Dosen Pengampu:
Dr., Drs., Alimuddin Hassan Palawa, M.Ag.
SLTP/SLTA VI C
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1443 H/2022 M
Al-Ghazali
Dosen Pengampu:
Drs., Alimuddin Hassan Palawa, M.Ag
Disusun Oleh:
Nabilah Farhanah
Rofiqotul Mahfuzoh
Usma Delli
A. Pendahuluan
Untuk mengetahui bagaimana tentang filsafat Islam
maka terlebih dahulu harus memahami ontologi filsafat
Islam dengan menunjuk kepada pengertian istilah filsafat
Islam itu sendiri.Ahmad Fuad Al ahwani misalnya
mendefinisikan filsafat Islam sebagai pemikiran
penghayatan dan penelaahan mendalam tentang berbagai
persoalan alam semesta dan bermacam masalah manusia
serta realitas yang maha tinggi atas dasar ajaran-ajaran
keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.1
Filsafat awal berkembang pada sekitar abad ke-
enam hingga abad ke-empat SM.2 Ketika filsafat Islam
dibicarakan akan terbayang nama tokoh yang disebut
sebagai filsuf Muslim seperti alkindi Ibnu Sina Al Farabi
Ibnu Rusyd dan Al Ghazali, dan seterusya. Kehadiran para
tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, karena dari
merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi
juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.3
Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan
yang dapat dikatakan mengubah pola filsafat Islam yang
banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-
1
Busyro, Pengantar Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Kencana,2020) 1
2
Ibrahim, Filsafat Islam Masa Awal, ( Makassar: Cara Baca ,2016) 5
3
Try Subakti, Filsafat Islam, Jurnal Studi Islam, Vol. 14. No. 1, 2019, 105
1
pemikiran imam Al Ghazali sebagai pionir filsafat yang
dominan relevan dengan konsep Islam. Beliau seorang
ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh
terhadap Islam dan filsafat dunia timur. Beliau adalah
seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat
julukan hujjah al- Islam. Pemikiran Al Ghazali begitu
beragam mulai dari pemikiran dalam bidang teologi
tasawuf hingga filsafat.4
Al-Ghazali memang sosok yang sangat unik dalam dunia
pemikiran, sehingga yang terpukau oleh al-Ghazali dari
pengembaraan, karya-karya peninggalan, dan perilaku
sufistiknya.Banyak dari karya-karyanya menjadi obyek
penelitian yang cukup menarik minat kalangan pencinta
ilmu dan akademisi, mulai dari kalangan dalam umat Islam
sendiri (insider), maupun dari kalangan non-muslim atau
orientalis (outsider). Baik dari insider maupun dari
outsider, dalam mengkaji pemikiran al-Ghazali.5 Pertama,
kelompok yang kagum dan fanatik sehingga perlu terhadap
pemikiran Al Ghazali dan menempatkannya sebagai sosok
tokoh muslim yang begitu agung dan sempurna. Kedua
kelompok yang menganggap bahwa Al Ghazali banyak
melakukan kesalahan dan berkarya. Kelompok ini menurut
Al Ghazali sebagai penyebab kemunduran keilmuan dan
intelektualisme di dunia Islam terutama di kalangan Sunni.
Ketiga, kelompok yang objektif menilai Al Ghazali dari
karya-karya dan perjalanan hidupnya apabila kelompok ini
meneliti Al Ghazali mereka menemukan fakta bukan
sekedar opini tentangnya.6
Makalah ini membahas tentang salah satu filosof
Muslim yaitu Al-Ghazali, beserta biografi Intelektual Al-
Ghazali, Al-Munkidh min al-Ḍalāl: Pencarian Epistimologis
4
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung: Yrama Widya,
2016) 1-2
5
Ahmad Atabik, Telaah Pemikiran Al-Ghazali tentang Filsafat, Jurnal
Fikrah, Vol. 2, No.1, 2014, 20
6
Muhammad Basyrul Muvid, Al Ghazali dalam pusaran sosial politik,
Pendidikan, filsafat, Akhlak dan Tasawuf, (Surabaya: Global Aksara Pers, 2021)
54
2
al-Ghazali, Taḥafut al-Falāsifah: 20 Kerancuan- kerancuan
Filosuf, Kekafiran Filosuf: Kekadiman Alam Tuhan, Tidak
Mengetahui Partikular, Penolakan Kebangkitan Jasmani,
Filsafat Pasca Kritik dan Serangan al-Ghazali.
7
Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi
Filosofi Timur ke Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2015) 210
8
Ris’an Rusli, Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya, (Jakarta:
Kencana, 2021) 68
9
Sufyan Mubarak, Riwayat Hidup dan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu
Maskawih, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1, No.1, 2020, 52
3
berbagai ilmu dengan teliti dan mendalam hingga wafatnya
imam Al juwaini. 10
Setelah lima tahun (1091 sampai 1095), Al-ghazali,
sebagai kepala sekolah Nidhamiyah Baghdad, memberikan
kuliah dalam bidang ilmu hukum dan teologi dengan
memperoleh sukses yang besar. 11 Di sana ia melaksanakan
tugasnya dengan baik sehingga banyak menuntut ilmu
memadati halaqahnya. Namanya kemudian menjadi
terkenal di kawasan itu karena berbagai fatwa tentang
masalah-masalah agama yang dikeluarkannya. Di samping
mengajar ia juga menulis beberapa buku diantaranya
tentang fiqih dan ilmu kalam, serta kitab-kitab yang berisi
sanggahan terhadap aliran bathiniyah (salah satu aliran
dari sekte Syi'ah), aliran Syiah ismailiyah dan falsafah.
Najibullah dalam Islamic literature sebagaimana yang
dikutip oleh Zainal Abidin mengatakan bahwa Al Ghazali
sebagai seorang imam atau pemuka agama pada tahun 1085
M pernah diundang untuk datang ke istana pemerintahan
malik syah dari bani saljuk oleh perdana menterinya yang
gemar ilmu pengetahuan Nidham Al-Muluk. Negarawan ini
mengakui keahlian dan kemampuan ilmiah Al Ghazali
sehingga pada tahun 1090 M ia mengangkatnya menjadi
guru besar dalam bidang hukum di universitas nidhamiyah
di Baghdad, tempat ia mengajar selama 4 tahun di sana
sambil melanjutkan pekerjaannya mengarang. Ratusan
pelajar dari luar Baghdad datang untuk menghadiri kuliah-
kuliah yang diberikan Al Ghazali. Di samping itu ia juga
dijadikan sebagai konsultan oleh para ahli hukum islam
dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai
persoalan yang muncul dalam masyarakat.12
Al Ghazali sampai saat ini barangkali tidak
berlebihan apabila dikatakan sebagai pemikir besar dalam
Islam, memberikan pengaruh besar dan memberikan wajah
10
Ris’an Rusli, Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya, (Jakarta:
Kencana, 2021) 68-69
11
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) 63
12
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep FIlsuf dan
Ajarannya, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013) 147
4
baru dalam Islam ia sendiri hidup pada masa di mana jiwa
keislaman dalam keadaan merosot sedemikian rupa dan
keimanan pada pokok kenabian dan hakikatnya serta
mengamalkan ajaran-ajaran agama telah mengalami krisis
yang hebat.13
13
Mustofa, Filsafat Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah, Syari’ah, dakwah,
Adab dan Ushuluddin Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) 216-217
14
Abdi Syahrial Harahap, Epistemologi:Teori, Konsep dan Sumber-
SumberIlmu dalam Tradisi Islam, Jurnal Dakwatul Islam, Vol. 5, No.1, 2020, 14
5
melainkan hanya kebetulan. Sedangkan kebenaran
Allah itu tidak bisa diragukan.15
15
Bahri, Epistemologi Al-Ghazali, Jurnal Al-Qalam, Vol. XVIII, No. 90-
91, 2017, 183
16
Bahri, Epistemologi Al-Ghazali, Jurnal Al-Qalam, Vol. XVIII, No. 90-
91, 2017, 182-187
17
Bahri, Epistemologi Al-Ghazali, Jurnal Al-Qalam, Vol. XVIII, No. 90-
91, 2017, 188
6
lain-lain. Ilmu-ilmu ghairu syariah yang tercela adalah
seperti: Ilmu-ilmu sihir, ilmu mendatangkan ruh, ilmu
sulap dari ilmu teluh. Sedangkan . ilmu yang mubah
seperti tentang syair- syair yang tidak mengandung
perkiraan jahat, cerita, dongeng dan sebagainya.
18
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ditahqiq oleh Sulaeman Dunya,
Mesir:Dar al-Ma’rif, t.th., 86.
19
Nadim Al-Jisr, Qishshat al-Iman, (Beirut: Dar al-Andalus, 1963), 70.
7
Di samping liku-liku perkembangan pemikiran al-
Ghazali ditambah dengan situasi dan kondisi lingkungan
yang ada pada masa hidupnya, inilah yang membentuk
kepribadian al-Ghazali sebagai penganut kalam al- Asy’ari
dan mazhab syafi’i, yang sudah mendalam pengetahuan
yang berkembang pada masanya, untuk memainkan
peranan yang sangat penting, di saat umat Islam berada di
persimpangan jalan dalam kehidupan beragama.20 Demi
memelihara Islam al-Ghazali merasa terpanggil untuk
menghadapi hal-hal yang menjadi faktor kelemahan dan
perpecahan umat Islam dengan cara yang keras tapi penuh
pengertian. Dalam menghadapi pemikiran dalam ilmu dan
agama ia tidak saja mengkritik, tapi malah mengajarkan
para filsuf termasuk al-Farabi dan Ibnu Sina pengikut filsuf
Aristotles yang menurut al-Ghazali merupakan musuh
umat Islam.21
Al-Ghazali memandang para filsuf sebagai ahli
bid’ah yakni golongan yang membawa kepada kesesatan.
Kesalahan para filosof tersebut ada dua puluh masalah,
yaitu:
1. Sanggahan Atas Pandangan Para filosof tentang
keazalian (Eternitas) Alam.22
Para filsuf berbeda pendapat tentang eternitas
(qidam) alam, dan yang ditetapkan dalam hal ini
adalah pendapat mayoritas filsuf dari dulu sampai kini
bahwa alam adalah kekal. Ia ada bersama dengan
Allah, menjadi akibat dari keberadaan-Nya, namun
adanya secara bersamaan, tanpa perbedaan urutan
waktu seperti kebersamaan sebab dan akibat serta
kebersamaan matahari dan sinarnya. Prioritas atau
keberadaan lebih awal (taqaddum) Allah atas alam
20
Rusli Ris’an, Filsafat Islam, (Jakarta: Kencana, 2021) 71
21
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 101
22
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 61
8
seperti priortas sebab atas akibat, yaitu prioritas
esensial dan tingkatan, bukan prioritas dalam urutan
waktu.23
Dalam bukunya Apa Yang Dipercaya Galen,
Galen menahan diri dalam masalah ini, karena ia tidak
mengetahui apakah alam ini azali (qadim) atau baru
(muhdats). Barangkali, itu menunjukkan bahwa hal itu
tidak mungkin diketahui. Hal tersebut bukan karena
ketidakmampuan, tetapi karena hal itu memang sulit
dipahami akal. Tetapi pandangan ini tidak bergema
dalam belantara pemikiran para filosof. Kebanyakan
filosof sepakat bahwa alam ini azali dan kemunculan
sesuatu yang azali tanpa perantara samasekali tidak
bisa diterima akal.24
23
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 1
24
Imam al-Ghazali. Tahafut al-Falasifah (Membongkar Tabir Kerancuan
Para Filosof). (Bandung: Marja, 2012) 61-62
25
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 61
9
pula. Inilah dasar penolakan mereka terhadap
bermulanya alam dan argumen ini juga dapat
diaplikasikan pada berakhirnya (alam). Inilah garis
pemikiran pertama yang mereka kemukakan dalam
masalah ini.
Kedua, mereka mengatakan bahwa apabila alam
tiada, maka ketiadaannya akan terjadi sesudah
wujudnya. Dengan demikian, alam mempunyai
dimensi waktu “sesudah” (ba’du). Di sini terdapat
afirmasi terhadap waktu.
Ketiga, mereka berkata bahwa kemungkinan
wujud tidak pernah terhenti. Karenanya, wujud yang
mungkin bisa jadi sesuai dengan kemungkinan
(imkan). Tetapi argumen ini tidak kuat. Kita hanya
mengingkari keazaliannya alam dan tidak mengingkari
keabadiannya, seandainya Allah melanggengkannya
selama-lamanya. Sebab sesuatu yang hadis (memiliki
awal temporal) tak mesti memiliki akhir, sedangkan
suatu tindakan atau aktivitas (fi’l) mesti hadis dan
memiliki awal waktu. Tak seorang pun, kecuali Abu al-
Huzayl al‘Allaf, yang berkata bahwa alam mesti
berakhir. Abu al-Huzayl berpendapat bahwa
sebagaimana pada masa lampau mustahil terjadi
perputaran falak yang tak terbatas secara kuantitas
(jumlah), maka demikian juga di masa yang jakan
datang. Tetapi ini tidak bisa dibenarkan. Sebab semua
kategori masa mendatang tak masuk ke dalam wujud,
baik secara bersamaan atapun berturut-turut.
Sedangkan masa lampau telah masuk ke dalam wujud
secara berturut-turut, meskipun tidak secara
bersamaan.26
26
Imam al-Ghazali. Tahafut al-Falasifah (Membongkar Tabir Kerancuan
Para Filosof). (Bandung: Marja, 2012), 101-102
10
Ungkapan Tersebut Yang Hanya Bersifat Metaforis,
Tidak Dalam Makna Hakikinya27
Semua filsuf (kecuali kaum ateis-materialis [ad-
dahriyah]) sepakat dengan pendapat bahwa alam
mempunyai seorang pencipta dan bahwa Tuhan adalah
Pencipta (Sani’) atau pelaku dalam proses terjadinya
(fa’il) alam, dan bahwa alam adalah hasil perbuatan-
Nya. Tetapi muncul suatu distorsi tak jujur atas prinsip
prinsip mereka sendiri. Ada beberapa alasan mengapa,
menurut prinsip-prinsip para filsuf, adanya alam
sebagai hasil perbuatan atau ciptaan Tuhan menjadi
sesuatu yang mustahil. Pertama,—dari alasan alasan
ini-dapat dilihat pada watak pelaku (fa’il). Kedua, pada
watak perbuatan (fi’l). Ketiga, pada hubungan antara
perbuatan (fi’l) dan pelaku (fa’il).
Pertama, alasan yang terdapat pada pelaku ialah
bahwa pelaku (fa’il) harus merupakan zat yang
memiliki kehendak berbuat (murid), bebas memilih
(mukhtar) dan mengetahui (‘alim) atas apa yang
dikehendakinya. Tetapi, menurut para filsuf, Tuhan
bukan Zat yang berkehendak. Bahkan, Dia sama sekali
tak bersifat, dan yang berasal dari-Nya adalah suatu
konsekuensi yang niscaya (luzum wa daruri).
Kedua, alasan yang terdapat pada watak
perbuatan adalah bahwa suatu perbuatan harus
bepermulaan. Tetapi para filsuf mengatakan bahwa
alam adalah kekal (qadim).
Ketiga, alasan yang terdapt pada hubungan
antara perbuatan dan pelaku adalah bahwa Tuhan
tunggal, dari segala aspeknya. Dari yang tunggal hanya
akan muncul yang tunggal atau satu hal. Tetapi alam
adalah terbentuk dari beragam unsur yang berbeda-
beda.28
27
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja:2019) hlm. 111
28
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum: 2015) hlm. 78
11
4. Ketidakmampuan Para Filosof Membuktikan Eksistensi
Pencipta Alam29
Kami mengatakan bahwa (dalam konteks ini)
umat manusia terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok penganut kebenaran (ahl al-
haqq). Mereka berpandangan bahwa alam memiliki
awal waktu (hadis) dan berdasar pengetahuan niscaya
rasional (daruri) mereka tahu bahwa sesuatu yang
memiliki awal waktu tidak bisa ada dengan sendirinya,
sebab ia memerlukan pencipta. Dengan demikian,
pandangan mereka tentang pencipta dapat diterima
akal sehat.
Kedua, kelompok materialis. Kelompok ini
berpendapat bahwa alam tidak memiliki awal waktu
(qadim), sudah demikian adanya sejak awal, sehingga
tidak memerlukan pencipta. Pandangan ini juga masuk
akal, sekalipun terdapat bukti rasional yang ddapat
dikembangan untuk membantahnya.
Para filsuf menyatakan bahwa alam tidak
memiliki awal waktu (qadim), namun bersama itu
mereka juga menetapkan eksistensi pencipta alam.
Dalam formasi dasarnya, teori ini sudah mengidap self
contradictiory. Oleh karena itu tidak diperlukan
argumen untuk membantahnya.30
29
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 134
30
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 117-118
31
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung: Marja, 2019) 140
12
Pertama, mereka mengatakan bahwa apabila ada
dua Tuhan, maka masing-maisng dari keduanya harus
disebut “wajib al-wujud” (niscaya ada).
Kedua: Mereka mengatakan bahwa apabila kami
mengandaikan dua wajib al-wujud, maka kedua-duanya
bisa sama pada semua seginya atau berbeda satu
dengan lainnya. Apabila keduanya sama dalam segala
segi.32
32
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 127
33
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 153
34
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 147-148
13
Dengan Diferensia (Fashl), Dan Bahwa Akal Tidak Bisa
Membagi-Nya Ke Dalam Genus Dan Diferensia35
Para filosof sependapat dalam hal ini, dan atas
dasar itu muncullesis bahwa, karena tidak ada apa pun
yang sama dengan Tuhan dalam genusnya, maka Tuhan
juga tidak bisa dipisah-pisah berdasar deferensia.
Dengan demikian, Dia tak dapat didefinisikan. Definisi
mengandung genus dan diferensia, sedangkan segala
yang tidak mengandung komposisi (tarakkub) tidak
bisa didefinisikan, karena ini merupakan jenis
komposisi.36
35
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 167
36
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 173
37
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 174
14
mursal, kecuali jika dihubungkan dengan suatu haqiqah
tertentu.38
Hal tesebut dapat dibuktikan dengan dalil
bahwa jika wujud dapat diterima akal, maka dalam
akibat-akibat bisa jadi terdapat wujud yang tidak punya
realitas (haqiqah), yang menyamai Tuhan dalam
kapasitasnya sebagai wujud yang tidak memiliki realitas
dan kuiditas, namun berbeda karena ia punya sebab
sedangkan Tuhan tidak. Lalu, mengapa ini tidak bisa
terbayangkan dalam akibat-akibat (ma'lulat)? Apakah ia
mempunyai suatu sebab, tetapi tidak dapat dipahami
dengan sendirinya? Sesuatu yang dengan sendirinya
tidak dapat dipahami, maka sesuatu itu tidak akan
pernah dapat dipahami, apabila sebab-sebabnya
ditiadakan. Dan apa-apa yang dapat dipahami tidak
akan menjadi demikian, apabila ia diandaikan
bergantung kepada suatu sebab.39
38
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 191
39
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 188
40
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 178
15
tubuh—misalnya matahari, atau falak yang tertinggi
dan lain sebagainya?
41
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 184
16
demikian pula tubuh-tubuh di dalam alam akan tetap
kekal, dan tidak mempunyai sebab.”42
42
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 199-200
43
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 187
44
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 203-204
45
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 195
17
Setelah umat Muslim mengetahui bahwa alam
bermula karena kehendak Allah, mereka juga
membuktikan adanya pengetahuan dengan adanya
kehendak, lalu membuktikan kehidupan dengan
adanya pengetahuan dan kehendak. Lantas dengan
kehidupan mereka membuktikan bahwa Tuhan yang
hidup tentu juga mengetahui diri-Nya, karena semua
makhluk hidup menyadari dirinya. Inilah pendapat
yang masuk akal dan tidak tergoyahkan.46
46
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 215-216
47
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 198
18
Kami akan mengulas pendapat ini dengan
sebuah ilustrasi. Ketika matahari gerhana, setelah
sebelumnya tidak terjadi gerhana, dan ketika kemudian
terang kembali, matahari telah melalui tiga keadaan: (a)
keadaan pertama, ketika gerhana belum terjadi, tetapi
eksistensinya dalam proses penantian, yang tergambar
dalam ungkapan: ‘gerhana akan terjadi’; (b) keadaan
kedua, gerhana benar-benar terjadi, yang tergambar
dalam ungkapan: ‘gerhana sedang terjadi’; (c) keadaan
ketiga, gerhana sudah tidak terjadi lagi, tetapi beberapa
saat sebelumnya ia terjadi, yang tergambar dalam
ungkapan: ‘gerhana telah terjadi’. Mengenai ketiga hal
ini, kita mempunyai tiga pengertian yang berbeda.
Karena pertama, kita mengetahui bahwa gerhana tidak
ada atau tidak terjadi, tetapi akan terjadi. Lalu, kedua,
kita tahu bahwa gerhana ada dan terjadi.48
48
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 219-220
49
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 210
19
tubuh maupun bentuknya yang bundar tidak akan
menghalangi adanya kehidupan. Sebab bentuk tertentu
bukanlah syarat bagi kemungkinan kehidupan.
Meskipun bentuknya berbeda-beda, namun semua
binatang sama saja di dalam menerima kehidupan.50
50
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 235-236
51
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 215
52
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 243-245
20
yang luas untuk menulis di atasnya.53 Jika tulisan itu
tidak terbatas, bahan yang ditulis di atasnya juga tidak
terbatas. Tetapi eksistensi suatu tubuh yang tak
terbatas tidak dapat kita bayangkan, garis-garis yang
tak terbatas di atas sebuah tubuh adalah tidak mungkin
dan mendefinisikan sesuatu yang tak terbatas tidak
mungkin dilakukan dengan garis-garis dan tulisan yang
terbatas di atas suatu tubuh.
Mereka beranggapan bahwa: Malaikat-malaikat
langit adalah jiwa-jiwa langit. Dan malaikat malaikat
Karubin yang dekat (al-Malaïkah al-Karubin al-
Muqarrabin) adalah akal-akal yang immaterial, yaitu
substansi-substansi yang berdiri sendiri, tidak
menempati suatu ruang dan tidak m bertindak di dalam
tubuh tubuh. Dari akal-akal ini, bentuk-bentuk
partikular itu turn pada jiwa-jiwa langit, yaitu malaikat
Karubin yang merupakan malaikat langit yang paling
agung. Sebab yang pertama memberi manfaat,
sedangkan yang terakhir menerima manfaat. Karena
itu, yang paling mulia di antara m keduanya secara
simbolis disebut Pena (qalam). Allah berfirman: "Dia
mengajar dengan pena (allama bi al-qalam)" Sebab Pena
itu seperti tukang ukir yang memberi manfaat. Guru
yang mengajar diumpamakan dengan pena dan yang
mendapat manfaat diumpamakan dengan lembaran.
Inilah tesis mereka.
53
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 220
54
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 235
21
satunya tidak mesti afirmasi atas yang lain dan negasi
terhadap yang satu tidak mesti negasi pada yang lain.
Eksistensi yang satu tidak mengharuskan eksistensi dari
yang lain, dan ketiadaan yang satu tidak mengharuskan
ketiadaan yang lain. Misalnya pemuasan haus dan
minum, kenyang dan makan, pembakaran dan kontak
dengan api, cahaya dan terbitnya matahari, kematian
dan pemutusan kepala dari tubuh, penyembuhan dan
minum obat, cuci perut dan minum obat cuci perut,
dan lainnya sebagai pasangan peristiwa yang tampak
kasat mata terkait dalam kedokteran, astronomi,
kesenian, atau kerajinan.
55
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 248
22
realitas-realitas obyck-obyek pemikiran (ma'qûlât),
yang bebas dari materi, rang dan dimensi. Hal itu
adalah masalah-masalah universal (qadhayâ kulliyyah)
yang oleh para ahli kalam disebut ahwâl (keadaan
keadaan) atau wujûh (aspek-aspek), dan olch para
filosof disebut universal abstrak (al-kulliyyah al-
mujarradah).
Jadi, jiwa mempunyai dua fakultas yang
berkaitan dengan dua aspek. Pertama, fakultas
spckulatif atau teoritis yang berkaitan dengan aspek
malaikat, karena dengannya diambil pengetahuan -
pengetahuan hakiki dari mercka. Semestinya hal in
senantiasa diterima dari arah atas.
Kedua, fakultas praktis yang berkaitan dengan
tingkatan terendah, yaitu arah dan pengaturan tubuh
serta perbaikan moral. Fakultas ini semestinya
menguasai semua fakultas ragawi yang lain, dan
fakultas-fakultas yang lain diarahkan dengan
pengarahannya dan tunduk terhadapnya. Dengan
demikian, fakultas itu tidak terpengaruh oleh fakultas-
fakultas yang lain, tetapi justru mempengaruhinya, agar
dalam jiwa tidak muncul sifat-sifat ragawi yang disebut
radza'il (sifat-sifat yang rendah). Tetapi fakultas itulah
yang harus dominan, agar dengannya jiwa
mendapatkan sifat-sifat keutamaan (fadhâ'il).56
56
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 251-252
57
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 272
23
2. terjadinya lawan jiwa yang datang untuk
menggantikan posisinya
3. kekuasaan zat yang berkuasa.
Tidak benar bahwa jiwa dapat lenyap karena
kematian tubuh. Sebab tubuh bukan substratum jiwa.
Namun ia hanyalah instrumen yang dipergunakan oleh
jiwa dengan perantaraan fakultas-fakultas yang
terdapat di dalam tubuh. Kehancuran instrumen tidak
menuntut kehancuran pengguna instrumen tersebut,
kecuali pengguna itu bertempat di dalamnya atau
terpasang padanya, seperti jiwa binatang atau fakultas-
fakultas jasmani.
Yang pertama contohnya imajinasi, sensasi,
hasrat atau kemarahan. Semuanya jelas akan rusak
ketika tubuh rusak dan tentu akan menguat bila tubuh
menguat.
Yang kedua contohnya adalah tindakan jiwa
dengan dirinya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama
dengan tubuh. Misalnya pengetahuan atau kognisi akan
hal-hal terpikirkan yang tidak terkait dengan materi
terbentuk tanpa bantuan tubuh. Selama jiwa
merupakan “yang mengetahui” (mudrik) akan hal hal
yang dipikirkan (ma’qulat), ia tidak memerlukan tubuh
sama sekali. Sebaliknya, kesibukannya dengan tubuh
menghalangi perhatiannya dari objek-objek yang dapat
dipikirkan (ma’qulat). Selama tindakan dan eksistensi
bukan merupakan tubuh, maka konstitusinya tidak
bergantung pada tubuh.
24
Mereka Memahami Surga dan Neraka Ruhaniah, dan
Keduanya Merupakan Tingkatan Jasmaniah Tertinggi 58
Pandangan ini bertentangan dengan
kepercayaan seluruh umat Muslimin. Pertama kali,
kami hendak mengemukakan apa yang dipercaya oleh
para filsuf mengenai persoalan eskatologis (umur
ukhrawiyyah), lalu kami akan mengajukan sanggahan
sanggahan terhadap semua unsur yang bertentangan
dengan Islam.
Mereka berkata Setelah kematian tubuh, jiwa
mengekal selama-lamanya baik dalam keadaan senang
yang tak mungkin terlukiskan karena begitu besarnya,
atau dalam keadaan sengsara yang tak mungkin
terlukiskan karena begitu dahsyatnya. Kadang-kadang,
kesengsaraan itu menjadi abadi, dan kadang-kadang
menghilang bersama perjalanan masa.
E. Kekafiran Filosof
1. Kekhadiman alam
Pada umumnya para filosof muslim berpendapat
bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam bersamaan
dengan wujud allah. Keterdahuluan ( kekadiman) allah
dari alamnya hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan
tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti
keterdahuluan sebab dari akibat dan cahaya dari
matahari. Untuk menopang pendapat ini , menurut al-
ghazali, para filosof muslim mengemukakan argument
sebagai berikut.59
a. Mustahil timbulnya yang baharu dari yang khadim,
Proposi ini berlaku bagi sebab akibat, dengan arti,
jika Allah qadim, maka terjadinya alam merupakan
suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi qadim
58
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 279
59
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012) 164
25
kedua-duanya (Allah dan alam).60 Para filosof
muslim sebelum alGhazali mengatakan bahwa alam
ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama
halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada
sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari
segi zaman. Para filosof kala itu beralasan tidak
mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam,
keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan
demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa
yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum
ada.61
maka terjadinya alam merupakan suatu
keniscayaan dan hal ini akan menjadi kadim kedua-
duanya ( Allah dan alam). Jika diandaikan Allah
yang kadim sudah ada, sedangkan alam belum lagi
ada, karena merupakan kemungkinan semesta, dan
setelah itu alam diadakan-Nya, maka apa alasannya
alam di adakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau
dikatakan sebelumnya motif (murajjih) belum lagi
ada, mengapa baru ada sekarang tidak sebelumnya?
Jika dikatakan kekuasaan baru ada tidak
sebelumnya, bagaimana terjadi kekuasaan itu. Jika
dikatakan sebelumnya allah tidak berkehendak (
iradat) dan baru kemudian kehendak itu, mengapa
terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu datang
dari zat-Nya? Keduannya adalah mustahil karena
allah tidak mengalami prubahan.62
60
Try Subakti, Filsafat Islam (Sebuah Studi Kajian Islam Melalui
Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi), Jurnal Studi Islam, Vol.14, No.1,
2019, 109
61
Ahmad Atabik, “Telah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat”, Vol. 2,
No. 1, 2014, 30
62
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012). 164
26
Al-ghazali menjawab argument filosof
muslim diatas yang dikemukakan sendiri. Menurut
Al-Ghazali, tidak ada halangan apapun bagi Allah
menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya
yangb kadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara
itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena
belum dikehendaki-Nya. Iradah, menurut Al-
Ghazali, adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi
membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang
sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi
Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi,
karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya
sama kedudukannya, harus ada suatu sifat khusus
yang membedakanya, yaitu sifat iradah. Andaikan
para filosof muslim menganggap sifat tersebut tidak
tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain
asal itu yang dimaksud atau dengan arti yang sama.
Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang
penting adalah isinya. Oleh karena itulah, jika allah
telah menetapkan ciptaannya dalam satu waktu dan
tidak dengan waktu yang lain, tidaklah mustahil
terciptanya yang baru dan zat yang kadim.
Alasannya, iradah allah bersifat mutlak dan tidak di
halangi oleh waktu dan tempat. Hal ini sesaui
dengan ta’alluq ( hubungan)Nya yakni pada yang
mungkin.
27
dengan dua.63 Hal ini sama dengan keterdahuluan
bilangan satu dari dua, atau keterdahuluan gerakan
tangan dari cincin. Kedua jenis ini serupa
tingkatannya dalam zaman. Jika demikian keadaan
antara allah dan alam, harus keduanya kadim atau
baharu dan tidak mungkin salah satunya kadim dan
yang lainya baharu. Andaikan allah mendahului
alam dari segala zaman, bukan dari segala dzat, ini
berarti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Pada
waktu itu alam harus belum ada karena ketiadaan
melalui wujud. Oleh sebab itu, Allah mendahului
zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas
pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah
ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini
paradox. Justru itu mustahil zaman sebagi ukuran
gerak baharu dan ia harus kadim.64
Pendapat para filosof yang dikemukakan Al-
Ghazali di atas, kemudian ia jawab sendiri.
Menurutnya, memang wujud Allah lebih dahulu
dari alam dan zaman. Zaman baharu dan
diciptyakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada
zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam
karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan
pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan
dalam keadaan yang kedua kita bayangkan ada dua
esendi, yakni Allah dan alam, dan tidak perlu kita
membayangkan adanya esensi yang ketiga, yakni
zaman. Zaman adanya setelah adanya alam sebab
zaman adalah ukuran waktu yang terjadi di alam
28
Ghazali yang qadim hanyalah Allah dan yang selain
Allah adalah hadis (baharu). Allah dapat berbuat
apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya karena
Allah menciptakan alam sesuai dengan kekuasaan
dan kehendak-Nya.65
29
tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan
mengembalikan rohani pada jasmani di akhirat nanti.
Sebenarnya dalam ajaran agama Islam informasi
kebangkitan akhirat ada yang disebutkan dengan
jasmani dan rohani dan ada pula yang disebutkan
rohani saja. Para filosof Muslim lebih menerima dalam
bentuk rohani saja, sebab mereka dalam memahami
nash lebih cenderung pada arti metafora, dan kalau
akhirat lawan dari dunia yang berbentuk materi berarti
akhirat bentuk rohani saja. Jadi, arti surga bagi mereka
adalah kesenangan bukan berbentuk jasmani (materi),
sedangkan arti neraka (api yang bernyala), bagi mereka
adalah kesengsaraan.
Sampai pola fikir filosofik yang bersifat khusus
berkembang secara umum, karena orang awam belum
tentu dapat memahaminya.67
Oleh karena itu, Al-Ghazali menurut Harun
Nasution membagi tingkatan berfikir manusia menjadi
tiga macam:
a. Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana
b. Kaum pilihan (الخواص, elect) yang akalnya
tajam dan berfikir secara mendalam.
c. Kaum menengkar (اهل الجذل.)
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik suatu garis
horizontal bahwa Al-Ghazali menempatkan para filosof
pada kelompok kedua atau ketiga dengan pola berfikir
mereka yang khas. Berarti pemikiran filsafat harus
dikembangkan di kalangan filosof. Hal ini sejalan
dengan ide para filosof muslim khususnya Al-Farabi
yang menginginkan agar filsafat tidak dibocorkan
terhadap golongan awam, karena tingkat berfikir
mereka yang berbeda. Termasuk di dalamnya masalah
metafisika dan teologi yang tidak bisa dijelaskan
dengan bahasa filsafat bagi orang awam. Begitu pula
67
Try Subakti, Filsafat Islam (Sebuah Studi Kajian Islam Melalui
Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi), Jurnal Studi Islam, Vol.14, No.1,
April (2019), 110
30
sebaliknya, untuk berbicara dengan filosof maka harus
dengan bahasa filsafat. Al-Ghazali sendiri menurut
Syekh Sulaiman Dunya dari al-Azhar, cairo
memberikan keterangan-keterangan dengan cara yang
berlainan sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Inilah salah satu alasan munculnya tahafut al-falasifat
sebagai cara tersendiri dalam menghadapi para filosof
dengan bahasa filsafat. Dengan demikian Al-Ghazali
tidaklah berbeda dengan filosof, bahkan ia adalah
filosof.68
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa
kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Bahkan terdapat beberapa hadis yang
menyebutkan bahwa roh-roh manusia merasakan
adanya kebaikan atau siksa kubur dan lainlain. Semua
itu sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara
itu kebangkitan jasmani secara eksplisi telah ditegaskan
syara’ (agama), dengan arti jiwa dikembalikan pada
tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain,
atau tubuh yang baru dijadikan. 69
F. Filsafat pasca kritik dan serangan Al-ghazali.
Pada awal abad 12 masehi, dunia filsafat sudah
menemukan titik terangnya. Para filsuf benar-benar
terbebas dari belenggu dan ikatan dalam berpikir, tidak
terikat oleh siapapun dan lembaga manapun. Kebebasan
ini sejatinya tidak hanya dimiliki oleh para filsuf Barat saja,
melainkan juga filsuf Timur yang diwakili oleh Baghdad.
Pada periode ini juga, hasil peradaban terdahulu pada masa
Yunani kuno seperti buah karya Aristoteles dan Plato
secara bertahap mulai menjadi bahan kajian dan rujukan.
Karena itulah, kajian-kajian filsafat di abad ini, khususnya
bidang filsafat agama sangat berkembang dan
memunculkan tanggapan beragam dari berbagai pihak
termasuk Imam al-Ghazali sebagai filsuf yang kental
68
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 45.
69
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012). 173
31
dengan manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah1 . Buah karya
para filsuf Yunani tersebut sedikit banyaknya
mempengaruhi pemikiran filsuf Muslim di abad ini, atau
bahkan sebelumnya, seperti al-Kindi (w. 870 M), alFarabi
(w. 950 M), al-Razi (w. 925 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M),
Ibnu Rusyd (w. 1198 M) dan Suhrawardi (w. 1193 M) dan
Imam al-Ghazali merupakan di antara yang menentang
beberapa teori yang digagas oleh pendahulunya tersebut.70
Dalam hal ini, mereka membangun argumentasi
berdasarkan dugaan dengan maksud memperkuat
pendapatnya tersebut. Mereka berpendapat bahwa dari sisi
dzat, Allah lebih dahulu dari pada alam. Namun dari segi
waktu, Allah dan alam bersamaan, sebagaimana lebih
dahulunya sebab dari akibat, geraknya tangan bersamaan
dengan geraknya cincin, geraknya bayangan bersamaan
dengan geraknya tubuh dan sebagainya. Karena Allah dan
alam dari segi waktu adalah bersamaan, maka dapat
disimpulkan bahwa keduanya sama (waktunya). Dengan
demikian, mustahil jika salah satunya kadim, sementara
yang lainnya baru. Maka kesimpulan yang lebih mendekati
kebenaran adalah kadim keduanya. Menghadapi cara
berpikir semacam ini, Imam al-Ghazali menyampaikannya
secara lugas, fokus dan terarah. Nampaknya ia tidak
memiliki pemikiran yang sama dengan para filsuf tersebut
mengenai keberadaan alam. Menurutnya, alam ada sama
sekali tidak bersamaan dengan Allah, baik dzat maupun
waktunya. Alam bisa ada atau tidak ada, semuanya
tergantung pada kehendak Allah. Kehendak-Nya inilah
yang membuat ketiadaan alam akan terus berlangsung
hingga titik dimana kehendak mewujudkannya bermula.
Dengan demikian, wujud alam sebelum kehendak
mewujudkannya sampai pada titik waktu tertentu maka itu
70
Jaipuri Harahap, Kritik Imam Al-Ghazali terhadap Para Filsuf Azis
Arifin, Vol. 12 No. 1 (Januari-Juni 2021), 76
32
diluar kehendak. Karenanya, alam tidak mewujud secara
konkret.71
Kebiasan yang menyimpang dari hukum
kausalitasnya sejatinya terjadi pada nabi-nabi Allah.
Terkait dengan hal ini, Zar menjelaskan dengan memberi
pertanyaan, apakah hal ini terjadi karena kekuatan diri
nabi sendiri atau disebabkan hal lain? Dalam hal ini baik
para filosof Muslim maupun al-Ghazali mempunyai
pendapat yang sama, sebagaimana para filosof bisa
menerima terjadinya hujan petir, gempa bumi atas
kekuatan diri nabi atau karena hal lainnya. Namun yang
lebih penting kata al-Ghazali, harus mengakui bahwa
semuanya melalui perantaraan malaikat sebagai mu’jizat
untuk menguatkan bukti kenabian mereka. 72
G. Penutup
71
Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, (Tahkik Sulaiman Dunya, Kairo: Dar
al-Ma‟arif, 1928), 206-207.
72
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012). 177
33
4. Al-Ghazali memandang para filsuf sebagai ahli
bid’ah yakni golongan yang membawa kepada
kesesatan
5. Pada umumnya para filosof muslim berpendapat
bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam
bersamaan dengan wujud allah. Keterdahuluan (
kekadiman) allah dari alamnya hanya dari segi
zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi zaman
(taqaddum zamany), seperti keterdahuluan
sebab dari akibat dan cahaya dari matahari.
6. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu
mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya
mengetahui zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan
alasan alam ini selalu terjadi
perubahanperubahan, jika Allah mengetahui
rincian perubahan tersebut, hal itu akan
membawa perubahan pada zat-Nya.
7. Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para
filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti
tekstual Al-Qur‟an, yang menurutnya tidak ada
alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan
atau kesengsaraan fisik dan rohani secara
bersamaan.
8. Pada awal abad 12 masehi, dunia filsafat sudah
menemukan titik terangnya. Para filsuf benar-
benar terbebas dari belenggu dan ikatan dalam
berpikir, tidak terikat oleh siapapun dan
lembaga manapun. Kebebasan ini sejatinya tidak
hanya dimiliki oleh para filsuf Barat saja,
melainkan juga filsuf Timur yang diwakili oleh
Baghdad. Pada periode ini juga, hasil peradaban
terdahulu pada masa Yunani kuno seperti buah
karya Aristoteles dan Plato secara bertahap
mulai menjadi bahan kajian dan rujukan
34
DAFTAR PUSTAKA
35
Try Subakti, 2019, Filsafat Islam (Sebuah Studi Kajian Islam
Melalui Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi),
Jurnal Studi Islam, Vol.14, No.1
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam
Jaipuri Harahap, Kritik Imam Al-Ghazali terhadap Para Filsuf Azis
Arifin, Vol. 12 No. 1 (Januari-Juni)
Zar Sirajuddin, 2012, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
36