Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketokohan al-Ghazali dalam sejarah umat Islam tidak bisa diingkari, gelar hujat
al-islam yang disandangnya merupakan simbol engakuan terhadap kebesaran namanya
dalam lintasan sejarah umat Islam. Penguasaanya terhadap berbagai disiplin ilmu yang
berkembang pada masanya adalah bukti tersendiri atas kebesarannya. Akan tetapi, itu
tidak berarti bahwa al-Ghazali tidak pernah menerima kritik atau bahkan kecaman.
Pudarnya intelektualisme di dunia Islam sering kali dinisbatkan orang-orang pada
namanya. Polemiknya dengan para filusuf yang ia tuliskan dalam karyanya Tahafut al-
Falasifah seing dijadikan orang untuk menaksir kontribusi al-Ghazali dalam proses
kejumudan di dunia Islam.

Akan tetapi, tuduhan di atas agaknya sebuah simplifikasi masalah yang tidak
proposional dan tidak berdasar. Kecaman al-Ghazali terhadap para filusuf tidak dalam
rangka membunuh kreativitas intelektual umat Islam karena ia sendiri memberikan
apresiasi yang sangat positif terhadap akal sebagai salah satu instrumen dalam mencari
pengetahuan. Yang dilakukan al-Ghazali hanyalah mendudukan rasio manusia dalam
batas-batas wilayahnya. Al-Ghazali sama sekali tidak menolak pengetahuan hasil dari
pencarian logika atau rasio.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penjelasan mengenai biografi Al – Ghazali ?

2. Apa saja karya – karya yang diciptakan oleh Al – Ghazali ?

3. Bagaimana filosofi dan pemikiran Al – Ghazali ?

4. Bagaimana pengaruh Tasawuf Al – Ghazali ?

C. Tujuan

1. Menjelaskan tentang biografi Al – Ghazali

2. Menjelaskan karya – karya Al – Ghazali


1
3. Menjelaskan filosofi dan pemikiran Al – Ghazali

4. Menjelaskan pengaruh Tasawuf Al – Ghazali

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Al – Ghazali

Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamis Muhammad bin Muhammad Al-
Ghazali, lahir di Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad kelima
Hijriyah (450 H/1058 M).1 Sebutan Al-Ghazali diambil dari kata-kata “Ghazalah” yakni
nama kampong kelahiran Al-Ghazali. Sebutan tersebut terkadang diucapkan dengan “AL-
Ghazzali” (dua Z) istilah ini berakal pada kata “Ghazal” artinya tukang pemintal benang
sebab pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol.2
Ayahnya adalah seorang Muslim keturunan Parsi ahli tasawuf yang shaleh dan
meninggal ketika Al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Ayah Al-Ghazali
merupakan seorang wara’ yang makan hanya dari hasil memintal benang wol sebagai
usahanya sendiri. Diceritakan ayahnya pada waktu senggang sering berkesempatan
berkomunikasi dengan ulama pada majelis – majelis pengajian. Ia amat pemurah dalam
memberikan sesuatu yang dimiliki kepada Ulama yang didatangi sebagai rasa simpatik
dan terimakasih. Sebagai orang yang dekat dan menyayangi ulama , ia berharap kelak
anaknya dapat menjadi ulama yang ahli dalam agama serta memberi nasihat pada umat. 3
Ketika sang ayah hendak wafat berwasiat kepada salah satu teman dekatnya dar ahli sufi
untuk mendidik dan membesarkan kedua anaknya tersebut. Ia berkata “Saya sangat
menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu terwujud pada
kedua anak saya ini maka didiklah keduanya, dan pergunakanlah sedikit harta yang saya
tinggalkan ini untuk mengurus keperluannya.”
Sang sufi memegang kuat wasiat yang diamanatkan kepadanya.dia begitu serius
memerhatikan kepentingan pendidikan dan moralitas kedua anak temannya ini, sampai
peninggalan harta dari ayahnya habis. Ketika sang sufi yang cenderung hidup sufistik
yang sangat sederhana ini tidak mampu memberikan tambahan nafkah. Maka, Al-Ghazali
1
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajaran, (Badung: CV. Pustaka Setia, 2013),
hlm.143.
2
Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm.62.
Syamsul Rijal , Al – Ghazali Memahami Filosofi Alam (Upaya Meneguhkan Keimanan),(Jogjakarta : CV.
3

ARRUZ BOOK GALLERY , 2003).hlm.50.


3
dan adiknya diserahkan ke suatu madrasah yng menyediakan biaya hidup bagi para
muridnya. Dimadrasah inilah Al-Ghazali bertemu dengan Yusuf Al-Nassaj, seorang guru
sufi kenamaan pada masa itu. Dan disini pula titik awal perkembangan intelektual dan
spiritualnya yang kelak kan membawanya menjadi seorang ulama besar yang
berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Islam.4
Sepeninggal gurunya Al-Ghazali melanjutkan pendidikan disebuah madrsah
daerah Thus. Disini, ia belajar ilmu fiqh kepada seorang ulam bernama Ahmad bin
Muhammad Ar-Razakani Ath-Thusy. Setelah itu, ia melanjutkan sekolahnya ke Jurjan
untuk belajar kepada Al-Imam Al-Allamah Abu Nashr Al-Isma’ily. Di Jurjan, Al-Ghazali
mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Ia sendiri menulis komentar
tentang ilmu fiqh. Akan tetapi menurut sebuah cerita, ditempat ini, ia mengalami sebuah
musibah. Semua barang yang dibawanya yang berisi buku-buku catatan dan tulisannya
dirampas oleh perampok, meskipun pada akhirnya dikembalikan setelah Al-Ghazali
berusaha keras untuk memintanya kembali.
Dengan kejadian tersebut mendorong Al-Ghazali untuk menghafal semua
pelajaran yang diterimanya. Menurutnya apa yang ia peroleh selama di Thus belum
cukup memadai sehingga, ia pergi ke Naisabur, salah satu kota yang terkenal akan ilmu
pengetahuannya pada zaman itu. Disini ia belajar ilmu-ilmu popular pada saat itu, seperti
belajar mahzab-mhzab fiqh, ilmu kalam dan ushul, filsafat, logika dan ilmu-ilmu yang
lainnya kepada Imam Al-Haramain Abu Al-Ma’ali Al-juwaini. Seorang alhi teologi
Asy’ariyah paling terkenal pada masa itu dan professor terpandang di Sekolah Tinggi
Nizhamiyah di Naisabur.5
Dengan demikian, semakin lengkap ilmu yang diterima dan dikuasi Al-Ghazali di
Naisabur. Boleh dikatakan, saat itu Al-Ghazali telah tampak sebagai figure intelektual
yang menguasi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di sekolah Nizhamiyah ini pula ia
diangkat menjadi dosen dalam usia 25 tahun. Kemudian setelah gurunya, Imam Al-
Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini wafat 478 H Al-Ghazali pindah ke Mu’askar dan
berhubungan baik dengan Nizham Al-Mulk, perdana menteri Sultan Bani Saljuk, yang

4
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafat, (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), hlm.159-160.
5
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajaran, (Badung: CV. Pustaka Setia, 2013),
hlm.145.
4
kemudia mengangkatya menjadi guru besar disekolah Nizhamiyah Bagdad.
Pengangkatannya didasari atasi reputasi ilmiahnya yang bagitu hebat.6
Kemudian, Al-Ghazali pergi ke Bagdad pada tahun 484 H/1090 M. Disana, ia
melaksankan tugasnya dengan baik, sehingga banyak penuntut ilmu memadati
halaqahnya. Namanya kemudian terkenal dikawasan itu karena berbagai fatwa tetang
masalah-masalah agama yang dikeluarkannya. Disamping mengajar ia juga menulis
beberapa buku, diantaranya tentang fiqh dan ilmu kalam, serta kitab-kitab yang berisi
sanggahan terhapdap aliran Bathiniyah ( salah satu aliran dari sekte Syi’ah), aliran Syi’ah
Isma’iliyyah dan falsafah. Setelah satu tahun di Bagdad, nama Al-Ghazali semakin
terkenal sampai keistana khalifah Abbasiyah. Khalifah Muqtadi bi Amrillah pada masa
pemerintahannya (467-487 H/1074-1094 M) begitu tertarik kepadanya, sehingga pada
tahun 485 H, ia mengutus Al-Ghazali untuk menemui permaisuri Raja Malik Syah dari
Bani Saljuk, yakni Tekanu Khatun, yang saat itu memengang kendali kekuasaan
pemerintah dibelakang ayar mengadakan pertemuan tingkat tinggi.
Di Bagdad inilah, Al-Ghazali menikmati pangkat, kehormatan, harta, dan
kedudukan yang di dambakannya. Disamping itu ia juga dijadikan sebagai konsultan
(mufti) oleh para ahli hukum Islam dan oleh pemerintah dalam menyelesaikan
permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Akan tetapi semua kemuliaan itu tidak
berlangsung lama akibat berbagai peristiwa atau musibah yang menimpa, baik
pemerintahan pusat (Bagdad) maupun pemerintahan dauah Bani Saljuk, diantaranya:
1. Pada tahun 484 H/1092 M, tidak lama sesudah pertemuan Al-Ghazali dengan
permaisuri raja Bani Saljuk, suaminya Raja Malik Syah yang terkenal adil dan
bijaksana meninggal dunia.
2. Pada tahun yang sama (484 H/1092 M), perdana menteri Nizham Al-Mulk yang
menjadi sahabat karibnya mati dibunuh oleh seorang pembunuh bayaran di dekat
Nahawand, Persi.
3. Dua tahun kemudian, pada tahun 487 H/1094 M, wafat pula khalifah Abbasiyah,
Muqtadi bi Amrillah.
Ketiga orang diatas, bagi Al-Ghazali merupakan orang-orang yang selama ini
berperan banyak atas dirinya, bahkan sampai menjadikan ia sebagai ulama terkenal.

6
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafat, (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), hlm.160-161.
5
Selain itu meninggalnya tiga tokoh ini berpengaruh besar terhadap pemerintahan
Abbasiyah yang dikendalikan oleh Bani Saljuk. Meninggalnya ketiga tokoh tersebut
menguncang kestabilan pemerintahan bergelar Mustadhhir Billah (dilantik tahun 487
H/1094 M). pemerintahan menjadi sangat lemah untu menangani kemelut yang terjadi
dimana-mana terutama dalam menghadapi teror aliran Bathiniyah yang menjadi
pengerakan dalam pembunuhan secara gelap terhadap perdana Menteri Nizham Al-
Mulk.7
Pada periode ini Al-Ghazali menderita krisis rohani, yakni munculnya keraguan
didalam dirinya yang meliputi masalah akidah dan semua jenis ilmu pengetahuan, baik
yang empris maupun yang rasional. Akibat krisis ini, ia menderita sakit selama enam
bulan sehingga dokter kehabisan daya mengobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua
jabatan yang disandangnya, ia mengembara ke Damaskus. Di masjid Jami’ Damaskus, ia
mengisolasi diri (‘uzlah) untuk beribadah, kotemplasi, dan sufistik yang berlangsung
selama dua tahun. Lalu tahun 490 H/1098 M, ia menuju Palestina berdoa di samping
kubur Nabi Ibrahim a.s. Kemudian, ia berangkat ke Makkah dan Madinah untuk
menunaikan ibadah haji dan berziarah ke makam Rasulullah saw. Akhirnya, ia terlepas
dari kegocangan jiwa ini dengan jalan tasawuf.
Setelah sembuh dari penyakit rohaninya Al-Ghazali kembali memimpin
Perguruan Tinggi Nizhamiyah di Bagdad atas desakan Perdana Menteri Fakhr Al-Mulk,
anak dari Nizham Al-Mulk. Setelah Perdana Menteri Fakhr Al-Mulk mati terbunuh, ia
kembali ke Thus tempat kelahirannya, disana ia membangun sebuah Madrasah Khan-kah
(semacam tempat praktik suluk) untuk mengajar tasawuf. Usaha ini ia lakukan sampai ia
wafat tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H, bertepatan dengan 18 Desember 1111 M. Ia
menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 55 tahun. Jasadnya dikebumikan disebelah
timur benteng dekat Thabaran berdampingan dengan makam penyair yang terkenal Al-
Firdausy.
Al-Ghazali diberi kehormatan dengan Hujjat al-Islam (Argumetasi Islam) karena
pembelaannya yang luar biasa, terutama terhadap kaum Bathiniyah dan kaum filosof.
Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa, ia seorang ulama, pendidik,

7
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajaran, (Badung: CV. Pustaka Setia, 2013),
hlm.148-149.
6
ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang yang produktif. Dengan pemaparannya sangat
bagus, gaya bahasanya menarik, dalil yang disajikan sangat kuat sehingga setiap ilmu
yang dituliskannya dapat dijadikan hujjah.8

B. Karya - karya Al – Ghazali

Al Ghazali adalah seorang ahli pikir islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai
nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluha buku telh ditulisnya yang meputi
berbagai lapangan ilmu, antara lain Teologi islam (Ilmu Kalam), Hukum Islam (Fiqih),
Tasawuf, Tafsir, Akhlak dan Adab Kesopanan, kemudain autobiografi.sebagian besar
buku-buku tersebut di atas daam Bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam Bahasa
Persia.

Kitabnya yang terbesar, yaitu Ihya’Ulumuddin yang artinya “menghidupkan ilmu-


ilmu agama”, dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pinah
antara Syam, Yerussalem, Hajzz, dan Tus, dan yang berisi paduan yang indah antara fiqh,
tasawuf, dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan umat muslim, tetpi juga dikalangan
Barat dan luar islam.

Bukunya yang lain yaitu al Munqidz min ad Dlalal (penyelamatan dari kesesatan),
berisi sejarah perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir
terhadap bebrapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. 9

Menurut Ahmad Daudy, penelitian paling akhir tentang jumlah buku yang
dikarang oleh Al Ghazali adalah yang dilakukan oleh Abdurrahman Al-Badawi, yang
hasilnya dikumpulkan dalam satu buku yang berjudul Muallafat Al Ghazali. Dalam buku
tersebut, Abdurrahman mengklasifikasikan kitab-kitab yang ada hubungannya dengan
karya Al Ghazali dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok kitab yang dapat dipastikan
sebagai karya Al Ghazali yang teridiri atas 72 buah kitab. Kedua, kelompok kitab yang
diragukan sebagai karya Al Ghazali yang asli terdiri atas 22 buah kitab. Ketiga, kelompok
kitsb yang dipastikan bukan karyanya, terdiri atas 31 buah kitab.

8
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Filsafat, (Jakarta: Rajawali Pres, 2014), hlm.162.
9
Ahmad Hanafi,Pengantar Filsafat Islam,(Jalarta:PT. Bulan Bintang, 1991),hlm.136
7
Berbeda dengan pendapat diatas, Badawi mengatakan bahwa jumlah karangan Al
Ghazali ada 47 buah. Nama-nama buku tersebut adalah:

1. Ihya Ulumudin (membahas ilmu-ilmu agama)


2. Tahafut Al Falasifah (menerangkan pendapat para filsuf ditinaju dari segi agama)
3. Al Iqtishad fi Al ‘Itiqad (inti ilmu ahli kalam)
4. Al Munqidz min adh Dhalal (menerangkan tujuan dan rahsia-rahasia ilmu)
5. Juwahir Al Quran (rahasia-rahasia yang terkandung dalam alquran)
6. Mizan Al ‘Amal (tentang filsafah keagamaan)
7. Al Maqashid Al asna fi Ma’ani Asma’illah Al Husna (tentang arti nama-nama tuhan)
8. Faishal at Tafriq Baina Al Islam wa Al Zindiqah (perbedaan antara islam dan zindiq)
9. Al Qisthas Al Mustaqim (jalan untuk mengatasi perselisihan pendapat)
10. Al Musthadhhriy
11. Hujjat Al Haq (dalil yang benar)
12. Mufahil Al Khilaf fi Ushul Ad Din (menjauhkan perselisihan dalam masalah ushul ad din)
13. Kimiya As Sa’adah (menerangkan syubhat ahli ibadah)
14. Al Basith (fiqh)
15. Al Wasith (fiqh)
16. Al Wajiz (fiqh)
17. Al Khulasahah Al Mukhtasarah (fiqh)
18. Yaqut At Ta’wil fi Tafsir At Tanzil (tafsir 40 jilid)
19. Al Mustafa (ushul fiqh)
20. Al Mankhul (ushul fiqh)
21. Al Muntaha fi Ilmi l Jadal (cara-cara berdebat yang baik)
22. Mi’yar Al Ilmi (timbangan ilmu)
23. Al Maqashid (yang dituju)
24. Al madnun bihi ‘ala Ghairi Ahlihi
25. Misykar Al anwar (pelajaran keagamaan)
26. Mahku An Nadhar
27. Asraru ‘ilmi Ad Din (rahasia ilmu agama)
28. Minhaj Al Abidin
29. Ad Darar Al Fakhirah fi kasyfi ‘Ulum Al Akhirah (tasawuf)
8
30. Al Anis fi al Wahdah (tasawuf)
31. Al Qurbah ila Allah ‘Azza Wa Jalla (tasawuf)
32. Akhlaq Al Abrar (tasawuf)
33. Bidayat Al Hidayah (tasawuf)
34. Al Arba’in fi Ushul Ad Din (ushul al-din)
35. Adz Dzariah ila Mahakim Asy Syari’ah (pintu ke pengadila agama)
36. Al Mabadi wa Al Ghayat (permulalan dan tujuan)
37. Talbisu Iblis (tipu daya iblis)
38. Nashihat Al Muluk (nasihat bagi raja-raja)
39. Syifa’u Al ‘Alif fi Al Qiyas wa At Talil (ushul fiqh)
40. Iljam Al Awwam ‘an ‘ilmi Al Kalam (ushul ad-din)
41. Al Intishar lima fi al Ajnas mi Al Asrar (rahasia-rahasia alam)
42. Al ‘Ulum Al Laduniyah (ilmu aduni)
43. Ar Risalah Al Qudsiyah
44. Isba An-Nadhar
45. Al Ma’akhidz (temat pengambilan)
46. Al Qaul Al Jamil fi Ar Raddi ‘Ala Man Ghayyara Al Injil (perkataan yang baik bagi orang
yang mengubah injil)
47. Al ‘Amali.

Terlepas dari adanya perbedaan diatas, kedua pernyataan tersebut memberi indikasi
bahwa Al Ghazali memang banyak mengarang buku.10

C. Filsafat dan Pemikiran Al-Ghazali

Al-Ghazali merupakan sosok pemikir dan ulama yang memiliki kontribusi besar
di panggung peradaban Islam. Namun, tidak seddikit pula pihajk yang mendiskreditkan
tokoh besar ini. Akibatnya, Al-Ghazali ditempatkan sebagai sosok yang kontroversial
dengan para filsuf, bahkan Al-Ghazali dituding sebagai orang yang mengharamkan
filsafat. Berkenaan dengan hal itu, tidak sedikit orang menanamkan kebencian terhadap
Al-Ghazali dan pemikirannya. Dalam menyikapi fenomena tersebut, tentunya diperlukan

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajaran, (Badung: CV. Pustaka Setia, 2013),
10

hlm.152-154
9
upaya penjernihan dan kajian yang mendalam tentang filsafat terkait pandangan Al-
Ghazali yang sesungguhnya sehingga tidak akan membingungkan para pembaca dalam
memahami sosok Al-Ghazali.

Filsafat pada dasarnya adalah proses pencarian kebenaran sejati, yaitu kebenaran
yang diyakini betul-betul merupakan kebenaran. Corak pemikiran Al-Ghazali pada
mulanya sama dengan filsuf lainnya, ia memandang pengetahuan merupakan hal-hal
yang bisa ditangkap oleh pancaindera , tetapi dia berpendapat pula bahwa pancaindera
meiliki kekurangan. Karena ketidakpercayaan pada pancaindera , ia meletakkan
kepercayaan pada akal, tetapi akal juga tidak bisa dipercaya. Alasan yang palin membuat
dia tidak percaya pada produk akal adalah dia melihat bahwa aliran-aliran yang
menggunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pemandangan
yang bertentangan, yang sulit diselesaikan oleh akal.11

Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Munqqids Min al-Dalal


(penyelamat dari kesesatan) ia ingin mencari kebenaran yang sebenarnya, yaitu
kebenaran sepuluhlebih banyak dari tiga. “Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa
tiga lebih banyak dari sepuluh dengan argumn bahwa tongkat dapat ia jadikan ular dan
hal itu memang betul dilaksanakan. Saya akan kagum melihat kemampuannya, tetapi
sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan
goyaang. ” serupa inilah, menurut Al-Ghazali, pengetahuan yang sebenarnya.

Kemudian Al-Ghazali menemui bahwa pancaindera tidak dapat dipercaya, selanjtnya


ia meletakkan kepercayaan pada akal. Tetapi akal juga ternyata tidak dapat dipercayai.
Sewaktu bermimpi, demikian Al-Ghazali, orang melihat hal-hal yang kebenarannya
diyakini betul-betul tetapi setelah ia bangun ia sadar, bahwa apa yang ia lihat benar itu,
sebenarnya tidaklah benar. Tidakkah mungkin apa yang sekarang dirasa benar menurut
pendapat akal, nanti kalau kesadaran yang lebih dalam timbul akan ternyata tidak benar
pula, sebagaimana halnya dengan orang yang telah bangun dan sadar dari tidurnya?12

11
Asep Sulaiman, “Mengenal Filsafat Islam,” (Bandung: Yrama Widya, 2018), hlm. 72-73.

12
Muuzairi, “Filsafat Umum”, (Yogyakarta:TERAS, 2015), hlm. 116-117.
10
Al-Ghazali merupakan sosok yang mendalami filsafat sekaligus mengkritik filsafat.
Setelah melakukan pengembaraan intelektual berupa analisis dan koreksi terhadap
sejumlah filsuf-filsuf besar, akhirnya Al-Ghazali mengklasifikasikan para filsuf menjadi
tiga golongan.13

1. Filsuf Materialis (Dahriyyun)

Mereka adalah para filsuf yang menyangkal adanya Tuhan. Sementara itu, kosmos
ada dengan sendirinya. Filsof golongan ini antara lain Empedokles (490-430 SM) dan
Demokritus (460-360 SM).

2. Filsuf Naturalis (Tabi’iyyun)

Mereka adalah para filsuf yang melaksanakan berbagai penelitian di alam ini.
Melalui penyelidikan-penyelidikan tersebut, mereka cukup banyak menyaksikan
keajaiban-keajaiban yang memaksa mereka untuk mengaakui adanya Maha Pencipta di
alam ini. Walaupun begitu, mereka tetap mengngkari Allah, Rasul-Nya dan hari
kebangkitan. Mereka tidak mengenal pahala dan dosa sebab mereka hanya ingin
memuaskan nafsu seperti hewan.

3. Metafisika

Mereka adalah filsuf Yunani, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles. Aristotels telah
menyanggah pemikiran filsuf sebelumnya, yaitu materialis dan naturalis, ia sendiri tidak
membebaskan diri dari sisa-sisa kekafiran dan keheredoksian.

Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat ketuhanan (metafisika). Al-


Ghazali menyerang kaum filsuf dalam kitab Tahafut Al-Falasifah karena mereka
berlebihan menggunakan akal dan menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama akal.
Sebagai bukti bahwa filsafat Aristoteles yang disalin dan disebarluaskan oleh Al-Farabi
dan Ibnu Sina terbagi menjadi tiga kelompok: (a) filsafat yang tidak perlu disangkal, dan
13
Asep Sulaiman, “Mengenal Filsafat Islam,” (Bandung: Yrama Widya, 2018), hlm. 74-79.
11
dapat diterima (b) filsafat yang harus dipandang bid’ah (heteredoksi), dan (c) filsafat
yang harus dipandang kafir.

Ilmu filsafat menurut Al Ghazali terbagi menjadi enam bagian: Ilmu matematika,
logika, fisika, politik, etika, dan metafisika (ketuhanan). dibawah ini adalah penjelasan
singkat tentang kajian khusus metafisika Al Ghazali sebagai bentuk sanggahan atas
metafisika pada filsuf sebelumnya.

1. Qadimnya Alam dan Keazaliannya

Timbunya reaksi dan perdebatan antara Al-Ghazali dengan filsuf lain ihwal qadim-
nya alam, bermula dari kesimpulan filsuf yang mengatakan bahwa alam itu qadim. Bagi
al-Farabi dan Ibnu Sina, paham bahwa alam itu qadim sedikitpun tidak dipahami mereka
sebagai alam yang ada dengan sendirnya. Alam itu qadim ada sejak zaman azzali, begitu
pula yang Al-Ghazali pahami. Argumen-argumen yang dilontarkan Al-Ghazali tentang
qadim nya Allah sekaligus sebagai pencipta alam, sesuai edngan ayat-ayat Al-Quran, di
antaranya:

‫اَل ٰلّهُ َخا لِ ُق ُك ِّل َش ْي ٍء ۙ َّو ُه َو َع ٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء َّوكِْي ٌل‬

Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha atas memelihara segala
sesuatu.” (QS. Az-Zumar [39]: 62).

‫ض ۚ َو ُه َو الْ َع ِز ْي ُز احْلَ ِكْي ُم‬ ِ ‫الس ٰم ٰو‬


ِ ‫ت َوا اْل َ ْر‬ َّ ‫ص ِّو ُر لَـهُ ااْل َ مْسَٓاءُ احْلُ ْسىٰن ۗ يُ َسبِّ ُح ٗلَه َما ىِف‬ ُ ‫ُه َو ال ٰلّهُ اخْلَـالِ ُـق الْبَا ِر‬
َ ‫ئ الْ ُم‬

Artinya: “Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk


rupa, yang mempunyai Asmaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang dilangit dan
Bumi. Dan Dialah yang Mahaperkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. Al-Hasyr [59]: 24).

2. Tuhan tidak Mengetahui yang Juz’iyyat

Sanggahan Al-Ghazali ini bermula dari pandangan para filsuf muslim yang
berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya, tidak mengetahui yang selain-Nya

12
(juz’iyyat). alasan para filsuf tersebut yaitu karena di alam ini selalu terjaddi perubahan-
perubahan. Jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut, hal itu akan membawa
perubahan zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan membawa perubahan pada yang
punya ilmu (bertambah dan berkurang). ini mustahil bagi Allah.

ِ ‫ط ِمن َّورقٍَة اِاَّل يعلَمها واَل حبَّ ٍة يِف ظُلُ ٰم‬ ‫ىِف‬ ِ ِ ِ ِ
‫ت‬ ْ َ َ َ ُ َْ َ ْ ُ ‫َوعْن َد ٗه َم َفا ت ُح الْغَْيب اَل َي ْعلَ ُم َهاۤ ااَّل ُه َو ۗ َو َي ْعلَ ُم َما الَْبِّر َوا لْبَ ْح ِر ۗ َو َما تَ ْس ُق‬
ٍ ‫س اِاَّل يِف كِت‬
ٍ ‫ٰب ُّمبِنْي‬ ٍ ِ‫ب َّواَل يَا ب‬
ٍ ْ‫ض واَل رط‬
ْ َ َ ِ ‫ااْل َ ْر‬

Artinya: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di
lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula),
dan tiak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melaikan tertulis dalam kitam yang nyata (Lauh Mahfudz) ”(QS. Al-
An’am [6]: 59).
3. Pembangkitan Jasmani

Menurut Al-Ghazali, pemikiran bahwa pembangkitan jasmani di hari kiamat itu


tidak ada, membawa kekufuran pada teks ayat-ayat dalam Al-Quran menggambarkan
adanya pembangkitan jasmani. Hal tersebut diperkuat olehnya berdasarkan Firman
Allah swt.

‫ب لَـنَا َمثَاًل َّو نَ ِس َي َخْل َقهٗ ۗ قَا َل َم ْن حُّيْ ِي الْعِظَا َم َو ِه َي َرِمْي ٌم‬
َ ‫ضَر‬
َ ‫َو‬

‫ۙ قُ ْل حُيْيِْي َها الَّ ِذ ْۤي اَنْ َشاَ َهاۤ اََّو َل َمَّر ٍة ۗ َو ُه َو بِ ُك ِّل َخ ْل ٍق َعلِْي ُم‬

Artinya: “Dan ia membuat perumpamaan bagi kami, dan Dia lupa kepada
kejadiannya, ia berkat: “siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah
hancur?” katakanlah:”aia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang
pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (QS. Yasin [36]: 78-79)
Dalam pandangan Al-Ghazali, pada kehidupan akhirat, yang dibangkitkan bukan
hanya rohani saja, ttapi juga khidupan jasmani. Rohani dan jasmani akan mendapatkan
balasan yang setimpal dengan amal dan perbuatan manusia ketika di bumi.

4. Filsafat Ketuhanan

Ihwal metafisika, Al-Ghazali meberikan reaksi terhadap neoplatonisme Islam.


Menurutnya, banyak kesalahan para filsuf karena mereka teliti dalam lapangan logika

13
dan matematika. Untuk itu, Al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh
Neoplatonisme muslim (Al-Farabi dan Ibnu Sina) dan secara tidak langsung mengecam
Aristoteles, guru mereka. Menurut Al-Ghazali dalam bukunya Tahafut Al-Falasifah, para
pemikir bebas ersebut ingin meninggalakan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan
dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berguna
bagi pencapaian intelektual mereka. Konsep ketuhanan dalam pandangan Al-Ghazali
terdiri atas tiga masalah pokok, yaitu sebagai berikut:

a. Masalah Wujud

Dalam menetapkan wujud Tuhan, Al-Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Asy’ari.
Beliau menggunakan dalil wujudd Tuhan terdiri dari dua bentuk, yaitu berdasarkan dalil
aqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli, yakni melalui perempuan terhadap ayat-ayat
Al Quran sambil memerhatikaan alam semesta sebagai ciptaan Tuhan. Sementara itu
dalam mebuktikan wujud Tuhan melalui dalil aqli, Al-Ghazali mempertentangkan wujud
Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadim, sedangkan wujud makhluk
adalah hadits.

b. Masalah Zat dan Sifat

Dalam membahas zat Tuhan Al-Ghazali membatasi diri dengan menggunakan hadis
Nabi saw., yang melarang manusia memikirkan zat Allah Swt,. dan ia menegaskan
bahwa akal manusia tidak akan sampai mencapai zat itu. Sementara itu, dalam
membahas tentang sifat Tuhan, Al-Ghazali cenderung mengikuti para mutakallimin dari
Mahzab Al-Asy’ari. Beliau menetapkan adanya sifat zat yang diistilahkan dengan sifat
salbiyah dan ma’ani.

c. Masalah Af’al

14
Al-Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah swt., tidaklah terbatas menciptakan
alam saja, tetapi Allah juga menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Hal
tersebut sesaui dengan firman Allah Swt.

ٍ ‫ك علَي ِهم حس ٰر‬ ِ ِ ٰ ِ ِ


ۗ‫ت‬ ْ ‫اَفَ َم ْن ُزيِّ َن لَهٗ ُسوْٓءُ َع َمل ٖه َفَراٰ ُه َح َسنًا ۗ فَا َّن اللّهَ يُض ُّل َم ْن يَّ َشٓاءُ َو َي ْهد ْي َم ْن يَّ َشٓاءُ ۖ فَاَل تَ ْذ َه‬
َ َ ْ ْ َ َ ‫ب نـَ ْف ُس‬
ِ ٰ ِ
ْ َ‫ا َّن اللّهَ َعلْي ٌم ِۢۢبَما ي‬
‫صنَـعُ ْو َن‬

Artinya : sesungguhnya Allah menyesuaikan siapa yang dikehendaki-Nya dan


menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Fatir [35]: 8)
d. Tasawuf Al Ghazali

Karena tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, ia meninggalkan yang
tinggi di Madrasah Nizamiyyah Baghdad pada tahun 1095 M, lalu pergi ke Damaskus
untuk beratapa di salah satu menara Masjid Umawi yang ada di sana. Tasawuflah yang
yang dapat menghilangkan rasa yang lama mengganggu dirinya. Al-Ghazali
mengatakan bahwa cahaya adal kunci dari kebanyakan pengetahuan. Siapa yang
menyangka bahwa kasyaf, (pembukaan tabir) yang bergantung pada argumen-arguman ,
sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demkian luas. Cahaya yang
dimaskud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan kedalam hati sanubari seseorang.
Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan
kebenaran bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari
Tuhan dengan Tasawuf.

5. Filsafat Etika atau Akhlak Al-Ghazali

Filsafat akhlak menurut Al-Ghazali, erat kaitannya denga filsafat ketuhanan, karena
tujuan dari vutiran nilai-nilai akhlak yang dikemukakannya tidak lain adalah sebagai
sarana untuk mencapai makrifatullah (mengenal Allah Swt). Al-Ghazali menakrifkan
akhlak itu dengan: “Sifat yang tertanam di dalam jiwa di mana timbul perbuatan-
perbuatan dan tindak tanduk dengan mudah dan gampang tabpa memerlukan pikiran
dan pertimbangan.”

15
Filsafat etika Al-Ghazali secara langsung dapat kita lihat dari bukunya Ihya’
Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali merupakan teori tasawufnya.
Tujuan poko etika Al-Ghazali terdapat pada semboyan tasawuf yang terkenal; at-
takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala taqalil-basyatiyah atau pada semboyan yang lain, as-
sifatir-rahman ‘ala taqalil-basyatiyah. Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh
kesnggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang,
dan pengampun (pemaaf). disamping itu, sifat-sifat yang ddisukai Tuhan seperti sabar,
jujur, takwa, zuhudd, ikhlas, beragama dan sebagainya.

D. Pengaruh Tasawuf Al Ghazali

Ajaran-ajaran dan kiatb-kitab Al Ghazali memiliki pengaruh di Timur yang mebuat


manusia kembali memiliki perhatian terhadap agama dan para ahlinya, serta
mengembalikan kepercayaan terhadap keyakinan yang diwarii, yakni keyakinan yang
nyaris tergoyahkan di hadapan pemikiran-pemikiran tendensius dan destruktif yang telah
disebarkan oleh musuh-musuh agama. Al Ghazali mampu menanamkan hakiakat
pengetahuan dalam akal, spirit iman daam hati dan kehidupan etika baru dalam relung-
relung jiwa. Dengan begitu, Al Ghazali berhak untuk menyandang gelar Hujjatul Islam
al-Imam Al Ghazali.14

Barangkali tidak berlebihan apabila Al Ghazali dikatakan sebagai pemikir besar


dalam Islam. Beliau telah memberikan pengaruh besar dalam Islam. Penafsiarn filosofis
yang dilakukan oleh filsuf islam sebelumnya memberikan pemikiran yang berpusat pada
islam, melainkan banyak tertuju pada masalah-masalah klasik yang terdapat dalam
pemikiran Yunani. Demikian pula ulama kalam dalam memerangi filsafat dari dsarnya
dengan metode rapu, sepereti yang dikerjakan Al Ghazalidalam buknya Tahafut Al-
Falasifah, ia telah menguji setiap pemikiran filsuf dan menunjukkan kelemahannya.

BAB III

PENUTUP
14
Fu’ad Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli, “Cara Mudah Belajar Filsafat (Barat dan Islam),”
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 192.
16
Kesimpulan

Al-Ghazali meletakan akal pada wilayahnya sendiri, yakni memiliki batasan


tersendiri. Ketika akal menjalankan tugas dalam batas-batas wilayahnya, maka
pengetahuan yang diberikannya dapat diterima. Akan tetapi, kalau seseorang
menginginkan menerobos ke wilayah metafisika untuk mengetahui haikiat sesuatu,
maka akal tidak memiliki kesanggupan ke sana. Di titik inilah seseorang membutuhkan
kekuatan batin yang dengannya ia mendapatkan pengalamansecara langsung
musyahadah yang berada diluar jangauan akal. Kekuatan batin berbeda dengan akal, itu
seperti melihat dengan mata kepala atau memegang dengan tangan sendiri.

Daftar Pustaka

Fu’ad , Farid Isma’il dan Abdul Hamid Mutawalli . 2012 . Cara Mudah Belajar Filsafat
(Barat dan Islam) . Jogjakarta : IRCiSoD.

Hamdi, Ahmad Zainul . 2004 . Tujuh Filusuf Muslim Pembuka Pintu Gerbang Filsafat

Barat Modern . Yogyakarta : Pustaka Pesantren

Hanafi, Ahmad . 1991 . Pengantar Filsafat Islam . Jalarta : PT. Bulan Bintang

Muuzairi . 2015 . Filsafat Umum . Yogyakarta : TERAS

17
Rijal , Syamsul . 2003 . Al – Ghazali Memahami Filosofi Alam (Upaya Meneguhkan

Keimanan) . Jogjakarta : CV. ARRUZ BOOK GALLERY

Sudarsono. 2010. Filsafat Islam.Jakarta : Rineka Cipta.

Sulaiman, Asep . 2018 . Mengenal Filsafat Islam . Bandung: Yrama Widya.

Supriyadi, Dedi. 2013. Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajaran . Badung :
CV. Pustaka Setia.
Zar, Sirajudin . 2014 . Filsafat Islam Filosof dan Filsafat . Jakarta: Rajawali Pres.

18

Anda mungkin juga menyukai