Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Ontologi dalam Filsafat Ilmu

Ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu
yang ada, menurut tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab-akibat. Yaitu, ada
manusia, ada alam, dan ada causa prima dalam suatu hubungan menyeluruh, teratur dan tertib
dalam keharmonisan. Jadi, dari aspek ontologi, segala sesuatu yang ada ini berada dalam tatanan
hubungan estetis yang diliputi dengan warna nilai keindahan.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani.
Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang
memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales
terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi
terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu.

Thales merupakan orang pertama yang berpendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan
umum yang berlaku saat itu. Di sinilah letak pentingnya tokoh tersebut. Kecuali dirinya, semua
orang waktu itu memandang segala sesuatu sebagaimana keadaannya yang wajar. Apabila
mereka menjumpai kayu, besi, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersebut dipandang sebagai
substansi-substansi (yang terdiri sendiri-sendiri). Dengan kata lain, bagi kebanyakan orang
tidaklah ada pemilihan antara kenampakan (appearance) dengan kenyataan (reality). Namun
yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud
(being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok filsafat yang mempersoalkan
hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut tata hubungan sistematis berdasarkan
hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan
yang menyeluruh, teratur, dan tertib dalam keharmonisan. Ontologi dapat pula diartikan sebagai
ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia
empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera. Dengan demikian, obyek ilmu adalah
pengalaman inderawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat
sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata.

Hakikat Manusia Sebagai Subjek Pendidikan (Pendidik dan Peserta Didik) Kajian tentang
manusia sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang belum juga berakhir dan tidak akan
berakhir. Manusia merupakan makhluk yang sangat unik dengan segala kesempurnaannya.
Manusia dapat dikaji dari berbagai sudut pandang, baik secara historis, antropologi, sosiologi
dan lain sebagainya.

Manusia dalam kajian kali ini lebih difokuskan kepada subjek pendidikan, bahwa dalam dunia
pendidikan manusialah yang banyak berperan. Karena dilakukannya pendidikan itu tidak lain
diperuntukan bagi manusia, agar tidak timbul kerusakan di bumi ini. Dalam pendidikan bahwa
manusia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sebagai pendidik dan peserta didik.

Menurut Al-Aziz, pendidik adalah orang yang bertanggungjawab dalam menginternalisasikan


nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan
pribadi yang sempurna. Masing-masing definisi tersebut, mengisyaratkan bahwa peran, tugas
dan sebagai seorang pendidik tidaklah gampang, karena dalam diri anak didik harus terjadi
perkembangan baik secara afektif, kognitif maupun psikomotor. Dalam setiap individu terdidik
harus terdapat perubahan ke arah yang lebih baik. Jika dalam ajaran Islam anak didik harus
mampu menginternalisasikan ajaran-ajaran dalam dirinya, sehingga mampu menjadi pribadi
yang bertaqwa dan berakhlakul karimah yang akan bahagia baik di dunia dan di akhirat.

Sedangkan anak didik (peserta didik) adalah makhluk yang sedang berada dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik (peserta didik) sudah bukan lagi anak-anak, maka
usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak
bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih
anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap
maupun kemampuannya.
Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggap sebagai obyek atau sasaran
pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara
melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dengan
demikian bahwa peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan
pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses
memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka
membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau
menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi
perbuatan yang tidak disukai Allah.

Bertolak dari hal itu, sehingga muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa
sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan
anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping
pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang
berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam.

Pada akhirnya, dengan memahami ontologi pendidikan tersebut, maka diharapkan bisa
menumbuhkan kesadaran para pendidik dan peserta didik untuk menjalankan peran dan
fungsinya dalam keberlangsungan pendidikan di tengah-tengah peradaban manusia yang dari
waktu ke waktu semakin berkembang. Tentu pendidikan tidak akan mengalami perkembangan
yang berarti dan signifikan jika tidak dibarengi oleh perkembangan manusianya. Namun, tanpa
manusia, maka sistem dan pola pendidikan tidak akan pernah terwujud. Oleh sebab itu,
pendidikan sebagai produk dan manusia sebagai creator-nya tidak bisa, bahkan tidak akan pernah
bisa dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, maka jika satu sisi saja tidak ada, maka sisi yang lain
pun jadi tidak berarti. Sehingga kedua unsur ini (manusia dan pendidikan) harus selaras, sejalan
dan seiring dalam gerak dan laju yang harmonis, sehingga menciptakan sebuah “irama” yang
indah sekaligus menginspirasi.

2.2 Sudut Pandang dan Aliran-aliran Ontologi dalam Filsafat Ilmu


2.2.1 Sudut Pandang Ontologi
Ontologi merupakan pembahasan tentang bagaimana cara memandang hakekat sesuatu, apakah
dipahami sebagai sesuatu yang tunggal dan bisa dipisah dari sesuatu yang lain atau bernuansa
jamak, terikat dengan sesuatu yang lain, sehingga harus dipahami sebagai suatu kebulatan
(holistik). Pengertian paling umum pada ontologi adalah bagian dari bidang filsafat yang
mencoba mencari hakikat dari sesuatu. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk
penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah
knowledge base. Sebuah ontologi juga dapat diartikan sebuah struktur hirarki dari istilah untuk
menjelaskan sebuah domain yang dapat digunakan sebagai landasan untuk sebuah knowledge
base”. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek,
property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain
pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut
pandang:

a. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
b. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas
tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau
harum. Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau
kenyataan konkret secara kritis.

2.3 Aliran-aliran Ontologi


Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-
aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang
mengenai ontologi. Pertanyaan itu berupa “Apakah yang ada itu? (What is being?)”,
“Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is
being?)”

Apakah yang ada itu? (What is being?) Dalam memberikan jawaban masalah ini lahir lima
filsafat, yaitu sebagai berikut :
2.3.1 Aliran Monoisme dalam Filsafat
Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu hanya satu, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat
saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa ruhani. Tidak
mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya
merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Plato
adalah tokoh filsuf yang bisa dikelompokkan dalam aliran ini, karena ia menyatakan bahwa alam
ide merupakan kenyataan yang sebenarnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut
dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran :

2.3.2 Materialisme dalam Filsafat


Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan ruhani. Aliran ini
sering juga disebut dengan naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan
satu-satunya fakta.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-546 SM). Ia berpendapat
bahwa unsur asal adalah air, karena pentingnya bagi kehidupan. Anaximander (585-528 SM)
berpendapat bahwa unsur asal itu adalah udara, dengan alasan bahwa udara merupakan sumber
dari segala kehidupan. Demokritos (460-370 SM) berpendapat bahwa hakikat alam ini
merupakan atom-atom yang banyak jumlahnya, tak dapat dihitung dan amat halus. Atom-atom
itulah yang merupakan asal kejadian alam.

2.4. Idealisme dalam Filsafat


Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini menganggap
bahwa dibalik realitas fisik pasti ada sesuatu yang tidak tampak. Bagi aliran ini, sejatinya sesuatu
justru terletak dibalik yang fisik. Ia berada dalam ide-ide, yang fisik bagi aliran ini dianggap
hanya merupakan bayang-bayang, sifatnya sementara, dan selalu menipu. Eksistensi benda fisik
akan rusak dan tidak akan pernah membawa orang pada kebenaran sejati.

Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui dalam ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori
idenya. Menurutnya, tiap-tiap yang ada di dalam mesti ada idenya yaitu konsep universal dari
tiap sesuatu. Alam nyata yang menempati ruangan ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam
ide itu. Jadi, idelah yang menjadi hakikat sesuatu, menjadi dasar wujud sesuatu.
2.4.1 Aliran Dualisme dalam Filsafat
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit. Kedua macam hakikat
itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya
menciptakan kehidupan dalam alam ini.

Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern.
Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (rohani) dan dunia ruang
(kebendaan). Ini tercantum dalam bukunya Discours de la Methode (1637) dan Meditations de
Prima Philosophia (1641). Dalam bukunya ini pula, Ia menerangkan metodenya yang terkenal
dengan Cogito Descartes (metode keraguan Descartes/Cartesian Doubt). Disamping Descartes,
ada juga Benedictus de Spinoza (1632-1677 M), dan Gitifried Wilhelm von Leibniz (1646-1716
M).

2.5 Aliran Pluralisme dalam Filsafat


Aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme
bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata.
Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang
menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua
entitas.

Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles, yang menyatakan
bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan
udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M), yang mengemukakan
bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri
sendiri, dan lepas dari akal yang mengenal.

2.6 Aliran Nihilisme dalam Filsafat


Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang
tidak mengakui validitas alternatif yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan
Turgeniev pada tahun 1862 di Rusia.

Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada
pandangan Gorgias (485-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama,
tidak ada sesuatupun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga,
sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzche (1844-1900 M). Dalam pandangannya dunia
terbuka untuk kebebasan dan kreativitas manusia. Mata manusia tidak lagi diarahkan pada suatu
dunia di belakang atau di atas dunia di mana ia hidup.

2.6.1 Aliran Agnostisisme dalam Filsafat


Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat
materi maupun hakikat ruhani. Kata agnostisisme berasal dari bahasa Grik Agnostos, yang
berarti unknown. A artinya not, gno artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum
dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang
berdiri sendiri dan dapat kita kenal.

Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren
Kierkegaar (1813-1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme, yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum,
tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu
orang lain. Berbeda dengan pendapat Martin Heidegger (1889-1976 M), yang mengatakan
bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami
dirinya sendiri. Tokoh lainnya adalah, Jean Paul Sartre (1905-1980 M), yang mengatakan bahwa
manusia selalu menyangkal. Hakikat beradanya manusia bukan entre (ada), melainkan a entre
(akan atau sedang). Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran/penyangkalan terhadap
kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi maupun ruhani.

Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)


Apakah yang ada itu sebagai sesuatu yang tetap, abadi, atau berubah-ubah? Dalam hal ini, Zeno
(490-430 SM) menyatakan bahwa sesuatu itu sebenarnya khayalan belaka. Pendapat ini dibantah
oleh Bergson dan Russel. Seperti yang dikatakan oleh Whitehead bahwa alam ini dinamis, terus
bergerak, dan merupakan struktur peristiwa yang mengalir terus secara kreatif.

Di manakah yang ada itu? (Where is being?)

Aliran ini berpendapat bahwa yang ada itu berada dalam alam ide, adi kodrati, universal, tetap
abadi, dan abstrak. Sementara aliran materilisme berpendapat sebaliknya, bahwa yang ada itu
bersifat fisik, kodrati, individual, berubah-ubah, dan riil.

2.7 Metafisika
Metafisika berasal dari kata “meta” berarti sesudah dan “fisika” berarti nyata/alam fisik. Dengan
kata lain metafisika adalah cabang filsafat yang membicarakan hal-hal yang berada di belakang
gejala-gejala yang nyata.

Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh metafisika adalah ilmu yang memikirkan hakikat di
balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata tanpa
dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap oleh pancaindera.

Aristoteles menyinggung masalah metafisika dalam karyanya tentang “Filsafat Pertama” yang
berisi hal-hal yang bersifat gaib. Menurutnya, ilmu metafisika termasuk cabang filsafat teoritis
yang membahas masalah hakikat segala sesuatu, sehingga ilmu metafisika menjadi inti filsafat.
Selanjutnya, Aristoteles menjelaskan bahwa masalah-masalah yang metafisik merupakan sesuatu
yang fundamental bagi kehidupan. Oleh karena itu, setiap orang yang sadar berhadapan dengan
sesuatu yang metafisik tetap tersangkut di dalamnya.

Tafsiran paling pertama yang diberikan manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat wujud-
wujud bersifat supernatural dan wujud ini lebih tinggi/lebih kuasa dibandingkan alam nyata.
Animisme (roh-roh yang bersifat gaib terdapat pada benda, seperti batu, pohon, dan air terjun)
merupakan contoh kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme. Animisme ini
merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan
manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi.

Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham Naturalisme yaitu paham yang
menolak pendapat bahwa terdapat wujud-wujud yang bersifat supernatural. Materialisme
merupakan paham yang berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh pengaroh
kekuatan gaib, melainkan oleh kekuatan yang terdapat di alam itu sendiri, yang dpat di pelajari
dan dengan demikian dpat di ketahui.

Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin,
warna itu warna. Dalam kenyataannya hanya terdapat atom dan kehampaan. Artinya, obyek dari
pengindraan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom dan kehampaan
itulah yang bersifat nyata. Atau dengan perkataan lain : manis, panas, dingin atau warna adalah
yang kita berikan kepada gejala yang kita tangkap lewat pancaindera. Rangsangan pancaindera
ini di salurkan ke otak kita dan menghadirkan gejala tersebut.

Dengan demikian maka gejala alam dapat didekati dari segi proses kimia-fisika. Hal ini tidak
terlalu menimbulkan permasalahan selama di terapkan kepada zat-zat yang mati seperti batu atau
karat besi.

Lain lagi dengan pendapat yang disampaikan kaum mekanistik melihat gejala alam termasuk
makhluk hidup hanya merupakan gejala fisika semata. Sedangkan menurut kaum vitalik, hidup
adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses tersebut di atas.

Dalam memahami metafisika umum (ontologi) ada beberapa aliran/pandangan pokok pikiran
yaitu:
1) Aliran Monoisme
Paham monoisme menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluroh kenyataan itu hanyalah satu
saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber asal, baik yang asal berupa
materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri
sendiri. Paham monoisme kemudian dibagi menjadi 2 aliran yaitu aliran materialisme dan aliran
idealisme.

Aliran materialisme menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
Aliran ini sering juga disebut sebagai naturalisme, menurutnya zat mati merupakan kenyataan
dan satu-satunya cara tertentu. Sedangkan aliran idealisme disebut juga spiritualisme berarti
serba roh/“idea” yang berarti sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa
hakikat kenyataan yang beranekaragam ini semua berasal dari roh, yaitu sesuatu yang tidak
berbentuk dan menempati ruang. Materi/zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan rohani.

2) Aliran Dualisme
Aliran ini mencoba memadukan antara dua paham yang saling bertentangan, yaitu materialisme
dan idealisme. Menurut aliran dualisme materi maupun roh sama-sama merupakan hakikat.
Materi muncul bukan karena adanya roh, begitupun roh muncul buka karena materi.

Aliran dualisme memandang bahwa alam terdiri dari 2 macam hakikat sebagai sumbernya.
Aliran dualisme merupakan paham yang serba dua, yaitu antara materi (hule) dan bentuk (eidos).
Pengertian materi dalam aliran ini berbeda dengan pengertian materi yan dipahami saat ini.
Menurut Aristoteles, materi adalah dasar terakhir segala perubahan dari hal-hal yang berdiri
sendiri dan unsur bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang menjadi dan binasa.
Materi dalam arti mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir dan umum. Tiap
benda yang dapat diamati disusun dari materi. Oleh karena itu materi mutlak diperlukan bagi
pembentukan segala sesuatu. Di lain pihak, dapat dijelaskan bahwa materi adalah kenyataan
yang belum terwujud, yang belum ditentukan, tetapi yang memiliki potensi, bakat untuk menjadi
terwujud/menjadi ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata,
karena kekuatan yang membentuknya.
Sedangkan bentuk (eidos) adalah pola segala sesuatu yang tempatnya di luar dunia ini, yang
berdiri sendiri, lepas dari benda yang konkret, yang adalah penerapannya. Bagi Aristoteles, eidos
adalah asa yang berada di dalam benda yang konkret, yang secara sempurna menentukan jenis
benda itu, yang menjadikan benda yang konkret itu demikian (misalnya disebut meja,kursi, dll).
Jadi, segala pengertian yang ada pada manusia bukanlah sesuai dengan realitas ide, melainkan
sesuai dengan jenis benda yang tampak pada benda konkret.

Demikianlah, materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat terwujud tanpa
bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap benda yang diamati disusun
dari bentuk dan materi.

3) Aliran Pluralisme
Aliran ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak
dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme
sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih
dari satu atau dua identitas.

Dalam metafisika membicarakan tentang “ada umum” segala sesuatunya itu ada dalam realitas,
sehingga terdapat bermacam-macam hal, tetapi yang bermacam-macam itu semuanya ditangkap
dalam adanya, dan dengan demikian pula terdapat “ada yang bermacam-macam” dan “ada yang
umum’. Mungkinkah dalam ada itu terdapat suatu dasar yang menjadi dasar dari segala “yang
ada”. Karena “yang ada” itu luas, maka The Liang Gie dalam bernadien (2011: 55) ‘yang ada”
itu dapat digolongkan menjadi dua hal yaitu,
a) Ada secara ontologis, yaitu membicarakan teori mengenai sifat dasar dan ragam kenyataan,
misalnya; usaha para filsuf dalam mengungkapkan makna eksistensi dengan pertanyaan-
pertanyaan: apakah hakikat ada itu? Apakah klasifikasi dari yang ada? Apakah sifat dasar
kenyataan dan ada terakhir? Apakah objek fisis, pengertian universal, abstraksi, bilangan dapat
dikatakan ada? Dan pertanyaan lain sebagainya.
b) Ada secara kosmologis, yaitu membicarakan tentang teori umum mengenai proses kenyataan.
Kosmologi menyelidiki jenis tata tertib yang paling fundamental dalam kenyataan, yaitu apakah
untuk segala sesuatu yang menjadi ada, selalu ada sesuatu sebab yang menentukannya menjadi
seperti apa adanya dan bukan sebaliknya (tata-tertib sebab) atau apakah hanya ada kebetulan
yang murni ataukah tata-tertib teleologis yang mengandung penyesuaian sarana-sarana kepada
tujuan-tujuan.

Anda mungkin juga menyukai