Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AKHLAK TASAWUF

BIOGRAFI AL-GHAZALI DAN AJARAN TASAWUFNYA, TAKHALLI,


TAHALLI, DAN TAJALLI

KELOMPOK 10

Dosen pengampu: Dr. H. Munawir Ulum, M.Pd.I

Disusun oleh:

1. Ainy Nur Lathifah (202191260014)


2. Afdolus Saifullah (202191260003)
3. Nadila Aprilia (202191260031)

PENDIDIKAN MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)

SEMESTER 2

STAI AT-TAQWA BONDOWOSO

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT tuhan yang maha esa, yang telah
memberikan rahmat, dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan judul “Biografi Al-Ghazali dan pelajaran tasawufnya, Takhalli, Tahalli, dan
Tajalli”. Sholawat dan salam penulis ucapkan kepada Rasulullah SAW, beserta keluarga, dan
sahabat-sahabtnya dan kita semua sebagai umatnya.

Makalah ini berisi tentang biografi Al-Ghazali dan macam-macam pelajaran tasawufnya,
manfaat bagi pembacanya yaitu untuk menambah pengetahuan mengenai biografi Al-ghazali
serta macam-macam ajaran tasawufnya, dan manfaat bagi penulis yaitu untuk menambah
pengetahuan mengenai biografi Al-Ghazali, menjadikan apa yang kami tulis sebagai bahan bagi
kami untuk mengasah kemampuan dalam menyusun makalah dan untuk menyelesaikan tugas
kelompok mata kuliah “Akhlak Tasawuf”.

Penulis menyadari makalah ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak, oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah akhlak
tasawuf yaitu dosen Dr. Munawir Ulum, M.Pd.I dan tidak lupa juga dengan teman-teman,
orang tua, yang namanya tidak bisa kami sebut satu persatu, pada akhir kata penulis menyadari
tidak ada yang sempurna, oleh karena itu penulis meminta maaf apabila ada kesalahan pada
makalah ini, penulis menerima kritik dan saran dari para pembacanya. Akhir kalimat penulis
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Bondowoso, 21 Maret 2022

(kelompok 10)
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akhlak merupakan ukuran kepribadian orang muslim, ukuran baik dan buruk
akhlak seseorang dipandang dari syariat islam ketika seseorang memiliki akhlak yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah seseorang tersebut akan memiliki akhlak yang
mulia. Menurut Imam Al-Ghazali bukan hanya sekedar dan kemampuan semata dan
akhlak bukan dari pengetahuan, akhlak adalah sebuah upaya yang menggabungkan diri
dan jiwanya yang sedemikian rupa menjadi kebiasaan- kebiasaan dalam kehidupan
sehari-hari.
Ajaran akhlak Imam Al-Ghazali berlandaskan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah
serta pemikiran-pemikiran yang rasional terhadap kedua pedoman tersebut. Dalam ajaran
Imam Al-Ghazali bersifat religius dan rasional, serta terdapat sifat-sifat praktis dan
realitis. Oleh karena itu kajian mengenai akhlak dan pendidikan akhlak menurut Imam
Al-Ghazali menjadi hal yang sangat penting, karena di dalamnya terdapat tujuan berupa
bentuk pribadi muslim yang dekat kesempurnaan dengan cara internalisasi pendidikan
akhlak.
Dalam suatu bidang ilmu keislaman untuk memasuki atau menghiasi diri dengan
akhlak yang luhur dan keluar dari akhlak yang rendah maka di sebut dengan tasawuf,
tasawuf juga diartikan sebagai kebebasan, kemuliaan, meninggalkan perasaan yang
terbebani alam setiap melaksanakan perbuatan syara’, dermawan, dan murah hati. Ajaran
tasawuf dibagi menjadi dua tasawuf sunni dan tasawuf salafi, tasawuf salafi merupakan
tasawuf yang ajaran-ajarannya di susun secara kompleks dan mendalam dengan bahasa-
bahasa simbolik filosofis, sedangkan tasawuf sunni merupakan tasawuf yang di dasarkan
dalam al-qur’an dan sunnah.
Tasawuf sunni di bagi dalam dua tipe yaitu tasawuf akhlaqi dan tasawuf amali,
dalam tasawuf akhlaqi para sufi memandang manusia cendderung mengikuti hawa nafsu,
seseorang yang sudah di kendalikan oleh hawa nafsu memiliki kecenderungan memiliki
mental yang kurang baik, untuk mengembalikan manusia ke kondisi yang baik tidak
hanya dari aspek lahiriah sematamelainkan juga melalui aspek batiniah. Dalam tasawuf
pross batiniah meliputi beberapa tahapan, dan tujuannya adalah untuk menguasai hawa
nafsu dalam rangka pembersihan jiwa agar bisa lebih dekat dengan allah. Tahapan-
tahapan tersebut adalah Takhalli, Tahalli, dan Tajalli.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana biografi Al-Ghazali ?
2. Bagaimana karakteristik pemikiran Al-Ghazali ?
3. Apa pengertian Takhalli, Tahalli, dan Tajalli ?
4. Bagaimana cara melakukan Takhalli, Tahalli, Tajalli yang baik ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1. Mengetahui biografi Al-Ghazali.
2. Mengetahui karakteristik pemikiran Al-Ghazali.
3. Mengetahui pengertian dari Takhalli, Tahalli, Tajalli.
4. Mengetahui cara melakukan Takhalli, Tahalli, Tajalli yang baik.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Al-Ghazali
1) Latar belakang keluarga

Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali Al-
Thusi atau lebih dikenal dengan Al-Ghazali, beliau juga disebut Abu Hamid. Gelar Al-
Ghazali adalah Hujjatul Islam atau Hujjatul Islam Abu Hamid 1(Pembela Islam) dan
Mujaddid Al-Qarn Al-Khamis (Pembaharu abad ke-5). Beliau lahir pada tahun 450
H/1058 M, tepatnya pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah. Dan wafat pada tahun 505 H/
1111 M, tepatnya pada tanggal 14 Jumadhil Tsani, hari Senin di Thus, sebuah kota kecil
(Khurasan) Iran yang juga tempat kelahirannya.

Diceritakan bahwa kedua orang tua Al-Ghazali adalah orang sholeh yang tidak mau
makan kecuali dari hasil usaha nya sendiri, orang tua Al-Ghazali adalah seorang
pengusaha pemintal bulu domba. Ketika Al-Ghazali beserta saudaranya (Ahmad) masih
kecil, ayahnya meninggal. Sebelum meninggal, dia telah berpesan kepada seorang teman
sufi, agar sepeninggalan dirinya nanti kedua anaknya dididik dan dipelihara. Sang ayah
berkata “saya sangat menyesal bahwa saya tidak bisa menulis (buta huruf). Oleh
karena itu saya ingin kedua anak saya ini tidak kehilangan yang tidak bisa saya
peroleh, didiklah mereka dengan seluruh harta peninggalanku”2. Al-Ghazali
menceritakan hal tersebut dengan mengatakan “kami menuntut ilmu karena selain Allah
SWT lalu kami menolak agar itu hanya karena Allah SWT”. Dari pengalaman Al-
Ghazali tersebut dapat diperkirakan bahwa beliau hidup dalam suasana kesederhanaan
sufi sampai usia 15 tahun (450-466 H)3.

Dalam riwayat lain, konon orang tua Al-Ghazali sering mengunjungi para ahli fiqih,
duduk bersama mereka dan meluangkan diri untuk melayani mereka. Sehingga ia
merasakan dirinya seakan-akan menemukan kebaikan dalam diri mereka dan ia pun
1
Yusuf Qordowi, Al-Ghazali Antara pro dan kontra, (Surabaya: Pustaka, Progresif,1999),19.
2
Ahmad Hanafi, pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:Bulan, Bintang, 1990), 13.
3
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Griya Pratama, 1994), 77.
terkadang bersedekah untuk kepentingan mereka. Dia selalu memohon dan berdoa
kepada Allah SWT agar kelak diberi rezeki berupa seorang anak yang dapat
memberikan tuntunan dan menjadikannya seorang pakar ilmu fiqih. Maka Allah SWT
mengabulkan doa nya4. Adapun Imam Al-Ghazali merupakan seorang ahli ilmu Fiqih
dimasanya, serta menjadi pemuka Agama di masa itu. Sedangkan Ahmad (saudara Al-
Ghazali) merupakan seorang pemberi tuntunan yang dapat melunakkan gendang telinga,
ketika mendengarkan wejangannya dan dapat menggetarkan sanubari para hadirin dalam
majelis dzikirnya. Sejak kecil Imam Al-Ghazali dikenal sebagai anak pecinta ilmu
pengetahuan. Pendidikannya dimulai dengan belajar al-Qur’an pada ayahnya sendiri,
sepeninggal ayahnya ia dititipkan kepada teman ayahnya, Ahmad bin Muhammad Al-
Razikani, seorang sufi besar di Thusy. Pada beliau lah Al-Ghazali mempelajari ilmu
fiqih, riwayat hidup para wali, dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, ia belajar juga
menghafal syair-syair tentang mahabbah (cinta) kepada Tuhan, Al-Qur’an dan Sunnah.
Di Jurjan, Al-Ghazali mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh Gurunya. Ia
menulis suatu komentar tentang ilmu fiqih.

Akan tetapi menurut Sebuah cerita, di tempat ini, ia mengalami musibah. Semua
barang yang dibawa Oleh al-Ghazali yang berisi buku-buku catatan dan tulisannya di
rampas oleh para perampok, meskipun pada akhirnya barang-barang tersebut
dikembalikan setelah Al-Ghazali berusaha keras untuk memintanya kembali. Kejadian
tersebut mendorong Al-Ghazali untuk menghafal semua pelajaran yang diterimanya.
Oleh karena itu, setelah sampai di Thus kembali, ia berkonsentrasi untuk menghafal
semua yang pernah di pelajarinya selama kurang lebih 3 tahun5.

Kecerdasan dan kepintaran Imam Al-Ghazali diakui oleh Imam Al-Juwaini, hingga
akhirnya ia diangkat sebagai asisten dan mewakili pimpinan Nizamiyah, disinilah bakat
menulisnya berkembang. Ketika Gurunya meninggal dunia (1085), ia meninggalkan
Naisabur dan menuju ke Istana Nizham Al-Muluk dan menjadi seorang perdana mentri
Sultan Bani Saljuk6. Akhir hidup Imam Al-Ghazali bertempat di Teheran pada tahun 505
H/ 111 M. Seperti biasanya, Al-Ghazali bangun pagi pada hari senin, bersembahyang,

4
Abdul Aziz, Ekonomi Sufistik Model al-Ghzali, (Bandung: Alfabeta, 2011), 25.
5
Boedi Abdullah, Beradaban Pemikiran ekonomi islam, (Bandung: pustaka setia, 2011), 203.
6
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, (bandung : Angkasa, 2003), 159.
kemudian minta dibawakan peti matinya. Ia seolah-olah mengusap peti mati itu dengan
matanya dan berkata “apapun perintah Tuhan, aku telah siap melaksanakannya”.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Ia meluruskan kakinya, dan ketika orang-orang
melihat wajahnya, Imam Al-Ghazali telah tiada7.

2) Karya-karya Imam Al-Ghazali


Al-Ghazali merupakan sosok Ilmuwan dan penulis yang sangat produktif. Berbagai
tulisannya telah banyak menarik perhatian dunia, baik dari kalangan Muslim maupun
non-Muslim. Para pemikir Barat abad pertengahan, seperti Raymond Martin, Thomas
Aquinas, dan Pascal, diketahui banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali. Pasca
periode sang Hujjatullah ini, berbagai hasil karyanya telah banyak diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa, seperti Latin, Spanyol, Yahudi, Prancis, Jerman, dan Inggris,
kemudian dijadikan referensi oleh kurang lebih 44 Pemikir Barat. Al-Ghazali,
diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin
ilmu, seperti logika, Filsafat, moral, Tafsir, Fiqih, ilmu-ilmu al-Qur’an, Tasawuf, politik,
administrasi, dan perilaku ekonomi. Namun demikian, yang ada hingga kini hanya 84
buah.
Jumlah kitab yang ditulis Al-Ghazali sampai sekarang belum disepakati secara
definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir
tentang jumlah buku yang dikarang oleh Al-Ghazali, adalah yang dilakukan oleh
Abdurrahman Al-Badawi, yang hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul
Muamallafat al-Ghazali. Dalam buku tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-
kitab yang ada hubungannya dengan karya Al-Ghazali dalam 3 kelompok. Pertama,
kelompok kitab yang dapat dipastikan sebagai karya Al-Ghazali. Terdiri atas 72 buah
kitab. Kedua, kelompok kitab yang diragukan sebagai karyanya yang asli. Terdiri atas
22 buah kitab. Ketiga, kelompok kitab yang dapat dipastikan bukan karyanya, terdiri
atas 31 buah kitab.
Al-Badawi mengatakan bahwa jumlah karangan Al-Ghazali ada 47 buah, Nama-
nama buku tersebut adalah8 :
7
Nur Chamid, Jejak langkah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010). 218.
8
Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 2009.
- Ihya Ulum Ad-Din (membahas ilmu-ilmu Agama)
- Tahafut Al-Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinjau dari segi
Agama)
- Al-Iqtishab fi Al-Itiqad (inti ilmu ahli kalam)
- Al-Munqidz min Adh-Dhalal (menerangkan tujuan dan rahasia-rahasia ilmu)
- Jawahir al-Qur’an (rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an)
- Mizan Al-Amal (tentang falsafah keagamaan)
- Al-Maqashad Al-Asna fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (tentang arti nama-nama
Tuhan)
- Faishal Ath-Tafriq baina Al-Islam was Al-Zindiqah (perbedaan antara Islam dan
zindiq)
- Al-qisthas Al-Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat)
- Al-Mustadhhiry (yang memudaratkan)
- Hujjat Al-haq (dalil yang benar)
- Mufahil Al-Khilaf fi Ushul Ad-Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah
Ushul ad-din)
- Kimiya As-Sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah)
- Al-Basith (fiqh) (yang terbentang)
- Al-Wasith (fiqh) (penengah)
- Al-Wajiz (fiqh) (yang ringkas)
- Al-Khulasahah Al-Mukhtasharah (fiqh)
- Yaqut At-Ta’wil fi Tafsir At-Tanzil (Tafsir 40 jilid)
- Al-Mustasfa (ushul fiqh) (penyembuh)
- Al-Mankhul (ushul fiqh) (yang dinukil)
- Al-Muntaha fi ilmi Al-Jadal (cara-cara berdebat yang baik)
- Mi’yar Al-ilmi (timbangan ilmu)
- Al-Maqashid (yang dituju)
- Al-Madnun bihi ‘ala Ghairi Ahlihi (batasan selain keluarganya)
- Misykat Al-Anwar (pelajaran keagamaan)
B. Karakteristik Pemikiran Al-Ghazali
Perkembangan pemikiran Al-Ghazali mengalami pergolakan yang membawa
dirinya pada tingkat tertinggi, yaitu skeptis (keragu-raguan). Menurut Ahmad Hanafi,
pikiran-pikiran Al-Ghazali telah mengalami perkembangan semasa hidupnya dan penuh
kegoncangan batin, sehingga tidak diketahui kesatuan dan kejelasan corak
pemikirannya, seperti yang terlihat dari sikapnya terhadap filosof aliran akidah pada
masanya9. Al-Ghazali hidup pada zaman keemasan Islam, masa kekhalifahan Abbasiyah
yang berpusat di Baghdad (750-1258 M)10. Selama empat tahun Al-Ghazali mengajar
sebagai mahaguru di Baghdad. Bertitik tolak pada ortodoksi dan mistisme Islam Sunni
ia mengkritisi ajaran dari filsuf Al-Farabi dan Ibnu Sinna (Avicenna) di dalam karyanya,
Intentiones Philosophorum.
Pengaruhnya amat luas karena berargumen melawan aliran Falsafah, pemikir Arab
yang menganut filsafat Aristotelian di buku Thahatuf Al-Falasifah serta berselisih
pandangan dengan aliran Mu’tazilah yang memandang moralitas adalah sebuah tindakan
rasional manusia dalam melihat mana yang baik dan mana yang buruk, tidak semata
ditentukan oleh Agama11. Karya terbesarnya, Revival of the Religion Sciences (Ihya’
Ulum Ad-Din) menjabarkan pandangannya yang bercorak tasawuf bahwa prinsip moral
sejauh kemampuannya harus melaksanakan sifat-sifat Allah dan sifat-sifat yang disukai
Allah.
Menurut Umer Chapra, yang memperkuat pembelaan rasional Al-Ghazali terhadap
keyakinan dan praktek-praktek Islam adalah kefasihannya, pengetahuannya yang luas
terhadap syari’ah, kesalehan dan perilaku akhlaknya yang tinggi. Al-Ghazali mempunyai
pengaruh yang besar di Dunia Islam pada waktu itu dan terus dibaca secara luas serta
dikutip hingga saat ini dan menjadi salah satu pengetahuan Agama yang diakui secara
resmi serta merupakan bagian penting dari silabus Agama12.

C. Pengertian Takhalli, Tajalli, Tahalli


9
M. Umer Chapra, The Future Of Economics: An Islamic Perspective, (Jakarta:SEBI, 2001), 99.
10
Heru Prakosa, Al Ghazali dan Thomas Aquinas: Hidup Harmoni sbagai Buah Ketawaan, (Jakarta: BASSIS 2012), 53
11
Bdk, Battista Mondin, A History of Mediaeval Philosopphy, (Roma: Urbanian University Pres, 1991), 220.
12
M. Umer Chapra, The Future Of Economics: An Islamic Perspektive, (Jakarta: SEBI, 2001), 100.
1. Pengertian Takhalli
Takhalli adalah penyucian diri dari sifat-sifat tercela 13, dari maksiat lahir
dan batin, di antaranya yaitu hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), su’udzan
(buruk sangka), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan ghadab (pemarah). Dalam hal ini
allah berfirman : “bahagialah orang yang mensucikan jiwanya dan rugilah orang
yang mengotorinya” (Q.S, As-Syams [91]:9-10).
Takhalli juga berarti menghindari diri dari ketergantungan terhadap
kenikmatan hidup duniawi, kehidupan duniawi benar-benar sebagai “racun
pembunuh” kelangsungan cita-cita sufi. Nafsu duniawi harus dimatikan dari diri
manusia agar bebas berjalan mencapai kenikmatan yang hakiki. Mencapai
keridhaan Tuhan lebih utama dari pada kenikmatan materi, pengingkaran pada
ego dengan meresapkan diri pada kemauan tuhan adalah perbuatan utama. Nilai
moral betul-betul agamis karena setiap tindakan disejajarkan dengan ibadah yang
lahir dari motivsi eskatologis14.
2. Pengertian Tahalli
Tahalli yaitu menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap terpuji 15.
Dalam hal ini allah berfirman: “sesusunnguhnya allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan allah melarang
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, dia memberi pelajaran kepadamu
agar kamu dapat mengambil peperlajaran tersebut”. (Q.S Al-Balad [16]: 90)
Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah di kosongkan
apabila manusia mampu mengisi hatinya dengan sifat-sifat terpuji maka akan
menjadi cerah dan terang sehingga dapat menerima cahaya ilahi sebab hatinya
yang kotor tidak dapat menerima cahaya tersebut. Setelah hatinya terang maka
segala perbuatan dan tindakannya akan di jalankan dengan niat yang ikhlas,
seperti ikhlas melakukan ibadah kepada allah, mengabdi kepada kepentingan
agama, ikhlas bekerja untuk melayani kepentingan keluarga, masyarakat dan
negaranya tanpa mnegharap balasan apapun kecuali dari Allah.

13
M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, 2021, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), hlm 2
14
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, 2008, (Yogyakarta: LKS), hlm 53-54
15
M.Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual, 2012, (Yogyakarta: Pustaka pelajar), hlm 2
Tahalli juga dapat di artikan sebagai usaha yang menghiasi diri dengan
jalan membiasakan diri bersikap baik dan berbuat baik, berusaha agar dalam
setiap perilakunya selalu berjalan diatas ketentuan agama baik kewajiban yang
bersifat luar atau ketaatan lahir seperti shalat, puasa, zakat, dan haji maupun
ketaatan yang bersifst dalam stsu ketaatan batin seperti iman, bersikap ikhlas, dan
juga ridha terhadap seluruh ketentuan allah16.
3. Pengertian Tajalli

Tajalli yaitu terungkapnya nur ghaib untuk hati, dalam hal ini kaum sufi
mendasarkan pendapatnya pada firman allah: “allah adalah nur (cahaya) langit
dan bumi”. (Q.S. An-Nur [24]: 35). Menurut Mustofa Zahri, Tajalli diartikan
sebagai lenyapnya hijab dari sifat-sifat kemanusiaan, tersingkapnya nur yang
selama itu ghaib, dan lenyapnya segala sesuatu ketika muncul wajah Allah.

Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-munqizh min adh-Dhalal, Tajalli


adalah tersingkapnya hal-hal ghaib yang dijadikan pengetahuan kita yang hakiki
yang di sebabkan oleh nur yang di pancarkan Allah ke dalam hati seseorang.
Pengetahuan yang hakiki tersebut tidak di dapat menyusun dalil dan menata
argumentasi, karena nur di pancarkan allah ke dalam hati, dan nur merupakan
kunci untuk sekian banyak pengetahuan17.

Tajalli merupakan tanda-tanda Allah yang ditanamkan didalam diri


manusia supaya dapat disaksikan. Setiap tajalli melimpahkan cahaya demi cahaya
sehingga seseorang yang menerimanya akan tenggelam dalam kebaikan.
Perbedaan dalam penyingkapan itu tidak menandakan adanya perselisihan
diantara guru sufi. Masing-masing manusia unik, karena itu masing-masing
Tajalli unik. Sehingga tidak ada 2 orang yang merasakan pengalaman Tajalli
yang sama, Tajalli adalah ketakjuban.

Al-Jilli membagi Tajalli menjadi 4 tingkatan sebagai berikut:

16
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, 2008, (Yogyakarta: LKS), hlm 54-55
17
Sokhi Huda, Tasawuf Kultural, 2008, (Yogyakarta: LKS), hlm 55-56
a. Tajalli Af’al, yaitu tajalli allah pada perbuatan seseorang, artinya
segala aktivitas itu di kuasai dengan qudratnya, dan ketika itu dia
melihatnya.
b. Tajalli Asma’, yaitu lenyapnya seseorang dari dirinya dan bebasnya
dari genggaman sifat-sifat kebaruan dan lepasnya dri ikatan tubuh
kasarnya. Dalam tingkatan ini tidak ada yang di lihat kecuali hanya
dzat Ash Shirfah (hakikat gerakan), bukan melihat asma’.
c. Tajalli sifat, yaitu menerimanya seorang hamba atas sifat-sifat
ketuhanan, artinya tuhan mengambil tempat padanya tanpa hullu
dzanya.
d. Tajalli Zat, yaitu apabila allah menghendaki adanya tajalli atas
hambanya yang memfana’ kan dirinya maka bertempat padanya
karunia ketuhanan yang bisa berupa sifat dan bisa berubah zat,
disitulah terjadi
D. Cara melakukan Takhalli, Tahalli, Tajalli
1) Menghayati segala bentuk ibadah, sehingga pelaksananya tidak sekedar apa yang
di lihat secara lahiriyah.
2) Ridhonya (latihan) dan Mujahadah (perjuangan) yaitu berjuang dan berlatih
membersihkan diri dari kekangan hawa nafsu dan mengendalikan serta menuruti
keinginan hawa nafsu tersebut.
3) Mencari waktu yang tepat untuk mengubah sikap buruk dan mempunyai daya
tangkal terhadap kebiasaan buruk dan menggantikannya dengan kebiasaan yang
baik.
4) Muhasabah (koreksi) terhadap diri sendiri dan selanjutnya meninggalkan sifat-
sifat yang jelek itu, memohon pertolongan Allah dari gada’an syaitan.

Untuk pelaksanaanya yaitu sebagai berikut :


1. Pelaksanaan Takhalli
Mensucikan diri jasadi dan diri rohani harus simultan dan serentak, dosa yang di
lakukan oleh jasadi di namakan dosa lahir, sedangkan dosa yang dilakukan oleh rohani
dinamakan maksiat batin dan maksiat lahir karena mensucikan harus secara lahir dan
batin.
a. Menyucikan diri dari dosa lahir
Maksiat lahir adalah segala pebuatan yang dikerjakan oleh anggota badan
manusia yang merusak diri sendiri atau orang lain, yang menimbulkan
pengorbanan yang berbentuk benda, pikiran atau perasaan. Pada garis besar ada 7
anggota badan manusia kalau di manfaatkan untuk kebaikan maka dia merupakan
rahmat dan nikmat, tetapi kalau di laksanakan untuk kejahatan maka dia
merupakan kedurhakaan dan kekufuran. 7 anggota itu adalah sebagai berikut:
- Mata
Mata seharusnya untuk di gunakan untuk melihat alam ini sebagai bukti adanya
tuhan, tidak untuk melihat yang haram.
- Telinga
Telinga seharunsya di gunakan untuk mendengarkan ajaran-ajaran agama, untuk
memaslahatkan hidup di dunia dan di akhirat, tidak mendengar sesuatu yang
mendorong kepada maksiat.
- Mulut
Seharusnya di gunakan untuk perbuatan baik dan bermanfaat. Tidak untuk
mengatakan perkataan yang tidak baik, berdusta, dan seterusnya.
- Tangan
Seharusnya untuk hal-hal yang bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun
masyarakat, bukan untuk di pergunakan untuk merusak
- Kaki
Kaki seharusnya di gunakan untuk mencari rezeki yang halal dan megerjakan
ibadah, tiak untuk mencari rezeki yang haram dan berbuat maksiat.
- Perut
Perut seharusnya di isi dengan makanan yang halal dan baik, tidak di isi dengan
makanan yang haram, untuk berbuat maksiat.
- Kemaluan
Kemaluan seharusnya di lakukan untuk mencari keturunan melalui pernikahan,
tidak di gunakan untuk memuaskan syahwat dengan berzina dengan
mengahancurkan kehidupan masyarakat.
b. Mensucikan diri dari dosa lahir
Maksiat batin yang menimbulkan dosa batin adalah sangat berbahaya,
karena dia tidak terlihat dan berada pada diri manusia itu sendiri. Maksiat batin
yang menimbulkan dan membangkitkan maksiat lahir yang berbentuk kejahatan,
kejahatan yang di lakukan oleh anggota-anggota badan lahir. Maksiat batin
tumbuh dan berkembang oleh sebab jarang di sucikan atau tidak pernah di
sucikan.
Syekh Amin Al-qurdi mengatakan bahwa maksiat batin itu sebagai sifat-
sifat yang tercela dan itu merupakan najis-najis maknawiyah yang tidak mungkin
orang mendekatkan diri kepada allah SWT sebelum di sucikan. Pusat dari segala
sifat yang tercela tadi adalah hati nurani atau dari hati nurani manusia itu sendiri.
Cara mensucikan maksiat batin yang menimbulkan dosa batin adalah dengan
berdzikir pada 7 tempat latifal yaitu:
Latifah qalbi, latifah ruh, latifah sir, latifatul khafi, latifatul akhfa, latifat
nafsun natikah dan latifatul kullu jasad, cara berdzikir pada latifah, latifah itu dan
buahnya akan di jelaskan pada bagian zikir lataif.
2. Pelaksanaan Tahalli
Firman allah swt: “sesungguhnya allah menyuruh kaum untuk berperilaku adil
dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat (apa yang mereka perlukan),
dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan”. (Q.S An-
nahl:90) ayat tersebut menjadi dasar utama supaya kita berakhlakul karimah atau
berakhlak mulia. Seseorang yang berakhlak mulia rohaninya yang bersih, bersih dari
sifat-sifat yang tercela dan tela menerima pancaran nur atau cahaya tuhan. Nur
Uluhiyah memancarkan nurul iman, Nurul islam, dan Nurul Ikhsan. Nurul iman
mengusir gelapnya kemusyrikan yangg menampakkan pancaran ikhlas berserah diri
hanya kepada Allah swt. Mata hati dengan nur iman melihat kebenran yang hakiki
yang datang dari allah swt.
3. Pelaksanaan Tajalli
Orang yang fana’ fillah dia menjadi tajalli, adalah orang yang pada waktu itu
sedang munajat beribadah kepadanya, fana’ dan tajalli adalahh kehendak allah swt
yang merupakan rahmat dan karunia. Syekh Abu Yazid Busthami membicarakan
fana’ dan membicarakan baqa’ ketika bersamaan membicarakan adanya tajalli.
Dengan kata lain bisa di sebut dengan adanya fana’ baru adanya baqa’ atau adanya
fana’ baru adanya tajalli.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad Al-
Ghazali Al-Thusi, beliau juga disebut Abu Hamid. Gelar Al-Ghazali adalah Hujjatul
Islam atau Hujjatul Islam Abu Hamid (Pembela Islam) dan Mujaddid Al-Qarn Al-
Khamis (Pembaharu abad ke-5). Beliau lahir pada tahun 450 H/1058 M, tepatnya
pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah. Dan wafat pada tahun 505 H/ 1111 M, tepatnya
pada tanggal 14 Jumadhil Tsani, hari Senin di Thus.
Perkembangan pemikiran Al-Ghazali mengalami pergolakan yang
membawa dirinya pada tingkat tertinggi, yaitu skeptis (keragu-raguan). Ia mengkritisi
ajaran dari filsuf Al-Farabi dan Ibnu Sinna (Avicenna) di dalam karyanya, Intentiones
Philosophorum. Serta berselisih pandangan dengan aliran Mu’tazilah yang
memandang moralitas adalah sebuah tindakan rasional manusia dalam melihat mana
yang baik dan mana yang buruk, tidak semata ditentukan oleh Agama
Takhalli adalah penyucian diri dari sifat-sifat tercela dari maksiat lahir
dan batin. Tahalli yaitu menghiasi dan membiasakan diri dengan sikap terpuji. Tajalli
yaitu terungkapnya nur ghaib untuk hati.
Cara melakukan Takhalli, Tahalli, dan Tajalli yaitu diantaranya :
Menghayati segala bentuk ibadah, berjuang dan berlatih membersihkan diri, mencari
waktu yang tepat untuk mengubah sikap buruk dan muhasabah terhadap diri sendiri.

B. SARAN
Melihat biografi Al-Ghazali sudah seharusnya kita
sebagai mahasiswa kagum dan meneladani perjalanan hidup beliau,
dan ajaran tasawuf beliau yang bisa kita ikuti yaitu Takhalli, Tahalli
dan Tajalli. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca,
DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Qordowi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1999)

Himawijaya, Mengenal Al Ghazali Keraguan Adalah Awal Keyakinan (Bandung : Mizan


Media Utama MMU, 2004)

Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010)

Boedi Abdullah, Peradaban Pemikiran Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011)

M. Umer Chapra, The Future Of Economics: An Islamic Perspektive, (Jakarta: SEBI,


2001)

http://pusat-akademik.blogspot.com/2008/10/pengertian-ilmu-tasawuf.html

http://hanputra.blogspot.com/2011/02/takhalli-tajalli-tahalli.html

Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Jakarta: Rajawali Pers, 2014)

Anda mungkin juga menyukai