Anda di halaman 1dari 37

Al-GHAZALI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Islam”

Dosen Pengampu:
Dr., Drs., Alimuddin Hassan Palawa, M.Ag.

Disusun Oleh Kelompok 6:

Nabilah Farhanah ( 11910125327)


Rofiqotul Mahfuzoh ( 11910122769)
Usma Delli ( 11910122783 )

SLTP/SLTA VI C
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1443 H/2022 M
Al-Ghazali

Dosen Pengampu:
Drs., Alimuddin Hassan Palawa, M.Ag

Disusun Oleh:
Nabilah Farhanah
Rofiqotul Mahfuzoh
Usma Delli

A. Pendahuluan
Untuk mengetahui bagaimana tentang filsafat Islam
maka terlebih dahulu harus memahami ontologi filsafat
Islam dengan menunjuk kepada pengertian istilah filsafat
Islam itu sendiri.Ahmad Fuad Al ahwani misalnya
mendefinisikan filsafat Islam sebagai pemikiran
penghayatan dan penelaahan mendalam tentang berbagai
persoalan alam semesta dan bermacam masalah manusia
serta realitas yang maha tinggi atas dasar ajaran-ajaran
keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.1
Filsafat awal berkembang pada sekitar abad ke-
enam hingga abad ke-empat SM.2 Ketika filsafat Islam
dibicarakan akan terbayang nama tokoh yang disebut
sebagai filsuf Muslim seperti alkindi Ibnu Sina Al Farabi
Ibnu Rusyd dan Al Ghazali, dan seterusya. Kehadiran para
tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan, karena dari
merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi
juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.3
Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami perkembangan
yang dapat dikatakan mengubah pola filsafat Islam yang
banyak dipertentangkan. Ini dibuktikan dengan pemikiran-

1
Busyro, Pengantar Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Kencana,2020) 1
2
Ibrahim, Filsafat Islam Masa Awal, ( Makassar: Cara Baca ,2016) 5
3
Try Subakti, Filsafat Islam, Jurnal Studi Islam, Vol. 14. No. 1, 2019, 105

1
pemikiran imam Al Ghazali sebagai pionir filsafat yang
dominan relevan dengan konsep Islam. Beliau seorang
ulama besar yang pemikirannya sangat berpengaruh
terhadap Islam dan filsafat dunia timur. Beliau adalah
seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat
julukan hujjah al- Islam. Pemikiran Al Ghazali begitu
beragam mulai dari pemikiran dalam bidang teologi
tasawuf hingga filsafat.4
Al-Ghazali memang sosok yang sangat unik dalam dunia
pemikiran, sehingga yang terpukau oleh al-Ghazali dari
pengembaraan, karya-karya peninggalan, dan perilaku
sufistiknya.Banyak dari karya-karyanya menjadi obyek
penelitian yang cukup menarik minat kalangan pencinta
ilmu dan akademisi, mulai dari kalangan dalam umat Islam
sendiri (insider), maupun dari kalangan non-muslim atau
orientalis (outsider). Baik dari insider maupun dari
outsider, dalam mengkaji pemikiran al-Ghazali.5 Pertama,
kelompok yang kagum dan fanatik sehingga perlu terhadap
pemikiran Al Ghazali dan menempatkannya sebagai sosok
tokoh muslim yang begitu agung dan sempurna. Kedua
kelompok yang menganggap bahwa Al Ghazali banyak
melakukan kesalahan dan berkarya. Kelompok ini menurut
Al Ghazali sebagai penyebab kemunduran keilmuan dan
intelektualisme di dunia Islam terutama di kalangan Sunni.
Ketiga, kelompok yang objektif menilai Al Ghazali dari
karya-karya dan perjalanan hidupnya apabila kelompok ini
meneliti Al Ghazali mereka menemukan fakta bukan
sekedar opini tentangnya.6
Makalah ini membahas tentang salah satu filosof
Muslim yaitu Al-Ghazali, beserta biografi Intelektual Al-
Ghazali, Al-Munkidh min al-Ḍalāl: Pencarian Epistimologis

4
Asep Sulaiman, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung: Yrama Widya,
2016) 1-2
5
Ahmad Atabik, Telaah Pemikiran Al-Ghazali tentang Filsafat, Jurnal
Fikrah, Vol. 2, No.1, 2014, 20
6
Muhammad Basyrul Muvid, Al Ghazali dalam pusaran sosial politik,
Pendidikan, filsafat, Akhlak dan Tasawuf, (Surabaya: Global Aksara Pers, 2021)
54

2
al-Ghazali, Taḥafut al-Falāsifah: 20 Kerancuan- kerancuan
Filosuf, Kekafiran Filosuf: Kekadiman Alam Tuhan, Tidak
Mengetahui Partikular, Penolakan Kebangkitan Jasmani,
Filsafat Pasca Kritik dan Serangan al-Ghazali.

B. Biografi Intelektual Al-Ghazali


Al-Ghzali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Ibn
Muhammad Ibn Ahmad, tetapi ia lebih dikenal dengan Al-
Ghazali. Ia lahir di Thus, salah satu kota di khurasan
(Persia) pada pertengahan abad ke-5 H (450 H/1058 M). Ia
adalah salah seorang pemikir besar Islam yang dianugrahi
gelar Hujjat Al-Islam (bukti kebenaran agama islam) dan
Zayn Al-Din.7 Pada tahun 437 H ia pergi ke Naisabur, yang
merupakan kota utama dan pusat pengetahuan Ketika itu.
Disini ia belajar pada Juaini yang dikenal dengan gelar
imam Al-Haramain, berbagai macam ilmu pengetahuan
waktu itu, antara lain fikih, fikih perbandingan, ushul fikih,
ilmu kalam, dan dasar-dasar ilmu filsafat.8 Ia telah
menyusun buku tentang semua bidang tersebut yang telah
diakui kedalamannya, orisinalitas, ketinggian, dan
memiliki jangkauan yang panjang.Al-Ghazali terkenal
dengan julukan Hujjatul Islam, karena pandangan dan
wawasannya yang luas dalam berbagai disiplin ilmu
Agama.9 Setelah imam Al juwaini melihat tanda-tanda
kecerdasannya, ia mencurahkan perhatian khusus dan
mengatakan bahwa Al Ghazali adalah bahhrun mughdad.
Pada waktu inilah bakat dan keganderungan Al Ghazali
untuk menulis dan menyanggah pemikiran para filsuf
muncul. Mulai saat itu Al Ghazali diangkat sebagai asisten
gurunya ia terus belajar dan mengadakan kajian terhadap

7
Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan Transmisi
Filosofi Timur ke Barat, (Bandung: Pustaka Setia, 2015) 210
8
Ris’an Rusli, Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya, (Jakarta:
Kencana, 2021) 68
9
Sufyan Mubarak, Riwayat Hidup dan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu
Maskawih, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1, No.1, 2020, 52

3
berbagai ilmu dengan teliti dan mendalam hingga wafatnya
imam Al juwaini. 10
Setelah lima tahun (1091 sampai 1095), Al-ghazali,
sebagai kepala sekolah Nidhamiyah Baghdad, memberikan
kuliah dalam bidang ilmu hukum dan teologi dengan
memperoleh sukses yang besar. 11 Di sana ia melaksanakan
tugasnya dengan baik sehingga banyak menuntut ilmu
memadati halaqahnya. Namanya kemudian menjadi
terkenal di kawasan itu karena berbagai fatwa tentang
masalah-masalah agama yang dikeluarkannya. Di samping
mengajar ia juga menulis beberapa buku diantaranya
tentang fiqih dan ilmu kalam, serta kitab-kitab yang berisi
sanggahan terhadap aliran bathiniyah (salah satu aliran
dari sekte Syi'ah), aliran Syiah ismailiyah dan falsafah.
Najibullah dalam Islamic literature sebagaimana yang
dikutip oleh Zainal Abidin mengatakan bahwa Al Ghazali
sebagai seorang imam atau pemuka agama pada tahun 1085
M pernah diundang untuk datang ke istana pemerintahan
malik syah dari bani saljuk oleh perdana menterinya yang
gemar ilmu pengetahuan Nidham Al-Muluk. Negarawan ini
mengakui keahlian dan kemampuan ilmiah Al Ghazali
sehingga pada tahun 1090 M ia mengangkatnya menjadi
guru besar dalam bidang hukum di universitas nidhamiyah
di Baghdad, tempat ia mengajar selama 4 tahun di sana
sambil melanjutkan pekerjaannya mengarang. Ratusan
pelajar dari luar Baghdad datang untuk menghadiri kuliah-
kuliah yang diberikan Al Ghazali. Di samping itu ia juga
dijadikan sebagai konsultan oleh para ahli hukum islam
dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan berbagai
persoalan yang muncul dalam masyarakat.12
Al Ghazali sampai saat ini barangkali tidak
berlebihan apabila dikatakan sebagai pemikir besar dalam
Islam, memberikan pengaruh besar dan memberikan wajah
10
Ris’an Rusli, Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya, (Jakarta:
Kencana, 2021) 68-69
11
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) 63
12
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam: Konsep FIlsuf dan
Ajarannya, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013) 147

4
baru dalam Islam ia sendiri hidup pada masa di mana jiwa
keislaman dalam keadaan merosot sedemikian rupa dan
keimanan pada pokok kenabian dan hakikatnya serta
mengamalkan ajaran-ajaran agama telah mengalami krisis
yang hebat.13

C. Al-Munkidh min al-Ḍalāl: Pencarian Epistimologis al-


Ghazali
Istilah epistemologi berasal dari bahasa Inggris
“epistemology” yang merupakan gabungan dua kata
perkataan Yunani yaitu “episteme” yang bermaksud
“pengetahuan” dan “logos” yang bermaksud “ilmu,
sains,kajian teori, dan pembahasan”. Epistemologi
merupakan salah satu cabang filsafat yang membahas
tentang suatu hakikat, makna, kandungan, sumber, dan
proses ilmu. Jadi dapat dikatakan bahwa epistemologi itu
berarti “pembahasan tentang ilmu pengetahuan”.14
Pemahaman Epistemologi secara filosofis mengandung tiga
aspek yakni:
1. Hakekat Ilmu (Ontologi)
Al-Ghazali sebagai seorang generis pada akhimya
menyandarkan pikirannya pada kebenaran mutlak
agama Islam, sesuai dengan karya besamya "Ihya' 'Ulum
ad-Din" (menghidupkan ilmu-ilmu agama). Artinya
kebenaran duniawi (sekuler) dianggapnya sebagai awal
yang dimiliki oleh setiap manusia, sedangkan
kebenaran yang sesungguhnya terpulang kepada Allah
yang merupakan sumber kebenaran yang mutlak.
Kebenaran duniawi yang bersifat manusiawi itu adalah
relatif, dalam artian, pada manusia kebenaran itu
cenderung tidak bisa dijadikan patokan kepastian,

13
Mustofa, Filsafat Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah, Syari’ah, dakwah,
Adab dan Ushuluddin Komponen MKDK, (Bandung: Pustaka Setia, 1997) 216-217
14
Abdi Syahrial Harahap, Epistemologi:Teori, Konsep dan Sumber-
SumberIlmu dalam Tradisi Islam, Jurnal Dakwatul Islam, Vol. 5, No.1, 2020, 14

5
melainkan hanya kebetulan. Sedangkan kebenaran
Allah itu tidak bisa diragukan.15

2. Sumber dan Alat Memperoleh Ilmu


Sejalan dengan ayat di atas al-Ghazali secara jelas
mengakui bahwa manusia memiliki potensi untuk
memperoleh dan mencapai ilmu. Ia menjelaskan ada
tiga macam ilmuyang dapat dituntut oleh maousia,
yakni ilmu-ilmu indrawi (hissiyah), ilmu-ilmu akal
(aqliyah) dan ilmu laduni (al-dzauq). Macam-macam
ilmu yang dikemukakan di atas mengandung makna
bahwa secara jelas al-Ghazali mengakui tiga potensi
manusia yang memiliki. kemampuan menuntut ilmu.
Ketiga potensi itu merupakan alat yang mencntukan
lahimya ilmu. Secara substansial Epistimologi al-
Ghazali dalam konteks alat dan sumber ilmiyah ada
tiga, yaitu: panca indera, akal dan hati yang akan.
sampai kepada ilmu Allah (ilmu mu'amalah dan
mukasyafah).16

3. Tujuan dan kegunaan Ilmu (Aksiologi)


Pemahaman aksiologi (tujuan dan kegunaan) ilmu
dalam pandangan al-Ghazali erat kaitanya dengan
klasifikasi ilmu yang diajukan secara makro, yakni ilmu
Syariah dan Ghairu Syariah. Namun tidak terbatas pada
kedua klasifikasi tersebut, al-Ghazali membagi ilmu-
ilmu Ghairu Syariah kepada tiga jenisnya: ilmu terpuji,
tercela dan yang dibolehkan bagi manusia
menuntutnya. Menurut al-Ghazali, 26 ilmu-ilmu yang
terpuji adalah setiap ilmu yang tidak diabaikan dalam
menegakkan urusan dunia17, semisal ilmu kedokteran
juga ilmu hitung, pertemuan-pertemuan, politik dan

15
Bahri, Epistemologi Al-Ghazali, Jurnal Al-Qalam, Vol. XVIII, No. 90-
91, 2017, 183
16
Bahri, Epistemologi Al-Ghazali, Jurnal Al-Qalam, Vol. XVIII, No. 90-
91, 2017, 182-187
17
Bahri, Epistemologi Al-Ghazali, Jurnal Al-Qalam, Vol. XVIII, No. 90-
91, 2017, 188

6
lain-lain. Ilmu-ilmu ghairu syariah yang tercela adalah
seperti: Ilmu-ilmu sihir, ilmu mendatangkan ruh, ilmu
sulap dari ilmu teluh. Sedangkan . ilmu yang mubah
seperti tentang syair- syair yang tidak mengandung
perkiraan jahat, cerita, dongeng dan sebagainya.

D. Tahafut al falasifah: 20 Kerancuan-kerancuan Filosuf


Terdapat 20 makalah falsafah yang dianggap al-
Ghazali mengandung kerancuan. 18 Al -Ghazali
melontarkan sanggahan luar biasa keras terhadap
pemikiran para filosof. Adapun yang dimaksudkan para
filosof di sini dalam berbagai literatur disebutkan ialah
Aristoteles dan Plato, juga Al-Farabi dan Ibnu Sina karena
kedua filosof Muslim ini dipandang Al-Ghazali sangat
bertanggung jawab dalam menerima dan menyebarluaskan
pemikiran filosofis dari Yunani (Sokrates, Aristoteles, dan
Plato) di dunia Islam. Kritik pedas tersebut ia tuangkan
dalam bukunya yang terkenal Tahafut al-falasifat (The
Incoherence of the Philosopher; Kerancuan PemikiranPara
Filosof). Dalam buku ini ia mendemonstrasikan kepalsuan
para filosof beserta doktrin-doktrin mereka. Sebelumnya, ia
mempelajari filsafat tanpa bantuan seorang guru pun dan
menghabiskan waktu selama dua tahun. Setelah berhasil
dihayati dengan saksama, lalu ia tuangkan dalam bukunya
Maqâshid al-Falâsifat (Tujuan Pemikiran Para Filosof).
Dengan adanya buku ini ada orang yang mengatakan
bahwa ia benar-benar menguasai argumen yang
dipergunakan para filosof. Hal ini didukung oleh pendapat
Al-Ghazali yang menegaskan bahwa menolak sebuah
mazhab sebelum memahaminya dan menelaahnya dengan
saksama dan sedalam-dalamnya berarti menolak dalam
kebutaan.19

18
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ditahqiq oleh Sulaeman Dunya,
Mesir:Dar al-Ma’rif, t.th., 86.
19
Nadim Al-Jisr, Qishshat al-Iman, (Beirut: Dar al-Andalus, 1963), 70.

7
Di samping liku-liku perkembangan pemikiran al-
Ghazali ditambah dengan situasi dan kondisi lingkungan
yang ada pada masa hidupnya, inilah yang membentuk
kepribadian al-Ghazali sebagai penganut kalam al- Asy’ari
dan mazhab syafi’i, yang sudah mendalam pengetahuan
yang berkembang pada masanya, untuk memainkan
peranan yang sangat penting, di saat umat Islam berada di
persimpangan jalan dalam kehidupan beragama.20 Demi
memelihara Islam al-Ghazali merasa terpanggil untuk
menghadapi hal-hal yang menjadi faktor kelemahan dan
perpecahan umat Islam dengan cara yang keras tapi penuh
pengertian. Dalam menghadapi pemikiran dalam ilmu dan
agama ia tidak saja mengkritik, tapi malah mengajarkan
para filsuf termasuk al-Farabi dan Ibnu Sina pengikut filsuf
Aristotles yang menurut al-Ghazali merupakan musuh
umat Islam.21
Al-Ghazali memandang para filsuf sebagai ahli
bid’ah yakni golongan yang membawa kepada kesesatan.
Kesalahan para filosof tersebut ada dua puluh masalah,
yaitu:
1. Sanggahan Atas Pandangan Para filosof tentang
keazalian (Eternitas) Alam.22
Para filsuf berbeda pendapat tentang eternitas
(qidam) alam, dan yang ditetapkan dalam hal ini
adalah pendapat mayoritas filsuf dari dulu sampai kini
bahwa alam adalah kekal. Ia ada bersama dengan
Allah, menjadi akibat dari keberadaan-Nya, namun
adanya secara bersamaan, tanpa perbedaan urutan
waktu seperti kebersamaan sebab dan akibat serta
kebersamaan matahari dan sinarnya. Prioritas atau
keberadaan lebih awal (taqaddum) Allah atas alam

20
Rusli Ris’an, Filsafat Islam, (Jakarta: Kencana, 2021) 71
21
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 101
22
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 61

8
seperti priortas sebab atas akibat, yaitu prioritas
esensial dan tingkatan, bukan prioritas dalam urutan
waktu.23
Dalam bukunya Apa Yang Dipercaya Galen,
Galen menahan diri dalam masalah ini, karena ia tidak
mengetahui apakah alam ini azali (qadim) atau baru
(muhdats). Barangkali, itu menunjukkan bahwa hal itu
tidak mungkin diketahui. Hal tersebut bukan karena
ketidakmampuan, tetapi karena hal itu memang sulit
dipahami akal. Tetapi pandangan ini tidak bergema
dalam belantara pemikiran para filosof. Kebanyakan
filosof sepakat bahwa alam ini azali dan kemunculan
sesuatu yang azali tanpa perantara samasekali tidak
bisa diterima akal.24

2. Penolakan Terhadap Keyakinan Para Filsuf Atas


Keabadian Alam,Ruang Dan Waktu25
Mesti diketahui bahwa masalah ini merupakan
cabang dari masalah pertama. Menurut para filosof,
sebagaimana alam adalah azali (tidak bermula), ia pun
abadi (tidak berakhir) Menurut mereka, kerusakan
atau kesirnaan alam tidaklah mungkin terjadi. Alam
akan tetap sebagaimana adanya.
Empat argumen mereka yang dikemukakan
untuk membuktikan keazalian alam, juga
dipergunakan untuk membuktikan keabadiannya. Dan
sanggahan-sanggahan serupa juga akan dihadapkan
kepada mereka sebagaimana telah dilakukan di atas.
Mereka mengatakan bahwa alam adalah "akibat"
(ma'lul) dari Sebab ('Illah) yang azali dan abadi. Maka,
ia tidak bisa lepas dari Sebab. Karena Sebab tidak
dapat berubah, maka akibat itu pun tidak berubah

23
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 1
24
Imam al-Ghazali. Tahafut al-Falasifah (Membongkar Tabir Kerancuan
Para Filosof). (Bandung: Marja, 2012) 61-62
25
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 61

9
pula. Inilah dasar penolakan mereka terhadap
bermulanya alam dan argumen ini juga dapat
diaplikasikan pada berakhirnya (alam). Inilah garis
pemikiran pertama yang mereka kemukakan dalam
masalah ini.
Kedua, mereka mengatakan bahwa apabila alam
tiada, maka ketiadaannya akan terjadi sesudah
wujudnya. Dengan demikian, alam mempunyai
dimensi waktu “sesudah” (ba’du). Di sini terdapat
afirmasi terhadap waktu.
Ketiga, mereka berkata bahwa kemungkinan
wujud tidak pernah terhenti. Karenanya, wujud yang
mungkin bisa jadi sesuai dengan kemungkinan
(imkan). Tetapi argumen ini tidak kuat. Kita hanya
mengingkari keazaliannya alam dan tidak mengingkari
keabadiannya, seandainya Allah melanggengkannya
selama-lamanya. Sebab sesuatu yang hadis (memiliki
awal temporal) tak mesti memiliki akhir, sedangkan
suatu tindakan atau aktivitas (fi’l) mesti hadis dan
memiliki awal waktu. Tak seorang pun, kecuali Abu al-
Huzayl al‘Allaf, yang berkata bahwa alam mesti
berakhir. Abu al-Huzayl berpendapat bahwa
sebagaimana pada masa lampau mustahil terjadi
perputaran falak yang tak terbatas secara kuantitas
(jumlah), maka demikian juga di masa yang jakan
datang. Tetapi ini tidak bisa dibenarkan. Sebab semua
kategori masa mendatang tak masuk ke dalam wujud,
baik secara bersamaan atapun berturut-turut.
Sedangkan masa lampau telah masuk ke dalam wujud
secara berturut-turut, meskipun tidak secara
bersamaan.26

3. Ketidakjujuran Para Filosof Dalam Menyatakan Bahwa


Tuhan Adalah Pencipta Alam Dan Penjelasan Bahwa

26
Imam al-Ghazali. Tahafut al-Falasifah (Membongkar Tabir Kerancuan
Para Filosof). (Bandung: Marja, 2012), 101-102

10
Ungkapan Tersebut Yang Hanya Bersifat Metaforis,
Tidak Dalam Makna Hakikinya27
Semua filsuf (kecuali kaum ateis-materialis [ad-
dahriyah]) sepakat dengan pendapat bahwa alam
mempunyai seorang pencipta dan bahwa Tuhan adalah
Pencipta (Sani’) atau pelaku dalam proses terjadinya
(fa’il) alam, dan bahwa alam adalah hasil perbuatan-
Nya. Tetapi muncul suatu distorsi tak jujur atas prinsip
prinsip mereka sendiri. Ada beberapa alasan mengapa,
menurut prinsip-prinsip para filsuf, adanya alam
sebagai hasil perbuatan atau ciptaan Tuhan menjadi
sesuatu yang mustahil. Pertama,—dari alasan alasan
ini-dapat dilihat pada watak pelaku (fa’il). Kedua, pada
watak perbuatan (fi’l). Ketiga, pada hubungan antara
perbuatan (fi’l) dan pelaku (fa’il).
Pertama, alasan yang terdapat pada pelaku ialah
bahwa pelaku (fa’il) harus merupakan zat yang
memiliki kehendak berbuat (murid), bebas memilih
(mukhtar) dan mengetahui (‘alim) atas apa yang
dikehendakinya. Tetapi, menurut para filsuf, Tuhan
bukan Zat yang berkehendak. Bahkan, Dia sama sekali
tak bersifat, dan yang berasal dari-Nya adalah suatu
konsekuensi yang niscaya (luzum wa daruri).
Kedua, alasan yang terdapat pada watak
perbuatan adalah bahwa suatu perbuatan harus
bepermulaan. Tetapi para filsuf mengatakan bahwa
alam adalah kekal (qadim).
Ketiga, alasan yang terdapt pada hubungan
antara perbuatan dan pelaku adalah bahwa Tuhan
tunggal, dari segala aspeknya. Dari yang tunggal hanya
akan muncul yang tunggal atau satu hal. Tetapi alam
adalah terbentuk dari beragam unsur yang berbeda-
beda.28

27
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja:2019) hlm. 111
28
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum: 2015) hlm. 78

11
4. Ketidakmampuan Para Filosof Membuktikan Eksistensi
Pencipta Alam29
Kami mengatakan bahwa (dalam konteks ini)
umat manusia terbagi menjadi dua kelompok.
Pertama, kelompok penganut kebenaran (ahl al-
haqq). Mereka berpandangan bahwa alam memiliki
awal waktu (hadis) dan berdasar pengetahuan niscaya
rasional (daruri) mereka tahu bahwa sesuatu yang
memiliki awal waktu tidak bisa ada dengan sendirinya,
sebab ia memerlukan pencipta. Dengan demikian,
pandangan mereka tentang pencipta dapat diterima
akal sehat.
Kedua, kelompok materialis. Kelompok ini
berpendapat bahwa alam tidak memiliki awal waktu
(qadim), sudah demikian adanya sejak awal, sehingga
tidak memerlukan pencipta. Pandangan ini juga masuk
akal, sekalipun terdapat bukti rasional yang ddapat
dikembangan untuk membantahnya.
Para filsuf menyatakan bahwa alam tidak
memiliki awal waktu (qadim), namun bersama itu
mereka juga menetapkan eksistensi pencipta alam.
Dalam formasi dasarnya, teori ini sudah mengidap self
contradictiory. Oleh karena itu tidak diperlukan
argumen untuk membantahnya.30

5. Tentang Ketidakmampuan Para Filosuf Membuktikan


Bahwa Tuhan Itu Satu Dan Tidak Bisa Diasumsikanua
Wajib Al-Wujud Yang Masing-Masing Tanpa Sebab31
Untuk persoalan ini, para filsuf mendasarkan
pada dua alasan:

29
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 134
30
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 117-118
31
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung: Marja, 2019) 140

12
Pertama, mereka mengatakan bahwa apabila ada
dua Tuhan, maka masing-maisng dari keduanya harus
disebut “wajib al-wujud” (niscaya ada).
Kedua: Mereka mengatakan bahwa apabila kami
mengandaikan dua wajib al-wujud, maka kedua-duanya
bisa sama pada semua seginya atau berbeda satu
dengan lainnya. Apabila keduanya sama dalam segala
segi.32

6. Sanggahan Atas Pandangan Para Filosof Tentang Negasi


Sifat-Sifat Tuhan33
Sejalan dengan penganut Muktazilah, para filsuf
memustahilkan afirmasi pengetahuan (‘ilm), kekuasaan
(qudrah), dan kehendak (iradah) bsgi prinsip pertama,
sebagai sifat. Mereka mengatakan bahwa nama-nama
itu telah dipergunakan oleh Syara’, dan aplikasinya
secara etimologis diperbolehkan. Namun demikian,
semua nama itu menunjuk pada hal yang sama, yaitu
satu esensi (zat),--sebagaimana telah dikemukakan di
atas. Tak benar mengafirmasi sifat-sifat untuk Tuhan,
karena hal itu akan menjadi “tambahan” pada esensi
Nya, sebagaimana pengetahuan dan kekuasaan kita
merupakan suatu sifat tambahan pada esensi kita.
Mereka juga mengatakan bahwa sifat-sifat tersebut
menuntut terjadinya pluralitas (kasirah). Karena
apabila sifat-sifat tersebut ada pada kita, tentu kita tahu
bahwa sifat-sifat itu adalah tambahan pada esensi
kita.34

7. Sanggahan Atas Pandangan Bahwa Mustahil Tuhan


Bersama Yang Dalam Genus (Jins) Dan Dipisahkan

32
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 127
33
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 153
34
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 147-148

13
Dengan Diferensia (Fashl), Dan Bahwa Akal Tidak Bisa
Membagi-Nya Ke Dalam Genus Dan Diferensia35
Para filosof sependapat dalam hal ini, dan atas
dasar itu muncullesis bahwa, karena tidak ada apa pun
yang sama dengan Tuhan dalam genusnya, maka Tuhan
juga tidak bisa dipisah-pisah berdasar deferensia.
Dengan demikian, Dia tak dapat didefinisikan. Definisi
mengandung genus dan diferensia, sedangkan segala
yang tidak mengandung komposisi (tarakkub) tidak
bisa didefinisikan, karena ini merupakan jenis
komposisi.36

8. Sanggahan Terhadap Teori Bahwa Eksistensi Tuhan


Adalah Eksistensi Sederhana, Eksistensi Murni, Tanpa
Kuiditas Atau Esensi Tempat Eksistensi Dilampirkan
Dan Bahwa Al-Wujud Al-Wajib Baginya Seperti
Kuiditas Bagi Esistensi Yang Lain37
Kami akan membicarakan teori ini dari dua
sudut pandang. Pertama, tuntutan akan sebuah
argumen. Mesti dipertanyakan kepada mereka
bagaimana Anda tahu itu, apakah secara dharuri atau
melalui kajian teorotis rasional? Itu jelas bukan
pengetahuan yang bisa diketahui secara dharuri. Karena
itu, Anda harus mengemukakan dasar-dasar teoritisnya.
Kedua: kami akan mengatakan: Eksistensi tapa
kuiditas atau esensi riil adalah sesuatu tidak masuk
akal, sebagaimana kita tidak memahami ketiadaan
(adam, noneksistensi) yang terlepas sama sekali dari
maujud (mursal), kecuali jika dihubungkan dengan
maujud yang dapat diandaikan ketiadaannya, demikian
pula kita tidak akan dapat memahami eksistensi

35
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 167
36
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 173
37
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 174

14
mursal, kecuali jika dihubungkan dengan suatu haqiqah
tertentu.38
Hal tesebut dapat dibuktikan dengan dalil
bahwa jika wujud dapat diterima akal, maka dalam
akibat-akibat bisa jadi terdapat wujud yang tidak punya
realitas (haqiqah), yang menyamai Tuhan dalam
kapasitasnya sebagai wujud yang tidak memiliki realitas
dan kuiditas, namun berbeda karena ia punya sebab
sedangkan Tuhan tidak. Lalu, mengapa ini tidak bisa
terbayangkan dalam akibat-akibat (ma'lulat)? Apakah ia
mempunyai suatu sebab, tetapi tidak dapat dipahami
dengan sendirinya? Sesuatu yang dengan sendirinya
tidak dapat dipahami, maka sesuatu itu tidak akan
pernah dapat dipahami, apabila sebab-sebabnya
ditiadakan. Dan apa-apa yang dapat dipahami tidak
akan menjadi demikian, apabila ia diandaikan
bergantung kepada suatu sebab.39

9. Tentang Ketidakmampuan Para Filosof Untuk


Membuktikan Melalui Argumen Rasional Bahwa Tuhan
Bukan Tubuh (Jisim)40
Kami akan mengatakan: Orang yang
berpendapat bahwa tubuh (jisim) diciptakan dalam
lingkup waktu, karena itu ia tidak bebas dari perubahan
membutuhkan entitas yang menciptakan perubahan itu
di dalam lingkup waktu, adalah orang yang secara
konsisten mengatakan bahwa Tuhan bukan tubuh.
Tetapi Anda telah menerima ide tentang tubuh kekal—
yang tak berpermulaan, meski demikian ia selalu tidak
bebas dari perubahan-perubahan. Lalu, mengapa Anda
tidak bisa menerima bahwa Prinsip Pertama adalah

38
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 191
39
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 188
40
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 178

15
tubuh—misalnya matahari, atau falak yang tertinggi
dan lain sebagainya?

10. Ketidakmampuan Para Filosof Membuktikan Secara


Rasonal Bahwa Alam Memiliki Pencipta Dan Sebab41
Kami katakan: Orang yang berpendapat bahwa
seluruh tubuh diciptakan atau memiliki awal temporal
(hadis) karena ia tidak pernah lepas dari perubahan-
perubahan, maka pendapatnya dapat diterima akal
sehat jika dia mengklaim bahwa tubuh membutuhkan
suatu sebab atau pencipta. Tetapi apakah yang
mencegah para filsuf dari mengatakan-sebagaimana
kaum materialis katakan-bahwa:
“Alam adalah kekal (qadim) dan tidak
mempunyai sebab atau pencipta. Suatu sebab hanya
diperlukan oleh sesuatu yang bermula di dalam lingkup
waktu (hawadis). Tak satupun dari tubuh-tubuh di
dunia bermula di dalam waktu dan tidak akan hancur,
sebab yang bermula di dalam waktu hanyalah bentuk
bentuk dan aksidenaksiden (as-suwar wa al-a’rad).
Tubuh-tubuh yang berada di langit-langit adalah kekal
(qadim). Dan unsur unsur yang empat, yang
merupakan isi falak bulan serta tubuh tubuh dan
materinya adalah kekal. Di atasnya, bentuk-bentuk
saling berganti dengan melalui kombinasi dan
transformasi. Kemudian jiwa manusia dan binatang
serta jiwa tumbuh tumbuhan bermula dalam waktu.
Seluruh rangkaian sebab dari segala sesuatu yang
bermula itu berakhir pada gerak putar. Gerak putar itu
kekal, sumbernya menjadi jiwa kekal bagi falak. Semua
ini menunjukkan bahwa alam tidak mempunyai sebab
dan bahwa tubuh-tubuh di dalam alam tidak
mempunyai pencipta. Alam tetap seperti adanya,

41
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 184

16
demikian pula tubuh-tubuh di dalam alam akan tetap
kekal, dan tidak mempunyai sebab.”42

11. Sanggahan Terhadap Sebagian Filosof Yang


Mengatakan Bahwa Tuhan Mengetahui Yan Lain Dan
Mengetahui Berbagai Spesies Dan Genus Secara
Universal43
Bagi umat Muslimin, pembagian wujud kedalam
wujud yang temporal dan yang kekal merupakan suatu
pembagian yang sempurna. Dan menurut mereka, tiada
yang kekal selain Allah dan sifat-sifat-Nya. Karena apa
pun selain Dia, eksistensinya memiliki awal temporal
(hadis), berada di bawah pengaruh Allah dan
kehendakNya. Dari pendapat semacam ini,
pengetahuan Tuhan, sebagaimana yang mereka
kemukakan, harus merupakan suatu premis yang
niscaya (muqaddimah daruriyyah). Sebab objek
kehendak mesti diketahui oleh orang yang
berkehendak. Dari sini, mereka kemudian
menyimpulkan bahwa seluruh alam semesta (kull)
diketahui oleh-Nya, karena alam semesta dikehendak-
Nya dan menggantungkan asal-mulanya pada
kehendak-Nya. Alam semesta berasal dari kehendak-
Nya. Dan bila telah terbukti bahwa Dia adalah yang
berkehendak dan yang mengetahui apa yang Ia
kehendaki, terbuktilah bahwa Dia juga harus disebut
Yang Hidup (Hayy).44

12. Ketidakmampuan Para Filosof Membuktikan Bahwa


Tuhan Mengetahui Esensi-Nya45

42
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 199-200
43
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 187
44
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 203-204
45
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 195

17
Setelah umat Muslim mengetahui bahwa alam
bermula karena kehendak Allah, mereka juga
membuktikan adanya pengetahuan dengan adanya
kehendak, lalu membuktikan kehidupan dengan
adanya pengetahuan dan kehendak. Lantas dengan
kehidupan mereka membuktikan bahwa Tuhan yang
hidup tentu juga mengetahui diri-Nya, karena semua
makhluk hidup menyadari dirinya. Inilah pendapat
yang masuk akal dan tidak tergoyahkan.46

13. Sanggahan Terhadap Para Filosof Bahwa Tuhan Tidak


Mengetahui Hal-Hal Partikular (Juz’iyyah) Yang Dapat
Dikelompokkan Sesuai Pembagian Waktu Ke Dalam
Kategori “'Telah”', “Sedang”, Dan “Akan”
Para filosof sepakat mengenai pendapat ini
(bahwa tuhan tidak mengetahui partikularia-
partikularia yang dibagi-bagi sesuai dengan pembagian
waktu ke dalam kategori ‘telah’, ‘sedang’ dan ‘akan’).
Yang percaya bahwa Tuhan tidak mengetahui apa pun
kecuali diriNya termasuk ke dalam jajaran para filsuf.
Tetapi orang yang berpendapat bahwa Dia mengetahui
Yang Lain-yang diterima oleh Ibn Sina-menyatakan
bahwa Dia mengetahui segala sesuatu dengan suatu
pengetahuan universal yang tidak termasuk ke dalam
pembagian waktu dan tidak berubah-ubah sejak masa
lampau, kini, hingga masa mendatang. Selain itu,
dinyatakan-oleh Ibn Sina yang mewakili pendapat
terakhir-bahwa “tak ada sesuatu pun-bahkan satu
partikel atom di langit atau di bumi-yang tersembunyi
dari pengetahuan-Nya. Hanya saja, Tuhan mengetahui
tiap partikularia secara universal.”47
Pertama kali kita harus memahami pendapat
mereka, lalu memberikan sanggahan dan kritik tajam.

46
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 215-216
47
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 198

18
Kami akan mengulas pendapat ini dengan
sebuah ilustrasi. Ketika matahari gerhana, setelah
sebelumnya tidak terjadi gerhana, dan ketika kemudian
terang kembali, matahari telah melalui tiga keadaan: (a)
keadaan pertama, ketika gerhana belum terjadi, tetapi
eksistensinya dalam proses penantian, yang tergambar
dalam ungkapan: ‘gerhana akan terjadi’; (b) keadaan
kedua, gerhana benar-benar terjadi, yang tergambar
dalam ungkapan: ‘gerhana sedang terjadi’; (c) keadaan
ketiga, gerhana sudah tidak terjadi lagi, tetapi beberapa
saat sebelumnya ia terjadi, yang tergambar dalam
ungkapan: ‘gerhana telah terjadi’. Mengenai ketiga hal
ini, kita mempunyai tiga pengertian yang berbeda.
Karena pertama, kita mengetahui bahwa gerhana tidak
ada atau tidak terjadi, tetapi akan terjadi. Lalu, kedua,
kita tahu bahwa gerhana ada dan terjadi.48

14. Tentang Ketakmampuan Para Filosof Untuk


Membuktikan Bahwa Langit Adalah Makhluk Hidup
Dam Mematuhi Tuhan Melalui Gerak Putarnya49
Mereka mengatakan bahwa langit adalah
makhluk hidup dan mempunyai jiwa yang
berhubungan dengan tubuh langit sebagaimana
hubungan jiwa dengan tubuh kita. Sebagaimana tubuh
kita bergerak melalui kehendak menuju tujuan-tujuan
kita di bawah pengaruh motivasi jiwa kita, demikian
pula langit. Tujuan dari gerak putarnya adalah
beribadah kepada Tuhan Alam Semesta dengan cara
yang akan kami sebutkan kemudian.
Pandangan mereka mengenai persoalan ini
termasuk pandangan yang kemungkinannya tidak
dapat dipungkiri. Karena Allah berkuasa untuk
menciptakan kehidupan di dalam suatu tubuh. Ukuran

48
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 219-220
49
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 210

19
tubuh maupun bentuknya yang bundar tidak akan
menghalangi adanya kehidupan. Sebab bentuk tertentu
bukanlah syarat bagi kemungkinan kehidupan.
Meskipun bentuknya berbeda-beda, namun semua
binatang sama saja di dalam menerima kehidupan.50

15. Sanggahan Atas Apa Yang Mereka Sebut Tujuan Yang


Menggerakkan Langit51
Mereka menyatakan: Sesungguhnya langit
tunduk kepada Allah dengan gerakannya dan berusaha
mendekatkan diri kepada-Nya, karena setiap gerakan
atas kehendak terarah ke suatu tujuan. Tak dapat
dibayangkan bahwa suatu perbuatan atau gerakan
terjadi dari makhluk hidup, kecuali memang sudah
diketahui bahwa melakukannya lebih baik daripada
tidak. Apabila melakukan sesuatu sama dengan tidak
melakukannya, maka suatu perbuatan tersebut tidak
terbayangkan adanya.52

16. Sanggahan Terhadap Tesis Para Filosof Bahwa Jiwa-jiwa


Langit Mengetahui Semua Partikular Baru (Al-Juz'iyyat
Al-Hadisah) di Alam
Yang dimaksud dengan “lembar terpelihara”
(lawh al-mahfuz) adalah jiwa-jiwa langit. Pengaruh
partikularia-partikularia alam terhadap jiwa-jiwa langit
bagaikan pengaruh hal-hal yang dihafal terhadap
kekuatan ingatan yang terletak di dalam otak manusia.
Kedua hal tersebut tidak seperti suatu benda yang
menerima pengaruh, seperti benda keras dan luas yang
di atasnya tulisan digoreskan, sebagaimana anak-anak
kecil menulis di atas sebuah batu tulis. Karena
multiplisitas dari tulisan ini menuntut tempt tulisan

50
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 235-236
51
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 215
52
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 243-245

20
yang luas untuk menulis di atasnya.53 Jika tulisan itu
tidak terbatas, bahan yang ditulis di atasnya juga tidak
terbatas. Tetapi eksistensi suatu tubuh yang tak
terbatas tidak dapat kita bayangkan, garis-garis yang
tak terbatas di atas sebuah tubuh adalah tidak mungkin
dan mendefinisikan sesuatu yang tak terbatas tidak
mungkin dilakukan dengan garis-garis dan tulisan yang
terbatas di atas suatu tubuh.
Mereka beranggapan bahwa: Malaikat-malaikat
langit adalah jiwa-jiwa langit. Dan malaikat malaikat
Karubin yang dekat (al-Malaïkah al-Karubin al-
Muqarrabin) adalah akal-akal yang immaterial, yaitu
substansi-substansi yang berdiri sendiri, tidak
menempati suatu ruang dan tidak m bertindak di dalam
tubuh tubuh. Dari akal-akal ini, bentuk-bentuk
partikular itu turn pada jiwa-jiwa langit, yaitu malaikat
Karubin yang merupakan malaikat langit yang paling
agung. Sebab yang pertama memberi manfaat,
sedangkan yang terakhir menerima manfaat. Karena
itu, yang paling mulia di antara m keduanya secara
simbolis disebut Pena (qalam). Allah berfirman: "Dia
mengajar dengan pena (allama bi al-qalam)" Sebab Pena
itu seperti tukang ukir yang memberi manfaat. Guru
yang mengajar diumpamakan dengan pena dan yang
mendapat manfaat diumpamakan dengan lembaran.
Inilah tesis mereka.

17. Sanggahan Atas Keyakinan Para Filosof Terhadap


Kemustahilan Independensi Sebab Dan Akibat54
Menurut kami, hubungan antara apa yang
diyakini sebagai sebab alami dan akibat adalah tidak
mesti (daruri). Tapi masing-masing berdiri sendiri. Ini
bukan itu, dan itu bukan ini. Afirmasi terhadap salah

53
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 220
54
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 235

21
satunya tidak mesti afirmasi atas yang lain dan negasi
terhadap yang satu tidak mesti negasi pada yang lain.
Eksistensi yang satu tidak mengharuskan eksistensi dari
yang lain, dan ketiadaan yang satu tidak mengharuskan
ketiadaan yang lain. Misalnya pemuasan haus dan
minum, kenyang dan makan, pembakaran dan kontak
dengan api, cahaya dan terbitnya matahari, kematian
dan pemutusan kepala dari tubuh, penyembuhan dan
minum obat, cuci perut dan minum obat cuci perut,
dan lainnya sebagai pasangan peristiwa yang tampak
kasat mata terkait dalam kedokteran, astronomi,
kesenian, atau kerajinan.

18. Ketidakmampuan Para Fiosof Memberikan Buktoi


Rasional Bahwa Jiwa Manusia Adalah Substansi
Ruhaniah Yang Berdiri Sendiri, Tak Menempati Ruang,
Tidak Tercetak Pada Tubuh, Serta Tidak Menyatu
Dengan Dan Tidak Juga Terpisah Dari Badan
Sebagaimana, Menurut Mereka, Allah Bukan Di Luar
Dan Bukan Pula Di Dalam Alam, Dan Demikian Pula
Para Malaikat55
Jiwa berakal manusia (an-nafs al-'âqilah al-
insaniyyah), para filosof menyebutnya an-nafs an-
nâthiqah (jiwa rasional). Itu karena nuthq (berpikir)
merupakan hasil yang paling spesifik dari akal dalam
aspek lahiriah, sehingga jiwa itu dinisbatkan padanya.
Jiwa rasional mempunyai dua fakultas, yaitu
teoretis ('alimah) dan praktis ('âmilah). Kadang-kadang
masing-masing disebut akal, tetapi dengan kesamaan
kata. Fakultas praktis merupakan prinsip penggerak bag
tubuh manusia menuju aktivitas-aktivitas yang
terkoordinasi dan yang kordinasinya berasal dari
pertimbangan karakteristik manusia.
Fungsi fakultas teoritis, yang juga disebut
spekulatif (nazhariyyah) adalah untuk mengetahui

55
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 248

22
realitas-realitas obyck-obyek pemikiran (ma'qûlât),
yang bebas dari materi, rang dan dimensi. Hal itu
adalah masalah-masalah universal (qadhayâ kulliyyah)
yang oleh para ahli kalam disebut ahwâl (keadaan
keadaan) atau wujûh (aspek-aspek), dan olch para
filosof disebut universal abstrak (al-kulliyyah al-
mujarradah).
Jadi, jiwa mempunyai dua fakultas yang
berkaitan dengan dua aspek. Pertama, fakultas
spckulatif atau teoritis yang berkaitan dengan aspek
malaikat, karena dengannya diambil pengetahuan -
pengetahuan hakiki dari mercka. Semestinya hal in
senantiasa diterima dari arah atas.
Kedua, fakultas praktis yang berkaitan dengan
tingkatan terendah, yaitu arah dan pengaturan tubuh
serta perbaikan moral. Fakultas ini semestinya
menguasai semua fakultas ragawi yang lain, dan
fakultas-fakultas yang lain diarahkan dengan
pengarahannya dan tunduk terhadapnya. Dengan
demikian, fakultas itu tidak terpengaruh oleh fakultas-
fakultas yang lain, tetapi justru mempengaruhinya, agar
dalam jiwa tidak muncul sifat-sifat ragawi yang disebut
radza'il (sifat-sifat yang rendah). Tetapi fakultas itulah
yang harus dominan, agar dengannya jiwa
mendapatkan sifat-sifat keutamaan (fadhâ'il).56

19. Sanggahan terhadap Tess Para Filosof Bahwa Jiwa


Manusia Mustahil Tiada Setelah Ada dan Bahwa la
Abadi tanpa Terbayangkan Kehancurannya57
Mereka dituntut untuk membuktikannya. Dalam
hal ini mereka memiliki dua dalil. Lenyapnya jiwa tidak
lepas dari:
1. kematian tubuh,

56
Imam Al-Gazali, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum, 2015) 251-252
57
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 272

23
2. terjadinya lawan jiwa yang datang untuk
menggantikan posisinya
3. kekuasaan zat yang berkuasa.
Tidak benar bahwa jiwa dapat lenyap karena
kematian tubuh. Sebab tubuh bukan substratum jiwa.
Namun ia hanyalah instrumen yang dipergunakan oleh
jiwa dengan perantaraan fakultas-fakultas yang
terdapat di dalam tubuh. Kehancuran instrumen tidak
menuntut kehancuran pengguna instrumen tersebut,
kecuali pengguna itu bertempat di dalamnya atau
terpasang padanya, seperti jiwa binatang atau fakultas-
fakultas jasmani.
Yang pertama contohnya imajinasi, sensasi,
hasrat atau kemarahan. Semuanya jelas akan rusak
ketika tubuh rusak dan tentu akan menguat bila tubuh
menguat.
Yang kedua contohnya adalah tindakan jiwa
dengan dirinya sendiri tanpa bantuan atau kerja sama
dengan tubuh. Misalnya pengetahuan atau kognisi akan
hal-hal terpikirkan yang tidak terkait dengan materi
terbentuk tanpa bantuan tubuh. Selama jiwa
merupakan “yang mengetahui” (mudrik) akan hal hal
yang dipikirkan (ma’qulat), ia tidak memerlukan tubuh
sama sekali. Sebaliknya, kesibukannya dengan tubuh
menghalangi perhatiannya dari objek-objek yang dapat
dipikirkan (ma’qulat). Selama tindakan dan eksistensi
bukan merupakan tubuh, maka konstitusinya tidak
bergantung pada tubuh.

20. Sanggahan terhadap Penolakan Para Filosof atas


Kebangkitan Jasad, Kembalinya Jiwa ke Dalam Raga,
Keberadaan Neraka Jasmaniah, Keberadaan Surga dan
Bidadari, dan Segala yang Dijanjikan Allah kepada
Manusia, serta Ucapan Mereka bahwa Semua itu
Merupakan Perumpamaan bagi Kalangan Awam agar

24
Mereka Memahami Surga dan Neraka Ruhaniah, dan
Keduanya Merupakan Tingkatan Jasmaniah Tertinggi 58
Pandangan ini bertentangan dengan
kepercayaan seluruh umat Muslimin. Pertama kali,
kami hendak mengemukakan apa yang dipercaya oleh
para filsuf mengenai persoalan eskatologis (umur
ukhrawiyyah), lalu kami akan mengajukan sanggahan
sanggahan terhadap semua unsur yang bertentangan
dengan Islam.
Mereka berkata Setelah kematian tubuh, jiwa
mengekal selama-lamanya baik dalam keadaan senang
yang tak mungkin terlukiskan karena begitu besarnya,
atau dalam keadaan sengsara yang tak mungkin
terlukiskan karena begitu dahsyatnya. Kadang-kadang,
kesengsaraan itu menjadi abadi, dan kadang-kadang
menghilang bersama perjalanan masa.

E. Kekafiran Filosof
1. Kekhadiman alam
Pada umumnya para filosof muslim berpendapat
bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam bersamaan
dengan wujud allah. Keterdahuluan ( kekadiman) allah
dari alamnya hanya dari segi zat (taqaddum zaty) dan
tidak dari segi zaman (taqaddum zamany), seperti
keterdahuluan sebab dari akibat dan cahaya dari
matahari. Untuk menopang pendapat ini , menurut al-
ghazali, para filosof muslim mengemukakan argument
sebagai berikut.59
a. Mustahil timbulnya yang baharu dari yang khadim,
Proposi ini berlaku bagi sebab akibat, dengan arti,
jika Allah qadim, maka terjadinya alam merupakan
suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi qadim

58
Imam Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para filosof),
(Bandung; Marja, 2019) 279
59
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012) 164

25
kedua-duanya (Allah dan alam).60 Para filosof
muslim sebelum alGhazali mengatakan bahwa alam
ini qadim. Sebab qadimnya Tuhan atas alam sama
halnya dengan qadimnya illat atas ma’lulnya (ada
sebab akibat), yakni dari zat dan tingkatan, juga dari
segi zaman. Para filosof kala itu beralasan tidak
mungkin wujud yang lebih dahulu, yaitu alam,
keluar dari yang qadim (Tuhan), karena dengan
demikian berarti kita bisa membayangkan bahwa
yang qadim itu sudah ada, sedangkan alam belum
ada.61
maka terjadinya alam merupakan suatu
keniscayaan dan hal ini akan menjadi kadim kedua-
duanya ( Allah dan alam). Jika diandaikan Allah
yang kadim sudah ada, sedangkan alam belum lagi
ada, karena merupakan kemungkinan semesta, dan
setelah itu alam diadakan-Nya, maka apa alasannya
alam di adakan sekarang, tidak sebelumnya. Kalau
dikatakan sebelumnya motif (murajjih) belum lagi
ada, mengapa baru ada sekarang tidak sebelumnya?
Jika dikatakan kekuasaan baru ada tidak
sebelumnya, bagaimana terjadi kekuasaan itu. Jika
dikatakan sebelumnya allah tidak berkehendak (
iradat) dan baru kemudian kehendak itu, mengapa
terjadi kehendak itu, apakah kehendak itu datang
dari zat-Nya? Keduannya adalah mustahil karena
allah tidak mengalami prubahan.62

60
Try Subakti, Filsafat Islam (Sebuah Studi Kajian Islam Melalui
Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi), Jurnal Studi Islam, Vol.14, No.1,
2019, 109
61
Ahmad Atabik, “Telah Pemikiran Al-Ghazali Tentang Filsafat”, Vol. 2,
No. 1, 2014, 30
62
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012). 164

26
Al-ghazali menjawab argument filosof
muslim diatas yang dikemukakan sendiri. Menurut
Al-Ghazali, tidak ada halangan apapun bagi Allah
menciptakan alam sejak azali dengan iradah-Nya
yangb kadim pada waktu diadakan-Nya. Sementara
itu, ketiadaan wujud alam sebelumnya karena
belum dikehendaki-Nya. Iradah, menurut Al-
Ghazali, adalah suatu sifat bagi Allah yang berfungsi
membedakan (memilih) sesuatu dari lainnya yang
sama. Jika tidak demikian fungsinya, tentu bagi
Allah cukup saja dengan sifat qudrat. Akan tetapi,
karena sifat qudrat antara mencipta dan tidaknya
sama kedudukannya, harus ada suatu sifat khusus
yang membedakanya, yaitu sifat iradah. Andaikan
para filosof muslim menganggap sifat tersebut tidak
tepat disebut sebagai iradah, dapat diberi nama lain
asal itu yang dimaksud atau dengan arti yang sama.
Sekedar istilah tidak perlu diperdebatkan, yang
penting adalah isinya. Oleh karena itulah, jika allah
telah menetapkan ciptaannya dalam satu waktu dan
tidak dengan waktu yang lain, tidaklah mustahil
terciptanya yang baru dan zat yang kadim.
Alasannya, iradah allah bersifat mutlak dan tidak di
halangi oleh waktu dan tempat. Hal ini sesaui
dengan ta’alluq ( hubungan)Nya yakni pada yang
mungkin.

b. Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya dari


segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi
zaman ( taqaddum zamany) antara keduanya dalah
sama. Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya
dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari
segi zaman (taqaddum zamany) antara keduanya
adalah sama, seperti keterdahuluan bilangan satu

27
dengan dua.63 Hal ini sama dengan keterdahuluan
bilangan satu dari dua, atau keterdahuluan gerakan
tangan dari cincin. Kedua jenis ini serupa
tingkatannya dalam zaman. Jika demikian keadaan
antara allah dan alam, harus keduanya kadim atau
baharu dan tidak mungkin salah satunya kadim dan
yang lainya baharu. Andaikan allah mendahului
alam dari segala zaman, bukan dari segala dzat, ini
berarti ada zaman sebelum alam diwujudkan. Pada
waktu itu alam harus belum ada karena ketiadaan
melalui wujud. Oleh sebab itu, Allah mendahului
zaman terbatas pada satu sisi dan tidak terbatas
pada sisi awal. Ini berarti sebelum ada zaman sudah
ada zaman yang tidak terbatas akhirnya. Hal ini
paradox. Justru itu mustahil zaman sebagi ukuran
gerak baharu dan ia harus kadim.64
Pendapat para filosof yang dikemukakan Al-
Ghazali di atas, kemudian ia jawab sendiri.
Menurutnya, memang wujud Allah lebih dahulu
dari alam dan zaman. Zaman baharu dan
diciptyakan. Sebelum zaman diciptakan tidak ada
zaman. Pertama kali ada Allah, kemudian ada alam
karena diciptakan Allah. Jadi, dalam keadaan
pertama kita bayangkan adanya Allah saja, dan
dalam keadaan yang kedua kita bayangkan ada dua
esendi, yakni Allah dan alam, dan tidak perlu kita
membayangkan adanya esensi yang ketiga, yakni
zaman. Zaman adanya setelah adanya alam sebab
zaman adalah ukuran waktu yang terjadi di alam

c. Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang


mungkin. Kemungkinan ini tidak ada awalnya,
dengan arti selalu abadi. Sedangkan menurut Al-
63
Try Subakti, Filsafat Islam (Sebuah Studi Kajian Islam Melalui
Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi), Jurnal Studi Islam, Vol.14, No.1,
April (2019), 109
64
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012) 164

28
Ghazali yang qadim hanyalah Allah dan yang selain
Allah adalah hadis (baharu). Allah dapat berbuat
apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya karena
Allah menciptakan alam sesuai dengan kekuasaan
dan kehendak-Nya.65

2. Tuhan tidak mengetahui partikulat


Pendapat filosof yang menyatakan bahwa Tuhan
tidak mungkin mengetahui hal-hal yang bersifat
partikular (pendapat yang dipegangi oleh Ibnu Sina).
Mula-mula pendapat ini dipegangi oleh Aristoteles
kemudian dianut oleh para filosof Muslim. Menurut al-
Ghazali para filosof Muslim itu mempunyai
pemahaman bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya
sendiri (juz’iyat) dengan alasan alam ini selalu terjadi
perubahanperubahan, jika Allah mengetahui rincian
perubahan tersebut, hal itu akan membawa perubahan
pada zat-Nya. Perubahan pada obyek ilmu akan
membawa perubahan pada yang punya ilmu
(bertambah atau berkurang). Ini mustahil terjadi pada
Allah.66

3. Penolakan kebangkitan jasmani


Menurut para filosof Muslim, yang akan
dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja,
sedangkan jasmani akan hancur. Jadi yang akan
merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah rohani
saja. Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para
filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti
tekstual Al-Qur‟an, yang menurutnya tidak ada alasan
untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau
kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah
Mahakuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu
65
Try Subakti, Filsafat Islam (Sebuah Studi Kajian Islam Melalui
Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi), Jurnal Studi Islam, Vol.14, No.1,
April (2019) 110
66
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004) 174.

29
tidaklah ada keraguan sedikitpun Allah akan
mengembalikan rohani pada jasmani di akhirat nanti.
Sebenarnya dalam ajaran agama Islam informasi
kebangkitan akhirat ada yang disebutkan dengan
jasmani dan rohani dan ada pula yang disebutkan
rohani saja. Para filosof Muslim lebih menerima dalam
bentuk rohani saja, sebab mereka dalam memahami
nash lebih cenderung pada arti metafora, dan kalau
akhirat lawan dari dunia yang berbentuk materi berarti
akhirat bentuk rohani saja. Jadi, arti surga bagi mereka
adalah kesenangan bukan berbentuk jasmani (materi),
sedangkan arti neraka (api yang bernyala), bagi mereka
adalah kesengsaraan.
Sampai pola fikir filosofik yang bersifat khusus
berkembang secara umum, karena orang awam belum
tentu dapat memahaminya.67
Oleh karena itu, Al-Ghazali menurut Harun
Nasution membagi tingkatan berfikir manusia menjadi
tiga macam:
a. Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana
b. Kaum pilihan (‫الخواص‬, elect) yang akalnya
tajam dan berfikir secara mendalam.
c. Kaum menengkar (‫اهل الجذل‬.)
Dari klasifikasi tersebut, dapat ditarik suatu garis
horizontal bahwa Al-Ghazali menempatkan para filosof
pada kelompok kedua atau ketiga dengan pola berfikir
mereka yang khas. Berarti pemikiran filsafat harus
dikembangkan di kalangan filosof. Hal ini sejalan
dengan ide para filosof muslim khususnya Al-Farabi
yang menginginkan agar filsafat tidak dibocorkan
terhadap golongan awam, karena tingkat berfikir
mereka yang berbeda. Termasuk di dalamnya masalah
metafisika dan teologi yang tidak bisa dijelaskan
dengan bahasa filsafat bagi orang awam. Begitu pula

67
Try Subakti, Filsafat Islam (Sebuah Studi Kajian Islam Melalui
Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi), Jurnal Studi Islam, Vol.14, No.1,
April (2019), 110

30
sebaliknya, untuk berbicara dengan filosof maka harus
dengan bahasa filsafat. Al-Ghazali sendiri menurut
Syekh Sulaiman Dunya dari al-Azhar, cairo
memberikan keterangan-keterangan dengan cara yang
berlainan sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Inilah salah satu alasan munculnya tahafut al-falasifat
sebagai cara tersendiri dalam menghadapi para filosof
dengan bahasa filsafat. Dengan demikian Al-Ghazali
tidaklah berbeda dengan filosof, bahkan ia adalah
filosof.68
Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan bahwa
kekalnya jiwa setelah mati tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Bahkan terdapat beberapa hadis yang
menyebutkan bahwa roh-roh manusia merasakan
adanya kebaikan atau siksa kubur dan lainlain. Semua
itu sebagai indikasi adanya kekekalan jiwa. Sementara
itu kebangkitan jasmani secara eksplisi telah ditegaskan
syara’ (agama), dengan arti jiwa dikembalikan pada
tubuh, baik tubuh semula maupun tubuh yang lain,
atau tubuh yang baru dijadikan. 69
F. Filsafat pasca kritik dan serangan Al-ghazali.
Pada awal abad 12 masehi, dunia filsafat sudah
menemukan titik terangnya. Para filsuf benar-benar
terbebas dari belenggu dan ikatan dalam berpikir, tidak
terikat oleh siapapun dan lembaga manapun. Kebebasan
ini sejatinya tidak hanya dimiliki oleh para filsuf Barat saja,
melainkan juga filsuf Timur yang diwakili oleh Baghdad.
Pada periode ini juga, hasil peradaban terdahulu pada masa
Yunani kuno seperti buah karya Aristoteles dan Plato
secara bertahap mulai menjadi bahan kajian dan rujukan.
Karena itulah, kajian-kajian filsafat di abad ini, khususnya
bidang filsafat agama sangat berkembang dan
memunculkan tanggapan beragam dari berbagai pihak
termasuk Imam al-Ghazali sebagai filsuf yang kental

68
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 45.
69
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012). 173

31
dengan manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah1 . Buah karya
para filsuf Yunani tersebut sedikit banyaknya
mempengaruhi pemikiran filsuf Muslim di abad ini, atau
bahkan sebelumnya, seperti al-Kindi (w. 870 M), alFarabi
(w. 950 M), al-Razi (w. 925 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M),
Ibnu Rusyd (w. 1198 M) dan Suhrawardi (w. 1193 M) dan
Imam al-Ghazali merupakan di antara yang menentang
beberapa teori yang digagas oleh pendahulunya tersebut.70
Dalam hal ini, mereka membangun argumentasi
berdasarkan dugaan dengan maksud memperkuat
pendapatnya tersebut. Mereka berpendapat bahwa dari sisi
dzat, Allah lebih dahulu dari pada alam. Namun dari segi
waktu, Allah dan alam bersamaan, sebagaimana lebih
dahulunya sebab dari akibat, geraknya tangan bersamaan
dengan geraknya cincin, geraknya bayangan bersamaan
dengan geraknya tubuh dan sebagainya. Karena Allah dan
alam dari segi waktu adalah bersamaan, maka dapat
disimpulkan bahwa keduanya sama (waktunya). Dengan
demikian, mustahil jika salah satunya kadim, sementara
yang lainnya baru. Maka kesimpulan yang lebih mendekati
kebenaran adalah kadim keduanya. Menghadapi cara
berpikir semacam ini, Imam al-Ghazali menyampaikannya
secara lugas, fokus dan terarah. Nampaknya ia tidak
memiliki pemikiran yang sama dengan para filsuf tersebut
mengenai keberadaan alam. Menurutnya, alam ada sama
sekali tidak bersamaan dengan Allah, baik dzat maupun
waktunya. Alam bisa ada atau tidak ada, semuanya
tergantung pada kehendak Allah. Kehendak-Nya inilah
yang membuat ketiadaan alam akan terus berlangsung
hingga titik dimana kehendak mewujudkannya bermula.
Dengan demikian, wujud alam sebelum kehendak
mewujudkannya sampai pada titik waktu tertentu maka itu

70
Jaipuri Harahap, Kritik Imam Al-Ghazali terhadap Para Filsuf Azis
Arifin, Vol. 12 No. 1 (Januari-Juni 2021), 76

32
diluar kehendak. Karenanya, alam tidak mewujud secara
konkret.71
Kebiasan yang menyimpang dari hukum
kausalitasnya sejatinya terjadi pada nabi-nabi Allah.
Terkait dengan hal ini, Zar menjelaskan dengan memberi
pertanyaan, apakah hal ini terjadi karena kekuatan diri
nabi sendiri atau disebabkan hal lain? Dalam hal ini baik
para filosof Muslim maupun al-Ghazali mempunyai
pendapat yang sama, sebagaimana para filosof bisa
menerima terjadinya hujan petir, gempa bumi atas
kekuatan diri nabi atau karena hal lainnya. Namun yang
lebih penting kata al-Ghazali, harus mengakui bahwa
semuanya melalui perantaraan malaikat sebagai mu’jizat
untuk menguatkan bukti kenabian mereka. 72

G. Penutup

1. Al-Ghazali adalah salah pemikir besar Islam yang


dianugrahi gelar Hujjat Al-Islam. Ilmu
pengetahuan yang ia kuasai fikih, fikih
perbandingan, ushul fikih, ilmu kalam, dan
dasar-dasar ilmu filsafat
2. Al-Ghzali nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Ibn Muhammad Ibn Ahmad, tetapi ia lebih
dikenal dengan Al-Ghazali. Ia lahir di Thus,
salah satu kota di khurasan (Persia) pada
pertengahan abad ke-5 H (450 H/1058 M).
3. Pemahaman Epistemologi secara filosofis
mengandung tiga aspek yakni: hakikat ilmu
ontologi), Sumber dan Alat Memperoleh Ilmu,
tujuan dan kegunaan ilmu (aksiologi)

71
Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, (Tahkik Sulaiman Dunya, Kairo: Dar
al-Ma‟arif, 1928), 206-207.
72
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, ( Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada, 2012). 177

33
4. Al-Ghazali memandang para filsuf sebagai ahli
bid’ah yakni golongan yang membawa kepada
kesesatan
5. Pada umumnya para filosof muslim berpendapat
bahwa alam ini kadim, artinya wujud alam
bersamaan dengan wujud allah. Keterdahuluan (
kekadiman) allah dari alamnya hanya dari segi
zat (taqaddum zaty) dan tidak dari segi zaman
(taqaddum zamany), seperti keterdahuluan
sebab dari akibat dan cahaya dari matahari.
6. Menurut al-Ghazali para filosof Muslim itu
mempunyai pemahaman bahwa Allah hanya
mengetahui zat-Nya sendiri (juz’iyat) dengan
alasan alam ini selalu terjadi
perubahanperubahan, jika Allah mengetahui
rincian perubahan tersebut, hal itu akan
membawa perubahan pada zat-Nya.
7. Al-Ghazali dalam menyanggah pendapat para
filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti
tekstual Al-Qur‟an, yang menurutnya tidak ada
alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan
atau kesengsaraan fisik dan rohani secara
bersamaan.
8. Pada awal abad 12 masehi, dunia filsafat sudah
menemukan titik terangnya. Para filsuf benar-
benar terbebas dari belenggu dan ikatan dalam
berpikir, tidak terikat oleh siapapun dan
lembaga manapun. Kebebasan ini sejatinya tidak
hanya dimiliki oleh para filsuf Barat saja,
melainkan juga filsuf Timur yang diwakili oleh
Baghdad. Pada periode ini juga, hasil peradaban
terdahulu pada masa Yunani kuno seperti buah
karya Aristoteles dan Plato secara bertahap
mulai menjadi bahan kajian dan rujukan

34
DAFTAR PUSTAKA

Busyro, 2020, Pengantar Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Kencana)


Ibrahim, 2016, Filsafat Islam Masa Awal, ( Makassar: Cara Baca )
Try Subakti, 2019, Filsafat Islam, Jurnal Studi Islam, Vol. 14. No. 1,
2019, 105
Asep Sulaiman, 2016, Mengenal Filsafat Islam, (Bandung: Yrama
Widya)
Ahmad Atabik, 2014, Telaah Pemikiran Al-Ghazali tentang
Filsafat, Jurnal Fikrah, Vol. 2, No.1
Muhammad Basyrul Muvid, 2021, Al Ghazali dalam pusaran sosial
politik, Pendidikan, filsafat, Akhlak dan Tasawuf, (Surabaya:
Global Aksara Pers)
Mustofa Hasan, 2015, Sejarah Filsafat Islam: Geneologis dan
Transmisi Filosofi Timur ke Barat, (Bandung: Pustaka Setia)
Ris’an Rusli, 2021, Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya,
(Jakarta: Kencana)
Sufyan Mubarak, 2020, Riwayat Hidup dan Pemikiran Al-Ghazali
dan Ibnu Maskawih, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 1, No.1
Sudarsono, 2010, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta)
Dedi Supriyadi, 2013, Pengantar Filsafat Islam: Konsep FIlsuf dan
Ajarannya, (Bandung: CV Pustaka Setia)
Mustofa, 1997, Filsafat Islam: Untuk Fakultas Tarbiyah, Syari’ah,
dakwah, Adab dan Ushuluddin Komponen MKDK,
(Bandung: Pustaka Setia)
Abdi Syahrial Harahap, 2020, Epistemologi:Teori, Konsep dan
Sumber-SumberIlmu dalam Tradisi Islam, Jurnal Dakwatul
Islam, Vol. 5, No.1, 14
Bahri, 2017, Epistemologi Al-Ghazali, Jurnal Al-Qalam, Vol. XVIII,
No. 90-91.
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, ditahqiq oleh Sulaeman Dunya,
Mesir:Dar al-Ma’rif, t.th.
Nadim Al-Jisr, 1963, Qishshat al-Iman, (Beirut: Dar al-Andalus).
Imam Al-Ghazali, 2019, Tahafut Al-Falasifah (kerancuan para
filosof), (Bandung; Marja)
Imam Al-Gazali, 2015, Kerancuan Filsafat (Tahafut Al-Falasifah),
(Yogyakarta: Forum)

35
Try Subakti, 2019, Filsafat Islam (Sebuah Studi Kajian Islam
Melalui Pendekatan Filsafat Al-Ghazali dan Al-Farabi),
Jurnal Studi Islam, Vol.14, No.1
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam
Jaipuri Harahap, Kritik Imam Al-Ghazali terhadap Para Filsuf Azis
Arifin, Vol. 12 No. 1 (Januari-Juni)
Zar Sirajuddin, 2012, Filsafat Islam, Filosof dan Filsafatnya, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

36

Anda mungkin juga menyukai