Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH FILSAFAT AL-GHAZALI

Dengan Judul Makalah: Pemikiran Al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz Min Al-Dhalal
Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Pada Mata Kuliah Filsafat AL-Ghazali

Dosen Pembimbing :

Mokhamad Ali Ridlo., D.E.S.A., S.Ag., D.E.S.A.

DISUSUN OLEH:

Kelompok 4 kitab Al-Munqidz Minaldzalal

ADINDA AYU LESTARI (22BH10038)

HERNI SEVIANI (22BH10040)

SITI NUR JANNAH (22BH10043)

MUKTI RAHAYU (22BH10044)

ANNISA MAULUDIA PANCA (22BH10061)

PROGRAM STUDY S1 MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS NADHLATUL ULAMA AL-GHAZALI

CILACAP
A. Latar Belakang
Tersurat dalam kitab Al Munqidz min al-Dhalal, Hujjatul Islam mengatakan
bahwa jika ingin membantah suatu ilmu, maka seseorang harus pintar dalam ilmu itu,
atau bahkan melebihinya. Artinya, membantah para filosof sebelum memahami cara
mereka berpikir sama dengan menembak dalam kegelapan.
Imam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M), dikenal sebagai
seorang tokoh Muslim dengan segudang julukan. Mulai dari ahli fikih (faqih), pakar
filsafat (filsuf), hingga pakar tasawuf (sufi). Saking banyaknya bidang ilmu yang
dikuasai, masyarakat pun kesulitan menempatkan tokoh ini dalam bidang tertentu.
Membaca Al-Munqidz Min Adh-dhalal karya Al-Ghazali yang telah
diterjemahkan oleh Ach. Khoiron Nafis menjadi salah satu alternatif dalam
mempelajari epistemologi Ghazalian dan seturut sejarah yang melatarbelakangi
terbentuknya kerangka berpikir tersebut. Buku tersebut tersusun dalam surat-surat
penulis kepada “saudara se-agama” yang kini tertuju kepada siapapun Anda bahkan
yang berjarak sepuluh abad dari masa hidup Al-Ghazali.
Al-Ghazali memiliki pandangan yang senada dengan John Locke1 mengenai
kondisi awali manusia. Locke mengandaikan manusia pada mulanya merupakan
kertas kosong atau disebut dengan tabula rasa. Dalam pernyataan yang berbeda,
pokok pikiran keduanya mengenai kondisi asali manusia senada. Dalam penjelasan
Al-Ghazali manusia memiliki empat perangkat internal yaitu indera, tamyiz, rasio dan
akhirnya intuisi (dzauq). Perangkat terakhir inilah yang digunakan untuk kaum sufis
agar hidupnya kembali kepada hakikat kenabian. Hakikat kenabian (haqiqat al-
nubuwah) yang dimaksud bukanlah kondisi dimana manusia sekedar bersuci
melainkan juga menjadi pribadi yang dapat menerima dan menyebarkan pesan Allah.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Al-Munqidz Min Al-Dhalal

Salah satu karya berjudul Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari


Kesesatan) merupakan otobiografi Imam Al-Ghazali yang direkomendasikan untuk
dibaca bagi yang ingin mengetahui perjalanan ilmiah dan spritual dari murid Imam
Haramain ini.

1
Buku yang disebut sebagai otobiografi Imam Al-Ghazali, karena dari sekian
karya beliau, buku inilah yang paling menggambarkan sosok Al-Ghazali. Buku ini
terbagi menjadi tiga bagian.

Bagian pertama, mukaddimah. Bagian kedua, tentang skeptis yang dialami Al-
Ghazali. Bagian ketiga, mengulas tentang empat golongan pencari kebenaran.

a. Bagian Pertama, Mukaddimah

Pada bagian ini, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa perbedaan agama dan
madzhab bagaikan lautan luas dan dalam yang ganas. Telah banyak orang
tenggelam dalam perbedaan itu dan tidak sedikit yang selamat. Menggambarkan
ini, beliau pun mengutip hadis tentang ummat Nabi Muhammad yang kan
terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu yang selamat.

Pada bagian ini pula Imam Al-Ghazali bercerita tentang perjalanan ilmiah dan
spritualnya. Bahwa lebih kurang 70 tahun ia menyelami dan mencoba memahami
setiap perbedaan. Beliau benar-benar terjun hingga betul-betul paham tentang
aliran-aliran waktu itu. Mulai dari Bathiniyyah, Dzahiriyyah, Ilmu Kalam,
Filsafat, Tasawwuf bahkan Zindiq (atheis).

b. Bagian Kedua, Skeptis Al-Ghazali

Setelah pencarian yang cukup panjang, akhirnya Imam Al-Ghazali tidak


mendapati pengetahuan yang meyakinkan. Pengetahuan yang dengannya akan
tersingkap segala sesuatu yang diketahui tanpa ada keraguan.

Sampai di sini, Al-Ghazali berhepotesa hanya ada dua yang bisa meyakinkan,
yakni pengamatan indera dan hukum rasional. Maka setiap persoalan yang rumit
harus dipecahkan dengan pengamatan indera atau nalar rasio.Hanya saja Imam
Al-Ghazali pun kemudian ragu akan mutlaknya kebenaran pengamatan indera.
Apakah indera bisa dipercaya, mengingat mata yang merupakan organ terkuat dari
indera terkadang juga menipu?

Misalnya, bayang-bayang yang oleh mata tampak diam, tidak bergerak,


ternyata tidak demikian. Ia bergerak sedikit demi sedikit, hingga akhirnya

2
bergeser sepenuhnya dari tempat semula.Begitu juga bintang-bintang yang tampak
kecil, ternyata berdasarkan ilmu alam, bintang amatlah besar, bahkan ada yang
melebihi Planet Bumi. Hukum kebenaran pengamatan indera pun sejauh ini mulai
diragukan oleh bukti-bukti yang tak terbantahkan.

Pilihan selanjutnya, tidak ada yang bisa diandalkan kecuali pengertian-


pengertian berdasarkan logika. Misalnya bilangan 10 lebih banyak daripada 3,
larangan tidak akan bersatu dengan perintah, yang hadist tidak mungkin sekaligus
qadim, yang ada tidak mungkin tiada pada waktu bersamaan, dan yang bersifat
pasti tidak mungkin mustahil.Akan tetapi menurut renungan Al-Ghazali,
pengamatan indera pun memprotes hukum logika: Bagaimana Anda bisa
memastikan bahwa hukum rasional lebih kuat daripada hukum indera? Dahulu
anda percaya hukum indera, kemudian mendustakannya karena ada hukum rasio?

Andaikata hukum rasio tidak muncul, anda tentu tetap percaya kepada indera.
Dan siapa tahu pada saatnya nanti, akan muncul hukum lain yang bisa mematahkan
kekuatan rasio. Memang pada zaman Imam Al-Ghazali belum ada, teori ataupun
hukum yang bisa membantah kebenaran logika. Tetapi itu tidak berarti tidak
mungkin. Imam Al-Ghazali pun termenung dalam skeptis (keragu-raguannya). Maka
beliau pun menemukannya bahwa hukum indera meperkuat protesnya dengan
mengemukakan soal mimpi: Tidakkah Anda menyaksikan dalam mimpi, bahwa hal
itu benar-benar terjadi? Namun, saat terbangun, Anda sadar bahwa itu hanya ilusi
belaka.

Maka boleh jadi, apa yang anda yakini sekarang, yang berhubungan dengan
indera atau rasio, sebenarnya hanya berhubungan dengan kondisi saat ini saja. Ketika
dalam kondisi lain yang “lebih sadar”, Anda akan insyaf bahwa itu hanya mimpi.
Dalam tingkat yang lebih tinggi, mungkin ini sama seperti yang dialami kaum sufi
ketika pada kondisi tertentu mereka menyaksikan sesuatu yang sama sekali berlainan
dengan hukum rasio. Imam Al-Ghazali pun terbawa dalam keraguannya ini. Sampai
belaiu susah makan, tidur bahkan tidak bisa bicara. Hampir dua bulan beliau dalam
kondisi ini. Belaiu pun menggambarkan kondisinya waktu tidak ubahnya seperti
kaum filosof Yunani.

3
Dan pada akhirnya, segala puji bagi Allah. Dia berkenan menyembuhkan
Imam Al-Ghazali dari kondisi yang tidak hanya dirinya yang susah, tapi keluarga,
sahabat dan murid-muridnya. Dengan pancaran Cahaya Allah, pkiran Sang Imam
kembali jernih dan seimbang, mampu menerima pengertian-pengertian yang logis.
Nur Ilahi itulah yang akhirnya sebagai kunci pembukanya, termasuk untuk mencapai
ma’rifat, bukan susunan argumentasi yang logis.

c. Bagian Ketiga, Empat Golongan Pencari Kebenaran

Para pencari kebenaran, menurut Imam Al-Ghazali bisa dikelompokkan


menjadi empat golongan; Ahli Kalam yang mengklaim diri sebagai orang-orang
memiliki penilaian dan penalaran independen; Kaum Batiniyyah yang mengklaim
diri sebagai pemilik tunggal At-Ta’lim (perintah otoritatif) dan pewaris istimewa
pengetahuan dari Imam Ma’shum; Para Filosof yang mengklaim diri sebagai ahli
logika dan pembuktian apodeiktik; Kaum Sufi yang mengklaim diri sebagai ahli
musyahadah dan mukasyafah.

Inilah sekilas tentang isi Kitab Al-Munqidz Min al-Dhalal, buku otobiografi
Imam Al-Ghazali rahimahullah. Buku ini sangat direkomendasikan agar kita lebih
akrab dengan ulama yang mempopulerkan istilah Ilmu Ladunni ini.

2. Keistimewaan Kitab al-munqidz min al-dhalal


Pada buku ini, IMAM GHAZALI menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang
pemikiran menempuh jalur sufi, termasuk beberapa bantahannya terhadap pemahaman
orang mengenai filsafat. Pada mukadimahnya, ia menulis bahwa berbagai perdebatan
yang selama ini terjadi, telah memunculkan berbagai kelompok yang saling mengklaim
diri mereka yang paling benar.

Pertikaian ini juga berawal dari hadis Rasulullah yang menerangkan bahwa umat
Islam terpecah menjadi 73 golongan dan hanya satu di antara mereka yang benar.
Kelompok-kelompok itu, mengklaim bahwa merekalah kelompok yang benar.

Usaha Al-Ghazali dalam hal ini menjelaskan bahwa Alquran telah mengandung
ukuran-ukuran tentang kebenaran, dan manusia telah dianugerahi alat untuk berpikir dan

4
menggunakan ukuran-ukuran tersebut. Al-Ghazali mengakui, perjalanannya menempuh
jalur sufi itu memerlukan waktu yang sangat panjang, termasuk dalam menelusuri
berbagai macam aliran yang mengklaim diri mereka paling benar. Hampir setengah dari
usianya, ia habiskan untuk mencari dan menyelidiki semua aliran yang berkembang itu.
Dalam al-Munqidz Min ad-Dlalal, ia mengungkapkan kisahnya itu.

‘’Sejak muda, kurang dari 20 tahun hingga lebih dari 50 tahun kini, tidak hentinya
aku menyelami samudera luas ini. Aku selidiki setiap kepercayaan, aku dalam setiap
mazhab, dan aku kaji setiap ajaran untuk membuktikan mana yang benar; Bathiniyyah,
Zhahiriyyah, Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Tidak ketinggalan pula kaum Zindiq dan
Mu’athil.’’

Dari semua aliran, kepercayaan, dan mazhab itu, sampailah ia pada kesimpulan
bahwa jalan tasawuf adalah jalan yang ‘paling benar’ dalam menggapai kebahagiaan
hakiki. Yang dimaksudkannya dengan ‘paling benar’ adalah jalan yang ditempuh sufi
dengan jalan pengalaman atau merasakan lezatnya beragama, menikmati pertemuan, dan
kedekatan dengan Allah SWT.

Dalam Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali, disebutkan, Dzawq adalah rasa yang
bersifat fisik, tetapi dalam istilah tasawuf, Dzawq mengandung pengertian pengalaman
kebenaran secara langsung. Dalam konteks ini, dzawq mengandung pengertian sama
dengan pemikiran atau kebijaksanaan yang berasal dari bahasa Latin sapere yang
utamanya bermakna merasakan, dan mengalami perluasan makna membedakan dan
mengenali.

Menurut Muhammad Sholihin, dalam bukunya Sufisme dalam Islam, Dzawq juga
bermakna kenikmatan, yakni nikmatnya berdekatan dengan Allah melalui pengalaman
batin. Dalam istilah ini, Sholihin menyamakan Dzawq dengan extase. Perlu diketahui,
sebelum menjadi sufi, al-Ghazali adalah seorang guru besar di Universitas Nizamiyah. Ia
juga pemikir, filsuf, ahli kalam, ahli fikih dan ilmu-ilmu yang lainnya.

Dan justru, karena ilmu-ilmu itu tidak memberikan manfaat terhadap batinnya,
maka al-Ghazali memutuskan untuk mempraktikkan ilmunya itu dengan jalan
meninggalkan seluruh aktivitasnya untuk beribadah kepada Allah SWT dan melakukan
uzlah. Dan setelah menulis kitab besar yang di beri nama Ihya’ Ulum ad-Din, al-Ghazali

5
pernah melakukan uzlah selama 120 hari, pada saat itulah beliau mendapatkan ilmu
kasyf yang terkenal itu.

3. Pemikiran filsafat Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz Min Al-Dhalal

Setelah mendalami ilmu kalam, Abu Hamid al Ghazali kemudian menyelami


lautan filsafat. Tersurat dalam kitab Al Munqidz min al-Dhalal, Hujjatul Islam
mengatakan bahwa jika ingin membantah suatu ilmu, maka seseorang harus pintar
dalam ilmu itu, atau bahkan melebihinya. Artinya, membantah para filosof sebelum
memahami cara mereka berpikir sama dengan menembak dalam kegelapan.

Al Ghazali mengklaim dirinya sebagai orang muslim pertama yang


memandang filsafat Yunani secara kritis. Ia menulis bantahan terhadap para filosof di
sela-sela mengajar sebagai professor hukum di Universitas Nizamiyyah Baghdad
dengan mahasiswa sebanyak tiga ratus orang. Memerlukan waktu kurang dari dua
tahun untuk belajar filsafat secara utuh, dan satu tahun tambahan untuk
merefleksikannya.

Dalam kitab al-Munqidz, Al Ghazali mengemukakan tipologi filosof, di


antaranya: Pertama, materialis/ateis (al-duhriyyun), yaitu kelompok filosof klasik
yang menolak eksistensi Tuhan. Bagi kelompok ini, alam semesta terbentuk dengan
sendirinya, tanpa ada campur tangan Yang Maha Kuasa. Kedua, naturalis (al-
thabi’iyyun), yaitu para filosof yang mengobservasi alam semesta. Mereka mengakui
Tuhan, tetapi menolak kehidupan setelah mati. Ketiga, teis (al-ilahiyyun), yaitu
golongan yang percaya pada Tuhan tapi alam pikirnya masih mengandung kesesatan
seperti Socrates, Plato, Aristoteles, begitu pula dengan Alkindi, Alfarabi, dan Ibnu
Sina.

a. Al Ghazali juga menguraikan cabang-cabang ilmu filsafat, di antaranya:

1) pertama, matematika (riyadhiyyah).


2) Kedua, logika (manthiqiyyah). Al Ghazali berada di kutub yang
menganggap bahwa logika sebagai metode berpikir merupakan sesuatu
yang universal.

6
3) Ketiga, fisika (thabi’iyyah). Pada era al Ghazali, ilmu fisika membahas
tentang alam semesta seperti langit, tata surya, dan unsur-unsur di bumi
seperti air, api, udara, dan tanah.
4) Keempat, metafisika (ilahiyyah). Menurut Al Ghazali, kesalahan para
filosof banyak terjadi pada bidang ini, terutama karena mereka gagal
menerapkan metode silogisme.
5) Kelima, politik (siyasiyyah). Al Ghazali tidak mempermasalahkan bidang
politik ini.
6) Keenam, etika (khulqiyyah). Pada bidang ini, Al Ghazali mengatakan
bahwa para filosof banyak mencuplik ide-ide sufi yang kemudian
dikembangkan sendiri menjadi filsafat etika.

b. filsafat etika telah menyebabkan kemunculan sikap negatif, yaitu:

1) Pertama, kelompok yang menolak filsafat etika, pada akhirnya menolak


ajaran-ajaran kaum sufi karena dianggap tidak orisinal sebagai ajaran
tasawuf. Menurut Al Ghazali, akal kelompok ini lemah, sebab menilai
bukan dari substansi, tapi dari siapa yang mengucapkan. Ini sama seperti
orang yang menolak ucapan orang Kristen.
2) Kedua, kelompok yang menerima keseluruhan filsafat etika Yunani, tanpa
menyaringnya lagi. Contohnya orang yang menerima keseluruhan
pemikiran Ikhwan al-Safa yang banyak mengutip al-Quran, hadis, dan
perkataan kaum sufi. Padahal banyak kekeliruannya.

4. Manfaat mengkaji kitab Al-Munqidz Min Al-Dhalal

Dalam kitab al-Munqidz kita akan disadarkan bahwa dalam beragama dan
berkeyakinan, tidak sedangkal itu. Al-Ghazali menyebutkan ada bermacam-macam
golongan pencari kebenaran. Ada kelompok bathiniyah, yang mengklaim dirinya
sebagai pewaris kebenaran tunggal. Ada golongan filosof, yang mengklaim diri sebagai
ahli logika. Ada golongan sufi yang mengklaim sebagai ahli musyahadah dan
mukasyafah.

Klaim-klaim inilah yang sebenarnya ingin dibongkar oleh Al-Ghazali. Imam Al-
Ghazali dikenal sebagai tokoh Hujjatul Islam, itu bukan karena klaim-klaim
sebagaimana yang diasumsikan oleh golongan-golongan tersebut. Al-Ghazali telah

7
membuka diri—baik cakrawala berfikir maupun bergumul dengan madzhab dan
golongan manapun. Sehingga ada yang mengatakan kalau Al-Ghazali itu seorang
filosof, teolog, dan juga seorang sufi. Namun dia bukan semua. Dia cenderung
menghindari pengkotak-kotakan.

Al-Ghazali adalah tipikal orang yang tidak percaya kepada asumsi. Karena
asumsi baginya harus diuji kebenarannya, dengan cara mencoba dan mengalami sendiri.
Bagaimana kita bisa mengatakan bahwa teh itu manis kalau kita tidak merasakannya.
Nah, permasalahan yang ada selama ini, terutama masalah “keberagamaan” kita itu
muncul karena asumsi-asumsi tersebut. Baik yang Sunni, yang Syiah, Ahmadiyah, NU,
Muhammadiyah, jika masih suka berasumsi terhadap kelompok di luar dirinya,
perpecahan dan konflik tanpa diundang akan datang dengan sendiri.

Siapa yang bisa menyangka jika ada dua pasangan (cewek-cowok) yang masuk
ke hotel kemudian divonis melakukan hubungan terlarang? Bisa jadi mereka berdua
justru bermunajat kepada Allah Swt, sholat tahajud bersama.”demikian kelakar Ustad
Faiz.

Dalam kitab Al-Munqidz Min Adh-Dhalal ini, Anda benar-benar akan


diselamatkan dari sebuah kesesatan berfikir, mengasumsikan diri sebagai orang yang
paling benar dan yang lain salah. Anda juga akan diselamatkan dari fanatisme
bermadzhab, dan lebih cenderung menerima informasi dari sumber manapun. Karena
semuanya itu adalah ilmu Allah Swt. Sementara ilmu Allah itu tidak bisa dibatasi baik
oleh ayat-ayat Al-Qur’an, tidak pula dibatasi oleh Nabi Muhammad Saw dalam
hadisnya, dan tidak pula dibatasi oleh ijtihad para ulama’. Kita semua berhak
mendapatkan “apa itu kebenaran”

8
DAFTAR PUSTAKA

References

DR. H. Mahfud Junaedi, M. (2019). pengembangan paradigma keilmuan perspektif


epistemologi islam. jakarta.
saputri, a. m. (2020). al-munqidz min al-dhalal. 2023: 1-9.
www.khazanah.republika.co.id. (2017). Keistimewaan Al-Munqidz Min Al-Dhalal. jakarta
timur.
www.muhammadiyah.or.id. (2020). Pemikiran Filsafat Al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz
Min Al-Dhalal.
www.pecihitam.org. (2019). Kitab Al-Munqidz Min Al-Dhalal Otobiografi Imam Al-Ghazali.
malang.

Anda mungkin juga menyukai