Sebagai halnya dalam ilmu kalam, dalam filsafat Al-Ghazali juga menjumpai
argumen-argumen yang tidak kuat. Akhirnya, dalam tasawuf ia memperoleh apa yang
dicarinya. Setelah tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, ia meninggalkan
kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiyyah Baghdad di tahun 1095 M, dan pergi ke
Damaskus untuk bertapa disalah satu menara Masjid Umawi yang ada disana. Setelah
bertahun-tahun mengembara sebagai sufi, ia kembali ke Tus pada tahun 1105 M, dan
meninggal disana pada tahun 1111 M.
Tasawuf lah yang dapat menghilangkan rasa syak yang sejak lama mengganggu
dirinya. Dalam tasawuf ia memperoleh keyakinan yang dicarinya. Pengetahuan mistik, yaitu
cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya itulah yang membuat al-Ghazali
memperoleh keyakinannya kembali. Dengan demikian, satu-satunya pengetahuan yang
menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang
diperoleh secara langsung dari Tuhan. Sebagaimana dijelaskan diatas, al-Ghazali tidak
percaya pada filsafat, bahkan memandang filosof-filosof sebagai ahl al bida’, yaitu tersesat
dalam beberapa pendapat mereka. Di dalam tahafut al-falasifah, al-Ghazali menyalahkan
filosof-filosof dalam prndapat-pendapat berikut:
Pendapat bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tak dapat diterima dalam teologi
islam. Dalam teologi, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan pencipta adalah yang
menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau alam (dalam arti segala yang ada selai tuhan) dikatakan
tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan. Dengan demikian Tuhan bukan lah pencipta.
Dalam al-qur’an disebut bahwa Tuhan adalah pencipta segala-galanya. Menurut al-Ghazali,
tidak ada orang islam yang menganut faham bahwa alam ini tidak bermula.
Dalam ketiga hal tersebut di atas, kaum filosof, kata al-Ghazali, dengan terang-terangan
menentang nass atau teks al-qur’an. Jawaban dari pihak filosof-filosof terhadap serangan-
serangan al-Ghazali ini diberikan kemudian oleh Ibn Rusyd dalam bukunya Tahafut al-
Tahafut.
Golongan Manusia.
1
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012) hlm, 134-138
Tidak ada yang lebih bisa membuktikan anggapan ini dari pada hal-hal yang kita
analisa didalam topik ini karena Al Ghazali di dalam bukunya tahafut Al falasifah,
mengkritik teori kenabian al-farabi tersebut dengan suatu penekanan bahwa seseorang nabi
cara berhubungan dengan Allah secara langsung atau dengan perantara seorang Malaikat
Tanpa membutuhkan akal atau potensi imajinasi tertentu atau hipotesa apa pun yang
dihipotesakan oleh para filosof. kemudian di dalam bukunya Al Mulqidz min dholal
(penyelamat dari kesesatan), al-ghazali menarik diri kemudian menetapkan bahwa kenabian
adalah persoalan yang bisa diterima baik menurut agama maupun secara rasional. cukuplah
untuk menerima dari sisi akal bahwa kita harus menganalisa sesungguhnya kenabian adalah
fenomena psikologis yang kita alami pertama yaitu mimpi. Berikut adalah teks yang
dikatakan oleh Al Ghazali: Allah telah mendekatkan semua itu dengan cara memberi mereka
pola-pola sebagian kekhususan kenabian, yaitu mimpi. karena orang yang sedang tidur bisa
mempersepsi hal gaib yang akan terjadi, adakalanya secara jelas tetapi juga ada kalanya
dalam busana tamsil yang bisa disingkapkan melalui takbir.
Kami tidak perlu menunjukkan bahwa ungkapan ini secara gamblang syarat dengan
pemikiran pemikiran Al Farabi, dan dengan cara memalingkan pandangan dari kontradiksi
yang ada di dalam kitab Al Ghazali. Maka protes yang dikemukakannya terhadap teori al-
farabi tentang kenabian tidak keras dan tidak pasti. Oleh karena itu al-ghazali tidak ragu
untuk memeluknya di tempat lain sebagai upaya yang dilandaskannya pada emanasi dan
iluminasi. Boleh jadi ini adalah pandangan terakhir yang bisa diterima al-ghazali khususnya
karena bukti-bukti membenarkan bahwa al-munqidz disusun lebih akhir dari al-Tahafut. Al-
Munqidz juga memuat ringkasan dan kongklusi studi-studi terdahulu yang pernah dilakukan
oleh al-Ghazali.2
2
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969) hlm, 147-149