Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat
abstrak ataupun riil meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk memahami
masalah filsafat sangatlah sulit tanpa adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya
bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup filsafat.

Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian
yaitu; epistemologi atau teori pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh
pengetahuan,ontologi atau teori hakikat yang membahas tentang hakikat segala sesuatu yang
melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang membahas tentang guna
pengetahuan. Mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam memahami filsafat
yang begitu luas ruang lingkup dan pembahasannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ontologi dalam Filsafat Ilmu

Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan


segala sesuatu yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat.
Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh,
teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini
berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari
Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani
yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan
Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan
kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air
merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu.

Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah


pandangan umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali
dirinya, semua orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang
wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut
dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi
kebanyakan orang tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan
(reality). Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu
itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri
sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu
yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat
yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan
sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima
dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi
dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau
keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan
demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan
pada logika semata. Pengertian ini didukung pula oleh pernyataan Runes bahwa ontology is
the theory of being qua being, artinya ontologi adalah teori tentang wujud.

Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik) Kajian
tentang manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak
akan berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala
kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis,
antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang
spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Quran Surat Al-Baqarah, ayat 30:



(30)

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. mereka berkata: Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.

Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa
dalam dunia pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan
itu tidak lain diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam
pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta
didik.

Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam


menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki
pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut,
mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang pendidik tidaklah
gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif,
kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah
yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan
ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan
berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.

Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam
proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka
memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal
kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah
bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan
peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik
kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan
pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.

Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau
sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan
cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dengan
demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan
dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan
proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari
Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada
Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat
mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.

Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya
kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu
yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses
pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar
menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.

Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan


bisa menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan
fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari
waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami
perkembangan yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan
manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah
terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak
bisa, bahkan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi
saja tidak ada, maka sisi yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia
dan pendidikan) harus selaras, sejalan dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis,
sehingga menciptakan sebuah irama yang indah sekaligus menginspirasi.

B. Sudut Pandang dan Aliran-aliran Ontologi dalam Filsafat Ilmu

1. Sudut Pandang Ontologi

Ontologi merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang hakekat


sesuatu, apakah dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu yang
lain atau bernuansa jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga harus dipahami sebagai
suatu kebulatan (holistik). Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang
filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah ontologi memberikan pengertian
untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah
knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah
untuk menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah
knowledge base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari
suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada
suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang
sesuatu yang ada. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua
macam sudut pandang:

a. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?

b. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki


kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang
berbau harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.

2. Aliran-aliran Ontologi

Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian


melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan
beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa Apakah yang ada itu?
(What is being?), Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?), dan Dimanakah yang
ada itu? (What is being?)
a. Apakah yang ada itu? (What is being?) Dalam memberikan jawaban masalah ini
lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :

1. Aliran Monoisme dalam Filsafat

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah
satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa
ruhani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah
satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang
lainnya. Plato adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia
menyatakan bahwa alam ide merupakan ke. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut
dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :nyataan yang
sebenarnya

a) Materialisme dalam Filsafat

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani.
Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan
kenyataan dan satu-satunya fakta.

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia
berpendapat bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander
(585-528 SM) berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara
merupakan sumber dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa
hakikat alam ini merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat
halus. Atom-atom itulah yang merupakan asal kejadian alam.

b) Idealisme dalam Filsafat

Idealisme diambil dari kata idea yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini
menganggap bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini,
sejatinya sesuatu justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi
aliran ini dianggap hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu.
Eksistensi benda fisik akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran
sejati.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM)
dengan teori idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep
universal dari tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa
bayangan saja dari alam ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar
wujud sesuatu.

2) Aliran Dualisme dalam Filsafat

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal
sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua
macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini.

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak
filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan
dunia ruang (kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan
Meditations de Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan
metodenya yang terkenal dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian
Doubt). Disamping Descartes, ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried
Wilhelm von Leibniz (1646-1716 M).

3) Aliran Pluralisme dalam Filsafat

Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.


Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu
semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai
paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari
satu atau dua entitas.

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah,
air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang
mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap,
yang berdiri sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.
4) Aliran Nihilisme dalam Filsafat

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah
doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan
oleh Ivan Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno,
yaitu pada pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang
realitas. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita
beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900
M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata
manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia
hidup.

5) Aliran Agnostisisme dalam Filsafat

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik
hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos,
yang berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan
belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya
kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal.

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti,
Soren Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku
umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke
dalam sesuatu orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang
mengatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang
dapat memahami dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M),
yang mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan
entre (ada), melainkan a entre (akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham
pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik
materi maupun ruhani.
b. Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)

Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam
hal ini, Zeno (490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka.
Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead
bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir
terus secara kreatif.

c. Di manakah yang ada itu? (Where is being?)

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati,
universal, tetap abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya,
bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.

B. Manfaat Mempelajari Ontologi Filsafat

Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa
manfaat, di antaranya sebagai berikut:

a. Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem


pemikiran yang ada.

b. Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan


eksistensi.

c. Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan
maupun masalah, baik itu sains hingga etika.
BAB III

PENUTUP

1. Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling
kuno. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan. Pada dasarnya, ontologi membicarakan tentang hakikat dari suatu benda/sesuatu.
Hakikat disini berarti kenyataan yang sebenarnya (bukan kenyataan yang sementara, menipu,
dan berubah).

2. Dalam ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme,


dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah paham yang
menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu hanyalah satu. Asal sesuatu itu bisa berupa
materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh).

Dualisme adalah aliran yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat
(hakikat materi dan ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan spirit). Pluralisme
adalah paham yang mengatakan bahwa segala hal merupakan kenyataan. Nihilisme adalah
paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang positif.

Dan agnostisisme adalah paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia


dalam mengetahui hakikat benda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ontologi meliputi hakikat
kebenaran dan kenyataan yang sesuai dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
perspektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada itu. Adapun monoisme, dualisme,
pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham
ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan kita masing-masing
tentang apa dan bagaimana yang ada itu.

Ontologi dari sebuah pendidikan adalah mengubah baik perilaku, kognitif, dan
psikomotor sebagai sebuah perubahan yang riil dimana penerapannya kepada peserta didik
harus dilandasi dengan humanisme yang akan merubah dari ketiga aspek tersebut dari
background atau intake yang buruk atau kurang baik menjadi lebih baik. Hakekat dari sebuah
pendidikan haruslah secara proper berniat dan berperilaku sebagai penerang suatu bangsa dari
kegelapan berpikir. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memiliki peran dan
tindakan serius di dalam memecahkan persoalan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sudarsono. 2008. Ilmu Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.

Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Akmal . 2014. http://www.tongkronganislami.net/2015/10/contoh-makalah-ontologi-filsafat-


ilmu.html di unduh pada tanggal 13 Oktober 2016

Anda mungkin juga menyukai