PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Didalam realitas kehidupan tidak terlepas dengan munculnya suatu
paradigma yang tak terduga, bahkan tanpa disadari bahwasanya manusia tidak
menyadari bahwasanya setiap roda kehidupan ada unsur filsafat. Akan tetapi
manusia hingga saat ini menjadi suatu alasan untuk tidak mempelajari filsafat
dikarenakan filsafat dapat membuat kerancuan seseorang dapat berfikir. Realitas
yang terjadi baru-baru ini menjadi suatu rumusan bersama bagaimana manusia
peka terhadap filsafat yang memang turun temurun harus dipelajari.
Pendidikan merupakan proses kegiatan dalam mendidik dan didik. Peran
dari suatu pendidikan sangat penting dalam mencerdaskan manusia yang didik
untuk membangun peradabam manusia yang berkemajuan lebih baik. Tidak lain
tanpa adanya pendidikan, maka proses dalam berfilsafat menjadi suatu kendala
dalam berfikir, bahkan tak tahu dengan isi alam semesta yang beragam nama
yang dikemas dalam kata. Sehingga peran dari filsafat dan pendidikan sangat
berkaitan.
Islam merupakan entitas agama yang dibawa atau risalah dari baginda
Rasullullah SAW untuk membawa kepada umatnya maupun pengikutnya
didalam jalan Allah sebagai Tuhan Dzat Segalanya. Sehingga akal pun tak
mampu menjangkau eksistensi keberadaan Tuhan, hanya sekedar mengetahui
wujud pencipta Tuhan sehingga mampu memperkokoh aqidah bahwasanya
Tuhan itu ada. Dengan adanya Islam sebagai Agama yang rahmatan lil alamin,
maka umat manusia dapat terarah dalam kehidupannya dijalan yang benar.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwasanya ada keterikatan dalam
memahami filsafat sebagai acuan mendasar dalam berpijak dalam kebijaksanaan,
pendidikan sebagai sarana dalam pembelajaraan yang terarah menurut Islam
sebagai agama yang dogmatisme dan diketahui kebenaran realistisnya.
B. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini, sang pemakala merumuskan beberapa
permasalahan yang nantinya akan menjadi acuan penulisan makalah ini.
Permasalahan itu ialah:
1. Bagaimana Analisis sistem filsafat dan pendidikan Islam ?
1
2. Bagaimana merumuskan hubungan sistem filsafat dan pendidikan Islam ?
C. Tujuan Pembahasan
Suatu hal yang diadakan pasti memiliki tujuan tertentu tentang hal
tersebut. Makalah ini ditulis dengan tujuan:
1. Untuk menganalisis sistem filsafat dan pendidikan Islam
2. Untuk mengetahui hubungan sistem filsafat dan pendidikan Islam
3. Untuk menelaah pendidikan Islam dari segi ontologi, epistemologi, dan
aksiologi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sistem Filsafat
a. Ontologi
b. Epistemologi
c. Aksiologi
1 Sidi Galzaba, Sistematika Filsafat: Pengantar Kepada Teori Pengetahuan (Jakarta: Bulan Bintang,
1991), 6.
2 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,
2008), 396.
3
dianggap sebagai “tujuan utama”. Nilai-nilai ini dalam filsafat adalah
al-haq (kebenaran), kebaikan dan keindahan.
2. Pendidikan Islam
3 Wahyudi Daehwa " Hubungan Filsafat Islam dan Filsafat Pendidikan Islam" Jurnal Al-Fikr Volume
15, nomor 2, (Maret, 2011), 166-167.
4
2. Filsafat berfungsi untuk mengarahkan agar teori-teori pendidikan yang telah
dikembangakan oleh para ahli yang berdasarkan aliran filsafat tertentu
memiliki relevansi dengan realitas kehidupan. Maksudnya, mengarahkan
agar teori dan pandangan filsafat pendidikan yang telah dikembangkan
tersebut dapat direalisasikan atau diimplementasikan dalam praktek
kependidikan suatu realitas dan kebutuhan hidup yang juga berkembang
dalam masyarakat. Pada realitasnya bahwa setiap masyarakat hidup dengan
pandangan dalam filsafat hidupnya yang individual dan beragam. Sehingga
disinilah letak fungsi filsafat dan filsafat pendidikan dalam memilih dan
mengarahakan teori atau bahkan merevisis teori pendidikan tersebut, yang
sesuai dengan kebutuhan, pandangan, dan tujuan hidup masyarakat.
Selain adanya hubungan fungsional tersebut, filsafat Islam dan Filsafat
Pendidikan Islam ini mempunayi hubungan yag sangat erat sehingga membuat
keduanya harus seiring sejalan dalam usaha memajukan kehidupan manusia.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa manusia merupakan khalifah Allah di
alam semesta ini, manusia mendapat kuasa dan wewenang untuk melaksanakan
pendidikan terhadap dirinya sendiri dan manusia memiliki potensi untuk
melakukan hal tersebut.
Dengan demikian pendidikan, yaitu urusan kehidupan dan menjadi
tanggung jawab manusia sendiri. Untuk dapat mendidik, terlebih dahulu
manusia harus mengetahui dan memahami dirinya sendiri.
5
seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan perkataan lain suatu
pengkajian mengenai yang "ada".4
Menurut Aristoteles dalam bukunya yang berjudul "Metapysica"
mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain:5
1) Metafisika sebagai kebijakan (Sophia), ilmu pengetahuan yang
mencari prinsip-prinsip fundamental.
2) Metafisikan sebafai ilmu yang memperlajari yang ada sebagai yang
ada.
3) Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai objek paling
luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh ada-an.
Kedudukan metafika/ontologi dalam dunia filsafat sangat kuat.
Pertama, metafika merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam
pergulatan filosofis. Kedua, seperti yang dikatakan Heidegger, setiap
telaah filosofis terdapat unsur metafisik.6 Kajian tentanf metafisika
dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari
hal yang berbeda di belakang fisik dan particular, itu berarti usaha
mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan berfisat
universal.7
Kemudian cabang utama metafisika adalah ontologi, ontologi
ini berasal dari kata yang berwujud. Ontologi adalah teori ilmu tentang
wujud, tentang hakekat yang ada. Ontologi tak banyak berdasar pada
alam nyata, akan tetapi berdasar pada logika semata-mata. pendapat
menurut Wikipedia, ontologi merupakan studi mengenai kategorisasi
benda-benda di alam dan hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya. Ahli metafisika juga berupaya untuk memperjelas pemikiran-
pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan,
sifat, ruang, waktu hubungan sebab akibat dan kemungkinan. Dalam
buku ini dinyatakan ontologi berarti ilmu hakekat yang menyelidiki
alam yang nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya, apakah
hakekat dibalik alam yang nyata ini. ontoligi menyelidiki hakekat
segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi panca indera
4 Jujun S. Suriasumantri, pengantar Ilmu dalam Perspektif, cet VI (Jakarta: Gramedia, 1985), 5.
5 Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 154.
6 Anton Bakhtiar, Ontologi Metafisika Umum: Filsafat pengada dan dasar-dasar kenyataan
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), 15.
7 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama I, cet. I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1977), 169.
6
kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud
sesuatu ini bersifat tetap, kekal, tanpa perubahan, apakah realita
berbentuk satu unsure (monoisme), dua unsur (dualism), ataukah terdiri
dari unsur yang banyak (pluralism).8
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga
disebut sebagai proto-filsafat atau filsafat yang pertama, atau filsafat
ketuhanan yang bahasannya, yaitu hakekat sesuatu, keesaan,
persekutuan, sebab dan akibta, realita, prima atau Tuhan dengan segala
sifatnya, malaikat relasi atau segala sesuatu yang ada dibumi dengan
tenaga-tenaga yang di langgit, wahyu, akhirat, dosa, neraka , pahala,
dan surga.9
Pembahasan mengenai ontologi sebagai dasar ilmu berusaha
untuk menjawab "apa" yang menurut Aristoteles merupakan the first
philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi
berasal dari bahasa yunani, yakni on=being, dan logos=logic. Jadi,
ontologi adalah the Theory of Being Qua Being, yakni "teori tentang
kebenaran sebagai keberadaan).10
8 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan (Jakarta: Raja
Grafindo Persada), 77.
9 Ibid., 123.
10 Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), 123.
7
Didalam situasi sosial pada manusia sering berperilaku tidak
utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan makhluk
sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat
diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala
besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh
sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikrosistem nilai harus
terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan
pendidikan yang berskala mikro. Hala ini terjadi mengikat pihak
pendidik yang berkepribadian sendiri secara utuh memperlakukan
peserta didiknya secara terhormat sebagai peribadi pula, terlepas dari
faktor umur, jenis kelamin maupun bawaannya. Jika pendidik tidak
berisikap afekif utuh, menurut Gordon maka akan terjadi mata rantai
yang hilang atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara
siswa-guru.
Dengan begitu pendidikan hanya akan menjadi secara
kuantitatif sekalipun bersifat optimal, contohnya seperti hasil THB
summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan
demokrasi. Jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusiannya
sendiri belum tentu utuh. Dalam prakteknya, maka ontologi mauapun
matafisika ini memberikan kontribusi pada bagaimana pendidikan itu
mempunyai tujuan. Tujuan apa yang dirumuskan amat erat dengan
kualitas manusia seperti apa yang bakal dihasilkan.
2. Epistimologi
a. Pengertian epistimologi
Epistimologi menurut Nina W memaparkan bahwa epistimologi
merupakan cabang filsafat yang mempelajari benar atau tidaknya suatu
pengetahuan. Ada juga yang mengatakan yang mencoba menentukan
kodrat dan skope pengetahuan, pengadaian-pengadaian dan dasarnya
serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang
dimiliki dimana epistimologi secara etimologi berasal dari bahasa
Yunani "episteme" yang artinya pengetahuan dan "logos" berarti kata
pikiran, percakapan atau ilmu.11
11 Nina W Syam, Filsafat Sebagai Akar Ilmu Komunikasi (Bandung: Sembiosa Rekatama, 2010), 229.
8
Kemudian dalam Encyclopedia of philosopy, epistemology
didefinisak sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat
dasar dari ruang lingkup pengetahuan pranggapan sebenarnya.12
Sedangkan menurut filosof besar Yunani kuno Aristoteles,
epistemeadalah an organized body of rational knowledge with itw
proper object yang maksudnya adalah suatu kumpulan teratur dari
pengetahuan rasional dengan obyeknya sendiri yang tepat.13
12 Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan pendidikan,125.
13 Arba'iyah Yusuf, Filsafat Pendidikan Islam (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), 19.
14 Ibid, 25.
15 Ibid, 26.
9
tidak dapat hanya menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun
eksperimental.16
Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan
secara korespondensi, secara kohoren dan sekaligus secara praktis dan
pragmatis. Dengan kejelasan wilayah keilmuan yang menajdi ciri khas
pada epistimologis ini, maka epistimologi memberikan kontribusi
terhadap arah keilmuan yang dirumuskan dalam kurikulum pendidikan.
3. Aksiologi
a. Aksiologi pendidikan Islam
Pengertian Aksiologi Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu
yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang
berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi
dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartikan
aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Menurut John Sinclair, dalam lingkup
kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti
politik, sosial dan agama, sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu
yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Menurut Richard
Bender : Suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu
pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan
yang diakui bertalian, atau yang menyumbangkan pada pemuasan yang
demikian. Dengan demikian kehidupan yang bermanfaat ialah
pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai yang senantiasa bertambah.
10
Masalah – masalah axiologi diatas menjelaskan dengan kriteria
atau prinsip tertentu apakah yang dianggap baik didalam tingkah laku
manusia. Apakah yang dimaksud indah dalam seni. Demikian pula
apakah yang benar dan diinginkan didalam organisasi sosial
kemasyarakatan kenegaraan.
11
Sebagai penutup bab ini, perlu kita sadari bahwa sistematika
dimaksud bukanlah merupakan pemisahan secara sempurna. Filsafat
adalah satu penyelidikan yang komprehensi dan intergal. Perbedaan
bidang atau area penyelidikan sekedar dimaksudkan untuk
intergrafikasi dan penekanan (eksentuasi) penyeledikan. Dan meskipun
sudah diadakan pembidangan, mereka tetap mempunyai antar
hubungan dan overlap.
1. Etika
17. Sor syam , Dasar Filsafat Pendidikan (surabaya : Jln, pramban no.55, Usaha nasional, 1998), 35.
12
dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan
atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis
dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi
dan mampu mempertanggung-jawabkan apa yang ia lakukan.
2. Estetika
Estetika adalah cabang ilmu yang membahas masalah
keindahan. Bagaimana keindahan bisa tercipta dan bagaimana orang
bisa merasakannya dan memberi penilaian terhadap keindahan
tersebut. Maka filsafat estetika akan selalu berkaitan dengan baik
dan buruk, indah dan jelek. Bukan berbicara tentang salah dan benar
seperti dalam epistemologi. Secara etimologi, estetika diambil dari
bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu yang dapat
dicerna oleh indra. Estetika membahas refleksi kritis yang dirasakan
oleh indera dan memberi penilaian terhadap sesuatu, indah atau tidak
indah, beauty or ugly. Estetika disebut juga dengan istilah filsafat
keindahan. Estetika merupakan bidang studi manusia yang
mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti
bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata
13
secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh
menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan
semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga
mempunyai kepribadian. Sebenarnya keindahan bukanlah
merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa
bersangkutan dengan perasaan. 18
BAB III
18 Redya Mudyaharjdho, Filsafat Ilmu Pendidikan (Bandung : PT Remaja Rosdyakarya, 2010), 189.
14
KESIMPULAN
Filsafat merupakan induk dari segala sesuatu dari segala ilmu pengetahuan,
tanpa adanya peran suatu filsafat, maka hakikat dari ilmu pengetahuan tidak ada.
Dengan adanya sistematika filsafat yang mengkaji tentang ontologi (mengkaji dari
hakikat dari segala sesuatu yang ada), epistemologi (mengkaji persoalan pengetahuan
dari proses tidak tahu menjadi tahu), dan aksiologi (mengkaji dari unsur yang ada
sehingga muncul nilai dan manfaat)
DAFTAR PUSTAKA
15
Suriasumantri, Jujun S. pengantar Ilmu dalam Perspektif. cet VI. Jakarta: Gramedia
1985.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Agama I. cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 1977.
Idi, Abdullah dan Jalaluddin. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat dan Pendidikan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Yusuf, Arba'iyah. Filsafat Pendidikan Islam. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.
2014.
Daehwa Wahyudi. Hubungan Filsafat Islam dan Filsafat Pendidikan Islam. Jurnal Al-
Fikr Volume 15. nomor 2. Maret. 2011.
16