Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhamad Ilham Wibowo

Nim : 202121150

Kelas : 3 HKI E

Apa sih, yang dimaksud dengan tafsir kontemporer?

Tafsir kontemporer memiliki dua kata yaitu: tafsir dan kontemporer. Secara etimologi tafsir
berasal dari bahasa arab at tafsiiru, artinya memperlihatkan, memeriksa, atau bermakna kata
al idhakhu was syarkhu yaitu penjelas atau komentar. Sedangkan secara terminologi tafsir
adalah penjelasan dari kalamullah atau menjelaskan lafadz- lafadz al Qur’an dan
pemahamannya. Ada beberapa ulama berpendapat di antaranya:

Menurut Syekh al Jazairi dalam Shahih al-Taujih, beliau menjelaskan bahwa tafsir adalah
lafadz yang sukar dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafadz sinonimnya atau
makna yang mendekatinya atau makna yang mendekatinya atau jalan mengemukakan salah
satu dilalah lafadz tersebut.

Menurut az Zarkasyi, tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan
makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada nabi. Secara teoritis tafsir berarti usaha
untuk memperluas makna teks al Qur’an, sedangkan secara praktis berarti usaha untuk
mengadaptasikan. Teks al Qur’an dengan situasi kontemporer seorang musafir. Berarti tafsir
modern adalah usaha untuk menyesuaikan ayat-ayat al Qur’an dengan tuntutan zaman.
Sedangkan tafsir al Qur’an adalah ilmu pengetahuan untuk memahami dan menafsirkan yang
bersangkutan dengan al Qur’an dan isinya berfungsi sebagai mubayyin, menjelaskan tentang
arti dan kandungan al Qur’an khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dapat dipahami.

Kontemporer bermakna sekarang atau modern yang berasal dari bahasa inggris
(contemporary). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang artinya pada waktu yang sama.
Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern. Keduanya saling
digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban islam keduanya dipakai saat terjadi
kontak intelektual pertama dunia isalam dengan barat. Maka dapat disimpulkan bahwa tafsir
kontemporer adalah tafsir atau penjelasan ayat al qur’an yang disesuaikan dengan kondisi
kekinian.
Kemunculan tafsir kontemporer erat kaitannya dengan mulai muncul istilah pembaharuan
yang dipopulerkan oleh beberapa ulama modern kontemporer yang menginginkan
pendekatan dan metodologi barud alam memahami Islam. Persepsi para pembaharu
memandang bahwa pemahaman Al-Quran yang terkesan jalan di tempat. Alih-alih mereka
memandang bahwa metodologi klasik telah menghilangkan ciri khas Al-Quran sebagai kitab
yang sangat sempurna dan komplit sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik
maupun modern. Dalam memahami makna ayat Al-Quran, tentunya tidak semua ayat
menjelaskan secara gamblang makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran, sehingga
untuk memahami ayat-ayat tersebut perlu adanya dalil-dalil penguat untuk menjelaskan atau
mendukung ayat-ayat yang muncul sebelumnya, sampai bisa ditarik sebuah keilmuan atau
makna yang bisa ditangkap dalam ayat tersebut sebagai penjelas.Tidak semua orang bisa
menafsirkan ayat-ayat yang ada dalam Al-Quran, namunhanya beberapa saja yang lebih
dikenal dengan istilah mufassir. Tetapi hal tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa itu
adalah satu-satunya faktor seseorang tidak bisa menafsirkan Al-Quran. Karena pada faktanya,
kaum muslimin pada zaman pertumbuhan Islam takut untuk menafsirkan Al-Quran.

Ciri yang menonjol pada tafsir kontemporer antara lain, pertama, penafsirnya tidak lagi
terpasung dalam tradisi dan taqlid. Kedua, dalam penyajiannya lebih banyak menggunakan
metode mauḍu’i. Ketiga, cenderung menggunakan tafsir bi al-ra’y. Keempat, umumnya
menyebutkan metode penafsiran secara eksplisit. Kelima, menjadikan salah satu pendekatan
seperti bahasa, sastra, dan lainnya sebagai pendekatan utama. Keenam, dominan
menggunakan pendekatan ilmiah. Ciri-ciri yang disebutkan diatas tidak lain hanyalah
deskripsi terhadap realitas yang ada dalam hasil kajian modern terhadap Al-Quran yang
pernah dihasilkan oleh kaum modernis, bukan sesuatu yang harus ada dalam sebuah
penafsiran kontemporer. Sebab sebagian ciri-ciri tersebut menurut sebagian kalangan justru
tidak semestinya ada karena akan berakibat pada destruksi ajaranajaran pokok islam.
Kehadiran tafsir kontemporer dengan segala metode dan pendekatannya tidak pernah sepidari
polemik.

Abad ke 19 adalah abad dimana dunia islam mengalami kemajuan di berbagai bidang. Di
antaranya adalah ilmu tafsir, banyak karya-karya tafsir hasil para ulama pada abad itu. Kajian
tentang al Qur’an dalam khazanah intelektual Islam memang tidak pernah berhenti.
Kemunculan tafsir kontemporer ini dipacu oleh kekhawatiran yang akan ditimbulkan ketika
penafsiran al Qur’an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan latar
belakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting. Al Qur’an melalui salah satu
ayatnya yang memperkenalkan diri sebagai hudan (petunjuk) bagi umat manusia, penjelasan-
penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai al furqan.

Al Qur’an yang sangat sempurna maka haruslah dipahami secara tepat dan benar. Upaya
dalam memahami al-Qur’an dikenal dengan istilah tafsir. Sekalipun demikian, aktivitas
menafsirkan al Qur’an bukanlah pekerjaan yang gampang, mengingat kompleksitas persoalan
yang dikandungnya serta kerumitan yang digunakannya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan
bahwa redaksi ayat-ayat al Qur’an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis,
tidak dapat dijangkau maksutnya secara pasti kecuali oleh pemilik redaksi tersebut.
Meskipun demikian, upaya penafsiran al qur’an tetap dilakukan karena, disamping memang
dirasakan urgen setiap saat, juga ada bukti kesejahteraan dari nabi sendiri sebagai pengemban
amanat ilahi itu.

Sejarah mencatat, penafsiran al Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa-masa awal
pertumbuhan dan perkembangan Islam. Hal ini didukung oleh adanya fakta sejarah yang
menyebutkan bahwa nabi pernah melakukannya. Pada saat sahabat tidak memahami maksud
dan kandungan salah satu sisi kitab suci al Qur’an, mereka menanyakan kepada nabi. Dalam
konteks ini nabi memang berposisi sebagai mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan
umat manusia. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan nabi memiliki sifat-sifat dan
karakteristik tertentu, diantaranya penegasan makna, perincian makna, perluasan dan
penyempitan makna, kwalifikasi makna serta pemberian contoh. Sedangkan dari motifnya,
penafsiran nabi terhadap ayat-ayat al qur’an mempunyai tujuan-tujuan, pengarahan, peragaan,
pembetulan atau koreksi.

Sepeninggal nabi, kegiatan penafsiran al Qur’an tidak berhenti tapi, semakin maju atau
meningkat. Munculnya persoalan-persoalan baru seiring dengan dinamika masyarakat yang
progresif mendorong umat Islam generasi awal mencurahkan perhatian yang besar dalam
menjawab problematika umat. Perhatian utam mereka tertuju kepada al Qur’an sebagai
sumber ajaran islam. Maka upaya-upaya penafsiran terus dilakukan. Dalam menafsirkan
alqur’an pada masa itu, pegangan utama mereka adalah riwayat-riwayat yang dinukilkan dari
nabi.

Penafsiran-penafsiran yang dilakukan para sahabat di atas, di belakang nanti dikenal dengan
tafsir bil ma’tsur. Tafsir yang disebut terakhir ini mendasari pembahasan dan disebut dengan
metode riwayah.
Keterbukaan pemikiran dalam dunia tafsir kontemporer saat ini, membuat berbagai kalangan
berlomba-lomba untuk merumuskan suatu pemahaman terbaru dalam menfasirkan Al-Quran,
mulai dari orang yang memang berkecimpung lama dalam dunia Al-Quran dan tafsir,
akademisi hingga organisasi kemasyarakatan yang tujuannya untuk memperluas keilmuan
hingga adanya tujuan khusus untuk menyebarkan dan mendakwahkan pemikiran organisasi
tersebut. Termasuk dalam pembahasan saat ini adalah organisasi masyarakat Muhammadiyah
melalui Majelis Tarjih dan Tajdidnya merumuskan tafsir At-Tanwir yang dirumuskan oleh
beberapa ahli dalam bidang tersebut dengan pendekatan yang berbeda-beda untuk menambah
khazanah keilmuan dan menjawab problematika kontemporer melalui pendekatan sumber
awal Islam yaitu Al-Quran.

Tidak ada kesepakatan antara para pengkaji Al-Quran mengenai batas kontemporer itu
sendiri. Namun ada juga yang mengatakan bahwa, keruntuhan simbol politik Islam pada
masa khilafah Turki Usmani, adalah awal mula dari masa kontemporer penafsiran Al-Quran.
Sejak saat itu pula, lahir 3 arus berpikir umat Islam, yaitu :

 Arus salafism

 Arus westernism

 Arus moderat

Arus-arus tersebutlah yang menjadikan orientasi penafsiran Al-Quran berbeda-beda antara


arus satu dan yang lainnya. Salafism melakukan orisinalisasi (ta’sil), sedangkan westernism
melakukan modernisasi Al-Quran (tahdits), dan arus moderat melakukan seleksi Al-Quran
(tanqih, tarjih). Arus salafism berorientasi mengembalikan tafsir pada pemahaman salaf,
dengan membersihkan diri dari unsur-unsur eksternal, termasuk filsafat. Arus salafism
memusatkan kajiannya pada kajian bayani (tekstual, skriptural), dan riwayat. Arus
westernism berorientasi dengan menjiplak yang dicapai dunia barat, terutama
suprastrukturnya, dengan mengadopsi metodologi bahkan produk keilmuan barat. Arus
westernism sering berorientasi burhani dan bersandar pada akal. Sedangkan arus moderat
berorientasi pada mempertahankan keaslian Islam dengan mengadaptasi produk kemajuan
barat, dengan cara menyeleksi riwayat dan mengadaptasi kemajuan barat.
Contoh Tafsir Kontemporer

Contoh Penafsiran Dalam Tafsir At-Tanwir

Penyajian tafsir At-Tanwir secara umum termasuk ke dalam kategori penyajian runtut.
Namun sebenarnya, di dalam setiap pembahasannya, terdapat sub-sub bahasan tersendiri
yang dibagi secara tematik berdasar kelompok ayat tertentu. Sehingga penyajian dalam tafsir
ini lebih tepat digolongkan dalan varian baru, yaitu penyajian tahlili cum maudu’i.

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang
sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”(QS Al-Baqarah ayat 21)

“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan
Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-
buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-
tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah ayat 22)

Ayat 21-22 surat Al-Baqarah dalam tafsir At-Tanwir menjelaskan bahwa perintah untuk
senantiasa beribadah kepada Allah tanpa melalui perantara-perantara lain seperti halnya
dengan menggunakan sesaji atau acara seremonial lainnya. Dijelaskan bahwa dalam ayat 21
tersebut perlu adanya perhatian khusus agar perilaku ibadah dilakukan secara total, tidak
perilaku pura-pura seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan kepentingan
kepentingan lain didalamnya.

Anda mungkin juga menyukai