PENDAHULUAN
B.
IMAM AL-GHAZALI
1. Latar Belakang Keluarga dan Peniddikan
Hujjah al-Islam1 ini yang bernama lengkap Abu Hamid ibn
seorang
2.
at-Thabaqot
al-Aliyah
fi
manaqibi
as-Syafiiyyah
menyebutkan ada 98 judul kitab karya al-Ghazali, sedangkan asSubky dalam kitabnya At-Thabaqot As-Syafiiyah menyebutkan ada 58
judul karyanya, Thasy Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya
Miftahus Saadah wa Misbahus Siadah jumlah karyanya mencapai 80
judul kitab, Ia menambahkan bahwa buku dan risalah-risalahnya
mencapai ratusan, bahkan sulit dihitung. Tidak mudah bagi orang
yang ingin mengenal nama-nama kitabnya, bahkan pernah dikatakan
al-Ghazali memiliki seribu minus satu karya, walaupun hal tersebut
bertentangan dengan adat kebiasaan namun orang yang mengenal
kondisi al-Ghazali sebenarnya bias jadi akan membenarkan informsi
tersebut. Diantara karyakarya itu bias disebutkan menurut kelompok
ilmu pengetahuan sebagai berikut8
a.
8 Zainuddin (Dkk), Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hlm. 8.
b.
c.
d.
e.
C.
BIDAYAH AL-HIDAYAH
1. Latar belakang penulisan kitab
9 Cari kajian tentang kitab ini, ulama barat, arab, ataupun indonesia.
10 Mafhum Mukhalafahnya, Martin mengatakan bahwa kitab ini datang lebih akhir daripada kitab
Ihya ulum al-Din. Lihat, Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat TradisiTradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 28.
11 Pertama, masyarakat kebanyakan (awwam) yaitu kelompok pencari keselamatan yang
berkemampuan intelektual rendah, kedua, masyarakat elit (khawwash), yaitu mereka yang
memiliki kecerdasan dan ketajaman mata hati. Ketiga, di antara keompok itu muncul kelompok
ahli debat. Lihat, al-Ghazali, al-Qisthas al-Mustaqim, hlm. 86
sebuah
agama,
meluluhlantahkan
jiwa,
15
oleh
pun
kemudian
memperkuat
argumentasinya
dengan
15 Hakekat disini tidak dimaknai dengan hakekat sebagai sebuah bagian terpendam atau terdalam
pada sesuatu. Akan tetapi sebagi tujuan akhir daripada segala sesuatu termasuk ciptaan manusia,
dan hakekat manusia itu tiada lain adalah mengenal Allah. Oleh sebab itu hakekat dinisbahkan
kepada kata haqq yang bermakna Allah. oleh sebab itu pula para tasawwuf menyebut diri mereka
dengan ahl al-Haqiqah. Lihat, Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawwuf (Jakarta:
Erlangga, 2006), hlm. 6.
16Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 1.
17 ( 103)
di
akhir
muqaddimahnya
kemudian,
al-Ghazali
2.
Sistematika Kitab
Adab al-Naum
Adab al-Shalah
Adab al-Imamah wa al-Qudwah
Adab al-Jumah
Adab al-Shiyam
a. Ashdiqa
b. Maarif
c. Majahil
E. Al-Alaqah bi al-Awwam al-Majhulin
F. Al-Alaqah bi al-Ikhwan wa al-Ashdiqa
a. Syuruth al-Shuhbah wa al-Shadaqah
b. Muruah Huquq al-Shuhbah
G. Adab al-alaqah bi al-maarif
mewakili setiap pembahasan, walaupun memang tidak mungkin. Penulis pun akan
menggunakan kitab syarh Bidayah al-Hidayah yaitu Muraqqi al-Ibadah karya
Muhammad al-Nawawi al-Bantani-al-Jawi.22 Penulis pun akan mencoba mensyarh
dan membandingkannya dengan kitab al-Ghazali Ihya Ulum al-Din.
Dalam upaya membaca karya ini penulis akan mengambil sample pada
kajian awal pada setiap bab yang al-Ghazali bahas. Pertama, tentang tata krama
bangun dari tidur. Kedua, bagaimana seharusnya seorang manusia melihat dengan
kedua matanya, dan ketiga, adab al-Shuhbah, tata krama persahabatan atau
kedekatan. Peletakkan kasus-kasus ini di awal pada setiap bab oleh al-Ghazali
bukan tanpa alasan. Karena dalam pembacaan awal penulis ketiga kasus
tersebut merupakan sumber bukan hanya awal pada setiap kegiatan
selanjutnya yang akan dilakukan. Pada kasus tata krama bangun dari tidur,
misalnya. Perjalanan seorang manusia pada pagi, siang, sore, bahkan malam
harinya dilihat pertama kali pada reaksi spontanitas ketika ia bangun dari tidurnya,
dan apa yang dia lakukan setelah itu.
Al-Ghazali pada kasus pertama menganjurkan seseorang untuk senantiasa
berusaha, ijtihad (baca: mengeluarkan seluruh kemampuan) untuk bangun
sebelum terbitnya fajar.23 Hal itu tentunya harus diisi dengan shalat awal waktu,
bacaan al-Quran, dan hal-hal positif yang lainnya. Al-Bantani menambahkan
bahwa ketika seseorang bangun maka manusia ibarat hidup dari kematiannya.
22 Nawawi Banten (w.1896) yang dipuji oleh Snouch sebagai orang Indonesia yang paling alim
dan rendah hati adalah pengarang paling produktif. Di samping kitab tafsirnya yang terkenal, dia
menulis kitab dalam setiap disiplin ilmu yang dipejalari di pesantren. Berbeda dengan pengarang
Indonesia sebelumnya, dia menulis dalam bahasa Arab. Beberapa karyanya merupan syarh atas
kitab-kitab yang digunakan di pesantren dan menjelaskan, melengkapi atau terkadang mengoreksi
matan yang disyarhai. Sejumlah syarh-nya benar-benar menggantikan matan asli dari kurikulum
pesantren. Tidak kurang dari 22 karyanya (dia menulis paling sedikit dua kali jumla itu) masih
beredar, dan 11 judul dari kitab-kitabnya termasuk 100 kitab yang paling banyak digunakan
pesantren. Nawawi sendiri berdiri pada titik peralihan antara dua periode dalam tradisi pesantren.
Dia memperkenalkan dan menafsirkannya kembali warisan intelektualnya, dan mermperkayanya
dengan menulis karya-karya baru berdasarkan kitab-kitab yang belum dikenal di Indonesia pada
zamannya. Semua kiai zaman sekarang menganggapnya sebagai nenek moyang intelektual
mereka. bahkan, Ahmad Khatib Minangkabau, bapak reformis Islam Indonesia pun termasuk
muridnya. Lihat Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, hlm. 38.
23 Al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 3.
Sedangkan hidup adalah cahaya dan kematian adalah kegelapan.24 Oleh sebab
itulah seorang manusia ketika bangun fikiran, hati serta lisannya harus dipenuhi
dengan lautan dzikir kepada Allah. al-Bantani kemudian dalam syarh menjelaskan
memperkuat argumentas al-Ghazali dengan menyantumkan sebuah hadis yang
menyatakan bahwa ketika seseoran tidur maka syaitan membuat tiga ikatan.
Ikatan pertama akan lepas dengan dzikir, kedua dengan berwudlu, dan ketiga
dengan melakukan shalat.25 Kemudian ia pun merekomendasikan doa yang
diriwayatkan Hudzaifah dan Abi Dzar,
26
rabbukum uduni astajib lakum, dll.30 Dan doa-doa yang disampaikan oleh alGhazali dalam kitab ini pun sudah tercatat lengkap dalam bab al-Adiyyah min alHawadits.
Kasus kedua tentang menjaga mata. Disini yang dimaksud oleh al-Ghazali
adalah mata setiap manusia, bukan mata batin. Mata sejatinya, menurut al-Ghazali
diciptakan untuk melihat dalam kegelapan dan untuk melihat kekuasaan Allah
untuk selalu ditafakkurkan dan ditadabburkan. Ada empat hal yang dilarang oleh
al-Ghazali terkait dengan indera mata, pertama, melihat yang bukan mahram,
melihat gambar yang tercela walau tanpa syahwat -, melihat seorang muslim
dengan pandangan yang hina, atau mencari-cari celah seorang muslim.31
Amalan pertama dan kedua nampak adalah pekerjaan mata an sich
berbeda dengan yang kedua dan keempat yang lebih menitikberatkan pada
pekerjaan hati. Dalam konteks orang yang berilmu maka seseorang tidaklah cukup
untnuk tidak melihat sesuatu yang dilaran oleh agama, tetapi bagaimana ia pun
dilarang untuk melihat sesuatu tanpa kebencian, kedengkian bahkan penghinaan.
Pentingnya menjaga mata ini kemudian diperluas oleh al-Bantani dengan syair
yang dikutip dari Bahr al-Basith,32
#
Setiap perkara berawal dari mata, tiada api menyela besar kecuali
dimulai dengan kejahatan yang secuil
Pembahasan ketiga tentang tata krama pendekatan dan kedekatan dengan
sang Khalik. Al-Ghazali secara fenomenologis menggambarkan bahwa kedekatan
makhluk dengan hambanya adalah kedekatan yang abadi. Dalam kondisi apa pun
sebenarnya seorang manusia sangat dekat dengan Tuhannya; tidurkah, berdirikah,
atau sedang bermaksiatkah. Namun kedekatan manusia tidak bisa diilustrasikan
dengan kedekatan fisik antara manusia dengan makhluk Tuhan. Karena kedekatan
Tuhan bukanlah kedekatan fisik. Bahkan dalam kondisi apa pun. Akan tetapi
kedekatan ini kadang tidak bisa dirasakan oleh orang-orang yang lalai dari dzikir
kepada Nya. Karena kehadiran Tuhan pada dasarnya adalaha kehadiran yang
30 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, juz. 1, hlm. 330.
31 Abu Hamid al-Ghazali, Bidayah al-Hidayah, hlm. 17.
32 Al-Nawawi al-Bantani, Muraqqi al-Ubudiyyah, hlm. 74.
:
Wahai Tuhanku, apakah engkau dekat kemudian aku menjauhimu, ataukah
engkau jauh sehingga aku harus mendekatimu. Allah berfiran, Wahai Musa, aku
bersama orang yang ingat pada-Ku
Dalam al-Quran pesan al-Ghazali ini selaras dengan surah Al-Baqarah
[2]: 15235 dan 186.36 Sedangkan dalam hadis sebagaimana yang ada dalam alMustadrak ala al-Shahihain,37 dan dikutip oleh al-Bantani38, :
, Hambaku, aku tergantung pada prasangkamu,
dan aku selalu bersamamu apabalia engkau mengingat-Ku. Al-Ghazali pun
kemudian menegaskan bahwa dalam kesedihan pun sesungguhnya manusia harus
selalu dekat dengan Tuhan.
Oleh sebab itu untuk mendapatk pengetahuan sejatihaqqa al-Marifah,
seorang manusia harus menjadikan Tuhan sebagai pendamping Nya dan
menjadikan hamba jauh darinya. Menjauhkan hamba disini bukan berarti, tidak
menjadikan manusia sebagai partner di dunia. Karena al-Ghazali pun secara
eksplisit pada bab selanjutnya memperlihatkan etika bergaul dengan orang tua dan
yang lainnya. Maka yang diinginkan oleh al-Ghazali adalah ketergantungan
manusia pada manusia sehingga melupakan Tuhan. Dalam konteks keilmuan
maka marifah sejati akan datang bukan hanya karena usaha manusia tetapi
kehendak-Nya.