Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN KRITIS TEOLOGI KRISTEN TERHADAP

TEOLOGI PLURALISME

Makalah Teologi Kontemporer

Oleh:
Paulus Taruk Linggi

Dosen Pengampu MK: Dr. Wilayanto

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI KIBAID


MAKALE

2023

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI ................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

Latar belakang Masalah .................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3

Pengertian Pluralisme ..................................................................................... 3

Sejarah Pluralisme .......................................................................................... 4

Pandangan Umum ........................................................................................... 5

Kritik Terhadap Pluralisme .............................................................................. 6

Pandangan Tentang Alkitab ....................................................................... 6

Pandangan tentang Kristologi ................................................................... 8

Pandangan Tentang Soteriologi .................................................................. 9

Pandangan Tentang Misiologi .................................................................... 10

Pandangan Tentang Agama ........................................................................ 11

Sikap Gereja Terhadap Pluralisme .................................................................. 13

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 14

KEPUSTAKAAN ........................................................................................... 15

i
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Anis Malik Thoha, sebagaimana yang dikutip oleh Taslim HM.Yasin,

mengatalan bahwa “Istilah pluralisme agama sering disalah-pahami, meskipun

terminologi ini telah begitu populer dan tampak disambut antusias secara universal. Hal

ini dapat dilihat dari semakin banyaknya kajian internasional, khususnya setelah Konsili

Vatikan II. Sangat mengejutkan, ternyata tidak banyak yang mencoba men-definisikan

pluralisme agama itu, seakan wacana pluralisme agama sudah disepakati dan menjadi

final, dan untuk itu taken for granted. Karena pengaruhnya yang luas, istilah ini

memerlukan pendefinisian yang jelas baik dari segi arti literalnya maupun dari segi

konteks dimana istilah ini banyak digunakan.”1 Paham pluralisme akan membuat

seseorang menjadi tidak eksklusiv dan konseisten dalam kepercayaannya karena akan

menganggap semua agama sama dan semua kepercayaan adalah benar. Oleh karena itu,

Stevri Indra Lumintang, sebagaimana dikutip oleh Yushak Soesilo mengatakan bahwa,

“Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi

kekristenan. Karena pluralisme bukan sekedar konsep sosiologis, antropologis,

melainkan konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak

dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhmi oleh keadaan

sosial politik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya dan agama, serta diadopsi

oleh semangat globalisasi dan filsafat relativisme yang mengiringinya.”2 Sejalan

1
Taslim HM.Yasin, “Pluralisme Agama Sebuah Keniscayaan”, Jurnal Substantia Vol. 15, no. 1. (April
2013): 134.

2
Yushak Soesilo, “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”, sttintheos.ac.id, diakses
5 Juni 2023, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.

1
2

dengan itu, Martin L. Sinaga sebagaimana dikutip oleh Hariprobowo mengatakan juga

bahwa, “Realitas pluralitas ini menjadi tantangan mendasar bagi agama-agama masa

kini, sehingga kadang-kadang dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai

religiositas. Kemajemukan agama tidak dapat dilihat hanya sebagai fakta sosiologis

belaka, tetapi sangat terkait dengan hal-hal lain, misalnya keselamatan. Klaim-klaim

keselamatan tunggal, atau hanya agama tertentu yang benar dan yang lain salah,

semakin dipertanyakan.”3

Dengan melihat bahaya dari pandangan-pandangan ini, maka sangat penting

untuk memberikan tinjauan kritis tentang pluralisme berdasarkan Alkitab atau teologi

Kristen. Setiap orang Kristen harus memapu memahami imannya secara eksklusif dari

sudut pandang teologis sekalipun berada dalam keanekaragaman kepercayaan dan

kemajemukan agama. Setiap orang Kristen harus mampu membedakan antara toleransi

dan pluralisme agama, sehingga tidak terjebak dalam pengertian yang salah dan

menyimpang dari kebenaran.

3
Martin L. Sinaga, “Misi Gereja Di Tengah Pluralitas Agama Dan Budaya”, Jurnal Orientasi Baru, Vol.
18 no. 1 (April 2009): 34.
BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Pluralisme

Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti banyak atau lebih dari satu.

Kata plural sendiri berakar dari kata latin plus, pluris, yang secara bahasa berarti lebih

dari satu. Dan isme berhubugan dengan paham atau aliran. Dengan demikian secara

etimologi pluralisme bisa dikatakan sesuatu yang lebih dari satu subtansi dan mengacu

kepada adanya realitas dan kenyataan (Rohman & Munir, 2018). 4 Menurut Yafet M.

Paembonan, “Teologi pluralisme sesuai dengan pengertian dan jiwanya, adalah teologi

yang sulit untuk didefinisikan dengan jelas namun lebih gampang digambarkan antara

perpaduan dua warna atau lebih, yaitu teologi yang telah kehilangan warna aslinya,

bukan putih dan bukan juga hitam, melainkan suatu asimilasi atau integrasi seimbang

antara putih dan hitam sehingga menjadi warna abu-abu. Warna abu-abu dari

pluralisme adalah seperti ini, yaitu bukan ajaran Alkitab dan bukan juga ajaran dari Al-

Quran; bukan doktrin Kristen, bukan pula doktrin Budha; bukan Yesus sekaligus bukan

pula allah lain. Itu sebabnya teologi pluralisme disebut juga teologi abu-abu.”5

Dengan demikian, pluralisme sesungguhnya melihat semua agama dan

ajarannya walaupun berbeda, namun sama-sama bermuarah kepada Tuhan yang sama.

Tidak ada agama yang lebih baik atau lebih benar dari agama yang lain. Pluralisme

merupakan gabungan dari semua keyakinan dan agama yang dipadukan dalam

pendekatan sosial, antropologi, dan teologi.

4
Julita Lestari, “Pluralisme Agama Di Indonesia”, Journal of Religious Studies | Volume 1, no. 1, (Juni
2020): 32.

5
Yafet M. Paembonan, “Memahami Tantangan Teologi Pluralisme dan Teologi Pembebasan”, Jurnal
Teologi Berita Hidup, Vol 2, no. 1 (September 2019),:49.

3
4

Sejarah Pluralisme

Munculnya pluralisme tentu mempunyai latar belakang sejarah yang panjang.

Dalam konteks kemajemukan agama, maka pluralisme, secara historis sudah ada sejak

adanya fakta pluralitas agama dalam masyarakat. Dari persfektif kekristenan, sejak

generasi kedua dari manusia pertama, sudah ada kemajemukan agama yang diwakili

oleh kain dan Habel, dan sesudah itu, zaman pendahulu Israel (para Patriakh).6

Istila pluralisme muncul pada masa yang disebut masa pencerahan, tepatnya

pada abad 18 yaitu masa yang disebut titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran

modern, yaitu masa manusia berorientasi pada superioritas akal ( Rasionalisme ) dan

pembebasan akal dari kungkungan doktrin agama. Kemudian muncullah paham

liberalisme yang didalamnya memuat gagasan tentang kebebasan, toleransi, persamaan

dan keragaman atau pluralisme.7 Yushak Soesilo menjelaskan pula bahwa, “Menurut

kesejarahannya, pluralisme dapat dirunut dari mulai munculnya gelombang pemikiran

yang disebut dengan humanisme. Humanisme tersebut kemudian melahirkan

rasionalisme, dan akhirnya berkembang kea rah liberalisme dalam kekristenan.

Liberalisme tersebut pada akhirnya memunculkan variasi-variasi dalam teologi Kristen.

Variasi-variasi dalam teologi Kristen tersebut lebih banyak dipicu oleh pergumulan

sehari-hari yang dihadapi manusia dalam suatu lingkungan masyarakat. Salah satu

varian dari teologi liberal tersebut adalah pluralisme.” 8 Pluralisme juga lahir dari

pergumulan yang dihadapi kekristenan, khususnya yang berada di tengah-tengah

6
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 61.

7
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama, ….:Gema Insani, 2012), 16.

8
Yushak Soesilo, “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”, sttintheos.ac.id,
diakses 6 Juni 2023, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.
4

lingkungan yang begitu beragam baik secara politik, ekonomi, budaya, maupun

kepercayaan.
5

Pandangan Umum Pluralisme

Ajaran Pluralisme tidak hanya bersumber dari satu agama saja atau satu kitab

saja, melainkan menerima semua agama, kitab dan semua keyakinan agama. Akan

tetapi juga menolak klaim-klaim ekslusifisme dalam suatu agama atau kitab. Pluralisme

solah-olah merupakan suatu agama atau keyakinan yang lebih baik dan sempurna

karena merupakan gabungan dari semua agama dan keyakinan serta penolakan klaim-

klaim kebenaran khusus dari semua agama. Pluralisme terbuka dan menerima semua

agama dan ajarnnya tetapi menolak klaim kebenaran pribadi. “Dengan kata lain bahwa,

pluralisme adalah paham yang mengakui adanya satu kebenaran yang dilihat dari sudut

pandang yang berbeda. Karena itu, penganut pluralisme memiliki suatu sikap terbuka

terhadap adanya kebenaran, bahkan menerima kebenaran yang ada dalam agama-agama

lain.”9 Pluralisme tidak bisa dipisahkan dengan makna pluralitas. Pluralisme

merupakan proses yang bisa menerjemahkan realitas keragaman dan sistem nilai, sikap

yang menjadi kohesi sosial yang berkelanjutan. Sedangkan Pluralitas adalah perbedaan

dalam persoalan budaya, etnik, agama. Pluralisme adalah paham atau ideologi yang

menerima keberagaman sebagai nilai positif dan keragaman itu merupakan sesuatu yang

empiris. Selain nilai positif juga diimbangi dengan upaya penyesuaian dan negosiasi di

antara mereka. Tanpa memusnakan sebagian dari keragaman, pluralisme juga

mengasumsikan adanya penerimaan (Rohman & Munir, 2018).10 Jadi dapat dikatakan

bahwa pluralisme merupakan pandangan dari sebagian orang yang menganggap bahwa

keselamatan ada dalam semua agama. Benang merah dari paradikma kaum pluralisme

adalah pengakuan terhadap semua agama sebagai jalan kebenaran dan keselamatan.

9
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 41.

10
Julita Lestari, “Pluralisme Agama Di Indonesia”, Journal of Religious Studies | Volume 1, no. 1, (Juni
2020): 32.
6

Kritik Tehadap Teologi Pluralisme

Ada begitu banyak penyimpangan yang dilakukan oleh kaum pluralitas, baik

dalam hal agama, dan juga dalam hal teologi. Namun karena makalah ini terbatas,

maka hanya beberapa hal yang akan dikritisi, secara khusus yang berkaitan dengan

kekristenan dan teologi.

Pandangan Tentang Alkitab

Kaum pluralitas tidak mengakui keotentikan Alkitab dan memandangnya bukan

sebagai Firman Allah tetapi hanya berisi Firman Allah. “Penolakan kaum pluralis

terhadap finalitas Yesus, adalah bertolak dari hasil studi kritik Alkitab para teolog

Historis Kritis, yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya mengoreksi

Alkitab, dan yang menyatakan bahwa Alkitab bukanlah Firman Allah, tulisan-tulisan

Injil bukanlah laporan tentang Yesus yang historis, melainkan Yesus yang imani. 11

Kaum Pluralis berpendapat bahwa Injil ditulis berdasarkan iman para penulisnya saja

dan bukan berdasarkan fakta sejarah. “Para penulis menulis Injil hanya berdasarkan

berita-berita yang mereka kumpulkan dan berdasarkan iman mereka, dan sangat

diragukan otentitas dan historitas kebenaran tersebut. Karena itu, tulisan2 Injil adalah

berisi mitos-mitos dari para penulis Injil. Para penafsir harus menyingkirkan mitos-

mitos, khususnya berkenaan dengan hal-hal yang tidak masuk akal. 12 Jadi karena pada

dasarnya, kaum pluralis menolak sama sekali doktrin inspirasi dan finalitas Alkitab,

itulah sebabnya Alkitab hanya dimengerti bahwa hanya sebagian isinya yang adalah

Firman Allah, bukan semuanya. “Mereka sangat tidak menyukai konsep partikularitas

kebenaran, , atau finalitas kebenaran Alkitab.”13

11
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 95.
12
Ibid, 96.
13
Ibid, 123.
7

Tangapan

Sudah jelas bahwa kaum pluralis dapat salah memahami dan menafsirkan

Alkitab karena kaum pluralis memang menyalahi syarat pertama dan utama sebagai

penafsir Alkitab yakni telah lahir baru atau diselamatkan di dalam Kristus. Hasan

Sutanto mengatakan bahwa, “Sudah tentu seorang yang belum dilahirkan kembali, juga

dapat membaca kata-kata yang tercantum dalam Alkitab, tetapi ini tidak berarti ia sudah

memahami, apalagi percaya apa yang tertulis dalam Alkitab. Bagi dia, hal-hal rohani

merupakan kebodohan, atau tidak masuk akal (I Kor. 2:14). Perhatian orang-orang

yang belum diselamatkan biasanya berfokus pada hal-hal duniawi, kepentingan pribadi,

atau yang bersifat sementara. Mereka suka mengkritik Firmn Allah dengan pikiran

yang sempit. Rasul Paulus adalah sebagai contoh. Sebelum diterangi oleh Tuhan,

Paulus mengira ia sudah memahami Alkitab, sehingga dia sibuk menangkap pengikut

Tuhan Yesus. Tetapi setelah dilahirkan kembali, barulah ia benar-benar memahami

Alkitab.”14 Kesalahan fatal penafsiran teolog pluralisme terletak pada tidak menafsirkan

Alkitab secara keseluruhan dan sesuai konteksnya, tetapi secara terpisah-pisah. Teolog

Pluralis gagal pula memahami sebuah fakta bahwa sekalipun Alkitab ditulis oleh

puluhan orang dari latar belakang dan waktu yang berbeda-beda, namun tetap memiliki

benang merah yang sama, dan sudah pasti bahwa hal tersebut bisa terjadi oleh karena

ada kuasa yang menerangi yakni kuasa Roh Kudus. Demikian juga pernyataan bahwa

kitab-kitab Injil hanya ditulis berdasarkan iman dan bukan fakta sejarah, tentu pendapat

ini tidak berdasar dan tidak benar. Salah satu contoh, jika seandainya penulis-penulis

Injil hanya menulis berdasarkan iman, maka tentu kisah penolakan Yudas terhadap

kebangkitan Yesus tidak akan dituliskan.

14
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip Dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang: SAAT, 2007), 21-22.
8

Pandangan Tentang Kristologi

Song sebagai salah satu tokoh Pluralisme Asia hanya menekankan kemanusiaan

Yesus. Ia melihat Yesus hanya sebagai manusia biasa yang didiami oleh Allah.

Menurut Song, hal ini tampak dalam konsep inkarnasi-Nya, bahwa inkarnasi Yesus

adalah mendiami seorang manusia, yaitu manusia Yesus Kristus. Lebih lanjut ia

berpendapat bahwa Yesus Kristus dapat berinkarnasi lebih dari satu kali, melalui

manusia atau tokoh agama dan budaya. Bahkan ia pun berpendapat bahwa Yesus

adalah tokoh agama besar yang sejajar dengan tokoh agama lain.15

Tanggapan

Pandangan ini sangat keliru, karena memahami proses inkarnasi dengan cara

yang salah yakni sebagai kedatangan Allah dalam diri manusia yaitu Yesus. Hal ini

memberikan bukti bahwa Song sebenarnya tidak mengerti arti dari inkarnasi.

Pandangan ini tidak ada bedanya dengan Iblis masuk dalam diri mansuia atau merasuki

manusia, di mana Iblis dapat saja meninggalkan atau keluar kembali dari diri manusia.

Proses inkarnasi bukanlah Allah yang datang mendiami manusia atau tinggal dalam diri

manusia, tetapi Allah menjadi manusia, yang disebut Immanuel. Arti dari Inkarnasi

adalah “menjadi”, yaitu Allah “menjadi manusia”. Allah menjadi manusia yang

disebut Yesus artinya, Yesus adalah Allah, bukan Yesus didiami oleh Allah. Hal ini

pula sekaligus menjadi alasan dan bukti bahwa Yesus Adalah Allah dan manusia.

Yesus adalah manusia karena Ia lahir dari manusia, memiliki tubuh fisik, jiwa, dan

pikiran manusia, mengalami keterbatasan manusia seperti lapar, dan sebagainya. Tetapi

Yesus juga adalah Allah, karena Allahlah yang menjadi manusia yang diberi nama

Yesus. Perbedaan Yesus dengan manusia yang lainnya adalah, Ia tetap suci dan tidak

15
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 299.
9

berdosa, karena Dia adalah Allah yang tidak mungkin berdosa. Demikian juga

pernyataan bahwa Yesus adalah tokoh besar yang sejajar dengan tokoh-tokoh agama

yang lain, adalah pandangan yang sangat menyimpang dan sengaja mengabaikan fakta

sejarah yakni segala mujizat yang telah dilakukan Yesus, yang tidak dapat dilakukan

oleh tokoh-tokoh agama lainnya. Dalam kemanusiaan-Nya, benar bahwa Dia sama

dengan tokoh-tokoh agama lainnya, bahkan sama dengan manusia lainnya, tetapi

mujizat-mujizat-Nya telah menjadi bukti juga bahwa Dia adalah Allah.

Pandangan Tentang Soteriologi

“Song memahami seluruh sejarah adalah sejarah Allah dan sejarah keselamatan.

Allah bekerja di dalam sejarah dalam arif bijaksana, melalui para raja, dan petani,

melalui kita semua. Song juga menolak kalau pembenaran hanya oleh iman, melainkan

juga oleh perbuatan baik. Song menolak konsep sejarah keselamatan yang linear dan

sempit, yang kristosentris, atau dengan kata lain menolak finalitas Yesus.” 16 Jadi bagi

kaum pluralisme, keselamatan tidak hanya berpusat kepada Kristus (Kristosentris),

tetapi juga ada dalam agama-agama lain bahkan melalui perbuatan manusia. Menurut

kaum pluralis, “Kekristenan harus dipandang sebagai salah satu diantara banyak

agama, dan Yesus sebagai salah satu Juruselamat diantara banyak juruselamat

lainnya.”17

Tanggapan

Jika Alkitab ditafsirkan dengan benar, maka penafsir pasti akan tiba pada

sebuah kesimpulan bahwa keselamatan hanya melalui anugerah di dalam Yesus Kristus.

16
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 298.

17
Yushak Soesilo, “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”, sttintheos.ac.id,
diakses 8 Juni 2023, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.
10

Bahkan dengan mengandalkan logika berpikir saja, dapat dipahami bahwa jika semua

manusia telah berdosa maka tidak mungkin manusia yang berdosa itu dapat

menyelamatkan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Dengan demikian, harus ada pihak

lain atau cara lain, untuk menyelamatkan manusia, dan pihak lain selain dari Allah dan

cara-Nya sendiri tidak mungkin ada. Artinya, hanya Allah yang dapat menyelamatkan

manusia dengan cara-Nya sendiri, dan itulah yang dikerjakan-Nya di dalam Yesus

Kristus berdasarkan informasi Alkitab. “Dosa manusia merupakan pelanggaran

terhadap Allah, maka hanya Allah yang dapat menyelesaikan persoalan dosa.” 18 Allah

datang ke dunia menjadi manusia (berinkarnasi) untuk menyelesaikan persoalan dosa

dan mengerjakan keselamatan di kayu salib. Karenanya, sebelum Yesus lahir ke dunia

untuk mengerjakan karya penyelamatan, para nabi sudah menubuatkan-Nya jauh

sebelumnya. Kematian-Nya di kayu salib merupakan fakta sejarah yang tidak

terbantahkan. Keselamatan bersifat kristosentris karena hanya Yesus yang adalah Allah

yang menjadi manusia, tidak ada yang lain. Kesimpulannya hanya satu, Yesus Kristus

satu-satunya Juruselamat.

Pandangan Tentang Misiologi

Misi menurut Song ialah untuk mengembangkan kerajaan Allah. Namun

menurutnya bahwa pekerjaan pengembangan kerajaan Allah adalah sangat luas, berada

di luar kemampuan gereja, oleh karena itu, gereja perlu bekerja sama dengan dunia

untuk mencapai tujuan ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tekanan misi yang utama

bukanlah masalah Surga, karena Surga adalah urusan Allah, kita tidak boleh

mencampurinya. Song menekankan bahwa misi utama Kristen haruslah misi kasih,

18
David Pan Purnomo, Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, (Malang: SAAT, 1997), 21.
11

bukan mengutamakan kebenaran, karena bagi dia, kebenaran itu hanyalah menghakimi,

mempolarisasikan dan memilah.19 Konsep misi dalam pluralisme hanya sebatas konsep

humanis, bukan konsep yang alkitabiah, dan hanya sebatas dunia saja.

Tanggapan

Song dan para penganut pluralitas sangat terbatas untuk memahami arti dari

Missio Dei. Misi sesungguhnya berawal dan berangkat dari Allah (Missio Dei) dan

tentu bersifat rohani, yaitu kasih Allah kepada manusia yang akan binasa. Misi Allah

merupakan misi penyelamatan manusia agar manusia pada saatnya berkumpul dengan

Allah dalam keabadian di Sorga. Artinya, hasil dari Missio Dei melampaui ruang

lingkup dunia, karena selain menyelamatkan manusia dari hukuman, juga menyediakan

tempat keabadian di Sorga. Gereja sebagai agen Allah di dunia tentu bertanggung

jawab untuk mengerjakan misinya yang bersumber dari Missio Dei. Tri panggilan

gereja merupakan inti tugas gereja yang harus dikerjakan, yakni: Bersekutu, bersaksi,

dan melayani. Bersaksi merupakan tugas gereja dengan tujuan memperluas kerajaan

Allah di mana banyak orang diselamatkan dari hukuman dosa. Misi gereja adalah misi

kasih yang tersimpul dalam kebenaran, sehingga kasih dan kebenaran tidak dapat

dipisahkan oleh gereja. Amanat Agung yang diberikan oleh Yesus kepada murid-

murid-Nya, dan yang ditegaskan kembali di bukit saitun sebelum Ia naik ke Sorga,

harus dikerjakan oleh gereja secara bertanggung jawab dan kontinu sampai kedatang

Yesus kembali.

Pandangan Tentang Agama

Kaum pluralis lebih memandang semua agama adalah sama, tidak ada yang

lebih baik dari yang lain, demikian sebaliknya, tidak ada yang lebih jahat. Semua

19
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 299-230.
12

agama mengajarkan kebaikan dan memiliki keselamatan. John Hick, seorang pluralis

yang terkemuka dalam menyuarakan pandangannya, sebagaimana dikutip oleh Daniel

Winardi, menyatakan: Kita tidak mungkin memberikan penilaian secara global tentang

tradisi agama mana yang lebih banyak berbuat baik atau jahat dan dinilai secara

keseluruhan, semua agama setara antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,

tidak ada satupun yang dapat dianggap superior. 20 Demikian juga Netland, yang

dikutip oleh Daniel Winardi, mengtakan bahwa Pluralisme agama merupakan paham

yang mengatakan bahwa, keselamatan harus diakui ada di semua agama dan tidak ada

agama yang dapat mengklaim dirinya normatif atau superior dibanding agama-agama

lain.21

Tanggapan

Tentu saja tidak dapat disangkal bahwa ada kesamaan-kesamaan di antara

agama-agama dunia, tapi kesamaan-kesamaan itu hanya di permukaan saja, bukan yang

bersifat fundamental. Alkitab dan Quran sama-sama menulis tentang Yesus, tetapi

Yesus dalam Alkitab, disalibkan dan mati, sedangkan Yesus dalam Quran tidak disalib

dan tidak mati. Pandangan kaum pluralis tentang semua agama adalah sama merupakan

pandangan yang salah besar, karena sampai kapan pun hal yang fundamental dalam

setiap agama tidak akan pernah sama. Jika ditinjau secara teologis, baik dalam agama

Kristen maupun agama lainnya tentu akan menolak pluralisme agama. Agama-agama

dapat hidup berdampingan dalam prinsip moderasi, tetapi dalam hal yang lebih

subsansial tentu memiliki kesenjangan perbedaan. Sangat penting untuk menghormati

hak setiap orang untuk memiliki keyakinan agama sendiri, namun begitu penitng juga

20
Daniel Winardi, “Iman Kristen di Tengah Tantangan Pluralisme Agama”, Diligentia: Journal of
Theology and Christian Education, (30 Sept. 2021): 214.

21
Ibid.
13

untuk mengakui perbedaan yang ada diantara agama-agama. Setiap agama memiliki

klaim eksklusifitas masing-masing yang harus dihargai tetapi tidak berarti harus

menerima dan meyakini klaim eksklusifitas agama lain. Dapat dikatakan bahwa, semua

agama mengajarkan kebaikan, tetapi tidak semua mengajarkan jalan keselamatan yang

benar.

Sikap Gereja Terhadap Pluralisme

Sikap Gereja menghadapi pluralisme tentu harus tetap berpegang pada prinsip

Alkitab. Gereja yang benar adalah gereja yang tetap mendasarkan pemahamnnya di

atas Alkitab sebagai Firman Allah. Menurut Yushak Soesilo, “Gereja yang benar

adalah Gereja yang tetap menjunjung tinggi dan menghormati Alkitab sebagai Firman

Allah, yang tidak mungkin terdapat kesalahan di dalamnya, dan tetap relevan bagi

segala zaman dan tempat.”22 Keeksklusivan yang dimiliki oleh orang percaya

berdasarkan Alkitab, harus tetap dipertahankan dan tidak boleh dikorbankan. Alkitab

dengan tegas menyampaikan keselamatan yang hanya melalui Yesus Kristus. Gereja

harus tetap waspada terhadap kaum pluralisme yang terus berusaha memanipulasi

Alkitab. Alkitab harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai sumber

kebenaran yang sebenarnya. “Puncak keeksklusivan kekristenan adalah terdapat pada

diriYesus Kristus sendiri. Dalam agama lain, Yesus memang dikenal tetapi tidak secara

utuh.”23 Di satu sisi, gereja harus hidup bermoderasi dan toleransi dengan agama-agama

lainnya, tetapi pada sisi yang lain, gereja harus bersikap ekslusif dalam pemahaman

teologi yang benar.

22
Yushak Soesilo, “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”, sttintheos.ac.id,
diakses 8 Juni 2023, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.

23
Ibid.
14

BAB III

KESIMPULAN

Teologi Pluralisme merupakan teologi campur baur yang menerima keberadaan

semua agma, tetapi menolak sebagian isi kitab-kitab suci yang bersifat eksklusif dari

agama-agama, karena selalu bertolak pada fakta kemajemukan dan diikuti oleh tuntunan

toleransi, keadaan sosial politik, keragaman etnis, budaya, globalisasi, serta filsafat

relativisme dan liberalisme. Gaya berpikir kaum pluralis lebih kepada gabungan

filsafat, teologi, sekularisme dan liberalisme. Pluralisme seakan-akan menawarkan

suatu agama baru atau keyakinan baru yang lebih baik dan sempurna karena merupakan

perpaduan dari semua agama dan keyakinan.

Pandangan kaum pluralisme perlu dikritisi, baik oleh kekristenan maupun oleh

agama-agama lain, karena sering mengabaikan hal-hal yang bersifat fundamental dari

agama-agama dan hanya menggiring kepada pemahaman kemajemukan. Begitu banyak

hal yang eksklusif dari Alkitab yang diabaikan bahkan membuatnya berkesimpulan

kalau Alkitab hanya berisi Firman Allah dan mitos-mitos. Pluralisme gagal memahami

konsep yang benar tentang inneransi Alkitab, Kristologi, Soteriologi, Misiologi, dan

masih banyak prinsip lainnya. Yang benar ialah, setiap agama memiliki klaim

eklsklusifitas masing-masing yang harus dihargai tetapi tidak berbarti harus menerima

dan menyetujui eksklusifitas agama lain. Dalam menghadapai teologi Pluralis, Gereja

harus memiliki sikap yang konsisten terhadap ajaran Alkitab dan resisten terhadap

paham yang keliru. Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruselamat manusia, tidak ada

yang lain. Di satu sisi, gereja harus hidup bermoderasi dan toleransi dengan agama

lainnya, tetapi pada sisi yang lain, gereja harus bersikap ekslusif. Kepada Timotius,

Rasul Paulus menegaskan, Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu (ITim. 4:16).
15

KEPUSTAKAAN

Lumintang, Stevri Indra. Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas,
2020.

Lestari, Julita .Pluralisme Agama Di Indonesia. Journal of Religious Studies | Volume


1, no. 1, Juni 2020.

Toha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama-Tinjauan Kritis. Jakarta: Gema Insani, 2012.

Paembonan, Yafet M. “Memahami Tantangan Teologi Pluralisme dan Teologi


Pembebasan”, Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 2, no. 1 September 2019.

Purnomo, David Pan. Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer. Malang:


SAAT, 1997.

Soesilo, Yushak. “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”,


https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.
sttintheos.ac.id, diakses 8 Juni 2023.

Sutanto, Hasan. Hermeneutik: Prinsip Dan Metode Penafsiran Alkitab. Malang:


SAAT, 2007.

Sinaga, Martin L. “Misi Gereja Di Tengah Pluralitas Agama Dan Budaya”, Jurnal
Orientasi Baru, Vol. 18 no. 1 April 2009.

Winardi, Daniel. “Iman Kristen di Tengah Tantangan Pluralisme Agama”, Diligentia:


Journal of Theology and Christian Education, 30 Sept. 2021.

Yasin, Taslim HM. “Pluralisme Agama Sebuah Keniscayaan”, Jurnal Substantia Vol.
15, no. 1. April 2013.

Anda mungkin juga menyukai