Anda di halaman 1dari 4

Pembuktian Adanya Tuhan Oleh Para Filsuf Barat Klasik dan Imam al-Ghazali

Terkadang seseorang merasa tertarik untuk bertanya hal-hal yag sifatnya abstrak
dan transendental, semisal apakah hakikat alam semesta ini?, Siapakah manusia itu?,
bahkan pertanyaan dimanakah tuhan berada?. Hal ini tergolong wajar, karena manusia
adalah hewan yang berpikir, sehingga dia akan memikirkan segala entitas yang ada dalam
rangka mencari pengetahuan. Sementara manusia yang sudah beranjak dewasa, pada
biasanya akan memikirkan kembali hal-hal yang menurut anggapannya benar dengan
tujuan menguji kebenaran yang telah didapatnya.

Pembahasan mengenai manusia, tuhan, alam, dan hal-hal yang sifatnya transenden atau
metafisik sudah ada pada masa awal, yakni di zaman filsuf Yunani. Pembuktian terhadap
adanya tuhan adalah tidak sama dengan pembuktian terhadap hal-hal yang sifatnya
empiris dan real, oleh karena pembuktian tersebut bisa dilakukan dengan argument-
argumen yang rasional dan dikuatkan oleh fakta-fakta yang ada. Sehingga filsafat
mempunyai peran yang penting dalam hal ini.

Filsafat mempunyai peran penting dalam agama, bahkan dalam hal apa saja. Karena,
filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas yang ada
dengan menggunakan akal budi. Tak heran al-Qur’an dalam surah al-Mulk, ayat 10,
menegaskan tentang betapa pentingnya seseorang untuk menggunakan akalnya. Bunyi
dari ayat tersebut sebagai berikut:

‫السعِ ِري‬ ِ ‫َأص‬ ِ


َّ ‫حاب‬ ْ ‫وقالُوا لَ ْو ُكنَّا نَ ْس َم ُع َْأو َن ْعق ُل َما ُكنَّا يِف‬.
َ
“Dan mereka berkata: Seandainya kita mendengarkan dan memikirkan. Tak
mungkin kita akan menjadi penghuni neraka”. (QS. Al-Mulk, ayat 10).

Memikirkan keagamaan merupakan sesuatu yang urgen, hal ini lantaran melihat
banyaknya aliran, paham, dan ideologi yang beredar di zaman sekarang. Sehingga,
konsekuensinya nanti adalah kebingungan bagi mereka yang tidak mempunyai dasar
keagamaan yang kuat. Berhubung agama adalah kepercayaan, maka yang perlu diperkuat
adalah dasar dari kepercayaan tersebut, yaitu bukti-buktinya.

Pembuktian Adanya Tuhan Oleh Para Fisuf Barat

Pada biasanya pendirian orang atheis dianggap sebagai pendirian yang tidak baik oleh
sebagian kalangan, namun sebenarnya anggapan seperti itu adalah tidak benar. Karena,
Seorang atheis adalah seseorang yang telah menyelidiki alam dunia dan mengambil suatu
kesimpulan, bahwa tidak ada bukti-bukti yang cukup untuk menyatakan tentang adanya
tuhan, atau ia mempunyai bukti-bukti yang cukup untuk menyatakan bahwa tuhan itu
tidak ada. Seorang atheis berhati-hati dalam mengambil sikap yang ia pillih.

Oleh karena itu, pembuktian dalam hal ini perannya sangat penting untuk menentukan
kepercayaan seseorang. Bahkan, bukti juga bisa merubah kepercayaan seseorang. Sekitar
tiga macam bukti untuk membuktikan adanya tuhan yang telah dilakukan oleh para filsuf
barat klasik, klasifikasinya sebagai berikut:

Pertama, bukti ontologikal. Adapun maksud dari bukti ontologikal ini adalah ide
ketuhanan yang universal dan tak terbatas tidak mungkin timbul dari sesuatu yang
terbatas. Sehingga, ide tentang ketuhanan telah ditimbulkan oleh tuhan itu sendiri.
Dengan kata lain, hanya tuhan itulah yang tak terbatas, sementara yang lainnya, termasuk
akal manusia, bersifat terbatas dan tak sempurna. Konsekuensinya, tuhan itulah yang
sempurna dan tak terbatas yang telah memunculkan ide ketuhan tersebut.

Bukti ontologikal ini disusun oleh Anselm (1033-1109) dan disederhanakan oleh
Descartes pada permulaan abad modern. Pada biasanya pokok-pokok ide ketuhanan yang
ada pada seseorang berupa: tuhan adalah suatu wujud sempurna yang kita tidak dapat
menggambarkan wujud lain yang lebih besar dan agung dari padanya. Sementara kalau
seorang muslim mendapatkan ide ketuhanannya melalui pelajaran sifat-sifat asma’ul
husna yang diperoleh dalam kitab akidah. Tuhan juga merupakan wujud tersendiri, tidak
hanya ada dalam pikiran manusia.

Kedua, bukti kosmologikal. Istilah ini juga sering kali disebut dengan kausalitas, yaitu
suatu ide yang mengupas tentang sebab-akibat dalam alam semesta. Plato termasuk dari
salah seorang tokoh yang menyusun bukti ini, dalam bukunya timeus dia mengatakan
bahwa tiap-tiap hal yang terjadi di dunia ini pasti ada yang menjadi penyebabnya.
Semisal kejadian pohon yang mati sebab terkena penyakit dan penyakit itu juga
mempunyai sebab, hukum sebab akibat akan terus berlaku sampai tiada ujungnya.

Namun dalam logika, berlakunya hukum kausalitas yang tanpa ada ujungnya itu dianggap
tidak rasional, sehingga dalam rangkaian sebab-akibat tersebut harus ada yang menjadi
penyebab pertama yang bukan merupakan akibat oleh sesuatu yang lain. Penyebab
pertama inilah yang kerapkali dipahami sebagai tuhan. Bukti kosmologikal ini sering
dipakai oleh banyak orang.

Ketiga, bukti teologikal. Bukti ini juga lumayan popuer di kalangan banyak orang. Bukti
jenis ini bisa dipahami dengan kenyataan tentang adanya keseragaman, keteraturan, dan
kejadian-kejadian yang terjadi secara mekanistik dalam alam semesta. Dengan demikian,
menunjukkan terhadap adanya sumber dari kenyataan alam yang berlaku seolah-olah
sedemikian terencana tersebut. Karena, peristiwa alam yang terjadi secara mekanistik
tersebut menunjukkan tentang adanya rencana, sumber rencana tersebut dipahami sebagai
aktivitas tuhan.

Pembuktian dengan jenis yang ketiga ini sampai di zaman modern ini, masih tetap
dipakai oleh kebanyakan ahli pikir dan ilmuan. Namun, jangkauan dari bobotnya lebih
diperluas dan diperdalam. Karena, ilmu pengetahuan berkembang cepat dan pesat
lantaran adanya spesifikasi di antara berbagai disiplin keilmuan.

William Paley (1743 – 1805 M), seorang teolog inggris, menyatakan bahwa alam ini
penuh dengan keteraturan. Hal ini menandakan akan eksistensi tuhan di balik itu semua,
sehingga alam sedemikian teratur, tersistem, maupun seragam. Hal ini juga menjadi tanda
akan adanya tujuan tertentu di akhir perjalanan alam semesta ini, tujuan tersebut
diuraikan dalam pembelajaran agama.

Dari masing-masing argumen yang telah menjadi bukti akan eksistensi tuhan tersebut,
banyak di antara para filsuf muslim yang kadang-kadang menggunakan salah satunya.
Semisal Al-Farabi, Ibnu Sina, bahkan Imam al-Ghazali yang mempunyai kitab Tahafut
al-Falasifah (kerancuan para filosof).

Pembuktian Adanya Tuhan Oleh Imam al-Ghazali

Tokoh ini sudah tidak asing lagi di kalangan banyak orang, yaitu seorang tokoh yang
mempunyai banyak karangan monumental dalam banyak bidang keilmuan. Semisal fikih,
ushul fikih, tasawuf, mantik, bahkan filsafat. Oleh karenanya ia bisa disebut sebagai
faqih, ushuliy, sufi, dan filosof. Memang tidak salah orang menyebutnya sebagai multi
talenta.

Imam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali menceritakan dalam kitabnya al-Munqidz
min adh-Dhalal, suatu kitab tentang autobiografinya beliau, bahwa ia pernah mendalami
ilmu filsafat selama dua tahun di Madrasah Nidzamiyah Baghdad secara otodidak. Di
tengah-tengah kesibukannya memberikan pelajaran kepada murid-muridnya, beliau
menyempatkan diri untuk belajar filsafat. Sehingga kemudian, lahirlah sebuah kitab
Maqashid al-Falasifah (ide pemikiran para filsuf) dari filsafat yang ia sudah pelajari
selama dua tahun.

Pembuktian adanya tuhan oleh Imam al-Ghazali sebenarnya cukup simple kalau dilihat
dari silogismenya, namun kalau seumpamanya direnungkan kembali secara radikal dan
komprehensif ternyata argumennya lumayan rumit. Sehingga menimbulkan perdebatan-
perdebatan di antara beberapa kalangan. Silogisme tersebut di jelaskan dalam kitabnya
Al-iqtishad fil-I’tiqad, juga dijadikan perumpamaan dalam kitab-kitabnya yang lain,
semisal Al-Mustasfa min Ilmil Ushul. Bunyi silogisme tersebut sebagai berikut:

‫ فيلزم منه أن له‬,‫ ومعلوم أنه حادث وهي املقدمة الثانية‬,‫ فهذه مقدمة‬,‫إن كان العامل حادثا فله حمدث‬
‫حمدثا‬.

Jika alam adalah hal yang baru, maka pasti ada penyebabnya. Ini adalah premis yang
pertama. Dan telah dimaklumi bahwa alam ini merupakan hal yang baru. Ini adalah
premis yang kedua. Maka alam semesta pasti ada penyebabya (kesimpulan).

Jikalau dilihat dari silogismenya, maka tampak bahwa Imam al-Ghazali termasuk orang
yang membuktikan eksistensi tuhan dengan argumen kosmologis, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Argumen kosmologis ini akan bermasalah bagi orang-orang yang
menganut paham keazalian dan kekadiman alam, namun Imam al-Ghazali mengkritik
orang yang menganut paham tersebut sebagai orang yang tidak bepikir secara rasional.
Bahkan, banyak kalangan dari ahli fisika dan kosmologi setuju akan argument
kosmologis ini dengan penjelasan teori Big Bangnya.

Penutup, sering kali kadang seseorang bertanya mengenai suatu kebenaran yang
menimbulkan pertentangan dalam dirinya sendiri. semisal pertanyaan dimanakah tuhan
berada? dan apakah tuhan bisa menciptakan dzat yang lebih besar dan agung dari pada
dirinya sendiri?. Sepintas pertanyaan demikian kelihatan logis, namun sebenarnya tidak
kalau direnungkan kembali.

Mengenai ide ketuhanan sebelumnya sudah disepakati bahwa tuhan pencipta alam
semesta dan pencipta tidak sama dengan apa yang diciptakan, pokok dari pada ide ini
adalah tuhan adalah maha agung, maha pengasih, dan maha-maha yang lain. Karena,
tuhan memang harus sempurna dan terbebas dari segala cacat atau aib yang membuat
dirinya tidak sempurna. Kalau ada pertanyaan dimanakah tuhan berada?, maka
pertanyaannya itulah yang salah. Karena, tidak konsisten dengan kesepakatan
sebelumnya.

Begitupun pada pertanyaan apakah tuhan bisa menciptakan dzat yang lebih besar dan
agung dari pada dirinya sendiri?, pertanyaannya yang salah. Karena telah menyalahi
kesimpulan sebelumnya yang telah disepakati. Suatu kesimpulan tidak akan mungkin
disepakati tanpa adanya penjelasan yang logis, argumentatif, dan metodis. Pertanyaan-
pertanyaan semisal ini tidak dibenarkan dalam ilmu logika, karena kalau seumpamanya
dibiarkan akan menyebabkan tasalsul (mutar-mutar). Dimanakah tuhan berada?
Wallahua’lam.

Anda mungkin juga menyukai