Anda di halaman 1dari 18

KITAB BIDAYAH AL-HIDAYAH KARYA AL-GHAZALI

(TIGA PILAR DASAR BAGI PARA PENCARI ILMU)


Oleh
Aramdhan Kodrat Permana, S.Th.I
A.

PENDAHULUAN

B.

IMAM AL-GHAZALI
1. Latar Belakang Keluarga dan Peniddikan
Hujjah al-Islam1 ini yang bernama lengkap Abu Hamid ibn

Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali lahir pada tahun


450 H/1059 M di desa Taberan Wilayah Thus di Khurasan. 2 Nama alGhazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali dengan dua z, kata ini
berasal dari ghazzal artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan
ayah al-Ghazali adalah memintal benang wol. Sedangkan al-Ghazali
dengan satu z, diambil dari kata Ghazalah, Nama kampung kelahiran
al-Ghazali, dan yang terakhir inilah yang banyak dipakai. Ayah alGhazali adalah

seorang

sufi yang saleh.3 Tidak lama setelah

kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Pada masa kecil, al-Ghazali


hidup dalam kemiskinan. Tetapi ia mendapat bimbingan seorang sufi,
yang kelak memasukaknya ke satu sekolah pengampungan anak-anak
tak mampu.4
1 Syaikh al-Nawawi al-Bantani mengatakan dalam kitab Muraqi al-Ubudiyyah al-Syarh ala
Bidayah al-Hidaya bahwa yang dimaksud dengan Hujjah al-Islam adalah seseorang yang berhatihati terhadap al-sunnah dan tidak berfatwa kecuali memberikan kemudahan, sesuai dengan obyek
pembicaraan. Lihat Muhammad al-Nawawi al-Bantani, Muraqi al-Ubudiyyah al-Syarh ala
Bidayah al-Hidayah, hlm. 2.
2 Abu Bakar al-Razaq, Maa al-Ghazali fi al-Munqidl min al-Dhalal, hlm. 8.
3 Purwantana (dkk), Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Rosda Offset, 1998), hlm. 166.
4 Abu Hamid al-Ghazali, Kerancuan Para Filosof terj. Ahmad Maimun (Bandung: Marja, 2010),
hlm. 17.

Al-Ghazali menghabiskan beberapa waktu pada salah satu


sekolah agama di daerahnya, Al-Ghazali belajar fiqh kepada Ahmad
bin Muhammad al- Thusi, kemudian untuk menambah pengetahuan
al-Ghazali pindah ke Jurjan untuk belajar kepada al-Imam al-Allamah
Abu Nashr aL-Ismaili. di Jurjan al- Ghazali mulai menuliskan ilmuilmu yang diajarkan gurunya, dari Jurjan al- Ghazali kembali ke Thus,
di Thus al-Ghazali benar-benar melakukan konsentrasi untuk belajar
selama tiga tahun sehingga hafal semua yang dipelajari dan
memahami apa yang dia baca, selama masa itu makna dan tujuan ilmu
pengetahuan dimata al-Ghazali tidak jelas, Al-Ghazali belajar dan
menghafal sesuai dengan metode yang berlaku di zamannya bukubuku agama, pandangan-pandangan berbagai aliran dan fuqoha,
pengetahuan yang ada di Thus tidak siap membekali al-Ghazali
sebagaimana al-Ghazali sendiri tidak puas terhadapnya, sehingga ia
pergi ke Naisabur untuk belajar ilmu yang populer di zamannya,
tentang tauhid, penguasaan terhadap aliran Al- Asyariyah dan metode
jadal (dialektika), ushul dan logika kepada Imam al-Haramain Abi alMaali al-Juwaini.5
Pada tahun 478, al-Ghazali keluar dari Naisabur menuju ke
Muaskar dan ia menetap di sana sampai diangkat menjadi tenaga
pengajar di Madrasah Nizhamiyyah di Baghdad pada tahun 484 H. Di
tempat ini, al-Ghazali mencapai puncak prestisius dalam karir
keilmuannya, sehingga kuliahnya dihadiri oleh tiga ratus terkemuka.
Bahkan ia dijadikan guru besar di bidang Fiqh dan Teologi sekaligus
rektor di tempat tersebut.6 Karena suatu persoalan, ia keluar dari
5 Thaha Abdul Baqi Surur, Alam Pemikiran Al-Ghazal, (tt, pustaka Mantiq, 1993), hlm.19-21
6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hlm. 29.

Madrasah Nidzamiyah menuju pengasingan di padang pasir selama


sembilan tahun. Dalam rentang waktu itu, al-Ghazali berkungkung ke
Syam, Hijaz dan Mesir untuk kemudian kembali ke Naisabur. Setelah
itu ia kembali lgi ke Thus hingga menghembuskan nafas terakhirnya
pada 14 Jumadil akhir 505 H.7 Sebelum meningga ia pun mendirikan
mendirikan sebuah sekolah untuk para Fuqoha dan sebuah wihara
untuk para Mutasawwifin.
Dalam kehidupannya al-Ghazali merupakan gambaran realitas
seorang manusia yang mengalami hampir semua estape kehidupan.
Setidaknya ada tiga fase yang bisa menggambarkan perjalanan
sekaligus kehidupan seorang al-Ghazali, Pertama, fase pra-keraguan,
kedua, fase terjadinya keraguan, yang terbagi lagi menjadi dua fase,
dan ketiga, mendapat petunjuk dan ketenangan.
Fase pra-keraguan adalah fase yang bisa dikesampingkan.
Karena pada fase ini al-Ghazali masih seorang pelajar yang belum
mencapai taraf kematangan intelektual. Juga pada fase keraguan keras.
Maka baru pada fase keraguan yang ringan inilah al-Ghazali
memasuki dunia tasawwuf. Di dalam fase ini al-Ghazali menulis
karya-karyanya dalam ilmu kalam, kritik terhadap filsafat dan aliran
bathiniyyah. Pada saat itu ia mengajar di dua sekolah: naisabur dan
Bagdad. Karya yang muncul pada mase ini misalnya Tahafut alFalasifah dalam bidang filsafat dan Qawaid al-Aqaid dalam bidang
ilmu kalam.
Karya pada fase ini menurut Sulaiman Dunya karya-karya alGhazali tidak bisa dijadikan sebuah pedoman yang matang untuk
menggambarkan ide-idenya secara holistik. Karna baru pada fase
7 Abu Hamid al-Ghazali, Kerancuan Para Filosof, hlm. 17.

ketigalah al-Ghazali mendapatkan pandangan yang holisitik terhadap


keilmuan yang didapatnya melalu ketersingkapan tabir sufistik, alKasyf al-Shufiyyah. Disinilah kemudian al-Ghazali mengarang kitab
Bidayah al-Hidayah dan masterpiece-nya, Ihya Ulum al-Din yang
menyatukan nuansa legal-fiqhiyyah yang rigid dengan ruh spiritual.
Karya

2.

Adapun karya-karya al-Ghazali dapat dijelaskan bahwa al-Faqih


Muhammad Ibnu al-Hasan bin Abdullah al-Husaini al-Wasithy dalam
kitabnya

at-Thabaqot

al-Aliyah

fi

manaqibi

as-Syafiiyyah

menyebutkan ada 98 judul kitab karya al-Ghazali, sedangkan asSubky dalam kitabnya At-Thabaqot As-Syafiiyah menyebutkan ada 58
judul karyanya, Thasy Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya
Miftahus Saadah wa Misbahus Siadah jumlah karyanya mencapai 80
judul kitab, Ia menambahkan bahwa buku dan risalah-risalahnya
mencapai ratusan, bahkan sulit dihitung. Tidak mudah bagi orang
yang ingin mengenal nama-nama kitabnya, bahkan pernah dikatakan
al-Ghazali memiliki seribu minus satu karya, walaupun hal tersebut
bertentangan dengan adat kebiasaan namun orang yang mengenal
kondisi al-Ghazali sebenarnya bias jadi akan membenarkan informsi
tersebut. Diantara karyakarya itu bias disebutkan menurut kelompok
ilmu pengetahuan sebagai berikut8
a.

Kelompok filsafat dan ilmu kalam, yang meliputi:


1) Maqashid al-Falasifah (Tujuan para filosuf)
2) Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para filosuf)
3) Al-Iqtishad fi al-Itiqad (Moderasi dalam aqidah)

8 Zainuddin (Dkk), Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 8.

Al-Munqid min Al-Dhalal (Pembebas dari kesesatan)


5) Al-Maqashidul Asna fi Maani Asmilah Al-husna (arti namanama tuhan Allah yang hasan)
6) Faishalut Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah (Perbedaan
antara Islam dan Zindiq)
7) Al-Qishash al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan
pendapat)
8) Al-Mustadhiri (Penjelasan-Penjelasan)
9) Hujjah al-Haq (Argumen yang benar)
10) Mufsil al-Khilaf fi Ushul al-Dini (Memisahkan Perselisihan
dalam Ushuluddin)
11) Al-Muntahal fi Ilm al-Jidal (Tata cara dalam Ilmu Diskusi)
12) Al-Madhun bi Ala Ghari Ahlihi (Persangkaan pada bukan
Ahlinya)
13) Mahkun Nadlar (Metodologika)
14) Asraar Ilm al-Din (Rahasia ilmu Agama)
15) Al-Arbain fi Ushul al-Din (40 Masalah Ushuluddin)
16) Iljam al-Awwam an ilmi al-kalam (Menghalangi orang
Awam dari ilmu kalam)
17) Al-Qulul al-Jamil fi al-Radhi ala man Ghayara al-Injil (Kata
yang Baik untuk Orang-orang yang Mengubah Injil)
18) Miyar al-Ilmi (Timbangan Ilmu)
19) Al-Intishar (Rahasia-rahasia Alam)
20) Isbat al-Nadlar (Pemantapan Logika)
4)

b.

Kelompok ilmu fiqih dan ushul fiqih, yang meliputi:


1) Al-Bastih (Pembahasan yang mendalam)
2) Al-Wasit (Perantara)
3) Al-Wajiz (Surat-surat wasiat)
4) Khulashah al-Mukhtasar (Intisari ringkasan karangan)
5) Al-Musthafa (pilihan)
6) Al-Mankhul (Adat Kebiasaan)
7) Syifakh al-Ali fi Qiyas wa al-Talil (Penyembuh yang baik
dalam Qiyas dan Talil

Al-Dzariah ila Makarim al-Syariah (Jalan kepada kemulyaan


Syariah)
Kelompok ilmu akhlaq dan tasawuf, yang meliputi:
1) Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu
Agama)
2) Mizan al-Amal (Timbangan Amal)
3) Kimiya al-Saadah (Kimia Kebahagiaan)
4) Misykah al-Anwar (Relung-relung Cahaya)
5) Minhaj al-Abidin (Pedoman Beribadah)
6) Al-Darul Fahkirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (Mutiara
Penyingkat Ilmu Akhirat)
7) Al-Ainis fil Wahdah (Lembut-lembut dalam Kesatuan)
8) Al-Qurbah ilallahi Azza Wajalla (Mendekatkan diri kepada
Allah)
9) Akhlaq al-Abrar wa al-Najat min al-Asrar (Akhlak yang
Luhur dan Menyelamatkan Keburukan)
10) Bidayah al-Hidayah (Permulaan Mencapai Petunjuk)
11) Al-Mabadi wa al-Ghayyah (Permulaan dan tujuan)
12) Talbis al-Iblis (Tipu daya iblis)
13) Nasinat al-Mulk (Nasihat untuk raja-raja)
14) Al-Ulum Al-Laduniyyah (Ilmu-ilmu Laduni)
15) Ar-Risalah Al-Qudsiyyah (Risalah Suci)
16) Al-Makhadz (Tempat Pengambilan)
17) Al-Ali (Kemuliaan)
Kelompok ilmu tafsir, yang meliputi:
1) Quutut al-Tawil fi Tafsir
al-Tanjil (Metodologi Tawil
didalam Tafsir yang diturunkan) terdiri 40 jilid
2) Jawahir al-Quran (Rahasia yang terkandung dalam alQuran)
8)

c.

d.

e.
C.

Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran al-Ghazali

BIDAYAH AL-HIDAYAH
1. Latar belakang penulisan kitab

Belum dapat dipastikan kapan al-Ghazali menulis kitab


Bidayah al-Hidayah. Namun yang pasti karangan Imam al-Ghazali
yang bertema tasawwuf sekaligus bernuansa esoterik ditulis pada
periode kehidupannya yang ketiga, yaitu periode tercerahkan dan
ketersingkapan diri, al-Kasyf. Ada sebagian ulama yang berpendapat
bahwa dikarangnya kitab ini sebagai awal dan pengantar dari
masterpiece-nya, Ihya ulum al-Din.9 Akan tetapi Martin Van
Bruinessen menyatakan bahwa kitab ini merupakan ringkasan dari
kitab Ihya10
Berbeda dengan Ihya ulum al-Din, kitab Bidayah al-Hidayah
tidak sepopuler kitab yang menjadi rujukan para ulama, serta
masyarakat Indonesia di dalam bidang tasawwuf. Akan tetapi ia tetap
memiliki signifikansi bahkan sampai saat ini karena isi yang
dibahas di dalam kitab ini pun memiliki relasinya pada realitas
masyarakat kontemporer.
Dilihat dari perspektif klasifikasi umat oleh al-Ghazali,
sebagaimana yang ia tulis dalam al-Qisthas al-Mustaqim,11 kitab ini
nampaknya diperkhususkan untuk kalangan khawwash, yaitu mereka
yang memiliki kecerdasan dan ketajaman mata hati. Hal ini sangat
nampak jelas ketika dalam awal mukadadidimahnya al-Ghazali
menyintar orang-orang yang mencari ilmu demi kepentingan duniawi.

9 Cari kajian tentang kitab ini, ulama barat, arab, ataupun indonesia.
10 Mafhum Mukhalafahnya, Martin mengatakan bahwa kitab ini datang lebih akhir daripada kitab
Ihya ulum al-Din. Lihat, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat TradisiTradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 28.
11 Pertama, masyarakat kebanyakan (awwam) yaitu kelompok pencari keselamatan yang
berkemampuan intelektual rendah, kedua, masyarakat elit (khawwash), yaitu mereka yang
memiliki kecerdasan dan ketajaman mata hati. Ketiga, di antara keompok itu muncul kelompok
ahli debat. Lihat, al-Ghazali, al-Qisthas al-Mustaqim, hlm. 86

Dalam awal mukaddimahnya al-Ghazali mengingatkan bahwa


ilmu itu penting dan memang harus diusahakan untuk didapatkan.
Akan tetapi jika ilmu yang dimaksud hanya ilmu yang dipakai untuk
membanggan dirinya dan mempertebal kecintaannya kepada dunia
maka sesungguhnya keinginan itu tiada lain adalah keinginan untuk
menghacurkan

sebuah

agama,

meluluhlantahkan

jiwa,

memperjualbelikan akhirat atas dunia.12


Sebaliknya, lanjut al-Ghazali, ketika niat dan tujuan awal
mencari ilmu itu didasari atas keinginan untuk mencari keridhaan
(dalam arti aktif bukan pasif) Allah menghilangkan kebodohan
invididu, sosial, dan menghidupkan agama, serta menancabkan Islam
dalam keabadian dengan ilmu juga tanpa menghilangkan ilmu-ilmu
para ulama dahulu maka para malaikat akan membentangkan sayapsayapnya yang akan meneduhkan orang tersebut dalam godaan syetan.
Begitu pun dengan ikan paus yang seraya memintap ampun bagi orang
tersebut.
Namun diatas niat mulia tersebut harus ada yang harus diingat
bahwa setiap hidayah yang menjadi hasil daripada pencarian ilmu
pasti memiliki aspek eksoteris dan esoteris. Imam al-Nawawi alBantani dalam syarh nya terhadap kitab ini, al-Muraqi al-Ubudiyyah,
bahwa yang dimaksud dengan hidayah adalah jalur yang Allah
sediakan untuk menuju kepada-Nya. Al-Bidayah kemudian dimaknai
oleh al-Bantani dengan al-Syariah dan al-Thariqah, tata-cara dan
hakekat pada lafadz al-Nihayah.13 Karena tiada lain daripada tujuan
sesuatu dan hidup kecuali hakekat.14 Syariat itu tiada lain adalah
12 Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 1.
13 Muhammad Nawawi al-Bantani al-Jawi, Muraqi al-Ubudiyyah, hlm. 4.
14

aspek eksoteris hakekat dan hakekat adalah aspek esoteris syariat.


Kedua-duanya memiliki makna yang sama dan melengkapi.

15

oleh

sebab itu kata al-Ghazali, seseorang tidak akan mencapai derajat


hakekat sampai ia melampaui aspek eksoterisnya.16
Maka alasan dinamakan kitab ini tiada lain adalah sebagai
pengantar seseorang untuk mencapi aspek terakhir dari pada hidayah
tersebut, dan itu ada lain itu adalah aspek syariat dan thariqah, dalam
pandangan al-Bantani. Dengan kata lain nuansa legal formal dihiasi
dengan naunsa batiniyyah sehingga setiap hukum terasa memiliki ruh
dan semangat oleh orang yang melakukannya.
Oleh sebab itu maka mencari ilmu tanpa tujuan mencapai
hidayah (aspek esoterisnya) adalah kesalahan yang fatal. Karena
ketika seseorang tidak mencari ilmu kecuali karena kepentingankepentingan temporer dan fana (baca: sementara) maka kehancuran
akan menghampirinya. Al-Ghazali kemudian mengutip surah al-Kahfi
ayat 112-11317 sebagai legitimasi bahwa perbuatan bahkan itu
mencari ilmu yang banyak mendatangkan manfaat secara pragmatis
itu adalah kesia-siaan dalam pandangan Allah, dlalla amaluhum. AlGhazali

pun

kemudian

memperkuat

argumentasinya

dengan

melampirkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Dailami bahwa barang


siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak menambah kezuhudan di

15 Hakekat disini tidak dimaknai dengan hakekat sebagai sebuah bagian terpendam atau terdalam
pada sesuatu. Akan tetapi sebagi tujuan akhir daripada segala sesuatu termasuk ciptaan manusia,
dan hakekat manusia itu tiada lain adalah mengenal Allah. Oleh sebab itu hakekat dinisbahkan
kepada kata haqq yang bermakna Allah. oleh sebab itu pula para tasawwuf menyebut diri mereka
dengan ahl al-Haqiqah. Lihat, Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawwuf (Jakarta:
Erlangga, 2006), hlm. 6.
16Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 1.
17 ( 103)

dunia maka tidaklah orang tersebut berada dekat Allah, kecuali ia


semakin jauh dari-Nya.18
Pandangan al-Ghazali akan semakin nampak jelas dengan
pendekatan tematik al-Quran terhadap kata amila yang itu memiliki
nuansa teologis. Artinya bahwa mencari ilmu akan menjadi perbuatan
yang paripurna dan mendatangkan kemanfaatan berupa semakadin
dekat dengan Allah jika tentunya dilandasi dengan keimanan.
Keimanan inilah yang kemudian akan mengantarkan manusia
melandasi mencari ilmu tersebut untuk mencapi hidayah. Jika tidak
maka kesia-siaanlah yang akan diperoleh.19
Untuk itulah kemudian al-Ghazali mengklasifikasikan manusia
yang mencari ilmu dalam tiga kategori. Pertama, orang yang mencari
dunia demi perbekalan di akhirat dan tidak mencarinya kecuali ridha
18
19 Kesia-siaan dalam al-Quran ditegaskan oleh al-Zamakshyari sebagai buah daripada
kemusyrikan. Al-Syafii sejatinya perbuatan yang itu memiliki dampak positif tidaklah sia-sia
kecuali ia sudah meninggal dunia. Akan tetapi Abu Hanifah menyatakan bahwa kesia-siaan
perbuatan itu akan ada selama itu dilandasi dengan kekafiran, kemusyrikan ataupun murtad. (AlZamakshyari, al-Kasysyaf , juz. 1, hlm. 191). Hal ini sebagaiman dilakukan oleh Thabathabai
yang meluaskan kata kesia-sian sehingga mencakup semua amal perbuatan manusia. Hal ini
terkait dengan keimanan kepada Allah swt. Dengan demikian, hal itu tidak lepas dari masalah
keagamaan dan ekstologi, bukan dalam kaitan dengan urusan kehidupan di dunia semata. Maka
sejatinya kesia-siaan memiliki kaitan dengan berbagai amalan dari segi pengaruhnya pada
kehidupan akhirat. Karena pada dasarnya iman itu memperbaiki kehidupan dunia dan kehidupan
akhirat. Kerugian usaha orang kafir khususnya orang yang murtad adalah kesia-siaan amalanya di
dunia tanpa bekas. Hal itu dikarenakan hatinya tidak bergantung pada suatu atau perkara yang
pasti, yaitu Allah swt. Ayat-ayat yang berbicara tentang kesia-siaan perbuatan manusia yang tidak
disadari dengan keimanan diantaranya, (al-Maidah [5]: 5), habitat amaluhum (Ali Imran [3]: 22),
habitat amalahum (al-Maidah [5]: 53, (al-Zumar [39]: 65), habita anhum, habithat (al-Araf [7]:
147) habitha (Hud [11]: 16. Allah pun kemudian mengumpamakan pekerjaan sia-sia mereka
seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang, Ibrahim [14]:
18 dan laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga,
tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun (al-Nur [24]: 39.
Dalam kehidupan dunia, perbuatan orang-orang (yang dinyatakan sia-sia amalnya) tetap
bermanfaat. Ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dipersembahkan olehnya setiap tetapi
dirasakan kegunaannya oleh umat manusia, baik maukmin atau nonmukmin. Bahkan orang
mukmin memanfaatkannya dalam mensukseskan keimanan mereka. Dengan demikian, tulis
Jalaluddin Rahman, kesia-siaan yang dimaksud Quran adalah bersangkutan dengan nilai
keagamaan di dunia dan pahal di akhirat dan berkaitan pula dengan ketaatan atau ketaktaatan
seseorang pada ajaran-ajaran Allah. Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia Menurut
Quran: Suatu Kajian Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 48.

Allah, dan itulah orang-orang yang beruntung. Kedua, orang yang


mencari ilmu yang untuk kepentingan duniawi, dari harta dan
kedudukan. Dia menjadikan dunia sebagai akhiratnya. Ketiga, orang
yang dirasuki syetan sehingga nampak ia hidup bermegah-megahan
atas apa yang ia mampu hasilkan dari ilmunya.20 Oleh sebab itu
jadilah orang yang masuk kategori pertama, khawatirlah untuk
menjadi orang yang kedua, dan jangan pernah sekali-kali menjadi
orang ketiga.21
Maka

di

akhir

muqaddimahnya

kemudian,

al-Ghazali

menekankan bahwa kitab ini tiada lain ditunjukkan untuk mengujui


jiwanya secara personal agar tidak termasuk dalam kategori kedua
dan ketiga. Secara tegas al-Ghazali berujar bahwa permulaan dari
hidayah tersebut tiada lain adalah nampaknya ketakwaan seseorang,
secara syarii, dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi segala
larangannya. Dari dua hal ini kemudian al-Ghazali membuat dua bab
khusus terkait ketaatan dan larangan, dan pada bab terakhir al-Ghazali
menghiasi pembahasannya tentang tata krama interaksi antara seorang
hamba dengan Sang Pencipta sekaligus dengan makhluk (manusia).

2.

Sistematika Kitab

BAGIAN PERTAMA; Ketaatan


A. Adab al-Istiqadl min al-Naum
B. Adab dukhul al-Khila
C. Adab al-Wudlu
D. Adab al-Ghusl
E. Adab al-Tayammum

20 Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 2.


21 Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 3.

F. Adab dukhul al-Masjid


G. Adab bada tulu al-Syams ila al-Zawal
H. Adab al-Istidad li Sair al-Shalawat
I.
J.
K.
L.
M.

Adab al-Naum
Adab al-Shalah
Adab al-Imamah wa al-Qudwah
Adab al-Jumah
Adab al-Shiyam

Bagian kedua; Ijtinab al-Maashi


A. Adab al-Ayn
B. Adab al-Udzun
C. Adab al-Lisan
a. Al-Kadzb
b. Al-Khalfu fi al-wad
c. Al-Ghibah
d. Al-Mura wa al-Jidal wa al-Munaqash fi al-Kalam
e. Tazkiyah al-Nafs

Al-Dua ala al-Khalq


g. Al-Mizah wa al-Sakhriyyah wa al-Isthiza bain al-Nas
D. Adab al-Bathan
E. Adab al-Farj
F. Adab al-Yadain
G. Adab al-Rijlain
H. Al-Qaul fi Maashi al-Qalb
a. Al-Hasud
b. Al-Riya
c. Al-Ujub, al-Kibr, al-Fakhr
I. Hadits jami fi maashi al-Qalb
f.

BAGIAN KETIGA; AL-QAUL FI ADAB AL-SHUHBAH


A. Adab al-Ilmi
B. Adab al-Mutaallim
C. Adab al-Walad maa al-Walidain
D. Ashnaf al-Nas fi al-Alaqah bi al-Mari;

a. Ashdiqa
b. Maarif
c. Majahil
E. Al-Alaqah bi al-Awwam al-Majhulin
F. Al-Alaqah bi al-Ikhwan wa al-Ashdiqa
a. Syuruth al-Shuhbah wa al-Shadaqah
b. Muruah Huquq al-Shuhbah
G. Adab al-alaqah bi al-maarif

Nampak dari sistematika yang diajukan oleh al-Ghazali merupakan wujud


serta implementasi dari amr maruf yang terkosentrasi pada ibadah individu
terhadap Tuhan, habl minallah atau abadah mahdlah. Dilihat dari susunan
sistematika pembahasan pada bab pertama, al-Ghazali membuat sebuah rentetan
kegiatan seseorang dimulai dari bagaimana ia harus bangun dari tidur dan
bagaimana semestinya ia tidur. Dengan kata lain bahwa pada semua aktivitas
manusia itu pada sejatinya memiliki nuansa teologis yang itu memang benarbenar harus ditonjolkan.
Pada bab kedua al-Ghazali menghidangkan pembaca agar terjauh dari
kemungkaran dan masiat baik itu berupa dzahir maupun bathin, jasad maupun
hati. Disini al-Ghazali menitikberatkan pada panca indera serta organ tubuh
manusia yang mudah sekali terserang godaan syetan, dari mata, telinga, perut dan
lainnya. Al-Ghazali menegaskan bahwa meninggalkan perkara yang dilarang itu
lebih sulit dilaksanakan daripada melakukan ketaatan. Karena setiap perbuatan
yang dilarang itu hanya dijauhi oleh orang-orang yang memang benar-benar
mushaddiq. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi, al-Muhajir man Hajaran
al-Su wa al-Mujahid man jahada hawah.
Pada bab terakhir, al-Ghazali kemudian memberikan pengarahan terkait
dengan hablum min al-Nas. Dari seorang pembelajar, adab kepada orang tua
sampai pada kategori orang yang awwam.
Tentunya terlalu luas jika memberikan komentar terhadap kitab ini secara
keseluruhan oleh sebab itu dalam penulis hanya akan menyajikan secara deskriptif
analitis terhadap salah satu bagian dari tiap bab atau penjelasan yang kiranya akan

mewakili setiap pembahasan, walaupun memang tidak mungkin. Penulis pun akan
menggunakan kitab syarh Bidayah al-Hidayah yaitu Muraqqi al-Ibadah karya
Muhammad al-Nawawi al-Bantani-al-Jawi.22 Penulis pun akan mencoba mensyarh
dan membandingkannya dengan kitab al-Ghazali Ihya Ulum al-Din.

3. Pembacaan Reflektif atas Bidayah al-Hidayah

Dalam upaya membaca karya ini penulis akan mengambil sample pada
kajian awal pada setiap bab yang al-Ghazali bahas. Pertama, tentang tata krama
bangun dari tidur. Kedua, bagaimana seharusnya seorang manusia melihat dengan
kedua matanya, dan ketiga, adab al-Shuhbah, tata krama persahabatan atau
kedekatan. Peletakkan kasus-kasus ini di awal pada setiap bab oleh al-Ghazali
bukan tanpa alasan. Karena dalam pembacaan awal penulis ketiga kasus
tersebut merupakan sumber bukan hanya awal pada setiap kegiatan
selanjutnya yang akan dilakukan. Pada kasus tata krama bangun dari tidur,
misalnya. Perjalanan seorang manusia pada pagi, siang, sore, bahkan malam
harinya dilihat pertama kali pada reaksi spontanitas ketika ia bangun dari tidurnya,
dan apa yang dia lakukan setelah itu.
Al-Ghazali pada kasus pertama menganjurkan seseorang untuk senantiasa
berusaha, ijtihad (baca: mengeluarkan seluruh kemampuan) untuk bangun
sebelum terbitnya fajar.23 Hal itu tentunya harus diisi dengan shalat awal waktu,
bacaan al-Quran, dan hal-hal positif yang lainnya. Al-Bantani menambahkan
bahwa ketika seseorang bangun maka manusia ibarat hidup dari kematiannya.
22 Nawawi Banten (w.1896) yang dipuji oleh Snouch sebagai orang Indonesia yang paling alim
dan rendah hati adalah pengarang paling produktif. Di samping kitab tafsirnya yang terkenal, dia
menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipejalari di pesantren. Berbeda dengan pengarang
Indonesia sebelumnya, dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupan syarh atas
kitab-kitab yang digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau terkadang mengoreksi
matan yang disyarhai. Sejumlah syarh-nya benar-benar menggantikan matan asli dari kurikulum
pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (dia menulis paling sedikit dua kali jumla itu) masih
beredar, dan 11 judul dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan
pesantren. Nawawi sendiri berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren.
Dia memperkenalkan dan menafsirkannya kembali warisan intelektualnya, dan mermperkayanya
dengan menulis karya-karya baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di Indonesia pada
zamannya. Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual
mereka. bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, bapak reformis Islam Indonesia pun termasuk
muridnya. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 38.
23 Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 3.

Sedangkan hidup adalah cahaya dan kematian adalah kegelapan.24 Oleh sebab
itulah seorang manusia ketika bangun fikiran, hati serta lisannya harus dipenuhi
dengan lautan dzikir kepada Allah. al-Bantani kemudian dalam syarh menjelaskan
memperkuat argumentas al-Ghazali dengan menyantumkan sebuah hadis yang
menyatakan bahwa ketika seseoran tidur maka syaitan membuat tiga ikatan.
Ikatan pertama akan lepas dengan dzikir, kedua dengan berwudlu, dan ketiga
dengan melakukan shalat.25 Kemudian ia pun merekomendasikan doa yang
diriwayatkan Hudzaifah dan Abi Dzar,

26

al-hamdulillahadzi ahyana bada ma

amatana wa ilaih al-Nusyur, dengan mengkombinasikan doa yang diriwayatkan


oleh Abza, ayah dari Abd al-Rahman, ashbahna ala fathrat al-islam hanifa
muslima,27 doa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Allahumma bika ashbahna
wa ilaik al-Nusyur28, dan doa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Masud;
nasaluka khair hadza al-yaum wa syarra ma fih.29 Dan setelah selsai membaca
doa tersebut pakailah pakaian takwa sebagai bentuk ketaatanmu kepada Tuhan,
al-Ghazali mengakhiri.
Dari sisi normatif nampak bahwa al-Ghazali menguasai hadis hadis yang
itu bahkan ditakhrijkan oleh muhaddtis mutabarah. Artinya walaupun al-Ghazali
seorang mutashawwif akan tetapi ia tidak melepaskan dirinya dari doktrin doktrin
teologis, termasuk hadis. Dengan kata lain ia sebenarnya ingin menunjukkan
bahwa mengingat Allah ketika bangun dari tidur, bahkan sampai kemudian
melaksanakan shalat bukanlah hasil ijtihadinya tetapi merupakan ajaran langsung
oleh Rasulullah yang disampaikan kembali oleh al-Ghazali.
Pentingnya doa pun secara normatif dijelaskan oleh al-Ghazali dalam
ihya ulum al-Din dengan melampirkan dalil-dalil al-Quran, wa idza saalaka
ibadi anni fainni qarib, udu rabbakum tadzarruan wa khufyatan, wa qala
24 Al-Bantani, Muraqqy al-Ubudiyyah, hlm. 11.
25 Hadis ini ditakhrij oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majah dan Imam Malik.
26 Hadis-hadis ini ditakhrijkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibn Majah, al-Darimi,
Ahmad, Ibn Hibban, dan al-Nasai.
27 Hadis ini diriwayatkan oleh al-Darimi dan Ahmad.
28 Hadis ini ditakhrij oleh Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad.
29 Hadis ini ditadlifkan oleh al-Bani sebagaima termaktub dalam Sunan Abu Daud dan dicatat
shahih dalam kategori Muslim dalam kitab Shahih ibn Hibban.

rabbukum uduni astajib lakum, dll.30 Dan doa-doa yang disampaikan oleh alGhazali dalam kitab ini pun sudah tercatat lengkap dalam bab al-Adiyyah min alHawadits.
Kasus kedua tentang menjaga mata. Disini yang dimaksud oleh al-Ghazali
adalah mata setiap manusia, bukan mata batin. Mata sejatinya, menurut al-Ghazali
diciptakan untuk melihat dalam kegelapan dan untuk melihat kekuasaan Allah
untuk selalu ditafakkurkan dan ditadabburkan. Ada empat hal yang dilarang oleh
al-Ghazali terkait dengan indera mata, pertama, melihat yang bukan mahram,
melihat gambar yang tercela walau tanpa syahwat -, melihat seorang muslim
dengan pandangan yang hina, atau mencari-cari celah seorang muslim.31
Amalan pertama dan kedua nampak adalah pekerjaan mata an sich
berbeda dengan yang kedua dan keempat yang lebih menitikberatkan pada
pekerjaan hati. Dalam konteks orang yang berilmu maka seseorang tidaklah cukup
untnuk tidak melihat sesuatu yang dilaran oleh agama, tetapi bagaimana ia pun
dilarang untuk melihat sesuatu tanpa kebencian, kedengkian bahkan penghinaan.
Pentingnya menjaga mata ini kemudian diperluas oleh al-Bantani dengan syair
yang dikutip dari Bahr al-Basith,32
#

Setiap perkara berawal dari mata, tiada api menyela besar kecuali
dimulai dengan kejahatan yang secuil
Pembahasan ketiga tentang tata krama pendekatan dan kedekatan dengan
sang Khalik. Al-Ghazali secara fenomenologis menggambarkan bahwa kedekatan
makhluk dengan hambanya adalah kedekatan yang abadi. Dalam kondisi apa pun
sebenarnya seorang manusia sangat dekat dengan Tuhannya; tidurkah, berdirikah,
atau sedang bermaksiatkah. Namun kedekatan manusia tidak bisa diilustrasikan
dengan kedekatan fisik antara manusia dengan makhluk Tuhan. Karena kedekatan
Tuhan bukanlah kedekatan fisik. Bahkan dalam kondisi apa pun. Akan tetapi
kedekatan ini kadang tidak bisa dirasakan oleh orang-orang yang lalai dari dzikir
kepada Nya. Karena kehadiran Tuhan pada dasarnya adalaha kehadiran yang
30 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, juz. 1, hlm. 330.
31 Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 17.
32 Al-Nawawi al-Bantani, Muraqqi al-Ubudiyyah, hlm. 74.

dimulai dengan kesadaran manusia atas adanya Tuhan. Al-Ghazali menyebutkan


firman Allah yang walaupun secara tekstual tidak ada dalam al-Quran, ana
jalisun man dzakarani.33 Kata ini pun sebenarnya merupakan dialog antara nabi
Musa dengna Allah swt.34

:
Wahai Tuhanku, apakah engkau dekat kemudian aku menjauhimu, ataukah
engkau jauh sehingga aku harus mendekatimu. Allah berfiran, Wahai Musa, aku
bersama orang yang ingat pada-Ku
Dalam al-Quran pesan al-Ghazali ini selaras dengan surah Al-Baqarah
[2]: 15235 dan 186.36 Sedangkan dalam hadis sebagaimana yang ada dalam alMustadrak ala al-Shahihain,37 dan dikutip oleh al-Bantani38, :
, Hambaku, aku tergantung pada prasangkamu,
dan aku selalu bersamamu apabalia engkau mengingat-Ku. Al-Ghazali pun
kemudian menegaskan bahwa dalam kesedihan pun sesungguhnya manusia harus
selalu dekat dengan Tuhan.
Oleh sebab itu untuk mendapatk pengetahuan sejatihaqqa al-Marifah,
seorang manusia harus menjadikan Tuhan sebagai pendamping Nya dan
menjadikan hamba jauh darinya. Menjauhkan hamba disini bukan berarti, tidak
menjadikan manusia sebagai partner di dunia. Karena al-Ghazali pun secara
eksplisit pada bab selanjutnya memperlihatkan etika bergaul dengan orang tua dan
yang lainnya. Maka yang diinginkan oleh al-Ghazali adalah ketergantungan
manusia pada manusia sehingga melupakan Tuhan. Dalam konteks keilmuan
maka marifah sejati akan datang bukan hanya karena usaha manusia tetapi
kehendak-Nya.

33 Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 23.


34 Syamsuddin Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (DVD ROOM al-Maktabah al-Syamilah), juz. 4,
hlm. 311. Al-Razi menambahkan bahwa lafadz tersebut merupakan salah satu sabab nuzul saja
dari surah al-Baqarah [2]: 186. Lihat Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, juz. 3, hlm. 108.
35
36
37 Al-Mustadrak ala a-Shahihain li al-Hakim (DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah, 2008), juz.
4, hlm. 375.
38 Al-Bantani, Maraqi al-Ubudiyyah, hlm. 102.

Akan tetapi al-Ghazali kemudian memberi kemudahan bahwa apabila


seorang manusia belum melakukan hal tersebut, setidaknya ia mampu
menghilangkan dosa pada setiap waktu dan tempat dimana ia berada, fainnaka an
tukhaliyya lailaka wa naharaka.39 Oleh sebab itu perlu kiranya etika-etika garis
besar yang manusia harus lakukan ketika ingin mendekatkan dirinya pada Tuhan,
yang oleh al-Ghazali dibagi menjadi empat belas bagian; 1) menundukkan kepala
(tunduk dan pasrah), 2) memiliki niat yang kuat dengan selalu bersandar pada
Allah, himmah, 3) selalu diam dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, 4) tidak
melakukan hal-hal merugikan yang berakibat akan menggangu kekhusyuan dan
ketertundukkan diri pada Allah, 5)

39 Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 23.

Anda mungkin juga menyukai