MATA KULIAH
DOSEN PENGAMPU
DISUSUN OLEH:
MAULIDIA (200103040106)
WAHYUDI (200103040111)
BANJARMASIN
2021
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Membincangkan pemikiran Islam, lebih khususnya filsafat Islam, tidak akan lengkap
jika tidak memasukkan nama al-Ghazali di dalamnya. Namun, apabila seseorang ingin
menempatkan al Ghazali dalam sejarah filsafat Islam, ia harus membuat beberapa cacatan
awal. Titik tolak utamanya adalah bahwa al-Ghazali tidak menganggap dirinya filosof dan
tidak suka dianggap sebagai filosof. Ini tidak hanya berarti bahwa al-Ghazali mempelajari
dan mengasimilasi filsafat secara mendalam sebagaimana terlihat dari daya tarik teoretis dan
kekuatan strukturnya, tetapi juga menyebabkan kita percaya bahwa filsafat pasti mempunyai
setidak tidaknya pengaruh tak langsung atas pemikiran tasawufnya. Lebih jauh lagi,
meskipun al-Ghazali -yang pada dasarnya seorang teolog, sufi, dan faqih menyarang keras
filsafat dengan berusaha menunjukkan kontradiksi-kontradiksinya, amatlah keliru jika
tasawuf dan teologinya hanya dianggap sebagai sekedar berupa doktrin praktis dan religious,
mengingat keduanya mempunyai kedalamn teoritis yang mengesankan.
Al-Ghazali memang sosok yang sangat unik dalam dunia pemikiran, sehingga yang
terpukau oleh al-Ghazali dari pengembaraan, karya-karya peninggalan, dan perilaku
sufistiknya. Banyak dari karya-karyanya menjadi obyek penelitian yang cukup menarik minat
kalangan pencinta ilmu dan akademisi, mulai dari kalangan dalam umat Islam sendiri
(insider), maupun dari kalangan non-muslim atau orientalis (outsider). Baik dari insider
maupun dari outsider, dalam mengkaji pemikiran al-Ghazali sedikitnya terbagi menjadi tiga
kelompok. Pertama, kelompok yang kagum dan fanatik sehingga pro terhadap pemikiran al-
Ghazali, dan menempatkannya sebagai sosok tokoh muslim yang begitu agung dan
sempurna. Kedua, kelompok yang menganggap bahwa al-Ghazali banyak melakukan
kesalahan dalam berkarya, kelompok ini kontra terhadap al-Ghazali. Bahkan kelompok ini
menuduh al-Ghazali sebagai penyebab kemunduran keilmuan dan intelektualisme di dunia
Islam, terutama di kalangan kaum sunni. Dan ketiga, kelompok yang obyektif menilai al-
Ghazali dari karya-karya dan perjalan hidupnya. Apabila kelompok ini meneliti al-Ghazali,
mereka mengemukakan fakta bukan sekedar opini tentangnya. Penulis dalam makalah ini
akan mencoba mengeksplorasikan pemikiran al-Ghazali melalui pendekatan kelompok
ketiga. Mula-mula penulis akan membahas tentang perjalanan hidup atau biografi singkat al-
Ghazali. Selanjutnya, penulis mengurai tentang pemikiran dan kritik al-Ghazali tentang
filsafat dan filosof, di mana al-Ghazali terlihat geram dengan filosof muslim yang ikut dalam
penyimpangan pemikiran filsafat Yunani tentang tentang metafisikan dan ketuhanan.
Kerancuan-kerancuan pemikiran filsafat Yunani dan Muslim ini kemudian dituangkan dalam
karyanya berjudul ―Tahafut al-Falasifah‖.1Dan juga tambahan tentang konsep jiwa menurut
Al-Ghazali.
1
Ahmad Atabik, ―Telaah pemikiran Al-Ghazali tentang filsafat‖, Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, 19-
20.
PEMBAHASAN
2
Abu Hamid al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub, Kairo: Maktabah alTaufiqiyah, tth., 3
3
Ahmad Zaini, ―Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali‖, Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf Vol 2
No 1 2016, 150.
4
Dedi Supriyadi. Pengantar Filsafat Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2013)
5
Sirajuddin Zar. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014)
empiris maupun rasional. Akibat krisis ini, ia menderita sakit selama enam bulan sehingga
dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan yang
disandangnya, seperti rektor dan guru besar di Bagdad, ia mengembara ke Damaskus. Lalu
pada tahun 490 H/1098M, ia menuju Palestina berdoa di samping Kubur Nabi Ibrahim a.s.
kemudian, ia berangkat ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah
ke makam Rasulullah Muhammad saw. akhirnya, ia terlepas dari kegoncangan jiwa ini
dengan jalan tasawuf6
6
Ibid, 151..
7
Fuad Mahbub Siradj. Relevansi Konsep Jiwa Al-Ghazali Dalam Pembentukkan Mentalitas Yang
Berakhlak. INQUIRY Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol 9 No 1, Juli 2018, 35-37.
kenikmatan-kenikmatan hawa nafsu yang sebenarnya dilarang agama karena menarik hati
kepada derajat yang hina. Dalam nafs inilah, menurut sebagian sufi kesadaran-ego manusia
biasa terbentuk sebagai diri indra yang sensual. Dalam surat Yusuf ayat 53 Allah mengatakan
bahwa, ―Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan‖.
2. Al-nafs al-lawwamah.
Apabila terdapat ketenangan tidak sempurna, akan tetapi menjadi pendorong kepada
nafsu syahwat dan menentangya. Nafsu ini juga mencaci pemiliknya ketika ia teledor dalam
beribadah kepada Allah. Nafsu ini pula sumber penyesatan karena ia patuh terhadap akal,
kadang tidak. Dalam surat al-Qiyamah ayat 2 Allah SWT berfirman, ―Dan aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (diri sendiri)‖. Berbeda dengan nafs ammarah yang
cenderung agresif mendorong untuk memuaskan keinginan-keinginan rendah, dan
menggerakan pemiliknya untuk melakukan hal-hal yang negatif, maka nafs lawwamah telah
memiliki sikap rasional dan mendorong untuk berbuat baik. Namun daya tarik kejahatan
lebih kuat kepadanya dibandingkan dengan daya tarik kebaikan.
3. Al-nafs al-Muthmainah
Al-nafs al-muthmainah merupakan tingkatan tertinggi dari rentetan strata jiwa, karena
pada tingkatan ini manusia sudah terbebas dari sifat-sifat kebinatangan dan penuh dengan
cahaya ilahiyyah. Jadi al-nafs al-ammarah bi-al-su itu adalah al-nafs dalam pengertian
pertama. Al-nafs dalam pengertian ini sangat tercela, sedangkan al-nafs dalam pengertian
kedua adalah al-nafs yang terpuji, karena itu adalah jiwa manusia atau hakekat dirinya yang
mengetahui akan Tuhannya dan semua pengetahuan. Selain mendefinisikan jiwa dengan kata
al-nafs, Al-Ghazali juga memakai istilah-istilah lain yang merujuk pada arti yang sama, yaitu
Lathifah, Ruhaniyah, Rabbaniyah. Istilah-istilah itu antara lain: al- Qalb, al-Aql, al-Ruh yang
dalam kitab Ihya Ulum al-Din istilah-istilah tersebut mempunyai dua pengertian.
a. Al-qalb (kalbu, hati)
Pengertian pertama adalah daging yang berbentuk buah shanaubar, letaknya pada
pinggir dada sebelah kiri yaitu daging khusus, yang di dalamnya ada lubang yang berisi darah
hitam, itulah sumber nyawa dan tambangnya. Pengertian kedua adalah sesuatu yang halus (al-
Lathiifah), ketuhanan (Rabbaniyah) dan kerohanian (rohaniah) yang memiliki hubungan
dengan daging (hati) dalam pengertian pertama di atas, namun hubungan diantara keduanya
tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata karena berada pada wilayah perasaan pribadi
seseorang, hati yang haluslah hakikat manusia, dialah yang mengetahui dan yang mengenal
dan memerintah.
b. Al-Aql (Akal)
Pengertian pertama mengenai akal ditujukan dan dimaksudkan pada pengetahuan
tentang hakekat segala keadaan. Maka akal itu ibarat dari sifat-sifat ilmu yang bertempat di
hati. Pengertian kedua ialah yang memperoleh pengetahuan itu dan itu adalah hati, yakni
yang halus itu (lathifah). Kadang- kadang akal itu juga ditujukan dan dimaksudkan pada sifat
orang yang berilmu, dan kadang-kadang ditujukan dan dimaksudkan pada tempat
pengetahuan, yakni yang mengetahui. Secara etimologi akal memiliki arti menahan (Al-
Imsak), ikatan (Al-Ribath), menahan (Al-Hajr), melarang (Al-Nahy), dan mencegah (Al-
Man‘u).
Berdasarkan makna bahasa, maka yang disebut orang berakal adalah orang yang
mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Akal yang diartikan sebagai energi yang
mampu memperoleh, menyimpan dan mengeluarkan pengetahuan. Sedangkan secara
psikologis akal memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah suatu konsep umum
yang mencakup semua bentuk pengalaman kognisi, seperti: mengamati, melihat,
memperhatikan, berpendapat, berimajinasi, berpikir, memprediksi, mempertimbangkan,
menduga dan menilai.
c. Al-Ruh
Seperti al-qalb dan al-aql, al-ruh juga mempunyai dua pengertian, pengertian pertama:
ruh dalam pengertian biologis, yaitu benda halus yang bersumber dari darah hitam di dalam
rongga hati yang berupa daging yang berbentuk seperti pohon cemara. Benda halus ini
tersebar melalui nadi dan pembuluh balik pada seluruh bagian tubuh. Ruh jasmaniah ini
mampu menjadikan manusia hidup dan bergerak serta merasakan berbagai rasa. Ruh ini dapat
diumpamakan sebagai lampu yang mampu menerangi setiap sudut organ. Inilah yang disebut
nyawa. Pengertian kedua adalah Luthf rabbani yang merupakan makan hakekat hati. Ruh dan
hati saling bergantian pengacu pada Luthf. Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah yang
artinya: ―Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: ruh itu urusan Tuhanku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit‖. (Q.S. Al. Isra: 85).
8
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Al-Qur‟an Ibnu Rushd: Kritik Ideologis-Hermeneutis (Yogyakarta:
LKiS, 2009), 93–116
9
Sobri Washil, Filsafat Peripatetik dan Kritik Al-Ghazali terhadapnya. Jakarta
penting. Di antara seluruh karyanya, yang mempunyai pengaruh paling besar adalah Tahāfut
al-Falāsifa (Kerancuan Para Filsuf).
Beberapa kalangan di dalam dunia Islam di masa al-Ghazali hidup memiliki
kepercayaan bahwa Allah SWT akan mengutus seseorang untuk memperbaharui iman.
Tampaknya kekaisaran Seljuk berusaha menghidupkan kepercayaan tersebut dengan
membangun narasi bahwa al-Ghazali lah sang pembaharu (mujuaddid) pada abad ke-5 tahun
Hijriyah. Dengan demikian, apapun yang al-Ghazali katakan, atau tulis, pada waktu itu
diposisikan menjadi otoritas tertinggi dibanding ulama mana pun.
Dengan dukungan penuh dari penguasa, maka dapat dijelaskan dengan mudah kenapa
Tahāfut al-Falāsifa yang diterbitkan Al-Ghazali saat berusia sekitar 33 tahun—dapat menjadi
salah satu buku paling penting yang pernah ditulis. Pada akhirnya, karya tersebut akan
menentukan bagaimana perkembangan teologi Islam ke depannya.
Titik tekan dari buku Tahāfut al-Falāsifa adalah kritik terhadap perkembangan filsafat
di masa sebelumnya yang dia anggap tidak memiliki komponen keimanan, yang mana
padahal menurut al-Ghazali keimanan adalah elemen terpenting dari agama. Secara spesifik,
yang dikritik adalah ide-ide Neoplatonis yang terinspirasi dari Plato (filsuf Yunani).
Tahāfut al-Falāsifa merupakan titik balik dalam sejarah intelektual dunia secara
umum dan juga sejarah Islam pada khususnya pada abad pertengahan. Karya tersebut
membahas konflik di antara ilmu kalam dan filsafat. Namun, bukan berarti al-Ghazali
mengatakan para filsuf itu atheis—jauh dari itu, kritik al-Ghazali adalah bahwa seluruh
sistem pemikiran filosofis para filsuf bergantung pada penegasan keberadaan Tuhan, yang
darinya semua eksistensi lainnya terpancar. Tapi, menurut para filsuf, para makhluk ciptaan
Tuhan ini merupakan konsekuensi dari esensi Ilahi, seolah-olah para makhluk merupakan
―kebutuhan‖ dari kekuasaan Tuhan.
Hal itulah yang dikritik oleh al-Ghazali, bahwa sudut pandang filsuf tersebut melihat
Tuhan layaknya benda mati. Al-Ghazali mengumpamakan bahwa Tuhan dalam sudut
pandang filsuf seperti benda mati, misalnya seperti matahari yang secara alamiah
memancarkan cahaya. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan makhluk dengan kebutuhan
yang sama seperti benda mati yang mempunyai konsekuensi-konsekuensi tertentu dari
keberadaannya, yang tentu saja berada di luar kendalinya. Al-Ghazali menilai bahwa ide-ide
tersebut berarti menyangkal otoritas ilahi tentang kehidupan, kehendak, kekuatan, dan
pengetahuan. Al-Ghazali menilai bahwa Tuhan dalam sudut pandang filsuf di masa itu
bukanlah seperti Tuhan yang digambarkan di dalam al-Quran. Namun terlepas dari itu semua,
al-Ghazali mengatakan bahwa yang menjadi permasalahan bukanlah pertanyaan tentang
eksistensi Tuhan, melainkan tentang sifat ke-Tuhanan.
Pemikir Muslim terkemuka yang terpengaruh oleh teologi Neoplatonis adalah Ibnu
Sina (di Barat dikenal dengan nama Avicenna). Karya filsafat Ibnu Sina merupakan sebuah
karya yang berusaha untuk mendamaikan filsafat rasional dengan teologi Islam. Tujuannya
adalah untuk membuktikan keberadaan Tuhan melalui akal dan logika saja, dan itulah yang
ditentang al-Ghazali. Tahāfut al-Falāsifa ditulis dalam 20 bab, masing-masing bab merupakan
sanggahan terhadap gagasan Ibnu Sina dan para pengikutnya. Secara keseluruhan, dari 20 bab
yang ditulis oleh al-Ghazali, 17 di antaranya membahas kesalahan-kesalahan Ibnu Sina yang
masih dalam batas toleransi dan dapat ―dimaafkan‖. Sementara tiga bab terakhir merupakan
kritikan keras al-Ghazali terhadap Ibnu Sina karena berbahaya bagi keimanan dan
menyesatkan. Berikut ini adalah penjelasan dari tiga bab terakhir tersebut:10
a. Pertama, dilihat dari sudut pandang al-Ghazali, para filsuf melihat bahwa dunia ini
abadi. Dalam artian, di mana ada Tuhan, maka di sana ada penciptaan. Bagi al-
Ghazali, ini sama sekali tidak dapat diterima karena bertentangan dengan keyakinan
Islam, bahwa Tuhan menciptakan dunia pada suatu waktu, dan sebelumnya tidak ada.
b. Kedua, al-Ghazali mengecam bahwa para filsuf ―tidak agamis‖, karena beranggapan
bahwa Tuhan tidak mengetahui segalanya. Al-Ghazali mengutuk pandangan ini secara
mutlak, karena gagasan tentang ke-MahaTahuan Allah adalah salah satu ajaran sentral
di dalam teologi Islam.
c. Ketiga, pandangan filsuf yang mempertanyakan tentang dibangkitkannya tubuh
material pada hari kebangkitan adalah perilaku bid‘ah. Bagi al-Ghazali,
dibangkitkannya tubuh material manusia pada hari kebangkitan pada saat kiamat
adalah keyakinan dalam Islam yang tidak terbantahkan.
10
https://ganaislamika.com/al-ghazali-3-kritik-keras-terhadap-filsafat/. Diakses pada 10 Oktober 2021
PENUTUP
A. Kesimpulan
Al-Ghazali mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad ibnu
Muhammad Al-Ghazali al-Thusi yang bergelar hujjatul Islam. Ia lahir pada tahun 450 H
(1058 M). Al-Ghazali mengemban berbagai ilmu yang dapat dipelajarinya dengan baik lalu
menulis banyak karya. Ia juga dijadikan panutan bahwasannya apapun yang Ia katakan, atau
tulis, pada waktu itu (5 Hijriyah) diposisikan menjadi otoritas tertinggi dibanding ulama
mana pun.
Al-Ghazali adalah tokoh yang mengkritik pemikiran maupun karya para filsuf dan
pemikir muslim terkemuka, salah satunya karya filsafat Ibnu Sina yang berusaha untuk
mendamaikan filsafat rasional dengan teologi Islam yang berrtujuan untuk membuktikan
keberadaan Tuhan melalui akal dan logika saja.
DAFTAR PUSTAKA
Atabik, Ahmad. 2014. ―Telah pemikiran Al-Ghazali tentang filsafat‖ dalam Fikrah, Vol. 2
No. 1
al-Ghazali, Abu Hamid. Mukasyafatul Qulub, Kairo: Maktabah alTaufiqiyah.
https://ganaislamika.com/al-ghazali-3-kritik-keras-terhadap-filsafat/. Diakses pada 10
Oktober 2021
Siradj, Fuad Mahbub. 2018. ―Relevansi Konsep Jiwa Al-Ghazali Dalam Pembentukkan
Mentalitas Yang Berakhlak‖ dalam INQUIRY: Jurnal Ilmiah Psikologi, Vol 9 No 1
Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Washil, Sobri. Filsafat Peripatetik dan Kritik Al-Ghazali terhadapnya. Jakarta
Wijaya, Aksin. 2009. Teori Interpretasi Al-Qur‘an Ibnu Rushd: Kritik Ideologis-
Hermeneutis. Yogyakarta: LKiS
Zar, Sirajuddin. 2014. Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Zaini, Ahmad. 2016. ―Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali‖ dalam Esoterik: Jurnal Akhlak
dan Tasawuf Vol 2 No 1