Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327344251

DOKTRIN MISTISISME AL-GHAZALI (Sufisme Sebagai Etape Perjalanan


Spiritual)

Article · July 2017


DOI: 10.15575/saq.v2i1.2392

CITATIONS READS

4 1,952

2 authors:

Syihabul Furqon Busro Busro


Universitas Gigireun Madrasah UIN Sunan Gunung Djati Bandung
60 PUBLICATIONS 30 CITATIONS 63 PUBLICATIONS 317 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Syihabul Furqon on 21 January 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Syifa Al-Qulub 2, 1 (Juni 2017): 35-46
Website: journal.uinsgd.ac.id/index.php/syifa-al-qulub
ISSN-2540-8453 (online) dan ISSN-2540-8445 (cetak)

DOKTRIN MISTISISME AL-GHAZALI (SUFISME SEBAGAI


ETAPE PERJALANAN SPIRITUAL)
Syihabul Furqon1; Busro2
1,2
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
E-mail: syihabulhajj2@gmail.com
__________________________________

ABSTRAK

Pada periode Seljuk, dinasti Abasiyah, fakultas-fakultas pengetahuan berkembang sedemikian rupa.
Filsafat, kalam, tafsir, yurisprudensi Islam dan mistisisme mengemuka; demikian pula hanya dengan
friksi dan sentimen yang saling bertentangan. Pada periode ini, signifikansi dari doktrin Al-Ghazali atas
empat diskursus fakultas Islam utama meliputi filsafat, teologi, yurisprudensi dan mistisisme
didudukkan dan dikodifikasi sedemikian rupa. Filsafat, setlah serangan Al-Ghazali yang dianggap
meruntuhkan dasar filosofis terbukti keliru. Sebab mistisisme filosofis dipostulatkan sejak periode Al-
Ghazali dan mendorong penelaahan metafisika sampai pada puncaknya di tangan Ibn ‘Arabi kelak. Pada
satu aspek lain Al-Ghazali mendamaikan friksi di kalangan yurisprudensi Islam yang cenderung
tekstual-dognatis dengan kalangan yang pada masa itu dinafikan kesahihannya: mistisisme Islam
(sufisme). Signifikansi Al-Ghazali dalam ranah-ranah ini berimplikasi luas sampai saat ini; dan
mendorong sebagai apa yang tersirat dalam otobiografi spiritualnya sebagai: etape perjalanan spiritual.

KATA KUNCI

Filsafat; Mistisisme; Teologi; Mistisisme Filosofis; Spiritualitas


_________________________________________

ABSTRACT

In the Seljuk period, the Abasiyah dynasty, the faculties of knowledge developed in such a way.
Philosophy, Kalam, Interpretation, Islamic jurisprudence and mysticism surfaced; as well as with
contradictory frictions and sentiments. In this period, the significance of Al-Ghazali's doctrine of the
four main Islamic faculty discourses including philosophy, theology, jurisprudence and mysticism was
seated and codified in such a way. Philosophy, after the attack of Al-Ghazali which is considered to
undermine the philosophical foundation proved wrong. For philosophical mysticism postulated since
the Al-Ghazali period and encouraged the study of metaphysics to its culmination in the hands of Ibn
'Arabi later. In another aspect Al-Ghazali reconciled the friction among Islamic jurisprudence that
tends to be textual-dognatical to the circle that at that time denied its validity: Islamic mysticism
(sufism). The significance of Al-Ghazali in these domains has widespread implications to date; and
encourages as implied in his spiritual autobiography as: the stage of spiritual journey.

KEYWORDS

Philosophy; Mysticism; Theology; Philosophical Mysticism; Spirituality.


___________________________________
DOI: https://doi.org/10.15575/saq.v2i1.2392
Syihabul Furqon; Busro Doktrin Mistisisme Al-Ghazali (Sufisme sebagai Etape
Perjalanan Spiritual)

A. BIOGRAFI SPIRITUAL AL-GHAZALI dalam kemiskinan karena harta peninggalan


ayahnya habis oleh biaya menimba ilmu. Guru
Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Al- mereka, juga karena kondisi ekonomi yang
Ghazali lahir di Thus sebuah kota kecil di terbatas, kemudian menyarankan kepada
Khurasan, Persia (Iran sekarang, yang kini keduanya untuk melanjutkan belajar pada salah
wilayahnya disebut Meshed)1, pada satu sekolah di kotanya, dan mereka
2
450H/1058M , tiga tahun setelah kaum Seljuk melanjutkan sekolah di sana tanpa dipungut
mengambil alih kekuasaan di Bghdad dan biaya (semacam program asrama bagi para
seperempat abad setelah meninggalnya Ibn pelajar). Hanya saja, yang mencolok di atara
Sina. Bisa dikatakan bahwa rentang hidup Al- Al-Ghazali dan Ahmad adalah bahwa Al-
Ghazali berkaitan erat dengan nasib dinasti ini, Ghazali lebih antusias pada pengetahuan lebih
yang kekuasaannya meluas di seluruh Iran dan lanjut. Al-Ghazali mengembangkan dirinya
bagian-bagian Anatolia sebelah timur.3 untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan
Dikisahkan, ayahnya adalah seorang pecinta sedangkan Ahmad semakin terlihat menggeluti
ilmu pengetahuan, taat beribadah dan dunia spiritual. Kecenderungan Ahmad yang
menyenangi para ulama disamping aktif terakhir inilah yang kelak oleh sebagian
menghadiri halaqah sufi. Namun kondisinya ilmuwan disinyalir memberikan andil dalam
yang sudah lanjut tak memungkinkan untuk bergesernya haluan Al-Ghazali dalam mencari
menggeluti ilmu pengetahuan dan mengajari dan mendapatkan keyakinan.
para putranya karena tak bisa menulis dan Di Thus, pada saat usia Al-Ghazali sekitar
keterbatasan ekonomi. Akan tetapi ia tujuh tahun, ia mempelajari berbagai ilmu
menginginkan kedua anaknya (Al-Ghazali dan pengetahuan, terutama fiqh, tafsir dan hadits
Ahmad) menimba banyak ilmu pengetahuan. pada Imam ar-Razakani.5 Demi melanjutkan
Karenanya sebelum ayahnya meninggal dunia, pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi,
semasa Al-Ghazali masih kecil, beliau dan yakni mempelajari ilmu fiqh tingkat lanjut, Al-
saudaranya Ahmad telah diserahkan kepada Ghazali harus pergi ke Jurjan, 160-km dari
seorang ahli tasawuf sekaligus sahabatnya, Thus. Pada saat itu usianya sekitar 15 tahun dan
yang pada fase inilah Al-Ghazali dipersiapkan gurunya di kota itu bernama Abu Nashr
dasar-dasar agamanya sedari dini. Sang sufi Isma’ili. Di Jurjan ia tinggal selama lima tahun.
inilah yang mendidik Al-Ghazali dengan Kemudian ia kembali lagi ke kota
keteladanan akhlak, mengajarinya bahasa Arab kelahirannya untuk mengendapkan apa yang
dan Persia, serta membaca Al-Qur’an sebagai telah dipelajarinya, terutama yang berkenaan
pelajaran dasar. Dalam wasiat sang ayah, dengan masalah-masalah fiqh. Setelah tiga
seraya menitipkan sedikit harta pada sufi tahun lamanya, saat ia berusia 23 tahun, Al-
tersebut menuturkan; “Aku menyesal sekali Ghazali pergi ke Naisabur pada saat Imam al-
karena aku tidak belajar menulis. Aku berharap Haramain (Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini) yang
untuk mendapatkan itu untuk kedua putraku bermazhab Asy’ariyah, menjabat sebagai
ini.”4 kepala Madrasah Nidzhamiyah di Baghdad.
Tak lama berselang, ayahnya meninggal Al-Ghazali muda menghabiskan masa-masa
dunia. Pada masa kecil, Al-Ghazali hidup pendidikannya di bawah bimbingan teolog

1 3
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah fi Naddzri al-Ghazali, Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik Dalam
Kairo: Darul Ma’aarif, 1971, hlm. 18. Islam, Terj; Team Pustka Firdaus, Jakarta: Pustaka
2
Mengenai tahun kelahiran Al-Ghazali sendiri para Firdaus, 2009, hlm. 115.
4
sarjanawan sedikit berbeda dalam memberi tahun M. Solihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut
Masehi, sebagian mencatat 1058, sebagaian lainnya Pandang Al-Ghazali, Bandung: Pustaka Setia, 2001,
1059. Lihat, Ahmadie Thaha, dalam pengantar terjemah hlm. 20.
5
Tahafut al-Falasifah, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985, Ahmadie Thaha, dalam pengantar terjemah Tahafut
hlm. xiv. Lihat, Dr, Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali al-Falasifah, Loc. Cit., xiv.
Sang Sufi Sang Filosof, Bandung: Pustaka, 1987, hlm. 8.

36 Syifa Al-Qulub 2, 1 (Juni 2017): 35-46


Syihabul Furqon; Busro Judul Artikel

besar Al-Juwaini. Dan di bawah asuhan Al- itu pada akhirnya membuat nama Al-Ghazali
Juwaini ini, Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqh, termasyhur di kawasan kerajaan Seljuk.11
ushul, manthiq, dan kalam, filsafat dan tasawuf. Bakat Intelektual Al-Ghazali yang
Diduga, pada masa-masa ini pula, Al-Ghazali mencolok, akhirnya terlihat oleh wazir Nizam
mempelajai praktik dan metode sufi kepada al-Mulk yang pada saat itu diberi kepercayaan
seorang guru bernama Al-Farmadzi.6 penuh oleh Sultan Seljuk (Al Salajiqah)
Selama tinggal di Naisabur Al-Ghazali tidak sebagai penguasa Khalifah Abbasiyah di
hanya belajar kepada Imam al-Haramain, tapi Baghdad. Universitas Nidzhamiyah sendiri
juga mempelajari teori-teori mengenai tasawuf merupakan tempat pertemuan para ilmuwan
lebih jauh kepada Yusuf an-Nasaj.7 Sedikit- dan dalam majelis ini keunggulan Al-Ghazali
demi sedikit ia mulai melakukan latihan dan tampak menonjol. Akhirnya pada tahun 484 H
praktik tasawuf, meski di tahap ini bisa atau 1091 M, ia diangkat sang wazir sebagai
dikatakan tak ada pengaruh yang signifikan guru besar di universitas Nidzhamiyah. Di kota
terjadi selain sarana untuk melatih kedisiplinan ini, halaqah pengajiannya membesar
diri. disamping ia produktif dalam mengarang kitab
Setelah Imam al-Haramain wafat (478M- yang menjadi fokus ketertarikannya.
1086H)8, lalu Al-Ghazali pergi ke Muaskar Di universitas an-Nidzam, Al-Ghazali
(tempat istana wazir Nizam al-Mulk) di utara menjabat sebagai guru besar selama empat
Naisabur, pada saat usianya mencapai 28 tahun. tahun. Pada usia 33 tahun ia telah mendapatkan
Diceritakan bahwa di masa ini Al-Ghazali telah salah satu kedudukan yang sangat istimewa di
menikah dan dikaruniai tiga anak perempuan dunia akademis pada masanya. Periode ini
dan seorang anak laki-laki bernama Hamid menandai suatu tahap yang menentukan dalam
yang meninggal saat masih bayi. Itulah sebab hidupnya, sebab universitas memberinya
kenapa Al-Ghazali juga sering disebut Abu lingkungan yang sangat menguntungkan untuk
Hamid.9 mengembangkan serta menyinari
Sebagai sorang yang ahli dalam bidang kepribadiannya. Di sana ia memperdalam
Mujadalah (retorika perdebatan), Al-Ghazali pengetahuannya di bidang filsafat dan
melibatkan diri pada perdebatan yang banyak teologi.12
dilakukan di sana dengan para ulama Pada masa-masanya menjadi guru besar, Al-
terkemuka. Di dalam perdebatan yang sering Ghazali sangat aktif dalam mengikuti
dilakukannya, Al-Ghazali tak jarang perkembangan juga perdebatan terhadap faham
mengalahkan para ulama dengan mematahkan dan golongan-golongan yang berkembang di
argumentasi-argumentasi yang mereka waktu itu. Di fase inilah benih-benih ketidak
ajukan.10 Sehingga dengan demikian banyak di puasannya (nyaris skepstis) terhadap berbagai
antara para ulama ini yang tak segan-segan golongan yang mengatasnamakan keunggulan
mengakui keunggulan Al-Ghazali. Dengan (dalam arti kebenaran) yang satu dengan yang
kecemerlangan berpikir yang sedemikian rupa lainnya mulai menguat. Hingga pada akhir
masa kehidupannya ia sangat menguasai sendi-

6 11
Himawijaya, Mengenal Al-Ghazali For Teens: Ibid., hlm. 22.
12
Keraguan Adalah Awal Keyakinan, Bandung: Mizan, Ada penggalan cerita di dalam perjalanan
2004, hlm. 25-17. intelektual Al-Ghazali mengenai penyebab kenapa ia
7
M. Solihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut begitu menguasai cabang keilmuan pada zamannya:
Pandang Al-Ghazali, Op. Cit., hlm. 21. Konon suatu hari kediamannya disambangi maling.
8
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah fi Naddzri al-Ghazali, Yang mereka ambil selain harta, juga kitab-kitab
Op. Cit., hlm, 30. berharga milik Al-Ghazali. Dari kejadian itu, Al-Ghazali
9
Ibid., hlm. 22. kemudian bertekad untuk menghafal di luar kepala
10
M. ‘Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan seluruh isi kitab yang dipelajarinya sehingga ia tak perlu
Filosof Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, hlm. susah-payah mengakses kitab yang telah ia pelajari
202. Pada bab khusus mengenai Al-Ghazali. meskipun kitabnya tak ada.

Syifa Al-Qulub 35, 46 (Juni 2017): 35-46 37


Syihabul Furqon; Busro Doktrin Mistisisme Al-Ghazali (Sufisme sebagai Etape
Perjalanan Spiritual)

sendi pergolakan faham yang terjadi pada saat bertemu dengan golongan zanadiqah dan
itu, sehingga dengan hati-hati ia memilah mana mu’athilah (‘kafir’ atau ‘atheis’), maka aku
yang pantas dan baik untuk dipegang dan mana pun mencoba memeriksa apa saja sebab-sebab
yang kurang baik. Dalam otobiografi juga latar belakang yang menjadi pegangan
spiritualnya yang termasyhur Al-Munqidz min mereka itu.13
ad-Dhalal, ia menuturkan: Al-Ghazali muda memang mempunyai
Sebelum meningkat ke umur dua puluh ketertarikan yang sangat besar terhadap
tahun hingga kini, dimana umuku sudah lebih berbagai cabang keilmuan. Disamping itu
dari lima puluh tahun, aku telah mengarungi semangatnya untuk menggapai suatu
samudera yang luas dan dalam itu, dengan pengetahuan yang hakiki telah tertanam di
keberanian yang tiada taranya... setiap dalam dirinya sedari dini. Ia menulis;
kepercayaan dari berbagai macam golongan “menghadapi masalah yang demikian tadi
aku selidiki, aku coba menyelami kepercayaan (menelusuri akar fundamental sebuah madzhab
masing-masing golongan agama sedalam- pemikiran) benar-benar sudah menjadi
dalamnya sampai ke rahasia hati mereka. kegmaranku semenjak kecil, yakni menyelidiki
Segala hal itu aku lakukan semata-mata dan membuat perbandingan untuk
terdorong untuk menarik suatu perbandingan mendapatkan suatu hakikat.” 14

antara yang haq dan yang bathil, yang sunnah Menurut Al-Ghazali, ada empat kelompok
dan yang bid’ah. Maka tatkala aku bertemu aliran pemikiran yang sedang berkembang
dengan kaum kebatinan (bathiniyah), akupun pada masa itu, yakni kelompok bathiniyah,
tertarik untuk menyelidiki kebatinan itu, teolog dan filosof, juga kaum sufi. Mengenai
demikian pula tatkala aku bertemu dengan yang pertama, Al-Ghazali berkepentingan
kaum lahir (dzahiriyah), akupun tertarik untuk secara politis karena satu dan lain hal.15 Lebih
menyelidiki apa sesungguhnya yang dianut jauh, Al-Ghazali berpandangan bahwa kaum
oleh mereka itu, dan apa ajran yang ini mempunyai tujuan politis yang terselubung
dimilikinya... Apabila mereka itu dari golongan disamping tidak mau mengakui peran akal budi
filsafat, maka aku selami pula apa hakikat dalam bidang pengetahuan secara ekstrem.
kefilsafaan mereka itu, begitupun ketika aku Aliran ini menutup diri dengan hanya
bertemu dengan orang dari golonga ilmu kalam menerima realitas pengetahuan dari Imam yang
(teologi), maka aku uji dan selidiki pokok- ma’sum (terjaga), yang menurut mereka selalu
pokok pemehamannya itu, demikian pula ada pada setiap masa. Karenanya Al-Ghazali
apabila yang aku temui golongan ahli tasawuf, menandaskan; “prinsip aliran mereka dalah
maka aku jangkau inti dan rahasia-rahasia penolakan terhadap ra’yu (kebebasan berpikir
kesufiannya itu; apabila aku bertmu dengan dan berpendapat), penolakan terhadap fungsi
golongan ahli ibadah (muta’abbid), aku tidak akal budi... ilmu pengetahuan tidak bisa
tinggal diam, melainkan aku pegang dasar- dimengerti kecuali dengan pengajaran
dasar praktek peribadahannya. Manakala aku (ta’lim)”16 Golongan ini berpandangan bahwa

13
Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, Beirut: untuk menampik dalil-dalil keagamaan kaum Ismaili.
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988, hlm. 24-25. Kitab itu juga bisa dilihat sebagai pelanjut tradisi siyāsa
14
Ibid., hlm. 25. shari’yya, jenis risalah yang di masa itu merupakan
15
Goenawan Mohammad lebih rinci menuturkan; usaha menawarkan teori politik dengan patokan
Diketahui ia menulis beberapa buku yang menentang hukum—dan, setidaknya dalam hal Fada’ih al-
pemikiran kaum Ismaili, yang oleh musuh-musuhnya, Batiniyyah, merupakan argumen bagi kebutuhan dan
juga oleh Al-Ghazali, disebut sebagai ‘al-Batiniyah’. keinginan untuk meneruskan sistem kekhalifahan.
Salah satunya ditulis atas permintaan Khalif al- (Lihat, http//www.goenawanmohamad.com, dengan
Mustazhir yang baru bertahta. Farouk Mitha (Mitha: subjek judul AL-Ghazali dan Kepastian).
2001) menilai buku itu, Fada’ih al-Batiniyyah wa 16
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi
Fada’il al-Mustazhiriyyah (‘Keburukan al–Batiniyah Sang Filsuf, Bandung: Pustaka, 1987, hlm. 5. Kutipan
dan Kebajikan al-Mustaziriyah’), bukan saja disusun

38 Syifa Al-Qulub 2, 1 (Juni 2017): 35-46


Syihabul Furqon; Busro Judul Artikel

suatu sistem berpikir yang tidak terlebih dahulu peritiwa Mu’adz Ibn Jabal ketika Rasul
ditransmisikan oleh guru yang ma’sum, maka Muhammad mengutusnya ke Yaman.18
hasil pikirannya tidak jernih dan tidak terjaga. Sementara, kaum teolog secara umum
Oleh sebab itu faham ini sangat meyakini adalah para pemuka agama yang ajaran-ajaran
bahwa untuk mengerti sebuah ilmu yang haq, mereka terutama didominasi oleh akal budi,
maka perlulah pengajaran dari seorang yang juga doktrin keagamaannya ditopang oleh
ma’sum. rasio. Tujuan khusus kaum ini adalah untuk
Keberatan Al-Ghazali mengenai faham ini mempertahankan doktrin-doktrin keagamaan
dikarenakan akan menimbulkan semacam dari serangan musuh-musuhnya, seperti
taklid buta di kalangan umum. Menurut Al- diutarakan Al-Ghazali:
Ghazali pada hakikatnya imam yang ma’sum Maksud dan tujuan almu kalam ialah untuk
adalah simbol keterjagaan sebuah warisan memelihara golongan ahli sunnah dan untuk
intelektual, akan tetapi bukan berarti menjaga dari percampuran dari golongan
pengajaran dari sumber lain itu dengan begitu bid’ah yang menyesatkan.19
saja dapat ditolak. Dengan gigih Al-Ghazali Akan tetapi Al-Ghazali pada akhirnya
mengajukan keberatan salah satunya karena menemukan bahwa mereka tidak mewakili
tertutupnya kemungkinan seseorang untuk pemikiran intelektual yang mandiri. Malah,
berijtihad. Lebih rinci Al-Ghazali menurut Al-Ghazali, “mereka telah
memaparkan: mendasarkan ajaran-ajaran mereka pada
Menurut kebiasaan yang seharusnya, mereka premis-premis yang mereka terima dari lawan-
memerlukan adanya pengajaran (ta’lim) dan lawan mereka. Mereka dengan terpaksa
guru (mu’alim). Menurut pendapat mereka menerima premis-premis itu, ada kalanya
tidak semua guru (mu’alim) itu cukup, akan mereka karena mereka memiliki sikap membeo
tetapi pasti ada yang kurang di antara mereka... (banyak bicara), atau karena adanya konsensus
Kemudian timbullah argumentasi yang ummat (anggapan umum), atau sekedar
menyatakan perlunya seorang guru yang menerimanya dari Al-Qur’an dan as-
ma’sum. Sementara mereka menganggap Sunnah”.20 Mereka pada akhirnya terlalu jauh
lemah pada faham yang tidak sependapat melenceng dari tujuan asal yakni menjaga dan
dengan mereka... Mereka itu tidak menyadari mengembalikan semangat Tauhid dalam Islam.
bahwa anggapan dan pernyataan mereka itu Para teolog ini memang begitu gigih
sebenarnya disebabkan oleh karena lemahnya mengungkapkan ketidak konsistenan lawan
argumentasi pendukung yang benar.17 dan mereka menguasai metode mujadalah
(perdebatan) dengan sangat baik akan tetapi
Dengan demikian menjadi jelas bahwa Al- kurang mendalami kritik dan logika filsafat
Ghazali mempunyai kecenderungan untuk secara baik. Ranah kajian ini pada masa itu
berpikiran luas bahkan bisa disebut merasa sangat digandrungi, sehingga kemelut yang
risih dengan sikap yang taklid—sejauh orang diakibatkan oleh ambisi para teolog untuk
dapat sedemikian rupa mengupayakan mengungkapkan hakikat telah merebak di
ijtihadnya sendiri. Dalam menerapkan contoh kalangan orang banyak.21 Mereka—para
kebutuhan seseorang dalam berijtihad teolog—mencoba untuk menjabarkan suatu
sehubungan dengan jarak yang membatasi hakikat dan Ketuhanan. Pembahasan mereka
seseorang untuk meminta nasihat mu’alim al- bahkan sampai pada jauhar (substansi) dan
ma’sum, Al-Ghazali memaparkan contoh dari a’radh (sifat atau aksiden), akan tetapi mereka
tidak mengalami kemajuan pemikiran yang

Al-Ghazali di buku tersebut dari Fada’ih al-Batiniyyah 18


Ibid., hlm. 50.
wa Fada’il al-Mustazhiriyyah, cet, Kairo 1964, hlm. 17. 19
Ibid., hlm. 50.
17 20
Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, Op. Cit., Ibid., hlm. 33.
21
hlm. 50. Ibid., hlm. 33.

Syifa Al-Qulub 35, 46 (Juni 2017): 35-46 39


Syihabul Furqon; Busro Doktrin Mistisisme Al-Ghazali (Sufisme sebagai Etape
Perjalanan Spiritual)

signifikan. Menganai hal ini Al-Ghazali kecenderungannya yang lebih terpengaruh


menandaskan: pemikiran Ikhwan as-Shafa (Persaudaaan
“Bukan tujuan mereka sehingga Suci).26
pembahasan mereka kurang mendalam dan Menurut pandangan Al-Ghazali menganai
luas, sedangkan hasilnya tetap tidak bisa filsafat, setidaknya ada enam belas proposisi
menghapuskan kebingungan tentang perbedaan metafisika dan empat proposisi fisika yang
penciptaan.”22 memiliki relevansi jelas dengan agama, dan
Karena tidak mendapatkan kepuasan bagi harus diperingatkan bagi orang-orang Islam
jiwa dan intelektual yang memadai dalam apa yang lengah. Dari 20 proposisis yang hendak
yang dinamakan dengan ilmu kalam, Al- disangkal Al-Ghazali, tiga di antaranya sangat
Ghazali berkesimpulan bahwa teologi tidak berbahaya dari sudut keagamaan, yakni
mampu mencapai pengetahuan yang hakiki, keabadian alam (eternitas alam), pengetahuan
alih-alih malah membentuk kendala sehingga Tuhan hanya pada yang Universal dan
dengan metode ilmu ini seseorang tidak akan penolakan terhadap kebangkitan jasmani kelak
mengenal Allah secara hakiki. “Pengenalan di fase eskatologis (akhirat).27
Allah, sifat-sifat-Nya, dan tindakan-tindakan- Seperti diketahui, Al-Ghazali menentang
Nya tidak akan tercapai lewat ilmu kalam. kecenderungan para filosof pada masanya dan
Malah ilmu ini menjadi penghalang dan mengecam keras mereka. Kritik yang
pencegah darinya...”23 dilancarkan Al-Ghazali ini bukan karena
Setelah mendalami kalam (teologi rasional) kenyataan bahwa ajaran-ajaranfilsafat pada
dan tidak mendapati sesuatu yang hakiki masa itu bisa melahirkan bahaya pada aqidah,
dipelajari dengan matang di dalamnya— tapi juga atas dorongan filosofis. Menurut Al-
terutama disebabkan oleh krisis batinnya—Al- Ghazali, para filosof telah mengabaikan
Ghazali mendalami filsafat.24 Dalam kesatuan akal budi, sebab setelah menetapkan
terminologi Arab Islam (Timur Tengah), syarat-syarat berpikir yang benar dalam logika,
filsafat seringkali diidentifikasi dengan sebutan mereka tidak memakainya pada teologi (sistem
al-hikmah. Akar kata ini sebetulnya aqidah).28
bersinambungan dengan bahasa Yunani yang Pada saat puncak peraihan prestasi yang
berarti cinta kebijaksanaan, karena hikmah gemilang sebagai guru besar Nizhamiyah, Al-
dalam Islam menandai suatu pencapaian, bukan Ghazali mengalami sebuah krisis, yakni
saja intelektual semata, lebih jauh bahkan keraguan mendalam (skepstis) yang menjalar
pencapaian spiritual. Diceritakan bahwa ketika dan terlihat pada gejala-gejala fisiknya, meski
mendalami filsafat, Al-Ghazali bersinggungan tetap pada dasarnya bersifat religius. Bisa
langsung dengan karangan-karangan Al-farabi dikatakan bahwa pada fase ini Al-Ghazali
dan Ibn Sina.25 Dari sini ia mendalami logika mengalami perubahan orientasi hidup secara
peripatetik (Aristotelian), fisika dan serentak dan drastis. Di titik ini ia menyadari
matematika secara mendalam. Khusus bahwa pada saat ini tugas manusia yang paling
menganai fisika, Al-Ghazali menunjukkan penting adalah menghindari neraka dan

22
Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi Falasifah demi memilah proporsi filsafat dan agama.
Sang Filsuf, hlm. 2. Kemudian disusul dengan Tahafut Al-Falasifah yang
23
Ibid., hlm. 3. mencoba menjelaskan kerancuan (tahafut) para filosof
24
Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, Op. Cit., dalam mengajukan proposisi.
26
hlm. 33. Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, Op. Cit.,
25
Terutama mengenai filsafat yang dikembangkan hlm. 55.
27
Ibn Sina sebagai filsafat peripatetik, Al-Ghazali Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, PT Ichtiar Baru
berkepentingan menyanggah argumentasi yang rancu Van Hoeve: Jakarta, 2003, hlm. 125. Mengenai Al-
dan secara ekstrim bertendensi merobohkan fondasi Ghazali oleh Muliadi Karthanegara.
28
aqidah pada masa itu. Ia secara bertahap menyusun Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Ghazali Sang Sufi
logika peripatetik terlebih dahulu dalam Maqashid al- Sang Filsuf, hlm. 3.

40 Syifa Al-Qulub 2, 1 (Juni 2017): 35-46


Syihabul Furqon; Busro Judul Artikel

memperoleh surga. Akan tetapi ia sangat memenangkan juga meredam keraguan atau
menyadari bahwa pada saat itu hidupnya terlalu kekhawatiran yang menjangkiti hati itu.30
duniawi untuk mengharapkan pahala Al-Ghazali akhirnya memantapkan diri
keabadian. Perasaan batinnya mengalami tarik- untuk mengembara menempuh jalan sufi.
ulur hingga pada akhirnya ia berketetapan Pertama-tama ia membagikan seluruh hartanya
untuk menjalani kehidupan zahid yang pada Baitul Mal, dan menyisihkan sedikit
berkelana (suluk). Demikian ia menulis dalam untuk keperluan keluarganya.
Al-Munqidz: Pengembaraannya ini memakan waktu sepuluh
Hampir mendekati enam bulan lamanya, tahun meliputi kota Damsyiq (Syria), selama
yaitu mulai dari bulan Rajab tahun 488H dua tahun ia tinggal di sini hanya untuk
(sekitar bulan Juli 1095), aku terus siombang- bertafakur di sebuah menara mesjid.
ambing oleh perasaan dan pikiran antara Setelahnya ia berangkat ke Bait al-Maqdis
memilih kemegahan dan kesenangan hidup (Madjid al-Aqsha) untuk melanjutkan
duniawi dan kebahagiaan hidup yang kekal khalwatnya yang kedua kali. Baru kemudian ia
abadi... Dengan takdir Allah bibirku menjadi pergi ke Makkah dan Madinah untuk
kering, lidahku terasa terkunci sehingga aku tak menunaikan ibadah haji, dari sini ia bertolak ke
sempat memberikan kuliah pada hari yang Hijaz sebelum akhirnya pulang kembali ke
biasanya aku memberikan kuliah pada para tanah kelahirannya.31
pelajarku... Lidahku terkunci, tak sanggup lagi Sepulangnya dari pengembaraan, Al-
untuk bercakap-cakap walau sepatah kata... Ghazali masih tetap melakukan khalwat di
akibat yang lebih jauh lagi, yaitu perasaan sedih rumahnya. Diceritakan bahwa salah satu
yang bergejolak di hatiku, dan sebagai alasannya kembali adalah karena dipinta oleh
akibatnya, kekuatan jasmaniku untuk Sultan untuk kembali megajar di Nizhamiyah,
mengunyah makanan atau untuk meminum air namun kegiatannya ini tidak berlangsung
barang seteguk sangat lemah; pada akhirnya lama.32 Akhirnya ia kembali ke kampung
hilanglah nafsu makan dan minumku.29 halamannya, Thus. Al-Ghazali mendirikan
sebuah perguruan di samping rumahnya dan
Pada akhirnya, ia melkukan konsultasi atas khanaqah bagi kaum sufi. Ia kemudian mulai
masalah krisis batinyya yang mengakibatkan ia menulis karya-karya sufistik. Al-Ghazali
sakit pada tabib (dikter) di lingkungannya. kembali mengajar, namun perubahan yang
Akan tetapi rupanya penyakit yang diderita Al- terjadi akibat krisis batinnya bersifat permanen.
Ghazali, tak bisa diobati dengan obat-obatan Sekarang ia adalah seorang yang religius,
fisik, melainkan harus diobati secara batiniyah. bukan sekedar guru ilmu-ilmu agama. Ia wafat
Al-Ghazali menuturkan: di Thus, kampung halamannya pada tahun
Para dokter brusaha mencarikan obat 505H/1111M.
untukku. “Kesukaran (penyakit) ini datangnya Dengan demikian, kehidupan Al-Ghazali
dari dalam hati (qalb) anda sendiri,” demikian dapat dibagi menjadi tiga rentang masa.
kata dokter itu kepadaku. Selanjutnya mereka Pertama ketika ia sebelum mengalami
berkata, “Dari hati itu kemudian ia menyebar keraguan (skeptis) secara batin. Pada masa ini
dan menyelinap ke seluruh jiwa yang paling Al-Ghazali bisa dikatakan masih menyelami
dasar, satu-satunya jalan untuk mengatasi dan bentuk syari’at yang ditampilkan oleh berbagai
mengobatinya tak lain melainkan anda harus fan (cabang) keilmuan. Begitupun secara
kedudukan politis ia mendapatkan posisi yang

29 32
Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, Op. Cit., Alasan sesungguhnya mengapa Al-Ghazali pulang
hlm. 60. ke kampung halamannya, seperti yang diugkapkan di
30
Ibid., hlm. 60. dalam Al-Munqidz terutama dikarenakan permintaan
31
Ibid., hlm. 61-62. anak-anak dan keluarganya. Al-Munqidz, Loc. Cit., hlm.
61-62.

Syifa Al-Qulub 35, 46 (Juni 2017): 35-46 41


Syihabul Furqon; Busro Doktrin Mistisisme Al-Ghazali (Sufisme sebagai Etape
Perjalanan Spiritual)

menguntungkan disamping mapan secara Abu Talib Al-Makki35 Al-Junayd dan Abu
ekonomi dan masih menjabat sebagai seorang Yazid Al-Bustham dan memahami ajaran
hakim (qadhi) dan juga guru besar (sekelas pokok mereka. Ia mencapai konklusi bahwa,
professor di masanya) di universitas an- “dalam ilmu sufi ini tidak dapat dipahami jika
Nidzam. Fase kedua terjadi pada akhir masa hanya dengan mempelajarinya saja, melainkan
ketika ia hendak menanggalkan jabatannya ia harus disertai dengan amalan, (dengan)
sebagai guru besar dan mengalami kegairahan yang penuh dengan semangat yang
keguncangan batin hingga membuat barkobar-kobar.”36
kesehatannya terganggu. Dikatakan bahwa Al-Ghazali percaya bahwa para ahli sufi
pada titik ini ia mengalami produktifitas yang ini adalah, “mereka yang mengerti dan
sangat signifikan dalam mengarang kitab mempunyai pengalaman-pengalaman ilmu dan
mencakup ilmu kalam, filsafat dan berbagai amal, bukan sekedar orang-orang yang pandai
cabang-cabang keilmuan disamping menjadi berbicara.” Sekali lagi ditegaskan bahwa apa
seorang pengajar syari’at (fiqh) terkemuka di yang belum lagi dicapainya adalah,
Baghdad.33 “mengamalkan penelaahan-penelaahanku itu,
karena untuk mencapai kesempurnaan aku
B. MISTISISME AL-GHAZALI SEBAGAI harus mengamalkan menurut jalan yang
ETAPE SPIRITUAL ditempuh oleh kaum sufi,” yaitu bersuluk.
Yang perlu dilakukan oleh Al-Ghazali adalah
Al-Ghazali tak berhenti di Filsafat dan studi melakukan perjalanan sunyi. Dari sebagian
Kalam, ia juga seorang hakim (ahli fikih) pada sarjanawan muslim kontemprer menyebutkan
masanya; tapi ia lebih jauh melangkah. Dalam bahwa apa yang dimaksud dengan perjalanan
Al-Munqidz ia menetapkan kecenderungannya sunyi ialah melakukan ‘hijrah’.37 Hijrah ini
dalam corak pemikiran dan laku. Setelah bukan dalam rangka sekedar melakukan
selama hampir enam bulan pada masa hidupnya perjalanan dan pakansi, melainkan titik tumpu
sebelum menempuh jalan sufi, ia terombang- seorang salik (orang yang bersuluk) dalam
ambing disamping kesehatannya menurun perubahan orientasi di dalam hidupnya. Dan
drastis. Pada akhirnya ia jatuh sakit total, tanpa inilah yang dilakukan oleh Al-Ghazali ketika ia
tidak bisa disembuhkan dokter sama sekali. harus menyembuhkan krisis spiritualnya.38
Syahdan, ia mengidap semacam krisis batin, Motifnya bukan saja itu, Al-Ghazali
penyakit psikologis yang tak ada obatnya mengungkapkan bahwa di dalam kesufian,
kecuali dari dirinya sendiri.34 orang diarahkan pada pola hidup sederhana dan
Saat itu, Al-Ghazali adalah seorang yang mencukupkan diri dari hal-hal duniawi. Pendek
telah menyelami bahtera ilmu dengan dahaga kata, ia melihat situasi dan kondisi masyarakat
yang tak berkesudahan dan hanya satu yang pada saat itu dirasanya tidak memiliki
belum dia lakukan dan menghantui hatinya. Ia kewaspadaan pada penyakit hati keserakahan
merasa belum lagi bisa mengamalkan apa yang dan kesenangan berlebih pada duniawi. Ia
telah didapatkannya selama menempuh jalan merasa terpanggil untuk menyelami lubuk
intelektual. Di dorong oleh adiknya, Ahmad, hakikat, apa gerangan yang menyababkan
Al-Ghazali melihat ada jalan lain yang agama Islam pada saat itu perlahan menyurut
menjanjikan; bertasawuf. Selama ini, Al- adalah kurangnya orang mukmin mereguk
Ghazali hanya membaca risalah sufi dengan hakikat agama Islam yang dicontohkan Nabi
nalar, ia bersentuhan setidaknya dengan karya saw.

33 36
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah fi Naddzri al- Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, 58
37
Ghazali, Op. Cit., hlm. 56-59. Lihat, Al-Ghazali, The Alchemist of Happiness,
34
Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, hlm. 70. Matmedia Production, a film by: Ovidio Salazar, Tt.
35 38
Annemarie Schiemmel, Dimensi Mistik Dalam Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, hlm. 70.
Islam, hlm. 106

42 Syifa Al-Qulub 2, 1 (Juni 2017): 35-46


Syihabul Furqon; Busro Judul Artikel

Berkenaan dengan pandangan Al-Ghazali dan terlalu suci untuk dikatakan terkurung
mengenai dimensi mistik (gnosis), ia waktu. Dia Wujud sebelum waktu dan tempat
menekankan beberapa aspek penting. Di diciptakan. Dia mandiri, dengan sendirinya.42
antaranya ia meletakkan fondasi yang Kecenderungan Al-Ghazali lebih lanjut
signifikan bagi perkembangan Gnostisisme terhadap doktrin emanasi juga berasal dari
Suhrawardi bahkan Ibn Arabi pada fase-fase ajaran neo-Platonisme. Dia mengatakan
berikutnya.39 Al-Ghazali ditakdirkan oleh tentang kesatuan wujud sebagai keragaman, dia
waktu berada pada sufisme periode juga berpendapat bahwa keragaman yang ada
pertengahan yang berkembang pesat dalam sebagai limpahan dari Yang Satu, Yang
kurun akhir kekuasaan Seljuk.40 Pandangan Tertinggi. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Dia
tasawufnya yang paling menonjol di antaranya adalah Tuhan sebagai Yang Pertama dari
penekanan pada corak amali. Al-Ghazali sekalian wujud yang ada, sebab semuanya
memadukan antara pengetahuan yang merupakan Emanasi dari-Nya.43
dihasilkan dari nalar kritis dengan intuisi dan Al-Ghazali mendasarkan ajaran tasawufnya
menurunkannya ke ranah praktis. pada olah jiwa atau nafs. Manurutnya, jiwa
Kecemerlangannya dalam menjembatani manusia memiliki sejumlah potensi yang
sufisme dengan ortodoksi sunni menuai tertanam di dalamnya. Jika ditarik dari garis
sambutan dan antusiasme yang baik di pengaruh pemikiran Plotinus, Al-Ghazali
khalayak.41 Meski tak bisa dipungkiri banyak terindikasi mengadopsi pemikiran bahwa Jiwa
pula yang menudingnya sebagai penyebab manusia memiliki aspek Ilahiyah. Sampai di
mundurnya rasionalisme filsafat di dunia Islam. sini kita akan keluar dari keterpengaruhan Al-
Tapi pandangan yang terakhir kiranya kurang Ghazali oleh Plotinus. Al-Ghazali dengan
dapat dipertanggung jawabkan karena pada pemahamannya yang paling mendasar pada Al-
kenyataannya, bahkan setelah ia berada dalam Quran dan Hadis kiranya sudah sangat cukup
sufisme, pandangan filsafatnya masih sangat dalam bekalnya mengembangkan ajaran
kental. tasawufnya sendiri yang paling vital. Al-
Menurut Margareth Smith, Al-Ghazali Ghazali menganggap bahwa jiwa manusia
sedikit banyak terpengaruh oleh ajaran neo- memiliki aspek ketuhanan karena ia
Platonisme. Pengaruh ini terutama sangat jelas merupakan khalifah dan citraan Allah.
di dalam karya-karya mistis Al-Ghazali. Dari Mengambil skema plotunian dirasa terlalu jauh
Plotinus ia memangbil konsep Tuhan sebagai meski tak dipungkiri keterpengaruhannya oleh
Wujud Yang Maha Satu, Sumber Segala filsafat Yunani terutama Peripatetik. Seperti
Makhluk, Maha Sempurna Dalam Sifat dan telah dikemukakan di muka bahwa pada
Wujud. Dia Adalah Esa, Yang Pertama dan dasarnya di dalam tubuh Islam sendiri, ajaran
Terakhir, Dzahir dan Batin. Dia tidak Tauhid mengandaikan skema baik itu secara
berbentuk, baik substansi maupun aksiden, rasional dan atau pun intuitif. Sangat penting
tidak pula ada wujud yang menyerupai-Nya. ditekankan bahwa di dalam Al-Quran
Dia tidak mengambil suatu tempat di mana pun kecenderungan dalam berpikir sangatlah
dan tidak ada sesuatu pun yang menempati- dikedepankan, ini mencirikan aspek rasional
Nya. Terlalu agung untuk dikatakan bertempat, peripatetik. Sedang di satu aspek, penerimaan

39 40
Annemarie Schiemmel, Dimensi Mistik Dalam Hamid Dabasyi, Sufisme Persia dalam periode
Islam, hlm. 329. Demikian Schiemmel merekam; Aliran Seljuk. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003, hlm. 13-20
41
utama tasawuf ortodoks yang moderat disistematisasikan Lihat Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, Jilid
oleh Al-Ghazali, namun karya-karya Al-Ghazali sendiri 1. hlm. 208. Lihat juga, M. Smith, Al-Ghazali The
mengandung pandangan yang nantinya akan Mystic, hlm. 259.
42
dikembangkan penuh dalam aliran teosofi Islam. M. Smith, Al-Ghazali The Mystic, hlm. 117-18.
43
Karangannya yang berjudul Misykat Al-Anwar, adalah Ibid.,118, Bdk, Misykat, hlm. 38-39.
buku yang dipakai titik awal oleh kebanyakan sufi di
kemudian hari.

Syifa Al-Qulub 35, 46 (Juni 2017): 35-46 43


Syihabul Furqon; Busro Doktrin Mistisisme Al-Ghazali (Sufisme sebagai Etape
Perjalanan Spiritual)

akan Tauhid mengandaikan aspek yang sangat giliranny sampai pada Cahaya Tertinggi (Nur
intuitif dan ini mengindikasikan aspek Al-Aqsha al-A’la), yang tiada lagi cahaya di
Platonian dan Plotinus. atasnya, bahkan Dia yang menyinari segala
Mengenai penekanan Al-Ghazali pada aspek wujud yang ada.
perkembangan jiwa, ia mengembangkan Kebalikan dari cahaya adalah kegelapan.
pembahasan ini dalam terminologi nafs al- Kegelapan pada dirinya sendiri adalah
muthma’innah dan nafs al-lawwamah. Yang ketiadaan total. Sedangkan di dalam
pertama meruapak jiwa terpuji, ia merupakan terminologi cahaya, kegelapan hanya mungkin
aspek suci secara ruhaniyah, kadang juga jika ia kekurangan cahaya. Bahwa sejatinya
diidentifikasi sebagai jiwa Rasional yang Cahaya Segala Sesuatu adalah Allah,
diidentikkan dengan hati dan ruh manusia yang karenanya segala sesuatu yang dihasilkan dari-
berasal dari Allah. Ang selanjutnya adalah jiwa Nya hanyalah bias. Keberadaannya sebagai
tercela yang secara umum mendominasi wujud hanyalah pinjaman, adalah sesuatu yang
kehidupan manusia pada umumnya, dengan diberi yang sumbernya adalah Al-Haqq; Allah.
hati nurani yang cenderung mengajak pada hal- Wujud Cahaya pada dirinya sendiri juga adalah
hal yang rendah. Yang ketiga dari aspek jiwa sesuatu yang menerangi. Cahaya Sejati Terang
ini dalah jiwa kebinatangan (nafs al-amarah, oleh dirinya sendiri sedangkan cahaya selain
yang erupakan jiwa irrasional yang penuh dari-Nya memiliki sumber. Contoh sederhana
dengan ego dan dikuasai oleh sifat-sifat dari ini adalah cahaya dari pelita adalah
kebinatangan. Ajaran kosmologi Al-Ghazali minyak, cahaya dari matahari adalah panasnya;
terdiri dari atas alam malakut (dunia ruhani), bahwa semua itu memiliki sumber yang
alam jabarut (dunia selestial) dan dunia membuatnya terbakar.
material (alam al-mulk wa as-syahadah). Karenanya cahaya juga memiliki tingkatan-
Ketiga pembagian ini merupakan dasar-dasar tingkatannya yang tersendiri. Segala cahaya
pokok ajaran tentang kosmologi dan tasawuf yang berada di dalam alam syahadah memiliki
Al-Ghazali dalam rangka mengembangkan sumbu dan sumber dan tentu saja memiliki
jiwa atau nafs di dalam diri manusia.44 Ajaran keterbatasan menerangi dan waktu menerangi.
ini merupakan ajaran yang selaras dengan Di dalamnya ada mineral-mineral, tetumbuhan,
prinsip-prinsip dasar mengenai tahapan- hewan dan manusia. Sesuai dengan fitrahnya
tahapan pendakian menuju Ma’rifat Allah. sendiri-sendiri, semua itu juga memiliki cahaya
Al-Ghazali secara konsisten juga pada dirinya sendiri. Tapi dalam kasus
menggunakan perumpamaan cahaya. manusia, ia mempunyai akses yang
Disamping konsep cahaya yang diambil dari memungkinkannya melampaui
Al-Quran, cahaya juga diidentifikasinya keterkondisiannya sebagai makhluk jasmani.
sebagai cahaya pengetahuan yang merasuk ke Ada dua aspek lain yang tertanam di dalam diri
dalam hati. Bahkan pengetahuan secara umum manusia slain keterbatasan jasmani yaitu Ruh
dimungkinkan oleh adanya cahaya yang dan Aql. Yang jika kedua instrumen ini
‘menerangi’ sesuatu sehingga sesuatu tersebut diaktifkan dan ‘digosok’, niscaya ia akan
sampai kepada pengindra. Lebih jauh, Al- memantulkan Cahaya Hakiki. Contoh
Ghazali mengibaratkan pengetahuan yang sempurna dari manusia yang telah melakukan
hakiki adalah ketercerahan yang datang dari ini adalah para Nabi dan Urafa’ (jamak dari
atas. Sebagaimana Allah adalah Sumber Segala ‘Arif). Jika daya ini diaktifkan, ia akan mampu
Cahaya, Dia juga merupakan yang menembus langit-langit malakut yang dimensi
memprakarsai manusia dalam mengetahui. Al- cahayanya lebih jernih dan murni. Akhir dari
Ghazali lebih lanjut juga mengatakan cahaya pendakian dan tujuan segala bias cahaya, baik
bumi berasal dari cahaya langit yang pada itu cahaya kebumian dan maupun cahaya

44
M. Smith, Al-Ghazali The Mystic, hlm. 119.

44 Syifa Al-Qulub 2, 1 (Juni 2017): 35-46


Syihabul Furqon; Busro Judul Artikel

malakut adalah Allah: Sumber Dari Segala sedemikian rupa sehingga dapat memantulkan
Cahaya.45 Cahaya Al-Haqq. Sampai di sini, Al-Ghazali
Di dalam naskah-naskah Al-Ghazali yang seakan-akan akan berhenti dalam
lebih esoteris mengungkapkan bahwa aspek mengupayakan kemenujuan pada Allah.
yang membuat manusia bukan saja harus Rupanya Al-Ghazali melangkah lebih jauh, ia
melakukan perjalanan menuju Yang Hakiki. menawarkan realitas fana al-fana’
Aspek tersebut yang terutama tertanam di (Kemeleburan Seutuhnya).48 Doktrin inilah
dalam diri manusia adalah aspek cinta. Al- yang dikembangkan lebih mutahir kelak
Ghazali mengungkapkan bahwa segala sesuatu menjadi Wahdat Al-Wujud oleh Saikh Al-
menuju pada Al-Haqq di antaranya disebabkan Akbar Ibn Arabi (638H/1240M) dan berpusat
ada aspek cinta yang menarik segala sesuatu di Insan Al-Kamilnya Abdul Karim Al-Jilli
mengkutub pada-Nya.46 Akan tetapi, seperti (832H/1428M).
bisa dibayangkan dari pengembraan biasa, Tapi Al-Ghazali tak silap, ia tidak dengan
orang akan teralihkan dari Yang Hakiki ke yang begitu saja bertengger di menara gading
Majazi. Al-Ghazali mengungkapkan bahwa kesufiannya. Periode Uzlah selama sektiar
dalam rangka menuju Yang Hakiki manusia sepuluh tahun lebih, tak membuatnya
harus dibersihkan dari segala sesuatu yang melepaskan diri dari konteks
menghambat dan yang membuatnya kebermasyarakatan pada saat itu. Ia kembali,
terkondisikan. Di dalam realitas fisik, pertana- tapi tentu saja tidak sebagai Al-Ghazali yang
tama manusia harus dibersihkan dari kesalahan dulu. Kini ia adalah ‘arif billah (seorang arif di
persepsi yang bersifat indrawi. Dari sini, jalan Allah). Ia menetapkan dengan mantap
manusia harus juga dibersihkan dari kesalakan- bahwa; “kaum sufi itu adalah orang-orang yang
kesalahan berpikir dan mengambil konklusi. khusyuk menempuh jalan mendekat kepada
Tidak hanya di sana, Al-Ghazali Allah; kehidupan mereka adalah yang terbaik,
mengemukakan bahwa manusia harus juga akhlak mereka adalah yang paling murni.
melepaskan diri dari kesalahan persepsi yang Sungguh manakala terkumpul para ahli pikir
dihasilkan dari daya imajinasi (al- cerdik-cendikia, para hukama (ahli-ahli
mukhayyilah). Di titik ini kemampuan manusia hukum), kemudian kepada mereka diminta
sebagai yang menubuh masih terkondisian. agar supaya mengadakan perubahan akhlak
Al-Ghazali mengungkapkan aspek lain, mereka yang mendalam, merubah dengan
yaitu Ilham atau pancaran Ilahiyah yang akhlak yang lebih baik daripadanya, niscaya
memantul di dalam hati dan jiwanya.47 Tapi mereka tidak akan sanggup mencapai seperti
pertama-tama hati juga harus dibersihkan dari yang dicapai oleh kaum sufi.”49[]
segala macam hasrat duniawi, amarah dan tiap
hal yang membuat hati menjadikan tercemar.
Sekai lagi ditekankan, ia harus digosk

45
Al-Ghazali, Misykat, hlm. 39-40. dimana seseorang bertafakur pada sifat-sifat kekuasan
46
Di dalam Kimya As-Sa’adah, Al-ghazali dan keluasan Allah. Sedangkan sebab yang terakhir
menegaskan bahwa; “Cinta Kepada Allah merupakan adalah adanya pertalian antara Allah dan Manusia. Al-
petunjuk tertinggi.” Meski demikian Al-Ghazali Ghazali, Kimya As-Sa’adah, Terj Rus’an, Jakarta: Cv.
mengungkapkan beberapa pokok hal yang membuat Mulya, 1964, hlm. hlm. 422-24.
47
seseorang tidak mencintai Allah. Tapi di antara yang Ibid., hlm. 419. Demikian Al-Ghazali;
membuat seorang hamba cinta kepada Allah antar lain, “Kesempurnaan manusia terletak dalam hal bahwa
petama karena ia mencintai dirinya sendiri dan selalu dengan mencintai Allah manusia dapat menguasai
dalam ‘proses’ menyempurnakan sifat perbawaannya. jiwanya, dan setidak-tidaknya dapat mengurangi rasa
Yang kedua adalah karena manusia suka kepada yang cinta terhadap perkara lain.”
48
suka menolong kepadanya, dan sesungguhnya satu- Al-Ghazali, Misykat, hlm. 43.
49
satunya yang memberi pertolongan hanyalah Allah yang Al-Ghazali, Al-Munqidz min ad-Dhalal, hlm. 62.
maha pengasih. Sebab selanjutnya ialah suatu kedaan

Syifa Al-Qulub 35, 46 (Juni 2017): 35-46 45


Syihabul Furqon; Busro Doktrin Mistisisme Al-Ghazali (Sufisme sebagai Etape
Perjalanan Spiritual)

C. DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Al-Ghazali, Misykat Al-Anwar.


Bandung: Mizan, 1984.
__________________, Munqidz Min Ad-
Dhalal, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
Tt.
__________________, Ma’arij Al-Qudsy fi
Madarij Fi Ma’rifat An-Nafs, Tp, Tt.
__________________, Tahafut Al-Falasifah,
Bandung: Marja, 2010.
__________________, Kimya As-Saadah,
Jakarta: CV. Mulja, 1964.
Al-Ghazali, The Alchemist of Happiness,
Matmedia Production, a Film by: Ovidio
Salazar, Tanpa tahun produksi.
Annemarie Schiemmel, Dimensi Mistik Dalam
Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009.
Hamid Dabasyi, Sufisme Persia Dalam Periode
Seljuk, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Himawijaya, Mengenal Al-Ghazali For Teens:
Keraguan Adalah Awal Keyakinan,
Bandung: Mizan, 2004.
Ibn Sina, Ahwal An-Nafs Risalah Fi An-Nafs
Wabaqa’iha Wama’adiha, Yogyakarta:
Pustaka Hidayah, 2009.
Margaret Smith, Al-Ghazali The Mystic,
Jakarta: Riora Cipta, 2000.
_____________, Reading From Mystic Of
Islam, Bandung: Pustaka Hidayah, 2007.
Goenawan Mohamad, dalam
http//www.goenawanmohamad.com,
dengan subjek judul AL-Ghazali dan
Kepastian).
Goenawan Mohamad, dalam
http//www.goenawanmohamad.com,
dengan subjek judul Tentang Atheisme dan
Tuhan yang Tak Harus Ada
M. ‘Utsman Najati, Jiwa Dalam Pandangan
Filosof Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah,
2002.
M. Solihin, Epistemologi Ilmu Dalam Sudut
Pandang Al-Ghazali, Bandung: Pustaka
Setia, 2001.
Seyyed Hossein Nasr, (Ed.), et. al, Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam, Jilid 1,
Bandung: Mizan, 2002.
Sulaiman Dunya, Al-Haqiqah Fi Nadzri Al-
Ghazali, Mesir: Dar Al-Ma’arif, 1971.

46 Syifa Al-Qulub 2, 1 (Juni 2017): 35-46

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai