SH.I., MA. ABU HAMID AL-GHAZALI • Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al Thusi Al Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, sebuah daerah dekat Masyhad, di Khurasan (Iran). Al Ghazali wafat pada tahun 505 H/1111 M. Nama Al Ghazali diambil dari kata ‘Ghazalah’ nama sebuah kampung, dimana Al Ghazali dilahirkan. • Kota Thus adalah tempat Al Ghazali menerima pendidikan awalnya. Tidak lama sebelum meninggal, ayahnya mempercayakan pendidikan Al Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (1126 M) kepada seorang sufi yang saleh. Al Ghazali dididik untuk dapat mempelajari Al Quran dan Al Hadis, mendengarkan kisah tentang ahli hikmah, juga menghafal puisi cinta mistis. Setelah dana pendidikannya habis, ia dikirim ke sebuah madrasah, dimana disanalah ia pertama kali mulai mempelajari fikih dari Ahmad Al Raskani • Al Ghazali pergi ke Jurjan di Mazardaran untuk melanjutkan studinya dibidang fikih di bawah bimbingan Abu Nashr Al Isma’ili pada usianya yang masih dini, yakni sebelum lima belas tahun. Pada usia tujuh belas tahun, ia kembali ke Thus. Sebelum ulang tahunnya ke dua puluh, Al Ghazali berangkat ke Naisyapur (Naizabur) untuk belajar fikih dan kalam di bawah didikan Al Juwaini. Al Ghazali diangkat sebagai asisten pengajar Al Juwaini dan terus mengajar pada madrasah Nizamiyah di Nizabur hingga Al Juwaini meninggal tahun 478 H/1085 M • Al Ghazali mempunyai nama yang harum dalam Islam. Ia adalah seorang yang termahsur sebagai pengarang, sebagai sufi dan sebagai Shaykh Madrasah Al Nizamiah. Al Ghazali menyusun banyak buku untuk membersihkan ilmu-ilmu agama Islam dari kesesatan. Karena jasanya itu, ia dinobatkan sebagai seorang muslim terbesar sesudah Nabi Muhammad SAW. Dibalik nama harumnya dikalangan umat muslim, terdapat fakta lain, bahwa Al Ghazali juga di klaim sebagai penentang dan penghancur pemikiran filsafat, baik filsafat dalam Islam sendiri, maupun filsafat di dunia barat. • Pertama, Al Ghazali menulis buku berjudul Al Maqasid Al filasifah, kemudian ia melengkapinya dengan menulis buku keduanya yang berjudul Tahafutul Falasifa (ketidakberesan, kekaburan dari filsafat, yang lazimnya diterjemahkan dengan penghancuran filsafat). Kitab Tahafut terdiri dari 20 diskusi yang merupakan sistematisasi dari ajaran falsafah yang berbentuk semacam dialog tertulis diikuti bantahan-bantahan. Dari 20 dalil filsafat yang ditegurnya, hanya 4 yang disebutnya secara langsung sebagai kufurat dan subversif terhadap iman Iislam yang sejati yaitu dalil 1, 13, 18, 20. Isinya adalah sebagai berikut : • 1.Dalil falsafah yang menyatakan bahwa dunia (alam) berfisat azali dan sama abadinya dengan Tuhan, juga termasuk hasil emanasi, semuanya wajibmengandung kufurat. • 2.Dalil falsafah bahwa Tuhan tidak tahu hal-hal yang bersifat khusus (partikular), tetapi hanya mengetahui dunia (alam) dari aspek umum (universal), bertentangan dengan ajaran Al Quran : “Tiada yang luput bagi pengetahuan Ilahi” dan merupakan suatu kufurat. • 3.Dalil bahwa tidak semua jiwa manusia sesudah maut (kematiannya) masuk taraf hidup baru (Farabi, Razi) menyimpang dari konsep keimanan Islam, dengan kata lain masih dalam tataran kufurat. Bila mereka membuktikan dengan akal bahwa jiwa tidak bisa hancur, bukti mereka batal, karena hal tersebut hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu Tuhan. • 4.Penolakan kenikmatan badaniyah kelak dalam akhirat, dan penggantiannya dengan kebahagiaan rohani semata- mata, adalah argument yang melwan wahyu Al Qur’an. Yang dimaksud dengan penolakan tersebut juga merupakan dosa kufur. • Al Ghazali kembali mengkoreksi kepada faham yang lebih umum. Selanjutnya dia mengkritik sejumlah dalil-dalil lain bukan sebagai suatu kekufuran, melainkan sebagai suatu bid’ah dan tidak logis. Dalam diskusi enam, Al Ghozali melawan ajaran ta’til dari mutazilah dan falsafah yang meniadakan adanya sifat- sifat nyata pada Tuhan. Al Ghozali juga menulis dalam beberapa argumen lain dengan memperbincangkan bukti tentang keberadaan Tuhan, keesaan Tuhan, pengetahuan Tuhan, penciptaan dan persoalan mengenai jiwa manusia. • Al Ghazali mengkritik filsafat yang semata-mata mempergunakan akal dalam memahami persoalan ketuhanan. Menurutnya, hal tersebut seperti mempergunakan suatu alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Salah satu kritiknya berisi: “Apa yang mereka sebutkan itu adalah buatan mereka sendiri, bahkan pada hakikatnya merupakan kegelapan diatas kegelapan. Pernyataan mereka itu sama seperti ucapan orang yang sedang tidur dan bermimpi lalu mengeluarkan kata-kata yang dapat dikirakan berasal daripada orang-orang yang berubah akalnya”. Al Ghazali mengkhawatirkan pemikiran Al Farabi dan Ibnu Sina merusak keimanan umat Islam yang umumnya kurang kritis, terutama tentang permasalahan yang terkait dengan problem ketuhanan dan alam semesta. • Al Ghazali juga menentang pernyataan yang lahir dari filsafat Aristotelian bahwa alam adalah kekal. Menurutnya, alam berasal dari ketiadaan menjadi “ada” karena ciptaan Tuhan. Dunia berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata dan tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia/alam) dapat ditangkap oleh akal manusia, karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transenden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian. Abu Ya’la Al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd • Dikalangan filsafat barat, Ibnu Rusyd lebih dikenal dengan sebutan Averroes. Nama lengkapnya adalah Abu Ya’la Al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia lahir di Cordova, Andalusia. Kakeknya adalah seorang ahli fiqih dan ilmu hukum terkenal yang menjabat sebagai imam besar di Masjid Jami’ Cordova, kemudian diangkat menjadi qadi atau hakim agung. Setelah sepeninggalan akakeknya, jabatan hakim agung ini diteruskan oleh puteranya, ayah dari Ibnu Rusyd. • Ibnu Rusyd terlahir dari keluarga ahli fiqih dan hakim. Tidak mengherankan jika salah satu karyanya, Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtasid, menjadi salah satu karya terkemuka dalam bidang. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibnu Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat para imam fiqih. • Sebagai seorang pemikir besar muslim, ia mempunyai gagasan-gagasan filosofis mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Pemikirang Ibnu Rusyd ini, nantinya akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat, terutama di dunia barat, yang kemudian direinterpretasi oleh filsuf barat hingga melahirkan renaisans dan zaman modern. Berikut akan saya coba uraikan pemikiran Ibnu Rusyd mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. 1. Pengetahuan Tuhan • Pertanyaan Pertama : Apakah Tuhan mengetahui segala perincian juziyat? • Dalam usaha menjawab pertanyaan ini Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang telah disetujuinya. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui persoalah juziyat (hal-hal partikular). Tuhan ibarat seorang kepala negara yang tidak mengetahui persoalan-persoalan kecil didaerahnya. • Pendapat Aristoteles itu disetujuinya dengan didasarkan atas argumen sebagai berikut : • Yang menggerakkan itu yakni Tuhan Al Muharrik. Tuhan itu merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan itu mengetahui selain daripada zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan. • Sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juzilat/partikular), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan hal hal yang kurang sempurna daripadaNya. Ini adalah tidak wajar. Maka sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain dari zat-Nya sendiri. Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri. • Maksud pemikiran Ibnu Rusyd adalah, Tuhan itu hruslah berupa suatu akal yang tertinggi. Penciptaan haruslah berawal dari akal pertama, yang memerintahkan akal kedua untuk mencipta, dan seterusnya hingga akal kesepuluh. Yang dimaksud Tuhan hanya mengetahui secara universal dan tidak mengetahui masalah juziyat atau hal-hal partikular adalah, bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Tahu. Artinya, haruslah Ia sudah mengetahui segala perincian dari awal, ketika Ia menciptakan alam. Jadi kalau Tuhan mengetahui hal-hal partikular, maka Ia tidak layak disebut Tuhan, karena pengetahuan partikular adalah pengetahuan yang didapat dari proses ‘tidak tahu menjadi tahu’. Kalau Tuhan itu mengetahui secara partikular, berarti sebelumnya Tuhan ‘tidak mengetahui’ hal partikular tersebut, kemudian setelah hal-hal partikular terjadi, barulah Tuhan tahu. Jika akal Tuhan bergerak dari ‘tidak tahu menjadi tahu’, maka Ia tidak layak disebut Tuhan. Menurut Ibnu Rusyd, Tuhan haruslah sudah mengetahui segala bentuk perincian (yang partikular) dari awal penciptaannya secara universal • Ibnu Rusyd menyetujui argumen Aristoteles dan Ibnu Sina, tetapi Al Ghazali membantah keras argumen tersebut. Ibn Rusyd menentang Al Ghazali dan tetap membela argumen Aristoteles dan Ibn Sina. Dalam pembelaannya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat yang memungkiri pengetahuan terhadap juziyat itu disebabkan karena mereka tidak dapat memahami maksud dari para ahli filsafat. Maksud para ahli filsafat tersebut adalah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa. Sebagai penganut Aristoteles, ia mencari jalan dengan begitu saja meninggalkan pendapat Aristoteles disamping ia juga tetap tidak mau meninggalkan prinsip-prinsip agama. 2. Keazalian Alam • Perdebatan mengenai keazalian alam juga sangat menarik. Ibnu Rusyd berusaha mengemukakan argumennya yang menyikapi pertanyaan tentang ; Apakah alam ini mempunyai permulaan atau tidak? • Menurud Ibnu Rusyd alam ini adalah azali, tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam itu sendiri. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazalian alam. Menurutnya, keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian alam. • Untuk memperkuat argumennya, ia menyatakan pembelaannya sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya, maka alam ini menjadi hadits (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikan alam, haruslah ada yang menjadikan pula. Demikian berturut-turut tak ada habisnya. Keadaan berantai seperti itu (tasalsul) dengan tiada berkeputusan akan merupakan hal yang tidak dapat diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadis (baru). • Karena diantara Tuhan dengan alam ada hubungan, meskipun tidak sampai pada masalah perincian walhal Tuhan azali, dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan sama, terkecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali, meskipun keazaliannya kurang utama daripada keazalian Tuhan. SEKIAN TERIMAKASIH