TEOLOGI PLURALISME
Oleh:
Paulus Taruk Linggi
2023
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
KEPUSTAKAAN ........................................................................................... 15
i
BAB I
PENDAHULUAN
terminologi ini telah begitu populer dan tampak disambut antusias secara universal. Hal
ini dapat dilihat dari semakin banyaknya kajian internasional, khususnya setelah Konsili
Vatikan II. Sangat mengejutkan, ternyata tidak banyak yang mencoba men-definisikan
pluralisme agama itu, seakan wacana pluralisme agama sudah disepakati dan menjadi
final, dan untuk itu taken for granted. Karena pengaruhnya yang luas, istilah ini
memerlukan pendefinisian yang jelas baik dari segi arti literalnya maupun dari segi
konteks dimana istilah ini banyak digunakan.”1 Paham pluralisme akan membuat
seseorang menjadi tidak eksklusiv dan konseisten dalam kepercayaannya karena akan
menganggap semua agama sama dan semua kepercayaan adalah benar. Oleh karena itu,
Stevri Indra Lumintang, sebagaimana dikutip oleh Yushak Soesilo mengatakan bahwa,
“Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi
melainkan konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak
dari fakta kemajemukan yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhmi oleh keadaan
sosial politik yang didukung oleh kemajemukan etnis, budaya dan agama, serta diadopsi
1
Taslim HM.Yasin, “Pluralisme Agama Sebuah Keniscayaan”, Jurnal Substantia Vol. 15, no. 1. (April
2013): 134.
2
Yushak Soesilo, “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”, sttintheos.ac.id, diakses
5 Juni 2023, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.
1
2
dengan itu, Martin L. Sinaga sebagaimana dikutip oleh Hariprobowo mengatakan juga
bahwa, “Realitas pluralitas ini menjadi tantangan mendasar bagi agama-agama masa
religiositas. Kemajemukan agama tidak dapat dilihat hanya sebagai fakta sosiologis
belaka, tetapi sangat terkait dengan hal-hal lain, misalnya keselamatan. Klaim-klaim
keselamatan tunggal, atau hanya agama tertentu yang benar dan yang lain salah,
semakin dipertanyakan.”3
untuk memberikan tinjauan kritis tentang pluralisme berdasarkan Alkitab atau teologi
Kristen. Setiap orang Kristen harus memapu memahami imannya secara eksklusif dari
kemajemukan agama. Setiap orang Kristen harus mampu membedakan antara toleransi
dan pluralisme agama, sehingga tidak terjebak dalam pengertian yang salah dan
3
Martin L. Sinaga, “Misi Gereja Di Tengah Pluralitas Agama Dan Budaya”, Jurnal Orientasi Baru, Vol.
18 no. 1 (April 2009): 34.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal dari kata “plural” yang berarti banyak atau lebih dari satu.
Kata plural sendiri berakar dari kata latin plus, pluris, yang secara bahasa berarti lebih
dari satu. Dan isme berhubugan dengan paham atau aliran. Dengan demikian secara
etimologi pluralisme bisa dikatakan sesuatu yang lebih dari satu subtansi dan mengacu
kepada adanya realitas dan kenyataan (Rohman & Munir, 2018). 4 Menurut Yafet M.
Paembonan, “Teologi pluralisme sesuai dengan pengertian dan jiwanya, adalah teologi
yang sulit untuk didefinisikan dengan jelas namun lebih gampang digambarkan antara
perpaduan dua warna atau lebih, yaitu teologi yang telah kehilangan warna aslinya,
bukan putih dan bukan juga hitam, melainkan suatu asimilasi atau integrasi seimbang
antara putih dan hitam sehingga menjadi warna abu-abu. Warna abu-abu dari
pluralisme adalah seperti ini, yaitu bukan ajaran Alkitab dan bukan juga ajaran dari Al-
Quran; bukan doktrin Kristen, bukan pula doktrin Budha; bukan Yesus sekaligus bukan
pula allah lain. Itu sebabnya teologi pluralisme disebut juga teologi abu-abu.”5
ajarannya walaupun berbeda, namun sama-sama bermuarah kepada Tuhan yang sama.
Tidak ada agama yang lebih baik atau lebih benar dari agama yang lain. Pluralisme
merupakan gabungan dari semua keyakinan dan agama yang dipadukan dalam
4
Julita Lestari, “Pluralisme Agama Di Indonesia”, Journal of Religious Studies | Volume 1, no. 1, (Juni
2020): 32.
5
Yafet M. Paembonan, “Memahami Tantangan Teologi Pluralisme dan Teologi Pembebasan”, Jurnal
Teologi Berita Hidup, Vol 2, no. 1 (September 2019),:49.
3
4
Sejarah Pluralisme
Dalam konteks kemajemukan agama, maka pluralisme, secara historis sudah ada sejak
adanya fakta pluralitas agama dalam masyarakat. Dari persfektif kekristenan, sejak
generasi kedua dari manusia pertama, sudah ada kemajemukan agama yang diwakili
oleh kain dan Habel, dan sesudah itu, zaman pendahulu Israel (para Patriakh).6
Istila pluralisme muncul pada masa yang disebut masa pencerahan, tepatnya
pada abad 18 yaitu masa yang disebut titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran
modern, yaitu masa manusia berorientasi pada superioritas akal ( Rasionalisme ) dan
dan keragaman atau pluralisme.7 Yushak Soesilo menjelaskan pula bahwa, “Menurut
Variasi-variasi dalam teologi Kristen tersebut lebih banyak dipicu oleh pergumulan
sehari-hari yang dihadapi manusia dalam suatu lingkungan masyarakat. Salah satu
varian dari teologi liberal tersebut adalah pluralisme.” 8 Pluralisme juga lahir dari
6
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 61.
7
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama, ….:Gema Insani, 2012), 16.
8
Yushak Soesilo, “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”, sttintheos.ac.id,
diakses 6 Juni 2023, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.
4
lingkungan yang begitu beragam baik secara politik, ekonomi, budaya, maupun
kepercayaan.
5
Ajaran Pluralisme tidak hanya bersumber dari satu agama saja atau satu kitab
saja, melainkan menerima semua agama, kitab dan semua keyakinan agama. Akan
tetapi juga menolak klaim-klaim ekslusifisme dalam suatu agama atau kitab. Pluralisme
solah-olah merupakan suatu agama atau keyakinan yang lebih baik dan sempurna
karena merupakan gabungan dari semua agama dan keyakinan serta penolakan klaim-
klaim kebenaran khusus dari semua agama. Pluralisme terbuka dan menerima semua
agama dan ajarnnya tetapi menolak klaim kebenaran pribadi. “Dengan kata lain bahwa,
pluralisme adalah paham yang mengakui adanya satu kebenaran yang dilihat dari sudut
pandang yang berbeda. Karena itu, penganut pluralisme memiliki suatu sikap terbuka
terhadap adanya kebenaran, bahkan menerima kebenaran yang ada dalam agama-agama
merupakan proses yang bisa menerjemahkan realitas keragaman dan sistem nilai, sikap
yang menjadi kohesi sosial yang berkelanjutan. Sedangkan Pluralitas adalah perbedaan
dalam persoalan budaya, etnik, agama. Pluralisme adalah paham atau ideologi yang
menerima keberagaman sebagai nilai positif dan keragaman itu merupakan sesuatu yang
empiris. Selain nilai positif juga diimbangi dengan upaya penyesuaian dan negosiasi di
mengasumsikan adanya penerimaan (Rohman & Munir, 2018).10 Jadi dapat dikatakan
bahwa pluralisme merupakan pandangan dari sebagian orang yang menganggap bahwa
keselamatan ada dalam semua agama. Benang merah dari paradikma kaum pluralisme
adalah pengakuan terhadap semua agama sebagai jalan kebenaran dan keselamatan.
9
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 41.
10
Julita Lestari, “Pluralisme Agama Di Indonesia”, Journal of Religious Studies | Volume 1, no. 1, (Juni
2020): 32.
6
Ada begitu banyak penyimpangan yang dilakukan oleh kaum pluralitas, baik
dalam hal agama, dan juga dalam hal teologi. Namun karena makalah ini terbatas,
maka hanya beberapa hal yang akan dikritisi, secara khusus yang berkaitan dengan
sebagai Firman Allah tetapi hanya berisi Firman Allah. “Penolakan kaum pluralis
terhadap finalitas Yesus, adalah bertolak dari hasil studi kritik Alkitab para teolog
Alkitab, dan yang menyatakan bahwa Alkitab bukanlah Firman Allah, tulisan-tulisan
Injil bukanlah laporan tentang Yesus yang historis, melainkan Yesus yang imani. 11
Kaum Pluralis berpendapat bahwa Injil ditulis berdasarkan iman para penulisnya saja
dan bukan berdasarkan fakta sejarah. “Para penulis menulis Injil hanya berdasarkan
berita-berita yang mereka kumpulkan dan berdasarkan iman mereka, dan sangat
diragukan otentitas dan historitas kebenaran tersebut. Karena itu, tulisan2 Injil adalah
berisi mitos-mitos dari para penulis Injil. Para penafsir harus menyingkirkan mitos-
mitos, khususnya berkenaan dengan hal-hal yang tidak masuk akal. 12 Jadi karena pada
dasarnya, kaum pluralis menolak sama sekali doktrin inspirasi dan finalitas Alkitab,
itulah sebabnya Alkitab hanya dimengerti bahwa hanya sebagian isinya yang adalah
Firman Allah, bukan semuanya. “Mereka sangat tidak menyukai konsep partikularitas
11
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 95.
12
Ibid, 96.
13
Ibid, 123.
7
Tangapan
Sudah jelas bahwa kaum pluralis dapat salah memahami dan menafsirkan
Alkitab karena kaum pluralis memang menyalahi syarat pertama dan utama sebagai
penafsir Alkitab yakni telah lahir baru atau diselamatkan di dalam Kristus. Hasan
Sutanto mengatakan bahwa, “Sudah tentu seorang yang belum dilahirkan kembali, juga
dapat membaca kata-kata yang tercantum dalam Alkitab, tetapi ini tidak berarti ia sudah
memahami, apalagi percaya apa yang tertulis dalam Alkitab. Bagi dia, hal-hal rohani
merupakan kebodohan, atau tidak masuk akal (I Kor. 2:14). Perhatian orang-orang
yang belum diselamatkan biasanya berfokus pada hal-hal duniawi, kepentingan pribadi,
atau yang bersifat sementara. Mereka suka mengkritik Firmn Allah dengan pikiran
yang sempit. Rasul Paulus adalah sebagai contoh. Sebelum diterangi oleh Tuhan,
Paulus mengira ia sudah memahami Alkitab, sehingga dia sibuk menangkap pengikut
Alkitab.”14 Kesalahan fatal penafsiran teolog pluralisme terletak pada tidak menafsirkan
Alkitab secara keseluruhan dan sesuai konteksnya, tetapi secara terpisah-pisah. Teolog
Pluralis gagal pula memahami sebuah fakta bahwa sekalipun Alkitab ditulis oleh
puluhan orang dari latar belakang dan waktu yang berbeda-beda, namun tetap memiliki
benang merah yang sama, dan sudah pasti bahwa hal tersebut bisa terjadi oleh karena
ada kuasa yang menerangi yakni kuasa Roh Kudus. Demikian juga pernyataan bahwa
kitab-kitab Injil hanya ditulis berdasarkan iman dan bukan fakta sejarah, tentu pendapat
ini tidak berdasar dan tidak benar. Salah satu contoh, jika seandainya penulis-penulis
Injil hanya menulis berdasarkan iman, maka tentu kisah penolakan Yudas terhadap
14
Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip Dan Metode Penafsiran Alkitab, (Malang: SAAT, 2007), 21-22.
8
Song sebagai salah satu tokoh Pluralisme Asia hanya menekankan kemanusiaan
Yesus. Ia melihat Yesus hanya sebagai manusia biasa yang didiami oleh Allah.
Menurut Song, hal ini tampak dalam konsep inkarnasi-Nya, bahwa inkarnasi Yesus
adalah mendiami seorang manusia, yaitu manusia Yesus Kristus. Lebih lanjut ia
berpendapat bahwa Yesus Kristus dapat berinkarnasi lebih dari satu kali, melalui
manusia atau tokoh agama dan budaya. Bahkan ia pun berpendapat bahwa Yesus
adalah tokoh agama besar yang sejajar dengan tokoh agama lain.15
Tanggapan
Pandangan ini sangat keliru, karena memahami proses inkarnasi dengan cara
yang salah yakni sebagai kedatangan Allah dalam diri manusia yaitu Yesus. Hal ini
memberikan bukti bahwa Song sebenarnya tidak mengerti arti dari inkarnasi.
Pandangan ini tidak ada bedanya dengan Iblis masuk dalam diri mansuia atau merasuki
manusia, di mana Iblis dapat saja meninggalkan atau keluar kembali dari diri manusia.
Proses inkarnasi bukanlah Allah yang datang mendiami manusia atau tinggal dalam diri
manusia, tetapi Allah menjadi manusia, yang disebut Immanuel. Arti dari Inkarnasi
adalah “menjadi”, yaitu Allah “menjadi manusia”. Allah menjadi manusia yang
disebut Yesus artinya, Yesus adalah Allah, bukan Yesus didiami oleh Allah. Hal ini
pula sekaligus menjadi alasan dan bukti bahwa Yesus Adalah Allah dan manusia.
Yesus adalah manusia karena Ia lahir dari manusia, memiliki tubuh fisik, jiwa, dan
pikiran manusia, mengalami keterbatasan manusia seperti lapar, dan sebagainya. Tetapi
Yesus juga adalah Allah, karena Allahlah yang menjadi manusia yang diberi nama
Yesus. Perbedaan Yesus dengan manusia yang lainnya adalah, Ia tetap suci dan tidak
15
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 299.
9
berdosa, karena Dia adalah Allah yang tidak mungkin berdosa. Demikian juga
pernyataan bahwa Yesus adalah tokoh besar yang sejajar dengan tokoh-tokoh agama
yang lain, adalah pandangan yang sangat menyimpang dan sengaja mengabaikan fakta
sejarah yakni segala mujizat yang telah dilakukan Yesus, yang tidak dapat dilakukan
oleh tokoh-tokoh agama lainnya. Dalam kemanusiaan-Nya, benar bahwa Dia sama
dengan tokoh-tokoh agama lainnya, bahkan sama dengan manusia lainnya, tetapi
“Song memahami seluruh sejarah adalah sejarah Allah dan sejarah keselamatan.
Allah bekerja di dalam sejarah dalam arif bijaksana, melalui para raja, dan petani,
melalui kita semua. Song juga menolak kalau pembenaran hanya oleh iman, melainkan
juga oleh perbuatan baik. Song menolak konsep sejarah keselamatan yang linear dan
sempit, yang kristosentris, atau dengan kata lain menolak finalitas Yesus.” 16 Jadi bagi
tetapi juga ada dalam agama-agama lain bahkan melalui perbuatan manusia. Menurut
kaum pluralis, “Kekristenan harus dipandang sebagai salah satu diantara banyak
agama, dan Yesus sebagai salah satu Juruselamat diantara banyak juruselamat
lainnya.”17
Tanggapan
Jika Alkitab ditafsirkan dengan benar, maka penafsir pasti akan tiba pada
sebuah kesimpulan bahwa keselamatan hanya melalui anugerah di dalam Yesus Kristus.
16
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 298.
17
Yushak Soesilo, “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”, sttintheos.ac.id,
diakses 8 Juni 2023, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.
10
Bahkan dengan mengandalkan logika berpikir saja, dapat dipahami bahwa jika semua
manusia telah berdosa maka tidak mungkin manusia yang berdosa itu dapat
menyelamatkan dirinya sendiri, apalagi orang lain. Dengan demikian, harus ada pihak
lain atau cara lain, untuk menyelamatkan manusia, dan pihak lain selain dari Allah dan
cara-Nya sendiri tidak mungkin ada. Artinya, hanya Allah yang dapat menyelamatkan
manusia dengan cara-Nya sendiri, dan itulah yang dikerjakan-Nya di dalam Yesus
terhadap Allah, maka hanya Allah yang dapat menyelesaikan persoalan dosa.” 18 Allah
dan mengerjakan keselamatan di kayu salib. Karenanya, sebelum Yesus lahir ke dunia
terbantahkan. Keselamatan bersifat kristosentris karena hanya Yesus yang adalah Allah
yang menjadi manusia, tidak ada yang lain. Kesimpulannya hanya satu, Yesus Kristus
satu-satunya Juruselamat.
menurutnya bahwa pekerjaan pengembangan kerajaan Allah adalah sangat luas, berada
di luar kemampuan gereja, oleh karena itu, gereja perlu bekerja sama dengan dunia
untuk mencapai tujuan ini. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa tekanan misi yang utama
bukanlah masalah Surga, karena Surga adalah urusan Allah, kita tidak boleh
mencampurinya. Song menekankan bahwa misi utama Kristen haruslah misi kasih,
18
David Pan Purnomo, Menjawab Pertanyaan-Pertanyaan Kontemporer, (Malang: SAAT, 1997), 21.
11
bukan mengutamakan kebenaran, karena bagi dia, kebenaran itu hanyalah menghakimi,
mempolarisasikan dan memilah.19 Konsep misi dalam pluralisme hanya sebatas konsep
humanis, bukan konsep yang alkitabiah, dan hanya sebatas dunia saja.
Tanggapan
Song dan para penganut pluralitas sangat terbatas untuk memahami arti dari
Missio Dei. Misi sesungguhnya berawal dan berangkat dari Allah (Missio Dei) dan
tentu bersifat rohani, yaitu kasih Allah kepada manusia yang akan binasa. Misi Allah
merupakan misi penyelamatan manusia agar manusia pada saatnya berkumpul dengan
Allah dalam keabadian di Sorga. Artinya, hasil dari Missio Dei melampaui ruang
lingkup dunia, karena selain menyelamatkan manusia dari hukuman, juga menyediakan
tempat keabadian di Sorga. Gereja sebagai agen Allah di dunia tentu bertanggung
jawab untuk mengerjakan misinya yang bersumber dari Missio Dei. Tri panggilan
gereja merupakan inti tugas gereja yang harus dikerjakan, yakni: Bersekutu, bersaksi,
dan melayani. Bersaksi merupakan tugas gereja dengan tujuan memperluas kerajaan
Allah di mana banyak orang diselamatkan dari hukuman dosa. Misi gereja adalah misi
kasih yang tersimpul dalam kebenaran, sehingga kasih dan kebenaran tidak dapat
dipisahkan oleh gereja. Amanat Agung yang diberikan oleh Yesus kepada murid-
murid-Nya, dan yang ditegaskan kembali di bukit saitun sebelum Ia naik ke Sorga,
harus dikerjakan oleh gereja secara bertanggung jawab dan kontinu sampai kedatang
Yesus kembali.
Kaum pluralis lebih memandang semua agama adalah sama, tidak ada yang
lebih baik dari yang lain, demikian sebaliknya, tidak ada yang lebih jahat. Semua
19
Stevri Indra Lumintang, Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2020), 299-230.
12
agama mengajarkan kebaikan dan memiliki keselamatan. John Hick, seorang pluralis
Winardi, menyatakan: Kita tidak mungkin memberikan penilaian secara global tentang
tradisi agama mana yang lebih banyak berbuat baik atau jahat dan dinilai secara
keseluruhan, semua agama setara antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu,
tidak ada satupun yang dapat dianggap superior. 20 Demikian juga Netland, yang
dikutip oleh Daniel Winardi, mengtakan bahwa Pluralisme agama merupakan paham
yang mengatakan bahwa, keselamatan harus diakui ada di semua agama dan tidak ada
agama yang dapat mengklaim dirinya normatif atau superior dibanding agama-agama
lain.21
Tanggapan
agama-agama dunia, tapi kesamaan-kesamaan itu hanya di permukaan saja, bukan yang
bersifat fundamental. Alkitab dan Quran sama-sama menulis tentang Yesus, tetapi
Yesus dalam Alkitab, disalibkan dan mati, sedangkan Yesus dalam Quran tidak disalib
dan tidak mati. Pandangan kaum pluralis tentang semua agama adalah sama merupakan
pandangan yang salah besar, karena sampai kapan pun hal yang fundamental dalam
setiap agama tidak akan pernah sama. Jika ditinjau secara teologis, baik dalam agama
Kristen maupun agama lainnya tentu akan menolak pluralisme agama. Agama-agama
dapat hidup berdampingan dalam prinsip moderasi, tetapi dalam hal yang lebih
hak setiap orang untuk memiliki keyakinan agama sendiri, namun begitu penitng juga
20
Daniel Winardi, “Iman Kristen di Tengah Tantangan Pluralisme Agama”, Diligentia: Journal of
Theology and Christian Education, (30 Sept. 2021): 214.
21
Ibid.
13
untuk mengakui perbedaan yang ada diantara agama-agama. Setiap agama memiliki
klaim eksklusifitas masing-masing yang harus dihargai tetapi tidak berarti harus
menerima dan meyakini klaim eksklusifitas agama lain. Dapat dikatakan bahwa, semua
agama mengajarkan kebaikan, tetapi tidak semua mengajarkan jalan keselamatan yang
benar.
Sikap Gereja menghadapi pluralisme tentu harus tetap berpegang pada prinsip
Alkitab. Gereja yang benar adalah gereja yang tetap mendasarkan pemahamnnya di
atas Alkitab sebagai Firman Allah. Menurut Yushak Soesilo, “Gereja yang benar
adalah Gereja yang tetap menjunjung tinggi dan menghormati Alkitab sebagai Firman
Allah, yang tidak mungkin terdapat kesalahan di dalamnya, dan tetap relevan bagi
segala zaman dan tempat.”22 Keeksklusivan yang dimiliki oleh orang percaya
berdasarkan Alkitab, harus tetap dipertahankan dan tidak boleh dikorbankan. Alkitab
dengan tegas menyampaikan keselamatan yang hanya melalui Yesus Kristus. Gereja
harus tetap waspada terhadap kaum pluralisme yang terus berusaha memanipulasi
Alkitab. Alkitab harus dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai sumber
diriYesus Kristus sendiri. Dalam agama lain, Yesus memang dikenal tetapi tidak secara
utuh.”23 Di satu sisi, gereja harus hidup bermoderasi dan toleransi dengan agama-agama
lainnya, tetapi pada sisi yang lain, gereja harus bersikap ekslusif dalam pemahaman
22
Yushak Soesilo, “Gereja Dam Pluralisme Agama Dalam Konteks Di Indonesia”, sttintheos.ac.id,
diakses 8 Juni 2023, https://sttintheos.ac.id/e-journal/index.php/antusias/article/view/88.
23
Ibid.
14
BAB III
KESIMPULAN
semua agma, tetapi menolak sebagian isi kitab-kitab suci yang bersifat eksklusif dari
agama-agama, karena selalu bertolak pada fakta kemajemukan dan diikuti oleh tuntunan
toleransi, keadaan sosial politik, keragaman etnis, budaya, globalisasi, serta filsafat
relativisme dan liberalisme. Gaya berpikir kaum pluralis lebih kepada gabungan
suatu agama baru atau keyakinan baru yang lebih baik dan sempurna karena merupakan
Pandangan kaum pluralisme perlu dikritisi, baik oleh kekristenan maupun oleh
agama-agama lain, karena sering mengabaikan hal-hal yang bersifat fundamental dari
hal yang eksklusif dari Alkitab yang diabaikan bahkan membuatnya berkesimpulan
kalau Alkitab hanya berisi Firman Allah dan mitos-mitos. Pluralisme gagal memahami
konsep yang benar tentang inneransi Alkitab, Kristologi, Soteriologi, Misiologi, dan
masih banyak prinsip lainnya. Yang benar ialah, setiap agama memiliki klaim
eklsklusifitas masing-masing yang harus dihargai tetapi tidak berbarti harus menerima
dan menyetujui eksklusifitas agama lain. Dalam menghadapai teologi Pluralis, Gereja
harus memiliki sikap yang konsisten terhadap ajaran Alkitab dan resisten terhadap
paham yang keliru. Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruselamat manusia, tidak ada
yang lain. Di satu sisi, gereja harus hidup bermoderasi dan toleransi dengan agama
lainnya, tetapi pada sisi yang lain, gereja harus bersikap ekslusif. Kepada Timotius,
Rasul Paulus menegaskan, Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu (ITim. 4:16).
15
KEPUSTAKAAN
Lumintang, Stevri Indra. Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas,
2020.
Toha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama-Tinjauan Kritis. Jakarta: Gema Insani, 2012.
Sinaga, Martin L. “Misi Gereja Di Tengah Pluralitas Agama Dan Budaya”, Jurnal
Orientasi Baru, Vol. 18 no. 1 April 2009.
Yasin, Taslim HM. “Pluralisme Agama Sebuah Keniscayaan”, Jurnal Substantia Vol.
15, no. 1. April 2013.