Anda di halaman 1dari 15

Al-Ghazali: Selayang Pandang Pemikiran

Serta Kritiknya Tentang Filsafat

Danur P. Permadi
Pascasarjana Aqidah dan Filsafat Islam
UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
pututpermadidanur@gmail.com

A. PENDAHULUAN
Salah satu tokoh muslim yang terkenal dan berpengaruh dalam sejarah adalah
Al-Ghazali. Tokoh muslim yang memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad at-Thusi al-Ghazali ini adalah seorang teolog, sufi,
bahkan filosof terbesar Islam yang mendalami fiqh, kalam, maupun filsafat.1 Seperti
namanya, Al-Ghazali lahir di wilayah Thus, Khurasan – satu tempat di Naizabur Persia
di tahun 450 H dengan menyandang gelar Zainudin.2 Diceritakan bahwa dirinya lahir
di tahun ketiga setelah Dinasti Seljuk menguasai Baghdad. Dirinya memiliki saudara
bernama Ahmad – seorang sufi di Persia. Ayah Al-Ghazali bernama Muhammad yang
menjadi seorang sufi sederhana.
Dalam ranah keagamaan, selain diajar oleh sang ayah, Al-Ghazali dibimbing
juga oleh seorang sufi teman sang ayah. Di sana selain mempelajari tasawuf dan dunia
sufi, dirinya pun juga belajar banyak mengenai al-Qur’an dan hadist. Setelah dirasa
cukup, dirinya meneruskan studinya di salah satu sekolah di Thus. Pada umur 15 tahun,
dirinya pergi ke Jurjan dan berguru kepada Abu Nasr al-Isma’ili. Sedangkan di umur
20 tahun, dirinya berguru pada al-Juwayni. Selama di sana dirinya mempelajari dengan
giat mengenai teologi, hukum, maupun bidang filsafat.

1
Wesilah, “Konsep Ilmu Dan Kebenaran Dalam Pemikiran Al-Ghazali (Kajian Tentang
Epistemologi)” (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009).
2
Fathur Rozi, “Kritik Al-Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filosof,” Putih: Jurnal Pengetahuan
Tentang Ilmu V, no. 1 (2020): 1–14.
Dalam masa hidup Al-Ghazali, dirinya sangat aktif dalam kepenulisan dan
penelitian. Tercatat bahwa dalam kurun waktu hidupnya, Al-Ghazali telah menulis
kitab sejumlah 300 buah. Karya – karya tersebut digolongkan dalam beberapa jenis
bacaan. Mulai dari kategori ilmu Kalam dan Filsafat, kategori Fiqh dan Ushul Fiqh,
kategori tafsir, dan kategori tasawuf.
Satu hal yang special dari Al-Ghazali adalah dirinya mampu mempelajari
filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina dengan baik. Karena hal inilah dirinya berani
melancarkan sebuah kritikan keras dalam kitabnya yang diberi judul sebagai Tahafut
al-Falasifah (Kerancuan Para Filosof). Yang mana kitab tersebut berisi kritikan kepada
dua filosof muslim tersebut. Al-Ghazali menyebutnya sebagai kekurangtelitian logika,
inskonsistensinya filosof Muslim.3 Dalam kitab tersebut Al-Ghazali memberikan
kritikan atas filosof muslim utamanya dalam ranah metafisika.4
Dari pemaparan sekilas tersebut, maka artikel ini akan membahas beberapa hal
yang lebih spesifik. Pertama, bagaimana situasi politik pada masa Al-Ghazali. Kedua,
bagaimana kritik Al-Ghazali terhadap para filosof. Ketiga, bagaimana pendapat Al-
Ghazali dalam filsafat.

B. PEMBAHASAN
1. Situasi Politik dan Pemikiran Masa Al-Ghazali
Historiografis perpolitikan umat Islam dapat dimasukkan ke dalam tiga
periode. Pertama adalah periode klasik yang berlangsung dari 650 M sampai dengan
1250 M. Dalam ini terdapat dua masa di dalamnya, yaitu masa kemajuan Islam dari
600 M sampai dengan 1000 M dan masa kedua adalah masa disintegrasi pada 1000
M sampai dengan 1250 M. Periode ketiga adalah periode pertengahan yang terjadi

3
Sabirin, “Kritik Nalar Al-Ghazali Dalam Sengkarut Filsafat Islam,” El-Ihkam 8, no. 1 (2015):
89–110.
4
Jamhari, “Al-Ghazali Dan Oposisinya Terhadap FIlsafat,” Jurnal Ilmu Agama: Mengkaji
Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama 16, no. 1 (2015): 108–119.
di tahun 1250 M sampai dengan 1500 M. Dalam periode ini terdapat dua masa juga,
yaitu masa kemunduran I yang terjadi tahun 1500 M sampai dengan 1800 M dan
masa kelahiran tiga kerajaan Islam besar. Periode ketiga adalah periode modern
yang terjadi mulai dari tahun 1800 M.
Dalam titian waktu tersebut, Al-Ghazali hidup pada masa disintegrasi.5 Hal
ini dapat dibuktikan dengan banyakknya wilayah yang ingin memisahkan diri dari
kekuasaan sebelumnya. Sebagai contoh dari kasus ini adalah muncul kerajaan Idrisi
di Maroko yang dipimpin oleh Idrus Ibn Abdillah. Muncul juga satu dinasti yang
dipimpin oleh Ahmad Ibn Tulun di Mesir.
Pada masa Al-Ghazali dunia pemikiran Islam dipenuhi oleh pertentangan
dari berbagai aliran pemikiran.6 Sepeninggalan Ahmad Ibn Hanbal Ibn Hilal Adh-
Dhahily Asy-Syaebani di tahun 1058 M hingga lahirnya Al-Ghazali adalah rentang
waktu yang panjang di mana Islam diwarnai perbedaan pendapat antar madzab. Hal
ini berdampak kepada kondisi Islam yang tidak sehat, karena setiap mazhab
menganggap mereka yang paling benar.

2. Sprititualitas Keagamaan Al-Ghazali


Dalam kronologis perjalanan pemikiran AL-Ghazali, dirinya setidaknya
mendalami empat keilmuan yang beragam. Mulai dari belajar ilmu di kalangan
teolog, kemudian belajar ilmu kalam, filsafat, dan akhirnya menggeluti ilmu sufi. 7
Ghazali kecil dikenal sebagai sesosok anak yang cerdas. Sejak masih belia dirinya
telah memiliki jiwa skeptis dan kritis. Sehingga memberinya dorongan untuk
mencari ilmu ke berbagai tempat dan berbagai aliran. Hal ini mendorong dirinya di

5
Ahmad Zaini, “Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali,” Esoterik: Jurnal Akhlak dan Tasawuf 2,
no. 1 (2017): 146–159.
6
Akilah Mahmud, “Jejak Pemikiran Al-Ghazali Dan Ibnu Rusyd Dalam Perkembangan Teologi
Islam,” Sulesana: Jurnal Wawasan Keislaman 13, no. 2 (2020): 183–198.
7
Nurmayuli, “Al-Ghazali Dan Pemikirannya,” Al-Mabhats 2, no. 1 (2017): 125–150.
usia muda telah lepas dari pengaruh taqlid. Bagi Al-Ghazali sendiri taqlid inilah
yang menjadi pennyebab keberagamaan setiap manusia.
Di masa hidupnya banyak pemikir fiqh, kalam, maupun filsafat yang tiap-
tiap mereka mengklaim bahwa kelompok merekalah yang memiliki label
kebenaran. Hal inilah yang justru membuat Al-Ghazali semakin ragu dan
mendorong dirinya untuk keluar dari keraguan tersebut. Keraguan yang dialami oleh
diri Al-Ghazali ini menjadi awal pencarian kebenaran dengan menimba ilmu di
berbagai tempat.
Awal mula pencarian kebenaran itu adalah saat dirinya banyak belajar fiqh
yang menciptakan perdebatan dalam penetapan hukum syara’. Hal ini dikarenakan
adanya intepretasi yang terjadi di masing-masing mazhab. Setelah mengikuti
banyak kegiatan Bersama dengan para teolog, dirinya menemukan satu keganjilan
yang dilakukan oleh mereka. Bagi Al-Ghazali, para teolog hanya fokus kepada
pengumpulan argumen yang lebih rasional untuk mendebat lawan bicara mereka
belaka. Walaupun demikian Al-Ghazali mengakui bahwa kalam ini di sisi yang lain
mempunyai andil besar dalam memberikan pegangan secara rasional terkait aqidah
yang benar.
Setelah dirinya memperoleh banyak ilmu kalam, Al-Ghazali kemudian
mencari ilmu kepada para filosof. Al-Ghazali mempelajari cara kerja filosof dengan
menggunakan rasio dalam usahanya mencari sebuah kebenaran yang hakiki.
Kesemuanya ini akhirnya menghantarkan Al-Ghazali kepada sebuah kesimpulan
bahwa argumen dari para filosof tidak bisa dipercaya dalam menjelaskan hakikat di
bidang metafisika yang berhubungan dengan aqidah Islam.
Karena para filosof tidak dapat menjelaskan hal metafisika, akhirnya Al-
Ghazali mencari kebenaran dalam ajaran bathiniyah. Atas permintaan Khalifah
Abbasiyah untuk membuat satu tulisan tentang doktrin aliran ini, dirinya pun
akhirnya mempelajari aliran ini dengan baik. Al-Ghazali berargumen bahwa aliran
ini tertipu karena mereka hanya mengikuti ajaran dari imam yang berstatus ma’sum,
tetapi setelah ditelisik siapa sebenarnya imam yang ma’sum tersebut mereka tidak
menemukannya. Hal inilah yang mendasari Al-Ghazali menyimpulkan bahwa aliran
ini tidak dapat menuntun kepada pengetahuan yang hakiki.
Setelah mencari ilmu ke berbagai tempat dengan menggunakan indrawi, Al-
Ghazali menjadi ragu atas kemampuan pancaindranya sendiri. Padahal menurutnya
kebenaran itu tunggal dan bersumber dari sesuatu yang dinamakan fitrah al-
ashliyyat (fitrah yang asli). Dirinya akhirnya meragukan kapasitas akal dalam
menemukan sebuah kebenaran, karena akal gagal membuktikan secara faktual
sebuah kebenaran.
Di tengah kebuntuan tersebut Al-Ghazali mendapatkan sebuah ilham berupa
Nur Ilahi dari hatinya, sehingga dirinya Kembali sadar dan menyatakan bahwa
dirinya telah mendapatkan jawaban atas kebuntuan permasalahannya. Al-Ghazali
berujar bahwa dirinya memperoleh kesadaran baru bahwa dirinya harus keluar
menuju tempat para sufi.

3. Kritik Al-Ghazali Terhadap Para FIlosof


Secara garis besar kritik yang dilayangkan oleh Al-Ghazali kepada para filosof
setidaknya ada tiga hal pokok.8 Tiga hal pokok tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut:
a. Keqadiman Allah
Para filosof berpendapat bahwa alam semesta ini maujud dan Qadim
bersamaan dengan Tuhan, hal ini terjadi karena hukum kausalitas adanya
Tuhan. Dalam upayanya mengsahihkan argumen mereka, para filosof
berpendapat bahwa Tuhan lebih awal daripada alam mengandung dua
kemungkinan. Pertama, keawalannya ini dari sisi zat bukan dari sisi waktu. Hal

8
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, ed. Tahkik Sulaiman
Dunya (Kairo: Dar al- Ma’arif, 1962). Hlm. 307-208.
ini memiliki pengertian bahwa dari sisi waktu Tuhan ada bersamaan dengan
alam. Ini seperti halnya keawalannya gerak kita daripada gerak bayangan kita.
Pada situasi itulah kita meyakini bahwa terdapat gerakan yang sama disatu
waktu antara gerakan kita dengan gerakan bayangan kita. Kedua, keawalan
Tuhan dari alam secara zat ini terjadi sekaligus bersamaan. Hal ini berarti
sebelum adanya alam serta zaman, terdapat sebuah zaman di mana alam ini
belum terwujud. Karena Tuhan harus ada sebelum alam, maka sebelum adanya
zaman harus ada zaman yang tidak terhingga. Hal inilah yang menjadi mustahil
untuk memyakini sebuah keawalan dari segi waktu.
Dalam upayanya menjawab argumen yang diutarakan oleh para filosof,
Al-Ghazali menyebutkan bahwa alam ini merupakan sesuatu yang baru serta
hasil kehendak dari Sang Qadim. Terjadinya alam dimulai ketika diadakan serta
ketika belum dikehendaki, maka ini belum terwujud. Hal ini dikarenakan
terjadinya kehendak dari Yang Qadim adalah pondasi terwujudnya alam. Bagi
Al-Ghazali pun zaman mempunyai awal serta diciptakan. Zaman tidak harus
menentukan adanya Tuhan dan alam. Ketika Tuhan mendahului bai kalam
maupun waktu harus dipahami bahwa di fase pertama Tuhan hadir sendiri. Lalu
pada tahap kedua muncul alam.
Di samping itu Al-Ghazali pun menyatakan bahwa apabila alam ini
Qadim, maka alam ini tidak pernah sama sekali diciptakan. Padahal yang tidak
pernah diciptakan hanyalah Allah semata. Jika mengacu pada hal itu maka alam
berada pada level yang sama dengan Allah yang berarti terdapat dua Tuhan.
Pernyataan ini akan membawa kita kepada paham politeisme, yang mana
paham ini bertentangan dengan ajaran tauhid. Hal inilah yang mendasari Al-
Ghazali menyatakan para filsof sebagai kafir.9

9
Harun Nasution, Filsafat Islam, ed. Budhi Munawar, II. (Jakarta: Paramadina, 1995). Hlm. 154.
b. Allah Tidak Mengetahui Hal Juz’iyat
Dalam pembahasan ini Al-Ghazali membagi pendapat para filosof
dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah mereka yang
menyatakan bahwa Tuhan hanya dapat mengetahui diri-Nya sendiri. Kedua
adalah kelompok yang berargumen bahwa Tuhan dapat mengetahui perkara
selain diri-Nya, hanya saja pengetahuan-Nya bersifat kulli (universal) dan
terikat dengan waktu. Yang menjadi dasar argumen ini adalah pengetahuan
mengikuti objek pengetahuan. Jika objek pengetahuan berubah, maka yang
mengetahui juga ikut berubah. Apabila Tuhan mengetahui juz’iyat, dan yang
juz’iyat selalu berubah, maka Tuhan pasti berubah dan hal ini tentu saja
mustahil.
Tuhan tidak mengetahui yang terjadi pada manusia secara detail. Tuhan
hanya paham mengenai kekafiran dan keislaman menusia secara universal.
Apabila Tuhan tidak mengetahui perkara secara partikular, maka akan hilang
konsep inayah Tuhan kepada makhluk-Nya.10 Selain itu jika Tuhan hanya
memahami manusia dalam perkara kulli, maka konsep hisab di hari akhir tidak
akan ada. Bagi Al-Ghazali pengetahuan Tuhan mengenai perkara juz’iyat tidak
mengakibatkan perubahan pada Tuhan. Hal ini dikarenakan Tuhan mengetahui
berbagai hal dengan keabadian-Nya.
Dalam hal ini Al-Ghazali memberikan sebuah gambaran apabila
seseorang yang berada di samping kanan kita. Lalu orang tersebut berpindah –
pindah dari kanan ke kiri, dan pergi ke depan maupun ke belakang. Maka
sejatinya yang berubah posisi hanya dirinya, bukan diri kita. Dirinya
menyatakan bahwa perkara ini dengan menyebutkan Surat Al-Hujarat ayat 16
sebagai berikut:11

10
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, III. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 207.
11
Adha Liandrini et al., Al-Ghazali (Banten, 2020).
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ُ‫ّللُبِّك ِّل‬
ُ ‫ۡرضُ ُوٱ‬
ُ ِّ ‫اُِفُٱۡل‬
ِّ ‫تُوم‬ َٰ َٰ
ُِّ ‫اُِفُٱلسمو‬ ِّ ‫ّللُيعلمُم‬
ُ ‫ُوٱ‬
ُ ‫ّللُبِّدِّينِّكم‬
ُ ‫قُلُُأتعلِّمونُٱ‬
َ ‫ََشء‬
ٞ ‫ُعل‬
ُُ١٦ُ‫ِّيم‬ ٍ

Artinya: “Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan


kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah
mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?”

c. Kebangkitan Jasmani
Dalam pembahasan kali ini para filosof mengingkari kebangkitan
jasmani yang akan terjadi di hari akhir, kembalinya roh ke dalam jasad.
Penempatan jiwa kotor di neraka, kemudian sebaliknya. Apa yang disebutkan
sebagai surga maupun neraka, serta seluruh yang dijanjikan Allah kepada
manusia hanyalah sebuah simbol yang ditampilkan kepada orang awam.12
Jika ditelisik secara syariat, memang terdapat teks – teks mengenai
kebangkitan jasmani. Tetapi bagi para filosof hal tersebut hanya sebagai simbol
untuk orang awam. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasan pemahaman orang
awam dalam menangkap makna teks syariat.
Dalam memperkokoh argumen yang diutarakan para filosof ini, mereka
menyatakan alasannya dalam dua kemungkinan. Pertama, dalam diri manusia
pada dasarnya tidak ada yang namanya jiwa, tetapi yang ada dalam diri manusia
hanyalah jasad serta sebuah kehidupan. Saat manusia mati, maka hilang pula
kehidupan itu. Kebangkitan manusia adalah kembalinya jasad dan kehidupan
kepada Tuhan. Oleh para filosof kemungkinan ini tidak berarti kembalinya roh
kepada jasad manusia, tetapi justru sebuah penciptaan baru. Kedua, kembalinya
jiwa ke dalam jasad manusia itu apakah dari bagian – bagian tubuhnya atau dari

12
B Megawati, “Al-Ghazali: Peranannya Dalam Khazanah Intelektual Islam,” Pena Cendikia
(2020), https://ejurnal.univalabuhanbatu.ac.id/index.php/pena/article/view/209.
bagian yang lain. Kemungkinan ini tidak dapat diterima oleh para filosof
dikarenakan bagi mereka materi itu terbatas, sedangkan jiwa tidak terbatas.
Oleh karenanya jasad manusia tentu tidak dapat menampung sebuah jiwa. Di
sisi lain bagi para filosof kemungkinan ini lebih kepada seperti sebuah
reinkarnasi, sedangkan konsep reinkarnasi ini tidak dapat diterima.
Bagi Al-Ghazali, dirinya setuju dengan filosof yang menyebutkan
mengenai kebahagiaan spiritual daripada jasmani. Hal ini dikarenakan dalam
syariat menyebutkan demikian. Tetapi hal ini tidak dapat menjadi penafikan
adanya kebahagiaan maupun kesengsaraan jasmani di akhirat kelak. Bagi Al-
Ghazali kita tidak dapat mengetahui secara pasti mengenai jiwa, kebahagiaan,
maupun kesengsaraan yang akan dialami di akhirat. Hal ini adalah ranah
otoritas wahyu. Kemudian ayat Al-Qur’an yang mengandung makna – makna
simbolis, seperti halnya penggambaran surga neraka dan segala hal tentangnya
bukanlah sebuah penyimbolan. Bagi Al-Ghazali hal ini harus dipahami secara
tekstual.
Sebetulnya baik Al-Ghazali maupun para filosof saling meyakini
adanya konsep kebangkitan di akhirat. Yang menjadi perbedaannya adalah bagi
para filosof kebangkitan di akhirat hanya secara rohaniah belaka. Sedangkan
bagi Al-Ghazali kebangkitan tersebut akan terjadi baik secara rohaniah maupun
jasmaniah.13

13
Nasution Hasyimsyah, Filsafat Islam, III. (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002). Hlm. 86.
4. Pandangan Al-Ghazali
a. Pandangan Al-Ghazali Tentang Kalam
Bagi diri Al-Ghazali Kalam tidak sama dengan ilmu Tauhid. Dirinya
menggolongkan ilmu Tauhid sebagai jenis ilmu syariat yang berhubungan
dengan permasalahan agama. Ilmu Tauhid ini mempunyai tiga objek kajian:
Allah dengan segala sifat-Nya, kenabian dengan dan kaitannya, serta
permasalahan hari akhir. Dalam konsep Al-Ghazali sendiri ilmu Tauhid ini
adalahh ilmu yang membahas pokok permasalahan keimanan.
Mengenai istilah kalam, Al-Ghazali berargumen bahwa awalnya
pemikir ilmu Tauhid berpegang pada ayat Al-Qur’an, hadist, lalu dalil rasional
dan argumen sosiologisme dari logika filsafat. Mereka banyak membahas
argumen rasional di sekeliling objek kajian ilmu Tauhid. Karena hal ini mereka
dijuluki mutakkalimun (oranng-orang yang banyak bicara), di sinilah istilah
“kalam” dalam dunia Islam muncul. Kalam ini membahas permasalahan –
permasalahan seputar aqidah.
Al-Ghazali menyatakan bahwa terjadi sebuah pergeseran makna dari
tauhid pada kalam. Tauhid yang berarti pengesaan Allah, sedangkan kalam
yang bermakna perkataan sebetulnya hanyalah cara yang digunakan untuk
membahas aqidah. Adanya pergeseran ini disebabkan karena muncul kelompok
dialektik di wilayah aqidah yang menyebut dirinya sebagai Ahl al-adl wa al-
tawhid (pendukung keadilan dan keesaan Tuhan), hingga pada akhirnya ahli
kalam juga disebut ulama tauhid.
Bagi dirinya tauhid di masa nabi fokus kepada kalimat la ilaha illa
Allah, yang dihayati oleh umat Islam saat itu. Al-Ghazali berpendapat bahwa
makna tauhid di masa periode pertama umat Islam tidak secara total ditampung
dalam ilmu kalam. Hal inilah yang menyebabkan ilmu tauhid lebih luas
dibandingkan dengan ilmu kalam itu sendiri.
Ilmu kalam mengandung perdebatan mengenai aqidah keimanan
menggunakan dalil rasional, dan menolak arrgumen ahli bid’ah. Kalam ini
hanya digunakan untuk meng-counter tantangan aqidah umat, tetapi kalam ini
tidak dapat digunakan untuk menanamkan aqidah yang benar bagi orang yang
belum menganutnya.

b. Pandangan Al-Ghazali Mengenai Akal dan Pengetahuan


Al-Ghazali menilai bahwa akal ini adalah kekuatan dalam diri manusia
yang dapat membedakan antara baik dan buruk. Kekuataan inilah yang dapat
membuat perbedaan antara manusia dengan hewan. Menurutnya akal adalah
jiwa rasional yang memiliki daya praktis dan daya teoretis. Akal ini bagi Al-
Ghazali dijuluki sebagai esensi dari manusia itu sendiri. Lalu mengenai hati
(qalb) lebih mendekati ilmu hakikat.
Dalam memperoleh ilmu jiwa memiliki dua cara. Yang pertama adalah
cara berpikir atau apa yang disebut sebagai al-qiyas. Dan cara yang kedua
adalah dengan cara merasa atau al-wijdan. Di sini akal memiliki hubungan
dengan kerja otak, sedangkan qalb berhubungan dengan dzawq – dzawq ini oleh
Ghazali diposisikan lebih tinggi daripada akal dan indra. Dzawq adalah
kemampuan untuk menangkap sekaligus “merasakan” kehadiran sesuatu yang
ditangkap.
Terkait dengan perkara pengetahuan, Al-Ghazali menyebutkan bahwa
terdapat setidaknya tiga hal yang menjadi sumber pengetahuan. Tiga hal
tersebut adalah intuisi, wahyu, dan rasio. Al-Ghazali menyatakan bahwa
terdapat lima hierarki hukum dalam membagi ilmu. Pertama adalah ilmu
fardhu ‘ain, yaitu ilmu yang harus dimiliki oleh orang Islam. Ilmu dalam jenis
ini adalah ilmu yang dapat mengarahkan kita kepada jalan keselamatan setelah
mati. Ilmu ini berhubungan dengan : I’tiqad (hal yang wajib diimani), amalan,
dan larangan.
Kedua adalah kategori ilmu fardhu kifayah, yang mana memiliki makna
ilmu yang tidak boleh dilupakan dalam urusan duniawi. Ilmu ini jika tidak dapat
dikuasai oleh masyarakat akan mendatangkan kesulitan, tetapi jika sudah ada
beberapa orang dalam masyarakat tersebut menguasainya maka kewajiban
yang melekat pada masyarakat tersebut telah gugur. Contoh ilmu dalam
kategori ini adalah ilmu medis, di mana jika tidak ada orang yang
menguasainya maka masyarakat akan mengalami kesulitan dalam urusan
kesehatan.
Kategori yang ketiga adalah ilmu fadhilah – ilmu yang mengandung
keutamaan, tetapi tidak mencapai pada tataran fardhu. Yang keempat adalah
kategori netral. Dan kelima adalah ketagori tercela, di mana menurut Al-
Ghazali semua ilmu pada dasarnya baik. Ia menjadi tercela karena kaitannya
dengan penggunaan oleh manusia.

C. KESIMPULAN
Sebagai sesosok filsuf Muslim yang berpengaruh, eksistensi dari Al-Ghazali
terasa begitu penting dalam khazanah historiografi Muslim. Hidup dalam masa
disintegrasi, membuat dirinya mau tidak mau harus menggali ilmu dari berbagai tempat
dan berbagai perspektif, tidak terkecuali belajar mengenai bidang filsafat. Sepanjang
sejarahnya, Al-Ghazali pernah melontarkan berbagai kritikan pedas kepada para filosof
Mulsim di masa itu.
Kritikannya kepada para filosof setidaknya ada tiga hal. Pertama, kritikannya
kepada para filosof Muslim mengenai Keqadiman Allah. Mereka menyatakan bahwa
alam semesta ini maujud dan Qadim bersamaan dengan Tuhan. Kedua, mengenai
kebangkitan jasmani. Para filosof menyebutkan bahwa Apa yang disebutkan sebagai
surga maupun neraka, serta seluruh yang dijanjikan Allah kepada manusia hanyalah
sebuah simbol yang ditampilkan kepada orang awam. Ketiga, kritikannya mengenai
Allah tidak mengetahui hal Juz’iyat. Para filosof menyatakan bahwa Tuhan dapat
mengetahui perkara selain diri-Nya, hanya saja pengetahuan-Nya bersifat kulli
(universal) dan terikat dengan waktu. Bagi Al-Ghazali hal ini tentu saja keliru, karena
dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujjarat ayat 16 menyebutkan bahwa Allah justru yang
mengetahui hal baik di langit maupun bumi:
َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ُ‫ۡرض‬
ُ ِّ ‫اُِفُٱۡل‬
ِّ ‫تُوم‬ َٰ َٰ
ُِّ ‫اُِفُٱلسمو‬ ِّ ‫ّللُيعلمُم‬
ُ ‫ُوٱ‬
ُ ‫ّللُبِّدِّين ِّكم‬
ُ ‫قلُُأتعل ِّمونُٱ‬

ٞ ‫ُعل‬ َ
َ ‫َُشء‬ َ
ُُ١٦ُ‫ِّيم‬ ٍ ُ ‫َُوٱ‬
‫ّللُبِّك ِّل‬

Artinya : “Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan


kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa
yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu?”
Walaupun demikian Al-Ghazali bukan berarti menolak ilmu filsafat secara
keseluruhan. Dirinya menyebutkan mengenai akal dan pengetahuan misalnya. Al-
Ghazali menyebutkan bahwa akal adalah esensi dari manusia itu sendiri. Dalam
memperoleh ilmu jiwa memiliki dua cara yaitu al-qiyas dan al-wijdan. Al-Ghazali
menyebutkan bahwa terdapat setidaknya tiga hal yang menjadi sumber pengetahuan,
yaitu intuisi, wahyu, dan akal.
DAFTAR PUSTAKA

Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. III. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Tahafut Al-Falasifah. Edited by


Tahkik Sulaiman Dunya. Kairo: Dar al- Ma’arif, 1962.

Hasyimsyah, Nasution. Filsafat Islam. III. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.

Jamhari. “Al-Ghazali Dan Oposisinya Terhadap FIlsafat.” Jurnal Ilmu Agama:


Mengkaji Doktrin, Pemikiran, dan Fenomena Agama 16, no. 1 (2015): 108–119.

Liandrini, Adha, Siti Kholisoh, M. Hajiji Fatah, and Wahyudin. Al-Ghazali. Banten,
2020.

Mahmud, Akilah. “Jejak Pemikiran Al-Ghazali Dan Ibnu Rusyd Dalam Perkembangan
Teologi Islam.” Sulesana: Jurnal Wawasan Keislaman 13, no. 2 (2020): 183–198.

Megawati, B. “Al-Ghazali: Peranannya Dalam Khazanah Intelektual Islam.” Pena


Cendikia (2020).
https://ejurnal.univalabuhanbatu.ac.id/index.php/pena/article/view/209.

Nasution, Harun. Filsafat Islam. Edited by Budhi Munawar. II. Jakarta: Paramadina,
1995.

Nurmayuli. “Al-Ghazali Dan Pemikirannya.” Al-Mabhats 2, no. 1 (2017): 125–150.

Rozi, Fathur. “Kritik Al-Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filosof.” Putih: Jurnal
Pengetahuan Tentang Ilmu V, no. 1 (2020): 1–14.

Sabirin. “Kritik Nalar Al-Ghazali Dalam Sengkarut Filsafat Islam.” El-Ihkam 8, no. 1
(2015): 89–110.

Wesilah. “Konsep Ilmu Dan Kebenaran Dalam Pemikiran Al-Ghazali (Kajian Tentang
Epistemologi).” Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009.

Zaini, Ahmad. “Pemikiran Tasawuf Imam Al-Ghazali.” Esoterik: Jurnal Akhlak dan
Tasawuf 2, no. 1 (2017): 146–159.

Anda mungkin juga menyukai