Anda di halaman 1dari 4

AL-GHAZALI DAN PEMIKIRAN FILSAFAT

1. Al-Ghazali adalah seorang filosof, teolog, dan sufi besar Islam yang mendalami filsafat,
kalam, dan fiqih. Ia dikenal sebagai pembela kebenaran Islam sehingga diberi gelar hujjah al-
Islam. Ia juga merupakan ulama terkemuka sepanjang zaman yang amat berpengaruh di dunia
Islam. Kontribusi pemikirannya sangat besar bagi perkembangan keilmuan dalam Islam.
Al-Ghazali dalam perjalanan kehidupannya selalu ingin menelusuri hakikat kebenaran
(haqiqah al-umur) dan kebenaran sejati (al-ilm al-yaqin). Sehingga ia pernah mengalami
semacam “gejolak kejiwaan”. Dalam pencariannya itu al- Ghazali mempelajari, mengkaji dan
menverifikasi segenap ilmu pengetahuan yang ada pada saat itu, seperti ilmu kalam (teologi),
fikih, filsafat, dan tasawuf, berikut cabang-cabangnya. Pengalaman eksistensial al-Ghazali
dalam mencari dan menyusuri kebenaran terekam jelas di dalam kitabnya al-Munqidh min al-
Dhalal (pembebas dari kesesatan).

2. Riwayat Hidupnya
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, lahir tahun 450
H/1059 M dan wafat tahun 505 H/1111 M.
Guru utamanya adalah Al-Juwaini Imam al-Haramain.
Hidupnya berpindah-pindah dari Thus, Baghdad, Damaskus, Yerussalem, Hijaz.
Pernah menjadi dosen di Universitas Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H.
Al-Ghazali adalah pengikut madzhab Syafi’i dalam hukum fikih dan bermadzhab Asy’ariyah
dalam Teologi.

3. Karya-karyanya

Al-Ghazali tergolong ulama dan pemikir Islam yang sangat produktif dalam menuliskan buah
pemikirannya. Karya Al-Ghazali diperkirakan mencapai 300 buah, di antaranya adalah:
a. Maqashid al-Falsafah (Tujuan-tujuan Para Filsuf);
b. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf;
c. Mi’yar al-‘Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu);
d. Ihya’ ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama;
e. Al-Munqids min al-Dhalal (Penyelamat Dari Kesesatan);
f. Al-Ma’arif al-‘Aqliah (Pengetahuan Yang Rasional);
g. Misykat al-Anwar (Lampu Yang Bersinar Banyak);
h. Minhaj al-‘Abidin (Jalan Mengabdikan Diri Kepada Tuhan);
i. Al-Iqtishad fi al-‘Itiqad (Moderasi Dalam Akidah);
j. Ayyuha al-Walad;
k. Al-Mustashfa;
l. Iljam al-‘Awwam ‘an ‘Ilm al-Kalam;
m.Mizan al-‘Amal;
n. Mahak al-Nazhar

4. Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat dan Para Filosof


Dalam al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali memberikan klasifikasi filosof sekaligus
memberikan penilaian (vonis kekafiran) kepada mereka :
Pertama, pengikut ateisme (al-Dahriyyun); kelompok ini merupkan golongan filosof yang
mengingkari Tuhan yang mengatur alam ini dan menentang keberadaan-Nya. Mereka
mempunyai dugaan kuat bahwa alam telah ada dengan sendirinya tanpa campur tangan
Tuhan. Kedua, pengikut faham naturalisme (al-Thabi’iyyun); mereka merupakan golongan
filosof yang setelah sekian lama meneliti keajaiban hewan dan tumbuh-tumbuhan (alam atau
thabi’ah) dan menyaksikan tanta-tanda kekuasaan Tuhan, akhirnya mereka mengakui
keberadaan-Nya. Namun mereka berkeyakinan orang yang telah tiada ruhnya tidak akan
kembali. Selain itu mereka juga menentang adanya akhirat, surga, neraka, hari kiamat dan
hisab. Ketiga, penganut filsafat ketuhanan (al-Ilahiyyun); mereka adalah golongan filosof
yang percaya kepada Tuhan, mereka para filosof Yunani seperti Socrates, Plato dan
Aristoteles, serta orang-orang yang mengekor pada pemikiran mereka. Kelompok ilahiyyun
ini pada garis besarnya membantah dua kelompok pertama yaitu dahriyyun dan thabi’iyyun.
Melalui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali
melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga masalah di antaranya,
menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran: yaitu, qidamnya alam, Tuhan tidak
mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan tidak adanya pembangkitan jasmani.
Perincian 20 persoalan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Alam qadim (tidal bermula),
b. Keabadian (abadiah) alam, masa dan gerak,
c. Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya;
uangkapan ini bersifat metaforis,
d. Demonnstrasi/ pembuktian eksistensi Penciptaan alam,
e. Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al
wujud,
f. Penolakan akan sifat-sifat Tuhan,
g. Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan,
h. Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi
i. Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism),
j. Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak   dapat   berubah),
k. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara
universal,
l. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri,
m. Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum,
n. Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya,
o. Tujuan yang menggerakkan,
p. Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula,
q. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa,
r. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati
ruang, tidak ter pateri pada tubuh dan bukan tubuh,
s. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya
mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.
t. Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.

5. Pemikirannya

a. Filsafat
Dalam buku Maqashid Al-Falsafah, al-Ghazali mengemukakan kaidah filsafat untuk
menguraikan persoalan yang berkaitan dengan logika, teologi, dan metafisika. Pada
prinsipnya, Al-Ghazali tidaklah bertujuan menghancurkan filsafat dalam pengertian yang
sebenarnya serbagaimana yang tersebut dalam bukunya Tahafut Falsafah. Bahkan, beliau
adalah seorang yang mendalaminya dan berfilsafat. Dari konteks tersebut, terlihat bahwa
Al-Ghazali sama sekali tidaklah bertujuan menyerang filsafat dengan pemikiran filsafat,
tetapi tujuannya hanyalah menjelaskan kesalahan pendapat para filsuf, dan dalam
bentuknya ditujukan kepada Al-Farabi dan Ibn Sina.
Dalam bidang metafisika, menurut al-Ghazali, Tuhan adalah kehendak tertinggi dan
obyek cinta tertinggi, ideal bagi diri manusia, dipahami sebagai realitas akhir yang benar-
benar mandiri. Tuhan ada dengan sendirinya dan bebas dari segala sifat antropomorfistik.
Tuhan sadar dan memiliki kesadaran dengan sendirinya, dan kesadaran-Nya meliputi
pengetahuan terperinci tentang segala sesuatu yang menjadi dan terjadi. Tuhan bukanlah
sebuah substansi, juga tidak ada substansi-substansi dalam diri Tuhan. Dia adalah satu-
satunya sebab sejati.
Hubungan antara Tuhan dengan alam semesta dipahami Al-Ghazali sebagai hubungan
identitas sejati tetapi dengan perbedaan nyata. Dunia materi berasal dari Tuhan seperti
mengalirnya sungai. Penciptaan disertai obyek dan tujuan yang pasti. Maksud yang
mendasarinya adalah pengetahuan Tuhan dan cinta Tuhan. Karenanya Al-Ghazali
meyakini kausalitas imanen. Dalam eksistensi fenomena, cara atau sebab sangat
diperlukan, tetapi akhirnya hanya Tuhan-lah satu-satunya sebab sejati bagi segala akibat.
Selain Tuhan, sama sekali tak ada satupun wujud yang memiliki perbuatan. Dunia dan
segala peristiwa di dunia dipandang sebagai mukjizat abadi. Semua obyek di dunia bukan
saja telah diciptakan oleh Tuhan, tetapi dari waktu ke waktu selama obyek-obyek itu ada,
semuanya diciptakan atau dipertahankan eksistensinya melalui perbuatan Tuhan secara
langsung. Maka Tuhan menciptakan segalanya dalam suatu rangkaian tanpa akhir dengan
cepat, dan Dia menciptakan setiap kondisi dan situasi baru yang dibutuhkan oleh
perubahan-perubahan di dunia ini. Andaikan Tuhan menghentikan aktivitas-Nya
mencipta, dunia serentak akan lenyap eksistensinya.

b. Tasawuf
Dalam pandangan Al-Ghazali, ilmu tasawuf mengandung dua bagian penting, Pertama
mengandung bahasan hal-hal yang menyangkut ilmu mu’amalah dan bagian Kedua
mengandung bahasan hal-hal yang menyangkut ilmu mukasyafah. Ilmu tasawuf yang
mengandung dua bagian ilmu ini secara jelas diuraikan dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin.
Menurut Al-Ghazali perjalanan tasawuf itu pada hakikatnya adalah pembersihan diri dan
pembeningan hati terus menerus hingga mampu mencapai musyahadah. Oleh karena
itulah, maka Al-Ghazali menekankan betapa pentingnya pelatihan jiwa, penempaan moral
atau akhlak yang terpuji baik disisi manusia maupun disisi Tuhan. Hati (qalbu)
menurutnya ibarat cermin yang mampu menangkap ma’rifat keTuhanan. Kemampuan
hati tersebut tergantung pada bersihnya dan beningnya hati itu sendiri. Apabila ia dalam
keadaan kotor atau penuh debu dosa maka ia tidak akan bisa menangkap ma’rifat itu.
Metode pencapaian yang digunakan adalah metode kasyf . Dengan kasyf yaitu terbukanya
dinding yang memisahkan antara hati dengan Tuhan karena begitu bersih dan beningnya
hati tersebut, maka terjadilah musyahadah yang hakiki. Ibarat seorang, bukan hanya
mendengar cerita tentang sebuah rumah, tetapi ia sudah berada dalam rumah itu
menyaksikan dan merasakannya.
Di bidang tasawuf, Al-Ghazali dianggap sebagai penengah dalam mengartikulasikan
konsep tasawuf dan syari’at. Sebab, kalangan muslim sendiri masih terjadi pertentangan
antara kajian yang dilakukan oleh para sufi dan ulama fikih. Kajian mengenai ilmu bathin
sebenarnya pernah dialami AlGhazali dan diungkapkan melalui ritual ibadah yang
dilakukannya.

c. Kalam
Sebagai salah satu tokoh Al-Asy’ariyah pada generasi kelima, Al-Ghazali berpendapat
bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Daya untuk berbuat yang
terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
Bahwa alam qadim yang dikemukakan oleh para filosof merupakan salah satu masalah
yang sangat ditentang oleh Al-Ghazali, bahkan beliau mengkafirkan para filosof karena
menganggap alam qadim. Menurut Al-Ghazali, kalau alam qadim berarti tidak ada arti
Tuhan mencipta karena Tuhan dan alam semesta sama qadim. Lagi pula, kalau alam
hanya dipahami lewat sebab akibat, Tuhan sebagai pencipta tidak dapat dibuktikan. Teori
emanasi, demikian Al-Ghazali memberi kesan bahwa alam terus berproses tanpa henti-
hentinya. Hal ini akan mengakibatkan bahwa materi itu sudah ada sejak qadim. Padahal,
menurut AlGhazali, alam diciptakan Tuhan dari tidak ada pada waktu yang lalu secara
terbatas, baik dalam bentuk maupun materi.
Al-Ghazali juga berpendapat bahwa akal tidak dapat membawa kewajiban-kewajiban
bagi manusia, kewajiban-kewajiban bagi manusia ditentukan oleh wahyu. Demikian juga
halnya dengan masalah mana yang baik dan mana yang buruk menurut Al-Ghazali akal
tidak dapat mengetahuinya. Selanjutnya dikatakan bahwa suatu perbuatan baik kalau
perbuatan itu sesuai dengan maksud pembuat, dan disebut buruk kalau tidak sesuai
dengan tujuan pembuat. Yang dimaksud tujuan di sini adalah akhirat yang hanya
diketahui dengan wahyu. Oleh karena itu, perbuatan baik dan buruk hanya diketahui
melalui wahyu.

d. Moral / Akhlak
Menurut Al-Ghazali, akhlak adalah suatu sikap (hay ’ah) yang mengakar dalam jiwa yang
darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran
dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik
dari segi akal dan syara’, maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika yang lahir darinya
perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.
Al-Ghazali berpendapat, bahwa pendidikan moral yang utama adalah dengan cara
berperilaku baik. Artinya, membawa manusia pada tindakan-tindakan yang baik. Al-
Ghazali menetapkan bahwa mencari moral dengan perantaraan bertingkah laku moral
merupakan korelasi yang kuat antara kalbu dengan anggota tubuh. Untuk itu al-Ghazali
menyusun argumentasi sebagai berikut: “Setiap sifat yang nampak pada kalbu akan
memancarkan pengaruhnya ke dalam semua anggota tubuh. Sehingga anggota tubuh tidak
bisa bergerak kecuali harus sesuai dengan pengaruh tersebut. Dan setiap aksi harus
berjalan pada anggota tubuh yang dari padanya suatu pengaruh naik ke kalbu“.
Mengenai tujuan pokok moral/akhlak , dapat ditemukan pada semboyan tasawufnya yang
terkenal, al-takhalluq bi akhlaqillahi ‘ala thariqati al-basyariyah, atau pada
semboyannya yang lain, al-intishafu bishifatirrahman ‘ala thariqati al-basyariyah.
Maksud semboyan itu ialah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai
dan sifat-sifat keTuhanan.

6. Refleksi : Melalui buku Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Pemikiran Para Filsuf), Al-Ghazali
melancarkan kritik keras terhadap para filsuf dalam 20 masalah. Tiga masalah di antaranya,
menurut Al-Ghazali, dapat menyebabkan kekafiran. Berdasarkan buku tersebut, maka ada
yang berpandangan bahwa kemunduran pemikiran dalam Islam disebabkan oleh kritik Al-
Ghazali terhadap pemikiran para filosof. Jelaskan pandangan Saudara.

Anda mungkin juga menyukai