Anda di halaman 1dari 4

Kritik Terhadap Para Filosof

Al-Ghazali mempelajari filsafat kelihatannya untuk menyelidiki apakah pendapat-


pendapat yang dimajukan filosof-filosof itulah yang merupakan kebenaran. Bagi Al-Ghazali,
argumen-argumen yang mereka majukan tidak kuat. Menurut keyakinannya, ada yang
bertentangan dengan ajaran-ajaran islam. Akhirnya ia mengambil sifat menentang terhadap
filsafat. Diwaktu inilah ia mengarang bukunya yang bernama Maqasid Al-Falasifah
(pemikiran kaum filosof), yang diterjemahkan kedalam bahasa latin tahun 1145 M. Dalam
buku ini ia menjelaskan pemikiran-pemikiran filsafat, terutama menurut Ibnu Sina.
Sebagaimana dijelaskan sendiri oleh Al-Ghazali dalam pendahuluan. Buku itu dikarang untuk
kemudian mengkritik dan menghancurkan filsafat. Kritikan itu datang dalam bentuk buku
yaitu Tahafut Al-Falasifah (kekacuan pemikiran para filosof).

Sebagai halnya dalam ilmu kalam, dalam filsafat Al-Ghazali juga menjumpai
argumen-argumen yang tidak kuat. Akhirnya, dalam tasawuf ia memperoleh apa yang
dicarinya. Setelah tidak merasa puas dengan ilmu kalam dan filsafat, ia meninggalkan
kedudukannya yang tinggi di Madrasah Nizamiyyah Baghdad di tahun 1095 M, dan pergi ke
Damaskus untuk bertapa disalah satu menara Masjid Umawi yang ada disana. Setelah
bertahun-tahun mengembara sebagai sufi, ia kembali ke Tus pada tahun 1105 M, dan
meninggal disana pada tahun 1111 M.

Tasawuf lah yang dapat menghilangkan rasa syak yang sejak lama mengganggu
dirinya. Dalam tasawuf ia memperoleh keyakinan yang dicarinya. Pengetahuan mistik, yaitu
cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya itulah yang membuat al-Ghazali
memperoleh keyakinannya kembali. Dengan demikian, satu-satunya pengetahuan yang
menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang
diperoleh secara langsung dari Tuhan. Sebagaimana dijelaskan diatas, al-Ghazali tidak
percaya pada filsafat, bahkan memandang filosof-filosof sebagai ahl al bida’, yaitu tersesat
dalam beberapa pendapat mereka. Di dalam tahafut al-falasifah, al-Ghazali menyalahkan
filosof-filosof dalam prndapat-pendapat berikut:

1. Tuhan tidak mempunyai sifat


2. Tuhan tidak mempunyai substansi basit(sederhana) dan tidak mempunyai mahiyah
(hakikat).
3. Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (perincian).
4. Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fasl.
5. Planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan.
6. Jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iyyat.
7. Hukum alam tidak dapat dirubah.
8. Pembangkitan jasmani tidak ada.
9. Alam ini tidak bermula,
10. Alam ini kekal.

Tiga dari kesepuluh pendapat di atas, menurut al-Ghazali membawa kepada


kekufuran, yaitu sebagai berikut:

1. Alam kekal dalam arti tidak bermula.


2. Tuhan tidak mengetahui perincian dari segala yang terjadi di alam.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.

Pendapat bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tak dapat diterima dalam teologi
islam. Dalam teologi, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan pencipta adalah yang
menciptakan sesuatu dari tiada. Kalau alam (dalam arti segala yang ada selai tuhan) dikatakan
tidak bermula, maka alam bukanlah diciptakan. Dengan demikian Tuhan bukan lah pencipta.
Dalam al-qur’an disebut bahwa Tuhan adalah pencipta segala-galanya. Menurut al-Ghazali,
tidak ada orang islam yang menganut faham bahwa alam ini tidak bermula.

Dalam ketiga hal tersebut di atas, kaum filosof, kata al-Ghazali, dengan terang-terangan
menentang nass atau teks al-qur’an. Jawaban dari pihak filosof-filosof terhadap serangan-
serangan al-Ghazali ini diberikan kemudian oleh Ibn Rusyd dalam bukunya Tahafut al-
Tahafut.

Golongan Manusia.

Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yaitu sebagai berikut:

1. Kaum awam yang cara berfikirnya sederhana sekali.


2. Kaum pilihan yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
3. Kaum ahli debat
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakikat-
hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi
dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk (al-mauizhah). Kaum pilihan yang daya akalnya
kuat dan mendalam harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, sedang kaum
ahli debat dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al-mujadalah).
Sebagaimana filosof-filosof dan ulama-ulama lain, al-Ghazali dalam hal ini membagi
manusia ke dalam dua golongan besar, awam dan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama.
Oleh karena itu, apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat
diberikan kepada kaum awam. Dan sebaliknya, pengertian kaum awam dan kaum khawas
tentang hal yang sama tidak selamanya sama, tetapi acapkali berbeda, berbeda menurut daya
berfikir masing-masing. Kaum awam membaca apa yang tersurat dan kaum khawas
sebaliknya, membaca apa yang tersirat.1

Sikap Al Ghazali terhadap teori kenabian

Orang-orang Asy'ariyah berpendapat bahwa teori al-farabi tentang kenabian adalah


amat bertentangan dengan cara-cara wahyu yang diterima di dalam Al-kitab dan as-sunnah.
Al-Asy'ari adalah satu dari sekian orang yang hidup sejaman dengan al-farabi ia hidup di
dalam suasana Mihnah Kholq Al Quran (inquisi bahwa Alquran adalah makhluk) dan fitnah
atheisme yang jahat. al-asy'ari walaupun tumbuh sebagai seorang muktazilah tetapi akhirnya
ia cenderung kepada ahli sunnah. ia berhenti pada banyak nash dan berkeinginan kuat untuk
memeganginya. para pengikutnya yang datang kemudian berjalan di atas metodenya,
sebagaimana yang telah kami kemukakan. Al Ghazali adalah pembela terbesar bagi kaum
asy'ariyah secara umum, dan pertengahan akhir abad ke-5 Hijriyah. secara khusus, disamping
tidak melupakan teori kenabian kenabian al-farabi. Al-ghazali menyerang teori tersebut
sebagaimana Ia menyerang pandangan pandangan filosofis lain, tetapi di dalam serangannya
ini al-ghazali tidak bisa menolaknya secara memuaskan (atau ia tidak bisa) merusakkannya
secara tegas. Namun al-ghazali sendiri walaupun memusuhi teori kenabian al-farabi, tidak
bisa terlepas dari pengaruh nya bahwa ia mengatakan beberapa pendapat yang nyaris
mendekatinya. Karena perang pemikiran berbeda sekali dengan memusuhi pribadi. Sehingga
bisa saja melepaskan diri dari semua hal yang berkaitan dengan permusuhan material,
sementara sulit bagi anda suatu saat untuk melepaskan diri secara sempurna dari kekuasaan
pemikiran yang anda tentang. Hal itu dikarenakan teori dan pendapat, dengan segala nilai
kebenaran yang dikandung dimungkinkan mempengaruhi teman maupun musuh-musuh Anda
bahkan manusia yang paling sengit menyerangnya sekalipun.

1
Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012) hlm, 134-138
Tidak ada yang lebih bisa membuktikan anggapan ini dari pada hal-hal yang kita
analisa didalam topik ini karena Al Ghazali di dalam bukunya tahafut Al falasifah,
mengkritik teori kenabian al-farabi tersebut dengan suatu penekanan bahwa seseorang nabi
cara berhubungan dengan Allah secara langsung atau dengan perantara seorang Malaikat
Tanpa membutuhkan akal atau potensi imajinasi tertentu atau hipotesa apa pun yang
dihipotesakan oleh para filosof. kemudian di dalam bukunya Al Mulqidz min dholal
(penyelamat dari kesesatan), al-ghazali menarik diri kemudian menetapkan bahwa kenabian
adalah persoalan yang bisa diterima baik menurut agama maupun secara rasional. cukuplah
untuk menerima dari sisi akal bahwa kita harus menganalisa sesungguhnya kenabian adalah
fenomena psikologis yang kita alami pertama yaitu mimpi. Berikut adalah teks yang
dikatakan oleh Al Ghazali: Allah telah mendekatkan semua itu dengan cara memberi mereka
pola-pola sebagian kekhususan kenabian, yaitu mimpi. karena orang yang sedang tidur bisa
mempersepsi hal gaib yang akan terjadi, adakalanya secara jelas tetapi juga ada kalanya
dalam busana tamsil yang bisa disingkapkan melalui takbir.

Kami tidak perlu menunjukkan bahwa ungkapan ini secara gamblang syarat dengan
pemikiran pemikiran Al Farabi, dan dengan cara memalingkan pandangan dari kontradiksi
yang ada di dalam kitab Al Ghazali. Maka protes yang dikemukakannya terhadap teori al-
farabi tentang kenabian tidak keras dan tidak pasti. Oleh karena itu al-ghazali tidak ragu
untuk memeluknya di tempat lain sebagai upaya yang dilandaskannya pada emanasi dan
iluminasi. Boleh jadi ini adalah pandangan terakhir yang bisa diterima al-ghazali khususnya
karena bukti-bukti membenarkan bahwa al-munqidz disusun lebih akhir dari al-Tahafut. Al-
Munqidz juga memuat ringkasan dan kongklusi studi-studi terdahulu yang pernah dilakukan
oleh al-Ghazali.2

2
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969) hlm, 147-149

Anda mungkin juga menyukai