Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH ONTOLOGI PENYELESAIAN

MASALAH

Kelompok 7 :
1 . Salman Al Farisi
2 . Asianas Wijaya Romadhon
3 . Putri Indah Wahyuni
4 . Siti Rodiyah

Dosen Pembimbing : Drs.H.M.Zaini MM.MBA


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang Makalah

Filsafat membahas segala sesuatu yang ada bahkan yang mungkin ada baik bersifat abstrak ataupun riil
meliputi Tuhan, manusia dan alam semesta. Sehingga untuk memahami masalah filsafat sangatlah sulit tanpa
adanya pemetaan-pemetaan dan mungkin kita hanya bisa menguasai sebagian dari luasnya ruang lingkup
filsafat.
Sistematika filsafat secara garis besar ada tiga pembahasan pokok atau bagian yaitu; epistemologi atau teori
pengetahuan yang membahas bagaimana kita memperoleh pengetahuan,ontologi atau teori hakikat yang
membahas tentang hakikat segala sesuatu yang melahirkan pengetahuan dan aksiologi atau teori nilai yang
membahas tentang guna pengetahuan. Mempelajari ketiga cabang tersebut sangatlah penting dalam
memahami filsafat yang begitu luas ruang lingkup dan pembahasannya.
Ketiga teori di atas sebenarnya sama-sama membahas tentang hakikat,hanya saja berangkat dari hal yang
berbeda dan tujuan yang beda pula. Epistemologi sebagai teori pengetahuan membahas tentang bagaimana
mendapat pengetahuan,bagaimana kita bisa tahu dan dapat membedakan dengan yang lain.Ontologi
membahas tentang apa objek yang kita kaji,bagaimana wujudnya yang hakiki dan hubungannya dengan daya
pikir.Sedangkan aksiologi sebagai teori nilai membahas tentang pengetahuan kita akan pengetahuan di
atas,klasifikasi,tujuan dan perkembangannya.

Di antara ketiga teori disebut ontologi dikenal sebagai satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf
yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula
segala sesuatu. Thales berpenderian bahwa segala sesuatu tidak berdiri dengan sendirinya melainkan adanya
saling keterkaitan dan keetergantungan satu dengan lainnya .

Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai
ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan
proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar
pola berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan sebagai dasar
pembahasan realita.

B. Rumusan Masalah Makalah Ontologi Filsafat Ilmu

1. Apa pengertian ontologi?

2. Bagaimana sudut pandang dan aliran-aliran ontologi?


BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Ontologi dalam Filsafat Ilmu

Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada,
menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada manusia, ada alam, dan ada
causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek
ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai
keindahan.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut
membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan
antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan
bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu.

Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang
berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua orang waktu itu
memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila mereka menjumpai kayu, besi,
air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai substansi-substansi (yang terdiri sendiri-
sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance)
dengan kenyataan (reality). Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala
sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud (being) dan
logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan
segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada
manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam
keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek
ilmu atau keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian,
obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung
pula oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya ontologi adalah teori
tentang wujud.
Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik) Kajian tentang manusia sejak
zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan berakhir. Manusia merupakan
makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya. Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut
pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi dan lain sebagainya. Pada hakikatnya manusia adalah
makhluk yang spesial dari pada makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Sebagaimana firman Allah dalam
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah, ayat 30:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.”

Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia pendidikan
manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain diperuntukan bagi
manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa manusia dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.
Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai
religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.
Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas dan tanggungjawab sebagai seorang
pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi perkembangan baik secara afektif,
kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik harus terdapat perubahan ke arah yang lebih
baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya,
sehingga mampu menjadi pribadi yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia
dan di akhirat.
Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang
konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik
(peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan
peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik
(anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa
dalam sikap maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran pendidikan,
melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam
memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian bahwa peserta didik adalah orang
yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu
berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu
itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada
Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi
perbuatan yang tidak disukai Allah.
Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang
yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini
menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya
untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh
alam.

Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa menumbuhkan
kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan fungsinya dalam keberlangsungan
pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu
pendidikan tidak akan mengalami perkembangan yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh
perkembangan manusianya. Namun, tanpa manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah
terwujud. Oleh sebab itu, pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan
tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak ada, maka sisi
yang lain pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan
dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang indah sekaligus
menginspirasi.

B . Sudut Pandang dan Aliran-aliran Ontologi dalam Filsafat Ilmu

1 . Sudut Pandang Ontologi


Ontologi merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang hakekat sesuatu, apakah dipahami
sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu yang lain atau bernuansa jamak, terikat dengan
sesuatu yang lain, sehingga harus dipahami sebagai suatu kebulatan (holistik). Pengertian paling umum pada
ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah ontologi
memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan
pada sebuah knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk
menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge base”. Dengan
demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta
relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan
filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa
didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:

a. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
b. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki
kualitas
b. tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau
harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis.
2 . Aliran-aliran Ontologi

Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran
dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai
ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang
ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”

a. Apakah yang ada itu? (What is being?) Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima
filsafat, yaitu sebagai berikut :

1 . Aliran Monoisme dalam Filsafat

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat
saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak
mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan
sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato adalah tokoh
filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam ide merupakan
kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block
Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :

A ) Materialisme dalam Filsafat

Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini sering
juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-
satunya fakta.

Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat
bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM)
berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber
dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini merupakan
atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom itulah yang
merupakan asal kejadian alam.

B ) Idealisme dalam Filsafat

Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini menganggap
bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu
justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap hanya
merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik akan
rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.
Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya.
Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari tiap sesuatu.
Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam ide itu. Jadi,
idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.

2 ) Aliran Dualisme dalam Filsafat

Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu
hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam ini.

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern.
Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang
(kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de
Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal
dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes,
ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716
M).

3 ) Aliran Pluralisme dalam Filsafat

Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas.

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan
bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan
udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan bahwa
tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri, dan
lepas dari akal yang mengenal.

4 ) Aliran Nihilisme dalam Filsafat

Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak
mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev pada
tahun 1862 di Rusia.

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada
pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak
ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun
realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh lain
aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia terbuka untuk
kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu dunia di
belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.

5 ) Aliran Agnostisisme dalam Filsafat

Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat
materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang berarti
unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang
mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri
dan dapat kita kenal.

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren
Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat Eksistensialisme,
yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai
aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu orang lain.
Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan bahwa satu-
satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya
sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa manusia
selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre (akan atau
sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap kemampuan
manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.

A . Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)

Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno (490-430
SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah oleh Bergson dan
Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus bergerak, dan merupakan
struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.

B . Di manakah yang ada itu? (Where is being?)


Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap abadi, dan
abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu bersifat fisik, kodrati,
individual, berubah-ubah, dan riil.
3 . Manfaat Mempelajari Ontologi Filsafat
Ontologi yang merupakan salah satu kajian filsafat ilmu mempunyai beberapa manfaat, di antaranya
sebagai berikut:
a. Membantu untuk mengembangkan dan mengkritisi berbagai bangunan sistem pemikiran yang ada.
b. Membantu memecahkan masalah pola relasi antar berbagai eksisten dan eksistensi.
c. Bisa mengeksplorasi secara mendalam dan jauh pada berbagai ranah keilmuan maupun masalah, baik itu
sains hingga etika.
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan

Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ontologi
berasal dari bahasa Yunani yang berarti teori tentang keberadaan sebagai keberadaan. Pada dasarnya,
ontologi membicarakan tentang hakikat dari suatu benda/sesuatu. Hakikat disini berarti kenyataan yang
sebenarnya (bukan kenyataan yang sementara, menipu, dan berubah).

Dalam ontologi ditemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran, yaitu monoisme, dualisme, pluralisme,
nihilisme, dan agnostisisme. Monoisme adalah paham yang menganggap bahwa hakikat asalnya sesuatu itu
hanyalah satu. Asal sesuatu itu bisa berupa materi (air, udara) maupun ruhani (spirit, ruh).

Dualisme adalah aliran yang berpendapat bahwa asal benda terdiri dari dua hakikat (hakikat materi dan
ruhani, hakikat benda dan ruh, hakikat jasad dan spirit). Pluralisme adalah paham yang mengatakan bahwa
segala hal merupakan kenyataan. Nihilisme adalah paham yang tidak mengakui validitas alternatif yang
positif.

Dan agnostisisme adalah paham yang mengingkari terhadap kemampuan manusia dalam mengetahui hakikat
benda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa ontologi meliputi hakikat kebenaran dan kenyataan yang sesuai
dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari perspektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang
“ada” itu. Adapun monoisme, dualisme, pluralisme, nihilisme, dan agnostisisme dengan berbagai nuansanya,
merupakan paham ontologi yang pada akhirnya menentukan pendapat dan kenyakinan kita masing-masing
tentang apa dan bagaimana yang “ada” itu.

B. Saran

Belajar hendaknya menjadi salah satu karakter yang selalu melekat di dalam perilaku suatu bangsa. Dari hal
itulah setiap bangsa berusaha mengunggulakan pendidikan sebagai sebuah fondasi dari pendirian sebuah
bangsa. Proses pendidikan tidak terlepas dari konsep ontology, epistemologi, dan akasiologi didalam
pengkajiaanya dimana pelaksannanya harus mencerminkan aktualisasi dari cita - cita suatu bangsa.
Ontologi dari sebuah pendidikan adalah mengubah baik perilaku, kognitif, dan psikomotor sebagai sebuah
perubahan yang riil dimana penerapannya kepada peserta didik harus dilandasi dengan humanisme yang
akan merubah dari ketiga aspek tersebut dari background atau intake yang buruk atau kurang baik menjadi
lebih baik. Hakekat dari sebuah pendidikan haruslah secara proper berniat dan berperilaku sebagai penerang
suatu bangsa dari kegelapan berpikir. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus memiliki peran dan
tindakan serius di dalam memecahkan persoalan pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai