PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah mencatat bahwa perkembangan pemikiran dan akal sangatlah cepat, hal
ini dapat di lihat dari banyaknya filosof-filosof yang bermunculan dan mampu
memberikan kontribusi positif lewat karya-karyanya yang mempuni dan banyak
dijadikan reference bagi perkembangan dan kemajuan pemikiran manusia saat ini.
Oleh karena itu pemahaman tentang riwayat hidup al-Ghazali, al-Ghazali dan
filsafatnya akan di paparkan dalam sebuah kajian khusus tentang al-Ghazali
sebagai salah satu filosof muslim.
B. Rumusan Masalah
Kajian tentang al-Ghazali ini di batasi dengan rumusan masalah sebagai berikut :
Untuk mengetahui riwayat hidup/ sejarah singkat salah satu filosof muslim yaitu
al-Ghazali.
Untuk memenuhi salah satu tugas kelompok pada matakuliah filsafat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin
Ahmad al-Ghazali, bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir pada tahun 450 H/1058 M[1]
di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di dekat Thus (Wilayah Khurasan),
Iran. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1056, 1050, 1059
M. Nama al-Ghazali ini berasal dari al-ghazzal, yang artinya tukang pintal
benang, karena pekerjaan ayah Ghazali adalah pemintal benang wol[2] sedangkan
ghazali juga diambil dari kata ghazalah, yaitu sebuah nama kampung kelahiran al-
Ghazali sehingga nama al-Ghazali dinisbatkan oleh orang kepada pekerjaan
ayahnya atau dinisbatkan kepada tempat kelahirannya[3].
Orang tua al-Ghazali terutama ayahnya tergolong orang yang hidup sangat
sederhana sebagai pemintal benang tetapi mempunyai semangat keagamaan yang
tinggi seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan ia selalu mengharapkan
agar anaknya kelak menjadi ulama yang selalu memberi nasihat kepada umat.
Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu
pengetahuan karenanya tidak heran jika sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar
dengan sejumlah guru kota kelahirannya. Salah satu guru juga ulama besar Thus
pada waktu itu adalah ahmad ibn Muhammad al-Radzikani. Setelah usia remaja
dia pergi ke kota Nisyafur salah satu kota pusat ilmu pengetahuan yang penting di
dunia islam pada waktu itu. Dia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain
(Iman 2 kota haram : Makkah dan Madinah) selaku Guru besar di Universitas al-
Nizhamiyah-Nisyafur. Imam ini sangat menonjol kemahirannya dalam dunia ilmu
kalam al-As’ary bahkan ia pengikut setia aliran ini. Di universitas inilah al-
Ghazali memperoleh ilmu pengetahuan seperti ilmu Fiqh, ilmu kalam, Retorika,
Logika, Filsafat, Tasawuf, dan Ilmu-ilmu alam.
Di dalam hatinya kesangsian mulai muncul hal ini dapat terlihat dari
berbagai pertanyaan yang ia keluarkan inikah ilmu pengetahua yang sebenarnya?
Inikah kehidupan yang dikasihi Allah? Ini kah cara hidup yang diridhoi tuhan?
Dengan mereguk madu dunia sampai dasar gelasnya, berbagai pertanyaan timbul
dari hati sanubarinya, kesyak-an terhadap daya serap indera dan olahan akal betul-
betul yang kerap kali menyelimuti dirinya.
sehingga pada akhirnya ia memutuskan untuk menyingkir dari kursi
kebesaran ilmiyahnya di Baghdad dan mulai merangkak menuju mekah,
kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk beribadah
dan kontemplatif.
Kendati ada desakan dari penguasa saljuk kala itu, al-Ghazali diminta
mengajar di Universitas Nizamiyah di Naisabur, tetapi hanya berlangsung selama
2 tahun kemudian kembali lagi ke Thus untuk mendirikan Madrasah bagi para
Fuqoha sampai ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan mengajar dan
beribadah sehingga dipanggil oleh yang Kuasa untuk kembali kehadirat-Nya pada
tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H/1111 M dalam usia 55 tahun, namun
masalah waktu al-Ghazali meninggal juga ada yang mengatakan beliau meninggal
pada usia 54 tahun[6].
Buah Karya al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, karya tulisnya meliputi
berbagai disiplin ilmu pengetahuan, di bawah ini merupakan beberapa warisan
dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam
yakni di antaranya sebagai berikut :
3. Dalam buku ini, al-Ghazali mengecam filsafat dan para filsuf dengan keras.
12. Al-Mustashfa.
a. Al-Basith
b. Al-wasith
c. D. Wajiz
d. Khulashatul mukhtashar
e. Al-mustasyhfa
a) Ihya Ulumuddin
b) Mizanul ‘Amal
c) Kimiyau as-Sa’adah
d) Misykatul Anwar
e) Minhajul ‘Abidin
Dari hasil pemaparan di atas dapat di lihat bahwa al-Ghazali dalam hidupnya
telah menepuh berbagai jalan dan meneliti berbagai madzhab, dimulai sebagai
seorang hukum islam, berbalik menjadi seorang teolog muslim, berpindah sebagai
filosof muslim dan berakhir sebagai seorang sufi.
Umurnya yang pendek ini cukup besar manfaatnya bagi dunia ilmu
pengetahuan meskipun ia telah meninggal dunia namun hasil karyanya tetap hidup
di tengah-tengah dunia ilmiah. Keluasan ilmunya, kelancaran gaya bahasanya
dengan argumentasi-argumentasi yang sukar dipatahkan membuat hasil-hasil
karyanya menjadi acuan para ilmuan. Karya tulisnya meliputi berbagai disiplin
ilmu pengetahuan, buah tangannya ini tidak sedikit di alih-bahasakan orang ke
dalam berbagai bahasa di Eropa. Warisan dari karya ilmiahnya memiliki pengaruh
yang besar terhadap pemikiran umat Islam.
Mereka adalah para Fisosof yang menyangkal adanya tuhan. Sementara itu,
Kosmos ini ada dengan sendirinya seperti Empedokles (490-430 SM) dan
Demokritus (460-360 SM). Menurut al-Ghazali, golongan ini menyangkal
keberadaan pencipta dan pengatur alam. Golongan ini menganggap bahwa ala
mini sudah ada dengan sendirinya sejak azali.
Mereka adalah para filosof yang melaksanakan berbagai penelitian di ala mini
melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut mereka cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban yang memaksa mereka untuk mengakui adanya maha
pencipta di alam ini. Walaupun begitu, mereka tetap mengingkari Allah dan
Rasul-Nya dan hari berbangkit, mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab
mereka hanya memuaskan nafsu seperti hewan.
Dalam hemat penulis ketika ada penilaian bahwa al-Ghazali bukan filosof
berdasarkan argumentasi di atas, kesimpulannya tidaklah sesederhana itu karena
ketika al-Ghazali mendalami pemikiran para filosof dan melakukan koreksi
terhadap filsafat, sesungguhnya secara tidak sadar ia sedang berfilsafat.
Menurut al-Ghazali ada dua puluh masalah ihwal ketuhanan yang menjadi titik
kesalah para filosof sehingga al-Ghazali memberikan komentar terhadap dua
puluh masalah itu sebagai berikut :
a. Membatalkan pendapat mereka bahwa alam ini ini azali.
Tiga dari kedua puluh masalah di atas, menurut al-Ghazali membuat filosof
menjadi kafir yaitu :
Nomor 13, yakni bahwa Allah tidak mengetahui Juz’iyyah atau hanya mengetahui
yang besar-besar saja.
Dalam pandangan al-Ghazali, siapapun orang yang meyakini salah satu atau
ketiga masalah di atas, maka orang tersebut berstatus kafir, karena dalam ajaran
islam tidak ada aliran atau Madzhab manapun yang meyakini ketiga masalah
tersebut. Inilah bagian dari filosof al-Ghazali yang banyak menggemparkan para
filosof. Disamping itu, pada analisis dan koreksi tersebut al-Ghazali telah
menunjukan kebesarannya dalam berfilsafat, sehingga ia tidak dapat diragukan
lagi untuk menyandang gelar filosof Islam.
1. Filsafat Ketuhanan
Konsep ketuhanan menurut al-Ghazali terdiri dari tiga masalah pokok, yakni :
a. Masalah Wujud
Dalam menetapkan wujud tuhan ini al-Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam al-
Asyari, beliau menggunakan dalil wujud tuhan itu atas dua bentuk yaitu dalil aqli
dan dalil aqli, penggunaan dalil naqli yakni melalui perenungan terhadap ayat-ayat
al-Qur’an sambil memperhatikan alam semesta sebagai ciptaaan tuhan, dimana
dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba teratur manusia akan
sampai mengakui wujud tuhan.
c. Masalah Af’al
Dalam Masalah ini al-Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT tidak
terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT juga menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari
kehendak Allah SWT, manusia hanya diberikan kekuasaan dalam lingkungan
kehendak tuhan, jadi perbuatan dan ikhtar manusia adalah terbatas dan tidak akan
melampaui garis-garis Qadar, dalam menguraikan tentang af’al ini al-Ghazali
mengembalikan permasalahan kepada firman Allah SWT QS. al-Fathir ayat 8.
2. Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang haus akan segala ilmu pengetahuan, ia
berusaha sekeras mungkin agar dapat mencapai suatu keyakinan dan mengetahui
hakikat segala sesuatu sehingga ia bersikap kritis dan kadang ia tidak percaya
terhadap adanya kebenaran semua (0xioma atau sangat mendasar) namun pada
kedua pengetahuan ini pun ia akhirnya tidak percaya (Skeptis)[12]
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang
menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argument-argument,
sebenarnya talah mempersempit Rahmat tuhan yang demikian luas, adapun
cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan tuhan kedalam hati
sanubari seseorang”.
Menurut al-Ghazali watak manusia pada dasarnya ada dalam keadaan seimbang
dan yang memperburuk itu adalah lingkungan dan pendidikan, kebaikan-kebaikan
dan keburukan-keburukan itu tercantum dalam syariah dan pengetahuan akhlak.
Tentang klasifikasi jiwa manusia pun al-Ghazali membaginya kedalam tiga daya :
yaitu Daya Bernafsu (al-Nafs al-Bahimiyah), dan Berani (al-Nafs al-Sabuiyaah)
dan daya berfikir (al-Nafs al-Natiqoh), daya bernafsu dan berani berasal dari ruh
tuhan yang tidak akan mengalami kehancuran.
Al-Ghazali sampai saat ini barang kali tidak berlebihan apabila dikatakan
sebagai pemikir besar dalam Islam, beliau telah memberikan pengaruh besar dan
memberikan wajah baru dalam Islam. Dalam menafsirkan Filosofis yang
dilakukan oleh Filosof Islam sebelumnya tidak memberikan pemikiran yang
berpusat pada Islam, melainkan mereka banyak tertuju pada masalah-masalah
klasik yang terdapat dalam pemikiran Yunani. Demikian pula, ulama kalam dalam
memerangi filsafat, tidak ada seorang pun yang dikerjakan al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, ia menguji setiap pemikiran filosof dan
menunjukan kelemahannya.
Melalui karyanya yang luar biasa dan karya terbesarnya yakni kitab Ihya
‘Ulumuddin banyak para sufi berpegang secara esensial terhadap kitab itu, mereka
setelah mengkajinya banyak menemui kepuasaan sehingga menemukan benteng
yang kuat. Dengan begitu, al-Ghazali telah mencapai hakikat agama yang belum
pernah ditemukan orang-orang sebelumnya dan mengembalikan kepada ajaran
agama serta nilai-nilainya yang utuh, bagi al-Ghazali jalan yang paling dekat
kepada Allah SWT adalah melalui hati, dari sinilah ia juga telah membuka pintu
Islam seluas-luasnya untuk Sunni.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin
Ahmad al-Ghazali, bergelar “Hujjat al-Islam”. Lahir pada tahun 450 H/1058
M[13] di Ghazaleh, sebuah kota kecil yang terletak di dekat Thus (Wilayah
Khurasan), Iran. Ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1056,
1050, 1059 M.
Adapun hal-hal yang dilanggar oleh para filusuf menurut Al Ghazali ada 20
persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang fisika namun dari 20
hal itu 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’ dan berkenaan dengan 3 hal lainnya
para filusuf dikatakan sebagaii orang kafir.
Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali mengungkapkan
pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh
min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik.
Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti yang pasti menurut
persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Karya yang terbesar dari
al-Ghazali adalah kitab Ihya al’ulumudin.
B. Saran
Makalah yang kami sajikan ini tidaklah terlepas dari kehilafan dan kekurangan
oleh karenanya kritik dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan dari para
pakar dan pembaca sekalian.
Semoga makalah ini memberikan manfaat dalam menopang perkembangan
informasi baik bagi para penyaji khususnya dan umumnya pada semua yang
membaca makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat Islam. Bandung : Cv Insan
Mandiri.
Basri, Hasan dan Zaenal Mufti. 2009. Filsafat Islam. Bandung : Cv Insan Mandiri.
[1] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.
155.
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,
1995). hlm. 41
[3] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1995), hlm.77
[5] Skepticisme, al-Syak, lebih tepat diartikan dengan sangsi, bukan ragu-ragu.
Sangsi adalah sikap mental terhadap suatu kebenaran/pengetahuan yang belum
dapat diketahui kebenarannya. Sangsi mendorong manusia untuk mengadakan
penyelidikan lebih lanjut. Sementara ragu, sikap mental yang tidak berani
mengambil keputusan untuk bertindak. Lihat IR. Poerdjawijatna, Tahu dan
Pengetahuan, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 20.
[7] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang Jakarta 1996 hal 143.
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filosof dan Ajarannya,
Bandung Pustaka setia, 2009 hal. 157
[12] A. Mustafa, Filsfat Islam (Bandung, Pustaka setia, 2007), hal. 224
[13] Sirajuddin, Filsafat Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.
155