Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Filsafat pendidikan islam merupakan gagasana pemikiran tentang pendidikan islam, yang
secara operasional diaplikasikan dalam sebuah sistem yang disebut sistem pendidikan islam.
Sebagai gagasan yang disebut sistem pendidikan islam. Sebagai gagasan yang bersumber dari
pemikiran filosofis, filsafat pendidikan islam menjadi dasar bagi terbentuknya sistem
pendidikan islam itu sendiri. Selain itu filsafat pendidikan islam juga memberi arah bagi
tujuan yang akan dicapai oleh sistem pendidikan islam.

Sebagai landasan dasar, filsafat pendidikan islam akan memperkuat bangunan sebuah
sistem pendidikan islam. Sebagai sebuah sistem, pendidikan islam punya pijakan yang kuat
dan jelas. Sementara dalam fungsinya sebagai tujuan, filsafat pendidikan islam ikut memberi
kejelasan tentang arah dan target pencapaian yang diprogramkan dalam sistem pendidikan
islam. Jadi filsafat pendidikan islam tak dapat dilepaskan hubungannya dari masalah-masalah
yang menyangkut kependidikan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Kajian Ontology dalam Perpektif Filsafat Pendidikan Islam?
2. Apa itu Kajian Epistemology dalam Perpektif Filsafat Pendidikan Islam?
3. Apa itu Kajian Aksiologi dalam Perpektif Filsafat Pendidikan Islam?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kajian Ontology, Epistemology, dan
Aksiologi dalam Perpektif Filsafat Pendidikan Islam.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Ontologi Filsafat Pendidikan Islam


1. Hakikat Ontologi

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang
wujud hakikat yang ada.

Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan
yang tidak nampak (metafisis). Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the
creature of God, yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka Tuhan telah mengatur di
alam ciptaan-Nya. Pendidikan telah berpijak dari human sebagai dasar perkembangan dalam
pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah
transformasi pendidikan.1
Menurut Syam (1988) ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Sebelum
menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Dalam berinteraksi
dengan alam semesta, manusia melahirkan berbagai pertanyaan  filosofis, di antaranya ;
apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini, apakah realita yang nampak ini suatu
realitas materi saja, ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu "rahasia" alam. Apakah wujud
semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah
perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk satu unsur (monisme), dua unsur
(dualisme), ataukah lebih dari dua unsur (pluralisme).
Suatu realita sebagai suatu perwujudan, menampakkan diri sebagai satu "tubuh", satu
eksistensi. Sesuatu itu mendukung satu perwujudan, yakni-keseluruhan sifatnya. Yang utama
dari perwujudan itu adalah eksistensinya. Wujud atau adanya sesuatu itu adalah primer,
sedangkan sifat-sifat yang lain seperti ukurannya, bentuknya, warnanya, beratnya dan
sebagainya hanyalah sekunder.
Sebagai contoh, apakah sesungguhnya hakikat lantai dalam ruang belajar. Ada yang
menjawab bahwa lantai itu bersifat datar, padat tetapi halus dengan warna tertentu. Apakah
bahannya, pastilah lantai itu suatu substansi dengan kualitas materi. Inilah yang dimaksud
bahwa lantai adalah suatu realitas yang kongkrit. Para ahli ilmu alam menjawab, bahwa lantai

1
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta, 2011), h. 69

2
itu terbentuk dari molekul-molekul, yang terakhir atom-atom dan atom-atom tersebut
terbentuk dari electron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron dan semua itu tenaga
listrik. Jadi lantai itu hakikatnya satu energi, tenaga listrik. Jadi hakikat lantai menurut orang
biasa adalah realita dalam wujud lantai yang konkrit, sementara ahli ilmu alam memandang
hakikat lantai dari sudut pengertiannya (abstrak) yaitu tenaga listrik, energy, namun keduanya
bersifat realita.
Pandangan ontologi di atas juga menjadi hal utama dalam pendidikan Islam, sebab anak
didik/peserta didik bergaul dengan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan kuat
untuk mengerti sesuatu. Peserta didik Islam, baik di masyarakat maupun di sekolah selalu
menghadapi realita, obyek pengalaman : benda mati, benda hidup. Bagaimana pandangan
relegius mengenai makhluk hidup yang berakhir dengan kematian, bagaimana kehidupan dan
kematian itu dapat dimengerti. Begitu pula realitas semesta, eksistensi manusia yang
memiliki jasmani dan rohani, bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan Maha Pen-
cipta.2
Bukanlan kewajiban sekolah atau pendidik semata untuk  membimbing peserta didik
memahami dunia nyata, tetapi sekolah berkewajiban membina peserta didik  tentang
kebenaran yang berpangkal pada realita itu. Realita adalah sebagai tahapan pertama dan
stimulus untuk menyelami kebenaran. Peserta didik didik wajib dibina potensi berpikir
kritisnya guna mengerti kebenaran. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan
dalam lingkungannya; adat-istiadat, tata sosial dan pola-pola masyarakat, nilai moral dan
hukum.

2. Bidang Kajian Ontologi


Yang menjadi dasar kajian atau dalam istilah lain sebagai objek kajian (ontologi) filsafat
pendidikan Islam seperti yang termuat di dalam wahyu adalah mengenai pencipta (khalik),
ciptaan-Nya (makhluk), hubungan antar ciptaan-Nya, dan utusan yang menyampaikan risalah
pencipta (rasul). Dalam hal ini al-Syaibany mengemukakan bahwa prinsip-prinsip yang
menjadi dasar pandangan tentang alam raya meliputi dasar pemikiran:
1. Pendidikan dan tingkah laku manusia serta akhlaknya selain dipengaruhi oleh
lingkungan sosial dipengaruhi pula oleh lingkungan fisik (benda-benda alam).
2. Lingkungan dan yang termasuk dalam alam raya adalah segala yang diciptakan oleh
Allah swt baik makhluk hidup maupun benda-benda alam.
2
Muhammad Yusri, Ontopologi, Episteminologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, 2011),
h.12

3
3. Setiap wujud (keberadaan) memiliki dua aspek, yaitu materi dan roh. Dasar pemikiran
ini mengarahkan falsafah pendidikan Islam menyusun konsep alam nyata dan alam
ghaib, alam materi dan alam ruh, alam dunia dan alam akhirat
4. Alam senantiasa mengalami perubahan menurut ketentuan aturan pencipta.
5. Alam merupakan sarana yang disediakan bagi manusia untuk meningkatkan
kemampuan dirinya. 3

Dengan demikian, implikasi pandangan ontologi dalam dunia pendidikan Islam adalah
bahwa dunia pengalaman manusia, termasuk peserta didik yang harus memperkaya
kepribadian bukanlah hanya dalam raga dan isinya dalam arti pengalaman sehari-hari,
melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas, realitas fisik, spritual yang tetap dan yang
berubah-ubah (dinamis).

B. Kajian Epistemologi Filsafat Pendidikan Islam


1. Hakikat Epistemologi
Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti
ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang
membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber
pengetahuan.
Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau
membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.4

2. Pendekatan dan Metode Memperoleh Ilmu Pengetahuan


Adapun tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah dengan
metode non- ilmiah, metode ilmiah, dan metode problem solving.
a. Pengetahuan yang diperoleh dengan metode non- ilmiah adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error);
akal sehat (common sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman biasa.
b. Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan
induktif.

3
Ahmad Syari’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, 2005), h. 123
4
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta, 2011), h. 74-75

4
c. Sedangkan metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara
mengidentifikasi permasalahan, merumuskan hipotesis; mengumpulkan data;
mengorganisasikan dan menganalisis data; menyimpulkan dan conclusion; melakukan
verifikasi, yakni pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan
teoriteori, prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai
sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan, mendeskripsikan,
mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu kejadian secara tepat.5

3. Metode Epistemologi Pendidikan Islam


Metode merupakan bagian integral dari epistemologi, karena epistemologi mencakup
banyak pembahasan termasuk metode. Metode epistemologi pendidikan Islam adalah sebagai
metode-metode yang dipakai dalam menggali, menyusun dan mengembangkan pendidikan
Islam. Dengan kata lain, adalah metode-metode yang dipakai dalam membangun ilmu
pendidikan Islam.
Metode epistemologi pendidikan Islam adalah metode yang digunakan untuk memperoleh
pengetahuan tentang pendidikan Islam. Ada perbedaan antara metode epistemologi
pendidikan Islam dengan metode penelitian pendidikan Islam. Metode epistemologi Islam
lebih berada pada tataran pemikiran filosofis, sedangkan metode penelitian pendidikan Islam
berada pada tataran teknis dan operasional. Metode epistemologi pendidikan Islam
merupakan alat filsafat yang membahas pengetahuan pendidikan Islam. Metode epistemologi
pendidikan Islam berusaha membangun, merumuskan dan memproses pengetahuan tentang
pendidikan Islam. Menurut Mujamil Qomar dari perenungan-perenungan terhadap ayat-ayat
Al-Quran, Hadits Nabi dan penalaran sendiri, untuk sementara didapatkan lima macam
metode yang secara efektif untuk membangun pengetahuan tentang pendidikan Islam, yaitu:
a. Metode Rasional (Manhaj ‘Aqli)
Metode Rasional adalah metode yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan
dengan menggunakan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria-kriteria kebenaran
yang bisa diterima rasio. Menurut metode ini sesuatu dianggap benar apabila bisa
diterima oleh akal, seperti sepuluh lebih banyak dari lima. Tidak ada orang yang
mampu menolak kebenaran ini berdasarkan penggunaan akal sehatnya, karena secara
rasional sepuluh lebih banyak dari lima.
Metode ini dipakai dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam, terutama
yang bersifat apriori. Akal memberi penjelasan-penjelasan yang logis terhadap suatu
5
Ahmad Syari’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, 2005), h. 125

5
masalah, sedangkan indera membuktikan penjelasan-penjelasan itu. Penggunaan akal
untuk mencapai pengetahuan termasuk pengetahuan pendidikan Islam mendapat
pembenaran agama Islam. Machfudz Ibawi berani menegaskan, bahwa bahasa Al-
Quran seluruhnya bersifat filosofis, dengan pengertian tidak mudah dimengerti tanpa
mencari, menganalisis atau menggali sesuatu yang tersimpan dibalik bahasa harfiah.
Oleh karena itu dibutuhkan pemikiran yang makin rasional dan logis sebagai
media atau alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap kandungan
Al-Quran sebagai cermin dari ajaran Islam. Teori-teori yang diformulasikan oleh
ilmuwan-ilmuwan Islam tidak banyak dipakai sebagai landasan dalam membahas
masing-masing disiplin ilmu karena masih kalah oleh teori barat. Bahkan yang paling
berbahaya secara intelektual adalah bahwa teori-teori barat telah dianggap baku dan
disakralkan karena tidak pernah digugat. Teori-teori pendidikan Islam yang
dirumuskan pemikir-pemikir Islam zaman dahulu juga menjadi sasaran pencermatan
kembali dengan menggunakan metode rasional. Seharusnya metode rasional telah
lama menjadi pegangan para filosof pendidikan Islam dalam merumuskan teori.
Namun, dalam kenyataan belum banyak ahli filsafat pendidikan Islam yang
memanfaatkan metode rasional ini.
Pendidikan Islam selama ini secara sinis masih dianggap meniru pendidikan
Barat. Jika diperhatikan landasan pendidikan Islam itu berupa Quran dan Sunnah, dan
seharusnya tidak ada lagi peniruan. Mekanisme kerja metode rasional yang kesekian
kali dalam mencapai pengetahuan pendidikan Islam dilakukan dengan cara
mengembangkan objek pembahasan. Sebenarnya melalui metode rasional saja dapat
diperoleh khazanah pengetahuan pendidikan Islam dalam jumlah yang amat besar.

b. Metode Intuitif (Manhaj Zawqi)


Metode intuitif merupakan metode yang khas bagi ilmuan yang menjadikan
tradisi ilmiah Barat sebagai landasan berfikir mengingat metode tersebut tidak pernah
diperlukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Sebaliknya dikalangan Muslim
seakan-akan ada kesepakatan untuk menyetujui intuisi sebagai satu metode yang sah
dalam mengembangkan pengetahuan, sehingga mereka telah terbiasa menggunakan
metode ini dalam menangkap pengembangan pengetahuan. Muhammad
Iqbal menyebut intuisi ini dengan peristilahan “cinta” atau kadang-kadang disebut
pengalaman kalbu.

6
Dalam pendidikan Islam, pengetahuan intuitif ditempatkan pada posisi yang
layak. Pendidikan Islam sekarang menjadikan manusia sebagai objek material, sedang
objek formalnya adalah kemampuan manusia. Pendidikan Islam sebenarnya secara
spesifik terfokus untuk mempelajari kemampuan manusia itu, baik berdasarkan
wahyu, pemberdayaan akal maupun pengamatan langsung. Di kalangan pemikir
Islam, intuisi tidak hanya disederajatkan dengan akal maupun indera, tetapi bahkan
lebih diistimewakan daripada keduanya. Bagi Al-Gazhali, bahwa al-zawaq (intuisi)
lebih tinggi dan lebih dipercaya, daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang
betul-betul diyakini kebenarannya. Sumber pengetahuan tersebut dinamakan al-
nubuwwat, yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk
Ilham.
Sebagai suatu metode epistemologi, intuisi itu bersifat netral.  Artinya ia bisa
dimanfaatkan untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan. Hakekat intuisi
menurut Al-Tahawuny, bisa bertambah dan berkurang. Bila kita mengamati
pengalaman kita sehari-hari tampaknya ada perbedaan frekuensi intuisi muncul dalam
rentang waktu tertentu. Adakalanya dalam waktu yang berututan muncul beberapa
kali, tetapi terkadang dalam waktu yang lama juga tidak kunjung tiba. Akal adalah
suatu substansi ruhaniah  yang melihat pemahaman yang kita sebut hati atau kalbu,
yang merupakan tempat terjadinya intuisi. Penggunaan akal dan intuisi secara integral
dapat memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pengembangan metode-
metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode interpretasi misalnya, ia diyakini
akan tumbuh dan berkembang melalui pemanfaatkan metode-metode yang
menggunakan akal dan intuisi. Intuisi itu bisa didatangkan untuk memberikan
pencerahan konsentrasi, kontemplasi, dan imajinasi. Sebaiknya kita memiliki tradisi
ketiganya ini dalam mengembangkan atau menyusun konsep pendidikan Islam yang
bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah di hadapan kriteria ilmu pengetahuan dan
secara normatif di hadapan wahyu.

c. Metode Dialogis (Manhaj Jadali)


Metode dialogis yang dimaksudkan di sini adalah upaya menggali
pengetahaun pendidikan Islam yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan
dalam bentuk percakapan antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan argumentasi-
argumentasi yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metode ini memiliki
sandaran teologis yang jelas. Upaya untuk mecari jawaban-jawaban adalah aktivitas
7
yang baik menurut Islam maupun ilmu pengetahuan. Peristiwa sebagai wujud dialog
telah dikemukakan dalam Al-Quran. Pendidikan Islam perlu didialogkan dengan nalar
kita untuk memperolah jawaban-jawaban yang signifikan dalam mengembangkan
pendidikan Islam tersebut. Nalar itu akan memiliki daya analisis yang tajam manakala
menghadapi tantangan-tantangan. Ilmu pendidikan Islam harus bertumpu pada
gagasan-gagasan yang dialogis dengan pengalaman empiris yang terdiri atas fakta
atau informasi  untuk diolah menjadi teori yang valid yang menjadi tempat
berpijaknya suatu  pengetahuan  ilmiah. Untuk menerapkan metode ini, dapat
disiapkan wadahnya dengan beberapa cara, misalnya dengan menetapkan pasangan
dialog, membentuk forum dialog, mempertemukan dua forum dialog, maupun dengan
mengundang pakar-pakar pendidikan Islam, apabila difungsikan secara maksimal.
wadah-wadah dialog itu hanya berbeda skalanya saja, sedang misi dan fungsinya
relative sama. Semuanya sebagai wadah untuk menggali pengetahuan pendidikan
Islam dari Al-Quran, hadits dan praktek-praktek pendidikan Islam, kemudian
dirumuskan dalam teori-teori ilmiah tentang pendidikan Islam.
Metode dialogis dalam epistemologi pendidikan Islam ini bisa mengambil
bermacam-macam objek ketentuan-ketentuan wahyu, baik yang terdapat pada Al-
Quran maupun hadits yang disebut dengan konsep-konsep normatif, pendapat-
pendapat para pakar pendidikan  Islam, baik pada masa lampau maupun sekarang
yang disebut konsep-konsep teoritis, dan pengamatan terhadap pengalaman-
pengalaman melaksanakan pendidikan bagi kaum Muslim, baik dahulu maupun
sekarang yang bisa disebut “konsep-konsep empiris”. Semua Objek itu ada dalam
bingkai keislaman karena Islam terbagi menjadi dua, yaitu Islam dalam arti wahyu
dan Islam dalam arti budaya. Islam wahyu berupa Al-Quran dan hadis sedang Islam
budaya berupa pemikiran, pengalaman, maupun tradisi umat Islam.

d. Metode Komparatif (Manhaj Maqaran)


Metode komparatif adalah metode memperoleh pengetahuan (dalam hal ini
pengetahuan pendidikan Islam, baik sesama pendidikan Islam maupun pendidikan
Islam dengan pendidikan lainnya). Metode ini ditempuh untuk mencari keunggulan-
keunggulan maupun memadukan pengertian atau pemahaman, supaya didapatkan
ketegasan maksud dari permasalahan pendidikan. Maka metode komparatif ini masih
bisa dibedakan dengan pendidikan perbandingan. Metode komparatif sebagai salah
satu metode epistemologi pendidikan Islam objek yang beragam untuk
8
diperbandingkan, yaitu meliputi: perbandingan sesama Ayat Al-Quran tentang
pendidikan, antara ayat-ayat pendidikan dengan hadits-hadits pendidikan, antara
sesama hadits pendidikan, antara sesama teori dari pemikir pendidikan, antara sesama
teori dari pakar pendidikan Islam dan non Islam, antara sesama lembaga pendidikan
Islam, antara sesama lembaga pendidikan Islam dengan lembaga pendidikan non
Islam, antara sesama sejarah umat Islam dahulu dan sekarang.

e. Metode Kritik (Manhaj Naqdi)


Metode kritik yaitu sebagai usaha untuk menggali pengetahuan tentang
pendidikan Islam dgan cara mengoreksi kelemahan-kelemahan suatu konsep atau
aplikasi pendidikan, kemudian menawarkan solusi sebagai altrnatif pemecahannya.
Jadi maksudnya kritik bukan karena adanya kebencian, melainkan karena
adanya kejanggalan-kejanggalan atau kelemahan-kelemahan yang harus diluruskan.
Sebenarnya kritik adalah metode kita yang sudah ada sejak dulu dari ilmu kalam, fiqh,
sejarah Islam maupun hadits. Namun sayangnya sekarang jarang sekali kalangan
Muslim yang berpijak pada metode kritik ketika mengungkapkan gagasan-
gagasannya.
Salah satau pemikir muslim yang karya-karyanya bernuansa kritik adalah
Muhammad Arkoun. Beliau mengkritik bangunan epistemologi keilmuan agama
Islam. Sebenarnya kritik itu berkonotasi dalam makna upaya membangun, tidak
seperti yang kita pahami selama ini bahwa kritik adalah penghinaan. Dan itu berakibat
umat muslim merasa tidak suka terhadap kritik. Dengan menggunakan metode kritik
dapat mengkritik teori barat yang tidak sepaham dengan nas-nas wahyu yang
berkaitan dengan pendidikan Islam.6

C. Kajian Aksiologi Filsafat Pendidikan Islam


1. Hakikat Aksiologi

6
http://fitrianahadi.blogspot.com/2015/02/epistemologi-ilmu-pendidikan-islam.html.(diakses pada 10
Maret 2017 pukul 13.45)

9
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu;  axios yang berarti sesuai
atau wajar dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
Dalam bahasan lain, tujuan keilmuan dan pendidikan Islam yang berusaha untuk
mencapai kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat ini esuai dengan Maqasid al-Syariah
yakni tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Sementara
menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai- nilai dan sasaran syara' yang
tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai- nilai dan sasaran-
sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari'
dalam setiap ketentuan hukum.7
Kemudian Muzayyin Arifin memberikan definisi aksiologi sebagai suatu pemikiran
tentang masalah nilai- nilai termasuk nilai tinggi dari Tuhan, misalnya nilai moral, nilai
agama, dan nilai keindahan (estetika).8
Jika aksiologi ini dinilai dari sisi ilmuwan, maka aksiologi dapat diartikan sebagai telaah
tentang nilai - nilai yang dipegang ilmuwan dalam memilih dan menentukan prioritas bidang
penelitian ilmu pengetahuan serta penerapan dan pemanfaatannya.
Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu, penyelidikan tentang prinsip-prinsip nilai. 9

2. Macam-Macam Nilai dalam Aksiologi


Brameld dalam Syom (1988) membagi nilai dalam aksiologi menjadi:
1. Moral conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu Ethika.
2. Esthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkan Esthetika.
3. Socio-polical life, kehidupan sosio-politik, yang melahirkan ilmu filsofat sosio-
politik.
Masalah-masalah aksiologi di atas menjelaskan dengan kriteria atau prinsip tertentu,
apakah yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia itu, apakah yang dimaksud indah

7
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta, 2011), h. 79
8
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, 2010), h. 8
9
Ilyas Supena, Desain Ilmu -ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur Rahman, (Semarang,
2008), h. 151.

10
dalam seni dan apakah yang benar dan diinginkan dalam organisasi social kemasyarakatan-
kenegaraan.
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan nilai
tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam kepribadian anak didik.
Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu
yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk
membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.
Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan
sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika,
estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi.
Nilai-nilai di dalam rumah tangga atau keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai
yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian.

BAB III
PENUTUP
11
A. Kesimpulan
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang
berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang
wujud hakikat yang ada.

Dalam konsep filsafat ilmu Islam, segala sesuatu yang ada ini meliputi yang nampak dan
yang tidak nampak (metafisis). Filsafat pendidikan Islam bertitik tolak pada konsep the
creature of God, yaitu manusia dan alam. Sebagai pencipta, maka Tuhan telah mengatur di
alam ciptaan-Nya. Pendidikan telah berpijak dari human sebagai dasar perkembangan dalam
pendidikan. Ini berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan manusia itu adalah
transformasi pendidikan.

Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti
ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas tentang pengetahuan dan cara
memperolehnya. Epistemologi disebut juga teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang
membicarakan tentang cara memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber
pengetahuan.
Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti atau
membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan.

Sedangkan Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu;  axios yang
berarti sesuai atau wajar dan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai.
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia berikut manfaatnya bagi kehidupan manusia.
Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.

B. Saran
Dalam kaitannya dengan filsafat pendidikan islam, hendaknya dapat dijadikan sebagai
pembelajaran yang harus dipahami dan di terapakan di kehidupan sehari-hari. Kami sangat
mengharapkan saran dari para pembaca yang bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah pada masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

12
Ahmad Syari’I, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, 2005).
http://fitrianahadi.blogspot.com/2015/02/epistemologi-ilmu-pendidikan-islam.html.
(diakses pada 10 Maret 2017 pukul 13.45)
Ilyas Supena, Desain Ilmu -ilmu Keislaman dalam Pemikiran Hermeneutika Fazlur
Rahman, (Semarang, 2008).
Muhammad Yusri, Ontopologi, Episteminologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta, 2011).
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epitemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta, 2011).
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta, 2010).

13

Anda mungkin juga menyukai