Anda di halaman 1dari 15

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik

bersifat abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga

untuk memahami masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan

dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.

Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian

yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita

memperoleh pengetahuan,ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat

segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang

membahas tentang guna pengetahuan. Mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah

penting dalam memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan

pembahansannya.

Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat,hanya

saja berangkat dari hal yang berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi sebagai

teori pengetahuan membahas tentang bagaimana mendapat pengetahuan,bagaimana

kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain.Ontologi membahas tentang

apa objek yang kita kaji,bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan

daya pikir.Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan

kita akan pengetahuan di atas,klasifikasi,tujuan dan perkembangannya.


2

Di antara ketiga teori disebut ontologi dikenal sebagai satu kajian kefilsafatan yang

paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu

yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat

ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan

orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal

sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi

terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Thales berpenderian bahwa

segala sesuatu tidak berdiri dengan sendirinya melainkan adanya saling keterkaitan

dan keetergantungan satu dengan lainnya .

Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa

adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta.

Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas

tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola

berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan

sebagai dasar pembahasan realita.

B. Rumusan Masalah Makalah Ontologi Filsafat Ilmu

1. Apa pengertian ontologi?

2. Bagaimana sudut pandang dan aliran-aliran ontologi?


3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ontologi dalam Filsafat Ilmu

Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat

keberadaan segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan

hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu

hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek

ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis yang

diliputi dengan warna nilai keindahan.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan

berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat

konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal

seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum

membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf

yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang

merupakan asal mula segala sesuatu.

Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah

pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut.

Kecuali dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana

keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan

sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri

sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemilihan
4

antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih

penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu

substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang

berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat

yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata

hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam,

dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib

dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang

wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia

yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman

inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat

sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.

Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of

being qua being”, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.

Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik)

Kajian tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga

berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik

dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang,

baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya

manusia adalah makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang

lain. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:
5

‫َو ِإْذ َقاَل َر ُّبَك ِلْلَم اَل ِئَك ِة ِإِّني َج اِع ٌل ِفي اَأْلْر ِض َخ ِليَفًة َق اُلوا َأَتْج َع ُل ِفيَه ا َم ْن ُيْفِس ُد ِفيَه ا َو َيْس ِفُك ال@ِّد َم اَء َو َنْح ُن ُنَس ِّبُح‬

)30( ‫ِبَحْمِد َك َو ُنَقِّدُس َلَك َقاَل ِإِّني َأْعَلُم َم ا اَل َتْع َلُم وَن‬

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku

hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa

Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat

kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih

dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya

Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Manusia dalam kajian kali ini lebih

difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan manusialah

yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan

bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa

manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.

Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam

menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang

memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi

tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang

pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan

baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus

terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus

mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi

pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan

di akhirat.
6

Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam

proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka

memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal

kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik)

sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai

kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana

perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka

dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun

kemampuannya.

Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek

atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek

pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam

proses belajar mengajar. Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang yang

memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan

bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan

melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa

konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau

menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin

menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.

Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya

kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan

ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam
7

proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina

manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi

seluruh alam.

Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka

diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk

menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-

tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu

pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika

tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem

dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai

produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan pernah bisa

dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak ada, maka sisi

yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia dan pendidikan)

harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis, sehingga

menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus menginspirasi.

B. Sudut Pandang dan Aliran-aliran Ontologi dalam Filsafat Ilmu

1. Sudut Pandang Ontologi

Ontologi merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang

hakekat sesuatu, apakah dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari

sesuatu yang lain atau bernuansa jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga

harus dipahami sebagai suatu kebulatan (holistik). Pengertian paling umum pada

ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari

sesuatu. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit


8

dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Sebuah

ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk menjelaskan

sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge

base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu

objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada

suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi

tentang sesuatu yang ada. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati

ontologi dengan dua macam sudut pandang (a). Kuantitatif, yaitu dengan

mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak? (b). Kualitatif, yaitu

dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas

tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang

berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang

mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.

2. Aliran-aliran Ontologi

Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian

melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan

beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada

itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan

“Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”

Apakah yang ada itu? (What is being?) Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir

lima filsafat, yaitu sebagai berikut :


9

1. Aliran Monoisme dalam Filsafat

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah

satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun

berupa ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.

Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan

perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan

dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan kenyataan yang

sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe.

Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :

a) Materialisme dalam

Filsafat Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,

bukan ruhani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya

bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Aliran

pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia

berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan.

Anaximander (585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara,

dengan alasan bahwa udara merupakan sumber dari segala kehidupan.

Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan

atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-

atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.


10

b) Idealisme dalam Filsafat

Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam

jiwa. Aliran ini menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu

yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu justru terletak dibalik

yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya

merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu.

Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang

pada kebenaran sejati.

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-

348 SM) dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti

ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang

menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi,

idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.

2. Aliran Dualisme dalam Filsafat

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai

asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan

spirit. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama

azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak

filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran

(rohani) dan dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la
11

Methode (1637) dan Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini

pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode

keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de

Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).

3. Aliran Pluralisme dalam Filsafat

Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.

Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu

semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan

sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak

unsur, lebih dari satu atau dua entitas.

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan

Empedocles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri

dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah

William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang

mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan lepas dari

akal yang mengenal. Berdasarkan teori tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa

setiap kebenaran tidak bersifat mutlak dan tetap terlepas dari akal yang mengenal.

4. Aliran Nihilisme dalam Filsafat

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada.

Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme

diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani

Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi
12

tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu

ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak

akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich

Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan

kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang

atau di atas dunia di mana ia hidup.

5. Aliran Agnostisisme dalam Filsafat

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat

benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari

bahasa Grik Agnostos, yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know.

Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu

menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat

kita kenal.

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti,

Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak

Filsafat Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup

sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan

tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin

Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah

manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh

lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia

selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre
13

(akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan

terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.

b. Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)

Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah?

Dalam hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya

khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang

dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan

struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.

c. Di manakah yang ada itu? (Where is being?)

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati,

universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat

sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan

riil.

3. Manfaat Mempelajari Ontologi Filsafat

Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa

manfaat, di antaranya sebagai berikut:

a. Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan system

pemikiran yang ada.

b. Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan

eksistensi.

c. Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan

maupun masalah, baik itu sains hingga etika.


14

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang

paling kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang

keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang

hakikat dari suatu benda/sesuatu. Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya

(bukan kenyataan yang sementara, menipu, dan berubah).

2. Dalam ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu

monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah

paham yang menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal

sesuatu itu bisa berupa materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh).

Dualisme adalah aliran yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat

(hakikat materi dan ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan spirit).

Pluralisme adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal merupakan

kenyataan. Nihilisme adalah paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang

positif.

Dan agnostisisme adalah paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia

dalam mengetahui hakikat benda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ontologi meliputi

hakikat kebenaran dan kenyataan yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak

terlepas dari perspektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu. Adapun

monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai


15

nuansanya, merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan

kenyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.

B. Saran

Belajar hendaknya menjadi salah satu karakter yang selalu melekat di dalam

perilaku suatu bangsa. Dari hal itulah setiap bangsa berusaha mengunggulakan

pendidikan sebagai sebuah fondasi dari pendirian sebuah bangsa. Proses pendidikan

tidak terlepas dari konsep ontology, epistemologi, dan akasiologi didalam

pengkajiaanya dimana pelaksannanya harus mencerminkan aktualisasi dari cita – cita

suatu bangsa.

Ontologi dari sebuah pendidikan adalah mengubah baik perilaku, kognitif, dan

psikomotor sebagai sebuah perubahan yang riil dimana penerapannya kepada peserta

didik harus dilandasi dengan humanisme yang akan merubah dari ketiga aspek

tersebut dari background atau intake yang buruk atau kurang baik menjadi lebih baik.

Hakekat dari sebuah pendidikan haruslah secara proper berniat dan berperilaku

sebagai penerang suatu bangsa dari kegelapan berpikir. Pemerintah sebagai

pemangku kebijakan harus memiliki peran dan tindakan serius di dalam memecahkan

persoalan pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai