Anda di halaman 1dari 7

Nama : Erlangga nur Al Farizi karyadhara

NIM : 1192020073
Kelas : PAI 5B
Mata kuliah : Filsafat Islam

Materi 12 “pemikiran filsafat Ibnu Rusyd”


Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibnu Ahmad bin Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Rusyd atau Abu Al-Walid atau Averroes lahir di Cordova, 1126M (520 H) Ia berasal dari
keluarga ilmuan. Ayahnya dan kakeknya adalah para pencinta ilmu dan merupakan ulama yang
sangat disegani di Spanyol. Ayahnya adalah Ahmad Ibnu Muhammad (487-563 H) adalah
seorang fqih (ahli hokum islam) dan pernah menjadi hakim di Cordova. Sementara
kakeknya, Muhammad Ibn Ahmad (wafat 520 H-1126 M) adalah ahli fiqh madzhab Maliki dan
imam mesjid Cordova serta pernah menjabat sebagai hakim agung di Spanyol. Sebagaimana
ayah dan kakeknya Ibnu Rusyd juga pernah menjadi hakim agung di Spanyol.
Pendidikan awalnya dimulai dari belajar Al-Qur’an di rumahnya sendiri dengan ayahnya.
Selanjutnya ia belajar dasar-dasar ilmu keislaman seperti Fiqh, Ushul Fiqh, Hadits, Ilmu Kalam,
bahasa Arab dan Sastra. Dalam ilmu fiqih ia belajar dan menguasai kitab Al-
Muwaththa’ karya Imam Malik.
Selain kepada ayahnya sendiri, ia juga belajar kepada Abu Muhammad Ibn Rizq dalam disi[plin
ilmu perbandingan hukum islam (fiqh ikhtilaf) dan kepada Ibn Basykual dibidang hadits. Dalam
bidang ilmu kedokteran dan filsafat ia belajar kepada Abu Ja’far Harun al-Tardjalli (berasal dari
Trujillo). Selain itu gurunya yang berjasa dalam bidang kedokteran adalah Ibn Zhuhr.
Pada tahun 548 H/1153 M, Ibnu Rusyd pergi ke Marakesh (Marakusy) Maroko atas
permintaan Ibnu Thufail (w. 581 H/1185 M), yang kemudian memperkenalakannya dengan
khalifah Abu Ya’qub Yusuf. Dalam pertemuan pertama anatara Ibn Rusyd dengan Khalifah terjadi
proses Tanya jawab diantara keduanya tentang asal-usul dan latar belakang Ibnu Rusyd, selain itu
mereka juga membahas tentang berbagai persoalan filsafat. Ibnu Rusyd menyangka bahwa
petanyaan ini merupakan jebakan khalifah, karna persoalan ini sangat kurasial dan sensitif ketika
itu.
Ternyata dugaan itu meleset. Khalifah yang pencinta Ilmu ini malah berdiskusi dengan ibnu
thufail tentang masalah-masalah di atas. Khalifah Abu ya’kub dengan fasih dan lancar
menjelasan persoalan-persoalan itu dan mengutif pendapat-pendapat seperti plato dan aristoteles.
Khalifah dan ibnu thufail, sama-sama terlibat dalam diskusi yang berat. Terlihat bahwa khalifah
yang memang pencinta ilmu pengetahuan ini sangat menguasai persoalan ilmu filsafat pendapat-
pendapat mutakallimin atau teolog Plato dan Aristiteles. Ibnu Rusyd kagum pada pengetahuan
khalifah tentang filsafat. Karenanya ia pun berani menyatakan pendapatnya sendiri. Pertemuan
pertama ini ternyata membawa berkah bagi ibnu Rusyd. Ia diperintahkan oleh khalifah untuk
menterjemahkan karya-karya aristoteles menafsirkannya. Pertemuan itu pun mengantarkan Ibnu
Rusyd untuk menjadi qodhi di sevile setelah dua tahun mengabdi ia pun diangkat menjadi hakim
agung di kordoba, selain tu pada tahun 1182 ia kembali
keistana muwahidun di marakhes menjadi dokter pribadi khalifah pengganti ibnu thufail.
Pada tahun 1184 khalifah Abu Yakub Yusuf meninggal dunia dan digantikan oleh putranya Abu
Yusuf Ibnu Ya’kub Al-Mansur. Pada awal pemerintahannya khalifah ini menghormati Ibnu
Rusyd sebagaimana perlakuan ayahnya, namun pada 1195 mulai terjadi kasak-kusuk dikalangan
tokoh agama, mereka mulai menyerang para filsafat dan filosof. Inilah awal kehidupan pahit
bagi Ibnu Rusyd. Ia harus berhadapan oleh pemuka agama yang memiliki pandangan sempit dan
punya kepentingan serta ambisi-ambisi tertentu. Dengan segala cara mereka pun memfitnah Ibnu
Rusyd. Akhirnya Ibnu Rusyd diusir dari istana dan dipecat dari semua jabatnnya. Pada tahun
1195 ia diasingkan ke Lausanne, sebuah perkampungan yahudi yang terletak sekitar 50 km di
sebela selatan cordova. Buku-bukunya dibakar di depan umum, kecuali yang berkaitan dengan
bidang kedokteran, matematika serta astronomi yang tidak dibakar. Selain Ibn Rusyd, terdapat
juga beberapa tokoh fukaha’ dan sastrawan lainnya yang mengalami nasib yang sama, yakni Abu
‘Abd Allah ibn Ibrahim (hakim di afrika), Abu Ja’far al-Dzahabi, Abu Rabi’ al-Khalif dan Nafish
Abu al-‘Abbas.
Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan dan situasi kembali normal, khalifah menunjukkan
sikap dan kecenderungannya yang asli. Ia kembali memihak kepada pemikiran kreatif Ibn Rusyd,
sutau sikap yamg sebenarnya ia warisi dari ayahnya. Khalifah al- Mansyur merehabilitasi Ibn
Rusyd an memanggilna kembali ke istana. Ibn Rusyd kembali mendapat perlakuan hormat. Tidak
lama setelah itu, pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1197 Ibn Rusyd meninngal dunia di kota
Marakesh. Beberapa tahun setelah ia wafat, jenazahnya dipindahkan ke kampung halamannya,
Cordova.

2.2. Pemikiran Ibnu Rusyd

2.2.1. Agama dan Filsafat

Masalah agama dan falsafah atau wahyu dan akal adalah bukan hal yang baru dalam pemikiran
islam, hasil pemikiran pemikiran islam tentang hal ini tidak diterima begitu saja oleh sebagian
sarjana dan ulama islam. Telah tersebut diatas tentang reaksi Al-Ghazali terhadap pemikiran
mereka seraya menyatakan jenis-jenis kekeliruan yang diantaranya dapat digolongkan sebagai
pemikiran sesat dan kufur.

Terhadap reaksi dan sanggahan tersebut Ibnu Rusyd tampil membela keabsahan pemikiran
mereka serta membenarkan kesesuain ajaran agama dengan pemikiran falsafah. Ia menjawab
semua keberatan imam Ghazali dengan argumen-argumen yang tidak kalah dari al-Ghazali
sebelumya.

Menurut Ibnu Rusyd, Syara’ tidak bertentangan bertentangan dengan filsafat, karena fisafat itu
pada hakikatnya tidak lebih dari bernalar tentang alam empiris ini sebagai dalil adanya pencipta.
Dalam hal ini syara’pun telah mewajibkan orang untuk mempergunakan akalnya, seperti yang
jelas dalam firman Allah : “Apakah mereka tidak memikirkan (bernalar)tentang kerajaan langit
dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (Al-Araf: 185) dan firman Allah suiarah
Al-Hasyr: 2 yang artinya: “Hendaklah kamu mengambil Itibar (ibarat) wahai orang-orang yang
berakal”. Bernalar dan ber’itibar hanya dapat dimungkinkan dengan menggunakan Qias akali,
karena yang dimaksud dengan I’tibar itui tiadak lain dari mengambil sesuatu yang belum
diktahui dari apa yang belum diketahui.
Qyas akali merupakan suatu keperluan yang tidak dapat dielakkan. Setiap pemikir wajib
mempelajari kaidah-kaidah kias dn dalil serta mempelajari ilmu logika dan falsafah. Bernalar
dengan kaidah yang benar akan membawa kepada kebenaran yang diajarkan agama, karena
kebenaran tidak saling bertentangan, tapi saling sesuai dan menunjang.

Seperangkat ajaran yang disebut dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sesuatu yang pada
lahirnya berbeda dengan filsafat, sehingga difahami bahwa filsafat itu bertentangan dengan
agama. Dalam hal ini Ibnu Rusyd menjawab dengan konsep takwil yang lazim digunakan dalam
masalah-masalah seperti ini.

Dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang harus difahami menurut lahirnya, tidak boleh dita’wilkan
dan ada juga yang harus dita’wilakan dari pengertian lahiriah.

Adapun jika keterangan lahiriahnya sesuai dengan keterangan filsafat, ia wajib diterima menurut
adanya. Dan jika tidak, ia harus dita’wilkan. Namun ta’wil itu sendiri tidak sembarang orang
dapat melakukannya atau disampaikan kepada siapa saja. Yang dapat melakukan ta’wil itu
adalah para filosof atau sebagian mereka, yakni orang-orang yang telah mantap dalam
memahami ilmu pengetahuan. Adapun penyampaian ta’wil itu dibatasi pada orang-orang yang
sudah yakin, tidak kepada selain mereka yang ampang menjadi kufur.

Agama islam kata Ibn Rusyd tidak mengandung dalam ajarannya hal-hal yang bersifat rahasia,
seperti ajaran trinitas dalam agama Kristen. Semua ajarannya dapat dipahami akal karena akal
dapat mengetahui segala yang ada. Dari itu, iman dan pengetahuan akali merupakan kesatuan
yang tidak bertentangan, karena kebenaran itu, pada hakikatnya adalah satu.

Akan tetapi, dalam agama ada ajaran tentang hal-hal yang ghaib seperti malikat, kebangkitan
jasad, sifat-sifat surga dan neraka dan lain-lain sebagainya yang tidak dapat diapahami akal,
maka hal-hal yang seperti itu kata Ibn Rusyd merupakan lambing atau simbolm bagi hakikat
akali. Dalam hal ini, ia menyetujui pendapat imam al-Ghazali yang mengatakan, wajib kembali
kepada petunjuk-petunjuk agama dalam hal-hal yang tidak mampu akal memahaminya.

2.2.2. Metafisika
2.2.2.1. Dalil wujud Allah

Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah dkemukakan oleh
beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh
Syara’, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd mengemukakan tiga dalil yang
dipandangnya sesuai dengan al-Qur’an dalam berbagai ayatnya, dank arena itu, Ibnu Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi
orang –orang khusus yang terpelajar.

2.2.2.2. Dalil ‘inayah (pemeliharan)


Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi. Artinya segala yang
ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama segala yang ada ini sesuai dengan
wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah terjadi secara kebetulan, tetapi memang
sengaj diciptakan demikian oleh sang pencipta bijaksana.

2.2.2.3. Dalil Ikhtira’ (penciptaan)

Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan pada kehidupan
benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Menurut Ibn Rusyd,
kita mengamati benda mati lalu terjadi kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang
menciptakannya. Demikian juga berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya
kepada ketentuannya. Karena itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya,
maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan
hakiki pada semua realitas ini.

2.2.2.4. Dalil Gerak.

Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil yang meyakinkan
tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles sebelumnya. Dalil ini menjelaskan
bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan, tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis
gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad
dzatnya dengan sebab penggerak pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya
maupun pada sifatnya.

Akan tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa
gerak itu qadim.

2.2.2.5. Sifat-sifat Allah.

Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan alam gaib dan
alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd mengatakan, orang harus
menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan pengkudusan). Berpijak pada dasar
keharusan pembedaan Allah dengan manusia, maka tidak logis memperbandingkan dua jenis
ilmu itu.

2.2.3. Fisika
2.2.3.1. Materi dan forma
Seperti dalam halnya metafisika, ibnu rusyd juga di pengaruhi oleh Aristoteles dalam fisika.
Dalam teori Aristoteles, ilmu fisika membahas yang ada (maujud) yang mengalami perubahan
seperti gerak dan diam. Dari dasarnya itu, ilmu fisika adalah materi dan forma.

2.2.3.2. Sifat-sifat jisim.

Adapun sifat-sifat jisim ada empat macam, yaitu: Gerak, Diam, Zaman, Ruang

2.2.3.3. Bangunan alam.

Para filosof klasik mengatakan, bahwa bentuk bundar adalah yang paling sempurna, sehingga
gerak melingkar merupakan gerak yang paling Afdol. Gerak inilah yang kekal lagi azali. Dengan
sebab gerak ini, maka jisim-jisim samawi memiliki bentuk bundar. Karena jisim-jisim ini
bergerak melingkar, maka alam semesta ini merupakan sesuatu planit yang bergerak
melingkar.Dan planit ini hanya satu saja, sehingga tidak ada kekosongan. Demikianlah alam
falak itu saling mengisi.

Jadi alam ini terdiri dari jisim-jisim samawi yang tunggal dan benda-benda bumi yang terdiri dari
percampuran emoat anasir melalui falak-falak. Dari percampuran ini timbulah benda-benda
padat, tumbuhan hewan, dan akhirnya manusia.

2.2.4. Manusia
Dalam masalah manusia, Ibn Rusyd juga dipengaruhi oleh teori Aristoteles. Sebagi bagian dari
alam, manusia terdiri dari dua unsure materi dan forma.. jasad adalah materi dan jiwa adalah
forma. Seperti halnya Aristoteles, Ibnu Rusyd membuat definisi jiwa sebagai “kesempurnaan
awal bagi jisim alami yang organis.” Jiwa disebut sebagai kesempurnaan awal untuk
membedakan dengan kesempurnaan lain yangmerupakan pelengkap darinya, seperti yang
terdapat pada berbagai perbuatan. Sedangkan disebut organis untuk menunjukan kepada jisim
yang terdiri dari anggota-anggota.

2.2.5. Kenabian dan Mu’jizat


Allah menyampaikan wahyu kepada umat manusia melalui rasulnya. Dan sebagai bukti bahwa
orang itu Rasul Allah, ia harus membawa tanda yang berasal darinya, dan tanda ini disebut
mukjizat. Pada seorang rasul, mukzizat itu meliputi dua hal yang berhubungan dengan ilmu dan
yang berhubungan dengan amal. Dalam hal yang pertama, rasul itu memberitahukan jenis-jenis
ilmu dan berbagai amal perbuatan yang tidak lazim diketahui oleh manusia. Suatu hal yang
diluar kebiasaan pengetahuan manusia, sehingga ia tidak dapat mengetahuinya adalah bukti
bahwa orang yang membawanya adalah rasul yang menerima wahyu dari Allah, bukan dari
dirinya.
Ringkasnya Ibnu Rusyd membedakan dua jenis mukjizat: mukjizat ekstern yang tidak sejalan
dengan sifat dan tugas kerasulan, seperti menyembuhkan penyakit, membelah bulan dan
sebagainya. Dan mukjizat intern yang sejalan dangan sifat dan tugas kerasulan yang membawa
syariat untuk kebahagiaan umat manuisia. Mukjizat yangpertama yang berfungsi sebagai penguat
sebagai kerasulan. Sedangkan yang kedua sebagai bukti yang kuat tentang kerasulan yang hakiki
dan merupakan jalan keimanan bagi para ulama dan orang awamsesuai dengan kesanggupan akal
masing-masing.

2.2.6. Politik dan Akhlak


Seperti yang telah disebut oleh plato, Ibnu Rusyd mengatkan, sebagai makhluk social, manusia
perlu kepada pemerintah yang didasarkan kepada kerakyatan. Sedangkan kepala pemerintah
dipegang oleh orang yang telah menghabiskan sebagian umurnya dalam dunia filsafat, dimana ia
telah mencapai tingkat tinggi . pemerintahan islam pada awalnya menurut Ibnu rusyd adalah
sangat sesuai dengan teorinya tentang revublik utama, sehingga ia mengecam khalifah
muawwiyah yang mengalihkan pemerintahan menjadi otoriter.

Dalam pelaksanaan kekuasaan hendaknya selalu berpijak pada keadilan yang merupakan
sendinya yang esensial. Hal ini karena adil itu adalah produk ma;rifat, sedangkan kezaliman
adalah produk kejahilan.

2.3. Karya-karya Ibn Rusyd

Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam filsafat Aristoteles.
Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingnnya, karena menurut riwayat, sejak kecil
sampai tuanya ia tak pernah membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya
meninggal dan dalam perkawinan dirinya.

Karangannya meliputi berbagai-bagai ilmu, seperti fiqih, usul, bahasa, kedokteran, astronom
politik, akhlak dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-
bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan atau ringkasan. Karma sangat
tinggi penghargaannya terhadap aristoteles, maka tidak mengherankan jik ia memberi
perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku
yang lain yang diulasnya adalah buku Karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus,
Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan Ibnu Bajjah.

Karya-karya aslinya dari Ibnu Rusyd yang penting, yaitu:

1. Tahafut al-Tahafut (The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau).
Sebuah buku yang sampai ke Eropa, dengan rupa yang lebih terang, daripada buku-
bukunya yang pernah dibaca oleh orang Eropa sebelumnya. Dalam buku ini kelihatan jelas
pribadinya, sebagai seorang muslim yang saleh dan taat pada agamanya. Buku ini lebih
terkenal dalam kalangan filsafat dan ilmu kalam untuk membela filsafat dari serangan al-
ghazali dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
2. Kulliyat fit Thib (aturan Umum Kedokteran), terdiri atas 16 jilid.
3. Mabadiul Falasifah, Pengantar Ilmu Filsafat. Buku ini terdiri dari 12 bab.
4. Tafsir Urjuza, Kitab Ilmu Pengobatan.
5. Taslul, Tentang Ilmu kalam.
6. Kasful Adillah, Sebuah buku Scholastik, buku filsafat dan agama.
7. Muwafaqatil hikmatiwal Syari’ah, persamaan filafat degan agama.
8. Bidayatul Mujtahid, perbandingan mazhab dalam fiqh dengan menyeutkan alasan-
alasannya masing-masing.
9. Risalah al-kharaj (tentang perpajakan)
10. Al-da’awi, dll.
DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Ahamd. 2004. Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia


Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama

Anda mungkin juga menyukai