 menghalalkan kekerasan dan kecurangan
 yakin bahwa pada akhirnya ideologinya akan menang.

2.3.3. State religion

19
State religion atau juga disebut ‘agama resmi’ adalah lembaga
keagamaan atau kredo yang secara resmi disokong oleh negara.
Para sosiolog biasanya menyebut aliran utama agama di luar state
religion sebagai denominasi. State religion cenderung lebih terbuka
terhadap perbedaan pendapat secara internal dan berusaha
mengintegrasikan perbedaan-perbedaan itu. Hal ini berbeda dengan
denominasi. Perbedaan-perbedaan pendapat internal dalam
denominasi lazimnya berakibat perpecahan.

( Pertemuan ke VI ) Kelpk 2 M Asrori, Yatinah(-), Anton(-),


Sariman)
2.4. Beberapa pengertian agama dari sudut pandang psikologi

2.4.1. Friedrich Daniel Ernst Schliermacher (1768-1834)


Sisa masa kekanak2an, hayalan, perasaan serba bergantung, tak berdaya
didunia, akal budi, kehendak, kehidupan yg kekal,
)
Ia adalah seorang teolog Jerman. Ia berpendapat bahwa agama adalah
perasaan serba bergantung dari manusia kepada sesuatu yang lebih
tinggi, yang supranatural, yang mengatasi kehidupan manusia
bahkan menguasai seluruh keberadaannya. Ia mengatakan:

"Religion is the outcome neither of the fear of death, nor of the fear of
God. It answers a deep need in man. It is neither a metaphysic, nor a
morality, but above all and essentially an intuition and a feeling. ...
Dogmas are not, properly speaking, part of religion: rather it is that
they are derived from it. Religion is the miracle of direct relationship
with the infinite; and dogmas are the reflection of this miracle.
Similarly belief in God, and in personal immortality, are not necessarily
a part of religion; one can conceive of a religion without God, and it
would be pure contemplation of the universe; the desire for personal
immortality seems rather to show a lack of religion, since religion
assumes a desire to lose oneself in the infinite, rather than to preserve
one's own finite self." 26

(Agama tidak muncul akibat rasa takut terhadap kematian atau rasa
takut akan Allah, melainkan merupakan jawaban atas kebutuhan
manusia yang paling dalam. Agama bukanlah persoalan metafisika
atau moralitas, tetapi di atas semua itu, secara esensial adalah intuisi
dan perasaan. ... Lebih tepat dikatakan bahwa dogma-dogma bukanlah
bagian dari agama, melainkan merupakan asal-usul agama. Agama
adalah mujizat hubungan langsung dengan Yang Tak Terbatas, dan
dogma-dogma merupakan refleksi dari mujizat itu. Sama halnya,
kepercayaan akan Allah dan kepercayaan akan imortalitas pribadi

26 Dikutip dalam Elie Kedourie, Nationalism (Praeger University Series, 1961), hlm. 26.

20
bukanlah bagian agama; seseorang dapat memahami suatu agama
tanpa Allah, dan hal itu merupakan kontemplasi murni tentang alam
semesta. Hasrat akan imortalitas personal agaknya justru
menunjukkan ketiadaan agama, karena agama lebih mengasumsikan
keinginan untuk meleburkan diri ke dalam Yang Tak Terbatas,
ketimbang memelihara keterbatasan diri).

Penilaian terhadap pandangan ini: memang tidak dapat diingkari bahwa


dalam kehidupan agamawi ada rasa bergantung dari pihak manusia
kepada kuasa yang disembah. Namun masih perlu dipertanyakan, apakah
penghayatan keagamaan hanya terhenti pada perasaan serba bergantung
itu? Tentu saja tidak. Kondisi relasional yang bersifat personal antara
manusia dengan Allah mempunyai implikasi dalam seluruh kehidupan
secara total, mulai dari pemahaman dan pemaknaan terhadap kehidupan,
pola sikap dan tingkah laku, sampai pada konsepsi mengenai tujuan
kehidupan. Dengan demikian hidup keagamaan akan mewujud dalam
kehidupan seutuhnya.

2.4.2. Ludwig Feuerbach (1804-1872)27

Dari pemikirannya yang ateistik Ludwig Feuerbach memandang


agama sekadar sisa jiwa kekanak-kanakan manusia yang tidak
menguntungkan. Agama adalah perwujudan dari khayalan manusia
yang belum dewasa dalam berpikir. Dengan kata lain, Allah
hanyalah fantasi yang diproyeksikan dari budi manusia. Karena itu
sebenarnya agama hanya diperlukan oleh manusia primitif, bukan
untuk manusia modern. Gagasan dasarnya, menurut Feuerbach,
manusia merasa tidak berdaya di dunia ini. Ia perlu meneguhkan dirinya
dengan menemukan Allah. Ada tiga sifat yang membentuk kemanusiaan
manusia, yaitu: akal budi, kehendak, dan cinta. Ketiga hal ini
diproyeksikan pada Allah. Akal budi (Allah) dianggap sebagai sumber
pengetahuan tanpa batas; Allah serba tahu. Kehendak manusia yang
diproyeksikan sebagai kehendak Allah adalah kehendak tanpa batas. Allah
secara absolut bersifat moral. Cinta Allah sebagai sumber cinta manusia
juga tanpa batas. Hakikat Allah adalah cinta.
Menurut Feuerbach gagasan tentang Allah berasal dari keterpisahan
dan proyeksi manusia atas hakikatnya sendiri. Hakikat subjektif manusia
diproyeksikan pada suatu objek mandiri dan berada di luar manusia. Akar
objektifikasi hakikat manusia kepada Allah adalah keinginan akan
kesenangan, keamanan dan makna. “Allah timbul dari rasa ingin, karena
itu, kebutuhan yang disadari atau tidak disadari itulah Allah. Jadi,
perasaan putus asa karena kekosongan dan kesendirian membutuhkan
Allah, yang di dalamnya ada masyarakat, kesatuan manusia yang dengan
kuat saling mengasihi.28 Manusia mempunyai keinginan seperti itu karena
merasa ‘terlantar’ oleh realitas dunia fisik di sekitarnya dan oleh dorongan

27 Linda Smith dan William Raeper, Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, diterjemahkan dari A Beginner’s
Guide to Ideas oleh P. Hardono Hadi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000), hlm. 89-94
28 Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity (New York, 1957), hlm. 12.

21
emosional dalam dirinya. Karena itu, manusia berusaha mencari tempat
di dunia ini. Dunia fisik dapat memusuhinya, sehingga manusia
membutuhkan perlindungan; kehidupan emosional dapat begitu kacau,
karena itu manusia membutuhkan ketenangan dan kepenuhan; pencarian
makna kehidupan dapat menciutkan hati, karena itu manusia
membutuhkan pengharapan. Semua itu merupakan alasan mengapa
manusia memproyeksikan kepenuhan keinginannya dan menciptakan
Allah sebagai jawabannya.
Schilling meringkaskan pandangan Feuerbach demikian: kehidupan
manusia di bumi ini dipenuhi dengan rasa sakit, frustrasi, kegagalan,
keputusasaan, ketidakadilan yang menyakitkan hati, serta kesadaran
akan keterbatasan dirinya dalam menghadapi kematian. Karena itu,
manusia merindukan kepenuhan yang tak terbatas, kebahagiaan yang
sempurna dan kehidupan yang kekal. Untuk itu, manusia menciptakan
Allah yang akan memenuhi semua harapan tersebut di dunia lain, yang di
dunia ini terintangi dan dirusak oleh iblis. Namun, Allah ini tidak lain
hanyalah eksternalisasi ilusi harapan manusia.29
Bagi Feuerbach, agama mengasingkan manusia dari kodratnya sendiri,
karena apa yang baik pada diri manusia dikenakan pada Allah. Akibatnya
manusia dikosongkan dari sifat-sifat baiknya sendiri. Untuk kembali
menemukan kodratnya sendiri, manusia harus:
- saling mencintai satu sama lain, namun bukan karena cinta Allah
- percaya pada diri sendiri, dan bukan kepada Allah
- terlibat penuh dengan dunia yang nyata ini, dan bukan terlibat
dengan dunia di kemudian.

2.4.3. Sigmund Freud (1856-1939)30

Pandangan Feuerbach yang ateistik ini dikembangkan oleh kaum


materialisme. Di samping itu ada pula ahli ilmu jiwa yang mengikutinya,
yaitu Sigmund Freud (1856-1939). Menurut Freud, manusia memerlukan
kompensasi atas keinginan hatinya yang tidak terpenuhi. Cita-cita atau
keinginan yang tidak dapat dicapai diproyeksikan kepada suatu kuasa
yang dianggap supranatural dan kemudian disembahnya. Karena itu,
menurutnya Allah tidak pernah ada dalam realita. Bagi Freud, agama
adalah “pemenuhan harapan.” Ia berpendapat bahwa agama adalah
“neurosis obsesional universal”, yang bersumber pada tabu. Pada
dasarnya upacara-upacara keagamaan merupakan tindakan-
tindakan neurotik obsesif. Itulah sebabnya Freud menyebut agama
sebagai Oedipus Complex.
Freud dan para pengikutnya memandang agama secara negatif,
karena agama merupakan penyimpangan kejiwaan (neurosis). Agama
merupakan pemuasan keinginan kekanak-kanakan. Setidak-tidaknya ada
dua aspek dalam agama yang dikritik oleh Freud. Pertama, kepercayaan
yang kuat terhadap Tuhan dalam sosok bapak; dan kedua, ritus-ritus
wajib yang dijalankan secara rumit. Freud memandang bahwa

29 S. Paul Schilling, God in the age of Atheism (New York, 1969), hlm. 24.
30 Smith dan Raeper, Ide-ide, hlm. 95-99.

22
pengalaman yang didasarkan pada kepercayaan dan praktik
keberagamaan berakar pada pengalaman universal kanak-kanak.
Berdasar pengalaman hidupnya di Barat, Freud berpendapat bahwa
pengalaman hidup orang-orang beragama seperti pengalaman mereka
pada usia kanak-kanak, yang menganggap orang tua, terutama bapak
sebagai orang yang maha tahu dan maha kuasa. Perawatan terhadap
anak yang dilakukan oleh seorang bapak dengan penuh kasih sayang
dapat menenteramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, dan pada
akhirnya terciptalah surga buatan baginya. Dengan demikian, menurut
Freud, agama adalah sebuah ilusi.31 Satu-satunya cara yang paling efektif
untuk berkembang melewati masa kanak-kanak adalah dengan
meninggalkan agama serta doktrin-doktrinnya yang dogmatis dan
bertumpu pada sains dan akal.32
Selain itu, agama menurut Freud, adalah kekuatan untuk membela
dan bertahan (mental defense) dalam menghadapi segala musibah,
seperti gempa bumi, banjir, penyakit, dan lain sebagainya. 33 Seperti yang
telah diungkap di atas bahwa perilaku orang yang beragama seperti anak
kecil yang berlindung di bawah naungan bapaknya, maka ketika mereka
mendapatkan kesulitan mereka mengadu kepada bapaknya. Orang-orang
yang beragama ketika mendapatkan kesulitan berupa bencana alam,
penyakit, dan lain-lain mereka berlindung di bawah naungan Tuhan
mereka sendiri. Itulah salah satu alasan dari Freud yang memandang
bahwa agama merupakan pemuasan keinginan kekanak-kanakkan.
Doktrin agama sebagai ilusi. Freud mendakwa agama sebagai ilusi.
Ilusi menurutnya, bisa jadi sesuai dan bertetangan dengan fakta. Dan
ilusi ada karena keinginan. Memuaskan keinginan merupakan kegiatan
yang membayangkan objek yang mengurangi ketegangan.
Freud menyebut pemuasan keinginan sebagai “berpikir proses
primer”, sedangkan “berpikir proses sekunder” adalah cara ego
menghadapi lingkungan dengan berorientasi pada realitas. Bermimpi
minum air adalah contoh berpikir proses primer atau menginginkan,
sedangkan mengambil segelas air adalah contoh berpikir sekunder.34
Menurut Freud, semua produk atau gagasan agama adalah ilusi. Ilusi
berasal dari imajinasi, dan imajinasi menghasilkan rasa lega luar biasa
dari ketegangan, pemuasan kebutuhan mendesak yang tidak dapat
dibenarkan dan disalahkan.35
Kegagalan agama. Menurut Freud, ajaran-ajaran agama yang
menganjurkan para penganutnya agar tidak saling membunuh merupakan
jasa besar bagi peradaban. Tetapi, agama belum cukup melakukannya.
Setelah menguasai manusia selama ribuan tahun dan mampu
membuktikan dirinya, agama belum mampu memberikan kebahagiaan
dan memberadabkan manusia. Masih banyak manusia kecewa
terhadap peradaban dan tidak cukup bukti bahwa orang akan bahagia
apabila hidupnya diatur oleh agama. Secara historis, menurut Freud,

31 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 172.
32 Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 173-174.
33 John H. Hick, Philosophy of Religion: Foundations of Philosophy Series (New Jersey: Englewood Cliffs 1973), hlm. 34.
34 Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 174-5.
35 Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 176.

23
agama lebih mendukung tindakan-tindakan yang tidak bermoral daripada
yang bermoral. Dengan demikian, agama menurutnya telah gagal.36
Dasar pemikiran Freud dapat diderivasi ke dalam seluruh bidang
kehidupan. Konsep dosa dan pertobatan menjadi tidak ada lagi, sebab
semua hanya dilihat sebagai penyimpangan kejiwaan dan
disintegrasi struktur kepribadian. Individu yang berhasil dalam
perkembangan kepribadiannya adalah adalah individu yang ketiga unsur
pembentuk kepribadiannya, yaitu Id, Ego dan Superegonya
bertumbuh secara seimbang. Dalam hal ini masyarakat ikut membentuk
perkembangan struktur kepribadian individu. Karena itu kesalahan
individu dan tanggungjawab individu terhadap kesalahan tersebut
sebenarnya tidak ada. Lebih lanjut Freud berpendapat bahwa pada
hakikatnya manusia secara psikologik bersifat hedonistik. Apa yang
dilakukannya adalah untuk memuaskan batinnya, termasuk
penyembahan kepada suatu kuasa yang dianggap transenden, itu pun
hanya pelarian dari kekecewaan hatinya akibat keinginan yang tidak
terpenuhi.

2.4.4. Alfred Adler (1870-1937)

Adler adalah seorang psikolog dari Austria, yang beragama Yahudi (Lahir
di Penzing, Austria, 7 Februari 1870, meninggal di Aberdeen, Scotland, 28
Mei 1937, karena gagal jantung). Ia dikenal sebagai bapak Psikologi
Individual yang berbeda pendapat dengan Freud. Dalam bukunya
Individual Psychology, ia sangat menekankan peran tujuan dan
motivasi tindakan manusia, termasuk tindakan keagamaannya. Salah
satu gagasan Adler yang termasyhur adalah bahwa manusia berusaha
mencari kompensasi bagi inferioritas (kerendahan) yang dirasakan
dalam dirinya. Merasa tidak memiliki kekuatan merupakan akar
inferioritas. Salah satu cara mengkompensasikan perasaan rendah
tersebut adalah dengan percaya kepada Allah. Tendensinya adalah
keinginan mendapatkan kesempurnaan dan superioritas. Hal ini
antara lain tampak dari kenyataan bahwa dalam setiap agama, Allah
dianggap sempurna dan omnipoten (berkuasa di mana-mana,
mahakuasa), dan memerintahkan manusia agar juga menjadi
sempurna. Jika mampu mencapai kesempurnaan, maka manusia dapat
dipersatukan dengan Allah. Dengan mengidentifikasi diri seperti Allah,
manusia mengkompensasikan ketidaksempur-naannya dan perasaan
rendahnya.
Gagasan tentang Allah merupakan indikator penting bagi cara manusia
memandang dunia. Menurut Adler, gagasan manusia tentang Allah
berubah dari waktu ke waktu, begitu pula cara manusia memandang
dunia. Misalnya, gagasan bahwa manusia sengaja ditempatkan oleh Allah
sebagai ciptaan tertinggi di dunia digantikan dengan gagasan bahwa
manusia telah berevolusi melalui seleksi alamiah. Gagasan ini
bertepatan dengan pandangan bahwa Allah bukanlah keberadaan

36 Rakhmat, Psikologi Agama, hlm. 180-1.

24
yang nyata, melainkan merupakan representasi kekuatan alam yang
abstrak. Dengan cara demikian, pandangan manusia tentang Allah
berubah dari sesuatu yang konkrit dan spesifik menjadi sesuatu yang
lebih umum.
Hal yang penting untuk dicatat dari pemikiran Adler adalah bahwa
Allah atau gagasan tentang Allah memotivasi manusia untuk bertindak,
dan bahwa tindakan itu benar-benar memiliki konsekuensi real baik bagi
diri sendiri maupun bagi orang lain. Pandangan tentang Allah merupakan
hal yang penting, karena ia mengejawantahkan arah dan tujuan interaksi
sosial. Dibandingkan dengan ilmu pengetahuan, agama lebih efisien
karena ia memotivasi orang secara lebih efektif.

( Pertemuan ke VI )

2.5. Pandangan Relativisme (kelas Selasa, 14/4/15)

2.5.1. Immanuel Kant (1724-1804)

Kant mengkritik bukti ontologis untuk membuktikan eksistensi Allah.


Sekalipun ia seorang rasionalis, ia meyakini eksistensi Allah. Baginya, hal
yang paling baik bukanlah mengetahui bahwa Allah itu ada,
melainkan mempercayai bahwa Allah itu ada. Keberadaan Allah
tidak perlu didemonstrasikan dengan bukti-bukti rasional, sebab
bukti-bukti rasional tergantung pada penalaran. Allah tidak berada
dalam ruang dan waktu, karena itu, keberadaan-Nya tidak dapat
dibuktikan oleh penalaran yang berdimensi ruang dan waktu. Ia
menolak bukti-bukti eksistensi Allah atas dasar pendapatnya bahwa
berpikir mengenai Allah tidak berarti ada realitas Allah; bahwa budi
manusia terbatas pada dunia yang nyata; dan bahwa tidak mungkin
membenarkan kepercayaan berdasar prinsip umum sebab-akibat. Bagi
Kant, kegagalan membuktikan eksistensi Allah secara rasional tidak
berarti menghancurkan kepercayaan akan Allah sendiri.
Bagi Kant Allah adalah sumber dari segala keberadaan, yang
seutuhnya rasional dan tidak terpengaruh oleh apa pun. Budi manusia
dapat berusaha untuk bersifat rasional seutuhnya seperti Allah.
Pengertian kita mengenai iman religius seharusnya dikuasai oleh budi. Ia
berpendapat bahwa manusia mempunyai kebutuhan khusus, yaitu
kebutuhan metafisis yang secara alami berakar pada kodrat manusia.
Karena manusia tidak dapat dipuaskan oleh pengetahuannya mengenai
pengalaman, maka ia mencari makna pada sesuatu yang relatif. Konsep-
konsep murni yang absolut itulah ide.
Kant berusaha menegaskan eksistensi Allah melalui argumen-argumen
etis atau argumen-argumen moral. Menurutnya, penalaran moral yang
lazim adalah bahwa manusia berhak memperoleh imbalan dari kebaikan
yang dilakukannya. Namun dalam kenyataan tidak selalu demikian. Oleh

25
sebab itu, harus ada eksistensi lain di mana orang berhak menerima
imbalan yang adil atas kebaikan atau kejahatannya. Pemikiran ini
membawa Kant pada kesimpulan bahwa eksistensi Allah dan keabadian
merupakan ‘ketetapan-ketetapan budi praktis.’ Keberadaan Allah
merupakan penentu bagi adanya moralitas.

2.5.2. William James (1842-1910)

Dari dasar pemikiran relativismenya, James berpendapat bahwa agama


tidak dapat dinilai dari dirinya sendiri, melainkan dari akibat-akibat moral
dan psikologis yang ditimbulkannya. James mempertahankan gagasan
bahwa manusia tidak memiliki perhatian mendalam mengenai definisi
tentang kodrat Allah atau tentang bukti-bukti eksistensi-Nya. Manusia
percaya akan Allah karena mereka memerlukan Allah. Menurut James,
Allah tidak diketahui, Ia tidak dipahami, melainkan digunakan – kadang-
kadang sebagai pendukung moral, kadang-kadang sebagai kawan, dan
kadang-kadang sebagai objek cinta. Bila Ia terbukti berguna, kesadaran
religius tidak menuntut lebih dari itu. Apakah Allah benar-benar ada?
Bagaimana Dia berada? Apakah Allah itu? (PR 14/4/15 )Pertanyaan-
pertanyaan ini tidak relevan. Lebih penting dari itu adalah hidup, hidup
yang lebih, hidup yang agung, kaya dan memuaskan merupakan tujuan
agama. Cinta terhadap kehidupan, pada setiap tahap perkembangan,
merupakan dorongan religius.
James menganut prinsip-prinsip pragmatis agama. Ia berpikir bahwa
pragmatisme dapat menyingkirkan permasalahan-permasalahan religius
dan moral dari arena perdebatan teologis dan kontroversi ilmiah. Namun
ada berbagai keberatan terhadap pragmatisme religius James ini:

o Iman religius terhadap Allah harus dibuktikan dalam pengalaman dan


dalam praktik, namun dasar-dasar iman kepada Allah lebih dari segala
hal praktis.
o Kebenaran tidak dapat disamakan dengan hasil praktis atau
dikorbankan demi hasilnya.
o Pengertian tentang Allah bukan sekadar hipotesis yang tidak berkaitan
dengan fakta, melainkan bersandar pada kesadaran dan pengalaman
batin akan Allah yang sudah ada sebelum suatu keputusan dibuat.

William James berpendapat bahwa pengalaman keagamaan merupakan


fakta psikologis. Pengalaman keagamaan selalu membawa transformasi
psikologis. James menyebutkan beberapa perubahan psikologis setelah
seseorang mengalami pengalaman spiritual:

o Pada saat menghadapi keadaan sulit dan kecemasan yang luar biasa,
pengalaman spiritual itu akan membuat jiwa menjadi benar-benar
tenang dan mendapatkan keseimbangannya kembali.
o Dalam kebanyakan kasus, ketakutan dan kepanikan dapat dikurangi
dan dalam beberapa kasus bahkan dapat ditiadakan.
o Ada perasaan khidmat dan agung yang menghasilkan kekaguman
terhadap totalitas kehidupan dan seluruh alam semesta.

26
o Ada perasaan bahwa kehidupan itu pada dasarnya tertata dan
harmonis, dan bahwa jiwa manusia dapat menyesuaikan diri dengan
keteraturan itu, sebab merupakan bagian darinya.
o Pengalaman jiwa akan kesukacitaan yang menggetarkan itu sering
berada di ambang ekstase, sehingga orang menjadi menangis, menari,
tertawa tak terkendali atau menyanyikan puji-pujian.
o Ekstase yang terjadi tiba-tiba tersebut menimbulkan perasaan bahagia
yang amat dalam.
o Mata jiwa dapat melihat realitas yang terdalam atau realitas batin,
yang kemudian menjadi batu uji kebenaran, baik dalam penyelidikan
mental maupun supra-mental.
o Jiwa mendapat kepercayaan, kepercayaan diri, kepercayaan hadap
kehidupan dan kepercayaan terhada (ringkasnya, ‘perasaan percaya)

James mendokumentasikan transmormasi-transformasi psikologis ini dari


banyak sekali bahan-bahan biografis. Berdasar pendekatan fenomenologis
ini, pembaca yang paling skeptis sekalipun tidak dapat tidak akan sampai
pada kesimpulan bahwa perasaan religius adalah fakta psikologis dan
bahwa sebenarnya pengalaman tersebut mempengaruhi jiwa.
Pengalaman religius berfungsi memulihkan keseimbangan hati yang
terluka. Pengalaman religius merupakan cara terbaik untuk memperoleh
kesehatan jiwa. Memang, orang-orang skeptis mungkin akan mengatakan
bahwa tidak ada hal supranatural di dalamnya, karena pengalaman
religius dianggap sebagai bentuk self-suggestion.

2.5.3. Peter L. Berger

Peter L. Berger dilahirkan di Wina, Austria dan setelah Perang Dunia II


kemudian berimigrasi ke AS. Sejak 1981 ia adalah profesor sosiologi dan
teologi di Universitas Boston.
Seperti kebanyakan sosiolog agama pada zamannya, secara keliru ia
meramalkan bahwa secara keseluruhan dunia akan mengalami proses
sekularisasi. Pada akhir 1980-an Berger mengakui bahwa dewasa ini
agama (baik agama kuno maupun modern) bukan saja masih lazim,
namun dalam banyak kasus malah dipraktikkan dengan lebih
bersemangat ketimbang pada masa silam. Di samping mengakui bahwa
agama masih merupakan kekuatan sosial yang besar, ia juga
menunjukkan fakta bahwa pluralisme dan dunia yang mengglobal secara
mendasar telah mengubah pengalaman iman individu. Sifat agama yang
kerap kali diterima begitu saja sebagai kebenaran sering kali digantikan
dengan pilihan keyakinan individu berdasar pencarian religiusnya secara
pribadi. Di kemudian hari, Berger mengoreksi pandangannya sendiri.
Kalau semula ia berpikir bahwa modernisasi dan sekularisasi itu berjalan
seiring, bahwa makin modern peradaban berarti akan makin sekular,
maka di kemudian hari ia menyatakan bahwa pikirannya tersebut pada
dasarnya keliru. Menurutnya, sebagian besar peradaban dunia ini
bukanlah sekular, melainkan sangat religius.

27
Dalam bukunya The Sacred Canopy (Doubleday 1967),37 ia
berpendapat bahwa dari perspektif sosiologis, agama harus dipahami
sebagai sebuah konstruksi sosial, suatu proyeksi manusia mengenai
‘dunia suci’. Di sepanjang sejarah, proyeksi atau ‘eksternalisasi’ ini telah
memainkan peran penting dalam membentuk dan memelihara lembaga-
lembaga sosial serta proses terjadinya lembaga-lembaga itu. Peran kunci
agama adalah legitimasi terhadap realitas sosial melalui klaimnya bawa
agama memiliki akses kepada kuasa transenden yang non-manusiawi.
Menurut Berger, secara esensial agama adalah serangkaian realitas asing
yang dinternalisasi dalam identitas individu. Melalui agama, para
penganutnya disuguhi penjelasan mengenai makna tertinggi yang
diperlukan untuk membuat hidup dan alam semesta di sekitarnya ini jadi
berarti, terutama pada waktu terjadinya krisis pribadi atau krisis sosial.
Agama merupakan semacam ‘kanopi’ atau tirai yang melindungi individu-
individu dan masyarakat dari akibat-akibat destruktif kekacauan dan tidak
adanya tujuan.
Berger menyatakan bahwa dalam kebudayaan modern tidak ada
“struktur agama masuk akal,” yang dapat diterima. Ia mengatakan bahwa
dalam kebudayaan Barat modern setiap orang perlu menjadi “bidah”
dalam arti berhak memutuskan tentang masalah iman, tidak harus
mengikuti tradisi kekristenan yang ada. Yang dimaksud dengan “struktur
masuk akal” adalah struktur dalam masyarakat yang menyebabkan orang
mempercayai sesuatu karena secara logis banyak orang mempercayainya
sebagai sesuatu yang benar. Menurutnya, orang dituntut untuk melawan
agama, karena agama tidak masuk akal. Untuk menjadi terhormat, orang
harus menjadi bidah dan membuat keputusan sendiri mengenai apa yang
harus dipercaya. Dalam masyarakat modern tidak ada lagi yang dapat
disebut ortodoksi.
Berger menganut prinsip pluralisme. Hidup diibaratkan sebuah rumah
makan dengan pilihan-pilihan menu yang tersedia. Pilihan tidak hanya
masalah peristiwa, melainkan merupakan sikap budi. Pluralisasi
merupakan proses yang dengannya ragam pilihan manusia menjadi
berlipat ganda, baik mengenai pandangan tentang dunia, ideologi,
maupun agama. Di tengah masyarakat ditawarkan berbagai macam
agama dengan klaim-kebenaran yang saling bersaing. Setiap individu
berhak untuk memilih suatu agama atau meninggalkannya. Jika suatu
agama tidak lagi menjadi pilihan, ia akan berhenti memiliki klaim-
kebenaran utama. Pluralisme memiliki hubungan dialektis dengan
sekularisme. Sekularisasi menyebabkan timbulnya pluralisme dengan
jalan meruntuhkan struktur kemasukakalan lembaga-lembaga
keagamaan dan keyakinan monopolistis. Pada pihak lain, pluralisme
merelatifkan hakikat ‘objektif’ sistem makna agama yang diterima begitu
saja apa adanya, karena itu memperkuat sekularisasi. Menurut Berger,
klaim-klaim kebenaran dari bermacam-macam agama dunia tidak
memerlukan argumen atau pemecahan. Klaim-klaim itu hanyalah nilai
berbeda yang dipertahankan oleh orang-orang yang berbeda. Banyak
kebenaran yang berbeda-beda saling berdampingan. Akibatnya, agama

37 Peter L. Berger, The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion (Garden City, New York: Doubleday
and Company, Inc., 1967).

28
menjadi relatif. Kebenaran menjadi benar bagi seseorang jika benar
menurutnya. Kebenaran yang berbeda menjadi benar jika orang dapat
menerimanya sebagai benar.

2.6. Rasionalisme dan empirisme

2.6.1. Rene Descartes (1596-1650)

Dasar pemikiran Descartes yang sangat terkenal diungkapkan dalam


perkataannya, “cogito ergo sum,” “saya berpikir maka saya ada,” atau
lebih tepatnya “saya sedang berpikir, maka saya ada.” Cara Descartes
membuktikan adanya Allah masih menggunakan penalaran Aristoteles,
yaitu dengan metode keraguan. Menurutnya, mengetahui lebih besar
daripada meragukan, karena itu ia menyimpulkan bahwa dirinya tidak
sempurna. Ia tidak dapat menjadi Allah, sebab seandainya begitu, ia akan
menciptakan dirinya sempurna, sedang kenyataannya ia tidak sempurna.
Ide kesempurnaan pasti datang dari suatu keberadaan yang sempurna,
yaitu Allah. Maka Allah pasti ada. Manusia sendiri terlalu tidak sempurna
untuk memikirkannya.
Descartes menggunakan penalaran Aristotelian. Aristoteles percaya
bahwa dalam rangkaian realitas yang berbeda-beda ada ide dasar yang
menjadi sumber realitas-realitas itu. Ide mengenai Allah disebabkan oleh
adanya substansi yang tak terbatas, yaitu Allah. Maka Allah itu ada.
Dengan menggunakan argumen ontologis, Descartes percaya bahwa Allah
itu sempurna. Lebih sempurna untuk ada daripada tidak ada. Maka Allah
itu ada. Kalau Allah itu sempurna, maka ia mutlak dan tidak dapat
menipu kita. Jadi, setan penipu pun tidak ada, karena Allah tidak
menghendaki kita tertipu. Allah yang sempurna tidak dapat menjadi
penyebab kekeliruan apa pun. Descartes percaya bahwa manusia
dilahirkan dengan ide-ide bawaan yang memberinya pengetahuan
mengenai diri sendiri, mengenai Allah, dan mengenai matematika.

2.6.2. John Locke (1632-1704)

John Locke percaya adanya tiga macam pengetahuan yang dapat


diperoleh dari pengalaman, yaitu:
- Pengetahuan intuitif, yang melaluinya orang memperoleh
pengetahuan tentang dirinya sendiri.
- Pengetahuan demonstratif, yang melaluinya orang memperoleh
pengetahuan tentang Allah.
- Pengetahuan inderawi, yang melaluinya orang memperoleh
pengetahuan mengenai dunia luar.

Hanya pengetahuan jenis pertama, yaitu pengetahuan intuitif, bersifat


pasti secara absolut. Pengetahuan jenis kedua bersifat pasti seperti
halnya bukti-bukti matematis bersifat pasti. Sedangkan pengetahuan
inderawi bersifat problematis, paling tinggi merupakan dugaan yang baik.
Bukti dan kenyataan sehari-hari merupakan hal yang berbeda. Ia
mengakui, sekalipun ingin mendemonstrasikan nilai-nilai moral maupun

29
sains, ia selalu gagal. Ia sadar bawa tanpa Allah nilai-nilai moral hanyalah
soal selera, bukan tugas.
Bertolak dari pemikiran sebab akibat, Locke berpendapat bahwa bila
sesuatu ada, maka ia selalu berada dan merupakan sebab dari segala
yang ada. Apa yang selalu ada harus bersifat abadi, mahakuasa dan
mahatahu, yaitu Allah. Allah inilah yang mampu memaksakan nilai-nilai
moral.

2.6.3. David Hume (1711-1776)

Hume tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang ateis, sekalipun


banyak orang mencapnya demikian. Memang, Hume tidak percaya
adanya mujizat. Baginya, mempercayai mujizat berarti pengkhianatan
terhadap hukum alam. Mujizat itu mustahil ada.
Hume menolak budi sebagai suatu prinsip. Baginya, budi tidak lebih
sebagai kebiasaan atau adat. Hume setuju dengan Locke bahwa manusia
tidak pernah dapat benar-benar mengetahui apa yang terjadi di luar
dirinya. Terhadap kenyataan di luar dirinya manusia hanya mendapatkan
impresi (kesan) yang menumbuhkan ingatan atau gambaran samar, yang
kemudian digabungkan menjadi pikiran dan penalaran. Prinsip-prinsip
pemikiran Hume:
- tidak ada sebab akibat
- tidak ada prinsip penalaran
- tidak ada kepastian dalam induksi (memutuskan kebenaran
berdasar bukti-bukti)
- keberadaan materi tergantung pada imajinasi manusia
- ilmu dibangun atas dasar keyakinan, bukan kepastian.

Menurut Hume, dalam semua agama yang bermacam-macam itu terdapat


keyakinan bahwa di dunia ini ada kuasa yang cerdas dan tak kelihatan
(The Natural History of Religion, hlm. 134, 144-5). Menurutnya,
politeisme atau penyembahan berhala adalah bentuk awal dari agama
purba manusia (NHR, 135). Dasar politeisme bukanlah keindahan atau
keteraturan alam semesta, sebagaimana terjadi pada agama-agama
teisme, melainkan berbagai macam peristiwa yang saling bertentangan
yang terjadi dalam kehidupan umat manusia. Banyak peristiwa (misalnya
cuaca, sakit-penyakit, peperangan, dsb.) yang tidak dapat diprediksi,
namun penting bagi manusia, karena memiliki dampak langsung bagi
kebahagiaan atau penderitaannya. Pada umumnya, manusia – terutama
masyarakat primitif – tidak mengetahui sebab-musabab terjadinya
peristiwa-peristiwa yang mendatangkan harapan atau ketakutan yang
mendalam itu. Dalam keadaan seperti ini, “orang banyak yang bebal” itu
beranggapan bahwa penyebab yang tidak diketahui itu adalah sesuatu
yang tak kelihatan dan cerdas, yang dapat mereka pengaruhi dengan doa
dan korban-korban. Dengan cara itu, manusia berharap dapat
mengendalikan apa yang tidak mereka ketahui dan mereka takuti. Akibat
ketakutan dan kebodohan manusia, kuasa-kuasa cerdas yang menjadi
objek penyembahan ini mereka perlakukan seperti manusia yang kasat
mata. Agama politeisme sangat berbeda dengan teisme yang

30
sesungguhnya, karena agama primitif tidak mempersoalkan asal-usul
alam semesta atau penguasa tertinggi alam semesta itu. Masyarakat
primitif tidak sempat memikirkan hal tersebut secara spekulatif, karena
mereka harus bergumul dengan kehidupan mereka sehari-hari. Hume
menyebut para penganut politeisme dan para penyembah berhala sebagai
“kaum ateis tahyul”, karena mereka tidak memiliki gagasan mengenai
Realitas yang berhubungan dengan gagasan kita tentang Allah (NHR,
145). Namun dari sudut pandang mereka, kaum teis keliru, karena
mereka menolak keberadaan “ilah-ilah yang lebih rendah” yang di
sembah oleh kaum politeis (NHR, 148).

(Pertemuan ke VII ) sesudah UTS ( Senin, 9 Nop. 2015 )

3. PENGERTIAN ‘AGAMA’ MENURUT BEBERAPA AGAMA

3.1. Pengertian dan pandangan umum

Agama sering dimengerti berdasar arti etimologisnya. Dalam bahasa


Sansekerta, ‘gam’ berarti ‘pergi’, sehingga ‘a-gam-a’ diartikan sebagai
‘perjalanan menuju’, yang di dalam perkembangannya menjadi
‘perjalanan menuju kebaikan’ atau ‘jalan benar’. Agama dapat pula
diuraikan menjadi ‘a-gama’, ‘a’ berarti tidak, dan ‘gama’ berarti ‘benda’
atau ‘berubah’. Sehingga ‘agama’ berarti: ‘sesuatu yang tidak bersifat
kebendaan dan kekal’.
Terlepas dari orientasi sejarah mengenai pengertian agama, beberapa
rumusan tetap diperlukan untuk mengidentifikasi ciri-ciri, prinsip-prinsip
atau pun unsur-unsur agama. Sebagai jalan benar, AGAMA dapat
dijabarkan menjadi pedoman, peraturan atau norma-norma tertentu,
yang bersumber pada:

a. Wahyu yang berasal dari Tuhan, yang oleh penganutnya lazim disebut
sebagai Kitab Suci. Wahyu hanya dapat dihayati dengan iman atau
kepercayaan secara bulat kepada-Nya.
b. Ungkapan atau pernyataan iman secara konkret, yang terwujud dalam
perilaku lahiriah, seperti: doa, sembahyang, zakat-fitrah, upacara-
upacara sosial (seperti: perkawinan, kematian) dan lain-lainnya.
Pelaksanaan iman secara lahiriah mempunyai dua aspek, yaitu:

a. Dalam hubungan antara manusia dengan Tuhannya, nyata dalam


bentuk kultus dan ritus. Hal ini lazim disebut ibadah atau kebaktian
yaitu ibadah supra sosial (ibadah dalam arti sempit).
b. Dalam hubungan dengan sesama manusia, berupa tatacara sosial
tertentu yang berupa ritus dan perbuatan kebajikan yang tanpa ritus.
Kedua-duanya disebut ibadah secara sosial (ibadah dalam arti luas).
31
Lazimnya, orang berpendapat bahwa dalam agama harus terdapat
prinsip-prinsip berikut:

a. Iman, yang merupakan inti agama.


b. Ibadah, yang mengandung dua aspek:
1) Supra sosial, yang dilaksanakan dalam bentuk pemujaan dan ritus-
ritus.
2) Sosial, yang dilaksanakan dalam bentuk ritus sosial dan perbuatan-
perbuatan sosial tanpa ritus.
c. Takwa, yaitu sikap mental terhadap Tuhan dan sesama manusia
sebagai produk penghayatan serta pelaksanaan iman dan ibadah.

Di samping ketiga prinsip di atas, sering pula orang menetapkan bahwa di


dalam agama harus terdapat unsur-unsur:

a. Kitab Suci yang memuat sabda-sabda atau wahyu Tuhan.


b. Utusan Tuhan, yaitu para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia-
manusia terpilih sebagai perantara turunnya wahyu yang menjadi
pedoman hidup bagi semua manusia.
c. Ritus atau tatacara dalam melaksanakan ibadahnya kepada Tuhan,
baik dalam bentuk doa atau sembahyang, maupun upacara-upacara
pemujaan, serta dalam hubungannya dengan sesama berupa ritus
sosial dan perbuatan sosial.
d. Tuntunan-tuntunan dalam wahyu tersebut, yang mengandung:

1) Perintah-perintah Tuhan agar berjalan di jalan yang benar dan


berbuat kebaikan.
2) Perintah-perintah Tuhan agar tidak berjalan di jalan yang
menyimpang dan tidak berbuat keburukan.
3) Petunjuk-petunjuk Tuhan tentang pengolahan jiwa, agar menjadi
sehat, kuat dan berbudi luhur.

3.2. Agama secara fenomenologis

Berdasarkan fenomena kehidupan keagamaan secara umum, dapat


dikatakan bahwa agama ialah:

Suatu sistem kepercayaan yang meliputi segala aktivitas hidup


manusia dalam usahanya untuk mewujudkan hubungan dan rasa
baktinya kepada kuasa supranatural yang disembah dan diyakini
mengatasi dirinya (transenden). Sistem tersebut mencakup tempat-
tempat suci, akta-akta suci, serta kata-kata suci.

Dari rumusan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diuraikan lebih
lanjut:

1) Sebagai sistem kepercayaan, agama mencakup berbagai unsur teratur


yang merupakan satu kesatuan dan tidak berwajah tunggal. Oleh

32
sebab itu agama tidak dapat hanya dipandang dari satu segi dan
dibatasi oleh satu definisi tunggal. Itu sebabnya agama sulit
didefinisikan.
2) Sebagai aktivitas hidup manusia, agama membutuhkan bentuk-bentuk
konkret, yang terwujud baik dalam sikap maupun tindakan. Dengan
demikian, beragama tidak sekadar meyakini sesuatu, melainkan
bertindak sesuai dengan keyakinan itu. Bahkan berolah agama
seharusnya terwujud dalam totalitas kehidupan dan diamalkan dalam
setiap tingkah laku, sehingga agama tidak hanya berarti bagi diri
sendiri melainkan juga berarti bagi sesama dan lingkungan di mana
seseorang berada.
3) Aktivitas tersebut dilakukan dalam rangka usaha merealisasikan rasa
bakti dan keterhubungan manusia dengan kuasa yang disembah.
Sebagai yang demikian, agama memerlukan dan menggunakan cara-
cara yang bersifat manusiawi. Dengan kata lain, ekspresi kehidupan
agama selalu bersifat antropomorfistik. Dalam hal ini perlu disadari
pengaruh budaya setempat terhadap warna kehidupan agama. Tidak
mungkin kehidupan agama netral dari pengaruh kebudayaan manusia,
karena itu dalam setiap bentuk agama pasti terdapat kelebihan
sekaligus kekurangan secara manusiawi (ditinjau dari nilai kebudayaan
secara subjektif). Dengan pengertian itu, disadari bahwa penampilan
agama di tengah perjalanan zaman senantiasa membutuhkan bentuk-
bentuk baru, sehingga berguna dan dapat dihayati oleh manusia yang
berada di tengah sejarahnya. Kehidupan agama memerlukan
keterbukaan terhadap pembaharuan bentuk (cara pengungkapan
imannya), dan tidak selayaknya terpenjara oleh masa lampau secara
kaku.
4) Sebagai ibadah (rasa bakti) kepada kuasa yang disembah, agama
melibatkan seluruh segi kehidupan manusia yang disimbolisasi dalam
bentuk ritus-ritus, tata-cara peribadahan dan pranata-pranata
tertentu. Namun di samping itu, agama juga mewujud dalam sikap dan
tindakan terhadap sesama manusia serta lingkungannya. Di sinilah
dapat dipahami bahwa ibadah yang benar harus mencakup tindakan-
tindakan, baik yang bersifat supra sosial maupun sosial.
5) Salah satu unsur yang menjadi dasar bagi seluruh bangunan agama
adalah keyakinan. Dengan dasar tersebut keberagamaan seseorang
akan mengandung subjektivitas. Keyakinan subjektif yang menjadi
landasan kehidupan agama tidak menuntut pembuktian kebenarannya
secara akal. Dalam hal ini, agama menjadi sesuatu yang betul-betul
pribadi dan tidak mungkin diganggu-gugat atau dipaksakan oleh orang
lain, termasuk oleh negara. Jika subjektivitas ini disadari, maka secara
tidak langsung setiap orang haruslah mengakui hak orang lain untuk
meyakini kepercayaannya. Pengingkaran terhadap aspek subjektif
agama merupakan penindasan terhadap salah satu hak manusia yang
paling dasar. Dengan kata lain, pengingkaran terhadap hak individu
untuk meyakini agamanya merupakan pengkhianatan terhadap
martabat manusia. Setiap bentuk pemaksaan akan menghasilkan
kemunafikan dan ketertekanan bagi pihak lain.

33
3.3. Pandangan agama Buddha

Kata “Buddha” berasal dari bahasa Sanskerta ‘budh’ yang secara harfiah
berarti ‘untuk mengetahui’. Buddha diartikan sebagai “Mereka yang
Sadar, Yang mencapai pencerahan sejati.” Jadi, ‘Buddha’ merupakan
gelar yang diberikan kepada individu yang menyadari potensi penuh
mereka untuk memajukan diri dan yang berkembang kesadarannya.
Dalam penggunaan sehari-hari, Buddha sering digunakan untuk merujuk
Siddharta Gautama, guru agama dan pendiri Agama Buddha (Sidharta
Gautama dianggap "Buddha bagi waktu ini"). Dalam penggunaan lain,
kata ini juga berarti “contoh bagi manusia yang telah sadar.” Ada tiga
jenis golongan Buddha, yaitu:

o Samma-Sambuddha yaitu Buddha yang mendapat Kesadaran penuh


tanpa guru, hanya dengan usaha sendiri.
o Pacceka-Buddha atau Pratyeka-Buddha yaitu Buddha yang menyerupai
Samma-Sambuddha, tetapi senantiasa diam dan menyimpan
pencapaian Dharma pada diri sendiri.
o Savaka-Buddha yang merupakan Arahat (pengikut kesadaran), tetapi
mencapai tahap Kesadaran dengan mendengar Dhamma.

Umat Buddha berpegang pada kitab sucinya yang disebut “Tripitaka”.


Kitab Suci tersebut berisi tiga bagian:

o Vinaya Pittaka, isinya aturan-aturan sangha untuk biksu atau


biksuni.
o Sutra Pittaka, isinya tentang wacana-wacana Buddha.
o Abhidharma Pittaka, isinya tentang penjelasan sistematis atau ilmu
pengetahuan dari Buddha.

Di samping Tripitaka, umat Buddha juga berpegang pada lima tekat yang
disebut Pancasila, yaitu:

1. Pannatipata veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya


saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari pembunuhan
makhluk hidup. (Dilarang Membunuh)
2. Adinnadana veramani sikkhapadang sammadiyammi, yang artinya
saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari mengambil sesuatu
yang tidak diberikan. (Dilarang Mencuri)
3. Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya
saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari menghindari
perbuatan asusila. (Dilarang Berzinah)

34
4. Musavadha veramani sikkhapadang samadiyami, yang artinya saya
bertekat akan melatih diri untuk menghindari menghindari ucapan
tidak benar. (Dilarang Berdusta)
5. Surameraya majjapamadatthana veramani sikkhapadang samadiyami,
yang artinya saya bertekat akan melatih diri untuk menghindari
mengkonsumsi segala zat yang dapat menyebabkan hilangnya
kesadaran. (Dilarang Meminum Minuman Keras)

Mengenai pengertian agama, majalah ‘Buddhis’ No. 13, Januari 1960,


memuat tulisan Ven C. Nyanasatta Thera’s, yang berjudul ‘Apakah agama
itu?’. Dalam uraiannya, Nyanasatta mengutip pengertian agama menurut
Kamus Oxford, yang memberi arti sebagai berikut:

Agama adalah suatu kepercayaan dan cara persujudan atau


pengakuan manusia akan adanya Gaya-Pengendali yang Istimewa
dan Terutama, yang harus ditaati, dan pengaruh pemujaan tadi
dalam kehidupan manusia serta atas perilakunya.

Oleh sebab itu, penuh dengan rasa keagamaan, takut akan Tuhan,
berbakti, ada kalanya dimengerti sebagai tindakan ‘dengan cermat’ atau
‘dengan seksama’. Orang yang tidak beragama berarti orang yang tidak
seksama, tidak senonoh kelakuan dan akhlaknya, serta tidak cermat
dalam bertindak.
Dalam arti lebih luas, agama dapat pula ditafsirkan sebagai suatu
pelajaran kesusilaan dan filsafat serta pengakuan berdasarkan keyakinan
terhadap pelajaran yang diakui tadi. Dengan demikian, ajaran Sang
Budha adalah suatu agama, dan umat Budhis memiliki suatu agama yang
sangat mulia untuk dianutnya.
Agama Budha meyakini bahwa Tuhan itu Mahagaib, tidak berbentuk
dan tidak dibentuk. Tuhan ada di mana-mana (omipresens), karena itu,
Ia tidak dapat dan tidak boleh dipersonifikasikan, tidak dapat dan tidak
boleh dipikirkan oleh pikiran manusia yang serba terbatas. Jika hal itu
dilakukan, manusia akan terjebak dalam pemikiran yang tak akan ada
habisnya. Cahaya Tuhan tidak terbatas dan tidak dapat dijangkau oleh
pemikiran manusia. Bila manusia membicarakan Tuhan dengan pikirannya
sebagai alat, sedangkan manusia memiliki sifat tak kekal, serba ingin
terus bertanya, dan tidak pernah puas dengan hal-hal yang ada, maka
pertanyaan-pertanyaan itu sepanjang zaman tidak akan terjawab, dan
manusia tidak akan menemukan Tuhan, karena Tuhan sudah dijadikan
objek dan bukan Subjek atas diri manusia. Karena itu Budha selalu diam,
tidak berusaha menjawab pertanyaan yang timbul dalam dirinya tentang
Tuhan. Sang Budha menolak untuk membicarakan dan tidak
memersoalkan keberadaan Tuhan yang Mahagaib, tetapi menekankan
kepada para pengikutnya untuk mempraktikkan Ketuhanan dalam
kehidupannya sehari-hari.
Perlu ditekankan bahwa Buddha bukan Tuhan. Konsep ketuhanan
dalam agama Buddha berbeda dengan konsep dalam agama Samawi
yang mempercayai bahwa alam semesta diciptakan oleh Tuhan dan
tujuan akhir dari hidup manusia adalah kembali ke sorga ciptaan Tuhan

35
yang kekal. Di dalam agama Buddha tujuan akhir hidup manusia adalah
mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan
sejati dimana roh manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal
lahir. Untuk mencapai itu pertolongan dan bantuan pihak lain tidak ada
pengaruhnya. Tidak ada dewa - dewi yang dapat membantu, hanya
dengan usaha sendirilah kebuddhaan dapat dicapai. Buddha hanya
merupakan contoh, juru pandu, dan guru bagi makhluk yang perlu
melalui jalan mereka sendiri, mencapai pencerahan rohani, dan melihat
kebenaran serta realitas sebenar-benarnya.

Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan,


Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Duhai para
Bhikkhu, apabila Tidak ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjelma, Yang Tidak Diciptakan, Yang Mutlak, maka tidak akan
mungkin kita dapat bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan,
pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para Bhikkhu, karena ada
Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta,
Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran,
penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu.

Ungkapan di atas adalah pernyataan dari Sang Buddha yang terdapat


dalam Sutta Pitaka, Udana VIII : 3, yang merupakan konsep Ketuhanan
Yang Mahaesa dalam agama Buddha. Ketuhanan Yang Mahaesa dalam
bahasa Pali adalah "Atthi Ajatang Abhutang Akatang Asamkhatang" yang
artinya "Suatu Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Dijelmakan, Tidak Diciptakan
dan Yang Mutlak". Dalam hal ini, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah suatu
yang tanpa aku (anatta), yang tidak dapat dipersonifikasi dan tidak dapat
digambarkan dalam bentuk apa pun. Tetapi dengan adanya Yang Mutlak,
yang tidak berkondisi (asamkhata) maka manusia yang berkondisi
(samkhata) dapat mencapai kebebasan dari lingkaran kehidupan
(samsara) dengan cara bermeditasi.
Dengan membaca konsep Ketuhanan Yang Mahaesa ini, kita dapat
melihat bahwa konsep Ketuhanan dalam agama Buddha berbeda dengan
konsep Ketuhanan yang diyakini oleh agama-agama lain. Perbedaan
konsep tentang Ketuhanan ini perlu ditekankan di sini, sebab masih
banyak umat Buddha yang mencampur-adukkan konsep Ketuhanan
menurut agama Buddha dengan konsep Ketuhanan menurut agama-
agama lain sehingga banyak umat Buddha yang menganggap bahwa
konsep Ketuhanan dalam agama Buddha adalah sama dengan konsep
Ketuhanan dalam agama-agama lain.

Buddha Mahayana memuja Sang Amitabha (Sang Cahaya Tanpa


Batas) yang berkuasa dan berdiam di surga Sukhawati. Umat Buddha di
Indonesia menyembah Tuhan Yang Mahaesa yang disebut Sang Hyang
Adi Buddha, tidak dapat dilukis atau dipatungkan seperti buddha-buddha
yang lain. Hal ini dapat dipelajari dari relief Candi Borobudur serta kitab-
kitab suci Sang Hyang Kamahayanikan, yang di dalamnya
mengungkapkan antara lain:

36
“Sang Hyang Adi Buddha adalah Dharmakaya yang kekal/abadi, tanpa
awal dan tanpa akhir, tanpa bentuk dan meliputi seluruh jagad raya,
hanya dapat diselami oleh mereka yang telah mencapai samyak
sambodhi (kesadaran teragung).”
“Sang Dharmakaya meskipun bermanifestasi dalam tiga alam, bebas
dari kekotoran nafsu-nafsu. Menggelarkan diri-Nya ke sini, ke sana,
dan ke mana saja, menjawab panggilan karma. Ini bukan kenyataan
perorangan, bukan khayalan, tetapi Kenyataan Semesta dan Murni
(Kesunyataan). Dharmakaya tidak datang dari mana pun dan tidak
pergi ke mana pun; tidak menonjolkan diri, juga tidak akan musnah.
Ia tenang dan kekal selama-lamanya. Inilah Yang Tunggal/Esa, bebas
dari segala arah. Alam semesta tercipta, tetapi Sang Dharmakaya
tetap kekal untuk selama-lamanya. Dharmakaya bebas dari semua
yang berlawanan tetapi bekerja dalam semua benda untuk
membimbing mereka menuju Nirwana.”

Pertemuan ke VIII - UTS

(Pertemuan ke IX ) Hal. 27 -

3.4. Pandangan agama Hindu

Agama adalah Satya, Rta, Diksa, Tapa Brama dan Yajna. Ia akan
memberikan tempat dan mengatur hidup kita, dulu, sekarang dan yang
akan datang di dunia ini. Satya adalah kebenaran yang absolut (mutlak).
Rta adalah dharma atau perundang-undangan yang mengatur hidup
manusia. Diksa adalah persucian. Tapa Brama adalah semua perbuatan
suci dan doa-doa atau mantra-mantra. Sedangkan Yajna adalah korban.
(Weda Parikrama, Gde Pudja, M.A., S.H., hlm. 24).
Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah
monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta
yang berarti "tak ada duanya". Seperti konsep ketuhanan dalam agama
monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan
merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama
Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak
berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta
sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan
mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari
segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam
semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut,
posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja
sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai
perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan
Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu,
Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang

37
bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya
yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan
ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma,
Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu
Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa
merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.
Menurut agama Hindu, Tuhan adalah Esa (Eka), Mahakuasa, Mahaada
dan menjadi sumber segala sesuatu yang ada dan tiada. Kepercayaan
atas keesaan Tuhan ini dapat kita temukan dalam rumusan-rumusan ayat
(mantra) yang terdapat dalam Kitab Reg Weda, baik dari Purusa
Suktanya maupun dari ayat-ayat Nasadiya Suktanya. Kalaupun ada istilah
“Dewa”, maka haruslah dipahami makna sebenarnya. Istilah ini berasal
dari kata Sanskerta “Div” yang berarti sinar atau cahaya (Nur). Dalam
filsafat Hindu (darsana), dewa-dewa diciptakan sebagaimana alam
semesta ini untuk mengendalikan alam semesta. Dewa bukanlah Tuhan.
Dewa-dewa dihubungkan dengan satu aspek tertentu dan khusus dari
fenomena alam semesta ini. Tiap-tiap aspek dikuasai oleh satu dewa atau
lebih, dengan ciri-ciri atau lambang-lambang yang khusus pula. Tiap
dewa mempunyai çakti yang tidak terpisah dari dirinya, seperti halnya
suami dengan isteri. Çakti inilah yang diwujudkan dalam bentuk dewi,
dianggap sebagai isteri dewa.
Keberadaan Sang Pencipta sering diberi sebutan secara subjektif
berdasar penghayatan dan pikiran manusia. Itulah sebabnya ia disebut
“Dhatri” (Pencipta), “Prajapati” (Raja semua makhluk), Tuhan, Çiwa,
Allah, dsb. Apakah nama-nama itu merupakan nama yang tepat bagi-
Nya? Menurut Kitab Weda, pemberian nama itu merupakan sesuatu yang
tak terelakkan, namun harus diingat agar pemberian nama itu tidak
mengurangi atau membatasi hakikat-Nya. “Ekam Sad Wipra bahuda
wadanti”, yang Absolut itu Satu, orang-orang bijaksana menamai-Nya
dengan banyak (nama). “Tad” adalah istilah yang sangat umum
digunakan dalam Weda, karena “Tad” dapat diartikan sebagai “yang
Absolut Ada.” Walaupun nama-nama itu berbeda-beda tidak berarti
bahwa satu dengan yang lain berbeda hakikatnya.
Dari pokok-pokok pikiran tentang ketuhanan dalam Reg Weda maupun
Yajur Weda, agama Hindu tidak fanatik dalam konsep ketuhanannya.
Dalam Reg Weda 82:3 dikatakan, “Ia (adalah) Bapa kami, Pencipta kami,
Pelebur kami. Siapakah yang dapat mengenal semua jabatan-Nya, semua
yang ada? Ia adalah satu dengan nama dewa-dewa yang berbeda-beda.
Ia itulah yang dicari oleh semua makhluk di dunia ini dengan pertanyaan
semua.”
Agama Hindu sering dipahami sebagai agama politeistik, namun dari
Reg Weda, kita dapat menarik kesimpulan mengenai gagasan ketuhanan
agama Hindu sebagai berikut:
 Tuhan itu Esa, berkuasa atas seluruh dunia (ciptaan-Nya)
 Atas dasar sifat kekuasaan-Nya itu Ia mengatur dan mengawasi
seluruh ciptaan-Nya dari kejauhan (surga)
 Untuk memperoleh kebahagiaan, manusia harus mengamalkan apa
yang telah ditetapkan sebagai hukum-Nya, yang merupakan hukum
suci.

38
3.5. Menurut Agama Islam

Prof. K.H.M. Thair Abdul Mu’in dalam tulisannya mengenai ‘Ilmu Kalam’
mengemukakan: “Agama ialah suatu peraturan yang mendorong jiwa
seseorang yang mempunyai akal, memegang peraturan Tuhan dengan
kehendaknya sendiri, untuk mencapai kebaikan hidup di dunia dan
kebahagiaan kelak di akhirat” [Moh. Rifa’i, Mutiara Ilmu Tauhid (Bandung:
Al Ma’arif, 1974), hlm. 25].
Definisi lain dikemukakan oleh Hadijah Salim sebagai berikut: “Agama
adalah peraturan Allah Swt, yang diturunkan kepada Rasul-Rasul-Nya
yang telah lalu, yang berisi suruhan, larangan dan sebagainya, yang wajib
ditaati oleh umat manusia dan menjadi pedoman serta pegangan hidup,
agar selamat di dunia dan akhirat. Agama adalah kendali hidup dan

39
barangsiapa hidupnya tidak terkendalikan niscaya manusia itu akan
terjerumus dan tak akan menentu arah tujuannya, maka membahayakan
dirinya sendiri” [Hadijah Salim, Apa Arti Hidup (Bandung: Al Ma’arif,
1974), hlm. 52].
Haji Agus Salim (1884-1954), dalam bukunya ‘Tauhid’ mengatakan:
“Agama adalah ajaran tentang kewajiban dan kepatuhan terhadap aturan,
petunjuk, perintah yang diberikan Allah kepada manusia lewat utusan-
utusan-Nya. Dan oleh rasul-rasul-Nya diajarkan kepada orang-orang
dengan pendidikan dan tauladan”.
Nama ‘Islam’ berhubungan erat dengan pemahaman agama ini bahwa
Allah adalah esa dan sama sekali berbeda dengan ciptaan-Nya (QS
112:1-4); dan bahwa Allah menciptakan dunia ini dalam keadaan
harmonis (QS 32:7; 95:4). Berada dalam hubungan harmonis dengan
Allah berarti bahwa setiap unsur ciptaan mengetahui tempatnya dan taat
pada kehendak Allah. Jadi, semua ciptaan dipanggil untuk taat kepada
Allah. Di samping bermakna ‘harmonis’, kata ‘Islam’ juga mengandung
pengertian ‘berserah diri,’ sebab keharmonisan tersebut hanya akan
terwujud jika semua ciptaan, termasuk manusia, berserah diri dan tunduk
kepada kehendak Allah.38 Kata Arab ‘Islam’ secara harfiah berarti
‘berserah diri’, yang mewarnai seluruh gagasan dasar agama ini, yaitu
bahwa para pemeluknya (yang disebut Muslim,39 yang berasal dari bentuk
aktif kata Islam) menerima untuk ‘menyerahkan diri kepada kehendak
Allah.’ Dengan taat kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya,
seorang Muslim akan berada dalam keharmonisan dengan semesta alam
tempat ia hidup, karena segala sesuatu di dalam alam semesta ini ada
karena perintah Allah.40 Umat Islam percaya bahwa agamanya mencakup
semua segi kehidupan. Mereka percaya bahwa individu, masyarakat dan
pemerintah harus taat kepada perintah Allah sebagaimana dimuat dalam
Al-Qur’an, yang diyakini sebagai firman Allah.41
Allah dipahami sebagai yang satu-satunya, Ia adalah pencipta,
penopang, dan yang membenahi dunia ini. Umat Islam percaya bahwa
Muhammad adalah nabi terkahir (penutup) dari seluruh rangkaian para
nabi Allah (termasuk Adam, Nuh, Isa, dan yang lain). Ia berada di antara
nabi-nabi yang memiliki posisi tinggi, dan pesan-pesan yang
disampaikannya serta-merta menyempurnakan dan membatalkan wahyu-
wahyu yang diberikan kepada para nabi sebelumnya. Muhammad
mengatasi (lebih tinggi) semua nabi-nabi yang lain, karena wahyu yang
diterimanya mengatasi wahyu-wahyu yang lain.42 Namun nabi
Muhammad sendiri menyatakan bahwa wahyu yang disampaikannya
mengukuhkan dan menjelaskan wahyu-wahyu yang telah diberikan
kepada para nabi sebelumnya. Beliau berkata dalam QS Al-Ahqāf (46):9,
“Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul,” dan dalam ayat

38 Chris T.R. Hewer, Understanding Islam, the First Ten Steps (London: SCM Press, 2006), hlm. 2-3.
39 Dalam bahasa Inggris kadang-kadang kata ‘Muslim’ diterjemahkan dengan ‘Moslem,’ namun umat Islam lebih memilih
‘Muslim’ sebab kata ‘Moslem’ memiliki kemiripan ucapan dengan kata Arab ‘Mauslem’ yang berarti ‘penindas’. Goring
berpendapat bahwa kata ‘Muslim’ berasal dari kata Arab aslama, yang berarti ‘menyerahkan diri’. Lihat Goring,
Dictionary of Beliefs, hlm. 354.
40 Hewer, Understanding Islam, hlm. 4-5.
41 Goring, Dictionary of Beliefs, hlm. 247.
42 James Windrow Sweetman, Islam and Christian Theology, A Study of the Interpretation of Theological Ideas in the Two

Religions, Part II, Vol. II, (London: Lutterworth Press, 1967), hlm. 62, 159.

40
12, “Dan sebelum Al-Qur’an itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk
dan rahmat. Dan ini (Al-Qur’an) adalah kitab yang membenarkannya
dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang
zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat
baik.”
Islam ditegakkan di atas dasar lima pilar yang disebut Rukun Islam,
yaitu: Syahadat, Shalat, Puasa, Zakat, dan Haji.
 Syahadat merupakan ringkasan pengakuan iman Islam, yaitu, “La
ilaha illa Allah, Mohammad arrasul Allah” (Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul-Nya).
 Shalat adalah realisasi ibadah kepada Allah yang dilakukan lima kali
sehari, yaitu: shalat subuh (fajr), shalat dhuhr, shalat ‘asr, shalat
magrib, dan shalat isha’.
 Puasa adalah menahan makan, minum, dan hubungan seksual sejak
waktu sebelum subuh hingga waktu setelah maghrib pada bulan
Ramadhan (bulan ke-9 dalam kalender Islam) selama satu bulan
penuh.
 Zakat adalah semacam ‘pajak’ kekayaan untuk menolong mereka yang
miskin dan kekurangan. Dasar pemikirannya, semua kekayaan adalah
milik Allah yang dititipkan atau dipercayakan kepada umat-Nya. Oleh
karena itu, setiap orang berkewajiban mengambil sebagian harta
titipan Allah yang merupakan hak orang lain dan harus diberikan
kepada mereka yang berhak menerimanya. Besarnya zakat ditentukan
2,5% per tahun dari harta kekayaan yang dimiliki.
 Haji. Naik haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilakukan
oleh semua umat Islam, minimal satu kali seumur hidup bagi yang
mampu, baik secara finansial maupun secara fisik.

Di samping Rukun Islam, agama Islam berpegang pada Rukun Iman,


yaitu: Iman kepada Allah Swt, Iman kepada malaikat-malaikat-Nya, iman
kepada Kitab-kitab-Nya, iman kepada Rasul-rasul-Nya, iman kepada Hari
Akhir, dan iman kepada al-Qadar (kesempurnaan kehendak Allah).
 Iman kepada Allah artinya percaya bahwa Allah itu ada, berkuasa,
tidak menyerupai sesuatu, tidak didahului oleh sesuatu, kekal, ada
dengan sendirinya, esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan,
mahamengetahui, mahahadir, mahasempurna dan tidak memiliki
kekurangan. Menyembah sesuatu selain Allah disebut shirk, dosa
karena menyepadankan Allah yang mahatinggi dengan ciptaan-Nya.43
 Iman kepada malaikat-malaikat. Allah telah menciptakan malaikat-
malaikat untuk menyembah-Nya, dan memberi tugas-tugas tertentu
yang harus mereka lakukan dengan taat. Al-Qur’an menolak bahwa
malaikat adalah perantara dan putra-putri Allah. Di antara para
malaikat itu ada yang bertugas untuk mencatat perbuatan manusia.
Catatan tersebut akan diperlihatkan kepada manusia pada akhir
zaman, pada hari kebangkitan.44

43 Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam, A Thousand Years of Faith and Power (New Heaven & London: Yale University
Press, 2002), hlm. 35.
44 Cf. Sweetman, Islam and Christian Theology, Part I, hlm. 78.

41
 Allah memerintahkan agar umat-Nya beriman kepada kitab-kitab suci
yang telah diturunkan-Nya. Iman kepada kitab-kitab suci ada dua
macam: secara umum dan secara khusus. Secara umum umat Islam
diperintahkan untuk percaya kepada kitab-kitab suci yang telah
diturunkan Allah melalui utusan-utusan-Nya, entah diketahui namanya
atau tidak. Secara khusus, umat Islam wajib mempercayai kitab-kitab
suci yang namanya disebutkan dalam Al-Qur’an, yaitu Taurat yang
diturunkan kepada nabi Musa, Zabur yang diturunkan kepada Daud,
tulisan-tulisan yang diturunkan kepada nabi Ibrahim (Abraham), Injil
yang diturunkan kepada nabi Isa, dan Al-Qur’an yang diturunkan
kepada nabi Muhammad.45
 Umat Islam wajib mempercayai semua utusan Allah, entah diketahui
atau tidak diketahui namanya. Semua utusan Allah adalah mata-rantai
yang saling berhubungan. Satu sama lain saling melengkapi pesan
yang diberikan Allah melalui mereka, hingga hadirnya utusan terakhir,
yaitu Nabi Muhammad.46
 Iman kepada Hari Akhir meliputi:
(a) Percaya bahwa dunia dengan segala isinya ini akan berakhir.
(b) Allah yang Mahakuasa akan membangkitkan semua ciptaan.
(c) Setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Mereka yang melakukan amal baik akan menerima ganjaran dan
yang tidak beramal baik akan menerima hukuman.
(d) Perbuatan manusia telah dicatat dan akan diperhitungkankan
di hari akhir.
(e) Umat Muslim pada akhirnya akan diizinkan memasuki Jannah
(taman surgawi) dan orang-orang yang tidak beriman akan
dimasukkan ke dalam api neraka.47
 Iman kepada al-Qadar adalah iman kepada kesempurnaan kehendak
Allah, yang meliputi kepercayaan bawa:
(a) Allah telah mengetahui segala hal sebelum Ia menjadikannya
kenyataan.
(b) Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi, Ia cukup berfirman
“jadilah”, maka sesuatu itu jadi. Jika Allah menghendaki sesuatu
terjadi, maka sesuatu itu terjadi, dan bila Ia tidak menghendaki
sesuatu terjadi, maka sesuatu itu tidak terjadi.
(c) Semua yang ada diciptakan oleh Allah, dan tidak ada sesuatu pun
yang diciptakan tanpa maksud. Allah itu Mahamengetahui dan
Mahabijaksana.
(d) Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak Allah dan
seizin Allah.48

3.6. Pandangan iman Kristiani

Agama adalah segala bentuk hubungan manusia dengan Yang Suci.


Terhadap Yang Suci ini manusia merasa kurang pantas, sama sekali
tergantung, takut atau takwa karena sifatnya yang dahsyat (tremendum).
45 Lihat Bloom & Blair, Islam, hlm. 39-40
46 Sweetman, Islam and Christian Theology, Part I, Vol. II, hlm. 123-124.
47 Sweetman, Islam and Christian Theology, Part I, Vol. II, hlm. 214.
48 Sweetman, Islam and Christian Theology, Part I, Vol. II, hlm. 157-163.

42
Tetapi manusia sekaligus merasa pula tertarik kepada-Nya karena sifat-
sifat-Nya yang mempesona (fascinosum). Kedua aspek ini diungkapkan
dalam bahasa Jawa ‘wedi asih’. Dalam rasa keagamaannya, manusia
insyaf akan Kekuasaan yang melebihi segala-galanya dan sangat penting
untuk keselamatannya.
Dalam hal ini pusat iman Kristiani adalah pribadi Kristus. Agama
sebagai hubungan pribadi manusia dengan Allah terlaksana secara
konkret dalam pribadi Yesus Kristus. Sehingga Kristuslah yang menjadi
pola hidup umat Kristiani.
Titik tolak keyakinan Kristiani adalah pengakuan bahwa Allah telah
terlebih dulu memberi kemungkinan untuk dikenal oleh manusia melalui
pemeliharaan serta berkat-berkat-Nya. Bahkan lebih dari itu, Allah telah
menyatakan diri secara konkret dalam karya penyelamatan-Nya.
Terhadap tindakan-Nya itu manusia memberikan respon atau jawaban.
Terbentuknya umat adalah karena berhimpunnya manusia-manusia yang
memberi tanggapan yang sama terhadap tindakan Allah tersebut. Dengan
kata lain, umat itu terbentuk sebagai reaksi atas aksi kasih Allah.
Jawaban tersebut sekaligus berupa jawaban positif dan aktif. Jawaban
positif ialah penerimaan serta pengakuan dengan total atas kehendak dan
tindakan Allah. Inilah sebenarnya hakikat iman. Karena itu, iman sering
disebut sebagai ‘the unconditional yes’ atau pengyaan tanpa syarat.
Sedangkan jawaban aktif terwujud dalam seluruh kehidupan dengan
segala aktivitasnya, sebagai upaya menyatakan rasa syukur kepada Allah
yang telah mengasihi itu.
Dengan demikian keyakinan Kristiani tidak mempersoalkan lebih dulu
wadah berhimpunnya umat manusia yang disebut agama, melainkan
tanggapan manusia terhadap tindakan Allah itulah yang lebih ditekankan.
Agama Kristen merupakan penamaan yang muncul kemudian untuk
menyebut persekutuan atau perhimpunan umat yang secara bersama-
sama memberi respon positif dan aktif terhadap tindakan Allah yang
dihayati dan dirasakan.
Dengan pemahaman di atas, menjadi jelas bahwa agama sebagai
kehidupan iman akan menyangkut segenap keberadaan (eksistensi)
manusia, bukan sekadar suatu sistem ajaran atau serangkaian pranata
tertentu. Sistem ajaran atau pranata-pranata yang ada hanyalah upaya
merealisasikan rasa syukur dan rasa bakti kepada Allah yang telah lebih
dulu mengasihi. Tentu saja bagi umat Kristiani totalitas kehidupan yang
diarahkan untuk mewujudkan rasa bakti kepada Allah tersebut
berorientasi pada teladan yang diberikan oleh Kristus Yesus, sehingga
Kristus menjadi pusat dan arah perhatian serta pola kehidupan. Hal ini
sesuai dengan makna dasar kata ‘Kristen’, yaitu berwatak dan bersikap
seperti Kristus.
Pemahaman Kristiani tentang Allah berkembang dari pemahaman
Yahudi tentang Allah. Kitab Suci orang Yahudi, yang disebut Perjanjian
Lama oleh umat Kristiani, menyatakan dengan tegas, “Pada mulanya
Allah menciptakan langit dan bumi” (Kejadian1:1). Israel diperintahkan
agar hanya beribadah kepada Allah, “Dengarlah, hai orang Israel; Tuhan
itu Allah kita, Tuhan itu Esa! Kasihanilah Tuhan Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu”

43
(Ulangan 6:4-5). Ayat lain mengatakan, “Jangan ada padamu allah lain di
hadapan-Ku! Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun
yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada
di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau
beribadah kepadanya” (Keluaran 20:4-5). Kepada Musa Tuhan berfirman,
“Aku adalah Aku” (Keluaran 3:14). Nabi Amos memperingatkan, “Carilah
yang baik dan jangan yang jahat, supaya kamu hidup; dengan demikian
TUHAN, Allah semesta alam, akan menyertai kamu. ... Bencilah yang
jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang”
(Amos 5:14-15).

Dari ayat-ayat tersebut ada beberapa hal yang dapat dicatat:

 Pandangan mengenai Allah bersifat monoteistik, bukan politeistik,


yang mempercayai adanya banyak dewa. Catatan: umat Kristen, umat
Yahudi dan umat Islam adalah para penganut monoteisme. Ketiganya
adalah agama-agama Ibrahimi (Abrahamik).
 Allah bersifat pribadi. Ia bukanlah kekuatan kosmik yang jauh.
 Allah diakui sebagai pencipta alam semesta
 Allah ada dari diri-Nya sendiri (self-existent), tidak bergantung pada
sesuatu yang lain.
 Allah itu penuh kasih, dan pada hakikatnya Ia adalah kasih,
 Allah itu adil dan benar.

3.7. Konsep ketuhanan menurut agama Khong Hu Chu

Dalam agama Khong Hu Chu, Tuhan disebut dengan ‘Thian’ yang berarti
‘Satu Yang Mahabesar,’ yaitu ‘Tuhan Yang Mahaesa’. Dalam Kitab
Perubahan I dinyatakan:

“Thian itu adalah yang menjadi Mula Esa, Sumber, Yang Mahatahu,
Yang Meliputi, Yang Beserta, Yang Memberuntungkan, Yang Memberi
Pahala serta Menghukum, Yang Mahakekal, Abadi, Sentosa, dan
Tempat Pulang semuanya. Thian itu Mahabesar, Mahatinggi,
Mahakuasa, Mahakasih, Maharoh dan Mahasempurna.”

Sifat-sifat Tuhan menurut agama Khong Hu Chu adalah:

1) Mahasempurna, Khalik/Pencipta, Yang menjadi mula alam semesta ini


(Gwan).
2) Mahameliputi, menjalin dan menembus di mana pun (Hing).
3) Mahamurah, Yang Menurunkan Rahmat, yang menjadikan orang
memperoleh hasil perbuatannya (Li).
4) Yang Mahakokoh, dan mempunyai hukum abadi (Cing).
5) Dilihat tidak tampak, didengar tidak terdengar, namun tiap wujud tidak
ada yang tanpa Dia.
6) Apa pun kenyataan Thian tak boleh diperkirakan, dan lebih-lebih, tidak
boleh ditetapkan.
7) Mahabesar, sehingga terasakan di kanan-kiri kita.

44
8) Mahatinggi dan Pendukung semuanya, tiada bersuara dan berbau.
Demikianlah kesempurnaannya.
9) Menjadikan setiap wujud masing-masing selalu dibantu sesuai dengan
sifatnya.

Pengakuan iman adanya Tuhan Yang Mahaesa ini merupakan salah satu
dari Delapan Ajaran Iman yang disebut Sing Sien Hong Thian, artinya
Sepenuh Iman percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa, yang isinya adalah
sebagai berikut:

 Mahabesar Tuhan Khalik semesta alam (Khian Gwan). Berlaksa benda


dari-Nya bermula, semuanya dari Tuhan Yang Mahaesa. Awan berlalu,
hujan diturunkan, makhluk dan benda mengalir berubah bentuk. Jalan
Suci Tuhan mengubah dan melebur. Masing-masing lurus menepati
Watak Sejati dan Firman. Dipelihara berpadu keharmonisan besar,
diturunkan berkah keabadian (Thwan dari Yaking I).
 Seorang Kuncu (manusia paripurna) memuliakan Firman Tuhan,
memuliakan orang-orang besar, dan memuliakan sabda para Nabi
(Lung Gi XVI:7).
 Yang gembira di dalam Tuhan dapat melindungi dunia, dan yang takut
akan Tuhan dapat melindungi negerinya. Takut atau hormat dan
memuliakan Tuhan memberi perlindungan sepanjang masa (Bing Cu
IB:2).

(Pertemuan ke X )
(20 April 2016 stooop ) tugas rakum dari pandangan relativisme s/d
agama kongchu su)

4. AGAMA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT PERENNIAL49

4.1. Pengertian filsafat perennial

Kata perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang berarti kekal atau
selama-lamanya atau abadi. Istilah ini digunakan berkenaan dengan
filsafat agama yang membicarakan tiga hal:
(1) Membahas tentang Tuhan, Wujud yang Mutlak, sumber dari segala
wujud. Tuhan Yang Mahabenar hanyalah satu, sehingga semua agama
yang muncul dari Yang Satu itu pada prinsipnya memantulkan
kebenaran yang sama, karena berasal dari sumber yang sama.
(2) Membahas tentang fenomena pluralisme agama secara kritis dan
kontemplatif. Agama yang benar, dalam arti bersumber dari sumber
kebenaran abadi, pada hakikatnya hanya satu, namun karena
berkembang dalam spektrum historis dan sosiologis, maka agama-
agama dalam konteks historis selalu hadir dalam format pluralistik.
Dalam pengertian demikian, setiap agama memiliki kesamaan dengan
yang lain, namun sekaligus memiliki kekhasan yang membedakannya
dengan yang lain.

49 Baca Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 39-62.

45
(3) Filsafat perennial berusaha menelusuri akar-akar kesadaran religius
seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus, serta
pengalaman keberagamaan.

Istilah ‘filsafat perennial’ pertama kali digunakan oleh Augustinus


Steuchus (1497-1548) sebagai judul karyanya De perenni philosophia
(terbit tahun 1540). Namun sesungguhnya, dilihat dari maknanya, agama
Hindu telah lebih dulu membicarakan masalah-masalah di atas dalam
Sanatana Dharma. Jadi filsafat perennial sebenarnya telah dianut secara
tradisional oleh para filsuf sejak kuno.
Inti pandangan filsafat perennial adalah bahwa dalam setiap agama
atau tradisi-tradisi esoterik terdapat suatu pengetahuan atau pesan
keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama dan
dibungkus dalam berbagai bentuk dan simbol. Menurut agama Hindu, hal
ini disebut Sanatana Dharma, yaitu kebajikan abadi yang harus menjadi
dasar kontekstualisasi agama dalam situasi apa pun, sehingga agama
selalu memanifestasikan diri dalam bentuk etis dan dalam keluhuran
hidup manusia. Taoisme menyebutnya Tao, yaitu asas kehidupan yang
harus diikuti manusia agar sungguh-sungguh menjadi manusia. Dalam
Islam kita mengenal al-dīn, yang berarti ‘ikatan’ yang harus menjadi
dasar beragama bagi seorang Muslim. Dalam agama Yahudi dan Kristen
kita mengenal ‘hikmat Allah’, yaitu pengertian akan kebenaran tertinggi
yang menuntun manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya. Hal
yang perlu diingat, bagaimana pun, bungkus-bungkus tersebut bukanlah
tujuan, melainkan jalan agar manusia dapat terbebas dari belenggu-
belenggu dunia material yang cenderung menyengsarakan, dan kembali
kepada kehidupan alami manusia.
Karena memandang segala sesuatu yang ada sebagai derivasi
dari Yang Absolut, maka filsafat perennial menegaskan bahwa
dalam segala sesuatu terdapat hakikat. Akibatnya, dalam memahami
kenyataan yang ada, filsafat ini mencakup pendekatan epistemologis,
ontologis dan psikologis. Secara epistemol ogis, filsafat ini
membahas makna, substansi dan sumber kebenaran agama, serta
bagaimana kebenaran itu berproses mengalir dari Tuhan Yang
Absolut ke dalam kesadaran akal budi manusia, yang kemudian
mengambil bentuk dalam tradisi keagamaan yang menyejarah. Dari
sisi ontologis, filsafat ini berusaha menjelaskan adanya Sumber dari
segala yang ada, bahwa segala wujud yang ada sesungguhnya
bersifat relatif, hanya merupakan ‘jejak’ kreasi dari Sang Absolut,
yang esensinya di luar jangkauan nalar budi manusia. Manusia hanya
sanggup menangkap bayang-bayang-Nya, namun tidak mampu
mendefinisikan atau membatasi keberadaan-Nya. Secara psikologis,
filsafat ini berusaha mengungkapkan apa yang disebut ‘wahyu batiniah’,
‘kebenaran abadi’ atau hikmat yang kekal,’ yang terukir dalam hati
manusia yang paling dalam, yang selalu merindukan Tuhan, sehingga
terdorong untuk berpikir dan berperilaku secara benar. Jadi, secara
psikologis filsafat perennial berpegang pada pandangan bahwa dalam diri
46
setiap orang terdapat benih iman. Secara intrinsik dan alamiah Tuhan
telah menanamkan benih iman itu dalam diri manusia.

4.2 Partikularitas dan universalitas agama

Sekalipun menganut pandangan bahwa secara alamiah Tuhan telah


menanamkan benih iman dalam diri manusia, tidak berarti bahwa filsafat
perennial tidak menghormati partikularitas keagamaan dan berpandangan
bahwa semua agama sama saja. Filsafat ini berpegang pada pendapat
bahwa Kebenaran Mutlak itu hanya satu, dan Yang Satu ini memancarkan
cahaya dalam berbagai ‘kebenaran’. Hakikat cahaya hanya satu, namun
spektrumnya ditangkap oleh mata manusia dalam kesan beraneka warna.
Meskipun hakikat Agama Yang Benar itu hanya satu, namun karena
agama muncul dalam ruang dan waktu secara tidak simultan, maka
pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa agama dalam realitas
sejarah tak dapat dielakkan. Dengan kata lain, pesan kebenaran dari
Yang Mutlak itu berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah.
Karena itu, setiap bentuk dan bahasa keagamaan pasti mengandung nilai-
nilai budaya suatu komunitas, dan pada gilirannya nilai dan bahasa
agama yang terwadahi dalam lembaga budaya tertentu tersebut akan
melahirkan pengelompokan ideologis.
Proses pelembagaan perilaku kegamaan diperlukan untuk melestarikan
ajaran agama dan membentuk perilaku penganutnya. Namun, manakala
tradisi keagamaan mengalami pengentalan, spiritualitas keagamaan yang
paling dasar dapat saja menjadi pudar, terkubur oleh simbol-simbol yang
diciptakan dan dibakukan oleh para penganut agama itu sendiri. Jika hal
tersebut terjadi, orang akan kehilangan roh keagamaannya yang sejati
dan lebih mengagamakan agama yang diciptakannya. Jika sudah terjebak
dalam pembakuan simbol-simbol keagamaan, orang cenderung
membatasi diri pada pendalaman agama yang dianutnya dan tidak lagi
terbuka untuk melakukan komparasi kritis dan apresiatif terhadap agama
orang lain. Akibatnya, jurang perbedaan antaragama makin diperdalam
dan tidak ada minat untuk mencari titik temu di antara agama-agama
yang ada. Sayang sekali bahwa kecenderungan seperti ini masih banyak
diminati.
Dari sudut pandang perennial, seharusnya studi agama lebih menelaah
hal-hal fundamental, yaitu realitas metafisis yang menjadi dasar semua
agama, yang kebenarannya bersifat abadi dan terlepas dari segala
predikat, ketimbang terjebak pada simbol-simbol keagamaannya. Esensi
di balik simbol-simbol keagamaan jauh lebih penting daripada simbol-
simbol itu sendiri. Pengetahuan akan Realitas Tertinggi merupakan
pengetahuan ilahiah yang sesungguhnya. Ia bukan sekadar konstruksi
mental yang akan berubah seturut perubahan budaya dan zamannya,
melainkan pengetahuan yang mencerahkan, yang menembus batas-batas
institusi keagamaan tanpa mereduksi arti penting serta komitmen
terhadap agama yang dianut oleh masing-masing individu.

4.3. Memperluas cakrawala kebenaran

47
Eksklusivisme teologis dalam menyikapi perbedaan dan pluralitas agama
tidak hanya merugikan agama lain, tetapi juga merugikan diri sendiri
sebab mempersempit pintu masuk bagi kebenaran-kebenaran baru yang
memperkaya kehidupan. Arogansi teologis yang memandang agama lain
sebagai sesat justru menjauhkan kita dari substansi sikap keberagamaan
yang benar, yang dengan penuh kasih dan santun mengajak orang lain ke
jalan kebenaran. Arogansi teologis tidak hanya terjadi dalam kehidupan
antaragama, tetapi juga dapat terjadi secara internal dalam kehidupan
suatu agama. Akibatnya, perbedaan-perbedaan aliran, mazhab, atau
denominasi dalam suatu agama pun sering menimbulkan bentrokan,
bahkan kadang-kadang disertai kekejaman. Ironis memang! Terlebih lagi
jika bentrokan tersebut ditunggangi oleh kepentingan politis, maka yang
terjadi adalah kekerasan yang berkepanjangan atas nama agama. Jika
simbiosis antara agama dengan politik begitu kental, maka orang dapat
melakukan kekejaman terhadap kemanusiaan atas nama Kebenaran Suci.
Bentuk-bentuk lahiriah atau simbol-simbol keagamaan agama apa pun
harus dilihat sebagai keistimewaan partikular yang selayaknya dihormati,
dan karenanya, pluralitas agama harus diterima sebagai realitas. Sejauh
bentuk-bentuk keagamaan itu masih berpegang pada tuntunan Yang
Absolut, maka ia akan tetap memiliki kekuatan untuk hidup dan diyakini
oleh para penganutnya. Meskipun membedakan antara bentuk lahiriah
dengan esensi, pandangan perenial tidak memisahkan keduanya secara
dualistik. Bentuk-bentuk lahiriah Agama tersebut merupakan eksoterisme
Agama yang termanifestasikan dalam ‘agama-agama.’ Namun demikian,
eksoterisme agama-agama ini haruslah dipandang hanya sebagai bingkai
dan jalan menuju Kebenaran Hakiki.
Jika masing-masing agama terbuka untuk melihat pancaran kebenaran
Yang Absolut dalam agama lain, sesungguhnya mereka telah memperluas
cakrawala pandang bagi Kebenaran Tertinggi itu sendiri. Bukan itu saja,
tetapi wawasan kebenaran untuk menuju Kebenaran Hakiki tersebut juga
makin diperkaya. Terbuka untuk menerima kebenaran agama lain tidak
berarti tidak meyakini kebenaran agamanya sendiri. Sebaliknya,
keyakinan terhadap kebenaran agama sendiri justru makin diperkukuh
dan diperkaya oleh kebenaran agama lain. Atau dengan kata lain,
meyakini kebenaran dalam agamanya sendiri berarti pula mengakui hak
orang lain untuk meyakini kebenaran dalam agamanya. Jika kebenaran
itu memang bersumber dari Yang Absolut, yang mencerminkan nilai-nilai
esensial Kebenaran Hakiki, maka kita tidak mungkin menutup diri
terhadapnya dan dengan prasangka buruk menilai agama lain sesat.
Sikap eksklusif dan arogan secara teologis justru akan memenjarakan
para penganut agama dalam kekerdilan wawasan, yang pada gilirannya
akan meminggirkan (memarjinalkan) diri sendiri dari peziarahan bersama
umat manusia dalam mencari dan mendekatkan diri kepada Kebenaran
Hakiki. Dengan keterbukaan melihat dan menerima pancaran Kebenaran
Hakiki yang kita temukan dalam agama lain, kita akan makin sadar
bahwa semua umat manusia, semua agama, sedang berada dalam
perjalanan bersama untuk menggapai Sang Kebenaran Hakiki yang
menghendaki kesempurnaan hidup umat manusia.

48
4.4. Satu Tuhan, banyak nama

Pengembangan epistemologi (epistemologi adalah cabang ilmu filsafat


yang mempelajari pemikiran tentang hakikat kebenaran berdasar
pengetahuan) filsafat perennial didasarkan pada kepercayaan,
pengetahuan dan kecintaan terhadap Tuhan. Bertolak dari komitmen
imani, pemikiran ini berusaha menjawab sapaan kasih Tuhan melalui
tahapan praksis untuk melayani sesama manusia. Pertanyaan yang
timbul: mampukah manusia mengenal Tuhan dengan benar? Mampukah
manusia menyembah Tuhan terbebas dari ‘konsep tentang Tuhan’ yang
dibangun dalam benaknya sendiri? Apakah banyaknya nama Tuhan
menunjukkan bahwa secara ontologis memang ada banyak Tuhan?
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Armstrong
berpendapat bahwa pemikiran monoteisme justru muncul lebih dulu
daripada politeisme. Agama-agama semitis yang mengajarkan
monoteisme bukanlah agama baru, melainkan mempertegas dan
memperjelas paham yang pernah tumbuh, tetapi karena berbagai faktor
menjadi samar-samar. Dalam sejarah manusia menyebut Tuhan Yang Esa
dan Mutlak itu dengan berbagai nama dan istilah, namun secara
substansial semuanya menunjuk kepada Zat yang sama. Tuhan Yang
Mutlak itulah yang dijadikan objek penyembahan karena fungsi dan
posisi-Nya yang diyakini umat manusia sebagai Pencipta dan Penguasa
alam semesta. Karena Tuhan Mahamutlak, maka terdapat rentang ‘jarak’
yang amat jauh dari manusia, namun sekaligus ‘dekat’ dengan manusia.
Sikap manusia terhadap Tuhan bersifat pradoksal. Pada satu sisi, Tuhan
diyakini sebagai yang amat jauh, tidak terjangkau (transenden), namun
pada sisi lain, Ia berada bersama, bahkan di dalam diri manusia.
Kehadiran Sang Mutlak tersebut ditangkap oleh manusia melalui simbol-
simbol yang disakralkan sehingga muncul bentuk-bentuk tuhan yang
plural. Tuhan yang tidak terjangkau itu juga selalu menjadi teka-teki bagi
para pemikir di sepanjang zaman, sehingga mendorong mereka untuk
melakukan spekulasi intelektual untuk menyusun argumentasi tentang
Tuhan. Baru dengan datangnya nabi-nabi seperti Musa, Yesus dan
Muhammad, sosok Tuhan menjadi lebih jelas, menjadi lebih personal
ketimbang Tuhan yang diperkenalkan oleh para pemikir sebelumnya.50
Tuhan Yang Satu itu dikenal dengan banyak nama. Apakah nama
identik dengan yang diberi nama? Apakah nama sekadar penunjuk bagi
yang diberi nama? Sejauh mana Tuhan yang Mutlak itu dapat dipahami
oleh manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini menyadarkan kita bahwa
sejauh-jauh bahasa manusia berusaha menjelaskan tentang Tuhan,
sebenarnya tetap terdapat ‘jarak’ antara kemampuan kognitif manusia
untuk membayangkan Tuhan dengan hakikat Tuhan yang ‘tak terjangkau’
oleh pemikiran manusia. Pada hakikatnya, setiap agama mengandung
unsur ‘percaya’ atau ‘iman’. Secara implisit berarti dalam sikap iman
terkandung pengakuan bahwa objek yang diimani berada di luar
jangkauan kognitif manusia. Sekalipun demikian, agama tidak menolak

50 Karen Armstrong, A History of God, The 4000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (New York: Alfred A.
Knopf, 1993), hlm. 3.

49
kemampuan penalaran manusia, bahkan agama tidak akan berkembang
tanpa penalaran kritis manusia.
Pergumulan tentang nama Tuhan merupakan salah satu persoalan
yang dibicarakan dalam semiotika (suatu ilmu yang mempelajari tentang
tanda). Kata semeion dalam bahasa Yunani berarti ‘tanda.’ Dunia manusia
adalah dunia ‘tanda’. Kita berkomunikasi dengan tanda-tanda. Tanda lisan
yang disebut bahasa adalah tanda yang paling rumit dan kompleks yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi. Charles Sanders Pierce
membedakan tanda dalam tiga kategori: ikon, indeks, dan simbol. Ikon
adalah tanda yang memiliki kemiripan dengan yang ditandakan, misalnya
patung dan lukisan. Indeks adalah tanda yang memiliki kedekatan
eksistensi dengan sesuatu yang diacunya, misalnya rambu-rambu lalu
lintas. Simbol adalah tanda abstrak yang disepakati melalui proses yang
amat panjang dan merujuk pada objek tertentu, misalnya: bendera dan
bahasa.
Orang menyebut Tuhan dengan berbagai nama, Tuhan, Allah, God,
dan lain-lainnya. Semua sebutan itu tetap bersifat simbolik. Kita harus
membedakan antara ‘nama’ dengan ‘yang diberi nama’, antara ‘predikat’
dengan ‘substansi.’ Paul Tillich mengatakan bahwa “God is symbol of
God.” Dalam Al-Qur’an Tuhan dikenal sebagai ‘Allah,’ yang mengacu
kepada kemutlakan-Nya. Allah adalah keberadaan yang Mahagaib dan
Mahaakbar, yang tak dapat dideskripsikan oleh penalaran manusia. Kata
‘Allah’ memang sudah dikenal jauh sebelum lahirnya Islam. Namun
pengertian ‘Allah’ pra-Islam berbeda dengan pengertian Islam. Allah pra-
Islam adalah salah satu dewa tertinggi yang mengairi bumi dan memberi
kesuburan bagi pertanian dan peternakan. Sedangkan Allah dalam Islam
adalah Tuhan Yang Mahaesa, tempat berlindung segala yang ada.
Kalaupun Yang Mahakuasa itu ‘diberi’ nama, maka kita harus
menyadari bahwa bagaimanapun nama itu adalah bahasa antrophomorf,
yang tidak memadai untuk membatasi keberadaan-Nya. Nama bagi Yang
Mahakuasa berbeda dengan nama yang dilekatkan kepada manusia atau
makhluk lainnya. Sebab bagi manusia atau makhluk lainnya, nama
sekaligus akan menjadi definisi yang membatasi pemiliknya.
Agama Buddha paling konsisten untuk tidak memberi predikat pada
Tuhan secara positif. Sekalipun tidak menyebut Tuhan secara eksplisit,
tidak berarti bahwa agama Buddha tidak mengakui adanya Tuhan, namun
justru menunjukkan kemutlakan Tuhan sebagai yang tidak dapat
dideskripsikan dan dibatasi oleh nama. Penamaan manusia atas Yang
Mahakuasa itu tidak terlepas dari pengalaman spiritual akan keterlibatan
Yang Mahamutlak dalam sejarah manusia. Hal ini memungkinkan Yang
Satu itu disebut dengan nama yang berbeda-beda. (Jumat, 29 Mei , 18.00
– 20.00 ; STISIP Widuri ; ttg Filsafat Perennial ).

Pertemuan Ke XI )

50
5. INTERAKSI AGAMA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA

5.1. Hubungan Agama dan kebudayaan

Kebudayaan dan agama merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Kebudayaan sebagai suatu sistem peradaban masyarakat dibangun
secara sadar demi kesejahteraan kehidupan masyarakat itu. Sedangkan
agama merupakan bangunan nilai spiritual yang mengandung dimensi
dan makna supranatural, yang dituangkan dalam etika dan moral
kehidupan serta tindakan ritual. Agama ada dan berkembang dalam
sebuah kebudayaan manusia, sehingga harus selalu tampil dalam wajah
yang relevan dalam kehidupan masyarakat. Perjumpaan antara
kebudayaan dan agama -dalam sejarahnya- menampakkan wajah yang
unik. Perjumpaan itu dapat menghasilkan akulturasi agama, asimilasi
atau sinkretisme. Namun dari realita perjumpaan agama-agama dengan
kebudayaan terjadi kecenderungan bahwa agama secara kontekstual
mempengaruhi (merasuki) kebudayaan. Kecenderungan tersebut
dilakukan untuk kebutuhan penyebaran agama. Dengan demikian yang
terjadi adalah penaklukan agama terhadap kebudayaan, yang juga berarti
penaklukan terhadap masyarakat.
Dalam sejarah pembentukan bangsa Indonesia, perjumpaan
kebudayaan dengan agama menunjukkan berbagai kecenderungan.
Pelacakan kita bermula dari suatu realitas bahwa agama-agama di
Indonesia yang ada sekarang ini (Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan
Buddha) tidak lahir dalam diri budaya Indonesia, tetapi benar-benar
datang dari luar, dan disadari atau tidak, dibalut oleh budaya asal yang
melekat padanya. Harus diakui pula bahwa sebelum agama-agama
tersebut ikut mempengaruhi pembentukan budaya masyarakat, telah ada
suatu sistem kepercayaan asli yang dipelihara masyarakat. Kepercayaan
tersebut ditampakkan dalam ritual dan seremonial budaya setempat.
Dalam perjumpaan antara agama Buddha dan Hindu yang telah cukup
lama datang dan mempengaruhi kebudayaan masyarakat Indonesia, kita
melihat terjadinya proses kultural yang bersifat transformatif. Sikap
toleran masyarakat dan agama itu sendiri dapat saling menyerap,
sehingga yang terjadi adalah inkulturasi agama tetapi sekaligus juga
religiusiasi (dan spiritualisasi) kebudayaan. Sikap tersebut begitu kuat
karena sifat agama yang mistis dan individualistik. Wajah konkret dari
kebudayaan masyarakat seperti itu adalah lahirnya agama ‘Siwa Budha’,
suatu bentuk sinkretisme dari realitas agama. Dalam kehidupan
masyarakat, kebudayaan itu diwujudkan dalam semboyan “bhineka
tunggal ika, tan hana dharma mangrwa” yang dirumuskan oleh Mpu
Tantular dalam Kitab Sotasoma. Semboyan itu berarti: “(biarpun)
berbeda-beda, tetapi tetap satu, (karena) tidak ada kebenaran yang
mendua”. Di situ tidak ada klaim kebenaran atas suatu agama dan yang
terjadi adalah pengakuan bahwa kebenaran itu hanya satu dan itu harus
diakui oleh agama-agama. Hal ini telah dimeteraikan dalam lambang
Garuda Pancasila dan semboyan yang dilestarikan sebagai sesanti
lambang Lemhanas.

51
Hubungan antaragama dan hubungan antara agama dengan
kebudayaan yang bersifat paradoks terjadi ketika agama tampil dalam
wajahnya yang dogmatis dan misionarisitis. Pada saat seperti itu terjadi
klaim kebenaran pada agama, sehingga tidak ada toleransi terhadap
kepercayaan lain. Penaklukan atas suatu masyarakat sekaligus berarti
penaklukan terhadap kebudayaannya. Di berbagai wilayah di Indonesia,
kedatangan suatu agama berbenturan secara keras dengan kebudayaan
setempat. Dalam sejarah Indonesia, terjadinya penaklukan agama
terhadap kebudayaan (dan agama) masyarakat menyebabkan
tersingkirnya kelompok-kelompok masyarakat dari pusat kebudayaan
yang dikuasai oleh agama tersebut. Dalam sejarah penaklukan Demak
atas Majapahit, misalnya, yang terjadi bukan saja penaklukan politis,
melainkan juga penaklukan agama. Perubahan mencolok secara
sosiologis dapat dilihat jelas dalam perbedaan kultur masyarakat pesisir
dengan pedalaman. Dalam kultur pesisir, agama tersebut menampakkan
egalitarianisme di kalangan masyarakat; sedangkan dalam masyarakat
pedalaman, kultur feodal lebih berjalan lestari. Ketika agama menjadi
agama resmi suatu kerajaan, maka ia pun merupakan simbol dari
kebudayaan masyarakat itu (cuieus regio, eius religio, siapa pemilik
wilayah, agamanyalah yang berlaku di sana). Dalam masyarakat
pedalaman, kebudayaan yang berkembang adalah kebudayaan kerajaan.
Kebudayaan yang sudah ratusan tahun menyerap berbagai budaya luar
(Hinduisme/ Buddhisme) ini tidak saja semakin kuat, tetapi juga toleran.
Dalam sejarah pembentukan negara Indonesia, berbagai konsensus
telah dilakukan oleh para pendiri negara. Sejak gagasan dan cita-cita
untuk mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat, para pemimpin
bangsa telah meletakkan dasar-dasar negara modern. Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 mengungkapkan cita-cita tersebut, yaitu terbentuknya
sebuah negara bangsa (nation state), bukan negara kerajaan atau
kesultanan, melainkan republik; bukan negara feodalistik, melainkan
kerakyatan; bukan negara federal, melainkan kesatuan. Di dalam cita-cita
itu terkandung pemahaman bahwa semua warga negara memiliki
kedudukan yang sama, tidak ada seorang atau sekelompok masyarakat
pun memiliki kedudukan istimewa (privilese), baik karena kedudukan
atau karena jatidiri yang melekat pada dirinya. Di dalam negara yang
dicita-citakan itu, semua kelompok, agama, suku dan golongan diakui
keberadaannya tanpa perbedaan.
Cita-cita negara modern tersebut direalisasi dalam sebuah dasar
negara: Pancasila dan dirumuskan secara konkret dalam hukum dasar
negara (UUD 1945). Kendati dalam perumusan terjadi ketegangan antara
kelompok-kelompok religius dan kultural, namun jalan keluar dari
ketegangan itu menjadi dasar yang sangat kokoh dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Itulah konsensus nasional terbesar dalam
sejarah Indonesia, bahwa bangsa Indonesia disepakati sebagai negara
modern yang didasarkan pada kesamaan hak, dan kedaulatan ada di
tangan rakyat.

5.2. Perjumpaan agama dengan identitas kultur lokal

52
Doktrin suatu agama, ideologi, mitos-mitos kebudayaan atau pun tradisi
yang diwariskan turun-temurun dalam suatu masyarakat, suatu ketika
akan mengental menjadi sebuah kenormalan yang diterima demikian
adanya oleh setiap individu yang berada di dalamnya. Namun manakala
terjadi perjumpaan dengan pengalaman aktual yang memuat simbol-
simbol dengan makna berbeda, tentu akan timbul reaksi dan interaksi.
Ada berbagai alternatif bentuk interaksi yang terjadi. Mungkin keduanya
tetap saling asing, namun mungkin pula saling mempengaruhi dalam
penggunaan simbol-simbolnya; dapat terjadi saling meminjam
terminologi tanpa disertai kedalaman maknawinya, atau mungkin pula
terjadi pemaknaan baru terhadap realitas yang dialami. Tetapi alternatif
mana pun yang terjadi, semua tidak mungkin terlepas dari keterkaitan
dengan kesejarahan masing-masing.
Perjumpaan antara agama dengan kebudayaan berikut implikasinya
dalam totalitas kehidupan merupakan masalah aktual yang tak ada habis-
habisnya dipergumulkan oleh setiap umat beragama. Karenanya, refleksi
teologi kontekstual merupakan tuntutan serius yang tidak dapat
diabaikan. Namun sayang sekali, biasanya masuknya agama ke dalam
suatu jalinan kultural sekaligus disertai dengan peniadaan kultur lokal;
atau paling tidak, tidak secara serius menaruh perhatian terhadapnya.
Kesalahan sejarah tersebut cukup memberikan kontribusi bagi terjadinya
krisis refleksi teologik untuk memaknai interaksi antara iman dengan
kebudayaan serta perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.
Bahkan tidak jarang, segala hal yang berbau kebudayaan lokal dipandang
kotor dan berdosa. Namun pada pihak lain, interaksi sosiologis-kultural
antara nilai-nilai agama dengan alam berpikir lokal merupakan kenyataan
faktual yang tidak terhindarkan. Di sinilah sering terdapat ambivalensi
sikap yang membingungkan, bahkan menempatkan umat beragama pada
konsepsi-konsepsi iman yang mengambang.
Sebagai contoh, kita ambil interaksi antara agama-agama pendatang
dengan kebudayaan Jawa. Salah satu bentuk manifestasi agamawi yang
paling menonjol dalam kehidupan masyarakat Jawa adalah
dipraktikkannya berbagai macam upacara slametan (selamatan). Bahkan
menurut Clifford Geertz, slametan merupakan pusat dari seluruh sistem
keagamaan orang Jawa.51 Slametan ini dilakukan untuk memenuhi semua
hajat, sehubungan dengan kejadian yang ingin diperingati, ditebus dan
dikuduskan; misalnya: kelahiran, perkawinan, pindah rumah, mimpi
buruk, panen, ganti nama, membangun rumah, sakit, khitanan,
memangku jabatan, dsb. Intensitas setiap unsurnya berbeda-beda untuk
setiap kepentingan, namun struktur upacara yang mendasarinya tetap
sama. Di dalamnya tentu tersedia sesaji (sajen), dupa, pembacaan doa
Islam (akibat pengaruh agama Islam pada struktur kepercayaan asli),
serta sambutan dari tuan rumah (penyampaian ujub) dengan
menggunakan bahasa Jawa tinggi yang sangat resmi, tatakrama sopan,
ringkas dan tidak dramatik.52 Untuk kepentingan-kepentingan yang
terencana, slametan dilaksanakan pada hari baik sesuai dengan petunjuk
seseorang yang dianggap memiliki kawaskithan (kebijaksanaan dan

51 Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981), hlm. 13.
52 Ibid, hlm. 14.

53
ketajaman intuisi). Sedangkan untuk peristiwa-peristiwa mendadak,
seperti kelahiran dan kematian, slametan tersebut dilaksanakan sesuai
dengan hari kejadiannya. Ternyata bahwa upacara ini sekaligus berfungsi
sebagai pesta komunal yang memelihara individu agar tidak terpisahkan
dari komunitas masyarakatnya. Namun tujuan pokok dari upacara ini
adalah untuk menghindarkan diri dari segala macam bencana.
Praktik-praktik agamawi seperti kendhurèn (kenduri), labuhan
(persembahan untuk penguasa laut), ruwatan (penghapusan kutuk),
jamasan (pemandian benda-benda pusaka yang dianggap keramat),
nglakoni (berpantang atau tindakan-tindakan asketis) dan upacara-
upacara tradisional lainnya yang amat beragam dan cukup banyak
jumlahnya,53 tidak dapat dilepaskan dari slametan sebagai pusatnya.
Bertolak dari kenyataan itu dapat dikatakan bahwa semua bentuk
upacara ritual yang masih berlangsung di dalam kehidupan masyarakat
Jawa mempunyai pemaknaan dalam hubungannya dengan keselamatan,
yang meliputi: kesejahteraan, kelestarian dan kebahagiaan hidup
manusia. Praktik-praktik semacam itu tidak hanya dilaksanakan oleh para
penganut kepercayaan asli, melainkan juga oleh mereka yang telah
memeluk agama-agama pendatang. Kenyataan ini tampak terutama di
daerah-daerah pedesaan. Sekalipun secara formal mereka telah memeluk
salah satu agama yang disahkan pemerintah (yang sebenarnya
pemerintah tidak mempunyai hak untuk menganggap sah atau tidak
suatu agama), namun esensi kepercayaannya belum banyak kena
pengaruh agama-agama atau kebudayaan asing itu.
Kenyataan-kenyataan umum di atas menimbulkan berbagai persoalan
bagi keyakinan monoteistis (pemeluk agama-agama pendatang yang
monoteistis), antara lain:
1. Bagaimanakah sikap pemeluk monoteisme terhadap adat? Misalnya:
bolehkah pemeluk monoteisme menjalankan adat? Masalah semacam
ini sulit untuk dipecahkan, karena pada satu pihak, setiap manusia
hidup di tengah dan merupakan bagian dari masyarakatnya, sehingga
tidak mudah untuk meninggalkan begitu saja apa yang terjadi dalam
masyarakat. Pada pihak lain, ajaran monoteisme yang dianut
memberikan garis-garis iman tertentu. Sejalankah praktik-praktik
agamawi masyarakat dengan imannya?
2. Banyak pula penganut monoteisme masih setia melakukan upacara-
upacara adat. Hal itu menunjukkan keterikatannya pada kepercayaan
lama; paling tidak, memelihara tradisi leluhur. Dapat saja terjadi, iman
monoteis yang dianut hanya menjadi ‘pakaian luar’, sedangkan di
dalamnya tetap mengalir kepercayaan suku. Memang kadang-kadang
bentuknya telah dimodifikasi. Namun masih menjadi pertanyaan,
sampai di manakah esensi iman dari agama monoteisme yang dianut
dapat dihayati?
3. Sering terjadi bahwa cara hidup dan tata-nilai yang dianut oleh
pemeluk monoteisme tidak memiliki perbedaan signifikan dengan cara

53 Khusus untuk DIY saja, di samping slametan sehubungan dengan hajat tertentu, terdapat sekitar 17 macam upacara
tradisional. (Lihat, Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Alam dan Kepercayaan Daerah Istimewa
Yogyakarta, hasil penelitian Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud, Yogyakarta 1983/1984).

54
hidup serta tata-nilai masyarakat tradisional asalnya. Bolehkah
dikatakan bahwa yang bersangkutan tidak beragama secara benar?

Terhadap persoalan-persoalan di atas kita tidak dapat memberikan vonis


secara gegabah. Pada satu pihak, penilaian terhadap hasil interaksi
antara kepercayaan monoteisme dengan kebudayaan memerlukan
kecermatan analisis serta keterbukaan sikap. Kekakuan doktriner akan
menjadi kendala dalam memahami permasalahan secara objektif.
Sebaliknya, dengan keterbukaan sikap, kita akan menemukan nilai-nilai
kebenaran yang bersifat universal dan terfokus pada penghargaan atas
kemanusiaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Pada pihak lain,
keterbukaan tersebut tidak berarti sinkretisme. Setiap agama memiliki
nilai keimanan yang bersifat fundamental. Nilai-nilai tersebut memiliki
kemutlakan bagi pemeluknya. Dalam hal ini perlu pembedaan tajam
antara nilai-nilai esensial dengan wahana untuk merealisasikannya.
Kebudayaan semestinya ditempatkan sebagai wahana perealisasian nilai-
nilai esensial tadi, sehingga inti keagamaan tidak akan terasing dari
konteks masyarakatnya.

5.3. Agama dan negara

Dalam sejarah dunia, rivalitas dan kolusi antara agama dengan negara
merupakan sebuah realita panjang. Keduanya destruktif, ingin
meniadakan dan memperalat yang lain.
Ketika agama ditaklukkan di bawah kekuasaan politik dan dijadikan
sebagai agama negara, maka absolutisme negara (totaliter) menjadi
semakin konkret. Hal itu tampak dalam wajah “agama negara”. Tetapi
ketika agama menjadi unggul dan negara atau kekuasaan politik
ditaklukkan di bawah agama, maka ia muncul dalam wajah teokrasi
(menimbulkan negara-negara agama). Sedangkan pemisahan antara
agama dan negara telah memunculkan negara sekuler, karena masing-
masing berjalan menurut jalannya sendiri.
Bagaimana di Indonesia? Ketika negara ini diproklamasikan dengan
Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai landasan
konstitusionalnya, kesepakatan yang dilahirkan adalah bahwa negara
Indonesia adalah negara kebangsaan dengan dasar Pancasila. Di
dalamnya lembaga keagamaan bukanlah lembaga politik, melainkan
lembaga spiritual dan merupakan kekuatan moral. Negara menjamin
penduduknya untuk beribadat menurut agama dan keyakinannya. Namun
dalam perkembangannya, negara terjebak ikut mengurusi masalah-
masalah kehidupan keagamaan. Keterlibatan negara dalam urusan agama
menjadi semakin dalam dan intens ketika negara mulai menentukan
kesahihan suatu agama (mana agama-agama yang diakui dan mana
agama-agama yang tidak diakui). Dalam hal ini arogansi kekuasaan
terhadap agama menjadi konkret. Negara telah memasuki wilayah yang
seharusnya memiliki otonomi. Hal itu terjadi bukan semata-mata oleh
keinginan penguasa negara, melainkan juga oleh keinginan para
pemimpin agama-agama yang ada yang secara sengaja memberikan
kedaulatannya kepada negara.

55
Lebih lanjut, perkembangan menjadi semakin rumit ketika agama
dengan sadar, dengan bantuan negara memasuki wilayah yang sangat
pribadi, misalnya lembaga perkawinan. Pembatasan pengakuan negara
pada agama-agama tertentu telah menyebabkan masyarakat yang
menganut agama-agama tertentu tidak dapat diakui keberadaannya dan
perkawinan yang didasarkan pada kepercayaan tersebut dianggap tidak
sah. Pengakuan yang bersifat legalistik-formalistik tersebut telah
mendorong agama-agama mengingkari universalitas kemanusiaan, di
pihak lain memberi kesempatan pada suatu agama atau agama-agama
tertentu menjadi hegemonis. Dalam hubungan ini, agama-agama diminta
(dipaksa) memberikan legitimasi terhadap kebijakan negara. Tanpa itu
agama-agama akan menghadapi kesulitan untuk kelangsungan hidupnya.
Agama-agama menjadi terpasung, bisu, tidak mampu melontarkan kritik
secara bebas, sekalipun hal itu bersentuhan dengan masalah-masalah
kemanusiaan yang hakiki. Dalam keadaan demikian agama-agama
dijadikan faktor pendukung kekuasaan, dan agar kekuatan moral yang
ada padanya runtuh, agama-agama diadu domba satu sama lain.
Jika agama-agama hanya dijadikan legitimasi kekuasaan, maka
sesungguhnya para penguasa tidak memahami secara benar hakikat
agama itu sendiri. Ketika kekerasan menjadi bagian dari kekuasaan dan
kekuasaan membutuhkan dukungan optimal dari agama-agama, maka
untuk menyatu dengan kekuasaan agama-agama itu pun tampil dengan
wajah kekerasan. Sesungguhnya agama-agama perlu mempertanyakan
hakikat dirinya, wajah agamakah segala bentuk kekerasan itu? Ataukah
agama telah gagal mentransformasikan diri bagi kepentingan
kemanusiaan, sehingga lebih angker jika mampu tampil dalam wajah
kekerasan?

5.4. Budaya dan agama menyongsong era baru

Sejak tahun-tahun terakhir abad XX hingga dekade pertama abad XXI,


umat manusia dilanda oleh berbagai krisis kemanusiaan yang demikian
parah. Perang dan konflik di berbagai aras semakin marak, perpecahan
dan penindasan terjadi di mana-mana, tingkat maupun skala
keberingasan sosial juga semakin tinggi. Di Indonesia, kenyataan itu
sering dinilai ‘masih wajar’, ‘masih terkendali’, ‘hanya perbuatan oknum’
dan ‘merupakan kenyataan rutin yang terjadi dalam kehidupan.’ Sudah
sedemikian tumpulkah nurani keagamaan kita? Tidak mengada-ada jika
dikatakan bahwa dewasa ini dalam kehidupan masyarakat telah terjadi
pengikisan kepekaan terhadap nilai kemanusiaan. Apakah sebabnya?
Seharusnya, kebudayaan dan agama dikembangkan di dunia nyata,
bukan di luar dinamika masyarakat. Jika tidak demikian, ia akan cepat
goyah dan diombang-ambingkan oleh nilai-nilai dominan yang
berkembang dalam masyarakat (misalnya: politik, ekonomi, ideologi,
dsb). Kebudayaan dan agama yang rapuh sulit berperan mengendalikan,
apa lagi mengoreksi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.

56
Sedangkan seharusnya, dalam posisi yang netral dan penghayatan yang
jernih, kebudayaan dan agama mampu mencegah kecenderungan
masyarakat untuk berpikir dan bertindak pragmatis, dengan mengabaikan
nilai-nilai etik dan moral. Karena itu masyarakat dan lembaga-lembaga
agama perlu memiliki grand design mengenai pendidikan kebudayaan dan
agama, yang responsif dan proaktif terhadap dinamika kehidupan.
Dalam 40-an tahun terakhir, yang kita temukan dalam masyarakat kita
bukanlah grand design itu, melainkan perekayasaan agar masyarakat
tidak berdaya, kelu dan takut untuk berpikir dan berperasaan lain. Apa
yang digariskan oleh pemerintah dan penguasa (termasuk para pimpinan
agama) harus diterima sebagai sesuatu yang sakral, benar dan terpuji.
Pendidikan budaya dan agama selama ini hanya bersifat simbolik,
formalistik dan hanya di permukaan saja. Akibatnya kebudayaan dan
keagamaan menjadi mandul, tidak bermakna, tidak transformatif, kurang
realistik, kehilangan kekritisan dan tidak memiliki visi ke depan bagi
kehidupan ini.
Menghadapi masa-masa krisis lembaga keagamaan dan para pimpinan
umat kurang memiliki sense of crisis dan sense of urgency. Sedangkan
seharusnya, di tengah-tengah berbagai kemelut masyarakat agama-
agama merasa paling bertanggung jawab terhadap berbagai krisis yang
terjadi. Hal ini menandakan bahwa pendidikan agama yang dibanggakan
selama ini hanyalah bersifat simbolik dan tidak menyentuh sanubari, alam
pikiran serta perasaan yang mewujud dalam sikap dan perilaku.
Kemandulan ini disebabkan oleh pelaksanaan pendidikan agama yang
tidak transformatif, nilai-nilai agama tidak didialektikkan dengan realitas
secara positif, kreatif dan kritis. Keberagamaan tampak maju pesat,
namun baru pada tahap ritualistik dan simbolik, belum berhasil
memajukan peradaban manusia.
Tuntutan untuk memberlakukan nilai-nilai substansial agama untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, demokratis, menghargai hak-
hak asasi dan bebas dari segala bentuk diskriminasi, merupakan sesuatu
yang urgen. Maraknya simbol-simbol keagamaan tanpa esensi dan tanpa
penghayatan secara eksistensial hanya menimbulkan diabolisme,
pendewaan ritual dan seremonialisme. Akibatnya, kegiatan peribadatan
tampak saleh dan kental, namun perilaku yang dilaksanakan buruk.
Dalam kondisi semacam itu agama-agama sulit berperan sebaga sumber
landasan moral dan etika bagi pembangunan bangsa.
Formalisme dan ritualisme keagamaan lebih mementingkan bentuk
daripada isi, sehingga lembaga-lembaga agama sulit membebaskan
manusia dari segala keterbelengguan seperti: kebodohan,
keterbelakangan dan kemiskinan. Sudah tiba waktunya, keberagamaan
yang bersifat individualistik direorientasikan kepada kesalehan sosial,
dibebaskan dari rivalitas antaragama dan kolusi dengan kekuasaan.
Memasuki milenium III, tugas dan tanggung jawab agama-agama
semakin berat. Perkembangan masyarakat mengindikasikan
kecenderungan materialistik-sekularistik, individualistik dan
konsumtifistik. Orang dapat dengan mudah menggeser posisi Tuhan
dalam hidupnya dengan harta benda atau kebutuhan-kebutuhan lain.
Perubahan-perubahan mendasar di bidang tata-nilai dan etika kehidupan

57
terjadi dengan cepat. Hal ini ditunjang oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi komunikasi yang tidak lagi memberi kemungkinan bagi
suatu masyarakat untuk mengisolasi diri. Kalaupun usaha isolasi tersebut
dipaksakan, toh tidak lagi bijaksana dan masyarakat justru akan
terpinggirkan dari arus kehidupan global.
Menghadapi tantangan-tantangan yang amat kompleks tersebut,
secara bersama-sama di antara umat beragama perlu dikembangkan:
a. solidaritas dengan kesediaan membongkar tembok-tembok
eksklusivisme.
b. visi kemanusiaan bersama dan etika global sebagai suatu paradigma
baru.
c. keterbukaan untuk memelihara otonomi dan otoritas agama dari
campurtangan negara yang terlalu jauh.
d. usaha untuk menjaga otentisitas agama agar tidak terjebak dalam
legalisme dan ritualisme peribadatan, sebaliknya mewujud dalam
kegiatan nyata sehari-hari.
e. kerukunan hidup beragama secara otentik dan fungsional dilandasi
kesadaran senasib sepenanggungan untuk bersama-sama membangun
kemanusiaan dalam arti sebenarnya.
f. teologi kontekstual dalam pluralitas masyarakat, secara jujur, objektif
dan realistik.
g. nation and character building dengan memberikan ruang seluas-
luasnya kepada otonomi budaya dan aspirasi daerah dalam kerangka
kehidupan berbangsa dan bernegara yang memperhatikan
keseimbangan antara ketunggal-ikaan dengan kebhinekaan.
h. keterbukaan sikap terhadap perkembangan teknologi dengan tetap
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta keluhuran
hidup.
i. pelaksanaan HAM, pengembalian kedaulatan rakyat serta penegakan
keadilan melalui supremasi hukum.

Pertemuan XII

6. HUBUNGAN ANTAR UMAT BERAGAMA

6.1. Toleransi dan intoleransi

Dalam perjalanan sejarah dapat dilihat bahwa manakala agama berkolusi


dengan kepentingan politik, maka ia akan cenderung tampil dalam wajah
kekerasan. Klaim kebenaran yang bersifat eksklusif membuat agama jadi
intoleran. Legitimasi atas klaim tersebut sering diwujudkan dalam
kekuasaan. Jika negara berusaha mengakomodasi seluruh kepercayaan
atau keyakinan yang dianut oleh penduduk, maka hal itu diinterpretasikan
sebagai ‘kekalahan’, bukan saja kekalahan politik, melainkan juga
kekalahan agama. Pemahaman seperti ini muncul karena agama tidak

58
saja dipahami sebagai pranata etis dan moral, melainkan juga sebagai
aturan ketatanegaraan. Hal seperti ini telah menjadi beban sejarah yang
mewarnai, baik hubungan antara agama dengan negara, maupun
hubungan antaragama dan antarkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
Beban politik yang mewarnai hubungan antarumat beragama di
Indonesia menghasilkan kerukunan semu yang dipaksakan melalui
berbagai bentuk rekayasa. Sesungguhnya kerukunan sejati muncul bukan
karena diatur, melainkan karena keterikatan pada kesamaan
penghayatan terhadap harkat, martabat dan nilai kemanusiaan. Tri
kerukunan umat beragama yang ditetapkan pemerintah tidak bermaksud
menciptakan kerukunan yang sesungguhnya, melainkan hanya memberi
kesahihan pada kekuasaan. Berbagai slogan diciptakan untuk memberi
gambaran tentang hubungan antaragama yang harmonis, selaras dan
serasi, kendati dalam kenyataan sering terjadi berbagai bentuk
diskriminasi dan ketegangan. Berbagai wadah kerukunan antarumat
beragama diciptakan sekadar sebagai gambaran semu bahwa agama-
agama yang ada dapat ‘duduk sama rendah berdiri sama tinggi’. Berbagai
peraturan perundangan untuk mengatur kehidupan bersama antaragama
justru memicu terjadinya pengkotak-kotakan masyarakat menurut agama
atau keyakinannya. Hal seperti ini lebih jauh telah mendorong agama-
agama tampil secara munafik, tidak otentik dan tidak memiliki otoritas
atas dirinya sendiri. Berbagai keputusan bersama disepakati, namun
masing-masing tetap berjalan sendiri-sendiri dengan membangun
prasangka-prasangka menurut versi masing-masing.
Pertanyaan besar yang muncul adalah: pada saat terjadi kebangkitan
agama-agama dengan semarak ritualnya, pada saat itu pula agama-
agama gagal meningkatkan kualitas manusia. Sebaliknya, konflik sosial
justru makin meningkat intensitasnya, masyarakat semakin pragmatis,
nilai-nilai etika dan moralitas semakin longgar. Yang menjadi persoalan
adalah: mengapa agama-agama tidak berhasil memberi arti bagi
kepentingan kemanusiaan dan kebersamaan? Upacara-upacara
keagamaan dilakukan secara formal namun sekaligus mereduksi hakikat
agama itu sendiri. Ritualitas keagamaan hanya digunakan untuk
melegitimasi spiritualitas semu para pemimpin agama. Simbol-simbol
keagamaan yang makin marak digunakan (termasuk pengutamaan
jumlah umat) ternyata tidak menjamin sentuhan keagamaan yang
terdalam pada kemanusiaan manusia. Manusia cenderung ditempatkan
sebagai ‘angka’ dalam menambah jumlah pengikut, dan bukan sebagai
komponen penunjang bagi meningkatnya kualitas kemanusiaan.
Mestinya, umat beragama dibiarkan tumbuh secara alami dalam
proses kerukunan sejati dengan saling menghargai. Kepada mereka
disadarkan peranan agama sebagai suatu kekuatan etis dan moral yang
mampu membawa manusia ke arah kehidupan bersama sebagai umat
Tuhan dalam suatu wilayah bersama dan berorientasi pada kepentingan
dan kesejahteraan bersama. Dialog dan kerjasama secara terbuka, jujur
dan saling menghargai amat penting maknanya. Hal itu akan dapat
terjadi jika agama-agama berhasil mengembalikan otoritasnya sebagai
agama, dan bukan menjadi bagian subordinatif dari kekuasaan.

59
6.2. Konflik antarumat beragama dan sumbernya

Konflik dalam arti luas adalah kompetisi yang berkesadaran. Para


kompetitor yang terlibat dengan sadar merupakan oponen satu terhadap
yang lain, bahkan dalam tahap tertentu dapat saling bermusuhan. Konflik
sosial dapat terjadi jika masing-masing kelompok berusaha (bahkan
memaksa) menerapkan nilai-nilai eksklusif secara sadar. Dalam tingkat-
tingkat tertentu konflik dapat terjadi dalam bentuk perang mulut,
perkelahian, huru-hara, bahkan sampai pada peperangan antarbangsa.
Secara moral dan religius, konflik-konflik destruktif seperti perusakan,
penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan, dan segala tindakan yang
merugikan dan tidak menghargai martabat pihak lain, apa pun alasannya,
tidak dapat diterima. Sangat ironis jika dalam kenyataan, konflik-konflik
destruktif tersebut sering dilakukan atas nama agama.
Campur-aduk antara agama dan politik dapat terjadi jika terjadi
intervensi politik terhadap agama, atau sebaliknya, intervensi agama
terhadap politik. Tumpang-tindih ini sangat mungkin terjadi karena
pelaku politik dan agama adalah manusia-manusia yang sama, terutama
ketika mereka terlibat dalam perebutan kekuasaan. Dalam rangka
melegitimasi kekuasaan dan wewenang, agama pun dapat diperalat
sebagai legitimator. Masalah kekuasaan dan legitimasinya sudah menjadi
pergumulan manusia sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman Yunani kuno,
masyarakat memiliki keyakinan bahwa kekuasaan dan legitimasinya
berasal dari kuasa transenden, dari kuasa yang mengatasi manusia.
Karena itu timbul gagasan tentang Raja Dewa (Divine Kingship) yang
bertalian erat dengan mitologi Yunani. Hal ini diterapkan dalam
kekaisaran Romawi, sehingga kaisar-kaisar disembah sebagai dewa.
Besar kemungkinan bahwa gejala seperti ini tidak hanya terjadi di Yunani,
melainkan dalam tingkat tertentu juga terjadi pada bangsa-bangsa lain,
seperti di Mesir, negara-negara Timur Tengah purba, bahkan juga
bangsa-bangsa Asia. Inti pandangan itu adalah bahwa penguasa dapat
memegang kekuasaan dan memperoleh legitimasi kedaulatan karena
ketentuan dari kuasa transenden.
Sekalipun gagasan Divine Kingship mungkin sudah tidak ada lagi,
namun dalam kenyataan salah satu dari sekian banyak sumber konflik
antarumat beragama adalah adanya upaya memperoleh kekuasaan
dengan jalan rekayasa politis yang melibatkan umat beragama, struktur-
struktur sosio-religius, lembaga-lembaga keagamaan dan berbagai
ideologi keagamaan. Dalam hal ini agama telah disalahgunakan demi
kepentingan politik sekular yang dicampur-aduk dengan kepentingan
pribadi atau kelompok agamis. Agama yang sewajarnya memiliki fungsi
murni untuk mengungkapkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan-
pandangan hidup dalam berelasi dengan Tuhan telah disalahfungsikan
menjadi alat perjuangan untuk mencapai kekuasaan. Lebih celaka lagi,
kadang-kadang nilai-nilai luhur keagamaan telah digantikan dengan
tindakan-tindakan kotor yang dilegitimasi atas nama agama demi
mencapai kepentingan politik.

60
6.3. Dialog dan kerjasama antarumat beragama

Prof. Dr. H.A. Mukti Ali mengemukakan bahwa dialog antarumat


beragama bukan hanya saling memberi informasi tentang agama yang
dipeluk, atau memberi penjelasan tentang persamaan dan perbedaan
antara agama yang satu dengan agama lainnya. Dialog antarumat
beragama bukanlah usaha untuk menjadikan seseorang yakin terhadap
agama yang dianutnya dan menjadikan orang lain berpindah agama
untuk mengikuti agama yang dianutnya, sebab menganut suatu agama
adalah pilihan bebas setiap individu berdasar keyakinannya sendiri. Dialog
juga bukan merupakan studi agama secara akademis, yang hanya
membicarakan agama secara teoretis tanpa dilaksanakan dalam
perbuatan. Dialog bukanlah usaha untuk membuat semua agama menjadi
satu. Dialog antarumat beragama adalah komunikasi agamis, pertemuan
hati dan pikiran antara para penganut agama-agama yang berbeda.
Dialog merupakan jalan bersama menuju kebenaran, yang terjabar bukan
hanya dalam bentuk kata-kata, melainkan juga dalam bentuk tindakan
konkret: kerjasama demi kepentingan kemanusiaan. Untuk itu, dialog
haruslah dilaksanakan dalam keterbukaan, kejujuran dan kalis dari
maksud yang tersembunyi.54

6.3.1. Macam-macam dialog

Prof. Mukti Ali memaparkan lima macam bentuk dialog antarumat


beragama, yaitu:

1) Dialog Kehidupan, yaitu dialog antarumat beragama dalam tataran


kehidupan sehari-hari. Dalam pergaulan di tengah masyarakat,
individu-individu penganut bermacam-macam agama hidup dan
bekerja bersama-sama. Tanpa pembahasan formal, masing-masing
individu diperkaya oleh praktik dan nilai-nilai dari sesamanya yang
beragama lain. Perjumpaan dialogis dalam kehidupan ini dapat terjadi
di mana pun, di tengah masyarakat, di tengah lingkungan kerja, di
rumah sakit, di sekolah dan dimana pun orang berjumpa dalam
kebersamaan dengan orang lain. Tanpa adanya campur tangan pihak-
pihak tertentu yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, dialog
kehidupan sesungguhnya merupakan dialog otentik yang telah terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Otentisitas perjumpaan dialogis tersebut
menjadi rusak jika ada intervensi dari pihak lain yang memiliki tujuan
atau kepentingan tertentu.
2) Dialog kerja sosial, yaitu dialog antarumat beragama dalam bentuk
kerjasama sosial dalam rangka meningkatkan kualitas hidup umat
manusia dan pembebasan integral umat manusia dari segala bentuk
penindasan dan ketertekanan. Dalam hal ini, penganut bermacam-
macam agama dapat bekerja bersama-sama dalam rangka mengatasi

54 Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, “Dialog dan Kerjasama Agama-agama dalam Menanggulangi Kemiskinan”, paper disampaikan
dalam Pertemuan Agama-agama yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, Sabtu,
9 Juli 1994.

61
kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, dsb., sehingga harkat dan
martabat manusia dapat dihargai sebagaimana mestinya.
3) Dialog antarmonastik, yaitu dialog dalam bentuk komunikasi
pengalaman agama, doa, meditasi, dsb. Pemeluk suatu agama dapat
tinggal beberapa waktu bersama dengan pemeluk agama lain untuk
menyaksikan dan memperoleh pengalaman hidup keagamaan orang
lain. Dengan demikian ia akan memahami keberagamaan orang lain,
sehingga dapat menghargai keberagamaan orang lain. Dialog
antarmonastik haruslah didasari dengan ketulusan hati untuk
memahami dan mengalami kehidupan keagamaan orang lain.
4) Dialog dalam bentuk doa bersama. Dalam dialog ini, para penganut
bermacam-macam agama berkumpul bersama untuk berdoa bersama
menurut keyakinan masing-masing, berkenaan dengan masalah-
masalah kemanusiaan yang dihadapi bersama. Tentu saja, cara-cara
untuk berdoa tidak harus sama, sebab masing-masing idividu boleh
berdoa dengan caranya sendiri dan berdasar keimanannya sendiri.
5) Dialog teologis, yaitu dialog berbagai masam penganut agama untuk
saling tukar informasi mengenai kepercayaan dan pokok-pokok ajaran
masing-masing. Dengan jalan ini, para peserta dialog dapat saling
memahami kesamaan dan perbedaan ajaran yang satu dengan yang
lain, sehingga mereka dapat saling menghargai dan menghormati.

6.3.2. Pentingnya dialog antarumat bergama

1) Mengembangkan sikap pluralisme atau kesadaran akan pluralitas


keagamaan.

Pluralitas keagamaan di dunia ini merupakan suatu kenyataan yang


tidak dapat diingkari. Dalam menyikapi kepelbagaian agama, haruslah
diingat bahwa bagaimana pun, secara hakiki agama merupakan
ekspresi keyakinan, penghayatan dan pengalaman manusia dengan
kuasa yang disembahnya. Ekspresi tersebut antara lain mencakup cara
hidup, cara penyembahan, dan asal serta tujuan manusia. Tentu saja,
masing-masing agama memiliki kekhasannya tersendiri. Namun
seharusnya kekhasan tersebut tidak membawa seseorang kepada
pandangan keagamaan yang sempit, memandang rendah dan
meremehkan keagamaan orang lain. Sebaliknya, mengingat hakikat
agama di atas, mestinya kita harus lebih terbuka untuk menghormati
keyakinan dan ekspresi keagamaan orang lain. Di tengah kehidupan
modern yang heterogen, sudah selayaknya kita mengembangkan sikap
pluralisme dan menghargai pluralitas keagamaan. Kita tidak mungkin
hidup menyendiri atau mengisolasi diri dari realitas keragaman yng
ada. Memandang rendah dan mengabaikan pihak lain merupakan
cerminan sikap kerdil. Seharusnya dengan keterbukaan sikap
menerima realitas keragaman agama, para pemeluk agama justru
berusaha untuk saling memperkaya dan memperdalam keimanan
masing-masing.

2) Mengembangkan motivasi untuk berkomunikasi

62
Kesadaran akan realitas masyarakat yang pluralistik dalam berbagai
segi, termasuk dalam segi keagamaan, mau tidak mau mendorong
orang untuk berkomunikasi satu sama lain. Dalam situasi seperti ini,
seharusnya masing-masing komunitas justru lebih menekankan
pencarian kesamaan di antara mereka dan berusaha sedapat mungkin
memperkecil perbedaan-perbedaan. Dengan mengembangkan
komunikasi yang baik, paling tidak akan tercipta saling pengertian di
antara komunitas-komunitas keagamaan. Dengan komunikasi, banyak
masalah bersama dapat dipecahkan, hambatan-hambatan yang
diakibatkan oleh kesalahmengertian dan kecurigaan dapat
diminimalisasi. Melalui komunikasi, kerukunan otentik antara
komunitas yang satu dengan komunitas yang lain akan tercipta tahap
demi tahap, sehingga perdamaian sejati akan terwujud.

3) Memupuk saling pengertian

Dengan keterbukaan sikap untuk berdialog dan berkomunikasi,


kesadaran akan kesetaraan kedudukan serta penghargaan atas
martabat masing-masing komunitas akan bertumbuh dan berkembang.
Tumbuhnya saling pengertian tidak akan membawa kerugian apa pun,
justru sebaliknya, akan makin banyak hal positif yang didapat. Dengan
saling pengertian, secara bersama-sama, semua komunitas
keagamaan akan menyadari pentingnya menggapai kebenaran yang
lebih tinggi, sehingga penghayatan dan pemahaman terhadap
keimanan masing-masing pun akan bertambah.

4) Meningkatkan kerjasama dalam masyarakat

Dialog otentik akan menumbuhkan hubungan persaudaraan sejati,


yang pada gilirannya akan meningkatkan kesadaran untuk bekerja
sama mengatasi problem-problem kemanusiaan seperti: kemiskinan,
keterbelakangan dan kebodohan, memecahkan problem-problem sosial
seperti: penegakan keadilan, penanggulangan kejahatan, pencegahan
dekadensi moral, dll. Sebaliknya, tanpa dialog otentik, persaudaraan
sejati tidak akan terwujud, dan yang terpupuk adalah rivalitas tidak
sehat, hegemoni, penindasan salah satu kelompok terhadap yang lain,
tidak dihargainya martabat manusia sebagaimana mestinya, yang
semuanya itu bisa terjadi atas nama agama! Alangkah ironisnya jika
agama hanya dipergunakan sebagai legitimator semua bentuk
tindakan yang tidak manusiawi. Jika hal itu terjadi, maka agama tidak
lagi menjadi rahmat, melainkan menjadi laknat, yang dapat
menghancurkan nilai kemanusiaan manusia.

6.3.3. Hambatan dialog antarumat beragama

1) Hambatan teologis

63
Secara teologis, masing-masing agama mengklaim bahwa iman
mereka adalah jalan satu-satunya menuju kebenaran tertinggi.
Akibatnya, jalan setapak menuju hubungan yang lebih baik di antara
agama-agama yang berbeda-beda makin dipersempit. Jika klaim
masing-masing agama dimutlakkan, maka tidak akan ada ruang untuk
mengakui atau menerima kebenaran pihak lain. Tidak ada
kemungkinan untuk menyelenggarakan dialog otentik, yang menolong
umat manusia untuk mengembangkan cara berpikir yang memadai,
serta sikap keagamaan yang memberi tuntunan yang benar untuk
menyelesaikan masalah-masalah dunia dewasa ini. Rasa kebersamaan
di antara komunitas agamawi yang berbeda-beda akan tersegregasi
dan harmoni otentik di antara mereka tidak akan pernah terwujud.
Untuk menyongsong kehidupan bersama antarumat beragama secara
damai di masa depan, perlu adanya keberanian untuk meretas
hambatan eksklusivitas mutlak.

2) Adanya perasaan saling curiga

Kadang-kadang ada kecurigaan terhadap kejujuran dialog. Masing-


masing pihak berprasangka bahwa dialog merupakan tipu muslihat
untuk menarik orang lain masuk ke dalam agama tertentu. Akibat
kecurigaan ini, timbul keengganan untuk mengadakan dialog
antarumat beragama. Sebenarnya kecurigaan seperti ini tidak perlu
terjadi. Sejauh dialog otentik dibangun dengan semangat perdamaian,
saling menghargai dan keterbukaan untuk saling memahami, maka
masing-masing komunitas agama tidak perlu khawatir satu terhadap
yang lain.

3) Kurang seriusnya perhatian terhadap dialog

Dapat dikatakan bahwa sejak kedatangan agama Kristen di Indonesia


pada abad XVI hingga dewasa ini, dialog Islam-Kristen, yang
diselenggarakan secara resmi, terencana dan didorong oleh kerinduan
untuk menumbuhkan saling pengertian di antara para penganutnya
belum pernah diadakan. Pada zaman penjajahan Belanda, pemerintah
menerapkan prinsip pemisahan antara agama dan Negara.55
Pemerintah kolonial melarang lembaga-lembaga keagamaan
melakukan aktivitas politik. Mereka hanya diizinkan mengurusi
masalah-masalah keagamaan. Tujuan utamanya adalah untuk
menjaga stabilitas sosial demi kepentingan politik dan
perdagangannya. Instabilitas sosial akan membahayakan kepentingan
perdagangan dan kepentingan politis pemerintah kolonial. 56 Dalam
keadaan seperti itu, ternyata bahwa baik pemerintah maupun

55 Umat Islam sama sekali tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara, karena bagi Islam, Sang Pencipta sangat
memperhatikan semua aspek kehidupan manusia, termasuk aspek politis, sosial, ekonomis, dan aspek-aspek kehidupan
lainnya. Bagi umat Islam, Islam adalah jalan hidup yang lengkap. Dalam rangka menghindari konsepsi non-Islami, yang
antara lain memisahkan antara agama dan negara, umat Islam lebih suka menyebut Islam sebagai jalan hidup ketimbang
agama.
56 Bnd. Jan Sihar Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), hlm.

79-80.

64
lembaga-lembaga keagamaan tidak memberi perhatian pada dialog
antariman secara resmi dan memang tidak pernah mencoba untuk
mengadakannya. Kalaupun ada hubungan baik antarindividu dalam
masyarakat, itu bukan akibat hubungan antariman yang baik,
melainkan karena komitmen etnis dan kultural yang terjadi di aras
lokal.
Keadaan seperti itu berlangsung hingga zaman kemerdekaan. Sejak
semula para pendiri Negara ini bercita-cita untuk membangun
Indonesia sebagai Negara modern. Secara kompromis mereka
menerima Pancasila sebagai dasar Negara Republik Indonesia yang
baru berdiri itu. Namun, kondisi hidup kemasyarakatan bangsa
Indonesia selama periode awal kemerdekaan hingga tahun 60-an
masih merupakan “masyarakat terkotak-kotak” atau “masyarakat
kelompok”, sekalipun mereka semua setuju untuk bernaung di bawah
dasar Negara Pancasila.57 Ternyata dengan dasar negara Pancasila itu
dialog-dialog otentik antariman tidak secara otomatis terjadi di tengah
masyarakat. Masing-masing kelompok keagamaan tetap menjadi
“orang asing” bagi yang lain dan mereka tidak mengerti agama atau
kepercayaan lain dengan benar.
Selama Orde Baru tidak ada perubahan kebijakan yang berarti.
Pada masa itu, demi pembangunan, terutama pembangunan di bidang
ekonomi, lembaga-lembaga keagamaan didepolitisasi. Di bawah
pemerintahan Soeharto memang ada sedikit perubahan dalam
kehidupan sosial-keagamaan. Pada 1967, pemerintah Republik
Indonesia berusaha untuk menyelenggarakan dialog antariman dengan
jalan mengadakan pertemuan lintas agama yang disebut Konsultasi
Antaragama, yang pada 1980 ditingkatkan menjadi Wadah
Musyawarah Antarumat Beragama.58 Namun dalam kenyataannya,
ketimbang mempromosikan saling pengertian di antara berbagai
komunitas keagamaan, usaha ini lebih bernuansa politis. Tujuannya
adalah untuk mencegah timbulnya berbagai masalah sosial,
perpecahan, perselisihan, dan konflik dalam masyarakat, yang sangat
potensial mengganggu stabilitas politik dan performance pembangunan
yang dikendalikan oleh Negara itu.

4) Perbedaan interpretasi terhadap sejarah

Ada kemungkinan terjadi distorsi fakta sejarah. Perlu diingat bahwa


fakta historis memang dapat ditafsirkan secara berbeda. Fakta
tersebut dapat dibelokkan sehingga menghasilkan lebih dari satu
interpretasi dan dapat diberi konstruksi tertentu untuk mengekalkan
sikap-sikap yang sama sekali berbeda dengan pandangan pihak lain
mengenai realitas. Misalnya interpretasi sejarah terhadap kedatangan
agama Kristen. Dari sisi pandang Kristen, meskipun agama Kristen
datang ke Indonesia melalui para misionaris yang berasal dari negara
penjajah, tidak berarti bahwa dengan serta-merta agama Kristen

57 Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam, Contacts and Conflicts 1596-1950 (Amsterdam-Atlanta,
Rodopi B.V., 1993), hlm. 144.
58 Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian Islam, hlm. 145.

65
identik dengan penjajah, atau bahwa agama Kristen adalah agama
penjajah. Agama atau iman harus dibedakan dari kebijakan
pemerintah. Namun, sebagian orang menganggap penyebaran agama
Kristen di Indonesia di masa lalu sebagai berjalan seiring dengan
ekspansi kolonialisme. Zending Kristen dianggap sebagai salah satu
faktor penting kolonialisme.59 Sementara orang menafsirkan bahwa
kolonialisme Belanda di Indonesia dimotivasi oleh tiga ‘G’, yaitu: ‘Gold’
(dalam arti harta kekayaan), ‘Glory’ (dalam arti kekuasaan) dan
‘Gospel’ (Injil) atau tiga ‘M’, yaitu: ‘Merchant’ (perdagangan), ‘Military’
(militer, kekuasaan), dan ‘Missionary’ (pemberitaan Injil). Di samping
motivasi politis untuk menguasai wilayah jajahan (Glory) dan motivasi
ekonomis untuk mengeksploitasi dan menguras kekayaan wilayah
jajahan melalui perdagangan (Gold), kaum penjajah juga memiliki
motivasi keagamaan untuk menyebarkan keyakinan Kristen kepada
penduduk wilayah jajahan, sehingga mereka ‘bertobat’ menjadi Kristen
(Gospel).60 Kedatangan penjajah Belanda dianggap telah merusak
dasar-dasar budaya, peradaban dan agama, terutama Islam di
Indonesia.61 Tidak dapat disangkal ada pula pengalaman dan warisan-
warisan sejarah yang telah menciderai hubungan antaragama di
Indonesia merupakan penghambat bagi terjadinya dialog otentik
antaragama.

5) Sifat misioner masing-masing agama

Hampir semua agama memiliki sifat misioner. Para penganutnya


merasa memiliki tanggung jawab untuk meneruskan dan
menyebarluaskan agama mereka. Para pemimpin agama merasa
bahwa mereka mengemban tugas untuk menyebarkan agamanya.
Mereka menganggap para penganut agama lain tidak berada di jalan
yang benar, sehingga merupakan sasaran pemberitaannya. Tanpa
keterbukaan untuk mengakui kebenaran pihak lain, atau paling tidak
memahami secara benar iman pihak lain, pihak yang satu cenderung
menempatkan pihak yang lain dalam kedudukan yang tidak setara,
dan memandangnya sebagai objek penyebaran agama. Dengan kata
lain, setiap usaha untuk menyebarkan agama, sedikit banyak akan
disertai dengan kesombongan diri sekaligus perendahan terhadap
pihak lain. Lantaran sifat misioner ini, pertentangan di antara para
penganut agama sering terjadi dalam berbagai tingkatan.

6) Penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik

Kadang-kadang agama digunakan oleh individu atau golongan tertentu


sebagai alat untuk mencapai tujuan atau kepentingan-kepentingan
politisnya sendiri. Mereka memprovokasi pertentangan; bahkan
menyulut pertikaian berdarah di antara para pengikut agama yang

59 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 18.
60 Mohammad Damami, Akar Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 72-73; cf. Aritonang,
Sejarah Perjumpaan, hlm. 21.
61 Musthafa Kamal Pasha and Ahmad Adaby Darban, Muhammdiyah Sebagai Gerakan Islam (Yogyakarta: LPPI, 2000),

hlm. 71-72.

66
berbeda. Akibatnya, ketegangan potensial antaragama di Indonesia
sering tampil ke permukaan dalam bentuk perselisihan, bahkan
pertikaian berdarah yang amat mahal harganya pun dapat terjadi. Di
samping itu, heterogenitas etnik, budaya dan kedaerahan juga sering
memicu konflik di tengah masyarakat, yang pada akhirnya merembet
juga ke konflik keagamaan. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat
Indonesia cenderung tersegregasi ke dalam kelompok-kelompok
religius. Misalnya, Kawasan Timur Indonesia dan Tanah Batak –
Sumatera Utara sering diasosiasikan sebagai kawasan Kristen,
sedangkan bagian Sumatera yang lain, terutama Nangroe Aceh
Darussalam dan Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa, sering
dianggap sebagai kawasan Islam.

Pertemuan ke XIII
6.4. Kerukunan antar umat beragama

6.4.1. Realitas bangsa Indonesia secara religius

Realitas manusia Indonesia adalah manusia beragama. Secara fenomenal,


pada dasarnya setiap manusia Indonesia memiliki agama. Apa pun
bentuknya, setiap orang memiliki keyakinan kepada kuasa supra-natural
yang disembahnya. Karena itu, masyarakat Indonesia sering disebut
sebagai masyarakat sosial-religius. Agama memiliki tempat tertentu
dalam kehidupan bangsa Indonesia. Manusia tidak dipahami sebagai
makhluk sosial semata-mata, melainkan juga makhluk religius. Dengan
demikian, manusia ditempatkan di tengah tiga tuntutan tanggung jawab,
yaitu tanggung jawab kepada Allah, sesama dan alam semesta yang
ditinggalinya.
Realitas lain yang harus disadari dan diterima adalah heterogenitas
keyakinan masyarakat. Realitas ini tidak dapat dipungkiri, melainkan
diakui secara lapang. Lahirnya bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa
merdeka telah dilatarbelakangi heterogenitas tersebut. Karena itu wajar
jika kelestarian semua agama dan hak untuk meyakini agama dan
kepercayaan diberi jaminan hukum (hal ini sesuai dengan pasal 18
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia). Paling tidak, kita memiliki
tiga landasan konstitusional tentang kebebasan beragama dan
berkepercayaan:

a. Pembukaan UUD 1945, alinea ketiga: “Atas berkat rahmat Allah yang
mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Dalam alinea ini tersirat
pengakuan agamawi bahwa kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari
campur tangan ilahi. Secara tidaklangsung, itu berarti bahwa
kehidupan agamawi dalam sanubari masyarakat Indonesia diakui.
Dengan demikian sewajarnya jika hak untuk memeluk agama pun
dijamin secara hukum.

67
b. UUD 1945, pasal 29 ayat (1) dan (2) secara tegas menyatakan bahwa
kebebasan memeluk agama dan melaksanakan ibadah menurut agama
dan kepecayaan masing-masing dijamin oleh hukum. Disadari
sepenuhnya bahwa hak untuk meyakini agama atau kepercayaan
adalah hak manusia yang paling fundamental, tidak dapat dicampuri
oleh siapa pun. Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Mahaesa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agama dan kepercayaannya itu.
c. Sila pertama Pancasila secara khusus merupakan dasar hukum
tersendiri bagi masyarakat Indonesia untuk memeluk agamanya.
Dengan diakuinya asas ketuhanan sebagai landasan berdirinya negara
kesatuan Republik Indonesia, maka hidup keagamaan dijamin secara
hukum.

Sekalipun hak untuk memeluk agama atau kepercayaan diakui sebagai


hak asasi manusia dan hak tersebut telah memiliki jaminan hukum yang
kokoh, namun dalam praktik, masih sering terjadi ketegangan hubungan
antarumat beragama. Ketegangan ini disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain:

a. Sifat misioner masing-masing agama. Semua umat beragama merasa


memikul tanggung jawab untuk menyebarkan agamanya. Jika tidak
ada tenggang rasa, hal ini dapat menimbulkan ketegangan hubungan
antarpemeluk agama.
b. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama, baik mengenai
agamanya sendiri maupun agama pihak lain.
c. Kurangnya kemampuan para pemeluk agama menahan diri, sehingga
sering tidak menghargai, bahkan memandang rendah pihak lain.
d. Kaburnya pengertian antara memegang teguh suatu agama dengan
toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.
e. Kecurigaan masing-masing terhadap kejujuran pihak lain.
f. Ketimpangan sosial, ekonomi, pendidikan dan tingkat kesejahteraan
seringkali secara naif dikait-kaitkan dengan agama.
g. Ketakutan terdesak oleh pihak lain.
h. Kurang adanya komunikasi di antara para pemuka agama.
i. Kurang saling pengertian dalam menghadapi perbedaan pendapat.

6.4.2. Unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam membangun


kerukunan

a. Kata ‘kerukunan’ mengandaikan adanya dua subjek atau lebih yang


terlibat dalam relasi. Subjek-subjek tersebut harus ditempatkan dan
dihargai sebagai pihak-pihak yang sederajat, dan tidak boleh
dipandang sebagai objek. Harus diakui bahwa masing-masing subjek
memiliki kemandirian dan kebebasan. Jika salah satu ditempatkan
sebagai objek oleh pihak lain, maka kerukunan sejati tidak akan
pernah terwujud.

68
b. Subjek-subjek yang terlibat harus berada dalam kesamaan ruang dan
waktu, berdekatan dan mengadakan kontak satu sama lain. Sekalipun
saling berdekatan, namun jika tidak terjadi kontak satu sama lain,
maka tidak akan tercipta kerukunan.
c. Kerukunan dan komunikasi yang baik dikehendaki oleh semua subjek
secara sadar dan bebas, tanpa paksaan atau dorongan motif-motif
tersembunyi. Dengan kata lain, semua pihak memang memiliki
keinginan untuk rukun, damai dan berhubungan secara akrab.
d. Didukung oleh faktor-faktor pengikat, seperti kesamaan tempat,
kesamaan bahasa, kesamaan budaya, kesamaan bangsa, kesamaan
nasib, kesamaan hobby, kesamaan pandangan hidup, dsb.
e. Ada landasan atau kesepakatan bersama yang dipatuhi bersama oleh
semua pihak dengan jujur, tanpa kepura-puraan atau motif-motif yang
tersembunyi. Kesepakatan ini terutama bukan didasarkan pada
peraturan, melainkan didasarkan pada tenggang rasa dan
penghargaan atas nilai dan martabat kemanusiaan.
f. Kerukunan sejati tidak sekadar tidak saling mengganggu atau saling
merugikan, melainkan tampak dalam kerja sama yang kompak dalam
menghadapi masalah bersama, tanggung jawab bersama dan untuk
kepentingan bersama.

6.4.3. Fakta ironis: perkembangan agama dan campur tangan


pemerintah

Dalam perjalanan sejarah dapat dilihat bahwa manakala agama berkolusi


dengan kepentingan politik, maka ia akan cenderung tampil dalam wajah
kekerasan. Klaim kebenaran yang bersifat eksklusif menjadikannya
intoleran. Legitimasi atas klaim tersebut diwujudkan dalam kekuasaan.
Jika negara berusaha mengakomodasi seluruh kepercayaan atau
keyakinan yang dianut oleh penduduk, maka hal itu diinterpretasikan
sebagai ‘kekalahan’, bukan saja kekalahan politik, melainkan juga
kekalahan agama. Pemahaman seperti ini muncul karena agama tidak
saja dipahami sebagai pranata etik dan moral, melainkan juga sebagai
aturan ketatanegaraan. Hal seperti ini telah menjadi beban sejarah yang
mewarnai, baik hubungan antara agama dengan negara maupun
hubungan antar agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Beban politik yang mewarnai hubungan antar agama di Indonesia
menghasilkan kerukunan semu (dipaksakan) melalui berbagai bentuk
rekayasa. Sesungguhnya kerukunan sejati muncul bukan karena diatur,
melainkan karena keterikatan pada kesamaan penghayatan terhadap
harkat, martabat dan nilai kemanusiaan. Tri kerukunan umat beragama
tidak menciptakan kerukunan yang sesungguhnya, melainkan hanya
memberi kesahihan pada kekuasaan. Berbagai slogan diciptakan untuk
memberikan gambaran tentang hubungan antar agama yang harmonis,
selaras dan serasi, kendati dalam kenyataan sering terjadi berbagai
bentuk diskriminasi, sering terjadi berbagai ketegangan. Berbagai wadah
kerukunan antar umat beragama diciptakan sekadar sebagai gambaran
semu bahwa agama-agama yang ada dapat ‘duduk sama rendah berdiri
sama tinggi’. Berbagai peraturan perundangan untuk mengatur kehidupan

69
bersama antaragama justru memicu terjadinya pengkotak-kotakan
masyarakat menurut agama atau keyakinannya. Hal seperti ini lebih jauh
telah mendorong agama-agama tampil secara munafik, tidak otentik dan
tidak memiliki otoritas. Berbagai keputusan bersama disepakati, namun
masing-masing tetap berjalan sendiri-sendiri dengan membangun
prasangka-prasangka menurut versinya.
Pertanyaan besar yang muncul adalah pada saat terjadi kebangkitan
agama-agama dengan semarak ritualnya, pada saat itu pula agama-
agama gagal meningkatkan kualitas manusia. Sebaliknya, konflik sosial
justru makin meningkat intensitasnya, masyarakat semakin pragmatis,
nilai-nilai etika dan moralitas semakin longgar. Di sinilah persoalannya,
mengapa agama-agama tidak berhasil memberi arti bagi kemanusiaan
dan kebersamaan? Upacara-upacara keagamaan dilakukan secara formal
namun sekaligus mereduksi hakikat agama itu sendiri. Ritualitas
keagamaan hanya digunakan untuk melegitimasi spiritualitas semu para
pemimpin agama. Simbol-simbol keagamaan yang semakin marak
digunakan (termasuk pengutamaan jumlah umat) ternyata tidak
menjamin sentuhan keagamaan yang terdalam pada kemanusiaan
manusia. Manusia cenderung ditempatkan sebagai ‘angka’ dalam
menambah jumlah pengikut, dan bukan sebagai komponen penunjang
meningkatnya kualitas kemanusiaan.
Mestinya, umat beragama dibiarkan tumbuh secara alami dalam
proses kerukunan sejati dengan saling menghargai. Kepada mereka
disadarkan akan peranan agama sebagai suatu kekuatan etis dan moral
yang mampu membawa ke arah kehidupan bersama sebagai umat Tuhan
dalam suatu wilayah bersama dan berorientasi pada kepentingan dan
kesejahteraan bersama. Dialog dan kerjasama secara terbuka, jujur dan
saling menghargai amat penting maknanya. Hal itu akan dapat terjadi jika
agama-agama berhasil mengembalikan otoritasnya sebagai agama, dan
bukan menjadi bagian subordinatif dari kekuasaan.

Pertemuan ke XIV --- Agama dan Etika (lihat Power Point )

Pertemuan XV

7. REFLEKSI TEOLOGIS

7.1. Agama dalam praksis

Kita percaya bahwa Allah adalah pencipta alam semesta. Ciptaan Allah itu
dipercayakan kepada manusia untuk dikelola dan dipelihara bagi
kehidupan yang damai sejahtera. Tuhan Allah menciptakan kehidupan
dan kehidupan inilah yang harus dipelihara. Untuk memelihara kehidupan,
manusia mendesain pola hidupnya dan itulah yang kita sebut
kebudayaan, yang ikut berkembang sesuai dengan perkembangan
kehidupan manusia.

70
Agama adalah sumber hidup manusia dalam relasi tiga dimensi, yaitu
relasi dengan Allah Pencipta, dengan sesama dan dengan seluruh ciptaan
lainnya. Dengan demikian agama tidak identik dengan kebudayaan.
Meskipun demikian, agama sebagai pola hidup tidak terpisahkan dari
kebudayaan, bahkan kebudayaan berorientasi kepada agama, sebab
agama adalah respons manusia terhadap kuasa transenden, kuasa yang
berada di luar jangkauan kuasa manusia. Kiprah manusia dalam relasi
dengan kuasa transenden itu ditentukan oleh relasi itu sendiri. Pola relasi
itulah yang disebut agama.
Kiprah manusia dalam berelasi tiga dimensi itu harus pula dilihat
secara historis. Dalam perkembangan sejarah, kebudayaan pun ikut
berkembang seiring dengan dinamika perkembangan manusia.
Terciptalah pluralitas kebudayaan dan agama. Tiap-tiap kelompok dan
suku-suku bangsa mengembangkan pola hidupnya (kebudayaan dan
agama) masing-masing dalam keterasingan satu terhadap yang lain.
Kecenderungan yang negatif adalah munculnya sikap saling merendahkan
dan bahkan saling bermusuhan. Pada hakikatnya, kebudayaan pada
dirinya sendiri bukanlah dosa, namun dalam pengembangannya, unsur
dosa manusia tidak dapat dilupakan. Oleh karena itu kebudayaan dapat
berkembang menjadi demonis, anti Allah, anti kebenaran sebagaimana
dikehendaki Allah. Seharusnya, kebudayaan dikembangkan secara positif
sebagai panggilan hidup, namun harus kritis, kreatif dan realistik.
Allah sendiri berkenan terhadap kebudayaan ciptaan manusia, sejauh
itu digunakan untuk kemuliaan nama-Nya. Agama-agama (seharusnya)
hidup dalam kebudayaan lokalnya serta mentrasformasikan kebudayaan
itu menjadi kebudayaan untuk memelihara kehidupan dalam persekutuan
tiga dimensi, persekutuan dengan Allah, dengan sesama dan dengan
seluruh ciptaan. Kebudayaan dan agama, keduanya harus memelihara
kehidupan agar menjadi kehidupan Paradise (Firdaus), penuh damai
sejahtera. Di sana tidak ada penghisapan manusia atas manusia, tidak
ada penindasan penguasa terhadap rakyat kecil, melainkan keadilan dan
kebenaran. Kebudayaan harus ditransformasikan, maksudnya diubah
secara kualitatif dan dinamis ke tingkat yang lebih tinggi, ke arah
kehidupan yang dikehendaki Allah.
Sebagai umat beragama kita meyakini bahwa Allah menghendaki dan
menciptakan kehidupan yang sejahtera yang digambarkan dengan kondisi
Firdaus. Namun secara retrospektif, kita juga harus mengakui dengan
jujur bahwa karena kecenderungan manusia untuk berbuat dosa,
kehidupan seperti itu sekarang tidak lagi terwujud dengan sempurna.
Dalam hal inilah seluruh umat beragama terpanggil untuk melakukan
pembenahan, sehingga kehidupan manusia mengarah kepada kondisi
sejahtera sebagaimana dikehendaki oleh penciptanya. Merupakan
panggilan bersama, bahwa dengan seluruh aktivitas dan seluruh potensi
yang ada, kita harus memelihara kehidupan. Berolah agama secara benar
tidak lain adalah mengamalkan visi kehidupan yang berorientasi kepada
praksis untuk mewujudnyatakan kehidupan yang sejahtera.
Keberagamaan seseorang sesungguhnya dilegitimasi oleh pelaksanaan
panggilannya untuk kehidupan sejahtera tersebut.

71
Pertanyaan reflektif yang perlu direnungkan adalah: bagaimana
mungkin kita beragama secara benar, jika dalam kenyataan kehidupan
bersama diwarnai dengan perasaan saling membenci, saling mencurigai,
saling terpecah-belah dan saling bermusuhan? Bagaimana mungkin umat
beragama mampu mewujudkan kehidupan yang sejahtera jika dalam
kehidupan bersama justru diwarnai kekacauan? Dalam hal inilah umat
beragama terbeban untuk merintis dan memperjuangkan kedamaian satu
sama lain, cinta kasih satu sama lain dan sadar akan tanggungjawab
bersama dalam soal kemanusiaan.
Ikatan organisatoris (baik kemasyarakatan, keagamaan, maupun
kenegaraan) yang sering menjadi kotak-kotak penyekat kehidupan
bersama, tidak menjadi jaminan bagi kehidupan yang sejahtera.
Sebaliknya, kehidupan yang sejahtera pasti akan membawa kebaikan
bagi segala bentuk ikatan/persekutuan kemanusiaan. Sayang sekali
bahwa dalam kehidupan bersama kita sering terbelok dari keharusan
yang hakiki dan asasi ini.
Bagaimana kita harus memandang sesama kita yang berbeda
keyakinan/agama? Setiap orang, melalui agamanya masing-masing,
mendambakan kehidupan yang lestari dan sejahtera, baik di dunia ini
maupun di akhirat nanti. Selama masih di dunia, kita semua adalah
musafir pencari kehidupan. Sebagai sesama musafir pencari kehidupan,
selayaknyalah kita solider satu terhadap yang lain. Manusia bukan saja
musafir pencari kehidupan, tetapi ia adalah juga musafir pencari
kebenaran. Sebagai musafir pencari kebenaran, selayaknya kita sadar
bahwa tidak seorang pun memiliki klaim kebenaran secara mutlak, dan
menutup mata bagi kebenaran orang lain. Sebaliknya, dengan lapang
dada, kita masing-masing harus terbuka untuk saling memberi dan
menerima. Solidaritas sejati tidak memberi tempat kepada kesombongan
diri dan kecenderungan untuk merasa lebih baik dari orang lain. Kita juga
meyakini bahwa Allah mengasihi semua umat-Nya. Kasih Allah tersebut
tidak eksklusif.
Adalah manusiawi, jika manusia memberikan respons terhadap kasih
Allah menurut caranya sendiri. Adalah hal yang wajar pula jika kita
masing-masing menganggap cara kita merespon kasih Allah menurut
agama kita adalah jalan yang benar. Namun bersamaan dengan itu, tidak
ada alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa tidak ada cara lain untuk
merespons kasih Allah di luar keyakinan kita sendiri. Perlu direnungkan,
bukankah kita perlu merelatifkan tembok-tembok doktrin dan tradisi yang
membentengi kasih Allah kepada semua umat secara universal? Hal ini
tidak berarti bahwa kita harus menjadi sinkretistik. Kita harus setia
dengan keyakinan kita sendiri, namun di samping itu kita juga harus
menghormati kesetiaan orang lain kepada keyakinannya. Kita harus
menganggap benar keyakinan kita sendiri, namun tidak berarti bahwa
dengan semena-mena kita boleh menyalahkan keyakinan orang lain.
Kasih Allah tidak terjangkau oleh akal budi, jauh melampaui pemikiran
manusia maupun doktrin dan tradisi keagamaan kita masing-masing.
Demikian pula kedaulatan-Nya, tidak mungkin dibatasi oleh sekat-sekat
kemanusiaan, yang langsung atau pun tidak langsung, diciptakan oleh
manusia sendiri. Adalah suatu ironi, jika setiap agama terpanggil untuk

72
mewujudkan kehidupan bersama yang damai dan sejahtera, namun
bersamaan dengan itu masing-masing memandang rendah
agama/keyakinan lain.
Apakah fungsi umat beragama yang harus dilakukan dalam kehidupan
bersama ini? Secara teoretis, paling tidak ada tiga fungsi pokok, yaitu:
(1) menjadi rahmat (berkat) bagi semua umat manusia,
(2) menjauhi yang jahat dan melakukan yang baik,
(3) mencari kebenaran dan keadilan Allah.

Ketiga fungsi tersebut sangat inklusif. Inklusivisme inilah yang hendaknya


mewarnai pelaksanaan keberagamaan di tengah-tengah kemajemukan
budaya, suku dan agama. Godaan bagi kita pada umumnya adalah sikap
eksklusif, sibuk dengan diri sendiri dan kurang peduli terhadap orang lain
serta lingkungan kita. Akibat eksklusivisme, peran kritis agama sering
menjadi mandul, sehingga kita terlupa pada panggilan untuk
menyampaikan kabar baik bagi orang-orang miskin, memberitakan
pembebasan kepada orang-orang yang tertawan, memberikan
penglihatan kepada orang-orang buta, membawa pembebasan bagi
orang-orang yang tertindas, serta memberitakan rahmat Allah bagi
semua umat-Nya.

7.2. Ambiguitas kehidupan modern

Kehidupan modern sering bersifat ambigu. Pada satu sisi, ada dorongan
kuat bagi terjadinya emansipasi dalam segala hal dan desakan bagi
demokratisasi serta modernisasi. Namun pada sisi lain sering terjadi
kesewenangan, karena suatu budaya lokal dapat menguasai kebenaran
dan diglobalisasikan sedemikian rupa, sehingga meniadakan keberadaan
budaya-budaya yang lain. Dalam keadaan ini, suatu entitas (eksistensi)
dapat menjelma menjadi patron bagi entitas-entitas yang lain, yang
dianggap lebih rendah dan ‘halal’ untuk dilecehkan. Apalagi jika
masyarakat tidak mau belajar mengenai perbedaan dan tidak mau
menerima realitas yang ada dengan dewasa, yang terjadi adalah upaya
penyeragaman atas kenyataan hidup bersama yang beragam. Manakala
upaya penyeragaman itu berbenturan dengan realitas perbedaan, maka
pasti ada pihak-pihak yang dikorbankan demi kelangsungan proses
uniformitas itu.
Memasuki masa depan bersama, yang diperlukan adalah cara pandang
baru, yang mengakui perbedaan sebagai kekayaan dan menerimanya
dengan kelapangan dada. Wajah postmodern kita temukan dalam wajah
orang lain, wajah yang berseru ‘jangan membunuhku’, ‘jangan
merendahkanku atau merendahkan siapa pun’.62 Pada satu pihak, sisi
barbar dari kehidupan modern hendaknya ditolak, dan pada pihak yang
lain dunia postmodern menuntut suatu penerimaan terhadap kehadiran
orang lain (face of the other).
Modernitas mendidik manusia dalam sebuah kehidupan rasional
menuju kemandirian dan kemajuan. Namun demikian tidak berarti bahwa
dengan sendirinya ia berhasil membentuk manusia siap menghadapi
62David Tracy, Theology and the Many Faces of Postmodernity, hlm. 108.

73
kemajemukan. Bahkan rasionalitas sendiri sering dipakai sebagai alat
untuk melegitimasi penindasan.
Perlu disadari bahwa dalam perjumpaan dengan orang lain kita pun
menjadi orang lain bagi mereka. Oleh sebab itu perjumpaan interpersonal
harus menjadi perjumpaan etis. Kehadiran orang lain menyapa, mengusik
dan mengundang respons kita. Sayangnya, yang kerapkali terjadi adalah
kita merasa hadir untuk sesama tanpa memberi kesempatan bahwa
sesama itu mesti hadir pula untuk kita. Hubungan interpersonal sering
menjadi hubungan intersubjektif, yang dilihat dari perspektif diri sendiri,
sehingga bersifat asimetris dan tidak berdasar prinsip resiprositas.
Harus diakui bahwa orang lain tidak mungkin diselami sepenuhnya.
Bagaimana pun, ia tetap tamu, pendatang dan orang asing. Namun
demikian, merupakan panggilan bagi setiap umat beragama bahwa dalam
hidup keagamaannya ada tuntutan etis yang memaksanya untuk tidak
memandang orang lain berdasar pemahaman dan sistem pemikirannya
sendiri. Dengan demikian fundamental etika terletak pada tanggung
jawab satu sama lain ketika seseorang berjumpa dengan orang lain (the
others).
Dunia real bukan sekadar dipahami dan diselidiki, melainkan harus
pula dialami. Orang lain bukan harus disikapi dengan belas kasihan
sebagai objek, melainkan ditempatkan sebagai subjek mandiri dan
bersifat personal, karena manusia bukanlah makhluk anonim dan bukan
jenis yang seragam. Harus disadari adanya heterogenitas wacana.
Masing-masing wacana memiliki aturan mainnya sendiri. Ketidakadilan
akan terjadi jika suatu wacana ingin menguasai wacana lainya dan
berusaha menjadi wacana universal. Oleh sebab itu tugas etis dalam
perjumpaan dengan orang lain adalah menghadirkan yang tidak mampu
hadir (to present the unpresentable) dan memerangi totalisme.
Dalam pemikiran ini, tidak pernah ada pusat kebenaran atau
kebenaran final. Kebenaran selalu berada dalam hubungan-hubungan
saling terkait baik secara kultural, historis, maupun kontekstual. Ia
dirumuskan melalui bahasa metaforik, bukan melalui logika dan mengalir
terus tidak pernah sampai kepada titik final yang bersifat absolut.

7.3. Agama-agama dan etika pembebasan

Keberagaman agama-agama di dunia adalah suatu realitas yang tidak


mungkin diingkari. Dalam perjumpaan satu dengan yang lain, ada tiga
paradigma utama yang nampak, yaitu: eksklusivisme, inklusivisme dan
pluralisme. Namun toh dalam kenyataan ketiga paradigma tersebut tidak
mampu memberi respon yang memadai terhadap relaitas pluralitas
agama-agama. Eksklusivisme terlalu arogan, dengan sikap yang seakan-
akan ilmiah, terlalu a priori terhadap yang lain. Inklusivisme tidak mampu
bersikap konsisten dalam menerjemahkan makna universalitas kasih Allah
sekaligus partikularitas jalan keselamatan yang diyakini. Pluralisme tidak
mampu meneguhkan secara utuh keunikan iman masing-masing.
Ketidakmampuan ketiga paradigma memberi respon terhadap
pluralitas agama-agama masih dibarengi dengan kecenderungan makin
terkikisnya kemanusiaan. Peperangan yang berkecamuk di mana-mana,

74
kerusakan lingkungan hidup, devaluasi makna hubungan keluarga, serta
beraneka persoalan global yang lain, akhirnya bermuara pada turunnya
nilai kemanusiaan itu sendiri. Lebih ironis lagi, tidak jarang semua itu
dilegitimasi oleh nilai-nilai religius, atau paling tidak, didasarkan pada
keabsahan religius. Dalam keadaan demikian yang diperlukan sekarang
adalah keberagamaan (sikap beragama) yang menyentuh langsung pada
persoalan-persoalan dunia secara nyata. Dengan kata lain, dibutuhkan
etika bersama agama-agama yang berwajah liberatif (membebaskan).
Tugas umat beragama secara bersama-sama adalah menemukan dasar
etis yang berwajah ganda, yaitu: (1) etika yang dimiliki semua agama,
yang kemudian dapat menjadi sikap moral yang secara mendasar diakui
oleh agama-agama, (2) etika fungsional dan liberatif, yang membebaskan
dan menempatkan kemanusiaan sebagai kriterium utamanya.

*****
Pertemuan Ke XVI --- UAS

Sumber dan Daftar Bacaan

Bacaan Wajib:

A.P. Budiyono H.D, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman, Jilid
1 (Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius, 1983).
H.A. Mukti Ali, “Dialog dan Kerjasama Agama-agama dalam
Menanggulangi Kemiskinan”, paper disampaikan dalam Pertemuan
Agama-agama yang diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-Gereja
di Indonesia (PGI), Jakarta, Sabtu, 9 Juli 1994.
Huybers, Manusia Mencari Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1982).
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan (PT
Gramedia, Jakarta, 1974).
Komaruddin Hidayat dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan:
Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003).
Seri Dian I, Dialog, Kritik & Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, Cet. II, 1994).

Bacaan Tambahan:

Bruce M. Metzger - Michael D. Coogan (ed), The Oxford Companion to The


Bible (New York: Oxforf University Press, 1993).
Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa (PT Hanindita,
Yogyakarta, Cet. III, 1987).
Chris T.R. Hewer, Understanding Islam, the First Ten Steps (London: SCM
Press, 2006).
Cliford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1981).
Elie Kedourie, Nationalism (Praeger University Series, 1961).

75
James Windrow Sweetman, Islam and Christian Theology, A Study of the
Interpretation of Theological Ideas in the Two Religions, Part II, Vol.
II, (London: Lutterworth Press, 1967).
Jerome Barkow, Leda Cosmides, and John Tooby, The Adapted Mind:
Evolutionary Psychology and the Generation of Culture (New York:
Oxford University Press, 1992).
Johannes Calvijn, Institutie, Boek 1, Hfst. III, 1,2,3 (vertaald door A.
Sizoo, Amsterdam: Uitg. Naamloze Venootschap W-D Meinema, Delft,
Tweede Druk, 1949).
Jonathan Bloom dan Sheila Blair, Islam, A Thousand Years of Faith and
Power (New Heaven & London: Yale University Press, 2002).
Karen Armstrong, A History of God, The 4000-Year Quest of Judaism,
Christianity and Islam (New York: Alfred A. Knopf, 1993).
Kevin J. Christiano, et al., Sociology of Religion: Contemporary
Developments (U.S.: AltaMaira Press, 2001, p. 124).
Linda Smith dan William Raeper, Ide-ide, Filsafat dan Agama, Dulu dan
Sekarang, diterjemahkan dari A Beginner’s Guide to Ideas oleh P.
Hardono Hadi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2000).
Ludwig Feuerbach, The Essence of Christianity (New York, 1957).
Marvin Harris, Cows, Pigs, Wars, Witches: the Riddles of Culture (New
York: Random House, 1974).
Mircea Eliade (Editor in Chief), The Encyclopedia of Religion, Vol. 12 (New
York: Macmillan Publishing Company, 1987).
Nico Syukur Dister, Bapak & Ibu sebagai Simbol Allah (Yogyakarta:
Kanisius, 1983).
Nico Syukur Dister, Filsafat Agama Kristiani (Yogyakarta dan Jakarta:
Yayasan Kanisius dan BPK, 1985).
Pascal Boyer, The Naturalness of Religious Ideas: A Cognitive Theory of
Religion (Berkeley: University of California Press, 1994).
Randolph Nesse (ed.), Evolution and the Capacity for Commitment (New
York: Russell Sage Foundation, 2001).
R. Guardini, Religion und Offenbarung (Wurzburg, 1958).
Richard Sosis, “The Adaptive Value of Religious Ritual” dalam American
Scientist 92.
Robert H. Frank, Passion with Reason: the Strategic Role of the Emotions
(New York: Norton, 1988).
Roy A. Rappaport, Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New
Guinea People, 2nd ed. (New Haven: Yale University Press, 1984).
Rudolf Otto, The Idea of the Holy (Harmondswoth: Penguin Books, 1959).
Scott Atrand, In God We Trust: The Evolutionary Landscape of Religion
(Oxford, New York: Oxford University Press, 2002).
Sutan Takdir Alisyahbana, Antropologi Baru (Djakarta: PT Dian Rakjat,
1968).
S. Paul Schilling, God in the age of Atheism (New York, 1969)
Upacara Tradisional Dalam Kaitannya Dengan Peristiwa Alam dan
Kepercayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, hasil penelitian Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen Kebudayaan Depdikbud,
Yogyakarta 1983/1984).

76
A. Tugas-Tugas :
1. Jelaskanlah Pengalaman beragama dan keberagamaan 1/5 Hal
2. Sebutkanlah Beberapa pendapat tentang agama 5/19
3. Pengertian agama menurut beberapa agama 20/30
4. Pengertian agama menurut 4 ahli + Anda ? (tugas kls UTS)

B. Tugas Kedua : ( Tgl )


5. Jelaskan apakah dimaksudkan dengan Agama ditinjau dari
sudut pandang filsafat Perennial 31/34
6. Sebutkanlah pengertian Agama menurut Islam, Kristen, dan
Budha ??
7. Ada apa dan bagaimana Hubungan antar umat beragama di
Indonesia ? 40/49
8. Sebutkanlah Nilai-nilai universal dalam Refleksi Theologis
tentang agama-agama (lima agama besar) – 49/53
9. Sebutkan dan jelaskanlah makna/arti tiga simbol dari 5
agama di Indonesia.
C. Tugas Ketiga :
1. Apa yang dimaksudkan dengan Toleransi dan Intoleransi
antar umat beragama? berikanlah sebuah contoh !
2. Dialog macam apakah yang perlu dibuat antar umat
beragama di Indonesia ? Berilah contoh thema dialog
antar umat !
3. Sebutkanlah hambatan-hambatan dalam dialog antar
agama. Apa saja hambatan2 tsb?
4. Sebutkanlah unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam
membangun kerukunan antar umat ?

Pertemuan pertama Maret. 2016


(Pukul 12.oo – 13.40 -Kamis dan Jumat
19.30-21.00)

77

Anda mungkin juga menyukai